Kisah Pendekar Bongkok 13
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Taihiap, saya berterimakasih sekali kepadamu!"
Dua orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja.
Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan telah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
"Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?"
Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya. Petani itu mengangguk.
"Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut...."
"Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong maka pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu telah berlangsung bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!"
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apapun!
"Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?"
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.
"Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami."
"Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...."
"Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?"
Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
"Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?"
"Tentu saja!"
Jawab kedua orang tua itu.
"Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya? Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?"
Dua orang tua itu menunduk.
"Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup barkecukupan...."
"Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang."
"Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali...."
Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
"Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong."
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang.
"Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membersakan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun."
"Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,"
Kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agakaya pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambl depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan mereka. Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah.
"Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?"
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendangar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
"Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu."
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya.
"Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dangar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pasta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?"
"Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?"
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang.
"Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!"
"Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!"
"Hemm, tidak percuma kalau sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan."
Kata si tinggi besar.
"Kalau aku tidak mau?"
"Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!"
Teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
"Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!"
Kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itupun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
"Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!"
Kata si tinggi besar yang segera melangkah maju.
"Sobat, engkau sungguh tinggi hati, handak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!"
Sie Liong tersenyum.
"Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain."
"Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?"
"Kalau perlu...." "Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!"
Bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring,
"Lihat serangan!"
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datanguya cepat sekali. Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang "berisi", bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.
"Dukkk!"
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat! Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Namun, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan langkah-langkahnya yang teratur.
"Hyaattttt....!"
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas! Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak,
"Lihat seranganku!"
Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng! Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu,
Walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau! Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong. Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
"Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!"
Tantang si tinggi besar dengan sikap gagah. Sie Liong menjura kepada mereka.
"Mana aku berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku tidak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!"
Dua orang itu terbelalak.
"Engkau.... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?"
Tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.
"Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!"
"Ahh....!"
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang.
"Engkau.... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!"
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku...."
"Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu...."
Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
"Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan...."
"Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!"
Kata Kok Han.
"Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana."
"Mungkin dia tidak tahu,"
Kata Sie Liong.
"Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik."
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong.
"Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini."
"Terimakasih, ji-wi memang bijaksana. Aku menunggu di sini,"
Kata Sie Liong. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok.
Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh Pendekar Bongkok. Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudian datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han. Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.
"Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepaia dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu."
Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian.
"Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pinangan kami diterima?"
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu berkata dengan tenang,
"Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!"
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata,
"Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami.... kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...."
"Brakkk!"
Kepala dusun Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali.
"Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!"
"Ampunkan kami.... jung-cu....!"
Tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan. Kepala dusun itu menarik napas panjang.
"Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?"
"Namanya Un Kiong...."
"Di mana dia? Panggil dia ke sini!"
Sie Liong bangkit.
"Biarlah aku yang memanggil dia ke sini."
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimanapun juga, dia ketakutan. Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang.
"Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah engkau?"
Un Kiong menjatuhkan diri berlutut di depan "ayah angkatnya"
Dan hanya mampu menangis saking gembiranya.
Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok. Pada keesokan harinya, pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, melainkan "putera angkatnya". Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang. Ketika sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan dua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Dan dua orang mempelai itu tanpa diperintah, langsung saja menghampiri Sie Liong dan keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
"Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!"
Katanya den sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, akan tetapi juga mondatangkan keuntungan benar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya! Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagianya sepasang orang muda itu! Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari.
Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain! Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, dan pekerjaan inipun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat, bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman.
Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri. Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap "siluman"
Itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang ro-boh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba! Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka!
Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah! Dan malamnya, biarpun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah diroboh-kannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Ma-ka, siluman itupun terkenal dengan sebutan siluman merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu! Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan tidak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tidak ada yang mampu menan-dingi kesaktian siluman itu, maka jalan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
"Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,"
Demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan.
"akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun."
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh.
Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa! Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram, hidungnya besar dan mulutnya kecil selalu tersenyum mengejek. Di punggungnya terdapat sebatang pedang, tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dikebut-kebutkan ke arah lehernya ketika dia mamasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat! Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat, dan begitu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan keluhan panjang,
"Hayaaaaaaa....!"
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan diapun mengangguk-angguk. Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat dan bertanya,
"Sian-jin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!"
"Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!"
Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu. Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
"Yang datang dari utara, kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!"
Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka. Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya,
"Di mana kamar dua orang gadis itu?"
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
"Di sana, Sian-jin, di sudut itu...."
Jawabnya cepat.
"Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!"
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu. Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah! Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan,
"Uhhhh....!"
Dan diapun terhuyung ke belakang.
"Sungguh celaka....!"
"Ada apakah, Sian-jin....?"
Tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
"Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!"
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka menggigil.
"Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah...."
Kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.
"Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!"
"Baik, baik.... ah, Terimakasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?"
"Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!"
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata,
"Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman...."
Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk.
Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka merekapun pasrah! Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi,
Dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu. Ketahyulan adalah suatu kebodohan. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka muncul dan mengganggu manusia secara jasmaniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut terhadap gangguan iblis karena yakin bahwa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis.
Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan iblis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong untuk memuja iblis, setidaknya menghor-matinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul menghadapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan
(Lanjut ke Jilid 13)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
memberi persembahan dan sebagainya. Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut.
takut timbul dari pikiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkinan buruk masa depan. Orang yang hidup di saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan alat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi keselamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi suatu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergelimang nafsu itu menguasai jiwa. Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu.
Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
"Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?"
"Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau...."
Kata gadis tertua dengan suara gemetar.
"Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Lakukan sekarang!"
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali. Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu, jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka. Biarpun nafsu berahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh.
Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu. Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, diapun menyuruh mereka keluar dari ember mandi, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman. Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sian-jin lalu duduk bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersamadhi sambil menanti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba.
Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Diapun sudah siap dengan pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah botol. Malampun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu remang-remang namun cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu. Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka.
Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu, akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh "membersihkan"
Mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan. Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu berahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati "imbalan jasanya". Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
"Kalian takut?"
Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri.
"Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi."
Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu. Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali, akan tetapi juga mereka merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sian-jin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sian-jin tersenyum.
"Heh-heh, kalian tidak usah malu-malu...."
Dan diapun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu. Nafsu berahi sudah memuncak dan Bong Sian-jin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka,
Tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka. Bong Sian-jin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang "iblis"
Yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatahpun kata atau suara apapun. Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia lalu menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantram, lalu dia berseru.
"Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!"
Melihat betapa "iblis"
Itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sian-jin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Namun, siluman merah itu tetap tidak bergerak. Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Dia penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, ditambah mantram-matramnya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam setan dan siluman. Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, diapun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
"Takkk!"
Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya! Dukun Bong terbelalak. Tidak percaya dia bahwa ada siluman yang dapat menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikitpun!
"Kau.... kau.... bukan siluman....!"
Serunya, akan tetapi pada saat itu, siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itupun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai, berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok. Siluman merah tidak memperdulikannya lagi, menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu.
Dia mengangguk-angguk, tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut dan siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja lenyap. Gerakannya gesit bukan main dan ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja. Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan. Dia memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya maupun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu.
Daun pintu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong berkelojotan sekarat dalan keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap. Gegerlah seisi rumah. Biarpun merasa ketakutan karena siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak merekapun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya, terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak ada orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya, dan hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya. Apakah orang-orang dusun ini demikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari telah mengusir kegelapan malam.
Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu. Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang kepadanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang telah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.
Biarlah, dia termenung, aku sadar akan keburukanku. Jauh lebih baik menyadari kekurangan dan keburukan diri sendiri tanpa keluhan dan sakit hati daripada menganggap diri sendiri yang terbaik dan tanpa cacat. Keadaan dirinya adalah suatu kenyataan, dan menerima kenyataan hidup, betapapun pahitnya si-aku menilai, merupakan suatu kebijaksanaan kalau dia menyerahkan kembali kepada Tuhan karena, bukankah segala kenyataan itu baru dapat terjadi kalau dikehendaki oleh Tuhan? Dan mengapa Tuhan berkehendak demikian, merupakan rahasia yang takkan terjangkau oleh akal pikiran manusia yang selalu mendasarkan penilaian atas untung-rugi yang diperhitungkannya. Tanpa dia sengaja, ketika Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali.
Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingentangla sebelah utara Tibet karena menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Sian-su, di pegunungan itu dia akan dapat memulai dengan penyelidikannya tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingentangla di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa. Ketika dia tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang mengepungnya dan dengan senjata di tangan.
"Siluman! Siluman!"
"Hajar dia!"
"Siluman, kembalikan dua orang nona kami!"
"Kepung dia, jangan sampai lolos!"
Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata me-reka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apalagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebantar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
"Heii, tahan dulu!"
Teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya. Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.
"Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!"
Bentaknya lagi.
Akan tetapi ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu, dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek mereka menjadi semakin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah seorang siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walaupun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri. Melihat kenyataan bahwa semua orang menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya itu bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu. Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman.
Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman! Melihat serangan bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apalagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar. Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Maka diapun menuding ke atas dan membentak dengas suara garang,
"Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke manapun kami orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!"
"Nanti dulu!"
Sie Liong berseru dan nada suaranya marah karena hati siapa tidak menjadi dongkol kalau tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang menculik dua orang gadis orang!
"Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong gadis orang?"
Mendengar ini, Gumo Cali tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan siluman.
"Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!"
"Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!" "Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!"
"Dia berpunuk, tentu siluman onta!"
Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya dongkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!
"Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andaikata aku siluman sungguh, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku ini manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andaikata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman? Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, mengeroyok dan membunuh orang yang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!"
Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.
Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, terkejutlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula. Timbullah harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, diapun segera berteriak memberi isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, diapun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring.
Istana Pulau Es Eps 40 Mutiara Hitam Eps 19 Istana Pulau Es Eps 39