Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 12


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka iapun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki, dikejar oleh tujuh orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan menakut-nakuti. Mereka itu memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya. Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.

   "Tolonglah.... tolonglah saya.... aduh, lebih baik saya mati daripada tertawan mereka.... tolonglah saya...."

   "Enci yang baik, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka."

   Kata Sie Liong. Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk barsila. Dia tidak perduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya! "Heiii, siapa engkau?"

   Mendengar bentakan yang nadanya amat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri.

   "Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian ini tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!"

   Sie Liong memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi. Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.

   "Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?"

   Tanya si brewok untuk mengejek.

   "Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!"

   "Awas kau, Pendekar Bongkok. Kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!"

   Si brewok melangkah maju selangkah.

   "Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andaikata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!"

   Sie Liong tersenyum.

   "Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli."

   "Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!"

   Kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil. Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang jagoan aseli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!

   "Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?"

   Tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa, akan tetapi karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu. Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar.

   "Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas, membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!"

   Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah.

   "Wahhh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!"

   Setelah berkata demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.

   "Wuuuuuttt....!"

   Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.

   "Desss...! Aughhhh....!"

   Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!

   "Auhh.... auhh.... auhhh....!"

   Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata "aduh"

   Karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan sibuknya memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu kaku seperti punggung buaya,

   Agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini. Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.

   "Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat....!"

   Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.

   "Engkongku sudah mati, dan seingatku, dia tidak seburuk engkau."

   Kata Sie Liong dengan sikap tenang.

   "Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!"

   Bentak si raksasa muka hitan dan diapun sudah menyerang dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong. Ketika pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main. Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.

   "Tukkk!"

   Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksasa muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.

   "Aku bukan engkongmu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!"

   Tentu saja ucapannya ini membuat raksasa muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini, kawan-kawannya menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu benar-benar seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.

   "Jangan bunuh dia.... ahh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...."

   Ratapnya sambil menangis. Mendengar ini, si brewok tertawa,

   "Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?"

   "Tidak, tidak.... kalian bunuhlah aku, akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...."

   "Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!"

   Kata Sie Liong kepada wanita itu, hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu. Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang.

   Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka. Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga orang penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.

   Tujuh orang itu baru sekarang merasa jerih. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa seperti remuk! Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, dapat lebih dulu bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya. Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya. Tekanan tangan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.

   "Ampun, taihiap.... ampun, saya mengaku kalah!"

   "Hemm, aku tidak membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan bertobat!"

   "Ampun, taihiap,.... saya bertobat....!"

   "Hemm, siapa percaya omongan orang jahat macam engkau?"

   "Saya bersumpah takkan melakukan kejahatan lagi, taihiap, akan tetapi saya akan bekerja seperti dahulu, yaitu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan...."

   "Benar, engkau bertobat dan hendak kembali ke jalan benar?"

   Tanya Sie Liong.

   "Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya."

   Dia lalu menggertak.

   "Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?"

   Kini dia melepaskan cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.

   "Taihiap, kami bersumpah dan inilah buktinya!"

   Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu. Diam-diam Sie Liong terkejut, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!

   "Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tidak mau, aku yang akan membun-tunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!"

   Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka sungguh-sungguh dan merekapun jerih terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong,

   Maka merekapun mengambil senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri. Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki. Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itupun cepat menjadi ke-ring. Mereka menjadi semakin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan. Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Sian-su, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.

   "Ingat akan sumpahmu sendiri,"

   Kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan siap untuk pergi.

   "Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku akan membangkitkan semangat para penduduk dusun agar mereka bersatu padu dan hendak kulihat, kalau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!"

   Diam-diam si brewok dan teman-temannya merasa ngeri.

   Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka. Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri bersembunyi daripada melakukan perlawanan berpadu. Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan Terimakasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di dekat ladang itu. Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.

   "Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci...."

   Katanya. Wanita iru mengangkat muka, memandang kepadanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada suara yang keluar, akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis! Pemuda bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan diapun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.

   "Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang,"

   Hiburnya. Wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan dari mulut yang disembunyikan di dadanya itu lirih.

   "Adik yang baik, ahh.... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku.... Terimakasih, taihiap, Terimakasih...."

   Suaranya mengandung isak dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.

   "Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun."

   Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali penduduk dusun ke tempat itu. Dan di ta-ngan mereka terpegang segala macam alat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata. Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang berlari dan datang itu tadi melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memuguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain saputangan. Melihat ini, wanita dusun itu bergidik.

   "Taihiap, untuk apakah kau.... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?"

   "Aku akan menguburnya, enci."

   Kata Sie Liong sambil memunguti terus. Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.

   "Kui Hwa, apa yang telah terjadi?"

   Tanyanya, suaranya mengandung kemarahan. Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu.

   "Aku.... aku hampir saja celaka....!"

   Serunya sambil menangis dan ia handak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, liki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.

   "Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!"

   Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.

   "Apa.... apa maksudmu....?"

   Tanyanya dangan heran, dan lebih heran lagi ia ketika melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya memandang kepadanya dangan sinar mata mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!

   "Maksudku kau tanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang telah terjadi di sini?"

   Suaminya itu dangan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dangan muka ditundukkan, potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain saputangan.

   "Suamiku, apakah engkau tidak mendangar dari para tetangga kita tadi? Mereka, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!"

   Kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.

   "Tentu saja kami semua mendangar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?"

   Kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dangan wajah merah saking marahnya.

   "Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini, mereka telah melarikan diri dan aku.... aku diselamatkan oleh taihiap ini!"

   Kata si isteri dangan suara gembira dan bangga.

   "Bohong!"

   Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali, dan kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia dapat menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.

   "Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dia yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dangan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aih, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterimakasih kepadanya...."

   "Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, mudah saja kau tipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjina dengan dia...."

   "Diam....!"

   Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak, dan ia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor betina membela anaknya.

   "Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini menyelamatkan aku, bahkan menyelamatkan orang sedusun dan kalian berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?"

   "Phuhh!"

   Suami itu meludah.

   "Mataku belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!"

   "Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku memang merangkulnya sambil menangis, terharu dan menghaturkan Terimakasih, dan dia menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman.... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka taluk dan bertobat, bahkan mereka telah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian...."

   "Sudah! Siapa percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggauta bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!"

   Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong! Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, diapun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.

   "Krakkk!"

   Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dangan kepala Sie Liong.

   "Ahh....!"

   Suami wanita dusun itu terbelalak dan mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal sepotong pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu telah patah menjadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya! Sie Liong mengangkat muka memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong.

   "Hemm, engkau memang orang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!"

   Katanya dan diapun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.

   "Enci, maafkan kalau aku hanya membikin engkau menjadi ribut dangan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!"

   Dan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo. Suami itupun terkejut dan dia menjadi ketakutan.

   "Apakah dia.... dia itu tadi.... setan....?"

   Tanyanya kepada isterinya. Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar.

   "Plakkk!"

   Pipi suami itu telah ditamparnya! "Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau mengatakan bahwa pendekar sakti itu setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira bahwa aku telah berjina dangan dia karena kalian melihat dari jauh betapa kami saling berangkulan? Ohhhh, memang kalian ini orang-orang bodoh! Dengar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang maka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor dan hina! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon. Tadinya aku tidak tahu bahwa dia pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon tolong. Siapa saja akan kumintai tolong dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, memaksa mereka itu bertobat, dan mereka membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui kami dan engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang dipatahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!"

   Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan.

   "Nah, makanlah ini!"

   Wanita itu lalu melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka ikatannya. Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, berhamburan mengenai muka dan leher suaminya. Si suami tentu saja bergidik ngeri juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah!

   Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis. Barulah suami itu merasa menyesal dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Kini dia dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat keji itu, tanpa ada orang yang dapat menolongnya. Kemudian muncul pendekar bongkok itu yang mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah menyelamatkan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu? Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita, dan isterinya tak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seperti itu!

   
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kui Hwa, tunggulah....!"

   Dia berteriak berlari-lari mengejar isterinya, di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu kini penuh dangan harapan agar isterinya suka memaafkannya. Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-jari kaki itu dan menguburnya dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bulan lalu mengganas di sekitar daerah itu,

   Kini telah bertobat dan berarti meraka tidak akan lagi diganggu oleh mereka yang amat jahat itu. Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang takkan pernah mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka sehingga nama julukan pendekar baru ini mulai terkenal. Sie Liong melarikan diri meninggalkan ladang dusun itu dangan senyum pahit di bibirnya. Dia memang sudah memaklumi banar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya seperti apa adanya. Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memperhatinkan keadaan tubuhnya yang telah menjadi pemberian Tuhan dan yang diterimanya dangan penuh kepasrahan dan rasa syukur.

   Akan tetapi, kalau terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimanapun juga hatinya terasa seperti ditusuk. Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan gerombolan jahat yang berarti juga menghindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pamrih, tidak minta imbalan apapun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjina dengan wanita petani itu! Sungguh menyakitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah yang menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk dan membuat dia condong nampak sebagai orang yang jahat! "Biarlah,"

   Dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya yang menjadi keras dan panas.

   "Biarlah mereka mengatakan apapun juga! Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengetahui, Tuhan melihat dan Tuhan yang takkan dapat ditipu oleh kebongkokan tubuhku!"

   Pikiran ini diucapkannya keras-keras dan akhirnya hatinya menjadi dingin dan lunak kembali. Si-aku adalah hasil dari akal pikiran dan rasa perasaan bahwa "aku ada", bahwa di dalam jasmani ini yang meliputi juga akal pikiran dan perasaan, terdapat "sesuatu"

   Yang membuat jasmani ini hidup.

   Namun, karena rasa diri ada ini dinyatakan melalui perasaan hati dan akal pikiran, maka rasa diri ini terbungkus oleh nafsu. Perasaan hati dan akal pikiran tidak pernah dapat terpisah dari pengaruh daya-daya rendah, yaitu keduniawian yang timbul dari kebendaan yang kita butuhkan dalam kehidupan, makanan dan hubungan antar manusia. Daya-daya rendah inilah yang menyerap ke dalam perasaan hati dan akal pikiran sehingga perasaan diri ada atau si-aku inipun mengandung nafsu-nafsu. Oleh karena itu, sesuai dangan sifatnya, nafsu yang sudah memperhamba si-aku tadi, membuat si-aku selalu ingin enak sendiri, ingin menang sendiri, ingin bahagia sendiri, ingin benar sendiri. Pendeknya, segala sesuatu di dunia ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, oleh si-aku yang penuh nafsu diharapkan untuk kepentingan dirinya.

   Betapapun pandainya manusia berusaha, dengan segala reka usaha dan ikhtiar untuk melepaskan cengkeraman daya-daya rendah yang membentuk nafsu, nanun jarang sekali ada yang berhasil. Sebagian besar menemui kegagalan dan mendapatkan bahwa semua usaha itu akhirnya hanya membawa dirinya ke dalam alam kekosongan belaka. Hal ini adalah karena usaha dan ikhtiar itupun merupakan pekerjaan akal pikiran belaka, dan karenanya diboncengi pula oleh daya-daya rendah itu! Jadi, tidak mungkin daya-daya rendah melanyapkan dirinya sendiri, tidak mungkin mengesampingkan pikiran dangan berpikir! Kiranya, satu-satuaya jalan bagi kita hanyalah penyerahan kepada Yang Maha Kasih, Yang Maha Kuasa. Tuhan pencipta segala yang ada dan tidak ada, yang nampak dan tidak nampak.

   Karena kekuasaan Tuhan meliputi di dalam dan di luar diri kita, maka kiranya hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu menolong kita, yang akan mampu mengatur agar pengaruh nafsu daya rendah tidak lagi mencengkeram hati dan akal pikir sehingga sagala sepak terjang kita dalam hidup, tidak lagi dikemudikan oleh nafsu daya rendah, melainkan dikemudikan atau dibimbing oleh kekuasaan Tuhan! Setelah Sie Liong dangan penuh kepasrahan menyerahkan segalanya kepada Tuhan, menerima segala keadaan dan segala peristiwa sebagai hal-hal yang sudah dikehendaki Tuhan, maka sedikit banyak diapun dapat mengatasi segala penderitaan yang mungkin timbul karena keadaannya atau karena peristiwa itu sendiri. Orang yang sudah pasrah kepada Tuhan dangan sepenuh hatinya, dangan keikhlasan dan kerelaan, penuh pasrah, sudah pasti takkan merasa penasaran,

   Tidak akan merasa kecewa dan selalu di dalam hatinya terkandung rasa sukur dan Terimakasih kepada kekuasaan Tuhan. Makin dihayati kepasrahan ini, semakin membuka matanya betapa kekuasaan Tuhan amatlah hebatnya, tak terukur dan menyusur ke dalam segala benda, bergerak tiada hentinya, nampak kadang-kadang kacau namun sebenarnya mengandung ketertiban yang mujijat, tak pernah keliru, dan mengandung keadilan yang setepat-tepatnya walaupun kadang-kadang berada di luar pengetahuan akal pikiran manusia. Tentu akan timbul bantahan. Apekah kalau begitu, hidup ini hanya diisi dengan kepasrahan belaka kepada kekuaaaan Tuhan? Bukankah kalau begitu maka hidup akan menjadi kosong dan mandeg, tidak ada semangat lagi untuk mencapai apa jang dinamakan kemajuan?

   Salah pengetian ini harus diperbincangkan karena memang mengandung bahaya! Arti panrah bukan berarti kita lalu membonceng kekuasaan Tuhan begitu saja lalu kita tertidur dan masa bodoh! Sama sekali tidak! Tuhan menciptakan kita sebagai mahluk bergerak, beranggauta badan lengkap, berakal pikir, maka semua itu harus kita pergunakan. Hal itu merupakan suatu kewajiban! Kita tidak benar sama sekali kalau mempersekutu kekuasaan Tuhan. Biar kekuasaan Tuhan bekerja dan kita enak-enakan, bermalas-malasan. Ini merupakan akal-akalan dari si-akal pikir yang dikuasai nafsu rendah! Kita bekerja, kita berusaha, kita berikhtiar dalam segala bidang. Namun, harus selalu kita ingat bahwa apapun jadinya, apapun hasilnya, apapun akibatnya dari setiap usaha kita, berada di tangan Tuhan! Tuhanlah yang menentukan pada akhirnya dan kalau kita menerima dangan pasrah,

   Dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan tak akan pernah keliru mengatur, maka hasil atau akibat apapun yang kita terima, akan kita terima dangan hati terbuka, penuh kepasrahan pula, penuh rasa
(Lanjut ke Jilid 12)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
sukur!Kebahagiaan tak mungkin dicari, tak mungkin dikejar dangan usaha akal pikiran! Akal pikiran yang digerakkan nafsu selalu hanya membutuhkan KESENANGAN, dan kesenangan sama sekali bukanlah kebahagiaan, karena kesenangan itu pendek sekali umurnya. Kesenangan segera digilir dangan kesusahan, kepuasan diikuti kekecewaan. Kebahagiaan hanyalah suatu keadaan di mana perasaan hati dan akal pikiran tidak lagi menguasai jiwa, kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang sudah bersatu dangan Tuhan, seperti setetes air yang sudah kembali ke samudera! Tidak butuh apa-apa lagi karena segalanya sudah tercakup di dalamnya!

   Dan semua ini hanyalah kekuasaan Tuhan yang mampu mengaturnya, dan kita, dengan segala perlengkapan kita, termasuk nafsu-nafsu daya rendah, hanya mampu MENYEBAR dengan PASRAH. Titik. Sie Liong melanjutkan perjalanannya dan kini dia sudah melupakan sama sekali peristiwa yang menimpa dirinya di ladang itu. Memang sebaiknya kalau pikiran ini kita pergunakan untuk bekerja, berarti untuk memikirkan apa yang kita kerjakan sekarang dan setiap saat, bukan dipergunakan untuk mengenang hal-hal yang sudah lalu! Dia akan pergi. ke Tibet, dan kini dia sudah menuruni bukit terakhir dari deretan pegunungan Kun-lun-san yang panjang itu. Dia berhanti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.

   Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu. Mungkin berhari-hari dia tidak akan bertemu dusun, dan hari ini, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi tentu akan gelap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman daripada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya. Dusun itu cukup besar dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga!

   Pekerjaan mereka bercocok tanam dan berburu, ada pula yang mengusahakan peternakan kambing. Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa penghasilan penduduk itu cukup untuk sandang pangan, bahkan berlebihan. Di situ terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan! Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan sehari-hari.

   Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia mengundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun. Setelah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun.

   Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut bergembira dengan memasang lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian basar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu. Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pengambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan. Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan dan diapun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.

   Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan jalan menuju ke barat dan tak lama kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita. Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak,

   Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apalagi punggunguya bongkok. Bukankah di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu!

   Maka, seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira. Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bakas air mata pada kedua pipinya. Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang.

   Ketika mempelai wanita yang berpakaian indah mariah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping. Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi, terdangar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu sedannya,

   "Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu...."

   Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.

   "Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!"

   Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.

   "Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!"

   Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar. Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar.

   "Penasaran....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!"

   Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.

   "Lian-moi....!"

   Pemuda itu memanggil. Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru,

   "Kiong-koko....!"

   Dan iapun menangis, masih berdiri karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.

   "Un Kiong? Mau apa engkau? Berani engkau datang ke sini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!"

   Bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.

   "Saya datang untuk mohon keadilan! Sungguh penasaran sekali....!"

   Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu, dan mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.

   "Pergilah! Pergi dan jangan datang lagi!"

   Bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.

   "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!"

   Teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya.

   "Kiong-koko....!"

   Akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.

   Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendangan dan pukulan itu, beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru. Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak,

   "Mau apa kau mencampuri urusan kami?"

   "Dukkk!"

   Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh.

   Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton. Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.

   "Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?"

   Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, mungkin dia akan mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterimakasih bahkan menyesal!

   "Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau ttdak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!"

   "Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!"

   "Wah, sungguh aneh. Coba ceritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu."

   Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!

   "Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!"

   Sie Liong tersenyum.

   "Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?"

   Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas.

   "Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?"

   "Engkau pulanglah dan biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kau sambut ia sebagai mempelaimu."

   "Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!"

   "Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu."

   Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong.

   "Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan Terimakasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku."

   Sie Liong menggelong kepala.

   "Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberitahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dan aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok."

   Un Kiong memberi hormat, lalu dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongnya, dan tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah. Sementara itu, Sui Lan telah di paksa untuk menerina rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri.

   Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita selalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu. Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombougan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!

   "Berhenti!"

   Bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan.

   "Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!"

   Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya. Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah. Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.

   "Heii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?"

   Kini semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.

   "Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiva yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernama Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!"

   "Eh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!"

   "Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!"

   "Kurang ajar!"

   Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.

   "Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini dan kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!"

   Kata Sie Liong yang sebetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.

   "Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!"

   Kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila! Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka.

   Sie Liong hanya mengelak dan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai. Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti. Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak,

   "Mari kita lapor kepada ayah!"

   Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu. Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penanaran sekali. Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampirl lalu memberi hormat.

   "Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!"

   "Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi."

   Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti. Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdangar suaranya,

   

Istana Pulau Es Eps 12 Istana Pulau Es Eps 12 Istana Pulau Es Eps 14

Cari Blog Ini