Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 6


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Entahlah, aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar, kerajaan dewa itu memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau Neraka."

   "Mengapa namanya begitu serem?"

   Thian Tok Lama bertanya.

   "Entahlah, hanya kabarnya yang mem-bocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di sana."

   "Hemm, aneh. Kalau tidak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang muncul banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?"

   Thian Tok Lama mencela.
"Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi,"

   Kata koksu yang kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat. Si Muka Biru itu biarpun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!

   Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru kini muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh. Memang benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu!

   Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu keluar dari sumbernya. Dan banyak di situ tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apalagi sampai terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk.

   Semua ini masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas. Betapapun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana. Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Siansu, yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan.

   Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi. Demikianlah, dengan bekal itu, Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar menghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai.

   Kepandaian mereka turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi keuntungan mereka! Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat. Na-mun, perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.

   Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun maka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu. Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru, terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah, namun karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding dan meloncat bangun. Tiba-tiba pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah menangkapnya kembali.

   "Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!"

   Cengkeraman pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.

   "Lepaskan aku!"

   Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.

   "Kalau engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!"

   Panglima itu menghardik.

   "Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?"

   Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya. Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang,

   Seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapapun juga tentu mempunyai perasaan yang lebih halus daripada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu. Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan.

   Tadinya ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suhengnya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau.

   Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biarpun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu. Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu, selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.

   Ketika Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang anggauta Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal. Adapun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jerih dan sungkan terlibat. Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari rombongan orang pemerintah.

   Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia dapat membebaskan diri. Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tidak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut, bergerak-gerak seirama dengan dengusan napasnya. Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.

   "Tukkk!"

   Biarpun yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan. Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan.

   Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya! Bhe Ti Kong berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan daging terobek. Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan.

   "Aihhhh....!"

   Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan, matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan Bhe Ti Kong tertolong nyawanya. Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biarpun rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.

   "Addd.... duhhhh....!"

   Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih. Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah, karena tidak dapat memukul, telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali, lupa sesaat melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.

   "Plakkk....!"

   Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting namun biar kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita Thian-liong-pang.

   "Heee! Lari ke mana kau, bocah setan?"

   Panglima gendut mengejar dengan langkah panjang. Dengan pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut di depan wanita Thian-liong-pang sambil berkata,

   "Enci yang baik, Enci yang cantik jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!"

   Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin akan tetapi bibirnya tersenyum sedikit. Agaknya, betapapun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat dan watak aselinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian. Biarpun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya seorang bocah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang? Wanita ini merupakan seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang biarpun kedudukannya hanya sebagai kepala pelayan wanita.

   Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung mancung dan mulut kecil mungil dengan bibir yang manis. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke bawah. Pakaiannya dari sutera halus berwarna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih. Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang panglima kerajaan hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menambah kemanisan wajahnya dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.

   "Bocah, mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!"

   Sambil berkata demikian, wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir. Pada saat itu, panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertangkap kembali. Akan tetapi, gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gendut itu luput dan ia menubruk tanah. Karena dia tadi sudah memastikan bahwa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut gendutnya lebih dulu.

   "Ngekk!"

   Panglima itu meringis dan napasnya menjadi sesak, akan tetapi kemarahannya meluap. Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng, mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia meloncat bangun sambil memaki.

   "Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap nanti!"

   Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka untuk minta bantuan.

   "Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!"

   Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa marah sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Panglima Gendut. Panglima ini bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng, besar-benar membuat kewalahan.

   Mulailah ia melakukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat mengelak dan meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar biasa sehingga biarpun kulit tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari tangkapan panglima gendut. Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin mempergunakan akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi baginya, lebih baik terjatuh ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka daripada menjadi korban kekejian koksu yang dibencinya itu. Meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru.

   "Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!"

   Mendengar ini, semua anggauta Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka memandang penuh perhatian, bahkan wanita itu melangkah maju sambil mengeluarkan suara terheran.

   "Kau.... kau she apa?"

   "Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim...."

   Pada saat itu, panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita itu mengibaskan tangannya membentak,

   "Pergilah!"

   Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tartahan dan terbanting ke bawah.

   "Brukkk!"

   Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia merangkak bangun, membusungkan dada dan membentak,

   "Nyonya.... eh, Nona....."

   Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah bersuami ataukah masih gadis.

   "Kau tidak boleh membelanya, dia adalah tawanan Koksu!"

   "Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!"

   Wanita itu berkata, suaranya dingin menantang.

   "Apa? Kau berani menentang Koksu?"

   Panglima gendut yang merasa malu karena terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.

   "Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlindung kepada Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapapun juga."

   Wanita itu berkata dan jelas bahwa dia masih merasa segan untuk bermusuh dengan koksu maka mempergunakan alasan yang sudah menjadi peraturan
(Lanjut ke Jilid 06)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya. Pada saat itu terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh dan sempat melihat dua orang pengawal roboh terguling dengan tubuh hangus begitu tangan mereka menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka biru. Pengawal lain melompat dekat dan terdengar bentakan koksu,

   "Jangan sentuh!"

   Kiranya dua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas perintah komandannya karena adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pemandangan yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun tangan. Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan te-was dan tubuh mereka mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang terkandung di tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau Neraka. Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia melangkah lebar, menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat itu.

   "Jangan ganggu jenazah Suheng kami!"

   Teriak dua orang bermuka biru tua dari rombongan Pulau Neraka sambil bergerak maju, akan tetapi sekali me-ngibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus membentak mereka mundur. Sambil menyeringai dan mengatur napas kedua orang itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.

   "Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!"

   Panglima gendut memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi menghalangi dia menangkap Bun Beng. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari kerongkongannya terdengar dengus marah,

   "Huhhh....?"

   Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Kiranya kini sembilan orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung lima orang Thian-liong-pang itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang temannya, sama sekali tidak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng sambil membujuk dan mendesak anak itu.

   "Gak Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggauta termuda Thian-liong-pang. Memang Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka sekarang bersumpahlah engkau menurut peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggauta kami! Engkau berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!"

   Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggauta lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng.

   "Tidak....! Aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang!"

   Bun Beng berteriak dan meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima orang Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.

   "Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?"

   "Aku.... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak ingin menjadi anggauta...."

   "Engkau harus menjadi anggauta kami, mau atau tidak!"

   Wanita itu membentak.

   "Tidak.... tidak.... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!"

   "Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang menakuti anak kecil."

   Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pupus warna kulitnya tertawa mengejek.

   Dia seorang laki-laki berusia lima putuh tahun, menjadi pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus, suaranya halus dan pakaiannya seperti saste-rawan! Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Mancu yang sudah menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkajut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang hebat sekali sehingga untuk melindungi jantung mereka tarpaksa harus mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.

   "Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan tetapi agaknya kini kalian dan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka hendak memperebutkannya pula. Baiklah bukankah kita berkumpul sebagai orang-orang gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah ini dijadikan taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?"

   Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya! Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka maklum bahwa menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang berebut dan menghadapi pihak lawan ini saja sudah berat, apalagi kalau sampai rombongan karajaan itu membantu lawan! Daripada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu dapat diperaaya sepenuhnya.

   "Baik, kami setuju!"

   Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.

   "Kami setuju!"

   Kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka.

   "Kami mengajukan dua orang jago, aku sendiri dan Suteku ini!"

   Seorang tinggi besar seperti raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya daripada pemimpin rombongan, meloncat keluar. Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan.

   "Aku adalah pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggungjawab dan biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seoreng jago saja, yaitu aku sendiri."

   "Ahh, mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua orang lawan sekaligus!"

   Si Muka Hijau mencela. Wanita itu tersenyum mengejek.

   "Melihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak keberatan untuk melawan kalian berdua sekaligus!"

   Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata melotot karena ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali, akan tetapi sebagai orang-orang berke-pandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani bersikap sesombong itu.

   "Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi para wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama melayani dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu melawan wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah itu."

   Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok Lama yang gendut sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang.

   Sementara itu Bun Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu. Bun Beng mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeli-ling pulau kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke mana pun ia pergi, ia akan berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggauta Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai. Pertempuran yang amat dahsyat.

   Semua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton dengan hati tegang jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali. Dua orang tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan-kiri. Gerakan mereka aneh sekali dan kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk tin (barisan) karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas, sutenya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat membantu kawan. Biarpun maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas tinggi.

   Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan tangan kosong. Namun, bukan tangan sembarangan, karena kini tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang amat ampuh, mengandung hawa beracun dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan-kiri secara bertubi-tubi dan bergantian. Thian Tok Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama yang menjadi sutenya, dia telah menjagoi selama puluhan tahun di dunia barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh.

   Maka begitu melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka hwesio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau dengan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak setiap serangan lawan. Betapapun juga, karena terlalu hati-hati, tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan daripada menyerang. Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang,

   Dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jerih terhadap racun di tangan kedua lawannya, maka kelebihannya tertutup dan dia terdesak. Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya dengan keras sekali sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena biarpun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai batu karang pun dapat hancur! Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok ayam bertelur.

   "Kok-kok-kok-kok!"

   Dan tangan kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.

   "Aihhh!"

   Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu sambil balas memukul. Kini Thian Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin hebat dan kesudahannya ternyata membuat keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka itulah yanng terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama.

   Pendeta Lama yang gendut ini telah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh. Adapun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita Thian-liong-pang merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan seorang sembarangan dalam Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh yang penting dari Thian-liong-pang.

   Wanita ini masih merupakan keturunan pendiri Thian-liong-pang, biarpun hanya merupakan cucu buyut luar. Dia bernama Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas isteri dari seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang, apalagi dia sendiri pun keturunan nenek moyang Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang. Ketika pada suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak dikenal oleh siapapun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu,

   Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepandaiannya meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi, sekarang keadaannya menjadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengurus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, melainkan orang-orang sakti yang luar biasa. Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya disesuaikan dengan bakat masing-masing.

   Tang Wi Siang mempunyai bakat yang baik sekali dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua baru itu memang mengenal segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang membingungkan dan mengherankan hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan Thian-liong-pang pun dikenalnya baik! Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh. Thai Li Lama di samping suhengnya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian Tok Lama. Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang kuat sekali.

   Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas semangat orang atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja amat jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya. Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biarpun mengaku sebagai tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling banyak tiga puluh tahun lebih! Dan pula seorang wanita, sampai di mana kehebatannya? Karena memandang rendah dalam gebrakan-gebrakan pertama, Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan menangkis. Akan tetapi, betapa kaget hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.

   "Omitohud....!"

   Ia berseru dan cepat ia memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak. Namun wanita itu sudah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya. Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai bersinar aneh.

   Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah sembarang orang yang dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki gin-kang yang amat mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia masih kalah jauh! Maka dia lalu mendengus pendek dan mulailah ia memasang kuda-kuda, dan mengerahkan sin-kang sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dahsyat bertiup mendahului tangannya menyambar ke arah lawan. Kakek ini yang maklum akan kelihaian lawan, tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh mempengaruhi lawan.

   "Tas!"

   Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindarkan oleh Wi Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut dipukulkan.

   "Tass! Tass!"

   Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi mengenai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan-kiri dan tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat,

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jari tangan kiri menusuk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnye sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Untuk menghadapi serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus bergulingan! Bagaikan seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh yang bergulingan. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat, yang khusus diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan gin-kang yang amat cepat sehingga membingungkan lawan.

   Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia terus diserang dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergulingan, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus bergulingan sambil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan sungguh berbahaya dan biarpun tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan bergulingan terus mana mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan Wi Siang amat cepatnya, ke mana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim serangan maut. Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul bentakan keras.

   "Mundurrrr....!"

   Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang yang menonton, bahkan banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepadanya dan ada tenaga rahasia yang mendorong mereka mundur. Apalagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu. Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular berbisa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.

   "Pendeta siluman!"

   Akan tetapi Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya bergantian dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita ini mengenal bahaya maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.

   "Engkau sudah lelah sekali....! Kedua kakimu sukar digerakkan....!"

   Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan kedua kakinya dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.

   "Pendeta curang.... kau menggunakan ilmu siluman....!"

   Yang berteriak ini adalah Bun Beng. Anak ini sejak tadi menonton pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak "mundur"

   Dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran.

   Kini, melihat betapa wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama! Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta ini menggerakkan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung disambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan.... melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut! Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan memandang ke arah tubuh Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng.

   Semua mata terbelalak ngeri ketika melihat betapa tubuh anak itu terjun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi. Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut terbuka lebar dan ia tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.

   "Byurrr!"

   Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya.

   Begitu tubuhnya menyentuh air, terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat air yang berpusing itu. Bun Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melakukan perlawanan, bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napasnya. Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa berkedip, menanti dengan dugaan bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.
"Celaka.... celaka....!"

   Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan muka merah saking marahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau dengan pandang matanya.

   "Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku! Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!"

   Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu. Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi sebelum Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi sekarang, mendadak saja marah-marah.

   "Teruskan pibu! Aku masih belum ka-lah!"

   Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata dengan suara dingin.

   "Kami pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus pergi!"

   Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi koksu menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata.

   "Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini.... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi semua!"

   Semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam apa! Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu :

   Aku....! Aku....! Aku....!
Pujaanku! Milikku! Hakku!
Keluargaku, sahabatku, hartaku, namaku!
Kurangkul dia yang menguntungkan aku
Kupukul dia yang merugikan aku
Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku....! Aku....! Aku....!

   Semua orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menyanyikan kata-kata aneh itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat kedatangannya, karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan yang seru disusul kejadian mengerikan yang menimpa diri Bun Beng. Orang itu adalah seorang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana namun kedua kakinya telanjang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang matanya tajam penuh kejujuran dan tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga.

   "Im-yang Seng-cu....!"

   Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik ketika mengenal kakek itu.

   Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya merupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau mengelilingi dunia sehingga ilmu kepandaiannya makin meningkat hebat. Karena ke-sukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguhpun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada Ketua Hoa-san-pai sendiri!

   "Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ramai, manuaia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu yang mulia?"

   Karena sikapnya tetap menghormat bahkan ia menjura dengan hormat kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun biarpun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi marah. Apalagi koksu pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.

   "Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?"

   "Tidak salah, Koksu. Orang-orang me-nyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguhpun sebenarnya aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di antara kalian semua, dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!"

   Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak senang,

   "Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apa pula maksud kedatanganmu?"

   Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar.

   "Sudah begitu jelas masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua ma-nusia merupakan perputaran yang berporos pada ke AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini? Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kau tangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu untuk mengakui bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu, melainkan untuk memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?"

   "Hemm, Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan sebagai utusan!"

   Koksu itu membantah.

   "Kami pun datang sebagai utusan!"

   Teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai. Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelanjang kaki ini tertawa bergelak,

   "Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat kesalahan sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sendiri merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utusan siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan negaramu, bukan?"

   "Tentu saja!"

   "Nah, apa bedanya itu? Manusia selalu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku, rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan tdak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman, manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hakku dan aku-aku lain lagi."

   "Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang suci di dunia ini!"

   Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.

   "Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan penyakit kalian, yaitu penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manusia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain orang. Betapa rendahnya!"

   "Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?"

   Karena kakek aneh ini tidak menyerang seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai tertarik. Tidak mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena dia pun bukan seorang yang buta tentang filsafat.

   "Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang yang sengsara adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarga-Nya yang sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai oleh AKU-nya ini-lah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangisnya!"

   Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.

   Aku sudah bosan!
Aku sudah muak!
Terbelenggu dalam sangkar darah daging!
Setiap saat aku dipaksa
Menyaksikan tingkah nafsu angkara
Mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis, suka-duka,
Marah-sesal, suka-duka....
ebaskan aku dari semua ini....!

   "Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci, ucapanmu itu merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!"

   Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut. Dia adalah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdiam diri.

   "Engkau tidak boleh menyamaratakan semua manusia, Im-yang Sengcu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan kebersihan batinnya. Jalan satu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya."

   Im-yang Seng-cu tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu.

   "Maaf, tentu yang kaumaksudkan itu adalah agama-Mu, bukan?"

   "Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha,"

   Jawab hwesio itu.

   "Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pemeluk agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia makin parah. Semua agama adalah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya yang menyalahgunakan sehingga pelajaran kebaikan seringkali dipergunakan untuk saling menghina dan saling menyalahkan. Maaf, Lo-suhu, aku tidak akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri paling bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang paling tepat untuk itu. Seseorang yang melihat tahi akan menutup hidungnya, merasa jijik dan muak, sama sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi! Orang yang merasa dirinya paling pintar sesungguhnya adalah sebodoh-bodohnya orang, karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang yang merasa dirinya paling kuat sesungguhnya adalah orang yang lemah, karena kesombongannya akan membuatnya lengah. Karena sifat mementingkan AKU-nya, maka manusia berlumba mengejar kemenangan dalam apapun juga, saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian, yang mati dianggap kalah, yang hidup dianggap menang. Yang hidup ini agaknya lupa bahwa dia pun kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan bahwa yang menang akan lebih bahagia daripada yang kalah dan mati? Ha-ha-ha, kalau manusia ingat akan semua ini, aku tanggung manusia akan berpikir dulu sebelum memperebutkan kemenangan!"

   

Pendekar Super Sakti Eps 34 Kisah Pendekar Bongkok Eps 5 Kisah Pendekar Bongkok Eps 20

Cari Blog Ini