Kisah Pendekar Bongkok 18
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Tranggg....!"
Terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang ketika melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu merupakan pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walaupun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi. Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan diapun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadi pertempuran yang amat seru di antara kedua orang ini.
Ternyata tenaga mereka seimbang, juga kini mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jerih terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena diapun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya! Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, biarpun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, agaknya gegar otak!
Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga! Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih mempunyai banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan dengan sepuluh orang anak buah saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih, maka sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.
"Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajak pergi nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!"
Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alisnya. Kenapa susiok mereka menyuruh mereka melarikan diri? Padahal, jelas bahwa susioknya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susioknya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.
"Mari, enci!"
Kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka. Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Maka, sebaliknya daripada mengejar tiga orang itu, mereka kini membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek! Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai.
Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam. Lie Bou Tek sebetulnya memiliki ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jerih. Diapun tahu akan hal ini, dan dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dibantu beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya. Maka, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, diapun moloncat jauh dan menghilang di balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulal diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba. Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali.
"Kejar!"
Teriaknya, dan merekapun melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jerih menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar ketika mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak dapat cepat. Apalagi mereka terhalang oleh kegelapan malam sehingga akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas. Konga Sang mengapal tinju dan berkata dengan geram.
"Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!"
Walaupun ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena diapun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu.
Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur. Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan tempat itu aman dan baik untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh datang, maka dari jauhpun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput. Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri dan dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
"Terimakasih atas bantuan Lie susiok,"
Kata mereka. Lan Hong juga ikut berlutut dan berkata,
"Atas pertolongan taihiap, akupun mengucapkan Terimakasih."
"Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, tidak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tidak akan mengejar ke sini. Andaikata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini."
Demikianlah, mereka kini duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat. Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, terhalang api unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan iapun merasa kagum. Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa dan gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa. Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi ketika mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.
Tanpa ia ketahui, pria di depannya itupun sejak tadi memperhatikannya, walaupun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum. Wanita itu sungguh jelita dan tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang mulus dan mulut yang membayangkan kealiman, akan tetapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.
"Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,"
Kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.
Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali mengapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita. Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, namun dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
"Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu."
"Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,"
Kata Lie Bouw Tek dan dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suhengnya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.
Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai. Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tidak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu. Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk.
"Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku."
Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu.
"Akan tetapi bagaimana kalian sampi bentrok dengan gerombolan Kala Putih?"
Dia mengulang pertanyaannya.
"Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari dan dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelematkan kami semua."
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya mendengar Ciang Sun menyebut "enci" (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?
"Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, nona? Dan siapakah nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?"
Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri.
"Mungkin nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han."
Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih namun cukup jelas bagi tiga orang itu.
"Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona kepadaku. Aku bukan seorang gadis yang belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari puteriku...."
Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan sudah mempunyai seorang puteri! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untunglah bahwa sinar api unggun memang sudah kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.
"Ah, maafkan aku, toanio (nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu.... maaf...."
Lan Hong menundukkan mukanya, bukan karena sedih melainkan karena malu dan ucapannya lirih sekali.
"Dia sudah meninggal...."
"Ah, maafkan aku, toanio!"
Seru Lie Bouw Tek dan ingin dia memukul kepalanya sendiri mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendiri. Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa heran dan geli melihat betapa susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu kini telah beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!
"Tidak mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah lewat,"
Kata Lan Hong. Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan ucapan lagi, apalagi untuk bertanya. Kini, setelah Lan Hong berkata demikian, keinginan tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.
"Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?"
"Aku tidak tahu benar, akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lasha."
Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, lalu berkata kepada kedua orang murid keponakannya.
"Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi, sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lasha dan karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lasha, maka biar aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lasha, hal itu amat berbahaya karena Lasha masih jauh dari sini."
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu mengangguk.
"Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat, kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau anci ini ada temannya ke Lasha. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali."
"Aku mengerti. Bagaimana, toanio, setujukah engkau apabila aku menemanimu melakukan perjalanan ke Lasha? Kebetulan sekali akupun hendak pergi ke sana."
"Tentu saja, ahh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa sukarnya mencari adikku, dan betapa barbahayanya perjalanan ini. Aku berterimakasih sekali kepadamu, taihiap."
"Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan akupun belum dapat memastikan apakah engkau akan dapat menemukan adikmu di Lasha. Di sana banyak terdapat orang dan mencari seseorang di antara orang banyak di tempat yang besar...."
"Adikku mudah dicari. Dia.... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok...."
Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru,
"Nanti dulu, enci. Apakah adikmu itu bernama Sie Liong?"
Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang heran.
"Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Ah, kiranya Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu dengan dia!"
Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira sekali.
"Di mana dia? Bagaimana keadaannya?"
Juga Lie Bouw Tek menjadi tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.
"Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku mendengar namanya."
Kini Ciang Sun yang menjawab.
"Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw, masih amat muda akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok sehingga kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan dengan dia! Sayang sekali, enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di sebuah dusun di mana dia melakukan hal yang menggemparkan dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu, kamipun pernah bertemu dengan dia. Akan tetapi, baiklah kami ceritakan saja pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok juga mengetahui siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu."
Ciang Sun dan Kok Han lalu menceritakan pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka tujuh tahun yang lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang pendeta Lama Jubah Merah. Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu usia mereka baru dua puluh tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh tertotok. Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu, akan tetapi tosu itu, yang tadi diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang bernama Pek-in Tosu, berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.
"Nanti dulu, bukankah Pek-in Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?"
Tanya Lie Bouw Tek yang banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.
"Benar, susiok. Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu mengeluarkan ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek-in Tosu kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, pada saat itu muncul Pendekar Bongkok, pada waktu itu hanya seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tabun yang bongkok, dan Pek-in Tosu tortolonglah."
"Apa? Dalam usia dua belas tahun sudah begitu lihainya?"
Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.
"Tidak, susiok. Pada waktu itu, dia belum pernah mempelajari silat, ataupun kalau pernah, masih dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan cerdik. Mendengar dua orang pendeta Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung sihir sehingga Pek-in Tosu kewalahan, anak itu lalu menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali. Suara ini yang agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu dan mereka kalah oleh Pek-in Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang pertama dengan Pendekar Bongkok."
"Sungguh menarik sekali!"
Kata Lie Bouw Tek kagum.
"Ah, kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu oleh Sie Liong?"
Kata Lan Hong.
"Dua orang pandeta Lama itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek-in Tosu yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil mengusir dua orang pendeta Lama itu."
"Dan bagaimana perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?"
"Pertemuan kami dengan dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun di perbatanan Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta perni-kahan puteranya. Akan tetapi pernikahan itu gagal karena Pendekar Bongkok turun tangan mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera kepala dusun itu dipaksakan. Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju akan tindakan Pandekar Bongkok yang menggagalkan pernikahan itu dan di dalam perjumpaan itulah dia mengenal kami berdua. Ternyata dia telah menjadi seorang pendekar yang sakti!"
Lan Hong menarik napas panjang mendengar cerita dua orang murid Kun-lun-pai itu.
"Ya, memang setelah pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su."
"Ahhh....!"
Lie Bouw Tek berseru dengan mata terbelalak panuh kasum.
"Pantas saja adikmu itu menjadi seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti. Menjadi murid Himalaya Sam Lojin sudah hebat apalagi menjadi murid Pek-sim Sian-su! Ah, sungguh hebat sekali adikmu itu, toanio!"
Mendengar pujian-pujian itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi gembira, bahkan diam-diam ia merasa sedih sekali, mengingat akan nasib adiknya. Sejak kecil, adiknya sudah mengalani kesengsaraan, bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih tersiksa. Tersiksa lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk dibunuh!
Karena melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan wanita itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat api unggun. Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah sekali. Lie Bouw Tek masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak lama kemudian merekapun mengaso dengan duduk bersila. Mereka berduA menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka berjalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit. Lan Hong berterimakasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong semakin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu.
Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar ataupun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan di waktu memandangnya, pendekar itu selalu membatasi diri. Karena senja telah tiba dan malam menjelang datang menggelapknn bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka memilih sebuah guha di daerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di mulut guha dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap di dalam guha. Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk.
Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri. Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunan masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan. Bagi Lan Hong, perasaannya yang amat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalaupun akhirnya timbul perasaan cinta kepada Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta suaminya.
Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap Suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya. Dan selama itu, sama sekali ia tidak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka memandangpun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, tiba-tiba saja, tanpa disangkanya, ia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.
Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi pada hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita, bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa di balik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan. Di balik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat. Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biarpun tergolong cantik namun tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Mengapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum terhadap wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin selama hidupnya?
"Toanio, engkau mengasolah, biar aku yang berjaga di sini,"
Akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu.
"Aku belum mangantuk, taihiap. Engkau mengasolah biar aku yang berjaga. Masa satiap kali kita bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur."
Lie Bouw Tek tersenyum.
"Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungl wanita yang lemah."
"Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap."
Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinaraya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.
"Toanio, ada sedikit permintaan dariku, harap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.
"Lan Hong balas memandang, sinar matanya tajam menyelidik. Bagaimanapun percayanya kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.
"Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi kalau permin-taanmu itu wajar dan baik."
"Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kaupakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing."
"Ah, sungguh aneh. Aku sendiripun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu."
Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggauta keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?"
Biarpun wajahnya berubah merah dan jantungnya bardebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako."
"Dan aku akan menyebutmu siawmoi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?"
Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh setdah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya.
"Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?"
Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini.
"Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari panannya yang pergi lebih dahulu."
"Hemm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!"
Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulut dengan punggung tangannya.
"Eh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?"
"Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!"
"Ah, tidak mungkin! Aku tidak percaya!"
Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran.
"Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku membobong?"
Dalam suaranya torkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terada nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.
"Aku tidak mengatakan engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukan anak tiri, atau anak angkat?"
"Eh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!"
"Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas tahun?"
Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis.
"Lie-toako, berapa kaukira usiaku sekarang?"
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paling banyak dua puluh lima tahun."
Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan,
"Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun."
"Apa? Tidak mungkin sama sekali! Engkau.... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!"
Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli. Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apalagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya?
"Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong."
"Aihhh.... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi."
"Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, mungkin malah lebih tua daripadamu."
"Ah, tidak, tidak!"
Jawab Lie Bouw Tek cepat.
"Usiaku sudah tiga puluh enam tahun."
"Tentu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako, Berapa banyak anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?"
Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi."
"Ahh....!"
Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan ia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah!
Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman. Jangan mengharapkan yang bukan-bukan! Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya seperti mati. Lie Bouw Tek soperti sadar kembali dari lamunan.
"Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?"
"Dia masih muda, toako, baru dua -puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun."
"Hemm, sudah demikian lihainya walaupun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?"
"Bi Sian, Yauw Bi Sian."
"Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berba-haya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apalagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun."
Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan.
"Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong."
"Apa?"
Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini.
"Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?"
Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
"Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin."
"Benarkah?"
Kembali pandekar itu terkejut.
"Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Sian-su."
"Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru Sie Liong."
Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang.
"Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang hebat, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?"
Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.
"Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya."
Di dalam suara itu terkandung keluhan. Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, ia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat keparcayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Ia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi, ia sudah merasa demikian akrab, apalagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong menarik napas panjang.
"Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu.... tewas karena terbunuh orang."
"Ahhh!"
Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali.
"Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?"
Lan Hong menggeleng kepalanya.
"Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako."
"Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu.... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?"
Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya.
"Mereka berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah mereka pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang membunuh ayahnya. Karepa tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri dan anakku itu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk membalas dendam kematian ayahnya."
"Ah.... ahh....!"
Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh,
"Hong-moi.... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malapetaka yang hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihai, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang puterimu malah mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakuken pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?"
"Tadinya.... aku sendiri percaya bahwa dia yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi...."
"Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu."
Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Ia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada pendekar ini dan kalau ia menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekalipun! Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.
"Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan."
Ia herhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu. Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini meman-dang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.
"Sungguh keji penjahat itu!"
Komentarnya. Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali.
"Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku."
Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek mengepal tinju.
"Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!"
Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali.
"Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?"
"Aku percaya, aku percaya.... aih, si keparat!"
Kata Bouw Tek.
"Setelah aku menjadi isterinya, dia meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu...."
"Hemm...."
Bouw Tek mengerutkan alisnya dan tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki laki-laki yang telah monjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia berkata lirih,
"Hemm, dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik...."
Lan Hong menggeleng kepalanya.
"Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang amat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut kalau Sie Liong kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan setelah sembuh dia menjadi bongkok."
"Ahhh....! Hemmm....!"
Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki itu suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.
"Agaknya, Sie Liong menyadari bahwa dia dibenci kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu...."
Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa. Tak lama kemudian Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi ia tidak menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, ia melanjutkan.
"Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menantl pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun."
"Dan menjedi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?"
"Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dangan mudah Sie Liong mengalahkannya tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi sakti itu."
"Dan adikmu tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?"
Lan Hong menggeleng kepalanya.
"Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, diapun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan akupun tentu saja merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapatkan perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, tiba-tiba puteriku, Bi Sian pulang!"
Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.
"Dan ia telah menjadi seorang ga-dis yang sakti pula, murid Koay Tojin."
Kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.
"Benar, toako. Ia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan iapun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kautahu, toako, diantara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sutenya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan."
Wanita itu berhenti lagi dan Bouw Tek dengan tenang menanti kelanjutan cerita itu karena dia merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.
"Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,"
Kata Lan Hong seolah-olah dapat membara pikiran pendekar itu dan menjawabnya.
"Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang."
Kembali Lan Hong diam dan kini ia nampak demikian berduka.
"Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi."
Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya.
"Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!"
"Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!"
Kata Bouw Tek penasaran.
"Gadis itu puteriku, toako...."
"Ah, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?"
"Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran."
"Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?"
Lan Hong menggeleng kepalanya.
"Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu kepadanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, karena bagaimanapun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya."
Lie Bouw Tek termenung. Memang serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya.
"Akan tetapi, tentu Pendekar Bongkok sudah me-ngetahui rahasia itu maka dia membunuh musuh besarnya."
Lan Hong menggeleng kepalanya.
(Lanjut ke Jilid 18)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
"Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadi pembunuhan, akupun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia mangetahuinya! Dia menyanggal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan diapun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya."
"Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?"
"Karena sebelumnya, ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong mmukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta agar Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, seorang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Karena itulah, maka aku nekat melakukan perjalanan ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong karena sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku."
"Eh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?"
Lan Hong lalu menceritakan tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan yang diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya. Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.
"Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Kalau dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengar dariku. Kalau bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak sukar menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya agar jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunub dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian."
"Hemmm...."
Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi.
"Pendapatmu itu memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau benar seperti yang kausangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia membunuh suamimu yang baru dijum-painya?"
"Akupun sudah memikirkan hal itu dan menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walaupun dia sutenya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?"
Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.
"Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walaupun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia melakukan pembunuhah itu dan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok dan mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?"
Lie Bouw Tek masih memandang dengan kagum dan mendengar pertanyaan itu dia mengangguk-angguk.
"Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari puterimu itu?"
"Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke Lasha."
Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menertma tugas dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang memusuhi Kun-lun-pai! Diapun pernah mendengar dalam perantauannya di daerah ini bahwa para pendeta Lama di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pandeta Lama itu ada hubungannya dangan hal itu.
"Setelah mendangar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Sukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dan puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa diantara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?"
"Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi akupun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako." "Kalau begitu, yang penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus menceritakan senua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sutenya sendiri, bukan oleh pamannya."
Lan Hong mengangguk lemah.
"Akan kulakukan itu, walaupun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya."
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan guha, dekat api unggun.
Dia semakin tertarik kepada Lan Hong. Tak dapat dia menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan diri kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya. Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu, akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat! Dan diapun menjadi semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk.... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!
Semua mata memandang, semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah sebrang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan kedai menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
"Amboi.... manisnya....!"
"Lihat bentuk tubuhnya.... seperti kijang emas....!"
Istana Pulau Es Eps 14 Mutiara Hitam Eps 25 Istana Pulau Es Eps 19