Istana Pulau Es 21
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
"Biarkan mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak perajurit. Biarkan perajurit-perajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita akan siap untuk menyambut dan menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!"
Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan. Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan berkata,
"Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita bersenang-senang."
Suma Kiat memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa.
"Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!"
Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal tua itu. Akan tetapi, sepasang alis wanita itu agak mengerut, dan dia tidak melayani pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati, karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin!
Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan, dan menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua akan tetapi sebenarnya, secara diam-diam dia cerdik, setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan daripada suaminya! Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi, orang muda muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu.
Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih berahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu berahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu? Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, karena dia sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan. Sang Panglima!
Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu berahinya yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi, dia tidak mau peduli asal tidak menyolok di depan matanya! Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur rencana.
Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek San. dan mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan apabila keadaan memungkinkan. Kita tinggalkan dulu dua pasukan yang sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita tinggalkan. Di dalam hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki segalagalanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang saling bertentangan.
Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain sekali. Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu berahi besar dan seorang pria yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya setelah ia melayani rayuan ibu tirinya membentuk watak yang mengerikan dalam hati pemuda tampan ini.
Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas. Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya mati di tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani cintanya! Dan dia akan tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk perut dengan gunting untuk membunuh diri.
Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang membuat ia di juluki Jai-hwa-sian! Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya! Kepatahan hatinya karena cintanya putus, cinta murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang ke dua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya, mendatangkan rasa kebencian hebat kepada kaum wanita! Dia sendiri tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian, yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong oleh nafsu berahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang terdorong oleh dendam dan benci!
Dia memperkosa wanita, menyakitkan hati mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri, bahkan adakalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun telah mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah diperkosanya dan ditinggalkannya! Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan ular dengan suling mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita dan untuk membuat korbannya mabok dan bangkit gairah berahinya.
Pendeknya, Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang "play boy"
Besar yang tiada tandingannya. Pandang mata Suma Hoat amatlah tajamnya terhadap wanita. Biarpun dari jarak jauh, dia dapat menentukan berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacad celanya hanya dengan melihat dari balakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.
Perutnya mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang duduk menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi! Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis itu sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa. Hatinya makin tertarik. Hemm dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas meja dan dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yanglumayan.
Ia makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki daya tarik yang berbeda. Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja diterangi matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya. Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang, indah tidak membosankan. Adapun gadis ke dua paling tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis ini pakaiannya merah muda, wajahnya aga lonjong dengan dagu meruncing manis.
Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat, membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai menggelora membuih di pantai. Rambutnya digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah jenaka dan periang ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya, tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya. Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguhpun sifat mereka berlawanan.
Melihat seorang pemuda tampan dan gagah, memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil pelayan karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman. Kedua orang gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam hatinya karena biarpun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sin-kang yang kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.
"Suci, kulihat orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu seorang penjahat yang berbahaya...."
Bisik gadis baju merah kepada gadis baju biru.
"Hemm, melihat pandangan matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul dia seorang penjahat, kita harus membasminya!"
Bisik Si Kakak Seperguruan. Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak kepada pelayan,
"Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat dan manis!"
Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya membuang muka lagi. Hati Suma Hoat makin tertarik. Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang sikap yang akan lebih menggairahkan kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan mereka. Pasti!
"Jangan pandang dia, Sumoi. Aku mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar maupun penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas, dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san."
"Baiklah, Suci."
Kedua orang gadis itu melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan. Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun, selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu berahinya.
"Setelah makan, kita mengambil bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di perjalanan,"
Kata pula gadis baju biru.
"Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?"
"Ahh, mana bisa kita begitu royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda."
"Akan tetapi tidak melelahkan, Su-ci...."
"Hemm, Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda? Kalau bekal uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan? Sudahlah, jangan rewel...."
Suma Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran, diikuti pandang mata dua orang murid perempuan Siauw-lim-pai akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah menengok.
"Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...."
"Sumoi!"
Sumoinya tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah.
"Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa dan selama bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang dan memperhatikan seorang pemuda yang menarik hati? Betapapun juga, kelak kita tentu akan bertemu jodoh, Suci...."
"Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!"
Gadis baju merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang sucinya dengan mata berseri.
"Suci, maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, mengapa kau katakan melanggar susila? Kalau begitu pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap sudah wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita dan...."
"Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!"
"Tergila-gila sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus gerak-geriknya...."
"Sudahlah. Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!"
Si Gadis Baju Biru lalu bangkit berdiri, diikuti sumoinya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan,
"Hitung semua berapa!"
Kata Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoinya. Dia mengenal sumoinya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan tak tahu malu! Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata,
"Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.
"Sudah dibayar? Oleh sahabat yang mana?"
Gadis baju biru bertanya. Pelayan itu membungkuk-bungkuk tersenyum.
"Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami...."
Gadis baju biru mengepal tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi sumoinya menyentuh lengannya dari belakang dan berkata,
"Ah, sungguh sahabat kita itu terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja."
Ia menarik tangan sucinya keluar dari restoran itu.
"Setan! Dia benar-benar kurang ajar dan berani mati!"
Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar dari restoran.
"Aihhh, mengapa Suci marah-marah? Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima kasih malah dimaki-maki?"
Sumoinya mencela.
"Sumoi!"
Sucinya membentak marah dan melototkan matanya yang bening.
"Apakah harga diri kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?"
"Eh-eh.... mengapa Suci berkata demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal harga diri dan kehormatan?"
Sucinya menghela napas panjang.
"Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis pria."
"Suci...." "Sudahlah! Mari kita ke hotel!"
Akan tetapi ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan ke dua yang membikin Sang Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar oleh "sahabat"
Itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh "sahabat"
Itu kepada mereka! Gadis baju biru hendak marah-marah, akan tetapi sumoinya membisikkan bahwa kalau Sang Suci marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan lebih memalukan lagi?
"Kita terima dengan wajar dan semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?"
"Hemm... malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi."
Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat.
"Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi."
Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka. Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.
"Wah, sampulnya berbau harum!"
Bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati sucinya yang merobek ujung sampul dengan gerakan kasar lalu mencabut keluar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya merupakan surat yang singkat :
Sebaiknya menunggang kuda agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Li-hiap berhati-hati kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.
Teriring hormatnya
Sahabat Ji-wi.
Gadis baju biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi merah.
"Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak kekurangajarannya!"
Biarpun berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoinya mengajak dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan. Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi, sedangkan sumoinya bernama Kim Cui Leng, keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai!
Biarpun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai maka mereka mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw di selatan. Tujuan mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan Pemuda tampan gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak enak sungguhpun sumoinya kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan itu. Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali.
"Untung kita berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati,"
Kata Cui Leng yang teringat akan isi surat pemberi kuda.
"Huh, siapa percaya kepada obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!"
Jawab Liang Bi marah.
"Eh, eh....! Kalau engkau hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?"
Muka Liang Bi menjadi merah. Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan kekurangajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!"
"Awas, Suci....!"
Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang meluncur ke arah dadanya.
Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang menyambarnya. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak panah yang menancap di perut kuda mereka. Keduanya berseru keras dan melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke arah mereka.
"Kau masih tidak percaya, Suci?"
Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat. Namun sucinya menjawab kaku,
"Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu dialah kepalanya!"
Akan tetapi setelah gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang, ternyata bukan dipimpin pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Adapun semua anggauta perampok bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam. Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.
"Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!"
Perampok ke dua yang bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.
"Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san,"
Kata perampok ke satu yang matanya merah.
"Keparat yang bosan hidup!"
Cui Leng membentak dan menudingkan pedangnya.
"Jangan sembarangan membuka mulut besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian. Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa anjing kalian!"
"Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu sumoinya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas. Biar sucinya itu untukmu, lebih cocok."
"Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang hemm...., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!"
"Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!"
Bentak Cui Leng.
"Sumoi, perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!"
Kata Liang Bi yang sudah menerjang maju diikuti sumoinya yang sudah marah sekali.
Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang gadis itu, Dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani secara langsung melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.
Andaikata dua puluh delapan orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu akan mudah dibasmi oleh Liang Bi dan Cui Leng. Akan tetapi kiranya dua orang kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa itu. Atas perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali hitam. Kembali dua orang pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling dua orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua. Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar pedang menyambut.
Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar pedang. Biarpun tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan tetapi suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.
"Crokkk!"
Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!
Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biarpun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok. Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi lalat, sutenya menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang.
Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati. Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkah lagi beberapa orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun, Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan. Kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.
"Tangkap mereka hidup-hidup!"
Teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus. Liang Bi, dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka.
Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biarpun sudah terluka, namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi, namun keadaan mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali. Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggauta perampok.
"Ular....! Ular....!"
Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka! Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di tangan.
"Tar! Tar!"
Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renggut kedua batang cambuk, itu putus tengahnya!
Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda yang melakukan semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu. Liang Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya.
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Betapapun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga dalam, waktu sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak ada seorang pun yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar wanita ini, sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk. Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan "lagu"
Sulingnya dan meniup suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ. Adapun Liang Bi, dan Cui Leng, cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan mengerahkan sin-kang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.
"Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya,"
Terdengar Suma Hoat berkata. Liang Bi dan Cui Lang membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.
"Kalau tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!"
Kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit. Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata,
"Terima kasih atas pertolongan Kongcu."
Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin.
"Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana."
Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya,
"Terima kasih, tidak usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...."
"AihMhh....! Ji-wi terluka....? Aduh celaka....! Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!"
Tiba-tiba Suma Hoat berseru. Liang Bi menjawab dingin,
"Tidak mengapa, Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang...."
"Wah, mana bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biarpun dapat dilawan dengan sin-kang dan tidak sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang yang tidak mempunyai sin-kang, tentu, akan tewas dalam waktu dua belas jam. Bagi Ji-wi yang memiliki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi."
"Suci...."
Cui Leng memandang sucinya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol merah! Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat,
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami, akan beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami."
Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata,
"Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa, akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu tidak mengakibatkan cacad pada muka Ji-wi. Selamat berpisah."
Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.
"Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?"
Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap. Liang Bi menoleh ke arah adiknya.
"Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacad hatinya. Aku masih tidak percaya kepada orang itu, Sinar matanya mengandung kepalsuan." "Suci, aku....!"
"Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita harus cepat bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan sin-kang untuk melawan racun!"
Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan samadhinya dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam samadhi, napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak. Cui Leng berusaha untuk meniru sucinya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacad bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa sucinya telah "pulas"
Dalam samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki hutan dengan maksud menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi, dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya. Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.
"Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Li-hiap suka datang...."
Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu.
"Aku.... aku hendak minta obat.... aku tidak mau menjadi bopeng...."
"Tentu saja! Sayang, sekali kalau Li-hiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?"
"Dia.... dia tidak mau, dia.... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali."
"Masuklah Li-hiap. Aku akan mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir pergi."
Cui Leng memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia dipersilakan duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata,
"Li-hiap, orang yang terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut keluar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?"
Wajah Cui Leng mendadak menjadi merah sekali.
"Di.... sedot....? Akan tetapi aku.... aku terluka di sini...."
Dia menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat,
"Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru kau obati."
Suma Hoat memandang ke arah dada itu dan tersenyum.
"Li-hiap, mana mungkin engkau menyedot luka di tempat itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan.... ah, sungguh aku orang yang tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Li-hiap juga masih tidak percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk yang lain. Terserah kepada Li-hiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa."
Pemuda itu membalikkan tubuh dan membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi hangat. Memang dia sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil keputusan. Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak gemetar,
"Baiklah.... Kongcu.... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng."
Suma Hoat tersenyum, senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata,
"Engkau tidak usah khawatir, Li-hiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung maksud baik."
Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan,
"Harap kau suka membuka bagian yang terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan kusedot darahnya yang terkena racun."
Ia menanti sampal Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah dari bagian atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga tampaklah dada bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah, terhujam dalam-dalam di kulit dan daging.
"Aku sudah siap, Kongcu,"
Kata gadis itu perlahan.
"Baik, sekarang minumlah dulu obat ini."
Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya. Gadis itu terbatuk.
(Lanjut ke Jilid 21)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
"Ughh-ughh....! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali seperti arak yang sudah amat tua!"
Serunya sambil memandang arak dalam cawan yang berwarna merah.
"Memang obat itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Li-hiap. Sudah disimpan puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!"
Cul Leng duduk di atas bangku pendek dan Suma, Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.
"Aihhh!"
Cui Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.
"Sakit sedikit, Li-hiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?"
Sambil bertanya demikian, Suma Hoat mengangkat muka, memandang dan Cui Leng menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan, dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya? Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk,
"Lakukanlah...."
Seluruh bulu dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu menyedot luka di dadanya.
Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan kepalanya di atas pundak pemuda itu. Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang menggelora terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan perasaan yang menggelora di hatinya, tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberl jalan keluar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.
Melihat tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum.
"Arak obat"
Yang diberikannya tadi sudah bekerja baik. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua pertahanan susila dihati wanita dan tentu saja seperti obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung hati tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher. Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan.
Dia hanya dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya bahkan dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya! Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu dan satu-satunya. percakapan di antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
"Kekasihku, siapakah namamu?"
Pertanyaan yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu, Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab lirih,
"Namaku Kim Cui Leng.... dan kau, Koko....?"
"Panggil saja aku Hoat."
"Hoat-ko.... aku cinta padamu...."
Dengan ucapan ini, Cui Leng kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya! Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf "Hoat"
Saja! Dia seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah seorang "Jai-hwa-sian"
Yang pandai merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar jatuh! Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat, Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu. Suma Hoat memeluknya.
"Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis? Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?"
"Tidak....! Tidak....! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...."
Suma Hoat menciuminya.
"Mengapa menangis?"
"Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!"
Suma Hoat tertawa,
"Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang kaukira. Lihat ini!"
Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai. Terdengar suara
"plak! Plak!"
Dan Cui Leng memandang lantai dengan mata terbelalak melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.
"Eh.... itu.... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!"
Serunya kagum.
"Dan lihat ini!"
Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan....
"wuuuuttt!"
Guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan pemuda itu menenggak araknya!
"Wah, Koko....! Sin-kangmu hebat bukan main!"
"Nah, masih takutkah engkau? Biar sucimu datang, dia tidak akan dapat mengganggumu, apalagi membunuhmu."
"Akan tetapi, namaku akan ternoda! Koko, bagaimana baiknya....?"
Wajah gadis itu menjadi pucat.
"Karena ketahuan Sucimu? Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan agar sucimu mau bermain cinta denganku, mau melayaniku. Dengan demikian, engkau mempunyai teman dan dapat saling menyimpan rahasia!"
"Kau....!"
Tangan Cui Leng menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.
"Leng-moi, jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan? Tidak ada yang memaksa! Aku adalah, seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih wanita mana pun. Aku mengusulkan agar sucimu suka bermain cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?"
Cui Leng terisak.
"Kau.... kau.... mata keranjang!"
"Ha-ha-ha!"
Suma Hoat tertawa.
"Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal diberi kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik! Dan sucimu juga cantik jelita, sungguhpun tidak sepanas engkau. Bagaimana? Cui Leng memang merasa menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui sucinya bahwa dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau sucinya juga "terjun"
Dan ikut basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing.
"Jadi kau.... kau tidak akan memperisteri aku?"
"Moi-moi? Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun aku tidak pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai isteri."
"Mengapa?"
Dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.
"Mengapa? Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana, maukah engkau membiarkan aku membujuk sucimu agar keadaannya sama denganmu ataukah harus kutinggalkan engkau begini saja?"
"Tidakf jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kaukehendaki kepada suci kalau.... kalau.... itu merupakan satu-satunya jalan...."
Melihat betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah. Suma Hoat tertawa, merangkul dan memondong Cui Leng.
"Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan berkhawatir? Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita bergembira!"
Dia membawa Cui Leng lari keluar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai itu, saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai mabok dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.
"Sumoi....!"
Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah sumoinya yang sudah berdiri di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Lian Bi ketika ia mencari sumoinya dan mendapatkan sumoinya sedang mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.
"Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang Li-hiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman. Tanggalkan pakaianmu!"
Kata Suma Hoat. Saking bingung dan takutnya melihat sucinya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya,
"Benar suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko....!"
"Sumoi, engkau murid yang murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk"
Dengan kemarahan meluap Liang Bi mencabut pedangnya.
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mutiara Hitam Eps 24 Mutiara Hitam Eps 14 Cinta Bernoda Darah Eps 8