Kisah Sepasang Rajawali 21
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Banyak diantara para penjaga itu yang mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada yang berbaring begitu saja di bawah gardu, ada yang tidur sambil bersandar gardu, dan yang belum tidur rata-rata sudah melenggut digoda kantuk yang berat. Mereka sudah malas meronda. Pula, perlu apa diadakan perondaan secara ketat? Benteng itu penuh pasukan tentara, siapa berani mengantar nyawa memasuki benteng? Kelengahan para penjaga karena ngantuknya ini makin memudahkan dua orang yang bergerak seperti iblis saja di malam hari itu. Dengan gerakan ringan bukan main mereka meloncat ke atas pagar tembok, lalu melayang turun dan cepat menyelinap diantara bangunan-bangunan di dalam benteng, menghindarkan diri dari pertemuan dengan penjaga-penjaga yang bertugas di dalam.
Dua sosok bayangan orang itu berkelebatan kadang-kadang naik ke atas genteng dan berloncatan, kemudian melayang turun lagi dan menyelinap diantara bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan tentara. Dari gerak-gerik mereka, jelas bahwa selain memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang ini sudah hafal akan keadaan di situ. Tentu saja demikian karena seorang diantara mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang seorang lagi adalah Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jenderal Kao Liang dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang dikuasai oleh Panglima Kim Bouw Sin, untuk menumpas para pemberontak. Menyetujui pendapat Bun Beng agar tidak mendatangkan perang saudara secara terbuka antara pasukan-pasukan sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng memasuki benteng berdua saja secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk menyelidik.
Sudah tentu saja andaikata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan mengenalnya dan tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal itu dilakukan dan Kim Bouw Sin mendengar akan kedatangannya, tentu panglima yang memberontak itu akan mengadakan persiapan untuk mencelakakannya. Maka mereka berdua memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat pengetahuan jenderal itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi komandannya, maka mereka berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan langsung menuju ke tempat kediaman Panglima Kim Bouw Sin. Akhirnya, Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba di balik pintu ruangan besar di mana Panglima Kim Bouw Sin tampak sedang berunding dengan belasan orang, dan kelihatan panglima itu marah-marah.
"Kalian sungguh-sungguh tidak ada gunanya!"
Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia memaki seperti itu.
"Sekarang, semua gagal dan kita akan celaka."
"Kim-ciangkun, apakah tidak sebaiknya kalau kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan diam-diam berusaha lagi untuk...."
"Jangan sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan kuat. Lebih baik kita cepat melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang ikut membantu di sumur maut harus cepat menyembunyikan diri sehingga andaikata dia datang memeriksa, dia tidak akan menemukan bukti apa-apa di sini."
"Bagus sekali siasatmu, akan tetapi rahasiamu telah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat hina, pemberontak busuk, menyerahlah kalian!"
Bentakan suara Jenderal Kao yang amat nyaring ini tentu saja amat mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Mereka meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ke arah jendela yang tiba-tiba bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang yang kini sudah berdiri di situ memandang mereka dengan sinar mata berapi. Kim Bouw Sin tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana bercaping lebar yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti bahwa rahasianya telah terbuka, dia cepat berseru,
"Bunuh mereka!"
Sebelum menyerbu masuk, Jenderal Kao yang melihat betapa diantara belasan orang itu terdapat Kim Bouw Sin dan tiga orang panglima pembantunya, juga terdapat dua orang yang dia lihat ikut mengeroyoknya di sumur maut, telah membisiki Gak Bun Beng bahwa mereka berdua harus dapat menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin, tiga orang pembantunya, dan dua orang pengeroyok itu.
Yang lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting, akan tetapi tiga orang pembantu dan dua orang pengeroyok itu merupakan saksi penting sekali akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong seperti dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun Beng mengangguk dan menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu. Aba-aba yang dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw Sin tidak perlu diulang kembali karena semua yang hadir dalam perundingan itu mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian panglima itu. Sungguhpun kebanyakan diantara mereka tidak ada yang mengenal laki-laki yang lebih muda, berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana itu, namun mereka dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan Jenderal Kao.
Hanya dua orang yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun Beng dan mereka ini menjadi begitu kaget dan ketakutan sehingga ketika Kim Bouw Sin dan yang lain-lain mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini lari menyelinap dan berusaha pergi dari tempat berbahaya itu. Pada saat itu, Jenderal Kao Liang sudah mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah perkasa menghadapi serbuan lima enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan tangan kosong sedang menghadapi hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin yang rata-rata terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Akan tetapi melihat dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha menyelinap pergi, Bun Beng melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya bergerak, topi caping lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing, berputar-putar seperti gasing dan menyambar ke arah lutut kedua orang yang melarikan diri itu dari belakang.
"Crak-crakkk!"
Dua orang itu mengeluarkan suara menjerit dan roboh terjungkal karena kedua lutut kaki mereka seperti dibacok senjata tajam, membuat mereka berdua lumpuh tak dapat bangun kembali sedangkan mata mereka terbelalak memandang ke arah benda yang masih berputaran dan kini melayang kembali ke arah Gak Bun Beng. Caping itu memang dilemparkan dengan gerakan istimewa pergelangan tangan sehingga berputar amat cepatnya, maka ketika menyentuh lutut kedua orang itu, dalam keadaan terputar seperti golok tajamnya dan bersentuhan dengan lutut mereka itu membuat caping tadi yang masih berputar cepat itu berbalik arah dan melayang kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini telah diperhitungkan oleh Bun Beng melalui latihan-latihan yang tekun bertahun-tahun lamanya.
Dengan tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan orang banyak, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas ketika dia melihat capingnya melayang kembali dan menyambar benda itu, terus dipakai di atas kepalanya dan mulailah dia menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok. Jenderal Kao yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin sendiri bersama kaki tangannya, mengamuk hebat. Pedangnya bergerak seperti seekor naga bermain-main di angkasa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulungan sinar yang menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan dalam belasan jurus saja dia telah berhasil merobohkan dua diantara tiga panglima pembantu Kim Bouw Sin yang mengakibatkan seorang tewas dan yang seorang lagi setengah mati karena kaki kanannya buntung dan pundaknya terluka parah.
Gan Bun Beng yang sudah lama sekali, belasan tahun sudah, tidak pernah melukai orang apalagi membunuh, merasa ngeri juga maka dia mengambil keputusan untuk cepat mengakhiri pertempuran itu tanpa terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari dalam perutnya, melalui kerongkongannya keluar pekik melengking yang luar biasa sekali, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan. Menyambarlah angin-angin pukulan yang berhawa dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah delapan orang itu roboh semua, sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik melengking itu dan sebagian lagi roboh oleh dorongan angin pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa itu.
Kemudian tubuhnya mencelat ke arah Jenderal Kao yang sedang mengamuk dan dengan beberapa kali menggerakkan tangan dan kakinya, robohlah seorang panglima pembantu dan dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu dua orang yang pernah mengeroyok jenderal itu di sumur maut. Jenderal ini kagum dan juga girang sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan betapa pun Kim Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai sepuluh jurus dia roboh, pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri Jenderal Kao! Melihat robohnya para panglima itu, sisa para pengeroyok menjadi jerih dan cepat melarikan diri keluar dari ruangan sambil berteriak-teriak minta bantuan. Dari luar berbondong-bondong masuklah para pengawal dari penjaga yang bersenjata lengkap.
"Gak-taihiap, lekas bawa dua orang itu!"
Bun Beng sendiri bingung menghadapi keadaan yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan datang menyerbu, mereka berdua mana mungkin mampu melawan puluhan ribu orang tentara? Maka dia tidak banyak bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang dirobohkannya tadi, menotok mereka lalu mengempit tubuh mereka, mengikuti Jenderal Kao yang sudah memanggul tubuh Kim Bouw Sin dan meloncat keluar dari ruangan itu melalui jendela. Terdengar suara anak panah yang banyak sekali mengaung dan berdesir me-nyambar, namun Jenderal kao dapat meruntuhkannya dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng sudah melesat ke atas dengan cepat sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.
"Mari kau ikuti aku!"
Jenderal Kao berkata dan keduanya lalu berloncatan melalui atap rumah-rumah di dalam benteng itu menuju ke menara! Dengan kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan orang penjaga menara ketika melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang mengempit Panglima Kim Bouw Sin dan seorang pria gagah yang membawa dua orang, menjadi terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Hai, para penjaga! Aku Jenderal Kao datang untuk membasmi pemberontakan dan pengkhianatan. Hayo kalian lekas bunyikan tanda agar seluruh perajurit berkumpul!"
Dengan suara yang nyaring dan penuh wibawa jenderal itu membentak, lalu menambahkan.
"Ataukah kalian hendak ikut memberontak pula dan ingin kubunuh semua di sini?"
Para penjaga itu menjadi ketakutan, apalagi melihat bahwa panglima mereka telah tidak berdaya. Dua orang diantara mereka cepat meniup terompet dan memukul tambur tanda berkumpul bagi seluruh penghuni benteng itu. Sementara itu pagi sudah mulai tiba, biarpun cuaca masih remang-remang, namun tidaklah segelap tadi. Para perajurit yang sedang tidur lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali, cepat-cepat mereka berpakaian dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka di bawah menara.
Dalam keadaan hiruk-pikuk itu, tentu saja berita tentang penyerbuan dua orang yang menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung dan simpang-siur oleh para perajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada hubungannya dengan berita kekacauan itu. Karena sudah terlatih, dalam waktu singkat saja semua perajurit telah berkumpul rapi di lapangan itu, menghadap ke menara dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan masing-masing. Dari atas menara, Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorang pun panglima yang hadir. Dari atas dia dapat melihat jelas karena para perajurit yang bertugas bagian penerangan telah memasang banyak lampu dan obor untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu sebagai panglima-panglima di benteng itu.
Tiga orang di antara yang lima itu ikut mengkhianati pemerintah dan telah dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi, Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak nampak hadir. Apakah yang dua itu pun ikut memberontak dan dalam keadaan berbahaya itu telah melarikan diri? Setelah semua perajurit telah berkumpul, Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang setengah pingsan itu ke depan menara sehingga tampak oleh semua perajurit karena di bagian depan menara itu telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi bingung sekali melihat betapa panglima mereka ditawan oleh Jenderal Kao yang terkenal galak dan ditakuti juga disegani dan dihormati semua perajurit itu. Melihat munculnya Jenderal Kao yang memegang tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa bekas komandan benteng itu berdiri di sampingnya, terkejutlah semua perajurit dan di bawah menjadi bising.
"Semua tenang....!"
Suara Jenderal Kao bergema sampai jauh di bawah menara dan seketika keadaan menjadi hening, tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Hati jenderal itu menjadi lega menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa belum semua perajurit dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong.
Dan dia pun bersyukur sekali bahwa dia menyetujui rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan ini secara menyelundup ke dalam benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu. Kalau dia datang bersama sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan benteng itu akan dapat mudah dibujuk untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi sekarang, setelah semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan ditawan, mereka tidak sempat lagi membujuk dan para perajurit yang kebingungan baru bangun tidur itu tentu saja tidak berniat untuk memberontak karena yang muncul hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang yang mereka takuti dan hormati. Setelah melihat semua perajurit tenang dan suasana menjadi hening, jenderal itu bicara dan suaranya menggema dari atas menara,
"Para perwira dan para perajurit yang gagah perkasa! Diantara kalian tentu ada yang sudah tahu, ada yang dapat menduga dan mungkin ada pula yang belum tahu bahwa Panglima Kim Bouw Sin juga menjadi komandan kalian, yang menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah berkhianat dan menyelewengkan kalian ke arah pemberontakan yang amat hina dan rendah!"
Jenderal itu berhenti sebentar dan melihat banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia menyambung,
"Kalian tahu apa yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana? Kalian akan dibasmi, dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat sekali, dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak yang amat rendah sehingga sampai beberapa keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan nama nenek moyang terbawa-bawa ke dalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat malam ini aku turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki tangannya. Dan aku tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya terbawa-bawa saja oleh atasan yang menyeleweng, oleh karena itu, kalau kalian mau insyaf dan mulai saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku Jenderal Kao Liang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap berdosa. Bagaimana pendapat kalian?"
Hening sejenak, keheningan yang amat menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa kalau sampai jenderal itu gagal menguasai para perajurit ini sehingga mereka memberontak, tentu dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan diri lagi dari kepungan puluhan ribu orang perajurit itu! "Hidup Jenderal Kao....!"
"Basmi pemberontak....!"
Gak Bun Beng bernapas lega dan diam-diam dia kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian jenderal itu. Jenderal Kao mengangkat kedua tangannya dan semua kebisingan yang di bawah berhenti.
"Yang memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw Sin dan tiga orang pembantunya, mereka sudah kurobohkan, dibantu pula oleh tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan tetapi aku tidak melihat adanya Panglima Kwa dan Panglima Coa, ke manakah kedua orang itu?"
Terdengar jawaban dari bawah, dari mulut seorang perwira,
"Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun telah ditangkap dan ditawan oleh Kim Bouw Sin!"
"Ahh!"
Jenderal Kao Liang berseru.
"Lekas bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!"
Dari bawah terdengar suara menyanggupi dan tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam rumah tahanan dan tak lama kemudian mereka datang kembali membawa dua orang laki-laki bertubuh tegap yang pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya banyak luka-luka bekas cambukan. Mereka ini berlari ke depan, dan cepat menjatuhkan diri berlutut di bawah menara, menghadap ke arah Jenderal Kao.
"Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun, apa yang terjadi? Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw Sin?"
Jenderal Kao bertanya.
"Kami berdua menentang pemberontakannya, tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami disiksa untuk mau membantu, akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati daripada harus memberontak,"
Jawab Kwa-ciangkun.
"Para perwira dan perajurit! Kalian sudah mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang perajurit sejati! Maka, untuk sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun sebagai komandan benteng ini yang baru dan Coa-ciangkun menjadi wakilnya!"
Kembali terdengar sambutan sorak-sorai, sebagian besar dari para perajurit yang merasa beruntung sekali bahwa mereka yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw Sin, memperoleh pengampunan yang demikian mudahnya. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa lemah kedudukan mereka, betapa lemah pemimpin mereka yang mengajak memberontak sehingga dengan munculnya dua orang saja, para pemimpin itu telah dibuat tidak berdaya sama sekali!
Kalau mereka terlanjur memberontak, menghadapi pasukan pemerintah di bawah pimpinan seorang panglima seperti Jenderal Kao, tentu mereka akan dibasmi hancur! Jenderal Kao lalu menyerahkan pimpinan kepada kedua orang panglimanya yang baru. Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberi "kuliah"
Kepada para perajurit sampai hari menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao dan Gak Bun Beng menyerahkan para tawanan itu, Kim Bouw Sin dan dua orang kaki tangannya yang akan diajukan sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu ditawan dengan kaki tangan dibelenggu. Akan tetapi ketika mereka turun dari menara dan memasuki ruangan pertempuran tadi, ternyata tiga orang pembantu panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw Sin telah tewas semua, membunuh diri!
"Ahhh.... saya yang ceroboh, Panglima!"
Bun Beng berseru menyesal.
"Semestinya mereka itu kutotok lumpuh sebelum kita tinggalkan tadi."
"Tidak mengapa, Taihiap. Mereka pun sudah sepatut-nya mampus, manusia-manusia rendah yang hanya mengejar kesenangan tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga mereka mau saja diperalat oleh Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting adalah Kim Bouw Sin sebagai tokoh utamanya dan dua orang pembantunya itu sebagai saksi karena mereka berdua ikut mengeroyokku di sumur maut."
Jenderal Kao lalu mengajak dua orang komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak Bun Beng kembali ke bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang membawa Kim Bouw Sin dan dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng, karena Jenderal Kao menghendaki agar tiga orang tawanan itu dibawa ke bentengnya agar langsung berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya mereka dihadapkan ke kota raja. Dia pun sudah memerintahkan dengan tegas agar mereka bertiga tidak diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam hatinya jenderal ini mengambil keputusan untuk menggunakan mereka bertiga itu untuk membongkar rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong. Rasa persahabatan terhadap Bun Beng makin mendalam berakar di hati jenderal yang perkasa itu. Di sepanjang perjalanan kembali ke bentengnya, mereka yang duduk berkuda berdampingan,
Tiada hentinya bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini Jenderal Kao Liang menceritakan tentang keadaannya. Di dalam pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan di perbatasan yang sunyi dan liar, dia tidak membawa keluarganya, meninggalkan isteri dan tiga orang anaknya di kota raja setelah terjadi hal menyedihkan ketika keluarganya dibawanya dahulu di perbatasan itu. Di waktu keluarganya ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung, ketika itu baru berusia sepuluh tahun, pada suatu hari telah lenyap ketika anak itu bermain-main di luar benteng seorang diri. Tentu saja Jenderal Kao sudah mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sen-diri pun sudah mencari, mengarungi padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat diketemukan kembali bahkan mayatnyapun tidak!
Setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu, dia lalu mengirim kembali keluarganya ke kota raja dan peristiwa yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja berbekas di dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang pasir yang luas, teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah tewas tak tentu kuburnya itu. Adapun Gak Bun Beng juga merasa makin kagum terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata selain seorang yang amat setia kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar dalam bidang kemiliteran, juga adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi lega bahwa dia telah membawa Syanti Dewi kepada jenderal itu. Dan dia pun lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi selengkapnya, seperti yang diketahuinya.
"Saya merasa kasihan sekali terhadap Syanti Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib membawanya mengalami banyak kesengsaraan lahir batin. Tidak hanya dia terpaksa mentaati kehendak orang tua untuk menikah dengan seorang pangeran tua yang sama sekali belum pernah dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa pangeran itu seorang berhati curang, bahkan mungkin sekali, karena hal ini belum dapat terbukti kuat, adalah seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih lagi setelah tiba di sini, dia mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu Ceng, adik angkatnya."
Mendengar disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal itu memejamkan matanya sebentar dan merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. Nona yang telah mati karena menolongnya itu! Tak pernah dia akan dapat melupakan betapa nona itu benar-benar telah mengorbankan nyawa untuk menebus nyawanya sendiri, karena kalau bukan Ceng Ceng yang menendangnya keluar dari sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia yang akan tewas!
"Memang kasihan sekali dia...."
Katanya, tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan dengan "dia", puteri itukah atau Ceng Ceng.
"Maka saya mengharapkan kebijaksanaan dan kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima gadis itu dan melindunginya. Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya menitipkan Syanti Dewi kepadamu agar kelak dapat kau antarkan dia kepada Puteri Milana...."
"Hemm, kenapa kepada Puteri Milana?"
Jenderal itu menatap tajam wajah pendekar itu. Bun Beng menahan getaran jantungnya dan bersikap tenang dan biasa saja.
"Siapa lagi yang dapat melindunginya selain puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu? Kalau Syanti Dewi berada di bawah perlindungannya, barulah hatiku akan merasa tenang."
"Baiklah, Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga orang, kesemuanya laki-laki, yang paling besar telah hilang, dan aku akan senang sekali menganggap dia sebagai anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai ada kesempatan bagiku untuk mengantarnya sendiri kepada Puteri Milana."
Gak Bun Beng seketika mengangkat kedua tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri.
"Budimu amat besar, dan aku tidak akan melupakannya, Goanswe!"
Jenderal Kao memandang wajah itu makin tajam penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan berkata,
"Gak-taihiap, engkau memutarbalikkan kenyataan dan demikian memang sifat pendekar-pendekar budiman. Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, kemudian membantuku membasmi pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah urusan ini dapat diatasi. Akan tetapi.... hemm, sungguh aneh sekali.... aneh sekali....!"
Gak Bun Beng yang duduk di atas kudanya di sebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya heran,
"Apakah yang aneh, Kao-goanswe?"
"Taihiap, pernahkah engkau mendengar Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun?"
Bun Beng memandang penuh pertanyaan, tidak mengerti mengapa jenderal itu menanyakan ini, mengingat-ingat, kemudian menggeleng kepalanya.
"Dan kurang lebih dua tahun yang lalu, pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang?"
"Shen-yang dekat kota raja?"
Jenderal itu mengangguk.
"Tidak pernah, Goanswe. Belasan tahun saya mengembara di gunung-gunung dan dusun-dusun, tidak pernah tinggal di kota besar."
Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk.
"Sudah kuduga demikian.... akan tetapi menurut berita, namanya juga Gak Bun Beng dan juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si Jari Maut...."
"Aiih, dahulu ketika pertama kali kita saling berjumpa, engkau pun menyebut Si Jari Maut. Siapakah dia dan apa sangkut-pautnya denngan saya, Kao-goanswe?"
"Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya, hanya menurut kabar, dia lihai sekali, lihai dan kejam. Namanya Gak Bun Beng, julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih muda, akan tetapi engkau pun belum tua benar, Taihiap."
"Hemm, tentu dia orang lain. Apakah pekerjaannya?"
"Dia merampok, membunuh, memperkosa...."
"Ahhh....!"
Bun Beng mengerutkan alisnya.
"Kalau begitu, tentu hanya ada dua kemungkinan."
"Maksudmu, Taihiap?" "Pertama, memang ada seorang penjahat keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang sama dengan saya. Ke dua, dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja hendak merusak nama saya. Yang mana pun kenyataan dari kedua kemungkinan itu, saya harus pergi mencarinya, Kao-goanswe."
Jenderal itu mengangguk-angguk.
"Saya lebih condong menyangka kemungkinan ke dua, Taihiap. Seorang yang lihai seperti Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok dengan golongan hitam dan kaum sesat, maka tidaklah aneh kalau ada yang mendendam dan kini membalas dengan cara memburukkan namamu."
Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya perlahan.
"Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah belasan tahun saya tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapa pun juga, saya akan melakukan penyelidikan."
"Berita itu mula-mula muncul dari Shen-yang, kemudian di sekitar daerah sebelah selatan kota raja. Ke sanalah kalau engkau hendak melakukan penyelidikan, Taihiap."
"Baik, hari ini juga saya akan berangkat setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi."
Setelah tiba di benteng, Gak Bun Beng segera menemui Syanti Dewi.
Akan tetapi puteri itu tidak berada di dalam kamarnya dan menurut pelayan, puteri itu sejak Gak Bun Beng dan Jenderal Kao berangkat, semalam suntuk tidak memasuki kamarnya dan berada di dalam taman. Bahkan para pelayan yang hendak menemaninya disuruh pergi semua. Cepat Bun Beng memasuki taman dan dengan langkah perlahan dia menghampiri puteri yang sedang duduk menutupi muka dengan saputangan yang basah air mata. Agaknya puteri itu menangis. Bun Beng mengerutkan alisnya dan menduga-duga. Selama dalam perjalanan yang amat susah payah, puteri yang sebetulnya lemah itu telah memperlihatkan sikap yang amat tabah dan tahan uji, tahan menderita, dan baru sekarang dia melihat puteri itu berduka dan menangis, bahkan, katanya semalam suntuk tidak meninggalkan taman itu!
"Dewi....!"
Saputangan basah itu terlepas, muka yang agak pucat dengan mata merah itu tampak, menengok, lalu dia meloncat, lari menghampiri sambil mengeluh panjang,
"Paman...., ahhh, Paman....!"
Syanti Dewi menubruk dan merangkul leher Bun Beng, menangis di atas dada pendekar itu. Bun Beng mengelus rambut kepala yang halus itu, berkali-kali menarik napas panjang dan memejamkan kedua matanya, kemudian baru ia berkata lirih,
"Aih, Dewi, kau kenapakah? Semalam engkau berada di taman dan engkau.... menangis? Apa yang menyusahkan hatimu? Apakah engkau masih berduka karena kematian adikmu Candra Dewi?"
Syanti Dewi terisak-isak dan mempererat pelukannya, kemudian dia melepaskan rangkulannya, memandang wajah pendekar itu, berusaha tersenyum akan tetapi kelihatan makin mengharukan.
"Maafkan aku, Paman....! Tentu saja aku masih berduka kalau teringat kepada Adik Candra, akan tetapi semalam aku.... aku cemas sekali memikirkan Paman...."
Bun Beng tersenyum dan kembali jantungnya seperti ditusuk. Betapa besar kasih sayang dara ini kepadanya! Mencemaskan keadaannya sampai tidak tidur semalam suntuk. Makin terasa olehnya betapa Puteri Bhutan ini mencintanya, makin tidak enaklah rasa hati Gak Bun Beng, apalagi dia juga merasakan betapa hatinya tertarik dan di situ terdapat kecondongan cinta kasih yang amat besar terhadap dara ini, seolah-olah pencurahan kasih sayangnya yang gagal dan terputus terhadap Milana kini dibelokkan ke arah Syanti Dewi! Bun Beng memaksa senyum untuk menutupi perasaan hatinya.
"Dewi, kau lucu sekali. Mengapa mengkhawatirkan aku?"
"Ada dua hal yang membuat aku merasa khawatir sekali dan yang membuat aku menangis, Paman. Sampai saat ini pun, biar Paman telah kembali dengan selamat, namun masih ada hal ke dua yang mencemaskan hatiku. Yang pertama, tadinya aku khawatir Paman akan celaka dan ternyata Paman telah kembali dengan selamat. Akan tetapi ada hal ke dua...."
Kembali Syanti Dewi menundukkan muka menahan tangisnya.
"Ada apakah, Dewi? Katakanlah kepadaku."
"Aku.... aku khawatir.... bahwa Paman.... Paman akan meninggalkan aku...."
"Ah, Dewi, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu?"
Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu memegang kedua lengan pendekar itu, wajahnya berseri, matanya bersinar penuh harapan.
"Jadi Paman tidak akan meninggalkan aku? Paman, berjanjilah bahwa Paman tidak akan pernah meninggalkan aku, bahwa kita tidak akan saling berpisah!"
Bun Beng menghela napas panjang.
"Aihh, bukan begitu maksudku, Dewi. Mengapa engkau mengkhawatirkan perpisahan antara kita yang memang sudah semestinya? Biarpun engkau sudah kuanggap sebagai keponakan sendiri, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa kita bukanlah sanak kadang, bukan keluarga. Antara kita tidak ada ikatan keluarga, dan memang aku akan melanjutkan perjalananku, meninggalkan engkau di sini bersama Jenderal Kao yang menganggap kau sebagai anak sendiri...."
"Tidak....! Aku ikut denganmu, Paman."
Bun Beng menggeleng kepala.
"Aku seorang yang hidup sebatangkara, tidak tentu tempat tinggalku, tidak tentu makanku, mana mungkin engkau ikut?"
"Biar! Aku akan ikut ke mana pun engkau pergi!"
"Perjalanan hidupku hanyalah menghadapi kesengsaraan belaka...."
"Aku tidak takut! Aku bersedia menderita sengsara di sampingmu, Paman."
"Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan, Dewi! Diantara kita tidak ada ikatan apa-apa, tidak ada hubungan keluarga dan...."
"Siapa bilang tidak ada ikatan apa-apa, Paman?"
"Maksudmu...."
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak terasakah oleh Paman akan adanya ikatan yang amat erat diantara kita, ikatan batin yang amat kuat? Dan Paman masih mengatakan tidak ada ikatan apa-apa? Mengapa aku, seorang puteri yang biasanya hidup serba mewah dan mudah, dapat melakukan perjalanan yang sukar dan menderita dengan hati tetap bergembira dan berbahagia di samping Paman? Bukankah itu membuktikan adanya ikatan yang amat luar biasa diantara kita?"
"Maksudmu....?"
"Maksudku....?"
Wajah itu pucat dan dari kedua matanya mengalir air mata di pipinya, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar.
"Masih perlukah kujelaskan lagi? Mengapa aku gelisah kalau Paman pergi? Mengapa aku setengah mati kalau Paman sakit? Mengapa aku berbahagia kalau berada di samping Paman? Perlukah kujelaskan lagi, Paman? Perlukah....?"
Syanti Dewi tersedu. Wajah Bun Beng pucat. Inilah yang ditakutinya, yang dikhawatirkannya selama ini. Bibirnya bergetar, alisnya berkerut, seluruh tubuhnya terasa menggigil.
"Kau.... kau....?"
"Aku cinta padamu, Paman! Kurasa Paman tidak buta untuk melihat hal itu...."
"Aku tahu.... aihh, Dewi.... aku tahu.... tapi...."
"Paman....!"
Syanti Dewi merangkul dan menangis di dada pria itu, dan Bun Beng juga memeluknya, mengelus rambutnya, mukanya ditengadahkan, menghadap ke angkasa seolah-olah dia mohon kekuatan dari atas, akan tetapi dia merasa ngeri untuk menyaksikan kenyataan ini sehingga kedua matanya terpejam. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk sambil berdiri dan tak bergerak seperti telah berubah menjadi arca. Ketika Syanti Dewi yang tadinya menangis di dada pria itu merasa betapa tubuh itu bergoyang-goyang, dia mengangkat mukanya dan betapa kaget hatinya melihat Bun Beng menitikkan air mata! Pendekar sakti itu menangis!
"Paman....!"
Dia berseru kaget karena hal ini merupakan hal yang amat aneh dan luar biasa. Sukar dapat membayangkan betapa pendekar yang sakti itu, pria yang gagah perkasa, kuat dan budiman, dapat menangis! Gak Bun Bengg memejamkan kedua matanya, melepas pelukannya dan menghapus
(Lanjut ke Jilid 21)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
air mata di pipi dengan ujung lengan bajunya, kemudian terdengar suaranya agak parau,
"Syanti Dewi, duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Tenanglah dan jangan membiarkan perasaan mencengkeram hati kita."
Dengan pandang mata khawatir Syanti Dewi melepaskan pelukannya lalu duduk di atas bangku taman itu. Bun Beng juga duduk di sampingnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian setelah berulang kali menarik napas panjang, Bun Beng berkata, suaranya sudah tenang dan biasa kembali,
"Dewi, aku merasa berterima kasih dan terharu sekali bahwa engkau, seorang puteri kerajaan yang cantik jelita dan masih muda sudi memperhatikan dan menaruh hati kasih kepada seorang laki-laki seperti aku, miskin dan pengembara, sengsara dan sudah hampir tua...."
"Paman Gak Bun Beng! Apakah cinta kasih itu harus disertai usia dan kedudukan seseorang?"
"Tentu saja tidak, Dewi. Akan tetapi cinta kasih antara pria dan wanita yang menuju kepada perjodohan, sudah tentu harus memperhatikan hal itu, demi kebahagiaan dan kelangsungan perjodohan itu sampai selama hidupnya. Engkau masih muda, berdarah bangsawan, dan...."
"Cukup, Paman! Aku tidak mau mendengar hal itu lagi. Aku sekarang adalah seorang gadis yang tidak mempunyai apa-apa, yang sebatang kara pula seperti Paman.... dan aku.... aku tidak sanggup kalau harus hidup berpisah dari samping Paman."
"Dewi....! Pikirlah baik-baik, tidak mungkin keadaan kita ini dilanjutkan. Hari ini juga aku datang menemuimu untuk berpamit. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku, melanjutkan hidupku yang merana, dan aku tidak akan begitu kejam untuk menyeretmu ke dalam kehidupanku yang penuh derita ini. Aku hendak pergi, dan aku sudah membicarakan tentang dirimu kepada Jenderal Kao. Dialah yang akan mengatur kesemuanya demi kebaikanmu, Dewi...."
Gak Bun Beng sudah bangkit berdiri, akan tetapi Syanti Dewi juga meloncat bangun dan menubruknya, memegangi lengannya sambil menangis.
"Jangan, Paman.... Jangan tinggalkan aku.... ah, jangan tinggalkan aku, Paman.... aku tidak akan kuat menanggungnya...."
Bun Beng menjadi terharu sekali. Dia benar-benar merasa tidak tega dan berat melihat keadaan dara itu, dan dia hanya dapat mengelus rambut dara itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya. Ti-dak, pikirnya, dia tidak boleh menurutkan kelemahan hatinya, dia harus ingat akan masa depan gadis ini!
"Jangan begitu, Dewi. Aku melakukan ini demi masa depanmu sendiri, aku harus pergi, sekarang juga. Jenderal Kao akan mengurus segala keperluanmu, tinggal engkau rundingkan dengan dia yang menganggap kau sebagai anaknya. Dia dapat mengantarmu kembali ke Bhutan atau kota raja menghadap Kaisar...."
"Paman.... Paman Gak.... apakah Paman tidak cinta kepadaku?"
"Demi Tuhan.... satu-satunya orang yang kusayang sepenuh hatiku pada saat ini adalah engkau seorang, Dewi. Akan tetapi, ngeri aku membayangkan untuk mencintamu dengan disertai keinginan memiliki dirimu lahir batin. Aku.... ah.... agaknya luka di hatiku masih belum sembuh, aku belum berani lagi mencinta wanita.... pengalaman yang lalu.... ah, kau mengerti, Dewi. Betapapun juga, kalau ada orang yang kusayang, kukasihi sepenuh hatiku, selain dia.... ah, kiranya orang itu hanya engkau, Dewi...."
Gak Bun Beng memeluk erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin lagi melepaskan dara itu, kemudian mencium dahi yang halus itu, lalu tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan meloncat pergi, dalam sekejap mata saja lenyap dari pandangan Syanti Dewi, hanya suaranya saja yang terdengar, mengandung rintihan jiwa yang menggetar,
"Selamat tinggal, Dewi....!"
"Paman Gak....!"
Syanti Dewi menjerit dan lari ke sana ke mari mencari-cari, namun pendekar itu telah lenyap dan akhirnya dara ini menjatuhkan diri di atas tanah, berlutut sambil menangis sampai mengguguk. Sampai lama sekali dara itu menumpahkan kedukaan hatinya seperti itu, sampai lupa waktu.
"Syanti Dewi, anakku.... mengapa engkau berduka seperti ini?"
Syanti Dewi mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Jenderal Kao Liang berdiri di situ, mendengar jenderal itu tidak lagi menyebutnya tuan puteri, bahkan menyebutnya "anakku", hatinya yang penuh kecewa dan duka itu menjadi terharu.
"Paman....!"
Serunya sambil berlari ke depan lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenderal itu sambil menangis. Jenderal Kao Liang mengangkatnya bangun dan membiarkan gadis itu menangis dengan muka di atas dadanya, sambil mengelus rambut itu dengan hati penuh kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.
"Tenanglah, anakku. Jangan meneruskan hati yang gelisah dan duka. Engkau tentu menangisi kepergian Gak-taihiap, bukan?"
Tanpa menjawab, Syanti Dewi mengangguk. Jenderal itu menghela napas panjang lalu berkata,
"Dia memang seorang yang amat luar biasa, seorang pendekar besar yang patut dijunjung tinggi, patut dihormati, bahkan patut pula menerima kasih sayang dara seperti engkau. Aku mengerti, seorang gagah seperti dia tentu tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi jangan kau khawatir, Anakku. Jodoh tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipisahkan. Kalau memang sudah berjodoh, tentu kelak dapat berkumpul kembali."
Sambil menghibur, Jenderal Kao Liang mengajak puteri itu kembali ke dalam rumah sehingga akhirnya reda juga kedukaan hati puteri itu. Akan tetapi setelah dia tidak menangis lagi, Syanti Dewi lalu mengajukan permintaan kepada Jenderal Kao Liang untuk mengantarkannya ke kota raja, ke istana Puteri Milana!
"Apakah kau tidak ingin kembali saja ke istanamu di Bhutan?"
Jenderal Kao Liang bertanya.
"Tidak, saya ingin bertemu dan bicara dengan Puteri Milana!"
Jawab Syanti Dewi dengan tegas. Dia tidak mengatakan kepada jenderal itu bahwa dia ingin bertemu dengan Puteri Milana bukanlah untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk menegur puteri itu yang telah membuat hidup Gak Bun Beng menjadi sengsara! Dia ingin menegur Puteri Milana!
"Baiklah, Syanti Dewi. Akan tetapi kau bersabarlah, karena tidak mungkin aku mengantarmu sekarang. Aku sudah menyusun pelaporan ke kota raja dan aku akan menunggu jawaban pelaporan tentang pemberontakan di sini dari Kaisar. Kalau jawaban itu tiba, tentu aku harus menghadap ke sana dan engkau sekalian akan kuantarkan kepada Puteri Milana."
Terpaksa Syanti Dewi menanti dengan sabar dan menekan kedukaan hatinya yang selalu mengenangkan Gak Bun Beng, pendekar sakti yang amat dikagumi dan yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Kita tinggalkan dulu Puteri Syanti Dewi yang merana dan menderita kesengsaraan batin sebagai akibat cinta pertama itu dan kita mengikuti keadaan Candra Dewi atau Lu Ceng atau Ceng Ceng yang seolah-olah terkubur hidup-hidup di dalam dunia bawah tanah bersama nenek lumpuh Ban-tok Mo-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, melihat betapa Ceng Ceng membelanya ketika Siang Lo-mo datang menuntut diberikannya kitab catatan racun, timbul rasa sayang di dalam hati nenek lumpuh yang tidak waras lagi otaknya itu terhadap Ceng Ceng.
Dengan penuh kesungguhan hati mulailah nenek itu menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ceng Ceng, terutama sekali ilmu menggunakan racun-racun berbahaya ke dalam tubuh sehingga dalam waktu beberapa bulan saja Ceng Ceng telah berubah menjadi seorang "gadis beracun"
Yang amat menyeramkan karena bukan saja dara ini dapat mengisi hawa, pukulan dan serangannya dengan hawa beracun, akan tetapi juga dapat menggunakan racun ke dalam seluruh anggauta tubuhnya sehingga setiap tamparan, jamahan tangan, kalau dikehendakinya, dapat membuat lawan roboh dan tewas. Bahkan dengan pengerahan istimewa, gadis ini dapat membuat ludahnya beracun pula! Dengan amat tekun Ceng Ceng melatih dirinya dengan semua ilmu kaum sesat yang mengerikan itu dan dalam waktu tiga bulan dia telah memperoleh kemajuan hebat sehingga jauhlah kalau dibandingkan dengan sebelum dia terjerumus ke dalam sumur maut.
Memang nenek yang sudah putus asa untuk dapat membalas dendam sendiri kepada Siang Lo-mo, mewariskan ilmu-ilmunya kepada muridnya ini, dengan harapan agar kelak Ceng Ceng dapat membalaskan dendamnya kepada sepasang kakek kembar yang lihai itu. Bahkan catatan racun yang aslinya, tidak seperti yang diberikan kepada Siang Lo-mo yang mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja, telah diperlihatkan dan diserahkan kepada Ceng Ceng untuk dipelajarinya sehingga dara ini bukan saja menjadi ahli dalam ilmu silat beracun, juga ahli pula dalam soal segala macam racun sehingga dengan tuntunan kitab catatan kecil itu dia dapat menyembuhkan segala macam keracunan! Selain memperoleh ilmu silat dan ilmu tentang racun, juga Ceng Ceng memperoleh sebatang pedang dari gurunya, sebatang pedang yang indah dan ampuh, akan tetapi sudah direndam racun yang bermacam-macam, lama, dan amat jahatnya.
Pedang ini yang tadinya merupakan sebatang pedang pusaka ampuh, terbuat dari logam pilihan, oleh Ban-tok Mo-li telah diubah menjadi sebatang pedang iblis yang amat mengerikan dan oleh nenek itu diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan pada suatu senja, seperti biasa kalau sudah lelah berlatih, Ceng Ceng yang tidak ada bosan-bosannya itu memeriksa terowongan dan mencari-cari jalan rahasia dari mana datangnya Siang Lo-mo. Terutama sekali dia memeriksa terowongan di mana dahulu sepasang kakek kembar itu muncul karena dia yakin bahwa tentu di sekitar tempat inilah terdapat sebuah pintu rahasia. Dia sudah hampir setiap hari mengetuk, memukul, mendorong dan menarik batu-batu dinding terowongan itu tanpa hasil. Sekali ini ia melihat-lihat ke atas. Terowongan itu cukup tinggi, tidak kurang dari dua tombak tingginya, dan permukaan dindingnya agak kasar karena batu-batunya menonjol.
Kalau pintu rahasia itu tidak berada di kanan kiri dinding terowongan itu, apakah terdapat di atas, di langit-langit terowongan, pikirnya. Dia lalu mengangkat kakinya menginjak batu menonjol, lalu mengenjot tubuhnya ke atas, berpegang kepada batu menonjol di langit-langit, kaki yang sebelah lagi menginjak batu menonjol yang lain, kemudian dengan kedua tangannya, mulailah dia mengetuk-ngetuk dan mendorong atau menarik batu-batu menonjol di sekitar langit-langit terowongan itu. Tiba-tiba jantungnya berdebar tegang ketika sebuah batu menonjol yang dipegang tangan kirinya ketika dia dorong bergerak sedikit! Dia membenarkan letak kakinya mencari tempat berpijak yang kuat, kemudian mengerahkan tenaganya mendorong batu menonjol itu.
"Kraaakkkk....!"
Terdengar suara batu bergeser dan tampaklah sebuah lubang yang bergaris tengah hampir satu meter terbuka di langit-langit terowongan itu! Ceng Ceng hampir bersorak girang. Tentu saja sampai bertahun-tahun Ban-tok Mo-li tidak dapat menemukan pintu rahasia ini karena nenek yang bernasib malang itu telah lumpuh kedua belah kakinya dan tidak dapat mempergunakan lagi kakinya itu,
Sedangkan rahasia pintu terowongan di langit-langit itu hanya dapat ditemukan kalau orang menggunakan kedua kakinya untuk memanjat dan kedua tangan untuk menarik. Dan agaknya ini pula yang menjadi satu diantara sebab mengapa dua orang kakek kembar itu membikin lumpuh kaki Ban-tok Mo-li. Dengan hati girang sekali Ceng Ceng lalu meloncat turun, mengambil kitab catatan racun dan pedang Ban-tok-kiam pemberian subonya, kemudian dia lari kembali ke bawah pintu rahasia itu. Baru saja kedua kakinya bergerak hendak meloncat ke atas memasuki lubang itu, tiba-tiba terdengar suara berkaok ular besar yang melingkar di batu menonjol tak jauh dari lubang rahasia itu, kemudian dengan kaget Ceng Ceng mendengar suara teguran subonya,
"Ceng Ceng, kau hendak pergi ke mana membawa-bawa pedang dan kitab?"
Ceng Ceng terkejut sekali. Dia maklum bahwa dia harus pergi meninggalkan gurunya, karena tidaklah mungkin baginya untuk pergi mengajak subonya yang cacad kedua kakinya itu. Tanpa menjawab dia menyelinap di ujung terowongan untuk bersembunyi. Akan tetapi tiba-tiba tampak tubuh subonya yang merangkak cepat sekali datang dari dalam.
"Heh-heh, aku tahu kau berada di situ, Ceng Ceng. Kau mencurigakan sekali, tentu engkau telah menemukan pintu rahasia itu, bukan? Heh-heh, jangan kau tinggalkan tempat ini tanpa aku, muridku!"
"Tidak! Subo harus tinggal di sini, biar teecu yang keluar dan kelak teecu akan membalaskan dendam Subo terhadap Siang Lo-mo!"
"Heh-heh-heh, enak saja! Tidak, kau harus membawa aku atau kau tidak akan dapat pergi dalam keadaan hidup!"
Ceng Ceng maklum akan watak subonya yang amat kejam. Ancaman subonya itu tentu akan dilaksanakan kalau dia tidak mau menurut, akan tetapi dia pun tidak mau menyia-nyiakan jalan kebebasan ini. Dan keluar dari tempat itu bersama subonya bukanlah kebebasan namanya. Subonya lihai sekali dan sekali mereka keluar dari neraka di bawah tanah itu, dia akan dipaksa untuk memenuhi kehendak subonya di bawah ancaman maut.
"Tidak, Subo. Teecu akan pergi sendiri!"
Ceng Ceng meloncat ke atas, ke arah lubang dan pada saat itu dia tidak lengah, melainkan dengan waspada dia memandang ke arah subonya.
"Kalau begitu mampuslah!"
Ban-tok Mo-li menggerakkan tangan kanannya dan melayanglah sebuah benda bulat yang mengeluarkan sinar ke arah Ceng Ceng dengan kecepatan hebat. Ceng Ceng terkejut.
Dia maklum bahwa subonya memiliki senjata-senjata rahasia yang aneh-aneh dan dia belum sempat mempelajarinya. Dia tidak tahu senjata rahasia apakah yang dipergunakan subonya saat itu untuk menyerangnya, maka dia mengambil keputusan untuk mengelak dengan jalan meloncat turun kembali karena dia tidak berani menangkis atau menendang bola yang meluncur ke arahnya itu sebelum dia tahu benda macam apa yang dipergunakan untuk menyerangnya selagi tubuhnya melayang ke atas itu. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan meluncur dari atas menyambar ke arah bola yang melayang itu. Ceng Ceng sudah bergantung ke pinggir lubang sambil memandang ke bawah. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang meluncur itu adalah ular besar yang dengan moncong terbuka lebar menyambar ke arah senjata rahasia berupa bola itu.
"Ular tolol! Jangan....!"
Terdengar Ban-tok Mo-li yang sudah tiba di bawah tempat itu berteriak. Namun terlambat karena ular itu sudah mencaplok benda melayang itu dan terdengarlah bunyi ledakan keras dan tampak api bernyala besar membakar tubuh ular itu yang terpaksa melepaskan belitannya pada batu, jatuh ke bawah merupakan api berkobar-kobar. Terdengar jerit melengking mengerikan dan Ceng Ceng terbelalak memandang, lalu dia meloncat turun sambil berteriak,
"Subo....!"
Akan tetapi gadis ini hanya berdiri bingung dengan jari-jari tangan saling cengkeram, tidak tahu harus berbuat bagaimana melihat subonya yang tertimpa ular itu kini juga terbakar secara hebat! Melihat ular dan subonya bergulingan dan berkelojotan tanpa dia mampu menolong sedikit pun, Ceng Ceng memejamkan matanya, tidak tega menghadapi peristiwa yang amat mengerikan itu, kemudian dia meloncat lagi memasuki lubang terowongan, lalu merangkak dengan cepat melalui terowongan yang ternyata amat panjang dan gelap itu. Terowongan yang gelap itu ternyata amat panjang, berlika-liku dan selalu naik. Dara itu tidak tahu sampai berapa jauhnya dia merangkak-rangkak, kaki dan tangannya sampai terasa lelah, namun mengenangkan gurunya dia merasa ngeri dan terus melanjutkan perjalanan yang sukar itu tanpa berhenti.
Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, kadang-kadang terowongan itu sempit dan licin basah, kadang-kadang melalui lantai yang penuh batu tajam dan runcing, akhirnya dia berhenti karena jalan itu buntu. Selama menempuh perjalanan sukar sambil merangkak-rangkak itu, dia harus meraba-raba dengan kedua tangannya karena amat gelap. Kini pun dia meraba-raba dan mendapat kenyataan mengejutkan bahwa jalan itu berhenti dan buntu, di depannya adalah dinding batu. Ketika dia meraba-raba lantai yang penuh dengan benda-benda berserakan seperti batu-batu besar, tiba-tiba keadaan di situ menjadi agak terang dan dia cepat mengangkat muka memandang ke atas. Hampir dia berteriak saking kaget dan heran, juga girangnya, dan cepat dia bangkit berdiri. Betapa enaknya rasa tubuhnya berdiri seperti itu setelah berjam-jam merangkak terus!
Kiranya tempat itu merupakan sebuah sumur yang cukup tinggi, biarpun tentu saja tidak setinggi sumur di padang pasir, sumur maut di mana dia terjungkal. Dan cuaca di dasar sumur itu menjadi makin terang, bahkan kini terdengar suara-suara orang di atas sumur! Ceng Ceng terkejut dan cepat menyelinap bersembunyi ke terowongan sambil mengintai ke atas. Tampaklah obor-obor dipegang tangan banyak orang, lalu tampak kepala-kepala orang yang kelihatannya aneh dan menyeramkan dari bawah itu. Keadaan menjadi makin terang dan ketika dia melihat lagi ke atas lantai sumur, hampir saja Ceng Ceng menjerit. Pantas saja sejak tadi dia mencium bau yang amat tidak enak, bau busuk, bau bangkai! Hanya karena dia sudah melatih diri dengan ilmu yang membuat tubuhnya beracun, maka tadi dia tidak begitu merasakan hal ini.
Sekarang, setelah keadaan menjadi terang oleh sinar banyak obor di atas sehingga dia dapat melihat bahwa benda-benda berserakan yang disangkanya batu-batu tadi ternyata adalah tumpukan tulang-tulang dan tengkorak manusia, barulah dia tahu bahwa tempat itu merupakan gudang tulang-tulang manusia, bahkan ada tulang-tulang yang masih belum bersih betul, masih ada sisa hancuran dan cairan bekas tubuh manusia yang tentu saja berbau busuk sekali! Ceng Ceng memandang lagi ke atas. Agaknya terdapat kesibukan-kesibukan di atas sumur itu, akan tetapi suara orang-orang itu tidak terdengar jelas, karena campur aduk tidak karuan. Tiba-tiba tampak oleh Ceng Ceng betapa banyak tangan manusia mengangkat sesuatu kemudian melemparkan benda yang panjang ke dalam sumur itu! Dengan cepat Ceng Ceng merangkak mundur ke dalam terowongan dan merasa ngeri karena dia sudah menduga benda apakah itu yang dilempar ke bawah.
"Bukkk!"
Benda itu terbanting keras dan betul dugaannya bahwa benda itu adalah mayat seorang manusia! Dia tidak sempat melihat apakah mayat itu laki-laki atau wanita, yang jelas bahwa mayat itu telanjang bulat dan jatuh menimpa tulang-tulang yang berserakan di tempat itu, karena agaknya orang-orang yang berada di atas itu mulai pergi meninggalkan sumur sehingga keadaan kembali menjadi gelap pekat. Ceng Ceng terpaksa merangkak mundur sampai belasan meter dari dasar sumur itu. Dia akan menanti sampai terang. Kalau dia mengingat-ingat akan waktu yang dipergunakan untuk merangkak-rangkak tadi, dia dapat menduga bahwa saat itu tentu sudah lewat tengah malam dan kiranya pagi tidaklah lama lagi.
Dia lalu rebah terlentang di dalam terowongan, beristirahat. Dia akan mencari jalan keluar kalau sudah pagi dan terang, dan untuk menanti datangnya pagi, dia memilih terowongan sempit ini daripada dasar sumur yang luas akan tetapi penuh dengan tulang dan mayat manusia. Tentu saja Ceng Ceng tak dapat tidur sekejap mata pun. Hatinya terlalu tegang dan dia ingin lekas-lekas dapat keluar dari tempat itu. Hatinya girang sekali ketika sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam sumur itu. Ketika dia merangkak ke dasar sumur, hatinya jijik sekali melihat mayat telanjang seorang laki-laki tua yang dilempar dari atas semalam, dia menujukan perhatiannya ke atas tanpa banyak membiarkan pandang matanya melihat ke bawah. Tepat seperti diduganya malam tadi bahwa pasti ada jalan keluar karena terowongan rahasia ini adalah yang dilalui Siang Lo-mo,
Dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun sumur itu dalamnya tidak kurang dari lima belas meter, namun dia sanggup naik melalui dindingnya yang kasar dan penuh batu-batu dan injakan kaki. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Ceng Ceng merayap atau mendaki naik dengan harap-harap cemas agar jangan sampai ada muncul orang yang mengganggunya setelah dia tiba di luar sumur. Ketika akhirnya dia meloncat keluar, ternyata sumur itu berada di tengah hutan di lereng gunung! Bukan di tengah padang pasir lagi! Pantas saja kalau terowongan itu banyak mendaki, kiranya membawanya ke lereng bukit. Dan sumur itu adalah sebuah kuburan! Agaknya penduduk di sekitar daerah ini mempunyai cara penguburan yang aneh, yaitu melemparkan mayat-mayat dalam keadaan telanjang bulat ke dalam sumur ini!
Sepasang Pedang Iblis Eps 32 Sepasang Pedang Iblis Eps 17 Sepasang Pedang Iblis Eps 42