Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 37


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



"Suling bukanlah senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menghibur hati duka lara. Kalau hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk menghiburmu."

   Sepasang alis yang hitam melengkung itu bergerak keatas, sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya.

   "Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan kekerasan?"

   "Hem, hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam apakah itu?"

   Suling Emas sengaja mempermainkan. Gadis itu marah sekali. Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil berteriak,

   "Tangkap dia! Rampas sulingnya!"

   Dua belas orang berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak dan menubruk suling emas.

   Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini adalah orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan murud-murid tingkat terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak mempergunakan senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas serta merampas suling yang terselip diikat pinggangnya. Gadis itu melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi akibatnya"

   Anak buahnya terpelanting dan terlempar kekanan kiri! Setiap kali ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan jatuh terbanting keras sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang orang anakbuahnya sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan mereka lecet kulitnya. Bukan main marahnya gadis itu.

   "Mundur kalian semua!"

   Bentaknya dan dilain saat ia sudah meloloskan sepasang cambuknya.

   "Wuuut".tar-tar".!"

   Sepasang cambuk itu diayun dan berputaran diatas kepala membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan mengeluarkan bunyi angin menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan tali itu direnggut dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah melayang dan menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar ke arah jalan darah di leher dan lutut!

   "Bagus"!"

   Suling Emas berseru kagum dan dengan gembira ia lalu menggerakkan tubuhnya, melayani amukan sepasang cambuk ini dengan tangan kosong. Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang ringan, maka suling emas lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (tangan Kapas Sakti) sambil mengerahlan ilmu meringankan tubuh sehingga ia dapat mengelak kesana kemari dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah lunak seperti kapas.

   Diam-diam suling emas mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu benar-benar adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga dalam gadis itu belumlah begitu sempurna sehingga baginya, gadis muda itu merupakan lawan yang tidak berat. Sementara itu, melihat kelihaian suling emas, seorang diantara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan keatasannya. Suling Emas yang hanya ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan Si Nona Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan tetapi ia merasa enggan menyakiti hati orang yang sama sekali tidak ia anggap sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang sambil berkata,

   "Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"

   Akan tetapi nona muda itu sudah menjadi marah dan penasaran sekali.

   Ia terkenal sebagai orang muda terpandai di Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya. Mengapa hari ini ia bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan tangan kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh lawan dengan sepasang bola diujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat ia marah tanpa pedulikan ajakan Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang terus! Akan tetapi dengan gerakan aneh. Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di ujung cambuk itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu berseru keras, menarik-narik cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola itu tetap berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya tak dapat digerakkan lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, memekik-mekik, mengerahkan tenaga tanpa hasil.

   "Tar-tar-tar!!"

   Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang menyilaukan mata, berkelebatan diatas kepala Suling Emas. Terkejut sekali suling emas, cepat ia melepaskan sepasang bola lalu meloncat kebelakang.

   "Susiok (Paman Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!"

   Gadis itu berseru sambil meloncat mundur dan menyimpan sepasang cambuknya yang tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas. Ketika Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara sedemikian hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya tertutup caping lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang penggembala, namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.

   "Susiok, dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik menghadap Susiok dia tidak mau dan melawan dengan kekerasan!"

   Kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek hampir menangis karena hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua kepandaiannya sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!

   "hemm"hemm"!"

   Kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas. Dilain pihak, Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga, siapa gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong, kakeknya. Biarpun belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan melupakan Pat-jiu Sin-ong yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu, sudah tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.

   "Harap Lo-enghiong sudi memafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan saya untuk memancing perkelahian. Hanya Nona itu terlalu".terlalu galak""

   "Nama Suling Emas sudah terkenal sampai disini. Kini orangnya datang dan tidak mengindahkan peraturan, bahkan merobohkan pasukan peronda keamanan dan mempermainkan puteri Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan tetapi jangan berbangga dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena diatasnya masih ada aku, wakil ketua dan diatasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kau sambutlah pecutku ini!"

   Ucapan itu ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti guntur diatas kepala Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek ini jauh bedanya dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan sulingnya. Ketika sinar hitam itu menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.

   "Plak"!!!"

   Ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping mengeluarkan seruan kaget. Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini benar-benar hebat tenaga dalamnya.

   "Bagus! Kiranya kau benar-benar lihai!"

   Serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam bergulung-gulung. Dua macam perasaan teraduk dihati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa kedatangannya malah menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang dipimpin kakeknya, akan tetapi disamping ini ia pun merasa girang dan kagum bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ia ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat dihatinya untuk mencoba terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh. Begitu Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin membesar.

   Suling Emas hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan menekan. Tiba-tiba gerakan kakek itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara meledak-ledak memekakkan telinga, Suling Emas kaget dan dia menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa dalam kedaan terdesak itu, Si Kakek ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian hebatnya sehingga kalau lawan kurang kuat sin-kangnya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini dan akan menjadi kacau permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan sulingnya sedemikian rupa sehingga diantara suara ledakan itu terdengarlah lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri yang berbunyi seperti ditiup mulut.

   Tiba-tiba suara ledakan dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara dan ujung pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas pecutnya, namun sia-sia dan ketika Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan Si Kakek! Dilain saat, Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu kepada pemiliknya sambil menjura. Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras, tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut kearah dada Suling Emas.

   "Sute (Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!"

   Suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan menerima pecutnya dari tangan Suling Emas.

   Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api. Suling Emas menengok kekanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa. Kakek inipun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas. Cepat ia melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata,

   "Saya yang muda mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki disini. Mohon Locianpwe suka memberi maaf."

   Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya.

   "Orang muda, kau tentu yang bernama Suling Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"

   Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia menjawab,

   "Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Locianpwe."

   "Aaahh"? Mendiang, katamu..?"

   "Suhu telah meninggal dunia beberapa Tahun lalu, kurang lebih lima tahun."

   "Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw. Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?"

   Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab,

   "Tidak sekali-kali, Locianpwe. Tidak sekali-kali saya berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak mempunyai niat buruk"."

   "Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu disini?"

   "Saya". saya mohon berjumpa dengan"

   Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."

   Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum.

   "Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu Liu Mo""

   "Aaahh, jadi Locianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu"?"

   "Aku adik kandungnya,"

   Jawab kakek itu tersenyum.

   "Atau dapat kau sampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan."

   Ia menuding kearah gadis muda tadi sehingga kembali Suling Emas kaget. Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah"

   Bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang menyerangnya tadi adalah bibinya.

   "Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas, katakanlah apa yang hendak kau sampaikan kepada Twa-kauwcu."

   Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut didepan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?

   "Mohon beribu ampun, Locianpwe, akan tetapi"

   Saya hanya dapat bicara di depan"

   Beng-kauwcu sendiri""

   Diam-diam Liu Mo terheran, dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat sakti. Dari pertempuran melawan sutenya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut didepannya? Dan semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikitpun tidak membayangkan kepura-puraan atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat,

   "Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau ikut dengan kami."

   Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah.

   Akan tetapi setelah tiba didepan sebuah gedung besar yang angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris dikanan kiri pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap. Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai kedalam, kemudian paling dalam terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka keren dan gagah. Disepanjang dinding ruangan yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah oleh ruangan-ruangan didalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya bercat merah.

   Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri dipinggir dengan sikap menghormat setelah membongkokkan tubuh. Adapun Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang kedepan, kearah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhunya belasan tahun lalu. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.

   "Kau Suling Emas?"

   Suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu. Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

   "Kamu murid Kim-mo Taisu?"

   Kembali Suling Emas hanya mengangguk.

   "Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini,"

   Kata Liu Mo. Pat-jiu Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih.

   "Hemm, selama hidup Kwee Seng tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah setelah ia mati ia menyuruh muridnya melanjutkan wataknya yang keras kepala itu? Heh, orang muda, kau terima ini!"

   Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih cangkir arak diatas meja lalu ia melontarkan cawan itu keatas.

   Cawan arak itu berputaran diatas, lalu meluncur turun kearah Suling Emas! Suling Emas cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerang yang seluruhnya mengandalkan sin-kang ini amatlah hebat. Biarpun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga nama besar gurunya. Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang kuda-kuda, mengerahkan sin-kang dan mendorongkan kedua tangannya kedepan, menyambut cawan itu. Cawan yang meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua orang itu, kini terhenti diudara, tertahan oleh hawa pukulan tangan Suling Emas.

   Mereka masing-masing mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan kanan lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan lurus kedepan pula, mempertahankan diri. Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah maklum akan kehebatan tenaga Ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda ini bukan musuh, mengapa harus dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali tidak dapat maju lagi sejengkalpun juga, tetap tergantung diudara, tidak maju tidak mundur.

   "Prakkk!"

   Tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur tiga langkah dengan napas agak terengah. Adapun Pat-jiu Sin-ong dengan muka penuh keringat tertawa bergelak, lalu menampar meja sehingga terdengar suara keras.

   "Kwee Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini, agaknya untuk membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah terhadap aku! Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau dahulu mau menjadi mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini kesepian! Kwee Seng". Lu Sian"

   Kalian mengecewakan hatiku!"

   Kakek itu menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan muka pucat Suling Emas melihat betapa dari celah-celah jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu Sin-ong menyesal mengapa ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhunya! Suling Emas tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut didepan kedua kaki Pat-Jiu Sin-ong lalu berkata,

   "Kong-kong, aku adalah cucumu", aku adalah Kam Bu Song"

   Putera tunggal ibu Liu Lu Sian""

   Pat-jiu Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah Suling Emas yang menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak kedepan, menangkap wajah itu diantara kedua tangannya, bibirnya bergerak-gerak dan berbisik,

   "Kau"

   Kau puteranya..? Benar! Ini"

   Ini matanya, mulutnya"! Kau"

   Cucuku".!"

   "Kong-kong"!"

   Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang tuanya dan betapa semenjak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya menjadi murid Kim-mo Taisu. Mendengar penuturan itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling Emas, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh kebanggaan.

   "Wah, kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak kecewa aku mempunyai cucu seperti ini! Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!"

   Suling Emas sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut pula.

   "Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni."

   Liu Mo mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak saking gembira hati mereka. Kemudian Suling Emas menjura kearah Liu Hwee dan berkata,

   "Mohon Bibi juga sudi memberi ampun kepadaku."

   Muka yang cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia tertawa dan pura-pura marah,

   "Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai seorang keponakan yang begini besar? Hayo, kau keponakan yang nakal, kau harus berlutut tujuh kali didepan bibimu, baru aku suka memberi ampun!"

   Suling Emas bingung, akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali didepan bibinya yang galak, akan tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya,

   "Hwee-ji (anak Hwee), jangan main gila!"

   Semua orang lalu tertawa.

   "Satu hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi Suling Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan. Biarlah saya tinggal disebut Suling Emas dan jangan ada yang mengetahui asal-usul saya."

   Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas panjang.

   "Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas."

   Semenjak hari itu, Suling Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya, juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin matang dan makin sakti.

   Akan tetapi ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan ini, memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab kuno. Ia menjaga sedemikian rupa agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau tidak tekun membaca kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan Sung, tentu Suling Emas mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela mereka yang tertindas, menghajar mereka yang sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan keadilan. Nama Suling Emas menjadi makin terkenal disegenap penjuru. Hanya satu hal yang masih mengecewakan hati yang mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai pendekar budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga ia tahu akan keadaan ibu kandungnya!

   Bersama berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, didunia kang-ouw muncul nama enam orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi julukan Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia). Mereka itu adalah It-gan Kai-ong seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong, kedua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita cantik jelita berambut panjang yang bukan lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ketiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan yang bukan lain adalah Bayisan. Keempat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang dahulunya adalah Ma Thai Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Kelima dan keenam adalah Toat-beng Koai-jin yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.

   Sampai disini selesailah cerita Suling Emas ini dan bagi pembaca yang sudah membaca cerita Cinta Bernoda Darah tentu telah berjumpa pula dengan Suling Emas yang menjadi lawan ke enam manusia iblis itu. Pengarang menutup cerita ini dengan harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila masih belum cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul "Mutiara Hitam"

   Dimana pembaca akan dibawa terbang melayang kealam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid serta keturunannya, karena cerita Mutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah. Sampai jumpa dalam Mutiara Hitam!

   TAMAT

   


Tangan Geledek Eps 24 Tangan Geledek Eps 1 Tangan Geledek Eps 34

Cari Blog Ini