Cinta Bernoda Darah 15
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini."
"Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?"
"Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia"
Jawab Sian Erg dengan muka agak panas.
"Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya"
"Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu, Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu.."
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
"Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang.. eh, Lin-moi, kau ke mana..?"
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas.
Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini terus berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok ke dua.. dadanya makin panas seperti terbakar ketika, ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik. Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.
".. ah, kau terlalu lemah.."
".. cintaku takkan kunodai dengan darah.."
Terdengar jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai dengan darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?
Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang.. iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan. Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini tentulah Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.
"Harap jangan berteriak.."
Suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.
"Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,"
Kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.
"Kau kenal padaku..?"
Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.
"Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu jahatnya?"
Tercenganglah Hek-giam-lo, biarpun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun.
"Kau.. kau.. betulkah kau orang yang kucari-cari..? Sudah berkali-kali aku keliru.."
"Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalina"
Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh, sikap seorang puteri raja aseli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap seorang junjungan terhadap hamba sahayanya. Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut. Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia berkata.
"Be.. betulkah ini..? Tidak tertipu lagikah.. tidak keliru lagikah..?"
"Hek-giam-lo. Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubakan Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota? Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu? Berani kau menghina aku seperti itu?"
Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyakslkan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara angkat itu akan terheran-heran.
"Ampun, Tuan Puteri. Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalina yang mulia. Alangkah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka."
Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takkan mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita encinya tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau ataupun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak hidup. Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa berat untuk.. berpisah dari Suling Emas. Menolak permintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.
"Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu Paman.."
"Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat."
Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal..
"Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu.. perayaan Beng-kauw masih belum habis.."
"Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting daripada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apalagi urusan negara lain.., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalina"
Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju.
"Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri."
Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan, berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.
"Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas?"
Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.
"Tuan Puteri Yalina, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga. Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?"
"Ada dua orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kau pikir, apakah ini bukan penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kau rampas tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain."
"Tongkat Beng-kauwcu..?"
Terang bahwa Hek-giam-lo, biarpun dia seorang tokoh besar malah seorang di antara enam iblis, kaget juga mendengar perintah ini.
"Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Bengkauw?"
"Hamba tidak takut terhadap siapapun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao?"
"Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan begitu saja. Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?"
Kena juga akhirnya tokoh iblis ini "dibakar"
Oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat.
"Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi."
"Bagus"
Sekarang musuhku yang ke dua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biarpun ia menyangkal. Kau tangkap dia, jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan."
Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.
"Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut"
"Hamba juga tidak takut, akan tetapi.. urusan ini.. tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar daripada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang terbunuh itu?"
"Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di.."
Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terdengar amat ketus,
"Kam Si Ek? Musuh besar kita itu"
Tuan Puteri Yalina, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan"
Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya maupun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.
"Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini."
Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya mahluk yang mengerikan ini pergi meninggalkannya.
"Paduka akan berangkat sekarang juga.."
Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat.
"Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat.."
Akan tetapi Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.
"Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini..?"
Berkali-kali Lin Lin bertanya. Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetak, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening.
Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi. Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khi-kang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan panca indera, mengerahkan sin-kang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya daripada serangan tak langsung tapi cukup hebat itu. Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu.
Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu. Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan.. bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya"
Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit di kedua ketiaknya.
"Kau.. kau siapa?"
Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan menjadi kakek ini?
"Mana Hek-giam-lo?"
Kakek itu membungkukkan tubuhnya.
"Tuan Puteri Yalina, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Adapun Suheng Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini, Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga."
Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kiranya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung, agaknya di ales lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan. Kakek begini disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri, meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat dengan baik? Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.
"Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat."
Kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali.
"Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja."
Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu "berjalan"
Agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat cepat. Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan. Ketika ia menoleh, kakek itu tersenyum lebar dan berkata,
"Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat."
Lin Lin tidak menjawab.
Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja Kerajaan Nan-cao. Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.
"Heiiiii"
Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali.."
Seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat mengikutinya.
"Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang"
Tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.
"Apa maksud Paduka?"
"Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda."
Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang.
"Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi."
"Kalau aku tidak mau?"
Bentak Lin Lin.
"Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan."
"Srattt"
Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.
"Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa"
Kini Lin Lin menantang.
"Pedang pusaka Besi Kuning.."
Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur.
"Tidak.. hamba tidak berani.. tidak berani.."
Besar hati Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.
"Kau masih berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan ini"
Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.
"Ti.. tidak, hamba tidak berani.."
Kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke manapun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau tongkat. Hebat sekali kakek ini, biarpun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali bertemu senjata, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin"
"Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah.."
Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apalagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan daripada didesak menjadi lawan.
Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk.. menawan Suling Emas. Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi "hajaran"
Kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.
"Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak melawang aku pun mana suka bertentangan dengan orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khitan. Akan tetapi, aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di sini?"
Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin.
"Ajaib.."
Katanya perlahan.
".. pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di tangan Paduka pula.. ajaib.. agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit.."
"Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan"
"Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang perajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka."
"Bagus"
Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal."
Pak-sin-tung mengangguk-angguk, lalu mulutnya diruncingkan dan terdengarlah desis yang makin lama makin tajam sehingga kembali Lin Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil Pak-sin-tung, merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan mengerahkan sin-kang untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat jam suara itu mendesis-desis dan tiba-tiba terhenti. Lin Lin mendengar gerakan banyak orang dan ketika ia membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua puluh empat orang laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang berpakaian seperti pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan tetapi kesemuanya bersikap gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut dengan hormat di depannya dengan barisan berjajar di belakang Pak-sin-tung.
"Hamba sekalian sudah berkumpul dan siap menanti perintah Tuan Puteri Yalina"
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Pak-sin-tung. Tak dapat dicegah oleh Lin Lin rasa bangga dan mekar di dalam dadanya. Inilah hebat, pikirnya dan yang luar biasa adalah kenyataan bahwa tidak merasa hal ini aneh, malah seperti sudah sewajarnya dan sudah seharusnya demikian.
"Kalian semua dengarlah baik-baik,"
Katanya sambil memasukkan Pedang Besi Kuning ke dalam sarungnya.
"Untuk menjunjung nama besar Khitan dan memberi peringatan kepada Nan-cao negara kecil ini agar lain kali tidak berani memandang rendah kepada kita, aku telah memerintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas tongkat ya-beng-cu dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian membantuku untuk dua urusan lain, pertama, menangkap dan menawan Suling Emas hidup-hidup, kita bawa dia ke Khitan."
Lin Lin tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling pandang dengan muka kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya,
"Ke dua, kalian bantu aku menangkap Suma Boan putera pangeran dari Kerajaan Sung itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya orang yang bernama Kam Bu Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia menunjukkan di mana adanya Kam Bu Song, kalian boleh siksa ia sekedarnya tapi tak usah dibunuh, lalu dilepaskan dia kembali. Mengerti?"
"Hamba mengerti, Tuan Puteri,"
Jawab Pak-sin-tung mewakili anak buahnya.
"Biarlah hamba yang menemani Paduka, adapun saudara-saudara ini siap secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang jika hamba panggil."
"Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota raja."
Dua puluh empat orang itu tetap berlutut ketika Lin Lin dan Pak-sin-tung berangkat, kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka keluar.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu, untuk menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan di sana akan ia pergunakan sebagai bukti daripada kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, cepat ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya.
Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah "perang"
Antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni. Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Banyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan "jurus-jurus"
Yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan.
Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, tergantung daripada si pemakai. Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba "cringgg"
Sebatang kawat khimnya putus.
"Keparat.."
Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek Siansu. Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.
"Kau.. kau.. setan.."
Teriaknya, membalikkan tubuh dan.. lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan.. Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
"Kurang ajar.."
Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya.
Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu. Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul keluar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit.
"Kasihan.."
Bibir itu berbisik.
"anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya.."
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu.
"Mana.. mana dia..?"
Bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra. Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi.
"Belum terlambat.. anak baik, kau ikutilah aku.."
Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya,
"Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada di mana, apa yang telah terjadi?"
Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama sekali.
"Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali."
Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning. Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi
(Lanjut ke Jilid 15)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia berhal seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
"Iblis betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu"
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia.. dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun ia tidak tahu bagaimana caranya.
"Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih.."
Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.
"Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali."
Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali, kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.
"Kita sudah sampai"
Suara halus kakek itu menyadarkannya. Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.
"Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk.."
"Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?"
Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya "menjadi permainannya"
Dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu.
"Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas. Akan tetapi teecu yang begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe sudi menolong."
"Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa. Akan tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah"
Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya? Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya,
"Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat."
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat. Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.
"Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sin-kang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas."
Dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun. Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas kepalanya. Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti malam dan malam berganti siang lagi.
Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan membentuk sin-kang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar. Setelah suara itu makin menghilang, barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing.
Cepat ia mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi sebelum buyar dan lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan, giginya sampai berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat isi pelajarannya itu, ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi karena belum pandai benar ia menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api neraka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak. Kembali dengan mengingat pelajaran tadi, ia berhasil menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri dengan ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih kuat daripada biasa. Hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya yang terasa olehnya, kelemahan yang wajar. Karena khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu.
Akhirnya ia membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas batu, kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air. Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat, memandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa batu yang tadi menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya kakek itu? Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa ia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan menurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas semangat dan dijadikan permainan oleh si iblis betina.
Untung ada kakek sakti itu yang menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia tahan bersamadhi di bawah air terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat menghitungnya karena ia tekun dalam bersamadhi sambil mencurahkan segala daya ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu. Tak perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat bertemu. Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia selidiki hal ini dan sekarang yang paling perlu adalah mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda.
Tak lama kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang manusia. Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara. Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak disadari oleh orangnya sendiri.
Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas seperti seorang pemburu, sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing itu merobek tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong moncong harimau. Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat menombak harimau sehingga binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera turun tangan.
Bu Sin melompat dekat, tangannya diayun dan..
"krakkk"
Tubuh harimau terguling, kepalanya pecah. Laki-laki itu merangkak keluar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia berhasil membunuh seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk di akal lagi, memecahkan kepalanya. Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang.
"Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe.."
Si pemburu yang sudah bangkit duduk, makin melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima kasih kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan.
Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia bangkit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok jalan darah. Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu yang segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk, pandang matanya bertemu dengan bangkai harimau, bergidik dan menoleh memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang pundaknya dan berkata.
"Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati."
"Kau.. kau.. Manusia atau..?"
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu."
Kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya. Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun.
"Tak perlu segala kekosongan ini"
Katanya.
"Marilah kita bicara secara sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku.. aku tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk."
"Taihiap tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke Kota Raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan"
Kaget hati Bu Sin ia sudah berada di dekat Kota Raja Nan-cao di selatan? Hebat. Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao. Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan berkata.
"Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan? Tolong kau tunjukan jalannya agar aku tidak sesat lagi."
Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.
"Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat."
Ia bangkit berdiri.
"Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya, dan.."
Akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap diantara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda daripada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini. Sekarang, ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu bahwa semua ini adalah hasil daripada ilmu siulian ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan perjalanan cepat tiada pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka tanpa ia sadari ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah karung hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apalagi orang ke tiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang ke dua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok adalah bawah ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.
"Ha di sinilah tempatnya. Pangcu berpesan agar kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga"
Kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung, meletakkahnya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apalagi si penggendong karung peluhnya membasahi leher dan mukanya.
"Loheng (Kakak), tak enak menanti di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan semangat, heh-heh"
Kata pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara mereka.
"Sam-te, jangan main-main kau"
Cela si kepala besar.
"Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher?"
"Wah, Suheng, aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya? Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku? Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah.. berabe, baru tiga hari dia bunuh diri"
Kata lagi si bopeng.
"Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu"
Kata si juling.
"Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet.."
"Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap.."
"Sttt, sudahlah"
Tegur si kepala besar.
"Kalian ini kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biarpun aku sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya."
Tangan Geledek Eps 30 Tangan Geledek Eps 32 Suling Emas Eps 21