Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 7


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Plakkk!"

   Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika "mimisen". Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang kepala.

   "Tukkk! Tukkk!"

   Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!

   "Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!"

   Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Iapun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.

   Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu. Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biarpun tidak sampai terluka parah namun pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.

   "Bocah setan berani kau memukul kami?"

   Bentak si brewok.

   "Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!"

   Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus!

   Biarpun lima orang itu kini sudah marah bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian. Biarpun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat, dan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh merekapun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol! Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.

   "Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!"

   Teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.

   "Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu, heh-heh!"

   Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya. Dan Bi Sian terns menghajar Ki Cong sampai akhirnya pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis! Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka.

   Akan tetapi biarpun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik dan menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka! Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh see-rang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek jembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti mereka, menbuat mereka semakin takut dan berusaha lari secepatnya sampai jatuh bangun!

   Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah, terengah-engah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas. Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain. Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya ini seorang manusia luar biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah membantunya maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kalipun mendapat balasan pukulan dari mereka.

   "Sudahlah, suhu. Apa sih yang kau tertawakan begitu hebat?"

   Katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.

   "Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau telah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!"

   Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya.

   "Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi."

   Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka iapun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian iapun menurut saja petunjuk suhunya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.

   "Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!"

   Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga pulang.

   "Aku mulai khawatir, kenapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum juga pulang. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,"

   Bujuknya untuk ke beberapa kalinya.

   "Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar. Tidak perlu khawatir."

   "Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...."

   "Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Biarpun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk melindungi diri sendiri. Dan iapun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku."

   Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu dengan penuh harapan. Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan.... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

   "Bi Sian....!"

   Teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.

   "Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku telah mendapatkan seorang guru, guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!"

   "Bi Sian....!"

   Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu. Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa penasaran dan cepat dia melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu. Tiba-tiba terdengar suara anak mereka dari atas genteng.

   "Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!"

   Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka, tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan diapun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itupun lenyap. Dia merasa penasaran sekali.

   Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan. Akan tetapi semua usahanya untuk mencari sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Diapun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin. Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa! Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya dapat menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka sekali.

   "Aku akan mencarinya...., aku akan mencarinya sampai jumpa dan membawanya pulang...."

   Dia menghibur isterinya berkali-kali.

   Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin. Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek jembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya. Mendengar ini, makin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel dan bersikap seperti orang gila!

   Tentu dia sakti, pikirnya. Diapun minta maaf kepada Lu-ciangku, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid. Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehidupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seolah-olah menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, kini menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya. Baru saja ia kehilangan adik kandungnya dan dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun! Kesenangan dalam bentuk apapun di dunia ini tidak abadi! Kesenangan seperti gelembung-gelembung sabun yang setiap saat dapat meletus dan lenyap di udara!

   Kesenangan datang dari nafsu dan menimbulkan ikatan-ikatan dengan sumber kesenangan itu. Kalau tiba saatnya kesenangan itu direnggut dan terpisah dari kita, maka kitapun merasa kehilangan dan berduka. Hidup ini, penuh dengan duka yang timbul dan kekecewaan, iba diri, kemarahan, kabencian, permusuhan. Karena hidup ini penuh dengan duka dan sengsara, maka kita semua rindu akan kebahagiaan. Sayang sungguh sayang, kita selalu salah mengenal kesenangan sebagai kebahagiaan! Kesenangan hanya merupakan saudara kembar dari kesusahan belaka, keduanya itu tak terpisahkan seperti permukaan depan belakang dari telapak tangan. Ada susah ada senang, ada suka ada duka, tak terpisahkan. Karena itu, setiap kedukaan kita coba hibur dengan kesukaan, setiap kesusahan kita tutupi atau ingin lupakan melalui kesenangan.

   Padahal, kesenangan itupun akan berakhir dengan kesusahan, seperti gelombang tidak hanya bergerak ke satu jurusun, tapi pada saatnya membalik. Kebahagiaan sungguh jauh berbeda. Kebahagiaan tidak mempunyai kebalikan! Kebahagiaan berada jauh di atas jangkauan suka dan duka. Karena suka dan duka itu hanya merupakan permainan pikiran, maka hanya menjadi pakaian dari si aku. Kebahagiaan tak dapat diraih oleh pikiran. Kebahagiaan tidak dapat didatangkan dengan sengaja oleh si aku yang ingin berbahagia. Kebahagiaan adalah Cintakasih, Cahaya Illahi, kekuasaan Tuhan yang selalu ada, di dalam diri kita sendiri, tak pernah sedetikpun meninggalkan kita. Hanya pikiran dengan nafsu-nafsunya menyeret kita ke dalam kegelapan sehingga tidak dapat melihat-Nya.

   Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dahulu. Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat. Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.

   Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya! Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat.

   Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat. Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.

   Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat, sedangkan dia sendiri ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun. Karena itu, biarpun Bong Gan disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han.

   Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, mendatangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aselinya Munggan atau Boangana! Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya.

   Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai
(Lanjut ke Jilid 07)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
kuku kakinya. dan dalam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya! Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara anggauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya.

   Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun! Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis.

   Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal! Karena ia amat disa-yang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka. Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka.

   Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa. Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu.

   Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan me-nanggapinya. Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini. Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wanita itu.

   Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan. Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.

   "Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini...."

   "Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengarnya...."

   "Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?"

   "Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu."

   Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.

   "Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,"

   Katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.

   "Terimakasih,"

   Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.

   "Kau duduklah, Bong Gan,"

   Katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.

   "Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah."

   "Ahhh!"

   Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pembaringan.

   "Biarlah ahu duduk di sini. Kau duduklah."

   Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya. Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.

   "Bong Gan, huruf apakah ini....?"

   Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.

   "Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kauajari aku membaca, Bong Gan."

   Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.

   "Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?"

   
"Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan...."

   Kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.

   "Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!"

   Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.

   Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup! Kekenyangan yang dirasakan hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar kekuasaan dan sebagainya. Makin diberi, semakin merasa kurang dan menghendaki yang lebih! Demikian pula dengan Bong Gan dan Pek Lan. Begitu keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas.

   Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan. Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri! Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, ke sekian puluh kali dan mereka berdua, yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi,

   Tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe. Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati. Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah.

   Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar! Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.

   Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka. Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya. Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali.

   Kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil. Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng. Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.

   Sampai di luar kota, malam telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biarpun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka. Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota. Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.

   "Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi,"

   Kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini. Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malapetaka yang menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!

   "Engkau memang anak durhaka!"

   Bentaknya sambil bangkit duduk dan telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan.

   "Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarga Coa! Aahh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!"

   Sepasang mata Bong Gan terbelalak.

   "Diam!"

   Dia membentak marah sekali.

   "Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!"

   "Apa? Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!"

   Pek Lan bangkit berdiri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti! Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki,

   Jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat. Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling. Hal ini berarti bahwa nenek itu telah membantunya, maka biarpun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis!

   Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi keseraman. Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai hampir tertutup kelebihan kulit pada pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi. Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis.

   Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, akan tetapi sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati orang. Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.

   "Ceritakan, kenapa kau menangis di sini!"

   Terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak! Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka iapun menjawab sambil menahan tangisnya.

   "Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya."

   Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri.

   "Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar aku membunuhnya?"

   Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimanapun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.

   "Jangan, nenek yang baik, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!"

   Katanya. Nenek itu terkekeh.

   "Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!"

   Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul kebera-niannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya. Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.

   "Heh-heh-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!"

   Nampak ia menggerakkan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling! Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.

   "Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah! Terbanglah!"

   Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dangan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!

   "Toloooooooong!"

   Dia menjerit-jerit.

   "Nenek yang baik, jangan bunuh dia!"

   Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.

   "Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!"

   Kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyanbutnya dan tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki. Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.

   Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan permainannya!"

   Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati.

   Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup mata rapat-rapat. Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur ke bawah melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek jembel! Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.

   "Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!"

   Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut.

   "Waaahhh! Menghajar nenek itu? Mana aku berani? Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri melihatnya...."

   Dan kakek jembel itu bergidik kengerian. Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!

   "Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!"

   Berkata demikian, Bi Sian meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal.

   "Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!"
Nenek itu menyeringai lalu menoleh kepada Pek Lan,

   "Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?"

   Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek jembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.

   "Nenek yang mulia, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kaubunuh saja!"

   Di sini sudah nampak perwa-takan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.

   "Bunuh? Heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!"

   Jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.

   "Wirrrr.... takkkk!"

   Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.

   "Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek jembel gila dari Himalaya?"

   Teriaknya marah. Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!

   "Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!"
Nenek itu semakin marah. Kata-kata "tidak bergigi lagi"

   Bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!

   "Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!"

   Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!

   Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun "hidup"

   Dan melawan tongkat ular itu dan terjadilah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya "bersilat"

   Tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat. Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah "memanggil"

   Kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terja-dilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.

   Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali dan melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan! Biarpun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.

   "Nenek yang mulia.... tolong aku.... tolooooonggg!"

   Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya. Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mula-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun,

   Selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga membingungkan. Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan. Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu.

   "Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!"

   "Ha-ha, Bi Sian, sudahlah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh....!"

   Koay Tojin bergidik.

   "Hayo pergi....!"

   Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan itu dan kakek jembel, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.

   "Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!"

   Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai.

   "Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!"

   Katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.

   "Suhu, nanti dulu!"

   Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.

   "Siapa namamu?"

   Bi Sian bertanya.

   "Nama saya Bong Gan...."

   Jawab anak laki-laki itu sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.

   "Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?"

   "Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,"

   Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali.

   "Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencurinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu."

   Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik sekali. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.

   "Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya...."

   "Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!"

   Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.

   "Nanti dulu, suhu,"

   Kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu.

   "Aku mau pergi kalau suhu juga mengajak dia ini!"

   
"Apa??"

   Koay Tojin terbelalak.

   "Untuk apa mengajak anak cengeng ini?"

   "Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!"

   Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik.

   "Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?"

   
"Benar, locianpwe,"

   Kata Bong Gan, girang bahwa kakek jembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.

   "Aku ingin melihat buktinya!"

   Berkata demikian, Koay Tojin lalu melem-parkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.

   "Plak! Plak! Plak! Bukk!"

   Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apalagi kalau pukulan itu mengenai kepalanya.

   Dia menutupi kedua kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong. Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu. Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu. Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega.

   "Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?"

   Teriaknya.

   "Ha-ha-ha!"

   Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu.

   "Mari kita pergi, Bi Sian!"

   Katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.

   Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepalang dan kini kakek itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya! Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu terancam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji! Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri,

   

Istana Pulau Es Eps 29 Istana Pulau Es Eps 19 Istana Pulau Es Eps 39

Cari Blog Ini