Sepasang Pedang Iblis 35
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
"Singggg....!"
Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang, mengarah leher Suma Han.
"Awas....!"
Milana berseru kaget. Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan....!"
Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tangguh adalah Maharya, ke dua adalah Koksu inilah.
"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!" "Awas pukulah Si Gundul itu, Paman!"
Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya biarpun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh. Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara "kok-kok"
Seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han.
Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam bergulung-gulung! Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah dada kanan-kiri dan pusar! Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan dengan telapak tangan kirinya.
Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama. Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam ke dua dan ke tiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat. Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat.
Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri.
"dipaksa"
Kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han! Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri! Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapapun cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya.
Milana sampai memejamkan mata saking ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh! Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri.
Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi. Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan.... ibunya akan celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biarpun dia sendiri tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biarpun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andaikata tidak berhasil sekalipun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.
"Paman.... beritahukan kepada Ibu.... mereka tadi.... berunding untuk membunuh Ibu...."
Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran. Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?
"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!"
Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak.... engkau saja pergi, Paman...."
Milana berbisik pula. Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!"
Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang diinjaknya terbuka! Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan....!"
Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biarpun lantai itu terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan....!"
Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan! Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia....!"
Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?"
Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!"
Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata,
"Aih.... aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran. Hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya,
"Harap Koksu suka memberitahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.
"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!"
Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk.
"Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biarpun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapapun tinggi dan mahirnya tingkat gin-kang Milana, namun dengan perut dan dada terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jika tidak cepat-cepat Suma Han bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai! Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberitahukan ibunya. Siapa kira, ayahya itu malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh.... mengapa engkau berada di sini....?"
Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Hemm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?"
Suma Han menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu hitam. Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab,
"Aku sengaja melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian memberitahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman malah menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, tidak membebaskan diri yang kuyakin dapat Paman lakukan setelah tidak menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini.
"Perbuatanmu itu baik dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman.... eh, maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu...."
Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang "bukan apa-apa"
Dengan dia!
"Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan yang baik dan bodoh! Biarpun menggendongmu, apa kau kira aku akan begitu mudah mereka robohkan? Tidak, aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Akan tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, sehingga terusirlah kekecewaannya. Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit....!"
"Hemm, kulit dan daging terobek kau bilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang terpukul untuk menentukan sampai berapa hebat lukanya. Cukup kau buka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biarpun dia terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini,
Andaikata pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekalipun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apalagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan-kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar. Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!
"Ini.... apakah ini....?"
Tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau. Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
"Mata kalung ini.... burung Hong berbulu hijau.... eh.... aku.... aku pernah melihatnya.... di dada seorang.... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini....? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana Kaisar!"
Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira.
"Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh.... maafkan aku."
Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri.
"Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya.
Kemudian Suma Han memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk berwama merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali. Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini? Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah?
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini, Paman?"
Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung,
"Hemmm...."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?"
Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini! Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di leher.... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es adalah seorang yang tidak beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana...."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?"
Milana memancing. Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata,
"Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohh!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman.... jangan.... jangan bersedih...."
Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau.... kau menangis?"
Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan keharuan yang membayang di wajahnya karena biarpun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!
"Aku kasihan sekali kepadamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku.... ah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana, meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi To-cu di sana. Dan.... begitulah.... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh...."
Milana mendengar-kan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia.... dia telah mempunyai seorang anak perempuan, dia anakku.... anak kami.... dia telah mengandung ketika pergi meninggalkan aku ke Mongolia."
Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali. Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"
Benar saja, pertanyaan ini membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau sudah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi To-cu Pulau Neraka yang kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi To-cu Pulau Neraka, juga membencimu?"
Suma Han mengangguk.
"Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini membenciku...."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan segala canggung...."
Milana memegang tangan pendekar itu.
"Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata setelah gadis itu melepaskan pegangan tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.
"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi, Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai.... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.
"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang ke dua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah Lulu?"
Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta, sungguhpun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami.... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sin-kangnya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih,
"Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata,
"Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak percaya, kau dengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan.... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini,"
Katanya. Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena begitupun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!
"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!"
Terdengar suara parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?"
Terdengar suara wanita.
"Dan siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkerik di sini. Hayo kita cari dia!"
Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkerik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa mengeluarkan dia?"
Terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?"
Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan jangkerik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadang kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk kita!"
"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok? Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkerik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu, jangan!"
Terdengar mereka berdua tertawa-tawa.
"Jangkerik itu mungkin kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!"
Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkerik itu mengerik di dalam lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau keponakannya itu menyebut "suhu"
Kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mujijat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekalipun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong? Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han?
Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In. Kemudian guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir di utara untuk mencari racun kelabang untuk keperluan Kwi Hong sendiri dalam menerima gemblengan ilmu mujijat yang tinggi dari kakek sinting itu. Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu.
Kwi Hong merasa heran bagaimana gurunya dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan itu yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di situ seolah-olah tanahnya mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada pula bagian yang penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga empat meter, tanpa daun sehelai pun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari kelabang! Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati itu, memandang ke kanan-kiri dan mengangguk-angguk.
"Di sinilah.... hemmm sudah tercium bau mereka dan tampak bekas mereka...."
Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau amis yang aneh olehnya.
"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sin-kang!"
Kakek itu berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas seperti biasa.
"Suhu.... celaka....!"
Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk dari dalam.
"Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur pernapasanmu."
Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu menempelkan telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan racun kelabang!"
Kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan sin-kangnya.
"Suhu, apa yang berkilauan itu?"
Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar kepalan tangan.
"Hemm, itu batu biasa."
"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."
"Kau tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi Hong, membungkuk, dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba ia berteriak dan melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa panas dan perih. Batu mengadung racun yang luar biasa!
"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan tetapi sebetulnya mengandung racun yang berbahaya. Biarpun sih-kangmu sudah kuat, kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yanng tepat, lambat laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit kusta!"
"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?"
Kwi Hong menuntut.
"Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"
"Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun begitu saja, kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang seratus kali lebih hebat, selama aku masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."
Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya, menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang telapaknya berubah hitam. Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu pulih seperti biasa.
"Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!"
Kwi Hong tertarik sekali dan ingin memilikinya.
"Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu, tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memikiki ilmu yang dapat membuat dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi agar kelak ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!
"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari adalah kelabang bunting!"
Kwi Hong menghela napas menyabarkan hatinya.
"Baiklah, kelabang bertelur, kelabang bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita menemukannya."
"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat sebelum malam tiba!"
"Baik, Suhu."
Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya sudah kurang manis!"
Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biarpun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik pesan itu lalu meleset pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis itu telah kembali kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan betina yang gemuk-gemuk!
"Eh. kenapa dua ekor?"
"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!"
Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan akan tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata,
"Eh, kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya, mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping ayam hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging ayam, kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya malam gelap.
"Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja. Setelah ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Akan tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah adalah calon-calon pengantin dan calon bangkai karena pada waktu perkawinan mereka pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin, membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri kalau mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya! Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus.
"Setelah bulan purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan. Betapapun lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita padamkan, mereka akan bermunculan dan tak hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."
"Ihhhh....!"
Kwi Hong mengkirik ngeri.
"Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu mengejar."
"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti ke mana mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"
Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu diganyang habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya, untuk diisap sungsumnya!
"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!"
Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang ke arah timur, berteriak sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul,"
Jawab guruya yang masih enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam. Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu.
Bu-tek Siauw-jin lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke atas dua batang pohon mati yang berdampingan. Dengan tergesa-gesa karena ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas puncak batang pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat ke atas dan hinggap di pohon ke dua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dan tempat itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.
Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum terguling dan melenggut lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati karena tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar dengkurnya perlahan. Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan mendadak terdengar suara gurunya,
"Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan hawa beracun. Mereka sudah datang!"
Kwi Hong cepat mengerahkan sin-kang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru dengan hawa murni,
Matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak, menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan, bergerak-gerak mendekat. Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak olehnya bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang besar-besar dan panjang-panjang! Karena binatang-binatang itu merayap beriringan dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan kelihatan seperti sebuah benda atau ular yang panjang. Tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang kulitnya merah mengkikap, panjangnya masing-masing antara dua puluh sampai tiga puluh senti meter!
Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu! Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong. Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti terbang cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar, lalu tak bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya. Ayam itu telah mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit dan saling terjang dengan hebat.
Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya! Kwi Hong melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan menggosok-gosok kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi Hong bergidik! Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting, atau bukan golongan manusia! Betapapun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan ilmu-ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat! Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati.
Empat ekor yang lebih besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut itu cukup banyak terutama ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh bagian yang cukup dan dari atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun murbei! Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam, kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di bawah pohon dan lenyap!
"Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari....!"
Bu-tek Siauw-jin tertawa girang dan meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun, begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan pedangmu!"
Bu-tek Siauw-jin berbisik.
"Aku akan mencabut pohon itu dan kalau engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan ragu-ragu, kau bacok putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya cepat kau masukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat."
Kakek itu menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia, biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh di tubuhnya berdiri tegak!
Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya memenuhi tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap. Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesat tubuh manusia itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah dilemparkan jauh oleh kakek sinting.
Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar sekali, perutnya menggembung dan warna (Lanjut ke Jilid 34)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 34
kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang yang tadi, merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar mengkikap. Sekilas pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di samping bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah mati pula. Agaknya Sang "Ratu"
Pendekar Super Sakti Eps 16 Pendekar Super Sakti Eps 30 Kisah Pendekar Bongkok Eps 26