Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 8


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Ada pula yang ikut menyerbu Pulau Es semata-mata untuk membalas dendam kepada Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti karena sahabat atau saudara seperguruan mereka pernah roboh di tangan pendekar ini. Suma Han dan dua orang isterinya yang juga mendengar pekik sepasang rajawali dan melihat sebuah perahu besar mendarat, sudah cepat menyambut dan kini mereka bertiga menanti keluarnya dua puluh orang itu dari perahu. Sikap Suma Han dan dua orang isterinya tenang-tenang saja sungguhpun mereka juga merasa heran sekali melihat rombongan orang asing datang ke pulau mereka dan mereka bertiga sudah dapat menduga bahwa rombongan itu tentulah bukan datang dengan iktikad baik. Namun, sesuai dengan wataknya yang tenang dan sopan, Suma Han mengangkat kedua tangannya di depan dadanya sebagai tanda penghormatan, lalu bertanya dengan suara halus,

   "Siapakah cu-wi (anda sekalian) yang telah mendarat di Pulau Es dan apa gerangan keperluan cu-wi?"

   Sejenak kedua orang kakek kembar itu tak dapat menjawab, hanya mata mereka memandang Suma Han penuh perhatian dan penuh selidik, memandang pendekar itu dari rambutnya yang putih semua dan panjang sampai ke pundak sampai kakinya yang tinggal sebelah. Akhirnya Pak--thian Lo-mo menghela napas panjang. Dia merasa heran sekali dan hampir tidak percaya bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kelihatannya lemah, tubuhnya sedang, kakinya tinggal yang kanan dan rambutnya sudah putih semua, bersikap halus dan lemah lembut ini adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang demikian tersohor! Dia tersenyum dan dengan sikap tak acuh tanpa membalas penghormatan tuan rumah, dia bertanya,

   "Apakah engkau yang berjuluk Pendekar Super Sakti, to-cu dari Pulau Es?"

   "Kalau benar demikian, kau mau apakah?"

   Tiba-tiba Lulu tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap orang yang sama sekali tidak menghormat suaminya, padahal suaminya telah bersikap sopan dan ramah. Pak-thian Lo-mo memandang Lulu dan mengangguk-angguk.

   "Hebat, aku sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri yang kabarnya lihai bukan main dan bahwa yang seorang adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri! Apakah engkau puteri kaisar itu?"

   "Kakek tua bangka yang tidak mengenal orang!"

   Nirahai membentak.

   "Akulah puteri kaisar yang kau tanyakan. Engkau siapakah dan mau apa berlagak di tempat ini dengan membawa banyak anak buah?"

   Pak-thian Lo-mo saling pandang dengan adik kembarnya, kemudian mereka berdua tertawa bergelak. Kini Lam-thian Lo-mo yang menjawab, suaranya kering namun nyaring sekali,

   "Eh, Pendekar Siluman! Kami hendak bertanya, apakah benar suheng kami Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di Pulau Es ini?"

   Suma Han dan kedua orang isterinya terkejut. Kiranya dua orang kakek kembar yang aneh itu adalah sute-sute dari mendiang Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun (baca SEPASANG PEDANG IBLIS)! Jelas bahwa kedatangan mereka ini mengandung niat yang tidak baik. Namun suara Suma Han masih tetap tenang ketika dia menjawab,

   "Benar, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di tempat ini karena perbuatannya sendiri yang menyalahi kebenaran.

   "Kau kah yang membunuhnya?"

   Pak-thian Lo-mo bertanya, suaranya penuh ancaman. Sebetulnya, seperti diceritakan dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS , Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun ketika bertanding dengan Gak Bun Beng, terjungkal dari tebing yang amat curam. Akan tetapi bukanlah watak Suma Han untuk menyebutkan kesalahan orang lain hanya untuk melindungi dirinya sendiri, maka jawab-nya,

   "Yang membunuhnya adalah tingkah lakunya sendiri yang tidak benar."

   Pak-thian Lo-mo mengangkat tangannya ke pinggang, bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali.

   "Pendekar Siluman, dengarlah baik-baik! Kami berdua adalah Siang Lo-mo, aku disebut Pak-thian Lo-mo dan dia ini adikku Lam-thian Lo-mo. Kami datang untuk menuntut kematian suheng kami! Bukan itu saja, karena engkau adalah mantu kaisar penjajah dan isterimu itu puteri kaisar, maka kami para patriot bergabung untuk membasmi kalian dan mengambil Pulau Es ini sebagai sebuah markas baru!"

   "Iblis tua bangka bosan hidup!"

   Nirahai sudah membentak marah sekali dan hampir berbareng dengan Lulu yang juga marah, kedua orang wanita sakti ini sudah melompat ke depan. Terjangan mereka disambut oleh Pak-thian Lomo dan Lam-thian Lo-mo yang tertawa-tawa menghina dan memandang rendah kedua wanita itu.

   "Dessss! Desssss!"

   Empat pasang lengan saling bertemu dengan hebatnya, dan akibatnya, Nirahai dan Lulu terlempar ke belakang sedangkan kedua kakek inipun terhuyung! Melihat ketangguhan kedua orang kakek Siang Lo-mo itu, Suma Han berkata kepada kedua orang isterinya yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka,

   "Biarlah aku menghadapi mereka."

   "Pendekar Siluman, tibalah saatnya engkau menebus kematian suheng!"

   Lam-thian Lo-mo berteriak keras dan bersama saudara kembarnya dia menubruk ke depan dan dari kedua tangannya menyambar hawa yang panas seperti api menyala, sedangkan dari kedua tangan Pak-thian Lo-mo menyambar hawa yang dingin sekali. Namun Suma Han dengan gerakan tenang sudah menggerakkan tongkatnya ke depan, dengan gerakan aneh, tongkatnya berputar seperti mencoret-coret huruf di udara.

   "Plak-plak....!"

   Secara aneh sekali tahu-tahu tongkat itu telah memukul tepat mengenai punggung kedua kakek itu yang cepat melompat ke belakang, saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka kaget bukan main! Sama sekali mereka tidak mengerti bagaimana tongkat di tangan si kaki buntung itu dapat memukul punggung mereka!

   Namun mereka tidak menjadi jerih dan cepat tangan mereka meraba pinggang dan mereka melolos sabuk mereka, yang ternyata merupakan sebatang senjata cambuk baja hitam! Suma Han merasa khawatir sekali di dalam hatinya. Kalau kedua orang kakek itu menggunakan senjata yang dia dapat menduga tentu ampuh dan lihai sekali, maka pertandingan akan menjadi sungguh-sungguh dan ada kemungkinan dia kesalahan tangan dan terpaksa membunuh mereka untuk menyelamatkan diri. Biarpun dia tidak merasa takut, namun betapapun juga dia tidak menghendaki dia sekeluarga terpaksa membunuh orang dan mengotori Pulau Es yang sudah beberapa kali dikotori darah manusia yang terbunuh di situ akibat kejahatan-kejahatan mereka. Selama puluhan tahun dia hidup damai, tenteram, dan aman bersama dua orang isterinya dan kedua orang puteranya. Kini dia tidak ingin terjadi pembunuhan.

   "Jiwi harap bersabar. Apakah urusan ini tidak dapat diselesaikan dengan damai?"

   Tanyanya tenang.

   "Pendekar Siluman, jangan kau kira bahwa kami gentar menghadapi tongkatmu! Kami datang untuk menantang engkau berkelahi!"

   Bentak Pak-thian Lo-mo. Suma Han menahan napas.

   "Andaikata terpaksa berkelahi juga, apakah tidak sebaiknya kita menggunakan tangan untuk mengukur siapa yang lebih kuat, dan tidak perlu menggunakan senjata?"

   Sambil berkata demikian, dia menancapkan tongkatnya di depan kaki, tanda bahwa ia tidak akan menggunakan tongkat itu sebagai senjata. Dua orang kakek itu saling pandang, dan sebagai sepasang saudara kembar, tentu saja hubungan batin mereka lebih erat daripada orang lain sehingga dengan saling pandang saja mereka sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing. Keduanya mengangguk, menyelipkan cambuk di ikat pinggang, kemudian keduanya lalu berpencar, menghampiri Suma Han dari kanan kiri.

   "Engkau hendak mengadu tenaga sin-kang, ya?"

   Lam-thian Lo-mo berseru.

   "Baiklah! Nah, kau terima pukulan kami ini!"

   Kedua orang kakek itu mengeluarkan suara menggereng hebat dari dalam perut mereka, kemudian mereka menggerakkan kedua lengan yang menggetar hebat dan tak lama kemudian, kedua lengan Lam-thian Lo-mo berubah menjadi merah kehitaman dan mengeluarkan uap panas, sedangkan kedua lengan Pak-thian Lo-mo berubah putih pucat seperti lengan mayat dan dari kedua lengan ini juga keluar uap dingin! Kiranya mereka sudah mengumpulkan dan mengerahkan sin-kang istimewa masing-masing, menyalurkannya ke dalam lengan dan tiba-tiba mereka berseru keras, memukul dengan telapak tangan kanan terbuka ke arah Suma Han dari kanan kiri agak ke depan pendekar berkaki tunggal itu. Suma Han maklum bahwa kalau dia tidak memperlihatkan kekuatannya tentu tidak akan membuat lawan mundur dan dia tidak ingin kalau harus bertanding mati-matian, maka diam-diam diapun telah mengerahkan tenaga sin-kangnya yang istimewa.

   Pendekar Super Sakti ini memang terkenal sekali dengan sin-kangnya, karena dia telah menguasai dengan sempurna dua macam tenaga sin-kang yang berlawanan, yaitu Hwi-yang-sin-kang (Tenaga Inti Api) dan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju). Kini, menghadapi dua serangan yang datang mengandalkan sin-kang yang berlawanan, tentu saja dia sudah siap. Bagi orang lain, betapa kuat sin-kangnya, tentu akan sukar menyelamatkan diri menghadapi serangan dari dua tenaga sin-kang yang berlawanan itu, namun Pendekar Super Sakti dapat dalam satu saat menyalurkan dua tenaga bertentangan itu, lengan kiri penuh dengan tenaga Hwi-yang-sin-kang menyambut telapak tangan Lam-thian Lo-mo yang panas, sedangkan telapak tangan kanannya juga mendorong dan menyambut telapak tangan Pak-thian Lo-mo yang dingin.

   "Dess! Dess....!"

   Pertemuan tenaga mujijat itu hebat luar biasa. Seolah-olah bumi bergetar dan semua orang yang ada di situ dapat merasakan getaran hawa panas dan dingin berselang-seling sehingga beberapa orang anak buah sepasang kakek kembar itu menggigil penuh kengerian. Baru pertama kali itu selama hidup mereka yang puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw, mereka menyaksikan beradunya tenaga mujijat sehebat itu.

   Dan akibatnya juga luar biasa sekali! Tubuh kedua kakek kembar itu terlempar sampai empat meter lebih. Mereka seperti daun kering tertiup angin, terhuyung dan terguling-guling dan ketika mereka berdua dapat meloncat berdiri, tampak darah merah menghias ujung bibir mereka! Benturan tenaga dahsyat tadi telah membuat mereka terluka di sebelah dalam, sungguhpun tidak terlalu berat karena mereka telah membiarkan diri mereka terdorong oleh tenaga lawan yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi, di lain fihak, biarpun Pendekar Super Sakti masih berada di tempatnya tadi, tidak bergeser selangkahpun, namun tubuhnya menjadi kurang tingginya dan kalau orang melihat ke arah kakinya yang tinggal sebelah itu ternyata telah melesak ke dalam tanah sampai hampir selutut!

   Ternyata bahwa kekuatan kedua orang kakek kembar itu kuat sekali sehingga dalam menahan pukulan mereka, tubuh Suma Han tertekan sedemikian rupa dan biarpun pendekar ini dapat mempertahankan, namun tanah di bawah kakinya tidak dapat menahan sehingga kaki itu masuk ke dalam tanah! Tadinya kedua kakek kakak beradik itu terkejut bukan main, akan tetapi mereka melihat keadaan lawan, hati mereka menjadi besar. Kiranya keadaan lawan juga tidak lebih baik daripada keadaan mereka. Melihat betapa Pendekar Super Sakti masih berdiri dengan kaki tunggal menancap ke dalam tanah, kedua orang itu sudah mencabut cambuk masing-masing dan dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menerjang maju.

   "Tar-tar-tar-tarrr....!"

   Cambuk hitam mereka meledak-ledak di udara kemudian menyambar ke arah kepala Suma Han.

   "Trak-trak-trak-trakkk!"

   Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung dan kiranya tongkat yang tadi tertancap di atas tanah di depan kakek Pendekar Siluman, kini telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Biarpun kaki tunggalnya masih menancap di atas tanah, namun pendekar itu dengan tenangnya dapat menangkis semua sambaran sinar berwarna hitam dari kedua cambuk lawan.

   Ke manapun ujung cambuk menyambar, tentu akan terbendung oleh gulungan sinar tongkat dan membalik seperti seekor ular bertemu api! Di antara delapan belas orang teman sepasang kakek kembar, empat orang wanita Korea itu merupakan tokoh-tokoh terpandai. Melihat keadaan musuh mereka yang seolah-olah sudah terjebak, mereka mengeluarkan bentakan-bentakan pendek yang nyaring dan ketika tangan mereka bergerak, tampak pedang-pedang panjang melengkung, yaitu pedang samurai model Jepang, berada di kedua tangan mereka. Pedang itu terlalu panjang dan berat bagi mereka, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk memegang gagang pedang, seperti orang memegang toya dan kini mereka memekik sambil berlari ke arah Suma Han dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala mereka.

   "Haaaiiiiikkkk....!"

   "Trang-cring-cring-cring....!"

   Empat orang wanita itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Lulu dan Nirahai yang ternyata telah menghadang mereka dan menangkis samurai-samurai itu dengan pedang mereka. Lulu memegang pedang Pek-kong-kiam yang bersinar putih, sedangkan Nirahai telah menggunakan senjatanya yang luar biasa, yaitu pedang payung. Merasakan tangkisan yang membuat tangan mereka tergetar dan tubuh mereka terhuyung, empat orang wanita Korea itu maklum akan kelihaian dua orang wanita isteri Pendekar Siluman itu, maka mereka lalu serentak maju menyerang sambil mengeluarkan pekik-pekik dahsyat. Empat belas orang lain juga bergerak maju, hendak mengeroyok Suma Han dan dua orang isterinya.

   "Lee-ko, mari....!"

   Kian Bu sudah berlari ke medan pertempuran, diikuti oleh kakaknya.

   "Manusia-manusia jahat, berani kalian mengacau Pulau Es?"

   Kian Bu berteriak dan segera dia menyerbu ke depan.

   "Haiiiitt!"

   "Hyaaaahhh!"

   Kedua orang pemuda itu mengamuk dan mereka ternyata hebat sekali. Biarpun mereka hanya bertangan kosong, namun setiap pukulan
mereka tentu mengenai seorang lawan yang terjengkang atau terhuyung ke belakang. Biarpun mereka itu dapat bangun kembali, namun amukan kedua orang pemuda ini membuat mereka menjadi kaget dan panik. Apalagi ketika terdengar lengking memanjang dari atas dan dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dan mengamuk pula membantu kedua orang majikan mereka!

   Keadaan makin menjadi panik dan para pengeroyok itu kini sebaliknya malah menjadi sibuk dan terdesak hebat! Pertandingan antara Suma Han dan dua orang kakek kembar juga makin seru, namun diam-diam kedua orang kakek itu harus mengakui bahwa lawan mereka yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu memang benar-benar amat sakti! Sering kali kedua orang kakek ini menjadi bingung karena secara aneh dan tiba-tiba sekali lawan mereka yang hanya berkaki satu itu lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu lawan itu telah menyerangnya dari atas kepala! Ketika mereka menyambarkan cambuk ke atas, kembali tubuh itu lenyap dan tahu-tahu sudah menerjang dari belakang!

   Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti mengeluarkan ilmu silatnya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu kesaktian paling cepat gerakannya di dunia ini! Diam-diam Suma Han harus mengakui bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek kembar itu hebat sekali, sin-kang mereka kuat dan tubuh mereka kebal, juga mereka merupakan ahli-ahli silat yang sudah berhasil mengumpulkan intisari segala gerakan ilmu silat, diringkas dan dimainkan dasarnya saja sehingga mereka berdua merupakan lawan yang amat ulet dan kuat. Namun, andaikata dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun yang membingungkan mereka, tentu saja dia dapat merobohkan mereka dengan tongkatnya, membunuh atau sedikitnya melukai mereka.

   Dia tidak menghendaki hal ini. Dia maklum bahwa jalan kekerasan hanya akan berakhir dengan kekerasan pula, dengan dendam dan kebencian yang tak kunjung henti. Maka dia bersikap sabar dan mengalah. Ketika Suma Han mendengar bentakan, kedua orang isterinya dan kedua orang puteranya dia menengok dan terkejutlah hati Pendekar Super Sakti ini. Dua orang isterinya dan dua orang pemuda itu mengamuk seperti naga-naga marah. Dua orang wanita Korea telah roboh dan tak dapat bertanding lagi karena terluka parah, sedangkan di antara empat belas orang itu, sudah ada delapan orang yang roboh, entah tewas atau pingsan! Celaka, dia sendiri tidak mau turun tangan keras, isteri-isteri dan anak-anaknya malah mengamuk seperti itu!

   "Heiii, tahan dan mundur kalian semua!"

   Teriaknya sambil mencelat ke arah kedua isteri dan anaknya.

   "Kian Bu, Kian Lee, hayo panggil burung-burung setan itu!"

   Teriaknya pula melihat betapa dua ekor rajawali itupun mengamuk hebat, membuat para lawan menjadi panik dan sibuk mempertahankan diri dari paruh dan cakar yang kuat. Kedua isterinya mengerutkan alis, namun mereka mengenal suami mereka dan tidak mau membantah. Mereka maklum bahwa suami mereka akan berduka sekali kalau sampai keluarganya menggunakan kekerasan.

   Juga Kian Lee dan Kian Bu meloncat mundur dan berusaha memanggil sepasang rajawali yang sedang marah dan mengamuk itu. Akan tetapi, pekerjaan itu tidaklah mudah karena sepasang rajawali itu agaknya telah datang kembali sifat liar mereka dan sekali mencium darah, mereka menjadi buas! Akan tetapi, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Suma Han. Dia sendiri mundur dan menyuruh anak isterinya untuk berhenti bertanding, akan tetapi sepasang kakek itu, dua orang wanita Korea, dan enam orang teman mereka yang masih belum roboh, sudah datang lagi menerjang dengan kemarahan meluap. Suma Han menghela napas panjang. Sedih dia melihat betapa begitu banyak orang ternyata amat membencinya sehingga mereka itu siap mempertaruhkan nyawa untuk membunuh dia!

   "Siang Lo-mo dan cu-wi sekalian! Apakah kalian sudah bosan hidup? Lihat.... bukit itu longsor ke sini....!"

   Tiba-tiba Suma Han berteriak, suaranya disertai khi-kang dan mengandung tenaga sakti mujijat yang bergema di seluruh tempat itu, tongkatnya menuding ke tengah pulau di mana tampak bagian yang menjulang tinggi seperti bukit es yang putih. Sepasang kakek kembar dan para temannya menengok ke arah yang ditunjuk itu dan tiba-tiba mata mereka terbelalak dan muka mereka pucat sekali. Mereka melihat betapa bukit itu pecah-pecah, batu dan es yang besar-besar sedang bergulingan dari atas menuju ke tempat itu, disertai suara gemuruh dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi yang hebat.
(Lanjut ke Jilid 08)

   Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
"Celaka....! Lari....!"

   Pak-thian Lo-mo berteriak sambil menyambar tubuh dua orang pembantu yang terluka.

   "Lari...., bawa teman-teman....!"

   Teriak pula Lam-thian Lo-mo yang juga menjadi pucat wajahnya. Tentu saja tidak perlu dikomando dua kali karena mereka yang belum roboh, menjadi pucat ketakutan menyaksikan malapetaka itu, bencana alam yang amat hebat dan yang tentu akan menggulung dan membasmi mereka semua kalau mereka terlambat lari dari tempat yang agaknya sudah dikutuk dan akan musnah itu.

   Mereka cepat menyambar teman yang terluka, lalu bersicepat lari ke arah perahu mereka, berloncatan ke dalam perahu dan sekuat tenaga mendayung perahu ke tengah laut. Angin segera mendorong layar dan perahu itu melaju cepat meninggalkan Pulau Es. Suma Han menghela napas lega. Dua orang pemuda yang tadinya berlutut merangkul kedua kaki ibu masing-masing dengan muka pucat, kini menengadah melihat ibu mereka tersenyum, keduanya bangkit berdiri, menoleh ke arah bukit dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa di sana! Padahal tadi, mereka ikut menengok dan melihat betapa bukit itu pecah dan mengeluarkan suara bergemuruh, mengancam tempat itu dengan gumpalan batu dan es sebesar rumah!

   "Untung mereka dapat dikelabuhi...."

   Suma Han berkata perlahan.

   "Hemmm, kalau mereka tidak lari, tentu sebentar lagi mereka tak sempat berlari lagi!"

   Kata Lulu.

   "Mereka itu tidak seberapa kuat, mengapa harus dipergunakan hoat-sut (ilmu sihir)?"

   Kata Nirahai, tidak puas karena tadi sedang "enak-enaknya"

   Membabati musuh. Sudah puluhan tahun puteri kaisar yang gagah perkasa ini tidak memperoleh kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk bertempur, padahal dahulu puteri ini mempunyai kesukaan untuk bertanding ilmu silat. Maka peristiwa tadi sebetulnya amat menggembirakan hatinya, siapa yang tidak mengkal hatinya kalau sedang enak-enak membabat musuh lalu dihentikan?

   "Aihhh.... jadi ayah tadi mempergunakan ilmu sihir?"

   Kian Lee berkata, memandang ayahnya dengan kagum dan heran.

   "Akan tetapi.... aku melihat sendiri, bukit itu seperti pecah...."

   "Karena kau ikut menengok, maka kau menjadi korban pula kekuatan ilmu sihir ayahmu,"

   Kata Lulu. Dia dan Nirahai yang sudah tahu bagaimana caranya melawan ilmu sihir itu, tadi tidak menengok dan karenanya tidak terseret."Wah, hebat sekali, ayah! Harap ajarkan ilmu itu kepadaku!"

   Kian Bu bersorak. Ayahnya diam saja, hanya memandang sepasang rajawali yang masih terbang berputaran di angkasa. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua ekor burung rajawali itu terkejut, lalu menukik turun dan tak lama kemudian dia hinggap di atas tanah, di depan pendekar itu.

   "Kian Lee, Kian Bu, lihat apa yang berada di paruh mereka itu!"

   Bentak Suma Han. Kian Lee dan Kian Bu menghampiri sepasang rajawali dan mengambil sesuatu dari paruh mereka. Kiranya burung rajawali kesayangan Kian Lee membawa sebatang jari tangan di paruhnya, sedangkan burung rajawali kesayangan Kian Bu membawa sebuah.... daun telinga manusia!

   "Ihhh....! Jari tangan orang!"

   Kian Lee bergidik dan membuang jari tangan itu ke atas tanah.

   "Haiiii! Ini daun telinga orang....!"

   Kian Bu juga membuang benda menjijikkan itu. Suma Han menghela napas, menggu-nakan tongkatnya membuat lobang di dalam tanah, kemudian menjemput jari tangan dan daun telinga itu, kemudian sambil menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala dia berjalan ke tengah pulau.

   "Ayah, ajarkan aku ilmu sihir itu....!"

   Kian Bu berseru dan hendak mengejar ayahnya. Akan tetapi tangannya dipegang ibunya.

   "Ilmu itu tidak mungkin diajarkan ayahmu kepada siapapun juga,"

   Puteri kaisar itu berkata.

   "Mengapa tidak mungkin, ibu?"

   "Ilmu yang kelihatan seperti ilmu sihir itu dimiliki oleh ayahmu tanpa dipelajarinya karena ayahmu memiliki kekuatan mujijat. Pula, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang ini, tidak perlu lagi menginginkan kekuatan sihir karena kau akan mampu menghadapi lawan yang bagaimana kuatpun."

   "Kian Lee, apa yang diucapkan oleh ibumu Nirahai itu benar sekali,"

   Lulu juga berkata, ditujukan kepada puteranya sendiri.

   "Tingkat kepandaian kalian berdua sudah cukup tinggi, dan melihat gerakan kalian ketika menghadapi musuh tadi, kiranya tingkat kalian tidak berada di sebelah bawah kami berdua. Ketika dahulu aku masih menjadi ketua Pulau Neraka, dan ibumu Nirahai menjadi ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, tingkat kami berdua kiranya masih belum setinggi tingkat kalian sekarang ini."

   Nirahai mengangguk-angguk dan menyambung ucapan madunya itu,

   "Memang benar, apalagi kalau diingat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang sedang kuat-kuatnya, sedangkan kami makin tua dan makin lemah. Maka jangan kalian berdua menginginkan ilmu kesaktian ayah kalian yang tidak mungkin dipelajari itu."

   Tentu saja hati sepasang pemuda ini menjadi gembira dan girang mendengar pujian Nirahai itu. Kegirangan itu bertambah besar ketika pada malam harinya, setelah keluarga itu makan malam, Suma Han berkata dengan suaranya yang selalu tenang dan halus,

   "Lee-ji dan Bu-ji, sekarang telah tiba saatnya bagi kalian berdua untuk keluar dari pulau, merantau meluaskan pengetahuan kalian."

   Kedua orang pemuda itu hampir bersorak saking girangnya mendengar ini, dan mereka berdua saling pandang dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar. Demikian gembira mereka sampai tidak melihat betapa sebaliknya wajah ibu mereka menyuram.

   "Akan tetapi ingat, kalian jangan mengira bahwa kalian boleh berbuat sesuka hati setelah bebas. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang dapat mengatur diri sendiri, bukan kebebasan liar (semau gue!) yang tentu akan menyeret kalian ke dalam perbuatan sesat. Memang, tingkat ilmu silat kalian sudah cukup tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan dicelakakan oleh musuh, namun kalian masih kurang sekali dalam pengalaman. Karena itu, dalam meluaskan pengalaman, kalian pergilah ke kota raja dan jumpai enci kalian, Milana. Dari enci kalian itu kalian akan mendapat banyak petunjuk. Dan ingat, kalian jangan sekali-kali menyebut nama Pulau Es untuk menyombongkan diri. Mengerti?"

   Kedua orang pemuda itu mengangguk dan menyembunyikan rasa girang mereka di dalam hati.

   "Ayah, bolehkah kami membawa sepasang rajawali?"

   Suma Han menahan senyumnya. Puteranya yang kedua ini selalu berwatak riang gembira dan biarpun usianya sudah hampir delapan belas tahun, masih kekanak-kanakan sehingga merantaupun ingin membawa rajawali kesayangannya!

   "Rajawali jangan dibawa. Sekali ini kalian merantau, berarti akan memasuki tempat-tempat ramai, apalagi akan memasuki kota raja. Kalau kalian membawa sepasang rajawali, tentu akan menimbulkan ribut dan kekacauan. Ingat kalian harus menganggap bahwa kalian adalah seperti sepasang rajawali yang terbang bebas di angkasa, tidak menggantungkan nasib dan keselamatan kalian pada perlindungan siapapun juga. Seperti sepasang rajawali, kalian harus selalu waspada jangan lengah karena segala kemungkinan dapat saja terjadi, segala bahaya dapat saja datang dari segala penjuru".

   Setelah banyak-banyak memberi nasihat kepada kedua orang puteranya sehingga semalam itu mereka hampir tidak tidur, pada keesokan harinya berangkatlah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meninggalkan Pulau Es. Mereka hanya membawa bekal beberapa potong emas dan sejumlah uang perak untuk biaya di jalan, akan tetapi mereka berdua tidak diberi bekal senjata. Perahu layar yang membawa mereka pergi meninggalkan Pulau Es, menuju ke arah yang telah ditunjuk dan digambarkan dalam peta oleh ayah mereka, diikuti pandangan mata kedua ibu mereka yang basah oleh air mata. Setelah perahu itu lenyap dari pandangan mata, kedua orang wanita itu tidak dapat menahan tangis mereka.

   Betapa hati mereka tidak akan berkhawatir dan berduka ditinggalkan putera tercinta yang semenjak lahir berada di pulau itu bersama mereka? Suma Han mendiamkan saja kedua isterinya berduka, karena dia dapat menyelami perasaan mereka. Dia hanya berdiri dibantu tongkatnya, memandang jauh lepas ke arah lautan, Mencoba untuk mempelajari dan mengerti akan hidup dari permukaan laut yang tak bertepi. Andaikata ada yang bertanya kepada kedua orang ibu itu mengapa mereka menangis dan mengapa mereka berduka karena berpisahan dengan putera mereka, tentu mereka akan menjawab langsung bahwa mereka berduka karena mereka mencinta putera mereka yang sekarang pergi meninggalkan mereka. Jelas bahwa mereka menangis bukan demi putera mereka, karena sepasang pemuda itu bergembira dan tidak perlu ditangisi.

   Akan tetapi mereka menangis karena mereka ditinggalkan! Mereka menangis demi dirinya sendiri, menangis karena iba diri yang ditinggalkan pergi orang-orang yang dicinta! "Cinta"

   Yang bersifat pengikatan diri kepada sesuatu yang dicinta, seperti kedua ibu ini, hanya akan membawa kedukaan. Pengikatan diri kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kemuliaan duniawi, kepada kesenangan, sebenarnya bukanlah cinta kasih sejati, melainkan nafsu mementingkan dan menyenangkan diri sendiri belaka. Segala sesuatu, baik benda hidup ataupun mati, yang dipunyai seseorang secara lahiriah, kalau sampai dimiliki pula secara batiniah, hanya akan menimbulkan kesengsaraan. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini, sekali waktu tentu terjadi perpisahan.

   Kalau kita mengikatkan diri kepada sesuatu, berarti kita memiliki secara batiniah dan seolah-olah yang kita miliki itu telah berakar di dalam hati. Maka jika tiba saatnya kita harus berpisah dari sesuatu yang kita miliki secara batiniah itu, sama saja dengan dicabutnya sesuatu itu dari hati sehingga merobek dan menyakitkan hati! Mengikatkan diri kepada apapun juga, kepada suami, isteri, anak, keluarga, harta dan apa saja berarti menghambakan diri dan ikatan-ikatan ini yang membuat orang menjadi takut dan khawatir. Takut kalau-kalau dipaksa berpisah, karena kehilangan, karena kematian dan lain-lain. Rasa takut akan perpisahan dengan yang telah mengikat dirinya, membuat orang menjaga dan melindungi mati-matian, dan untuk ini tidak segan-segan orang menggunakan kekerasan. Maka timbullah pertenta-ngan, dan dari pertentangan ini lahirlah kesengsaraan hidup!

   Kita tinggalkan dulu Pulau Es dan suami isteri yang termenung ditinggalkan putera-puteranya itu, dan kita biarkan sepasang pemuda itu mulai dengan perantauan mereka seperti sepasang rajawali, Dan mari kita menengok kembali keadaan Syanti Dewi dan Ceng Ceng. Seperti telah diceriterakan di bagian depan, dua orang dara jelita ini melarikan diri dan terpaksa meninggalkan kakek Lu Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para tokoh pemberontak yang memusuhi Kerajaan Bhutan. Dengan berpakaian seperti dua orang petani sederhana, dua orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka melumuri pipi yang halus putih itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah cantik mereka setelah memperoleh kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui para penghadang sehingga hampir saja mereka tertangkap. Sukarlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri karena daerah perbatasan itu termasuk daerah kekuasaan pasukan-pasukan Raja Muda Tambolon.

   Dusun-dusun di sekitar daerah itu telah berada di bawah kekuasaannya. Syanti Dewi yang pernah mendengar tentang ini, mengerti akan bahaya yang mengancam mereka, maka dia selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng untuk berhati-hati. Pada suatu senja, pelarian mereka membawa mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti di luar dusun sambil bersembunyi, dan setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka berani memasuki dusun itu. Bau masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap membuat mereka tidak menahan diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya makan daun-daun dan daging panggang tanpa bumbu. Kini perut mereka terasa lapar sekali ketika hidung mereka mencium bau yang amat gurih dan sedap itu, dan berindap-indap keduanya memasuki warung yang berada di pinggir dusun.

   Warung itu ternyata cukup besar dan ketika keduanya masuk, di situ terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya agak kotor dan tujuh orang ini semua membawa topi caping bundar lebar yang kini mereka taruh di atas meja. Ketika Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki warung dengan muka kotor berlumpur dan muka tunduk, mereka berhenti bicara, melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang masuk hanyalah dua orang petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena pakaian dan mukanya kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu melihat keadaan aman. Syanti Dewi memesan makanan dan makan bersama Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka berdua tertarik sekali oleh percakapan antara tujuh orang itu.

   "Kabarnya sang puteri lenyap...."

   Kata-kata ini yang membuat mereka terkejut dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Ahhhhh, kasihan sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan rombongan utusan kaisar?"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Entah, kabarnya banyak yang tewas. Akan tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng tiba dan musuh dapat dihalau pergi. Hanya celakanya, sang puteri tidak ada lagi...."

   "Aihh, jangan-jangan dia tertawan musuh"

   "Mungkin sekali...."

   "Aduh kasihan!" "Kalau saja kita dapat menolongnya...."

   "Wah, orang-orang pedagang garam macam kita ini bagaimana bisa menolongnya? Untuk melalui kota Tai-cou saja kita tentu harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyuap penjaga, baru kita akan boleh masuk."

   "Memang celaka, dan hanya di kota itu garam kita akan laku dengan harga tinggi."

   Syanti Dewi dan Ceng Ceng saling pandang dan sinar mata mereka berseri.

   Mereka juga harus melalui kota Tai-cou dan setelah dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan Raja Muda Tambolon itulah mereka dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman musuh. Dan mendengarkan percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka itu tak dapat disangsikan lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan Bhutan dan Kerajaan Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal ini berarti orang-orang itu adalah sahabat! Betapa kaget dan heran hati tujuh orang pedagang garam itu ketika mereka meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil bercakap-cakap di lorong dusun yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang "pemuda"

   Yang tadi makan di warung telah berdiri di depan mereka.

   "Para paman harap berhenti sebentar!"

   Ceng Ceng berkata. Mendengar suara wanita, karena Ceng Ceng mempergunakan suara aselinya, tujuh orang itu tertegun dan mencoba untuk melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.

   "Kami telah mendengar percakapan paman bertujuh dan percaya bahwa paman sekalian akan suka membantu kami untuk meliwati kota Tai-cou, kata pula Ceng Ceng.

   "Apa....apa maksudmu.... tuan.... eh, nona....?"

   Seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya bingung karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu adalah pria, akan tetapi suaranya seperti wanita!

   "Paman, lihatlah baik-baik. Aku adalah seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan yang kalian bicarakan tadi."

   Tujuh orang itu terkejut bukan main. Cepat mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka caping dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!

   "Maafkan kami.... hamba tidak mengetahui...."

   Syanti Dewi cepat berkata,

   "Harap paman semua bangkit berdiri. Kalau sampai kelihatan orang tentu dicurigai."

   Mendengar ini, mereka cepat bangkit berdiri. Mereka adalah pedagang-pedagang garam yang berhutang budi kepada Pemerintah Bhutan karena mereka diijin-kan untuk mengangkut garam dari Bhutan yang mereka jual di daerah pedalaman. Dari Pemerintah Bhutan mereka tidak pernah mengalami gangguan, maka tentu saja mereka merasa terlindung dan di dalam hati mereka bersimpati kepada kerajaan ini dan sebaliknya mereka seringkali mengalami gangguan dari anak buah Raja Muda Tambolon maka tentu saja mereka membenci mereka.

   "Paman, tolonglah kami agar dapat lewat kota Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke ibukota Kerajaan Ceng,"

   Kata Syanti Dewi.

   "Tentu saja hamba senang sekali kalau dapat menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut bersama hamba ke tempat peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua."

   Syanti Dewi dan Ceng Ceng mengikuti mereka dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang kini diterangi dengan api-api penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah rombongan pedagang garam itu ada tujuh belas orang! Ketua mereka adalah si kumis tebal tadi, maka begitu mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka dengar diboyong ke Tiong-goan dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu gerombolan pemberontak, mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan senang hati mereka ingin membantu dan melindungi puteri ini melewati kota Tai-cou dengan selamat.

   "Kota terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda Tambolon ini terjaga kuat sekali,"

   Kata si kumis tebal.

   "Jalan satu-satunya bagi sang puteri agar dapat lolos dengan selamat hanya dengan menyamar menjadi seorang di antara kita, menyamar sebagai pedagang garam dan bersama rombongan kita memikul garam memasuki kota."

   Semua orang menyatakan setuju dan dengan tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam untuk dipakai Syanti Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing sebuah caping lebar bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang garam. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat meninggalkan dusun tanpa membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu bahwa rombongan tujuh belas orang itu kini telah menjadi sembilan belas! Perjalanan dari dusun itu menuju ke Tai-cou memakan waktu sehari.

   Di sepanjang perjalanan, para pedagang garam itu tentu saja membebaskan dua orang dara itu dari memikul garam dan hanya apabila mereka melewati dusun-dusun saja kedua orang dara itu harus memikul garam. Menjelang sore, tibalah rombongan ini di depan pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang menjadi tegang hatinya ketika mereka tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa harus berhenti karena akan dilakukan pemeriksaan oleh para penjaga pintu gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira komandan yang tinggi besar, galak dan brewok. Kebetulan sekali ketika rombongan pedagang garam yang berjumlah sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang itu tiba pula rombongan pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua puluh orang lebih sehingga keadaan di situ menjadi ramai sekali.

   "Haiiii!"

   Sang komandan yang melompat ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di pinggang, lagaknya keras dan angkuh sekali.

   "Kalian harus masuk seorang demi seorang! Setiap keranjang akan diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa baik-baik karena dikhawatirkan ada penyelundup! Kalau kami menangkap seorang saja penyelundup, kalian semua akan dihukum berat!"

   Si kumis tebal sudah menyelinap dan mendekati komandan itu, berbisik perlahan sambil menyerahkan sebuah kantung berisi uang.

   "Maafkan, tai-ciangkun, kami tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan pedagang garam lain, kalau kami kalah dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini sedikit tanda terima kasih untuk tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual habis garam kami, tentu akan di-tambah lagi...."

   Perwira komandan itu menyambar kantung uang dan berkata keren,

   "Hemm.... kalian akan kuperbolehkan lewat lebih dahulu, akan tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan sekarang gawat!"

   Si kumis tebal sudah mundur dan wajahnya pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan bahwa dua orang di antara mereka adalah wanita, tentu akan terjadi keributan, apalagi kalau sampai sang puteri dikenal! Pada saat itu, terjadi keributan di bagian rombongan pedagang garam yang dua puluh orang lebih itu. Seorang pedagang garam yang mukanya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak dan mencak-mencak,

   "Hayaaa.... celaka.... siapa menaruh ular-ular ini di keranjangku....? Tentu pedagang garam dari barat, keparat....!"

   Terjadilah gaduh dan ribut karena memang tiba-tiba muncul banyak sekali ular-ular besar kecil di tempat itu! Ceng Ceng yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang garam yang bermuka hitam bopeng itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning dari dalam keranjang dan agaknya ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah! Dan selagi Ceng Ceng termenung, tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng menendang seekor ular kecil. Ular itu melayang ke atas dan.... mengenai dada komandan yang berdiri di atas meja. Tidak ada yang melihat gerakan ini kecuali Ceng Ceng. Si komandan berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan pakaiannya.

   "Basmi semua ular....!"

   Teriaknya kepada para anak buahnya.

   "Hayo kalian segera maju, jangan memenuhi tempat ini!"

   Teriaknya kepada rombongan si kumis tebal. Menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah memanggul pikulan masing-masing dan dengan desakan dari si kumis tebal mereka cepat memikul keranjang garam memasuki pintu gerbang.

   "Haiii, diperiksa dulu.... eihhh, celaka....!"

   Komandan yang berteriak itu kembali terkejut karena ada seekor ular hijau melayang dan mengenai mukanya, hampir menggigit hidungnya!

   Ceng Ceng dan Syanti Dewi dapat lolos dengan cepat, kemudian dilindungi oleh para temannya, kedua orang dara itu melepaskan pikulan dan tergesa-gesa berjalan memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak memikul garam, maka setelah keadaan gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua pedagang diperiksa, dalam rombongan itu tidak lagi terdapat dua orang wanita ini dan mereka tidak dipanggil karena tidak ada penjaga yang menyangka bahwa dua orang yang berjalan pergi tanpa membawa pikulan itu adalah anggauta rombongan pedagang garam. Apalagi karena semua penjaga tadi sibuk membunuhi ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah. Semalam suntuk itu kedua orang dara itu melarikan diri.

   Mereka maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih terancam bahaya besar, sungguhpun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai mereka. Dengan mudah mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari sebelah utara dan menempuh perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu bahwa mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang, mereka dapat mengarahkan kaki menuju ke timur. Pada keesokan harinya, mereka beristirahat sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal dari pemberian para pedagang garam, minum air jernih yang mereka dapatkan di hutan itu, kemudian berbaring di atas rumput melepaskan lelah.

   "Aihhhhh.... bukan main nyamannya rebah begini...."

   Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat.

   "Dan roti kering tadi, betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku dapat menlkmati makan-minum dan tiduran seperti ini!"

   Mendengar Ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena di situ tidak ada orang lain, maka dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini, Syanti Dewi memandang heran.

   "Eh, kau kenapa, adik Candra? Mengapa tertawa segembira itu?"

   "Aku geli mendengarkan ucapanmu tadi, enci Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa lega dan gembira telah terbebas dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat akan dongeng tentang raja yang tidak suka makan dan tidak dapat tidur. Raja itu meninggalkan istana karena merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat seorang petani mencangkul tanah lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu si petani, mencangkul tanah untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang hanya terdiri dari ikan asin, dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih. Setelah dia selesai bekerja keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya lelah bukan main, dia memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum pernah dirasakannya selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau adalah seorang puteri raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal, sekarang makan roti kering minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah dan berlandaskan kasur tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau merasa nikmat sekali! Hi-hik, bukankah lucu ini?"

   Syanti Dewi tertawa juga.

   "Kau samakan aku dengan raja dalam dongeng? Jangan begitu, ah! Dia sih pemalas, kalau aku kan tidak! Akan tetapi akupun heran sekali mengapa aku dapat menikmati ini semua. Pengalaman ini membuka mataku, adik Chandra, bahwa yang dikatakan enak atau tak enak, menyenangkan atau tak menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung kepada keadaan di luar, melainkan kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada tubuh, pendeknya bergantung kepada diri sendiri. Lezatnya makanan bukan berada di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita, melainkan di dalam diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena lepas dari bencana, tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan minuman terasa lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri daripada segala macam kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau begitu.... pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan kenyataan sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan waktu itu."

   "Hemm.... lalu bagaimana?"

   Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya memandang dengan sinar gembira karena dia mulai dapat menangkap yang dimaksudkan dalam ucapan kakak angkatnya itu.

   "Kalau begitu.... tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini. Kita sendiri yang menentukan! Dan.... ah, aku jadi bingung sendiri menghadapi kenyataan yang jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan oleh pikiran sendiri yang suka mengada-ada saja!"

   Ceng Ceng sudah tak dapat menjawab karena dia hampir tidak dapat menahan kantuknya, hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan jari tangan menahan mulut yang ingin menguap saja. Tak lama kemudian, kedua orang dara itu sudah tertidur pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut istirahat setelah perut yang lapar diisi kenyang. Matahari telah naik tinggi ketika kedua orang dara itu terbangun dan mereka menjadi terkejut melihat bahwa hari telah siang. Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun lebih dulu. Dia terbangun seperti orang kaget dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya dan mengeluh lirih.

   "Uuhh, kiranya hanya mimpi...."

   Bisiknya karena dia telah mimpi tertangkap dan dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon! Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari telah naik tinggi, dia menoleh kepada Ceng Ceng.

   "Haiii, adik Candra! Bangun! Sudah siang....!"

   Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu. Ceng Ceng terbangun dan bangkit duduk, menahan kuapnya dengan punggung tangan kiri.

   "Wah, keenakan tidur, enci Syanti. Rasanya malas untuk bangun!"

   "Hushh, jangan malas! Matahari telah naik tinggi dan kita enak-enak tidur di sini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita lanjutkan, adikku."

   Ceng Ceng sudah bangun berdiri dan kini teringatlah dia akan keadaan mereka.

   "Aihh, hampir aku lupa bahwa kita adalah pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci Syanti Dewi!"

   Ketika dua orang dara itu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan puteri dan berbisik sambil menuding ke kanan,

   "Lihat itu....!"

   Syanti Dewi menengok, dan sang puteri menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya. Tak jauh dari situ tampak tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas tanah, sudah menjadi mayat dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan sepasang mata yang terbelalak lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu tampak luka berlubang dan darah masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang ini belum lama terbunuh.

   "Dan di sana itu.... lihat, enci!"

   Kembali Ceng Ceng berbisik. Kakak angkatnya menengok dan makin terkejut karena di sebelah kiri, hanya terpisah belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat yang lehernya berlubang!

   Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari tempat tinggi ini Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memeriksa. Namun tidak tampak bayangan seorangpun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat bahwa bukan hanya ada dua orang mayat di situ, melainkan ada delapan orang! Delapan orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan kini delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin terkena senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa yang telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.

   "Ahhh, kalau begitu, tentu mereka itu musuh yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat yang telah menolong kita,"

   Kata sang puteri. Ceng Ceng mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga demikian, akan tetapi hatinya tidak senang kepada penolongnya yang bersikap rahasia itu! Kalau memang orang bersahabat, mengapa tidak menolong secara berterang? Pula, diapun belum dapat yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah fihak musuh.

   "Lebih baik kita cepat pergi dari sini, enci,"

   Katanya. Syanti Dewi mengangguk dan berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Sore hari mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di kaki gunung. Karena letaknya yang terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi pos peristirahatan mereka yang melakukan perjalanan di daerah itu, dan di situ terdapat pula sebuah rumah penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena merasa ngeri dengan pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil keputusan untuk bermalam di rumah penginapan.

   Para pelayan rumah penginapan hanya sebentar memandang dengan heran karena dalam keadaan kacau seperti itu, daerah yang sering kali terjadi perang antara pasukan Raja Muda Tambolon melawan pasukan Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu mengherankan melihat dua orang gadis yang berpakaian seperti petani biasa dan memakai caping lebar, melakukan perjalanan berdua saja. Banyak sudah wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang melarikan diri ke timur karena sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja Muda Tambolon amat kejam terhadap tawanan wanita, apalagi yang masih muda dan cantik. Tentu wanita itu akan dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh banyak orang sampai mati dalam keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.

   "Ji-wi kouwnio hendak menginap?"

   Tanya seorang pelayan dengan sikap ramah. Ceng Ceng merogoh saku dan mengeluarkan potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu sambil berkata,

   "Kami membutuhkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap pilihkan yang bersih."

   Melihat potongan perak itu, sikap si pelayan bertambah hormat. Dia maklum bahwa yang membawa uang perak dalam perjalanan hanyalah orang-orang dari kalangan "atas"

   Kalau bukan puteri-puteri hartawan tentulah wanita-wanita kang-ouw yang membekal banyak uang. Sambil mengangguk dan tersenyum lebar dia menjawab,

   "Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan masuk!"

   Tentu saja kamar yang bersih dalam rumah penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor bagi Syanti Dewi karena kamar yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih kotor daripada kamar dapur di istananya! Setelah mencuci muka dan makan malam, kedua orang dara itu duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka dan bercakap-cakap dengan suara perlahan setengah berbisik.

   "Aku khawatir bahwa peristiwa di hutan itu akan ada lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu mati tentu ada yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku merasa seolah-olah kita di sinipun sedang diawasi orang."

   Syanti Dewi mengangguk.

   "Akupun mempunyai perasaan demikian, Candra. Akan tetapi, kurasa orang yang membunuh mereka itu bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka sudah turun tangan ketika kita tertidur di hutan!"

   "Perjalanan kita masih amat jauh dan biarpun kita sudah meliwati kota Tai-cou, namun kita akan melewati daerah yang sama sekali tidak kita kenal dan menurut kong-kong.... eh, mendiang kong-kong...."

   Sampai di sini, Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan ucapannya karena lehernya terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak sampai terkubur! Syanti Dewi mengerti akan keharuan hati adiknya, maka dia merangkul sambil berkata,

   "Ahhh, kong-kongmu telah berkorban nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kong-kongmu itu ...."

   Ceng Ceng cepat menekan hatinya dan dia berkata agak keras,

   "Jangan berkata begitu, enci!"

   Sejenak mereka termenung, kemudian terdengar lagi Syanti Dewi berkata,

   "Engkau adalah seorang dara perkasa, dan di dalam tubuhmu mengalir darah keturunan petualang kang-ouw yang berani dan perkasa! Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah terasa berat, Candra. Akan tetapi aku....! Sejak kecil aku hidup mewah dan senang, sekarang, aku harus menderita kesengsaraan seperti ini, maka tak mengherankan kalau aku sampai bersikap cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak akan berduka? Bukan hanya kong-kongmu tewas, juga menurut cerita para pedagang garam, sebagian besar para anggota rombongan yang mengawalku tewas dalam perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan sekarang, engkau adikku yang tercinta, engkaupun harus menderita karena mengawalku!"

   Ceng Ceng tertawa.

   "Siapa bilang aku menderita, enci? Aku sama sekali tidak menderita!"

   "Apa? Tak usah berpura-pura. Pakaian kitapun hanya yang menempel di tubuh kita! Tak pernah dapat berganti pakaian, padahal sudah berapa lama? Seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan aku berani bertaruh bahwa tentu ada kutu di pakaian kita."

   Tiba-tiba Ceng Ceng menggaruk-garuk dada kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri.

   "Aih, jangan bicara tentang kutu, enci! Marilah kita pikirkan dengan tenang dan sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah seorang puteri yang tidak pernah menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa bedanya dengan aku? Akupun hanya seorang gadis dusun yang belum pernah melakukan perantauan. Keadaan kita sama saja, enci. Akan tetapi betapa pun juga, kita tidak boleh putus asa, tidak boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya akan membuat kita tidak tenang dan mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita saling melindungi dan aku bersumpah bahwa aku takkan meninggalkanmu, aku pasti akan dapat memenuhi pesan mendiang kong-kong, yaitu mengantarkan enci sampai ke kota raja dan di sana kita bisa minta bantuan Puteri Milana seperti yang dipesankan kong-kong."

   Melihat sikap Ceng Ceng yang penuh semangat itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata,

   "Ah, kiranya tidak percuma pula aku dahulu tekun mempelajari ilmu silat, apalagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik Candra. Saat ini, aku bukan puteri kerajaan, melainkan seorang dara kang-ouw yang berpetualang dan siap menghadapi bahaya apapun juga! Kalau ada bahaya mengancam, hemmm.... haiittt....!"

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 5 Sepasang Pedang Iblis Eps 7 Sepasang Pedang Iblis Eps 23

Cari Blog Ini