Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 47


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 47



"Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguhpun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengaki-batkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih.... anggauta keluargaku sendiri dan.... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...."

   "Ya Tuhan....!"

   Siok Bi mengeluh panjang.

   "Dan di mana keparat itu...."

   "Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...."

   "Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng....!"

   "Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya."

   Milana berhenti sebentar.

   "Sungguh kasihan Gak-suheng.... dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, sekarang.... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan namanya."

   "Ahhhh....! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?"

   Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.

   "Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!"

   Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas.

   "Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani."

   Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran.

   "Siapakah dia ini, Adik Milana?"

   "Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya amat besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Akan tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya."

   "Ahhhh....!"

   Siok Bi berseru kaget.

   "Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap.... selain beliau bukan musuh kami.... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?"

   "Agaknya engkau tidak tahu. Puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja."

   "Kalau begitu aku akan mencarinya sekarang juga!"

   Siok Bi berteriak, lalu lari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja. Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus,

   "Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi."

   Milana menarik napas panjang.

   "Kami semua telah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dahulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...."

   Puteri ini menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu apakah dia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang di-kasihinya itu.

   "Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?"

   Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.

   "Ke mana....? Ahh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi.... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...."

   "Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...."

   "Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, dan akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat."

   Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak serombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang dengan alis berkerut.

   "Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan?"

   Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana. Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.

   "Gi-hu....!"

   Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat me-megang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.

   "Syukurlah.... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamat-kan!"

   Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin,

   "Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?"

   Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan.

   "Sampai mati pun tidak ada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berdukacita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka."

   "Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan."

   "Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat."

   Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi.

   "Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?"

   Puteri itu mengangguk.

   "Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...."

   "Ah, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biarpun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengan-tar sendiri, dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku ini."

   Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya,

   "Bibi.... jangan biarkan Paman Gak merana...."

   Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya lalu membalapkan kuda itu, diiringkan oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringkan oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.

   Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja. Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali. Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung racun pula.

   "Ahh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?"

   Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal muka kakek itu,

   "Benar, dia adalah Louw Ki Sun.... aku pernah bertemu dengan dia....!"

   Ceng Ceng berseru lagi. Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata,

   "Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Carikanlah air yang jernih.... dia memerlukannya...."

   Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil.

   Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu. Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis.

   "Paman, kau.... kau.... menangis?"

   Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.

   "Ah, dia telah mati?"

   Tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu. Topeng Setan mengangguk.

   "Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng Ceng."

   Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka. Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah itu dikubur di depan kuil tua dan Topeng Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya.

   Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, tepekur dan mengheningkan cipta. Kemudian Topeng Setan mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng. Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apalagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luat biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!

   "Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu,"

   Topeng Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng.

   "Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan."

   Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat ber-hasil memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu.

   Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini! Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak. Karena luasnya telaga maka biarpun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi.

   Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apalagi terang bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman! Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak "pesiar"

   Di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga! Akan tetapi, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu.

   Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri. Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi pe-rebutan yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.

   "Begitu banyak orang...."

   Ceng Ceng berbisik. Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.

   "Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di guha dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu."

   "Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kau kira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?"

   "Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai."
(Lanjut ke Jilid 46)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 46
"Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es,"

   Kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu. Topeng Setan menarik napas panjang.

   "Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya...."

   "Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?"

   Tanya Ceng Ceng tidak percaya.

   "Mungkin sekali, bahkan mungkin be-berapa kali lipat! Mereka yang tidak mau lagi mempergunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tidak bisa dibandingkan dengan kita, dengan mereka yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga."

   Topeng Setan menghela napas panjang.

   "Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu seperti dewa.... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...."

   "Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia, Paman?"

   "Kenyataannya demikianlah.... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu.... ah, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng."

   Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.

   "Eh.... kau ini....? Moi-moi.... Nona Ceng....?"

   Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri. Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah.... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.

   "Ohhh.... Pangeran.... Yung Hwa...."

   Dia tergagap.

   "Aih, Nona.... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ah, mukamu masih pucat.... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...."

   Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepaqa Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya,

   "Dia ini.... eh, siapakah dia, Nona Ceng?"

   Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata,

   "Kiranya Paduka seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini."

   "Topeng Setan....? Nama yang aneh....!"

   Pangeran Yung Hwa kelihatan serem.

   "Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran btsa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?"

   Ceng Ceng bertanya. Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.

   "Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau.... ah, kasihan Kakak Milana...."

   "Kenapa, Pangeran?"

   Ceng Ceng bertanya heran.

   "Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ah, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana."

   Ceng Ceng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberonta-kan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.

   "Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?"

   Tanyanya.

   "Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah terbang.... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!"

   Wajah yang tampan itu berseri.

   "Mengapa, Pangeran?"

   "Ah, engkau tidak tahu? Ceng-moi...., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku.... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau.... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain.... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat lagi...."

   "Ah, jangan berkata begitu, Pangeran!"

   Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang hanya mendengarkan tanpa memandang.

   "Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi....!"

   Pangeran itu kelihatan girang bukan main. Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu.

   "Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tidak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Kenapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...."

   "Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...."

   "Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran."

   "Ouhhh....! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?"

   Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...."

   Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata,

   "Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan kini pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa."

   "Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!"

   Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan! Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa. Topeng Setan cepat-cepat mengangkat bangun pangeran itu.

   "Ah, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran."

   Suara Topeng Setan mengandung keharuan.

   "Saya berjanji akan berusaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng."

   "Terima kasih.... terima kasih....! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?"

   "Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran."

   "Aihhh....?"

   Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik.

   "Berebutan? Apa yang diperebutkan?"

   "Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!"

   Kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum malapetaka kehidupan menimpa dirinya. Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak.

   "Lucu....! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kau lihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ akan muncul anak naga? Ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui dongeng menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!"

   Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini.

   "Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak?"

   "Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...."

   Pangeran itu menuding ke kanan.

   "Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri.... akan tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kau dengar...."

   Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada saat itu memang amat indah pemandangannya. Kemudian terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.

   Merah Nyala Matahari
Membakar Langit Senjakala
Di Atas Telaga Sungari!
Air Terbakar Merah Seperti Neraka
Sebagai Isyarat
Munculnya Sang Naga
Dari Dongeng Rakyat Jelata.
Matahari Senja, Langit Menyala,
Telaga Sungari, Kisah Naga,
Tidak Seindah Saat Ini
Berjumpa Kekasih Di Tepi Sungai!

   Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimanapun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!

   "Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?"

   "Sajak yang indah sekali!"

   Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.

   "Sajakmu memang bagus, Pangeran,"

   Kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya secara langsung dan terang-terangan.

   "Tunggu sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hem.... aku maklum bahwa keindahan itu tidak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kau tunggu sebentar, aku takkan lama...."

   Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu. Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.

   "Paman, mari kita pergi...."

   Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.

   "Eh....?"

   Topeng Setan berkata bingung.

   "Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tidak akan berhasil mendapatkan anak naga itu.... dia.... dia.... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini."

   Topeng Setan hanya mengangguk, tidak membantah lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tidak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.

   "Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...."

   Terdengar Topeng Setan berkata.

   "Dia seperti orang gila saja...."

   Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.

   "Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...."

   "Sudahlah, Paman. Aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana."

   Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu makin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing.

   Dan ketika prerahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agak-nya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan kalau perlu mempergunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam perebutan itu! Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya serem-serem dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan mendayung perahunya perlahan-lahan sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.

   Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya dan meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras, perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu tidak jauh jaraknya dari perahunya. Penumpangnya hanya satu orang. Orang berpakaian tosu tua yang wajahnya bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.

   "Tarrrr....!"

   Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air. Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil mengelak lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!

   "Hebat....!"

   Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian gin-kang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu. Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu.

   Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan "terbanglah"

   Dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Gin-kang tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main. Tubuh tosu yang "menunggang"

   Empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.

   "Huhhhh!"

   Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan perahunya "terbang"

   Terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.

   "Hemmm....!"

   Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan.... perahunya "selulup"

   Ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali ke depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguhpun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup! Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.

   "Cluppp....!"

   Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap. Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, lalu bertanya kepada Topeng Setan,

   "Paman, apakah dia mati?"

   Topeng Setan mendengus,

   "Hemm, dia sudah kembali ke perahunya."

   Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya. Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi, masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.

   "Brakkkk....!"

   Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air. Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang perahu besar ke dua itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu. Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui!

   Keduanya menjadi terkejut akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah. Perahu ke dua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon!

   Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari balik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon. Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. Tiba-tiba jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan.... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Akan tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.

   Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya. Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, sudah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.

   "Itu dia....! Naga sudah muncul....!"

   Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu maka suaranya terdengar begitu aneh.

   Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik. Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan terang keemasan, akan tetapi belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing. Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.

   Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apabila yang dinanti-nanti itu muncul. Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apalagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya "naga"

   Itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang mencorong.

   Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika muncul itu, lehernya "berdiri"

   Dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa! Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.

   "Koaaaakkk....!"

   Terdengar suara nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali. Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk.

   Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak yang terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik. Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular "naga"

   Itu sedemikian hebatnya. Ketika mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter.

   Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan. Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng menjadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam mulutnya? Manu-sia gila manakah yang akan mampu mengambil anak "naga"

   Itu dari dalam moncong yang demikian mengerikan dan berbahaya?

   Betapapun lihainya seseorang mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja sudah dapat menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya, selama ratusan tahun belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini, apalagi mencuri anaknya dari dalam moncong! Akan tetapi anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang kang-ouw yang datang untuk mencobanya, sungguhpun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, aklbat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena perahunya pecah sudah ada belasan orang!

   "Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!"

   Topeng Setan berkata lirih.

   "Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?"

   Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada bahaya mengancam.

   "Aaiiihhh....!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit dan cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.

   "Apa... apa yang terjadi... eiiikkkhhh..!"

   Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri karena tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih bergumpal keluar dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang memuakkan, akan tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu muncul di permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu menyabet perahu.

   "Braaakkkk....!"

   Perahu kecil itu hancur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu. Topeng Setan sudah cepat meloncat ke atas akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah tulang pahanya remuk. Topeng Setan maklum bahwa sin-kangnya dapat melindungi tulang pahanya, akan tetapi biarpun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat, tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.

   "Pakai pedang pendek ini....!"

   Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya, sebatang pedang kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan tangan kiri. Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan pedangnya ke arah lidah ular naga itu.

   "Crattt.... plaaakkk!"

   Pedang kecil itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu akan tetapi gerakan kepala ular itu ke samping membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Topeng Setan. Dan Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu.

   Pekik melengking nyaring ini terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka dan mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata yang tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari! Dengan lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular kecil itu terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu! Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan tetapi Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu tidak mampu melepaskan diri.

   Akan tetapi pada saat itu, induk ular naga menjadi marah sekali. Biarpun matanya sudah buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap anak ular dan berusaha menghindar dan berenang, melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya, menjadi terkejut dan dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis karena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan kanan itu merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya menjadi kaku.

   "Plakkk....!"

   Topeng Setan mengeluarkan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari rangkulan. Seketika yang teringat olehnya hanyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia memandang tangan kirinya dan Topeng Setan terbelalak, mulutnya mengeluarkan suara.

   "Auhhhh...."

   Ketika dia melihat betapa tangan kiri berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu ternyata telah buntung dicoplok ular naga tadi! Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan dipermainkan air bergelombang.

   Cepat dia lalu berenang mendekati dan menggunakan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke atas. Ular itu masih digenggam di tangan kanannya. Selagi Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk bergerak di air itu hendak berenang menjauh, tiba-tiba kaki kirinya dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa amatlah berbahaya kalau dia tidak dapat melepaskan cekalan tangan orang itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan kaki kanannya juga menendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan itu tidak terlepas dari kakinya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri.

   Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, namun cekalan pada pergelangan kakinya itu seperti jepitan baja, dan tidak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan menendang. Sudah beberapa kali dia ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir saja dia menyerah. Akan tetapi tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu menggerakkan ekor menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya karena kakinya terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul ke permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Akan tetapi karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tidak berani mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.

   Karena merasa betapa tubuhnya makin melemah dan ular naga itu masih mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan keselamatan Ceng Ceng semata, melihat adanya balok tiang perahu besar yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kakinya dan seluruh tubuhnya, mencelat ke atas balok tiang layar itu. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng Setan. Orang yang berada di dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Setan! Karena perahu itu muncul tiba-tiba dan menubruknya, membuat dia tidak dapat mengelak lagi, apalagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya kena dirampas oleh kakek tinggi besar muka hitam itu! Dengan kemarahan meluap, Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 25 Sepasang Pedang Iblis Eps 35 Sepasang Pedang Iblis Eps 5

Cari Blog Ini