Kisah Sepasang Rajawali 33
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 33
Melihat orangnya, Si Kucing Liar ini memang sama sekali tidak menyeramkan, sebaliknya malah, setiap orang laki-laki, tua maupun muda, kalau dia waras otaknya dan tidak buta, sudah tentu akan mengakui akan kecantikan Mauw Siauw Mo-li. Cantik jelita dan manis sekali dia, wajahnya bulat telur dengan dagu kecil meruncing, tulang pipinya sedikit menonjol sehingga membuat lekuk yang manis, dahinya melengkung halus dan putih, dihias anak rambut tipis halus di bawah rambut hitam yang disisir ke belakang, lalu rambut yang hitam subur dan amat panjang itu digelung dengan model indah sekali di atas kepala, seperti gelung kaum puteri istana, merupakan hiasan kepala yang aneh akan tetapi menarik, rambutnya dihias pula dengan kembang-kembang terbuat dari emas dan batu kemala hijau.
Alisnya hitam kecil panjang tanpa dibantu alat, memang bagus bentuknya, dan sepasang matanya amat indah dan hidup, lebar dan bening sekali, kadang-kadang dapat mengeluarkan sinar tajam menembus jantung, kadang-kadang keras seperti baja dan dingin seperti salju, akan tetapi kadang-kadang, dibarengi suara rintihan seperti kucing merayu, mata itu mengeluarkan sinar yang halus lembut dan penuh kehangatan dan janji muluk. Bulu matanya lentik panjang, menambah kein-dahan sepasang mata itu. Hidungnya sedang saja, akan tetapi mulutnya! Banyak pria menelan ludah kalau menatap mulutnya karena setiap gerak bibirnya mengandung janji kenikmatan dan ke-mesraan yang menggairahkan. Wajah yang cantik jelita ini masih ditambah lagi oleh bentuk tubuh yang langsing, ramping padat berisi dengan lekuk-lengkung yang penuh kewanitaan dan kelembutan.
Pendeknya, Si Kucing Liar ini memiliki tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk membangkitkan gairah berahi kaum pria, dan semua gerak-geriknya menunjukkan kecondongan yang khas seperti telah dikhususkan untuk bercinta. Akan tetapi di balik semua kecantikan yang mempesonakan ini bersembunyi sesuatu yang membuat semua orang bergidik dan merasa ngeri. Wanita ini dapat membunuh siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa berkedip! Dan kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menggetarkan semua petualang di utara. Selain itu, yang membuat orang bergidik ngeri, adalah kebiasaan wanita ini yang suka mengeluarkan suara seperti seekor kucing, dan celakalah kalau terdengar suara ini. Pasti disusul dengan matinya seorang atau lebih dalam keadaan yang mengerikan!
Siluman kucing ini sebenarnya adalah seorang wanita yang kini menjadi setan yang haus akan belaian pria. Semenjak berusia enam belas tahun, dia telah menjadi janda karena setelah menikah selama satu tahun suaminya meninggal dunia! Di waktu menjanda, beberapa kali dia diambil isteri muda oleh bermacam orang, akan tetapi semua itu telah gagal. Ada yang mati secara aneh, ada pula yang meninggalkannya karena mengejar lain perempuan. Semua pengalaman ini membuat dia menjadi seorang yang binal. Kemudian dia diambil sebagai seorang peliharaan oleh seorang tokoh besar dari Korea, yaitu guru dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang kakek yang bernafsu dan tenaganya melebihi orang-orang muda! Setelah menjadi kekasih kakek ini, barulah ada yang kuat bertahan menjadi pasangan atau "suami"
Wanita cantik ini sampai belasan tahun lamanya!
Si kakek tidak pernah menjadi bosan karena memang kekasihnya ini muda, kuat dan cantik jelita, penuh gairah hidup dan penuh nafsu berapi-api. Sebaliknya, wanita itu pun merasa cukup puas karena Si Kakek memang luar biasa, seorang yang memiliki kesaktian hebat dan yang amat menyenangkan hatinya adalah karena dia yang disayang mulai menerima latihan-latihan ilmu-ilmu silat yang tinggi. Demikianlah, dia menjadi kekasih dan juga murid, menjadi sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo, bahkan karena "suaminya"
Amat sayang kepadanya, dia diberi ilmu-ilmu simpanan sehingga kepandaiannya dapat mengimbangi suhengnya dan melebihi sucinya! Namun, suami atau guru itu akhirnya menyerah juga terhadap kekasihnya yang tak pernah mengenal puas dalam permainan cinta nafsu itu, juga menyerah terhadap usianya yang tinggi. Dia meninggal dunia meninggalkan tiga muridnya.
Wanita cantik jelita yang baru berusia tiga puluh tahun itu kembali menjadi janda. Akan tetapi berbeda dengan dahulu, dia kini adalah seorang janda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, juga merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan yang telah "matang", dan celakanya, nafsunya menjadi makin menggila, dia menjadi seorang wanita yang haus akan laki-laki dan semua kehausan itu dipuaskannya kapan saja dan di mana saja dia bertemu dengan pria yang muda dan tampan. Tentu diculiknya pria itu, dirayunya dan hampir tidak ada pria yang dapat bertahan terhadap rayuan mautnya sehingga bagaikan mabok setiap pria yang dirayunya akan jatuh ke dalam pelukannya, dibuai oleh rayuan,
Belain dan permainan cintanya sehingga seperti seekor lalat yang tertangkap di sarang laba-laba, meronta-ronta namun tak dapat lepas, dihisap sari tubuhnya perlahan-lahan sampai habis dan kering, kemudian mati dalam keadaan masih bermimpi nikmat! Entah sudah berapa puluh, berapa ratus atau berapa ribu orang laki-laki yang telah menjadi korbannya. Celaka bagi Kucing Liar ini, makin dicari makin banyak dia memeluk pria yang menjadi korbannya, makin hauslah dia, makin tak terpuaskan dan dia masih terus mencari-cari karena dia pun rindu akan cinta kasih seorang pria saja. Kalau saja dia berhasil menemukan seorang pria yang dapat dijadikan teman hidup selamanya! Akan tetapi selalu pria yang dinikmatinya itu akan menjemukan hatinya kemudian, menimbulkan kebencian sehingga dibunuh tanpa pria itu sadar dari kenikmatan.
Ciri khas dari wanita ini adalah suara yang keluar dari kerongkongannya, suara seperti kucing, bahkan persis kucing dan suara ini otomatis keluar dari kerongkongannya apabila perasaannya tersentuh dan bergelora, di waktu dia marah, bingung, senang dan terutama sekali di waktu dia bermain cinta! Dan suara kucing inilah yang membuat dia dijuluki orang Siluman Kucing atau Kucing Liar! Selama bertahun-tahun ini, baik Hek-wan Kui-bo yang merupakan nenek buruk rupa, dan Mauw Siauw Mo-li yang cantik jelita, selalu berkeliaran di daerah utara, di antaranya gurun pasir dan pegunungan sehingga nama mereka hanya terkenal di kalangan suku bangsa Mongol, Mancu, dan di perbatasan Negara Korea. Dunia kang-ouw di selatan atau pedalaman tidak ada yang mengenal nama-nama ini. Akan tetapi karena mereka berdua menerima undangan dari suheng mereka, Hek-tiauw Lo-mo untuk datang ke Koan-bun, maka berangkatlah mereka sendiri-sendiri ke Koan-bun.
Seperti kita ketahui, nenek buruk Hek-wan Kui-bo Si Lutung Hitam telah membantu pemberontak karena dia melihat kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mernbantu pemberontak. Adapun Mauw Siauw Mo-li masih berkeliaran karena dia sudah mulai ketagihan karena sudah beberapa lama tidak pernah bertemu dengan pemuda tampan. Kebetulan dia melihat rombongan anggauta Tiat-ciang-pang yang hendak keluar dari kota itu dan dia tertarik oleh A Ciang yang segera
(Lanjut ke Jilid 32)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 32
diincarnya sebagai korbannya malam itu. Kini, Si Gendut dan teman-temannya melewatkan malam itu di daerah batu gunung berkapur itu. Malam terlalu gelap bagi mereka untuk dapat melanjutkan perjalanan mereka. Pada keesokan harinya, dari jauh mereka melihat pasukan berkuda datang lagi ke tempat itu. Mereka segera berunding. Kini jumlah mereka hanya tinggal lima belas orang.
"Kita tidak bisa lari,"
Si Gendut ber-kata.
"Kalau kita melarikan diri, tentu akan tampak oleh mereka dan dikejar terus. Lebih baik kita bersembunyi dan setelah mereka pergi, baru kita melanjutkan perjalanan ke selatan, bergabung dengan pasukan pemerintah."
"Ihhhh.... begitukah sikap orang-orang gagah, hanya bersembunyi saja seperti segerombolan pengecut?"
Tiba-tiba terdengar suara halus ini. Mereka terkejut dan cepat menengok. Kiranya di belakang mereka telah berdiri wanita cantik yang malam tadi telah memukul mundur pasukan yang membakar ladang ilalang! Tentu saja mereka menjadi girang, akan tetapi juga merasa ngeri karena munculnya wanita ini seperti setan saja, tidak ada yang mengetahuinya dan tidak ada yang mendengarnya, pula, mereka juga masih bingung memikirkan kematian A Ciang yang demikian anehnya.
"Ah, kiranya engkau yang datang, Kouw-nio? Kami amat berterima kasih atas bantuan Kouw-nio yang demikian besar dan maafkan kami yang tidak tahu bahwa Kouw-nio adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian setinggi langit,"
Kata Si Gendut. Bibir yang merah itu mencibir, akan tetapi kelihatannya tambah manis!
"Kalau kalian memang bermusuhan dengan pasukan itu, kenapa tidak menyambut mereka dengan perlawanan?"
"Jumlah kami hanya lima belas orang, dan mereka ada lima puluh orang lebih...."
"Lima belas orang sudah terlalu banyak untuk menghadapi pasukan itu. Kalau kalian dapat membuat mereka terpencar dengan jalan menyelinap di balik batu-batu ini, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba seperti kucing menerkam tikus, apa sih sukarnya mengalahkan mereka? Aku pun akan berpesta mem-bantu kalian menghadapi mereka."
Semua, orang berseri wajahnya.
"Dengan Kouw-nio sebagai pimpinan kami, apa lagi yang kami takuti? Kami tidak takut sekarang!"
Si Gendut berkata.
"Benar, kami tidak takut kalau Kouw-nio yang sakti membantu kami!"
Teriak seorang lain, yaitu yang masih muda dan yang sejak tadi memandang ke arah dada wanita itu dengan mata seperti mata seekor anjing melihat tulang! Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bersama Kucing Liar berdiri memperlihatkan diri menanti datangnya pasukan yang dipimpin oleh perwira muda berkuda putih itu. Perwira itu tinggi besar dan gagah, kelihatannya tangkas dan lihai.
"Kalian permainkan pasukan itu, akan tetapi berikan perwira itu kepadaku. Biar aku yang menghadapinya!"
Mauw Siauw Mo-li berkata sambil tersenyum dan dari kerongkongannya keluar suara lirih melengking seperti suara kucing! Mendengar ini, Si Gendut dan teman-temannya menggigil dan merasa serem, teringat mereka akan suara kucing itu malam tadi ketika mereka berada di dalam ladang ilalang.
"Cepat menyebar dan bersembunyi....!"
Wanita itu berkata dan begitu pasukan itu sudah mendekat, mereka menyelinap ke kanan kiri dan bersembunyi di balik batu-batu kapur itu. Akan tetapi Kucing Liar tidak bersembunyi, bahkan berdiri dengan dada yang sudah busung itu dibusungkan lagi dan matanya memandang tajam kepada perwira muda yang menahan kendali kudanya. Kuda putih itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya dan perwira itu mengayun pedangnya, gagah bukan main.
"Haii kalian mata-mata hina! Menyerahlah sebelum kami bunuh semua!"
Mauw Siauw Mo-li tersenyum.
"Apakah engkau juga mau membunuh aku, Ciangkun (Perwira) muda yang gagah perkasa?"
Dia malah melangkah maju menghampiri kuda yang meringkik-ringkik itu. Perwira muda itu terkejut melihat bahwa di antara para mata-mata yang dikejarnya itu terdapat seorang wanita yang begini cantik dan menariknya.
Akan tetapi karena dia maklum bahwa mata-mata pemerintah banyak yang pandai dan merupakan orang-orang berbahaya yang harus dibasminya, maka sambil berseru keras dia menggerakkan kudanya maju ke depan menerjang wanita cantik itu sambil mengayun pedangnya. Akan tetapi dengan mudah sekali Si Kucing Liar mengelak ke kiri. Empat orang perajurit menyambutnya dengan senjata golok mereka, menyerang dengan berbareng untuk membantu komandan mereka. Amat mudah bagi wanita itu untuk mengelak sambil tersenyum dan kaki tangannya bergerak, maka robohlah empat orang itu tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja Si Perwira Muda terkejut sekali, kudanya diputar dan kembali pedangnya menyerang dari atas kuda dengan dahsyat.
"Ihh, benarkah engkau kejam hendak membunuhku?"
Mauw Siauw Mo-li bertanya halus sambil terkekeh dan matanya mengerling genit. Pedang itu bersuitan menyambar-nyambar, namun tak pernah dapat menyentuh baju wanita itu yang mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti gerakan seekor burung walet. Tiba-tiba dia berseru,
"Turunlah kau!"
Dan sambil mengelak tangannya terus menyambar ke samping.
"Crotttt....!"
Tangan yang berjari kecil-kecil dan runcing halus itu masuk ke dalam perut kuda seperti ujung golok saja. Kuda putih itu meringkik kesakitan, melonjak-lonjak dan ketika perwira itu berusaha menenangkannya, kakinya ditarik dan robohlah dia, terjatuh dari atas kuda yang terus melarikan diri itu. Melihat komandannya jatuh, delapan orang anggauta pasukan cepat menerjang wanita itu sehingga Si Perwira sempat bangkit kembali. Maka dikeroyoklah wanita itu dan dikepung rapat. Namun, Mauw Siauw Mo-li hanya tersenyum-senyum saja dan tubuhnya tidak banyak bergerak, seolah-olah menanti datangnya serangan.
Hebatnya, siapa saja yang berani mendahului menyerang-nya, kalau tidak roboh tentu senjatanya terlempar karena dengan gerakan cepat sekali kaki atau tangan wanita cantik itu sudah menangkis tangan yang memegang pedang atau golok. Sementara itu, Si Gendut dan kawan-kawannya juga mulai melakukan perang kucing-kucingan dan berhasil mero-bohkan banyak lawan dengan penyergapan tiba-tiba lalu menyelinap dan lari bersembunyi lagi di belakang batu-batu yang amat banyak terdapat di tempat itu. Pasukan yang menunggang kuda sudah turun semua dari kuda masing-masing karena makin berbahayalah bagi mereka kalau mengejar sambil menunggang kuda. Akan tetapi tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan teriakan gemuruh.
Ternyata yang datang adalah pasukan terdiri dari seratus orang, pasukan bantuan yang keluar dari kota Koan-bun karena perwira yang cerdik itu sudah mengirim seorang utusan berkuda untuk mendatangkan bala bantuan. Melihat ini, paniklah para anggauta Tiat-ciang-pang. Mereka lalu bersembunyi dan biarpun tetap melakukan perang kucing-kucingan atau perang gerilya, namun karena para anggauta pasukan itu kini mengejar dan mencari mereka dengan berkelompok mengandalkan banyak orang, Si Gendut dan kawan-kawannya tidak berani sembarangan menyergap seperti tadi. Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li dikepung dengan ketat sekali oleh banyak lawan. Biarpun tidak merasa gentar, wanita ini menjadi lelah dan jemu juga, maka sambil tertawa dia lalu meloncat ke belakang, melempar benda hitam ke depan.
"Darrr....!"
Benda itu meledak dan belasan orang perajurit musuh yang berdiri rapat itu roboh! Para pengeroyok dan pengepungnya terkejut dan kacau, lari berlindung ke kanan kiri. Hanya terdengar suara seperti kucing terpijak ekornya dan ketika mereka memandang lagi setelah asap hitam membubung ke atas, ternyata wanita itu telah lenyap.
"Kejar mereka! Cari mereka sampai dapat. Tangkap atau bunuh! Terutama wanita itu yang tentu menjadi pemimpin mereka!"
Perwira itu dengan hati penasaran dan marah memberi aba-aba.
Terjadilah kejar-kejaran sampai sehari penuh. Wanita itu lenyap, dan belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang terpaksa terus melarikan diri dan selalu bersembunyi-sembunyi di balik batu-batu gunung sampai akhirnya mereka terdesak di pegunungan batu kapur terakhir, dekat gurun pasir. Kalau dikejar terus, mereka akan terpaksa lari ke arah padang pasir yang berbahaya. Akan tetapi ketika itu, hari telah berganti malam dan baik yang dikejar maupun yang mengejar, sudah lelah sekali sehingga masing-masing melewatkan malam sambil beristirahat. Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan para anggauta Tiat-ciang-pang. Mereka dikejar-kejar sehari penuh, terus berlarian dan kini mereka mengaso tanpa ada ransum sama sekali sehingga selain kehabisan tenaga, mereka pun lapar dan lemas. Tidak demikian dengan pasukan itu yang tentu saja dapat makan ransum dari perlengkapan mereka.
Akan tetapi malam itu, di pihak pasukan yang jumlahnya kini seratus orang lebih itu terjadi keributan. Komandan mereka, Si Perwira Muda yang tadi masih tampak makan minum sambil duduk di atas batu-batu, tiba-tiba kini lenyap! Kejadiannya amatlah aneh. Ketika itu, perwira mereka masih tampak makan minum di dekat api unggun, wajahnya agak keruh karena perwira ini merasa jengkel sekali tidak dapat membasmi belasan orang buruannya. Tiba-tiba terdengar suara kucing. Di tempat yang sunyi menyeramkan itu terdengar suara kucing, tentu saja merupakan hal yang amat aneh dan semua orang menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dari mana datangnya suara kucing itu. Suara itu makin keras, seolah-olah Si Kucing makin dekat di tempat itu.
"Kucing keparat!"
Seorang perajurit memaki sambil menyambar tombaknya.
"Kalau kau dapat olehku, akan kusate dagingnya!"
"Haii, Lai-ciangkun ke mana?"
Teriakan ini terdengar dari seorang perajurit yang tadi duduknya tidak jauh dari perwira itu. Semua orang memandang dan terheran-heran. Kemudian berlarian mendatangi dan saling pandang, sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Perwira muda itu lenyap!
Mangkoknya yang masih berisi sayuran yang agaknya baru dimakannya, terguling dan sepasang supitnya juga berceceran. Semua orang mencari, akan tetapi tidak melihat jejak perwira dan lapat-lapat dari jauh terdengar suara kucing mengeong! Untuk mencari lebih jauh mereka tentu saja tidak berani karena tidak ada yang memerintah mereka, dan mereka tahu betapa berbahayanya mencari di waktu malam gelap itu, di mana sewaktu-waktu musuh dapat muncul dan menyerang mereka dari tempat gelap. Mereka terpaksa menanti-nanti dengan hati berdebar tegang, menanti datangnya pagi. Sementara itu, di antara batu-batu gunung kapur, di mana Si Gendut dan kawan-kawannya bersembunyi dengan tubuh lelah, perut lapar dan hati tegang penuh kekhawatiran, juga terjadi peristiwa yang menegangkan.
Karena pegunungan yang sunyi melengang itu tiba-tiba menjadi menyeramkan ketika mereka semua mendengar suara kucing mengeong-ngeong! Dan suara kucing itu makin lama makin ramai, persis seperti keadaan mereka ketika bersembunyi di dalam ladang ilalang kemarin malam, suara kucing betina merengek-rengek, merintih-rintih dan seperti suara kucing kalau sedang memadu kasih di bawah terang bulan di atas genteng! Mendengar suara ini, mereka semua menjadi secem dan otomatis mereka saling mendekati dan berkumpul di dalam sebuah guha, bersama-sama mendengarkan suara yang menyeramkan itu. Jumlah mereka tinggal tiga belas orang karena ada beberapa orang yang tewas di waktu pertempuran gerilya siang tadi.
"Menyeramkan....!"
Si Gendut mengomel.
"Tentu suara siluman kucing."
"Mengingatkan aku akan kematian A Ciang."
"Hushh, jangan sembarangan. Mungkin itu memang kucing penduduk yang tersesat di sini."
"Ah, mana bisa! Kucing tersesat yang kebingungan atau ketakutan tentu suaranya satu-satu, berulang-ulang. Tapi itu.... hemm, dengarkan.... suaranya merengek tinggi rendah, persis suara kucing kawin!"
"Suaranya datang dari atas sana, di mana banyak batu-batu besar...." "Sudah,"
Si Gendut akhirnya berkata untuk meredakan ketegangan hati kawan-kawannya.
"Suara apa pun adanya itu, besok pagi-pagi sekali kita melihatnya sambil melarikan diri. Kalau besok kita tidak dapat melarikan diri dari mereka itu, berarti kita semua akan mati konyol."
Suara kucing itu terdengar terus-menerus semalam suntuk, hanya kadang-kadang berhenti beberapa lama lalu diulang lagi. Hal ini mendatangkan suasana menyeramkan sehingga tiga belas orang pelarian itu sama sekali tidak dapat tidur dan hati mereka selalu tegang. Mereka menanti datangnya pagi dengan tidak sabar lagi. Di tempat sesunyi itu, gelap pekat lagi, dalam keadaan terancam pasukan musuh yang berada tidak jauh di belakang mereka, mendengar suara kucing yang penuh rahasia itu sungguh amat menegangkan hati dan syaraf mereka.
Pada keesokan harinya, baru saja terang tanah dan memungkinkan mereka bergerak, tiga belas orang ini sudah menyelinap di antara batu-batu menuju ke atas bukit terakhir yang penuh dengan batu-batu besar itu. Suara kucing sudah tak terdengar lagi sejak tadi. Tiba-tiba mereka berhenti dan Si Gendut menudingkan telunjuknya ke depan, mereka semua berindap maju beberapa langkah untuk dapat melihat dengan jelas. Di dalam keremangan pagi, tampak olehnya seorang wanita yang pakaiannya awut-awutan setengah telanjang, sedang duduk di atas batu besar membelakangi mereka. Rambut wanita itu hitam dan panjang sekali, agaknya dilepas dari sanggulnya, terurai ke bawah dan kini wanita itu sedang menyisiri rambutnya, kadang-kadang mengulet.
Dipandang dari tempat itu, dia menyerupai seekor kucing besar yang sedang mengulet-ulet dan menjilat-jilati bulu-bulunya! Akan tetapi yang membuat tiga belas orang itu terbelalak dengan muka pucat adalah ketika mereka melihat sebujur tubuh pria tinggi besar telentang di dekat batu itu, telanjang bulat dan lehernya tampak merah penuh darah, akan tetapi mulutnya seperti orang tersenyum. Persis seperti keadaan A Ciang yang mati sambil tersenyum dan lehernya penuh guratan-guratan seperti dicakar kucing! Mereka bergidik! Apalagi ketika melihat bahwa tak jauh dari tempat mayat itu rebah, terdapat setumpuk pakaian perwira! Teringat kepada A Ciang, Si Gendut menjadi marah sekali. Jelas bahwa wanita siluman inilah yang telah membunuh A Ciang, maka dia lalu mengajak teman-temannya untuk menerjang maju sambil berseru,
"Siluman kucing keparat!"
Dua belas orang meloncat dan menerjang, mengepung batu besar di mana wanita itu menyisir rambutnya. Yang seorang lagi, seorang muda dengan muka pucat, tidak ikut menyerang karena kedua lututnya sudah menjadi lemas dan menggigil tak dapat digerakkan. Pemuda ini bukan seorang penakut. Menghadapi musuh manusia, dia amat gagah berani tidak takut mati. Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu takut sekali kepada setan dan iblis. Baru mendengar ceritanya saja, dia sudah menggigil. Apalagi sekarang dia berhadapan dengan siluman kucing, siluman yang benar-benar! Maka dia tidak mampu bergerak, hanya menonton sambil bersembunyi, seluruh tubuhnya menggigil.
"Hi-hi-hik!"
Wanita itu terkekeh genit sambil membalikkan tubuhnya dan bangkit berdiri di atas batu.
"Ahhh....!"
"Ohhhh....!"
"Kauw-nio....!"
Semua orang terbelalak memandang. Wanita itu bukan lain adalah Si Wanita Cantik yang telah menolong mereka, kini berdiri dengan tegak di atas batu, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan tembus pandangan sehingga tampak bentuk tubuhnya yang mulus dan menggairahkan, rambutnya terurai panjang sampai ke lutut, matanya bersinar-sinar.
"Kalian memaki aku siluman kucing keparat? Nggg....!"
Kembali terdengar suara lengking dahsyat seperti pekik kucing takut air, dan tiba-tiba mata mereka menjadi silau melihat berkelebatnya tubuh wanita itu melayang turun dan menyambar ke arah mereka. Terdengar bunyi pekik susul-menyusul dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu. Setiap kali jari-jari tangan Mouw Siauw Mo-li bergerak dan kukunya yang runcing merah itu menyambar, tentu seorang lawan roboh dan akhirnya tinggal Si Gendut yang menjadi marah dan menyerang dengan goloknya. Namun dengan mudah Kucing Liar itu mengelak, kemudian dari samping sambil mengelak tadi tangan kirinya menyambar ke depan.
"Crottt....! Retttt....!"
Tubuh Si Gendut terjengkang dan dari perutnya yang pecah oleh tusukan tangan kanan Mouw Siauw Mo-li memancar darah merah, sedangkan lehernya penuh dengan guratan kuku tangan kiri, juga mengucurkan darah. Orang kurus pucat yang bersembunyi, memandang dengan terbelalak dan hampir saja dia pingsan. Hanya terdengar suara kucing menangis, makin lama makin lirih dan wanita itu sudah lenyap dari situ.
Si Kurus Pucat ini memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk pergi dari situ, menyelinap di antara batu-batu, jatuh bangun dan hampir terkencing-kencing saking takutnya, akan tetapi akhirnya dia dapat juga berlari jauh dan tujuannya hanya satu, yaitu kembali ke selatan dan melaporkan semua itu kepada pemimpinnya yang baru, yaitu Nona Lu atau Lu-bengcu. Rombongan pasukan yang setelah pagi tiba kini berani mencari-cari komandannya, kini telah tiba di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa geger keadaan mereka ketika menemukan komandan mereka dalam keadaan telanjang bulat telah menjadi mayat, mayat yang tersenyum seolah-olah ketika mati dia berada dalam keadaan yang amat menyenangkan. Dan tak jauh dari situ terdapat mayat-mayat dua belas orang buronan yang berserakan malang-melintang,
Semua terluka di leher oleh bekas-bekas cakaran seperti yang terdapat pula di leher perwira komandan mereka. Terpaksa pasukan ini menggotong mayat komandan mereka, kemudian kembali ke Koan-bun untuk melapor, dan di sepanjang perjalanan, tiada hentinya mereka bicara tentang semua keanehan itu yang muncul bersama dengan suara kucing! Wajah Ceng Ceng menjadi merah saking marahnya mendengar pelaporan anggauta Tiat-ciang-pang yang kurus bermuka pucat itu. Mendengar kematian Si Gendut dan kawan-kawannya di tangan Siluman Kucing, dia hanya menjadi heran dan penasaran. Akan tetapi mendengar akan sikap Tek Hoat yang ternyata melanggar janjinya, tidak mencari jejak pemuda laknat musuh besarnya dan tidak pula memenuhi untuk tidak mencampuri urusan pemberontakan, dia menjadi marah.
"Keparat, manusia itu memang palsu dan licik!"
Bentaknya sambil mengepal tinju.
"Dia memang seorang kaki tangan pemberontak, Nona,"
Si Topeng Setan yang selalu menemaninya itu berkata lirih.
"Itulah yang menjemukan! Dia menjadi wakilku dan dia menjadi kaki tangan pemberontak, berarti menyeret namaku ke dalam lumpur pengkhianatan pula. In-kong, kita kerahkan semua anak buah dan kita membantu pemerintah membasmi pemberontak di utara, kita berangkat sekarang juga!"
Biarpun Si Topeng Setan telah menjadi wakilnya, namun Ceng Ceng tetap menyebutnya In-kong (Tuan Penolong), karena selain dia masih berterima kasih, juga sebetulnya dia menarik Si Topeng Setan ini dengan maksud untuk mempelajari ilmunya yang tinggi dan tentu saja untuk membantunya membalas dendamnya terhadap pemuda laknat yang dia tahu amat lihai itu.
"Akan tetapi, mengapa engkau merepotkan diri mencampuri urusan negara, Nona? Apa artinya kekuatan kita yang terdiri dari beberapa ratus kaum sesat ini menghadapi pemberontakan yang terdiri dari laksaan tentara yang terlatih?"
"In-kong, apa engkau tidak mendengar laporan tadi? Di utara sudah mulai geger, pemberontak mulai bergerak menduduki Koan-bun. Lebih lagi, menurut pelaporan tadi, Jenderal Kao dan Puteri Milana juga sudah mulai menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontak. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja? Ketahuilah, aku adalah keturunan patriot, semenjak dahulu nenek moyangku adalah kaum patriot yang mempertaruhkan nyawa untuk nusa bangsa. Kakekku adalah bekas pengawal kaisar yang setia! Apakah aku harus diam saja melihat negara dalam bahaya, terancam oleh kaum pemberontak?"
Sepasang mata Topeng Setan berkilat-kilat tanda kagum mendengar ucapan dan melihat sikap ini.
"Akan tetapi, engkau mempunyai urusan pribadi yang lebih penting lagi, bukan?"
Ceng Ceng mengepal tinjunya.
"Tentu! Urusan pribadiku adalah urusan mati hidup, selama hidupku aku tidak akan pernah berhenti sebelum musuh besarku itu dapat kubunuh!"
Kini sepasang mata Topeng Setan memandang dengan lesu, seolah-olah dia tidak setuju dengan sikap ini.
"Akan tetapi, dibandingkan dengan urusan negara, urusan pribadiku ini tidak ada artinya. Maka, aku harus memimpin semua patriot, biarpun mereka itu dari golongan sesat, untuk membantu pemerintah mengusir pemberon-tak dan di samping itu, tentu saja aku juga akan mencari musuh besarku di sana!"
Topeng Setan tidak banyak cakap lagi, lalu memanggil para anggauta Tiat-ciang-pang dan memerintahkan agar semua golongan sesat di daerah itu dikumpulkan, dipanggil untuk diajak berangkat ke utara membantu pemerintah. Setelah semua orang golongan sesat berkumpul, yaitu mereka yang memang mempunyai jiwa patriot, Ceng Ceng lalu memerintahkan mereka dengan sedikit kata-kata saja.
"Pada saat seperti ini, negara membutuhkan bantuan kita. Tunjukkanlah bahwa kalian bukan hanya manusia-manusia tidak berguna saja, melainkan kalau keadaan menghendaki, kalian dapat menjadi patriot yang tidak segan mengorbankan nyawa demi negara. Negara terancam bahaya kaum pemberontak hina-dina, maka berangkatlah kalian semua ke utara dan gabungkan diri dengan kesatuan yang anti pemberontak di sana. Contohlah perbuatan anggauta Tiat-ciang-pang yang telah mengorbankan nyawa demi negara. Nama mereka akan selalu dijunjung tinggi sebagai patriot, bukan sebagai manusia sesat yang dianggap rendah."
Ceng Ceng memang tidak mau membentuk suatu pasukan, karena selain dia sendiri tidak tahu caranya membentuk pasukan, juga hal itu akan lebih sukar diaturnya, bahkan dapat dicurigai kalau mereka berangkat sebagai pasukan.
Maka dia hanya menyuruh mereka masing-masing atau merupakan kelompok-kelompok kecil untuk berangkat ke utara dan di sana menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang ada. Dia sendiri lalu berangkat bersama Topeng Setan menuju ke utara. Seperti telah dilakukannya semenjak dia tinggal bersama Ceng Ceng sebagai pembantunya, di sepanjang perjalanan Topeng Setan mengajarkan teori-teori silat tinggi kepada Ceng Ceng, dan dilatih prakteknya sewaktu mereka berhenti mengaso atau melewatkan malam. Ceng Ceng kagum bukan main karena memang ilmu silat yang diajarkan oleh Topeng Setan kepadanya itu amat hebat, bahkan kadang-kadang sukar baginya untuk menerima atau menguasainya karena memang dasar ilmu silatnya sendiri yang dia pelajari dari kakeknya tidak dapat menandingi tingkat ilmu yang diajarkan oleh Topeng Setan.
Namun, Si Topeng Setan dengan amat tekun dan sabar memberi penjelasan kepadanya dan memberi contoh-contoh gerakannya sehingga Ceng Ceng yang memang cerdas itu dapat segera menangkap intinya. Hanya satu hal yang membuat Ceng Ceng penasaran dan tidak puas melakukan perjalanan dengan orang ini, yaitu sikapnya yang penuh rahasia, topeng yang tak pernah dicopotnya, dan orangnya yang pendiam dan jarang sekali bicara kalau tidak ditanya. Dia tidak memaksa atau membujuk orang itu membuka topengnya. Hal ini adalah karena sudah saling berjanji ketika Topeng Setan itu menjadi tawanan, atau memang sengaja menyerahkan diri karena kini Ceng Ceng maklum bahwa kalau dia menghendakinya,
Topeng Setan itu akan dengan mudah mengalahkannya dan tak mungkin dapat tertawan semudah itu. Ketika menjadi tawanan, Ceng Ceng dan Si Topeng Setan sudah saling berjanji, yaitu Ceng Ceng tidak akan membuka topengnya, tidak akan menanyakan rahasianya akan tetapi orang itu pun berjanji akan menjadi pembantu Ceng Ceng dan akan mengajarkan ilmu kepadanya. Kini, Topeng Setan sudah menjadi pembantunya, dan sudah mengajarkan ilmu silat, berarti sudah memenuhi janji. Bagaimana dia dapat melanggar janji untuk membuka rahasia yang agaknya amat ditutupi itu? Betapapun juga, ketika mereka habis berlatih dan mengaso di bawah pohon untuk berlindung dari teriknya matahari, Ceng Ceng tidak dapat menahan keinginan tahunya dan berkata,
"In-kong, aku heran sekali mengapa orang sepandai engkau ini selalu menyembunyikan nama dan rupa, seolah-olah ada sesuatu yang kau rahasiakan sekali. Aku sudah berjanji tidak akan membuka topengmu, akan tetapi aku ingin sekali tahu mengapa engkau melakukan rahasia ini, menutupi keadaan dirimu sedemikian rupa? Agaknya engkau takut akan sesuatu atau seseorang?"
Topeng Setan yang duduk di depan Ceng Ceng, seperti tak disadari menggenggam sebuah batu dan batu itu remuk menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk.
"Memang aku takut."
Ceng Ceng mengerutkan alisnya.
"Aku tidak percaya! Sedangkan orang seperti aku saja sudah tidak mempunyai rasa takut lagi, apalagi engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi! Siapa yang kau takuti itu?"
Sejenak Topeng Setan tidak mau menjawab, dan Ceng Ceng tidak berani memaksa akan tetapi tak lama kemudian laki-laki itu berkata,
"Aku takut kepada diriku sendiri...."
"Ehhh....?"
Ceng Ceng berseru keras,
"Mengapa....?"
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Kemudian dia berkata,
"Nona sudah banyak bertanya, bolehkah aku juga mengajukan sebuah pertanyaan?"
"Hemmm, boleh saja, akan tetapi belum tentu aku dapat menjawabnya pula."
"Nona mempunyai seorang musuh besar yang menurut Nona amat Nona benci dan Nona akan mencarinya dan tak akan berhenti sebelum Nona dapat membunuhnya. Nona tidak tahu siapa namanya dan di mana dia berada, suatu hal yang amat sulit, dan menurut Nona, yang pernah melihat orangnya hanyalah Nona sendiri dan Ang Tek Hoat. Akan tetapi Tek Hoat agaknya lebih mementingkan pem-berontakan daripada mencari orang itu. Kalau aku boleh bertanya, mengapakah Nona begitu membenci musuh besar itu? Apa yang telah dilakukannya?"
Ceng Ceng menundukkan mukanya yang terasa panas. Dia menekan perasaannya, kemudian meng-angkat muka memandang topeng di depannya itu, menghela napas dan menggeleng kepalanya.
"Itu.... itu adalah rahasiaku, tidak dapat aku memberitahukan kepada orang lain."
Sejenak sunyi di situ. Keduanya seperti tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akhirnya Ceng Ceng yang berkata,
"Sekarang aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang dirimu, In-kong. Aku tahu bahwa setiap orang mempunyai rahasianya sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain. Biarlah aku tinggal dalam rahasiaku dan engkau dalam rahasiamu."
Topeng Setan mengangguk-angguk setuju.
Selanjutnya keduanya diam lagi sampai lama dan ketika Ceng Ceng perlahan-lahan mengangkat muka memandang, dia melihat Topeng Setan menundukkan muka, matanya terpejam dan kelihatannya berduka sekali! Melihat keadaan orang itu, timbul rasa iba di hatinya dan dia pun lupa akan kedukaannya sendiri. Tadi pun dia tenggelam ke dalam duka ketika pikirannya melayang-layang dan mengingat-ingat akan semua pengalamannya, akan nasibnya yang buruk. Akan tetapi melihat temannya begitu berduka, biarpun tidak kentara akan tetapi melihat pundak yang turun itu, muka yang tunduk dan mata yang terpejam dia dapat menduga bahwa Topeng Setan tenggelam ke dalam duka yang mendalam, dia lalu meloncat bangun dan berkata,
"Heii, mengapa tidur? In-kong, aku masih mendapat kesukaran memainkan jurus yang kemarin itu. Mari kita berla-tih!"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Topeng Setan terkejut, mengangkat muka dan sepasang matanya tidak muram lagi, menjadi bersinar dan dia pun meloncat bangun. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah bertanding, berlatih dengan sungguh-sungguh di tempat yang sunyi itu.
Beberapa hari kemudian, di waktu pagi mereka tiba di luar dusun Ang-kiok-teng yang tidak jauh lagi letaknya dari Koan-bun dan Teng-bun. Dan dari jauh mereka sudah mendengar suara perang yang amat gaduh. Ketika mereka lari mendekat mereka melihat pertempuran yang dahsyat dan mati-matian antara pasukan pemerintah melawan pasukan liar yang amat kuat. Hampir rata-rata anggauta pasukan liar itu terdiri dari orang yang tinggi besar dan kuat, ganas dan liar, gerakannya dahsyat sehingga dalam pertandingan satu lawan satu, bahkan satu dilawan dua atau tiga orang sekalipun, pihak pasukan pemerintah selalu kalah. Serbuan pasukan liar itu demikian kuatnya sehingga pihak pemerintah mulai main mundur dan melarikan diri memasuki dusun Ang-kiok-teng dikejar oleh pasukan liar.
"Ahhh.... mereka itu seperti pasukan dari barat, pasukan Tambolon!"
Ceng Ceng berseru. Dia pernah melihat pasukan liar ketika rombongan utusan kota raja diserbu, yaitu ketika dia mengawal Puteri Syanti Dewi, dan dia sudah banyak mendengar tentang pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon. Dia lalu mengajak Topeng Setan untuk berlari cepat dan menggunakan kepandaian mereka untuk meloncati pagar dan memasuki dusun Ang-kiok-teng untuk membantu pasukan pemerintah yang sudah tinggal seperempat jumlahnya itu. Sorak-sorai gegap gempita terdengar ketika pintu gerbang didobrak bobol dari luar, dan membajirlah pasukan liar itu memasuki dusun Ang-kiok-teng.
Dugaan Ceng Ceng tadi memang tidak keliru. Pasukan itu adalah pasukan Raja Tambolon yang memimpin sendiri pasukan itu menyerbu dusun Ang-kiok-teng, dusun yang telah "diberikan"
Oleh Panglima Kim Bouw Sin kepada Tambolon, untuk dijadikan markas dan dibolehkan untuk diduduki, dirampas segala-galanya dan Raja Tambolon beserta pasukannya boleh berbuat apa saja terhadap dusun itu dan seluruh penduduknya! Panglima Thio Luk Cong yang menjadi komandan pasukan pemerintah di front terdepan itu, memang terkejut sekali ketika menghadapi penyerbuan pasukan liar ini. Dia telah mengerahkan kekuatan pasukannya untuk melawan, akan tetapi ternyata pasukan liar itu hebat bukan main dan biarpun lebih banyak jumlahnya, pasukannya tidak mampu bertahan dan terpaksa dia menarik mundur pasukannya ke dalam dusun Ang-kiok-teng.
Panglima Thio naik ke menara dan mengatur pasukannya dari atas menara, melakukan penjagaan-penjagaan ketat dan menyerukan agar penduduk Ang-kiok-teng tidak menjadi panik melainkan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membantu pasukan melawan para penyerbu liar itu. Akan tetapi, semua usahanya percuma saja karena tak lama kemudian, pintu gerbang dapat dibobolkan dari luar. Terjadilah perang lagi yang kacau-balau, perang di dalam dusun itu. Selagi Thio-ciangkun mengepal-ngepal tinjunya dengan gemas melihat kekalahan anak buahnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang naik ke menara. Enam orang pengawal panglima itu cepat menerjang dengan pedang mereka, akan tetapi Ceng Ceng berseru,
"Tahan! Kami bukan musuh, kami malah datang untuk melindungi komandan!"
Thio-ciangkun terkejut dan memandang penuh curiga, terutama sekali kepada Si Topeng Setan.
"Siapa kami bukan hal penting, Ciangkun. Kami adalah rakyat yang tidak rela melihat adanya pemberontakan dan melihat musuh yang menyerbu dusun ini dan keadaan Ciangkun yang terancam, kami datang hendak membantu dan melindungi."
Thio Luk Cong memandang penuh selidik, kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
"Terima kasih banyak atas bantuan dan kebaikan Ji-wi...."
Pada saat itu, dari bawah menyambar dua batang anak panah yang menuju ke arah tubuh perwira itu.
"Huhhh!"
Si Topeng Setan mengeluarkan suara dari hidungnya dan ketika kedua tangannya bergerak,
Dua batang anak panah itu telah ditangkapnya dan sekali dia melontarkan ke bawah, terdengar pekik nyaring dan dua orang tinggi besar terjengkang roboh. Kiranya pasukan liar itu telah menyerbu sampai di tempat itu! Suara makin hiruk-pikuk dan kini diselingi suara jerit wanita dan teriakan-teriakan me-ngerikan dari mereka yang menyerbu. Di dalam dusun itu terjadilah peristiwa mengerikan, kekejaman perang yang semenjak ribuan tahun yang lalu terulang terus, puncak dari kemenangan nafsu atas diri manusia di mana terjadi kekejaman-kekejaman yang sukar dapat dibayangkan di waktu damai akan dapat dilakukan oleh manusia lain. Paaukan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon sendiri telah menghancurkan pertahanan pasukan pemerintah yang lari cerai-berai dan mulailah pesta kemenangan dalam perang seperti yang terjadi di mana-mana dan di jaman apa pun.
Semua kaum pria, baik yang masih anak-anak sampai yang sudah kakek-kakek, dibunuh di tempat tanpa ampun lagi, dan pembunuhan dilakukan dengan cara yang biadab pula. Penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan pada saat seperti itu mendatangkan kegembiraan luar biasa pada pihak yang menang seolah-olah perbuatan mereka itu merupakan suatu perbuatan gagah perkasa, tanda dari kekuasaan dan kemenangan. Kaum wanita mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi. Mereka diseret, dikumpulkan di jalan raya, ditelanjangi sama sekali, dan ibu-ibu muda dipisahkan dari anak-anak mereka, ada yang bayinya dibunuh dan disembelih di dalam pondongan ibunya. Suara jerit tangis, ratap dan rintih, bercampur aduk dengan suara gelak tawa.
Darah mengecat jalan raya, pintu-pintu rumah, ratap tangis membubung tinggi ke angkasa tanpa ada yang mendengar dan mempedulikannya. Pasukan yang merupakan gerombolan binatang buas itu amat kejam, akan tetapi sungguh mengherankan dan mengagumkan ketaatan mereka terhadap pimpinan. Seperti biasa, mereka membunuhi kaum pria, merampoki harta benda, dan menangkapi serta menelanjangi semua wanita, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mengambil harta untuk dirinya sendiri atau memperkosa wanita yang dipilihnya sendiri! Seperti biasa, mereka menanti sampai Raja Tambolon dan para pembantunya menentukan pilihan masing-masing atas wanita dan harta, dan baru setelah ada komando dari raja mereka,
Gerombolan liar ini akan benar-benar berpesta pora untuk diri mereka sendiri! Sisa pasukan pemerintah sebagian besar melarikan diri keluar dari dusun itu melalui pintu samping dan belakang, cerai-berai tanpa pimpinan. Ada pula se-bagian lagi yang lari ke menara dan di sini di bawah komando Thio-ciangkun melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir! Dan memang mereka itu tidak kuat menghadapi serbuan para pasukan itu, biarpun di situ terdapat Ceng Ceng dan Topeng Setan yang lihai dan yang merobohkan banyak sekali tentara pasukan liar. Akhirnya habislah semua perajurit pemerintah dan Ceng Ceng bersama Topeng Setan terpaksa meloncat naik ke atas menara di mana Thio-ciangkun bersama lima orang pengawal pribadinya siap untuk membela diri.
"Jangan khawatir, Ciangkun. Aku masih mempunyai akal untuk menghajar mereka!"
Kata Ceng Ceng dengan gemas, apalagi dari ternpat tinggi itu dia dapat melihat betapa penduduk dibunuhi dan wanita-wanita diseret dan ditelanjangi, dikumpulkan di jalan seperti domba-domba yang hendak dijual ke pasar!
Sambil bersorak-sorak pasukan liar itu mengepung menara. Ceng Ceng mengeluarkan sebuah bungkusan yang terisi bubuk hitam. Sebetulnya bubuk racun ini selalu dibawanya untuk bekal sebagai senjata yang ampuh dan tidak akan dipergunakan kalau tidak amat perlu. Akan tetapi melihat betapa menara itu dikepung dan dia bersama Topeng Setan tidak akan mungkin dapat menang menghadapi pasukan musuh yang begitu banyak jumlahnya, terpaksa dia akan mempergunakan bubuk racun yang dibawanya dari neraka di bawah tanah itu, bubuk racun buatan mendiang Ban-tok Mo-li. Setelah menyuruh Topeng Setan, Thio-ciangkun dan para pengawalnya mundur ke dalam menara, Ceng Ceng lalu menyebarkan racun itu di sekeliling menara.
yang merupakan bubuk hitam lembut itu terbawa angin dan tidak tampak. Akan tetapi tak lama kemudian terjadilah geger di bawah menara! Mula-mula hanya beberapa orang saja yang berteriak-teriak sambil menggaruki leher, muka dan tangan, bagian tubuh yang tidak tertutup, akan tetapi makin digaruk, rasa gatal yang amat hebat, makin memasuki baju dan di lain saat mereka itu sudah bergulingan, merintih-rintih dan menggaruki seluruh tubuh mereka. Dan hal aneh ini disusul oleh teman-teman yang lain, sehingga menjadi belasan orang, puluhan dan akhirnya tidak kurang dari seratus orang anggauta pasukan liar itu bergulingan, saling tindih, bahkan mulai saling pukul karena menjadi seperti gila oleh rasa gatal yang menyiksa tubuh mereka!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan sisa pasukan liar cepat mundur menjauhi mereka. Dari atas menara, Ceng Ceng melihat munculnya dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian petani dan membawa pikulan, yang ke dua berpakaian pelajar. Mereka ini bukan lain adalah Si Petani Maut Liauw Kui, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, keduanya adalah pengawal-pengawal pribadi Tambolon yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ketika mereka melihat betapa amat banyak anggauta pasukan mereka yang mendadak bergulingan seperti orang sekarat di bawah menara, mereka cepat datang dan memerintahkan pasukan untuk cepat menjauhkan diri dari menara. Kimonga, komandan pasukan, kini menceritakan kepada mereka bahwa tadi terdapat seorang gadis cantik yang menyebar sesuatu dari menara dan akibatnya seperti itulah.
"Hemm, dia menggunakan racun yang amat berbahaya!"
Kata Liauw Kui.
"Kalau tidak ditolong, anak buah kita itu bisa celaka!"
Kata pula Yu Ci Pok.
"Kita harus melaporkan kepada Sri Baginda!"
Kimonga berkata dengan khawatir sekali. Kalau harus kehilangan seratus orang lebih, sungguh merupakan hal yang amat merugikan dan hebat.
"Benar, harus lapor,"
Dua orang pengawal Raja Tambolon itu mengangguk, kemudian mereka pergi untuk mencari Raja Tambolon yang sedang menikmati hasil kemenangan pasukannya itu.
"Kurung menara dari jauh, siapkan barisan anak panah!"
Kimonga lalu mengatur pengepungan sehingga menara itu dikepung ketat oleh ratusan orang perajurit yang siap dengan gendewa dan anak panah. Sedangkan mereka yang menjadi korban racun itu masih bergulingan dan merintih-rintih di atas tanah di bawah menara. Raja Tambolon sedang berdiri dan mengelus-elus brewoknya di depan hampir dua ratus orang wanita itu. Dia tersenyum girang, akan tetapi hatinya agak kecewa. Raja yang memiliki kepandaian tinggi ini bukanlah scorang yang haus wanita, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa dia tidak pernah menikmati wanita-wanita rampasan sebagai hasil menang perang. Akan tetapi wanita-wanita dusun itu baginya kurang menarik dan akhirnya hanya ada seorang gadis saja yang dipilihnya. Dia menunjuk dan gadis itu lalu didorong dan dibawa pergi oleh seorang perwira.
Gadis itu dipisahkan dari yang lain. Sungguh mengerikan melihat pemandangan di waktu itu. Wanita-wanita bertelanjang bulat diharuskan berdiri dan ditonton oleh banyak mata pria yang bersinar-sinar penuh nafsu berahi, yaitu mata dari para tentara pasukan liar itu. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menutupi anggauta badan mereka dengan rambut dan tangan, akan tetapi hal ini justeru menambah gairah mereka yang memandangnya. Setelah memilih seorang gadis saja, Tambolon lalu memilih di antara barang-barang rampasan. Juga dia kecewa karena ternyata penduduk dusun itu tidak dapat dibilang kaya-raya. Pada saat itu, datanglah Liauw Kwi dan Yu Ci Pok, melaporkan tentang keadaan anak buah mereka di bawah menara.
"Keparat! Kiranya ada orang pandai di sini! Kenapa kalian tidak memberi hajaran kepada mereka?"
Bentak Tambolon marah sekali mendengar bahwa seratus lebih orang-orangnya sekarat di bawah menara.
"Kami menanti perintah Paduka, karena yang penting adalah bagaimana caranya menyela-matkan anak buah kita itu,"
Yu Ci Pok menjawab. Dengan langkah lebar Tambolon lalu diantar oleh dua orang pengawalnya itu menuju ke menara. Dia melihat betapa menara itu telah dikurung ketat, dan melihat pula seorang gadis cantik dan seorang laki-laki bermuka seperti setan di atas menara, melindungi Thio-ciangkun yang berada di dalam menara.
"Gendewaku....!"
Raja Tambolon berseru dan cepat seorang perwira pembantunya menyerahkan gendewa raja itu, sebatang gendewa yang amat berat dan kuat. Raja itu menyambar gendewanya, lalu mengambil sebatang anak panahnya yang terbuat dari baja dan berbulu merah, lalu memasang anak panah itu di gendewanya, menarik gendewa dan membidik ke arah Topeng Setan yang berdiri di dekat Ceng Ceng di atas menara.
"Reeeettt.... singgg....!"
Bagaikan kilat saja anak panah itu meluncur ke arah Si Topeng Setan, karena Tambolon menganggap bahwa laki-laki kasar tinggi besar bermuka setan itulah yang agaknya merupakan lawan berat. Sinar kilat itu menyambar ke arah dada Topeng Setan. Orang ini tentu saja mengerti dari suara dan kilatan anak panah itu bahwa serangan anak panah ini amat berbahaya, tidak seperti anak panah lain, akan tetapi dengan tenang dia menggunakan tangannya yang dimiringkan menangkis dari samping.
"Plakk....! Sing....!"
Anak panah itu tertangkis membalik, menyambar ke bawah dan terdengar teriakan mengerikan disusul robohnya seorang perajurit karena lehernya tertembus anak panah rajanya sendiri itu! Wajah Tambolon menjadi merah, dan dia mengangguk-angguk.
"Boleh juga,"
Gerutunya, kemudian dia memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di sekeliling menara. Setelah itu, dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat sehingga suaranya bergerna di seluruh tempat, dia berseru,
"Haiii.... komandan pasukan kerajaan yang berada di menara! Pasukanmu telah kami hancurkan dan menara ini sudah kami kepung dan sewaktu-waktu dapat kami bakar habis berikut engkau dan pengikut-pengikutmu! Akan tetapi melihat kegagahan pengikutmu, kami mengajukan usul kepadamu! Obati perajurit-perajurit kami yang keracunan dan kami akan memberi kesempatan kepadamu untuk melarikan diri! Kalau tidak, biarlah kami kehilangan seratus orang perajurit, akan tetapi menara ini akan kami bakar dan kalian di atas akan menjadi bangkai-bangkai hangus!"
Thio-ciangkun lalu berkata kepada Ceng Ceng,
"Lihiap dan Taihiap, harap kalian suka cepat melarikan diri. Ji-wi (Anda Berdua) memiliki kepandaian, tentu dapat lolos, saya adalah seorang komandan yang pasukannya telah hancur, seperti seorang nahkoda yang kapalnya sedang tenggelam. Biarlah saya melawan sampai napas terakhir."
"Tidak!"
Ceng Ceng membantah.
"Engkau masih dibutuhkan oleh negara, Ciangkun, tidak ada gunanya melawan seperti membunuh diri."
Lalu dia melangkah maju, menjenguk ke bawah dan memandang kepada laki-laki yang tinggi besar brewokan yang dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa dialah rajanya atau pemimpin pasukan liar itu, kemudian dia mengeluarkan suara nyaring,
"Heii, pimpinan musuh yang berada di bawah, dengarlah! Yang meracuni pasukan itu adalah aku! Kami setuju dengan pertukaran itu, biarlah Thio-ciangkun dan pengawalnya keluar dari dusun ini tanpa gangguan, kemudian aku akan menyembuhkan semua orangmu yang terkena racun!"
Tambolon terkejut dan merasa heran sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda cantik jelita itulah yang lihai.
"Baik!"
Teriaknya, kemudian menoleh kepada anak buahnya berkata,
"Buka jalan untuk Thio-ciangkun, biarkan dia pergi!"
Para perajurit itu amat takut dan taat kepada raja mereka yang keras, maka cepat mereka membuka jalan. Ceng Ceng setengah memaksa dan membujuk Thio-ciangkun menuruni menara itu bersama lima orang pengawalnya yang berjalan mengelilingi komandan mereka di kanan kiri, depan dan belakangnya, sedangkan Ceng Ceng dan Topeng Setan mengiringkan di belakang dengan sikap tenang.
"Sediakan enam ekor kuda yang baik untuk mereka!"
Ceng Ceng berkata, sikapnya memerintah dan penuh wibawa. Raja Tambolon kembali terkejut, lalu dia tertawa bergelak, hatinya senang sekali! Raja ini adalah seorang kasar dan liar yang berilmu tinggi, dan tidak ada yang disenangi di dunia ini kecuali kegagahan dan keberanian. Kini melihat sikap Ceng Ceng, dia kagum bukan main dan hatinya senang sekali. Biasanya, dia menganggap wanita hanya sebagai mahluk lemah yang hanya memiliki kecantikan dan yang hanya untuk menyenangkan dan menghibur hati pria, mahluk lemah yang biasanya paling banyak hanya menangis! Akan tetapi kini melihat sikap Ceng Ceng, yang demikian tabah penuh keberanian dan kegagahan, dia terkejut, heran, kagum dan senang sekali.
"Sediakan enam ekor kuda, tolol kalian semua! Hayo cepat!"
Teriak Tambolon dengan keras lalu tertawa lagi bergelak. Ceng Ceng memandang laki-laki tinggi besar brewok itu dengan kagum. Sudah lama dia mendengar nama besar Raja Tambolon, dan baru sekarang dia melihat orangnya. Seorang jantan aseli, seperti seekor binatang yang liar, akan tetapi dia tahu bahwa manusia ini berhati seperti binatang, penuh kekerasan dan kekejaman, seorang manusia yang dapat membunuhi manusia-manusia lain dengan kedua tangan tanpa berkedip sedikit pun. Setelah Thio-ciangkun dan lima orang pengawalnya menunggang kuda dan meninggalkan dusun itu dengan cepat. Topeng Setan berkata kepada Ceng Ceng,
"Nona, lekas berikan obat pemunah racun dan mari kita cepat pergi dari sini."
Ceng Ceng mengangguk, mengeluarkan bungkusan obat bubuk putih dan menyerahkannya kepada Tambolon sambil berkata,
"Inilah obat penawarnya. Campur dengan air, suruh mereka minum seorang seperempat cawan kecil, tentu sembuh. Kalau tidak ditolong obat ini, mereka akan menggaruk terus sampai kulit dan daging mereka terkupas habis!"
Tambolon menerima bungkusan itu dan ketika Ceng Ceng dan Topeng Setan hendak pergi, Tambolon tertawa,
"Tunggu dulu, tidak semudah itu! Ha-ha-ha!"
Ceng Ceng dan Topeng Setan memandang ke sekeliling dan ternyata mereka telah dikurung rapat oleh ratusan orang perajurit itu!
"Hemm, Tambolon, apa artinya ini?"
Ceng Ceng membentak. Raja Tambolon terkejut.
"Eh, kau sudah tahu siapa aku, Nona? Bagus, eng-kau memang hebat, bukan seorang biasa. Ingat akan janjimu tadi, Nona. Kami telah membebaskan Thio-ciangkun, akan tetapi orang-orangku belum sembuh, belum kau sembuhkan, mana mungkin kami membiarkan kalian lolos? Mari, kalian menjadi tamu-tamuku sambil menanti sembuhnya orang-orangku."
Ceng Ceng dan Topeng Setan terpaksa menerima undangan ini.
Mereka kagum akan kecerdikan Tambolon, akan tetapi juga mereka menduga-duga apakah orang ini dapat dipercaya dan akan membebaskan mereka berdua setelah orang-orangnya sembuh kembali. Ceng Ceng dan Topeng Setan dipersilakan naik ke menara dan tempat itu segera dibersihkan dan diaturlah meja besar di atas menara karena Raja Tambolon dan dua orang pengawalnya itu hendak menjamu dua orang ini dengan makan minum. Mengagumkan juga betapa di dalam dusun yang sudah rusak itu, anak buah Raja Tambolon dengan mudah dan cepat dapat mempersiapkan pesta yang cukup meriah, dengan masakan dan minuman pilihan! Setelah makan minum dihidangkan memenuhi meja, Tambolon mengisi cawan arak dan mengangkat cawannya mengajak dua orang tamunya minum sambil berkata,
Sepasang Pedang Iblis Eps 44 Sepasang Pedang Iblis Eps 37 Sepasang Pedang Iblis Eps 41