Kisah Sepasang Rajawali 40
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 40
"Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya ja-wab,"
Katanya singkat. Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik, pikir Milana.
"Pertanyaanku yang pertama adalah pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?"
Tek Hoat sendiri sudah pernah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena dia tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya,
"Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo."
"Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!"
Milana berseru.
"Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya."
Milana mengangguk-angguk. Heran sekali dia mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.
"Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi."
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan ke dua.
"Sekarang pertanyaanku ke dua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Mengapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggu-nakan nama lain orang?"
Kini dengan suara ketus karena diingatkan kepada musuh besarnya, dia menjawab,
"Memang, semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati."
"Ah keparat bermulut lancang!"
Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.
"Jangan terburu nafsu, Bu-te!"
Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Akan tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali.
"Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suhengku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar kuhancurkan mulutmu!"
Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong.
"Apa katamu? Dia.... dia.... masih hidup?"
Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?
"Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bersama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi."
Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah.
"Aihh.... dia....? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu...."
Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama? Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!
"Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?"
Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik.
"Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu,"
Jawabnya.
"Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?"
Tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!
"Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya...."
"Ahhh....! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?"
Tek Hoat menggeleng kepalanya.
"Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali.... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu.... saya tidak akan dapat melawan...."
"Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!"
Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
"Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap,"
Kata Han Wi Kong. Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.
"Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Ke dua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan.... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, kalau engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit."
Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa. Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yanp angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun kini menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana!
Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada "orang-orang bersih"
Seperti mereka itu. Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata,
"Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana."
Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung. Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan diperbolehkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.
"Enci Milana, betapa pun juga, aku masih menganggap dia itu seorang yang berbahaya...."
Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap encinya yahg demikian lunak terhadap pemuda jahat itu. Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memega-ngi kepalanya.
"Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya.... dahulu.... ah, biarkan aku mengaso sambil mengingat-ingat...."
Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun. Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sin-kang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.
"Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimanapun juga, saya akan menanggung semua akibatnya karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi hati saya."
Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.
"Syanti Dewi, kau keluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati dikuasai kemarahan."
"Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!"
Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak menjadi marah mendengar tuduhan hebat ini.
"Syanti Dewi, aku yakin bahwa orang seperti engkau tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu tanpa alasan yang kuat. Jelaskanlah tuduhanmu itu dan tidak perlu menyimpan rahasia."
"Bibi Milana, mengapa Bibi melakukan kehidupan yang palsu ini? Bibi mencinta pria lain, akan tetapi menikah dengan pria lain lagi! Bibi membiarkan pria yang mencinta Bibi dan juga Bibi cinta itu hidup sengsara selamanya, hidup tersiksa dalam duka nestapa setiap saat, padahal pria yang sampai sekarang masih mencinta Bibi dengan seluruh tubuh dan nyawanya itu adalah orang yang sebaik-baiknya orang, dan yang tidak ada keduanya di dunia yang penuh dengan manusia palsu dan jahat ini!"
Syanti Dewi mengeluarkan kata-kata itu dengan cepat karena kata-kata itu sudah lama tersimpan di hatinya, matanya berapi-api dan mukanya kemerahan.
"Bibi Milana sungguh kejam sekali! Nah, puaslah sudah hatiku mengeluarkan umpatan yang sudah lama terkandung ini dan kalau Bibi marah dan hendak membunuhku, silakan!"
Wajah cantik Puteri Milana menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, dan pucat lagi. Dia memandang Syanti Dewi dengan mata terbelalak dan bibir gemetar, kedua tangan dikepal dan andaikata yang bicara itu bukan Syanti Dewi, agaknya puteri ini tentu sudah menggerakkan tangan untuk melakukan pukulan maut, dan kalau hal itu dilakukan, tentu Syanti Dewi sudah menggeletak tak bernyawa lagi!
"Bibi marah, akan tetapi aku tidak menyesal mengeluarkan semua ucapanku tadi, karena aku menuntut agar Bibi Mi-lana suka mengambil keputusan dan tidak membiarkan hidup seorang pria yang kujunjung tinggi itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak."
"Syanti Dewi...."
Suara Milana gemetar dan serak, seperti bisikan.
"Siapa.... siapa yang kau maksudkan dengan pria itu....?"
Dia bangkit perlahan, tidak peduli betapa kedua kakinya menggigil.
"Siapa lagi kalau bukan Paman Gak Bun Beng? Kalian saling mencinta dengan sepenuh jiwa raga, akan tetapi Bibi telah begitu tega untuk meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, membiar-kan dia merana sepanjang hidupnya."
"Oohhh...."
Tubuh Milana menjadi lemas, dia memejamkan matanya dan jatuh terduduk lagi di atas kursinya. Kemudian dia membuka lagi matanya yang menjadi kemerahan dan basah air, mata.
"Syanti Dewi.... dari mana.... engkau mengetahui semua tentang kami....?"
"Paman Gak Bun Beng yang bercerita kepadaku."
"Ahh....? Tak mungkin....!"
Milana meloncat ke depan dan memegang pundak Syanti Dewi, jari-jari tangannya yang kecil lembut halus itu kini mencengkeram seperti cakar harimau dan Syanti Dewi menggigit bibir menahan sakit.
"Kau.... kau mencintanya!"
Ucapan Milana yang menuduh ini mendatangkan semangat dan mengusir rasa sakit di pundaknya. Syanti Dewi juga bangkit berdiri dan berkata dengan gagah,
"Memang! Aku pernah mencintanya, Bibi. Dan seandainya di dunia ini tidak ada Puteri Milana, tentu aku akan tetap mencinta Gak Bun Beng sampai aku mati! Akan tetapi aku tahu bahwa cintaku sia-sia dan aku yakin bahwa dia tidak dapat mencintaku. Cinta kasihnya hanya untukmu, Bibi Milana! Karena itu, aku mengubur cintaku, cinta seorang wanita terhadap pria yang semulia-mulianya orang, dan kupaksa menjadi kasih seorang anak terhadap ayah atau seorang murid terhadap guru. Hanya engkaulah wanita pujaan hatinya yang akan dicintanya sampai dia mati, dan dia bahkan berbahagia di dalam kesengsaraannya asalkan engkau hidup bahagia! Betapa kejamnya engkau, Bibi Milana!"
Tanpa disadarinya lagi, air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Puteri Bhutan itu.
"Ouhhhh...."
Milana terisak, menggigit bibirnya, memejamkan matanya menahan kepedihan hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Aihhh.... Syanti Dewi.... kau tidak tahu.... kau tidak tahu.... betapa selama belasan tahun aku hidup dengan hati remuk-redam.... betapa aku hidup sengsara dan merana.... yang mungkin tidak kalah pahitnya dengan penderitaannya...."
Wanita cantik itu kini menundukkan mukanya dan memejamkan mata, menggoyang-goyang kepala untuk mengusir semua kepedihan yang menghimpitnya. Kini Syanti Dewi membelalakkan matanya, dan cepat dia menghapus air matanya. Lalu dia maju berlutut di depan Milana, memeluk pinggang puteri itu.
"Syanti....!"
Milana tak dapat menahan keharuan dan kepedihan hatinya, dia memeluk kepala Puteri Bhutan itu sambil menangis sesenggukan.
Betapa belasan tahun ini dia menahan kesengsaraannya, tak pernah dikeluarkan sehingga kini bagaikan air bah memecah bendungannya, air matanya mengalir membasahi kepala dan rambut Syanti Dewi. Puteri Bhutan ini mengejap-ngejapkan matanya menahan tangis, lalu dengan sikap halus dan lemah lembut dia mengeluarkan saputangannya, menghapus air mata dari pipi Puteri Milana seperti orang dewasa menghibur seorang anak kecil yang sedang menangis. Dia membiarkan Milana menangis sesenggukan sampai beberapa lamanya, kemarahannya berubah menjadi perasaan kasihan sekali terhadap puteri gagah perkasa ini, yang kini oleh kekuatan cinta kembali ke asalnya, seorang wanita yang lemah dan hanya bergantung kepada tangis dan rintihan hatinya.
"Bibi Milana,"
Suara Syanti Dewi kini penuh kesungguhan, penuh kedewasaan, dan penuh teguran.
"Bibi Milana mengapa telah bertindak begitu bodoh? Jelas bahwa sesungguhnya Bibi amat mencinta Paman Gak Bun Beng, sejak dahulu sampai saat ini, akan tetapi mengapa Bibi memaksa diri menikah dengan pria lain? Apa sebabnya tindakan yang amat bodoh ini?"
Milana sudah dapat menekan perasaannya. Tangisnya tadi, yang baru sekali ini dapat dia curahkan keluar, sedikit banyak melega-kan hatinya. Dia mengangkat Syanti Dewi bangkit dan mengajak dara itu duduk berdampingan di pinggir pembaringannya.
"Engkau anak baik, pertanyaanmu sungguh tidak tepat! Engkau sendiri tahu akan keadaan wanita-wanita yang tidak kebetulan menjadi puteri-puteri istana seperti kita ini! Apa daya kita menghadapi perintah junjungan kita, dalam hal ini Kaisar yang menjadi kakekku dan Raja Bhutan yang menjadi ayahmu? Engkau sendiri menerima saja ketika dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah tua!"
"Aih, Bibi Milana. Keadaan saya lain lagi dengan keadaan Bibi! Andaikata saya seperti Bibi, sudah
(Lanjut ke Jilid 39)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 39
mempunyai seorang kekasih di Bhutan, sampai mati pun saya tidak akan sudi! Kalau saya mentaati perintah ayah, adalah karena hati saya masih bebas dan betapa pun saya tidak suka dikawinkan dengan orang yang belum pernah saya lihat, namun demi kebaktian terhadap ayah, terutama terhadap negara karena ayah menyerahkan saya demi negara, terpaksa saya menyetujuinya. Jauh bedanya dengan Bibi yang telah mempunyai seorang pujaan hati sehebat Paman Gak! Mengapa Bibi begitu bodoh?"
Demikianlah, percakapannya dengan Puteri Syanti Dewi itulah yang terus menghantui hatinya. Kini Puteri Milana rebah seorang diri di atas pembaringannya di dalam kamarnya yang tertutup, mengenangkan semua percakapannya dengan Syanti Dewi dan baru terbuka matanya betapa dia telah berbuat kesalahan besar terhadap Gak Bun Beng! Pernikahannya dengan Han Wi Kong juga tidak mempunyai arti apa-apa bagi Kaisar atau kerajaan, dan yang jelas dia telah merusak kehidupan Gak Bun Beng, merusak kebahagiaan hidupnya sendiri!
Teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu dan makin diingat, makin menyesallah dia karena sejak dahulu, Bun Beng selalu bersikap baik dan penuh cinta kasih kepadanya, sebaliknya, telah beberapa kali dia menyakiti hati kekasihnya itu! Bahkan yang terakhir sekali, dia menuduh Gak Bun Beng sebagai seorang pria jahat dan keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia telah bersekutu dengan wanita-wanita lain yang disangkanya menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng untuk membunuh pria itu! Dan hampir saja maksud kejamnya ini terlaksana (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Kemudian barulah dia tahu, baru terbuka matanya bahwa Gak Bun Beng adalah pria yang bersih, gagah perkasa, mulia, karena si jahat itu bukanlah Gak Bun Beng, melainkan Wan keng In!
"Ahhh.... Wan Keng In, benar dia....!"
Tiba-tiba Puteri Milana meloncat turun dari atas pembaringannya, memandang terbelalak ke arah pintu kamarnya. Ketika dia mengenangkan masa lalu dan terbayang wajah Wan Keng In, tiba-tiba saja dia melihat wajah Ang Tek Hoat! Mengapa dia begitu bodoh? Wajah Ang Tek Hoat persis wajah Wan Keng In! Han Wi Kong dan Kian Bu terkejut sekali ketika melihat Milana memasuki kamar di mana mereka berdua bercakap-cakap itu dengan muka berubah agak pucat.
"Mana dia? Bu-te, lekas kau kejar dia! Ang Tek Hoat itu adalah putera Wan Keng In!"
Kian Bu terkejut. Tentu saja dia telah mendengar siapa adanya Wan Keng In yang disebut oleh encinya itu. Wan Keng In adalah putera ibu tirinya, ibu kandung Kian Lee, anak tiri ayahnya yang telah lama meninggal dunia dan kabarnya dahulu amat lihai akan tetapi juga menyeleweng.
"Bagaimana kau bisa tahu, Enci?"
"Aku bodoh, telah lupa wajah Wan Keng In yang persis benar dengan wajahnya. Lekas, Bu-te, susul dia dan suruh dia kembali, aku akan bicara dengan dia. Kini aku tahu mengapa dia memusuhi Gak Bun Beng."
Kian Bu cepat berlari keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, pengawal tadi menceritakan bahwa pemuda itu telah keluar dari pintu gerbang kota raja dan entah pergi ke mana, Kian Bu menyusul dan mengejar sampai jauh di luar kota raja, keluar dari pintu gerbang selatan, namun hasilnya sia-sia dan terpaksa dia kembali kepada encinya dengan tangan hampa. Milana merasa menyesal sekali.
"Di dalam kamar tadi, baru aku teringat. Memang tadinya aku merasa mengenal wajah Tek Hoat, hanya sayang aku lupa bahwa wajahnya itu persis wajah Wan Keng In, kakakmu Bu-te. Dia she Ang pula, siapa lagi dia kalau bukan anak Ang Siok Bi yang dahulu diperkosa oleh Wan Keng In yang menyamar sebagai Gak Bun Beng? Ahh, tentu akan terjadi hal-hal hebat kalau mereka saling bertemu!"
"Sebaiknya aku kembali ke Teng-bun atau Koan-bun, mencari Gak-suheng dan memberitahukan hal Tek Hoat itu kepadanya agar dia dapat berjaga-jaga, Enci!"
Kata Kian Bu.
"Tidak perlulah, Bu-te. Kurasa dia dapat menghadapi pemuda itu, apalagi Tek Hoat masih lemah tubuhnya dan perlu mengumpulkan tenaga sampai belasan hari lamanya. Pula, kita menanti datangnya kakakmu, Kian Lee, dan yang lain-lain. Mengapa mereka belum juga datang?"
Hanya Han Wi Kong yang dapat menduga bahwa yang dimaksudkan "yang lain-lain"
Oleh isterinya itu, bukan lain adalah Gak Bun Beng yang amat diharap-harapkan kedatangannya. Dan pada keesokan harinya, benar saja Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee muncul di istana Puteri Milana itu! Han Wi Kong dan Milana bersama Kian Bu menyambut mereka dengan gembira, akan tetapi Milana hanya sekilas saja bertemu pandang mata dengan Bun Beng, kemudian wajahnya berubah merah sedangkan wajah Bun Beng berubah pucat dan mereka tidak bicara apa-apa kecuali me-nyapa.
"Gak-suheng!"
"Sumoi....!"
Han Wi Kong maklum betapa kedua orang itu merasa sungkan dan tidak enak, maka dia bersikap ramah sekali.
"Gak-taihiap, sudah amat lama saya mendengar nama besar Taihiap dan sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya dapat berjumpa dengan Taihiap ini!"
Gak Bun Beng menatap wajah yang tampan dan gagah itu, dan hatinya ikut gembira bahwa Milana ternyata menikah dengan seorang pria yang tidak mengecewakan.
"Terima kasih, Han-ciangkun, dan karena saya adalah suheng dari isterimu, harap kau jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)."
Han Wi Kong tertawa dan begitu bertemu saja dia sudah merasa suka kepada pendekar besar yang sederhana sekali ini.
"Kalau begitu, baiklah saya menyebutmu Gak-twako saja. Akan tetapi saya pun bukan lagi menjadi seorang perwira maka jangan menyebut saya ciangkun, Gak-twako (Kakak Gak)."
"Baiklah, Han-laote (Adik Han)."
Karena sikap Han Wi Kong, maka rasa sungkan dan tidak enak di pihak Bun Beng dan Milana perlahan-lahan berkurang dan Han Wi Kong lalu menja-mu tamu yang dihormatinya itu dengan pesta kecil. Sambil bercakap-cakap, Han Wi Kong, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, dan Gak Bun Beng menghadapi meja bundar dan makan minum. Karena sedang makan, mereka tidak membicarakan urusan penting dan setelah mereka selesai makan dan duduk di ruangan tamu, barulah mereka bicara tentang hal-hal yang lebih penting menyangkut diri mereka.
"Lee-ko, mengapa kau kelihatan pucat dan tidak bersemangat?"
Kian Bu bertanya dan Milana juga memandang adik ini dengan penuh perhatian.
"Engkau kelihatan seperti orang sakit, Adik Kian Lee,"
Dia juga berkata.
"Ah, tidak ada apa-apa,"
Jawab Kian Lee.
"Jangan-jangan karena kakimu yang terluka dahulu itu, Lee-ko? Sekarang sudah sembuh sama sekali, bukan?"
"Sudah, Bu-te."
Kian Lee menjawab singkat dan ketika adiknya itu bertanya tentang pengalamannya dan ketika kakinya terluka dan mereka terpisah, Kian Lee hanya menceritakan dengan singkat saja bahwa dia kebetulan bertemu dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo dan mendapatkan obat sehingga mudah sembuh.
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heran..., heran....!"
Kian Bu berkata sambil tertawa.
"Ayahnya iblis akan tetapi puterinya bidadari agaknya!"
Kini tiba giliran Bun Beng yang bertanya, tidak langsung menghadapi Milana melainkan pertanyaan-nya ditujukan kepada Han Wi Kong,
"Saya mendengar bahwa ada seorang tahanan bernama Ang Tek Hoat. Apakah benar dia berada di kota raja dan apakah dapat saya bertemu dengan dia?"
"Ahh, Gak-suheng, memang terjadi hal yang hebat sekali dengan pemuda itu!"
Milana berkata.
"Dia.... dia.... itu.... putera Wan Keng In....!"
"Ehhh....?"
Bun Beng demikian kagetnya sehingga dia bangkit berdiri, lalu duduk kembali. Sementara itu Milana sudah teringat akan peristiwa dahulu, maka dia menjadi pucat dan menunduk, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
"Bu-sute, apakah yang terjadi?"
Tanya Bun Beng, menoleh kepada Kian Bu.
"Gak-suheng, kami tadinya bertanya kepadanya mengapa dia berjuluk Si Jari Maut dan menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan. Dia menjawab bahwa Suheng telah membunuh ayahnya dan dia tidak melanjutkan keterangannya, hanya tadinya menyangka bahwa Suheng telah mati maka setelah mendengar bahwa Suheng masih hidup, dia menyatakan ingin bertemu dan ingin membalas dendam kematian ayahnya."
"Hemm...., sungguh aneh...."
Bun Beng berkata.
"Akan tetapi Enci Milana lalu teringat akan wajah Keng In...."
"Bukan mirip lagi, Suheng, melainkan persis seperti pinang dibelah dua! Dan dia she Ang, siapa lagi kalau bukan anak Ang Siok Bi?"
Milana berkata, dan ketika Bun Beng memandangnya, mereka bertemu pandang dara Milana menunduk, karena menyebut nama Siok Bi sama dengan menggali kenangan lama yang membuat dia merasa berdosa sekali. Bun Beng mengangguk-angguk.
"Hemm, sekarang aku mengerti! Pantas dia memusuhi aku...."
"Enci Milana khawatir sekali kalau sampai terjadi sesuatu yang hebat apabila Suheng bertemu dengan dia,"
Kata pula Kian Bu.
"Aku dapat mengatasinya. Ahh, sungguh kejadian yang amat luar biasa aneh, dan sekaligus terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan...."
Bun Beng menghela napas panjang.
"Gak-suheng, apa maksudmu?"
Milana bertanya, karena dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting terkandung dalam ucapan pendekar itu. Bun Beng memandang kepada Milana, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan ketika dia bertanya,
"Sumoi tentu masih ingat kepada Lu Kim Bwee, bukan?"
Pertanyaan ini amat mengejutkan hati Milana, karena tidak disangka-sangkanya, padahal dia selalu membayangkan dua orang wanita, Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, dua orang wanita yang dahulu bersama dia mengeroyok Bun Beng dan hampir saja membunuh pendekar ini (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Milana menelan ludah, memandang kepada Bun Beng tanpa dapat menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk.
"Nah, Lu Kim Bwee itu pun ternyata mempunyai seorang anak dari Wan Keng In, dan anaknya itu adalah Lu Ceng."
"Ooohhh....!"
"Aihhhh....!"
Kian Bu terbelalak dan menoleh kepada Kian Lee. Melihat Kian Lee menundukkan muka, Kian Bu membungkam mulutnya lagi, tidak berani mengeluarkan suara. Mak-lumlah dia sekarang mengapa Kian Lee begitu pucat dan muram. Kiranya dara yang dia tahu telah mencuri hati kakaknya itu ternyata adalah anak dari mendiang Wan Keng In, kakak mereka sendiri, yang berarti bahwa Ceng Ceng adalah keponakan mereka sendiri. Keadaan menjadi sunyi karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Wi Kong yang pernah mendengar cerita tentang Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, yang tadinya disangka menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng yang kemudian ternyata adalah perbuatan Wan Keng In, memecahkan kesunyian itu sambil berkata,
"Kiranya dua orang yang menggemparkan itu adalah keponakan-keponakan Adik Kian Lee sendiri."
Kian Lee mengangguk sunyi dan semua orang masih tenggelam ke dalam keanehan yang luar biasa ini, peristiwa yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. Milana tidak menyangka bahwa peristiwa ketika dia muda dahulu, yang dilakukan oleh Wan, Keng In, ternyata berekor demikian panjang sehingga biarpun pelakunya telah tewas, ternyata akibat kelakuannya masih terus menjadi riwayat! Dan celakanya, kalau dulu Wan Keng In melakukan perbuatan yang mencelakakan diri Gak Bun Beng, sekarang keturunannya juga melakukan hal yang sama, sungguhpun apa yang dilakukan oleh Tek Hoat adalah karena pemuda itu mengira bahwa Gak Bun Beng sudah mati dan menjadi pembunuh ayahnya.
Selagi mereka semua termenung, tiba-tiba datang penjaga pintu yang melaporkan bahwa ada utusan dari Kaisar datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Puteri Milana terkejut dan cepat menyambut. Kiranya yang datang adalah Perdana Menteri Su sendiri, yang tentu saja cepat disambutnya dengan penuh hormat. Han Wi Kong, Gak Bun Beng, dan kedua orang saudara Suma ikut menyambut, dan karena perdana menteri datang sebagai utusan Kaisar yang berarti wakil Kaisar sendiri, Milana dan yang lain-lain menyambut dan berlutut. Perdana Menteri Su mengenal semua yang hadir. Dia sudah mendengar akan kedua orang adik Puteri Milana, putera-putera dari Pendekar Super Sakti, dan dia dahulu sudah pernah bertemu dengan Gak Bun Beng. Maka cepat dia menggerakkan tangan minta kepada mereka semua untuk bangkit berdiri.
"Harap Cu-wi bangkit kembali dan penghormatan Cu-wi terhadap Sri Baginda telah saya terima. Sekarang kita bicara sebagai sahabat dan biarlah pesan Sri Baginda saya bicarakan di atas cawan-cawan arak saja karena keputusan beliau perlu dipertimbangkan bersama."
Puteri Milana dan yang lain-lain segera bangkit berdiri dan mempersilakan tamu agung itu ke ruangan tamu, di mana mereka menjamu Perdana Menteri Su dengan hormat dan ramah. Perdana Menteri Su yang sudah tua dan setia itu menghela napas panjang dan berkata,
"Aihhh.... betapa girang dapat bertemu dengan orang-orang gagah seperti Cu-wi, dan betapa kecewa hati membawa berita yang tidak menyenangkan. Puteri Milana, Sri Baginda Kaisar menitah saya untuk menyampaikan keputusan beliau tentang Pangeran Liong Bin Ong dan Puteri Syanti Dewi."
"Bagaimana dengan Paman Pangeran Liong Bin Ong?"
Puteri Milana bertanya.
"Sri Baginda menyatakan bahwa menurut penyelidikan beliau, Pangeran Liong Bin Ong tidak bersalah apa-apa, dan pemberontakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mendiang Pangeran Liong Khi Ong...."
"Ahhh....!"
Puteri Milana berseru, mukanya merah dan kelihatan penasaran sekali.
"Puteri Milana, demikianlah keputusan Sri Baginda,"
Perdana Menteri Su berkata keren dan memandang wajah puteri itu penuh arti. Sang Puteri mengangguk dan membungkuk, tidak berani berkata apa-apa lagi sungguhpun dia maklum bahwa keputusan ini bukan hanya membuat dia penasaran, bahkan terutama sekali membuat perdana menteri itu menjadi kecewa dan khawatir. Mereka berdua tahu belaka bahwa Liong Khi Ong hanya merupakan orang ke dua, hanya pemban-tu dari Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi dalang pertama dari pemberontakan itu!
"Adapun mengenai diri Puteri Bhutan itu, Puteri Syanti Dewi yang tadinya akan menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong, menurut keputusan Sri Baginda akan dinikahkan dengan Pangeran Yung Hwa!"
"Heiiiihh....!"
Kian Bu berteriak sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.
"Bu-te, duduklah! Ini perintah Sri Baginda Kaisar!"
Puteri Milana membentak adiknya, akan tetapi matanya memandang adiknya dengan penuh duka karena puteri ini maklum bahwa adiknya itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.
".... ya... ya, Enci Milana...."
Kian Bu duduk kembali dan menundukkan mukanya yang berubah menjadi pucat.
"Betapapun juga, keputusan ke dua ini adalah cukup adil dan tepat,"
Perdana Menteri Su berkata sambil mengelus jenggotnya.
"Memang tadinya Pangeran Yung Hwa yang ingin berjodoh dengan Puteri Bhutan, hanya dia terdesak dan kalah oleh mendiang Pangeran Liong Khi ong. Ikatan jodoh ini berarti memperkuat tali hubungan antara Kerajaan Ceng dengan Kerajaan Bhutan."
Milana tidak menjawab karena dia maklum bahwa perdana menteri itu tidak tahu akan rasa hati Kian Bu. Dia hanya mengangguk saja. Tak lama kemudian, Perdana Menteri Su berpamit dan setelah dia pergi, barulah Milana meremas cawan araknya sampai perak itu menjadi satu gumpalan!
"Sungguh celaka sekali! Pangeran Liong Bin Ong si pemberontak besar itu dibebaskan! Tentu dia akan membuat huru-hara lagi! Ahh, mengapa Sri Baginda tidak dapat melihat kenyataan?"
Milana melirik ke arah Kian Bu yang masih menundukkan rnukanya dan tiba-tiba dia bangkit berdiri.
"Dan Syanti Dewi.... ah, sungguh membikin orang penasaran....!"
Milana mengerutkan alisnya, sejenak bertukar pandang dengan Gak Bun Beng, lalu dia minta maaf kepada Bun Beng dan meninggalkan ruangan itu memasuki kamarnya. Kian Bu bangkit berdiri pula, tanpa berkata apa-apa dia pun lalu setengah lari menuju ke kamarnya, diikuti oleh Kian Lee yang kini memandang adiknya itu dengan wajah penuh kecemasan. Tinggallah Han Wi Kong duduk berhadapan dengan Gak Bun Beng. Keduanya bengong dan termenung.
"Hemmm...., banyak sekali peristiwa terjadi dalam kehidupan manusia yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki-nya, bukan, Gak-twako?"
"Ehhh....?"
Bun Beng yang melamun sambil tak sadar mengambil cawan yang telah menjadi gumpalan perak karena dicengkeram oleh Milana tadi, membolak-balikkan benda itu di tangannya, terkejut mendengar ucapan itu, lalu mengangkat muka memandang.
"Agaknya begitulah hidup...."
"Mengapa harus begitu, Twako?"
Han Wi Kong mendesak.
"Yah, manusia tidak akan dapat me-lawan nasib...."
Bun Beng menarik napas panjang.
"Hemmm...., begitukah? Atau bukan sebaliknya bahwa nasib berada di tangan manusia sendiri? Orang yang menyerah kepada nasib adalah orang lemah, dan orang-orang lemah memang sudah sepatutnya hidup menderita, Twako! Hanya orang yang berani menentang dan menghadapi keadaan dan peristiwa dengan tabah, merubah nasibnya sendiri dan terbebas dari penderitaan kelemahannya!"
Gak Bun Beng menatap wajah panglima yang tampan dan gagah itu dengan sinar mata penuh pertanyaan, kemudian bertanya,
"Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah...."
"Mengapa tidak mungkin? Tergantung si manusia sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak untuk merubahnya. Keadaan tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk merubahnya!"
Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa dia merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia "menerima nasib", karena dia lebih condong menangisi nasibnya daripada berusaha merubah keadaan itu! Dan kedua orang adik seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami "nasib"
Yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka tidak mau turun tangan, tidak mau bertindak melawan "nasib"
Itu!
"Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus menengok kedua orang suteku itu."
Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua orang sutenya dan melihat mereka itu duduk ter-menung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan Kian Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul di depan pintu. Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu betul betapa sutenya ini juga "patah hati"
Karena cintanya yang gagal terhadap Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang mengalami hal yang sama! Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan menepuk bahu pemuda itu.
"Eh, Bu-sute, apakah engkau ini seorang banci?"
Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang termenung dan tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan itu terperanjat, dan memandang kepada suhengnya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak terlalu dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan menanggapi pertanyaan Bun Beng sebagai suatu kelakar.
"Apa maksudmu, Suheng?"
"Hanya seorang banci saja yang merenungi nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang jantan akan bertindak melawan keadaan yang tidak menye-nangkan hatinya. Akan tetapi kulihat di sini engkau termenung menangisi nasib!"
"Aih, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan menghadapi keputusan Kaisar? Biarpun beliau itu kakek besarku sendiri, namun aku tetap saja rakyat!"
Kian Bu berkata.
"Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula, mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah engkau sudah tahu bagaimana perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi engkau...."
"Bagaimana, Suheng?"
Kian Bu berta-nya penuh gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang dewasa, masih "hijau"
Dan tentu saja dia memandang suhengnya ini sebagai seorang pria yang sudah "berpengalaman"
Yang patut ditiru.
"Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang kunyatakan perasaan hatiku kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata tidak mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang cinta kepadaku seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!"
Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang tangan suhengnya.
"Terima kasih, Suheng. Aku bukan seorang banci! Aku seorang laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasihatmu itu sekarang juga!"
Kian Bu meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah pergi jauh.
"Ah, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan gara-gara dengan nasihatmu itu,"
Kian Lee berkata, khawatir.
"Jangan-jangan akan timbul keributan."
"Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang mungkin akan membuat dia merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan menjadi sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang mereka saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh? Ingat, Puteri Nirahai juga dulu kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang mereka berbahagia."
Sampai di sini Bun Beng berhenti karena dia teringat akan urusannya sendiri dengan Milana.
Dia bisa memberi nasihat, bahkan sudah ada contoh yang mutlak, yaitu antara Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, akan tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya karena dia merasa rendah diri, sebagai keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang gadis mulia seperti Puteri Milana! Setelah berkata demikian, Bun Beng lalu meninggalkan, Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tidak jauh dari kamar kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah, bayangan Milana terus mengejarnya, dan timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia berada di rumah kekasihnya ini, terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau pertahanan batininya akan bobol. Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada urusan apa-apa lagi.
Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa, dan kalau betul seperti yang diharapkannya bahwa Syanti Dewi membalas cinta Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sutenya itu. Tek Hoat pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah puteri Wan Keng In yang kembali mengulang perbuatan ayah kandungnya dahulu. Sebaiknya dia pergi dan menjumpai pemuda itu agar persoalannya menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak juga kalau harus pergi begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk melihat bagaimana jadinya dengan sutenya itu. Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan, kemudian dia turun dan keluar dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang luas dan indah dari istana itu.
Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu sunyi sekali. Bun Beng terus masuk ke dalam dan di tengah-tengah taman, tertutup oleh pohon-pohon apel, terdapat kolam ikan emas yang lebar dan indah. Arinya jernih sehingga ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari itu nampak nyata, beriring-iringan dengan warna sisik, mereka yang keemasan dan berkilauan tertimpa sinar kemerahan matahari senja. Bun Beng duduk di atas bangku batu di dekat kolam. Air yang memancar keluar dari pinggir kolam membuat kolam itu selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang berliku-liku di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan indahnya, seolah-olah sedang bersaing kecantikan.
"Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup bagiku,"
Diam-diam Bun Beng mengeluh.
"Kehadiranku hanya akan memungkinkan datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik, kedudukannya mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup senang. Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan hidup di tempat asing dan miskin...."
Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur diri bahwa orang-orang yang dicinta sudah hidup bahagia itu dibantah oleh suara lain dalam benaknya.
"Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat mendatangkan bahagia? Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat contohnya Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang sunyi, namun penuh madu bahagia...."
"Huh, tolol!"
Bentaknya sendiri kepada diri sendiri.
"Habis kau mau apa?"
"Gak-suheng...."
Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Sampai mati pun suara itu tentu akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!
"Sumoi...., mafkan aku.... aku memasuki tamanmu tanpa permisi...."
Dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat puteri itu yang berdiri tegak dan agung ternyata mencucurkan air mata! Satu-satu butiran air mata turun seperti untaian mutiara, di sepanjang kedua pipinya.
"Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku? Suheng, betapa aku telah menghancurkan hidupmu, aku telah berkali-kali berdosa kepadamu, Suheng...."
Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia hanya menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak.... tidak demikian.... Sumoi. Apa yang kau ucapkan ini....?"
"Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi. Aku tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan merana karena aku. Suheng, apakah engkau masih tidak mau mengampunkan aku? Mengampunkan pernikahan dengan Han Wi Kong?"
Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng. Pendekar itu menguatkan hatinya dan dia memaksa tersenyum.
"Sumoi.... Sumoi! Milana.... mengapa engkau bertanya demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat baik dan aku.... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di sampingnya, Sumoi. Aku.... sebaiknya pergi saja...."
"Gak-suheng....!"
Milana meloncat dan memegang lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan tiba-tiba Milana terisak dan memeluk pinggang Bun Beng.
"Suheng.... ah, Suheng.... aku melihat betapa jahatnya aku.... betapa hancurnya hidupmu karena aku.... ampunkan aku, Suheng."
Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk dan menempel di tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi. Dia pun merangkul dan mengusap rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya itu. Akan tetapi dia segera teringat dan cepat dia melepaskan diri dan melangkah dua tindak ke belakang.
"Tidak.... tidak boleh begini....! Sumoi, jangan menuruti bisikan setan!"
Milana mengangkat muka memandang, matanya berlinangan air mata.
"Gak-suheng, katakanlah terus terang, apakah engkau masih cinta kepadaku?"
"Aku? Cinta padamu? Wahai, Milana, tidak pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu.... akan terkutuk dan bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat.... Sumoi...."
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu ke mana pun engkau membawaku! Aku.... aku.... ah, engkau tidak tahu betapa hidupku selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau tidak kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau menolak, kiranya tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng...."
"Ahhh....?"
Bun Beng terkejut bukan main mendengar kata-kata itu, merasa seperti disambar petir.
"Jangan berkata yang bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!"
"Tidak.... tidak.... dia memang seorang yang amat baik, akan tetapi.... aku tidak mencintanya, Suheng. Hanya engkaulah seorang...."
"Aihhh, Sumoi, engkau menghancurkan hatiku!"
Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya ternyata sakit.
"Kalau begitu.... sia-sia belaka semua pengorbananku.... sia-sia belaka aku menyiksa diri.... Sumoi, mengapa begitu?"
Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bun Beng.
"Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku melihat betapa bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang kucinta. Akan tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng.... untuk memperbaiki kesalahan itu, kalau.... kalau engkau masih mencintaku seperti aku mencintamu."
"Milana!"
Bun Beng setengah membentak,
"Omongan apa yang kau keluarkan ini? Tidak malukah engkau? Kau kira aku ini orang apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa terhadap suamimu yang baik?"
Milana memandang dan air mata makin deras bercucuran, dia menggeleng kepalanya.
"Dia seorang yang berbudi mulia.... aku bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak dapat mencintanya. Kau tahu, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar menemanimu.... dia telah memberi restunya.... dia yang membujuk agar aku menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku...."
"Tidak....!"
Gak Bun Beng meloncat dan menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.
"Tidak....! Engkau adalah Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh aku menyentuhmu, tidak boleh sama sekali....! Duhai Milana.... Sumoi.... jangan.... jangan kita lakukan itu.... lebih baik aku mati daripada melakukan perbuatan terkutuk itu!"
Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.
"Suheng....!"
Namun Bun Beng tidak menengok dan berkelebat lenyap.
"Gak-suheng....!"
Milana mengeluh dan terguling roboh, pingsan di dekat kolam! Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata panglima ini merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian menulis surat, meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh menjaga isterinya yang masih pingsan dan disangka tidur oleh pelayan itu. Kemudian Han Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian sebagai bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.
Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk berhadapan dengan Suma Kian Bu yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung kepadanya. Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri Milana ini yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja kunjungannya diperbolehkan dan tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut ruangan yang luas itu, para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu ruangan. Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata,
"Sungguh girang hatiku bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi Milana...."
"Engkau sudah mendengar tentang keputusan Kaisar, Adik Syanti....?"
Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh kegelisahan.
"Lalau bagaimana pendapatmu dengan keputusan itu?"
"Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kau tolonglah, suruh Bibi Milana menolongku.... aku tidak suka dengan pernikahan itu!"
"Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan Pangeran Yung Hwa tidak dapat kau samakan dengan Pangeran Liong Khi Ong. Dia seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dahulu suka kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong...."
"Aku tidak peduli dia tampan atau buruk, pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang menjodohkan aku. Aku tidak mau, Koko.... kau sampaikan permohonanku kepada Bibi Mi-lana.... tolonglah aku...., atau.... tolong kau cari Paman Gak Bun Beng. Dialah satu-satunya orang yang kugantungi harapanku."
"Kalau benar engkau tidak suka menerima keputusan itu, Adik Syanti.... aku.... aku...."
Kian Bu yang biasanya paling pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan ludahnya dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.
"Ada apa, Koko? Bagaimana?"
Puteri Syanti Dewi memandang dengan sepasang matanya terbelalak lebar dan begitu indahnya sehingga Kian Bu menjadi makin bingung lagi.
"Adik Syanti.... hemmm.... ehhh, aku.... aku bersedia untuk menolongmu.... untuk mengajak kau lari dari sini...."
"Bu-koko....! Terima kasih....! Ah, aku tahu engkau seorang yang amat berbudi, seperti suhengmu, Paman Gak Bun Beng!"
Syanti Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang lengan pemuda itu penuh harapan. Kian Bu juga bangkit berdiri.
"Aku.... aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi, karena.... aku.... aku cinta padamu, aku cinta padamu semenjak kita bertemu.... dan kalau kau lebih memilih aku daripada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari...."
"Ahhhh....!"
Syanti Dewi melepaskan kembali pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk dan memejamkan matanya, akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun dia memiliki keagungan seorang puteri raja.
"Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau seorang pemuda yang hebat.... ah, amat baik dan hebat, tampan dan gagah perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh dunia, adik dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang takkan berbahagia menerima cintamu? Akan tetapi aku.... ah, aku akan berbohong kalau aku berpura-pura mengatakan cinta kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku. Tidak, aku tidak mau membohongimu demi keselamatanku, dan kelak menghancurkan hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan dasar cinta kasih seperti itu, aku lebih baik.... menghada-pi malapetaka itu seorang diri saja, tanpa pertolonganmu."
Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena ada harapan ketika dia menuruti nasihat suhengnya, kini menjadi pucat sekali.
"Kau.... kau tidak.... tidak cinta padaku, Adik Syanti?"
Tanyanya dengan suara serak. Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang penuh iba.
"Maafkan aku."
"Kalau begitu engkau.... engkau tentu sudah mencinta lain orang....?"
Syanti Dewi mengerutkan alisnya.
"Memang, aku pernah mencinta orang, yaitu suhengmu, Gak Bun Beng! Aku cinta Kepadanya, aku memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta itu. Aku tidak dan belum mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku suka kepadamu, aku kagum dan menghormatimu, akan tetapi jangan mengharapkan yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku."
Kian Bu diam sampai lama karena dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat menyakitkan itu. Kemudian dia berkata lemah,
"Biarpun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti, aku.... aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini."
"Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar, engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku tidak dapat menerima cintamu. Tidak, biar Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal..."
"Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau suka kutolong...."
"Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan aku...."
Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat kepada pengawal.
"Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,"
Katanya penuh wibawa. Kian Bu menunduk, lalu berjalan ke luar seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang berlinang-linang karena merasa kasihan.
Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda untuk jatuh cinta ini, merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang biasanya mempe-sonakan dan amat dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan di kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan, seolah-olah semua menyeringai dan mencemoohkannya. Syanti Dewi ternyata tidak cinta kepadanya, seperti yang disangkanya, atau lebih tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suhengnya, Gak Bun Beng! Si Tua! Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suhengnya.
Sepasang Pedang Iblis Eps 27 Sepasang Pedang Iblis Eps 37 Sepasang Pedang Iblis Eps 44