Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 27


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 27



Suma Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi, tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.

   "Piauw-heng, aku tidak punya rahasia apa-apa."

   "Suma Kiat. Orang lain boleh kau bohongi akan tetapi aku tidak. Kau kira aku tidak tahu akan kebingunganmu ketika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan.. kau membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"

   "Ha-ha-ha, Piauw-heng. Kau benar-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik misan sendiri? Sungguh engkau seorang kakak tak patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau tidak suka melihat kenyataan bahwa aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa kata Bibi kalau kuceritakan hal ini kepadanya"

   Suma Kiat bangkit dari tempat duduknya, hendak pergi ke pintu. Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh marah. Suaranya mendesis perlahan,

   "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku. Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mencemarkan nama baik keluarga kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini? Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khitan? Jawab sejujurnya kalau kau tidak ingin aku menggunakan kekerasan terhadapmu"

   Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya disipitkan, dari mana menyambar keluar sinar mata yang tajam dan aneh. Kemudian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ketawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya.

   "Kiang Liong, Engkau terlalu. Apa kau kira aku ini orang bawahanmu sehingga boleh kau perintah begitu saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut kepada siapapun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut"

   Setelah berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat melenggang terus hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu. Kiang Liong membentak,

   "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku"

   Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar. Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan tangan kirinya menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas.

   "Plak-plak.."

   Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menangkis dengan pengerahan sin-kang disalurkan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding sedangkan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa lengannya yang menangkis menjadi panas sekali. Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke dinding. Ia sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya tersenyum menyeringai.

   "Piauw-heng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"

   "Huh, bukan aku yang mengajak berkelahi, melainkan engkau yang memancing keributan. Tinggal kau pilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu"

   Jawab Kiang Liong, suaranya bengis pandang matanya tajam. Suma Kiat tersenyum dan menjura.

   "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepadamu? Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik."

   Sambil berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong. Pemuda ini pada hakekatnya juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kemarahannya dan berkata,

   "Begitulah yang kukehendaki, Piauwte. Sekarang kau ceritakan baik-baik tentang.."

   "Wuuuutt.. dukkkk.."

   Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan bergulingan di lantai.

   Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyangka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena pukulan. Hanya karena sin-kang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan sambil mengguling-gulingkan tubuhnya ia menahan napas mengerahkan sin-kang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguhpun tidak berat dan berbahaya. Ia menahan kemarahannya dan terus bergulingan, karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi berbahaya.

   "Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong"

   Terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan keluar dari empat jurusan. Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.

   "Kraakkk.. bruukk"

   Kursi yang terbuat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyambar dari kanan kiri.

   "Aihhh.."

   Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi. Namun ia tidak dapat terlalu lama berheran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari bawah. Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan Ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan tenaga gwa-kang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam).

   Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, namun dalam hal tenaga dalam dan pengalaman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan menggunakan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya. Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwa-kang, akan tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam. Suma Kiat terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan, menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langit-langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai.

   Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh, merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah karena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia menanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka matanya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak pinggang, kedua kaki terpentang lebar, sikapnya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat. Tiba-tiba Suma Kiat menangis. Menangis sesenggukan, terisak-isak dan bergulingan di atas lantai, seperti seorang anak, kecil menangis rewel.

   "Uhuuk-hu-huuukk.. Piauw-heng, kau benar kejam sekali.. u-hu-huuk.. kalau memang kau tega kepada adik misan, kau bunuhlah aku sekarang juga.. u-huhuuukk.."

   Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini. Menurut penuturan ibunya, mungkin sekali Kam Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otaknnya. Dan bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Ataukah berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.

   "Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kau ceritakan semua rahasia itu."

   Katanya dengan hati sebal. Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya menggunakan kekuatan sin-kang untuk melontarkannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri kakak misannya, menggerakan pinggul sehingga pedangnya terputar agak dekat ke pinggang.

   "Piauw-heng, kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa? Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kau pikir, Piauw-heng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengannya. Katanya.. kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada.. eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apalagi enci adik Chi itu. Kaubagi mereka untukku, ya, Piauw-heng?"

   Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini membohong. Ia sudah mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan tentang ditawannya Pangeran Mahkota Khitan, Suma Kiat mempermainkannya. Kalau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini.

   "Suma Kiat"

   Bentaknya marah.

   "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang dapat kau bodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku.. hemm.. engkau tentu akan kuhajar"

   Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.

   "Eh.. eh.. ohh.. Piauw-heng kau bunuhlah saja aku.."

   Kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung. Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah.

   Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras menangis, tentu akan terdengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan.. sinar putih yang menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang dan menyerangnya secepat kilat. Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak tersangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga gin-kang dan tubuhnya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.

   "Crak-crak.."

   Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke belakang meja. Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melampaui meja sambil menyerang. Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misannya hanya memegang sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki lebih panjangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih

   "Cring-cring.. trang-trang-trang.."

   Berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu denpan sepasang pensil dikedua tangan Kiang Liong. Barulah Suma Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengandung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.

   Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung dan terhimpit oleh sinar sepasang pensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang melindungi tubuhnya. Andaikata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuhnya, hanya ingin merobohkan dan menaklukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk menotok adik misannya. Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan suara girang berseru.

   "Ibu, tolonglah"

   Angin yang keras menyambar masuk dari jendela dan.. lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi padam. Kiang Liong kaget, tidak melanjutkan serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kagetlah Kiang Liong dan ia menangkis. Pertemuan pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini.

   Kembali Suma Kiat menyerangnya. Kiang Liong menangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam pandangan matanya di dalam gelap daripada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan. Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebabnya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong. Karena tidak ingin "salah tangan"

   Dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat "menangkap"

   Pedang itu dengan "epasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah berusaha menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti lekat pada sepasang pensil.

   "Suma Kiat, lepaskan pedangmu"

   Dengan suara tegas Kiang Liong berkata.

   Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bukan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba. Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sin-kang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sin-kangnya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.

   "Plakk.."

   Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat terlepas dari kedua tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai kamar. Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata.

   "Untung kau datang, Ibu."

   "Goblok, Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat"

   Gumam wanita itu yang bukan lain adalah Kam Sian Eng. Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa serem juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu.

   Memang kata-katanya mengandung kebenaran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak dekat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biarpun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh. Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Kagum juga hatinya karena wanita itu dapat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula menjadi lemas karena yang tertotok adalah jalan darah yang berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat rebah telentang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.

   "Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."

   Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus kerudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa. Mata itu kehilangan perasaan, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis.

   "Kau bawa dia dan mari kita pergi"

   Katanya lirih.

   "Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan kubawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh"

   "Siapa?"

   "Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu."

   Suma Kiat menyarungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat keluar dari dalam kamar. Di ruangan tengah Suma Kiat bertemu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi.

   "Kiat-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah.. kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"

   "Heh-heh-heh, anakmu sudah mampus"

   Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.

   "Apa..? Di mana dia..?"

   Suma Ceng menjerit. Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak.

   "Pergilah kau"

   Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup mengenal kecurangan dan kelihaian keponakannya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tubuhnya terbanting ke lantai. Kepalanya membentur lantai dan nyonya ini pingsan.

   "Kau jahat"

   Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.

   "Heh-heh, tidak kepadamu, manis."

   Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak menangkap. Akan tetapi Puteri Mimi bukan seorang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.

   "Heh-heh, kau gesit juga, manis"

   Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi. Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.

   Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong. Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat.

   "Hayo pergi, ikuti aku"

   Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam. Di dalam gedung menjadi gempar. Pangeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah melihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demikian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuatan Suma Kiat. Ia menghela napas panjang dan mengomel.

   "Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya.."

   Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat. Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus.

   "Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha, mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi"

   Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk mengerahkan pasukan pengawal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya tidak perlu dikhawatirkan. Ke dua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlah keturunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta isteri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini. Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat.

   Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki Bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning. Malam telah terganti pagi dan matahari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali dilempar oleh wanita berkerudung itu sehingga rebah telentang di atas tanah. Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya.

   "Ibu, kenapa berhenti?"

   "Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya."

   Kata ibunya. Puteri Mimi mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat, tertawa.

   "Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati banyak kesenangan dengan aku, ha-ha"

   Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan mukanya hendak mencium. Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat. Kam Sian Eng duduk bersila, memejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya berapi. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.

   "Suma Kiat. Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu"

   Suma Kiat mengangkat muka memandang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa.

   "Ha-ha, Piauw-heng, apakah kau cemburu dan iri?"

   Ia mengejek, akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeramkan itu membuat ia keder juga. Ia tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsunya.

   Ia mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biarpun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia terbebas daripada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apalagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan musuh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan. Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.

   "Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut, Couwsu memerintahkan pinceng untuk menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu."

   Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hitam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar-putaranan. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah.

   Setelah berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu. Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisah sekali.

   Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi menolong dan membebaskan Pangeran itu daripada ancaman orang-orang Hsi-hsia. Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini, ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak gurunya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari Ibu kandungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.

   Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap, bahkan angin sedikit pun tak ada bertiup. Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba kakinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering.

   Terdengar bunyi berciutan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon dan di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis. Kwi Lan tidak mau bertindak sembrono. Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya, hanya memutar pedangnya menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak panah terpukul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti. Kwi Lan amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serangan atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apalagi malam hampir tiba.

   Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang paling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan mengayun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon. Kemudian mulailah ia melanjutkan perjalanan melalul "jalan atas"

   Yaitu berloncatan dari pohon ke pohon. Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu singkat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar. Tiba-tiba ketika ia meloncat ke sebuah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arahnya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.

   "Cring-cring.. brettt.."

   Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja. Ia bergidik dan marah sekali, apalagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia, berlompatan dan menyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka menyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu. Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andaikata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekalipun ia tidak akan gentar. Kini ia berada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan "daerah"

   Monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit. Betapapun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal.

   Tangan kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau. Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar betapa "monyet-monyet"

   Itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia. Kiranya mereka adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai monyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang Itu masih berusaha bergantung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat mengeluh lagi karena mereka semua telah tewas.

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan keras dan.. pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh. Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biarpun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang matanya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan. Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apabila pohon itu sudah rebah di tanah.

   Kemudian, sambil mengerahkan seluruh ginkangnya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang. Untung sekali bahwa dalam seperempat detik terakhir ia ingat untuk menyambar ujung ranting dari dahan terpanjang pohon itu, karena begitu kedua kakinya turun menginjak tanah yang tertutup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam. Kwi Lan menahan napas, mengerahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat.

   Kini ia "nongkrong"

   Di atas dahan mengeluarkan saputangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan keringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak gemetar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempat ini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya.

   Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemukan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi? Kwi Lan memandang kesekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia turun dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan menggunakan sebatang ranting sebagal tongkat.

   Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya. Suara manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol. Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.

   "Siapa yang terjebak? Di mana dia?"

   Terdengar suara yang parau,

   "Tidak ada bayangan seorang setan pun"

   Seru suara yang lain, suara tinggi.

   "Wah, mereka ini tewas.."

   "Bawa obor, biarkan pinceng memeriksanya"

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang terakhir tentulah seorang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suhengnya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia memutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat daripada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang dibasmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati-hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan?

   Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang menyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan tewas oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar menyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia bersembunyi di dasar jurang itu, tentu tubuhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang menonjol ini, ia terlindung dan aman.

   "Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus"

   Terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh. Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran mencari-cari di sekitar tempat itu, dengan obor di tangan, Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sendirian ke jurusan barat.

   Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari. Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap dengan korbannya, lalu memadamkan obor, mengempit tubuh yang gemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.

   "Jawab saja dengan angguk."

   Bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya setelah ia menotok urat gagu orang itu.

   "Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?"

   Orang itu menggeleng kepalanya.

   "Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh."

   Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan memandang di bawah sinar bulan yang bersinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala, sedikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia menawan seorang Hsi-hsia? Tentu saja, orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan. Ia melihat, banyak tadi orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han sudah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang pengkhianat.

   Dan biasanya, seorang pengkhianat adalah seorang pengecut, hanya berjuang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apapun, juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati. Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan Ia menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun dari pohon. ia berlaku hati-hati, tidak berani sembarangan meloncat.

   Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan, membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon. Tepat dugaannya, pengemis baju bersih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apalagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di antara kaum sesat dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.

   "Bawa aku ke tempat tahanan Pangeran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh."

   Desis Kwi Lan sambil menempelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, mengangguk-angguk.

   "Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebelum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu"

   Kembali orang itu menggeleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.

   "Ampunkan aku, Li-hiap.."

   "Sst, jangan banyak cerewet,"

   Bisik Kwi Lan.

   "Hayo bawa aku ke tempat itu."

   Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di punggung. Pengemis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.

   Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaganya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak. Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan mereka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu besar. Kwi Lan biarpun melakukan perjalanan malam gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.

   "Di sanalah tempat tahanan itu, Lihiap. Di dalam guha, yang tampak dari sini itu."

   Pengemis yang ditawan itu berbisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh. Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andaikata ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.

   Dengan amat hati-hati Kwi Lan merayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepanjang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati guha batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang. Kiranya di depan guha yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga. Dan melihat keadaan mereka, ia dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan Ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri runcing,

   Sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pendek yang memegang toya. Melihat tambal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat. Kwi Lan mengintai, hatinya berguncang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat keluar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan secara cepat dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya tentu akan gagal. Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apalagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat, Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas.

   Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan mengenang pemuda itu? Ih, pemuda sombong. Tidak memandang mata kepadanya. Padahal semua pemuda, yang tampan-tampan dan gagah-gagah, seorang demi serang jatuh cinta kepadanya. Mula-mula Tang Hauw Lam Si Berandal. Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam. Kemudian Siang Koan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepadanya. Si Sombong, mentang-mentang menjadi murid Suling Emas lalu besar kepala. Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan? Salahnya orang she Kiang itu. Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut guha.

   "Eh, apa itu?"

   Seorang di antara mereka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besar sekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu.

   "Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh."

   "Benar, mari kita periksa, Suheng."

   Kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula. Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu besar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiarkan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang.

   Hebat bukan main serangan ini. Jarum-jarum hijau itu adalah senjata-senjata rahasia yang halus sekali, dilontarkan dengan tenaga sin-kang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apalagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang Si Korban, benar-benar amat berbahaya. Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serangan gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biarpun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua orang hwesio ini.

   Setelah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar. Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergunakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasuki guha. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh dengan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih membayangkan kegagahan dan keagungan, sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir. Kwi Lan memegang pundaknya, mengguncangnya perlahan.

   "Eh, sadarlah"

   Pemuda itu membuka matanya, memandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.

   "Jawablah, apakah engkau ini Pangeran Mahkota Khitan yang bernama Pangeran Talibu?"

   Pemuda itu sejenak memandang tajam, lalu balas bertanya.

   "Engkau siapakah, Nona? Bagaimana kau bisa.."

   "Tidak penting aku siapa, yang penting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?"

   Suaranya gemas dan tidak sabaran. Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengangguk.

   "Aku mengenalmu, Ya.. Aku mengenalmu. Kau tidak, asing bagiku.. tapi di mana dan kapankah? Nona, kau siapakah?"

   "Wah, kau cerewet benar, apakah pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu."

   Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru.

   "Nona, awas.."

   Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pangeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada ditangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan guha dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini, Pangeran Talibu mengeluh, memejamkan mata dan berkata lirih.

   "Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa..?"

   Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia
(Lanjut ke Jilid 27)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini. Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana. Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara.

   "cring-cring-trang-trang"

   Bertemunya senjata tajam, diseling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya. Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya. Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu. Ia menjadi makin heran dan makin khawatir.

   Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia teringat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Butek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja daripada tertawan hidup-hidup. Talibu membuka matanya dan.. ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di depan guha, tak bernyawa lagi. Adapun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan guha, kemudian meloncat masuk ke dalam guha, gerakannya seperti seekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat.

   "Tahanlah, aku akan melepaskan belenggu"

   Bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pedangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.

   "Nona, kau.."

   "Sstt, mari kita lari"

   Kwi Lan menyambar tangan Pangeran itu dan ditariknya keluar dari guha, diajak lari cepat meninggalkan guha. Tak jauh dari guha Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing keluar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.

   "Nona, kau benar hebat. Aku kagum dan berterima kasih.."

   "Sssttt, jangan cerewet. Kita belum bebas"

   Bisik Kwi Lan galak. Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau tersenyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini selama hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disembah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak.

   Akan tetapi belum lama mereka pergi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran Talibu tertawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu berdiri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu membalas pandang mata Kwi Lan dan berkata.

   "Bagus, Seperti inilah selayaknya seorang pangeran tewas. Tidak mati konyol dalam guha sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan menghendaki dan aku akan dapat terbebas daripada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melupakan engkau. Sekarang aku tidak peduli lagi. Andaikata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha"

   

Cinta Bernoda Darah Eps 19 Suling Emas Eps 29 Suling Emas Eps 14

Cari Blog Ini