Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 10


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




   "Heran, heran, apakah yang terjadi di dusun ini? Apakah benar-benar ada siluman yang datang mengganggu? Tak mungkin binatang-binatang itu dapat datang dari jarak yang ribuan lie jauhnya!" Beberapa kali sasterawan itu menggeleng-gelengkan kepalanya akan tetapi tiba-tiba ia melangkah mundur ketika pandangan matanya bertemu, dengan pandang mata Kim Kong Tojin. Ia melihat sesuatu yang mengerikan dalam pandang mata tosu itu.

   Tosu itu tersenyum menyeringai.

   "Kwa Siucai, bukankah kau tadi menantang See-thian Tok-ong? Nah, sekarang kau telah mencoba kelihayannya, apakah kau merasa ngeri? Ha, ha, ha!"

   Kwa Siucai menjadi pucat.

   "Jadi. semua ini adalah perbuatan See-thian Tok-ong? Jadi dia sengaja mengorbankan dusun ini untuk mencoba kepandaianku? Dan kau... tentu bukan bernama Kim Kong Tojin! Celaka, aku telah tertipu...!"

   "Ha- ha-ha, kau benar-benar pandai sekali menerka, Kwa Siucai. Aku memang bukan bernama Kim Kong Tojin, melainkan Tek Goan It dari Im-yang-bu-pai."

   "Apa kehendak See-thian Tok-ong? Apa kehendakmu dariku?"

   "Kehendak kami? Ini!" Secepat kilat Tek Goan It memukulkan tangan kanannya ke arah dada Kwa Siucai sedangkan tangan kirinya merampas kitab kecil dan bungkusan obat. Kejadian ini terjadi dengan cepat dan tak terduga sekali dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah roboh.

   Sin Hong yang semenjak tadi mengintai dari jauh, tadinya terheran-heran dan ngeri menyaksikan semua binatang berbisa itu dan kagum bukan main melihat kepandaian Kwa Siucai. Dia masih kecil dan biarpun semenjak kanak-kanak ia telah mengalami banyak penderitaan akibat perbuatan orang -orang jahat, namun ia masih tidak mengira bahwa akan ada orang yang dapat berlaku securang tosu yang datang bersama Kwa Siucai itu. Oleh karena inilah maka ia tidak sempat mencegah terjadinya penyerangan Tek Goan It kepada Kwa Siucai. Setelah Kwa Siucai terpukul jatuh, Sin Hong melompat keluar dan membentak,

   "Bangsat berbatin rendah!"

   Akan tetapi, sebelum ia turun tangan ia melihat wajah Tek Goan It menjadi pucat sekali dan terhuyung-huyung lalu roboh. Ketika Sin Hong mendekati, ia segera melompat mundur kembali dengan penuh keheranan dan kengerian. Ternyata bahwa entah apa sebabnya Tek Goan It telah tak bernyawa lagi. Kitab dan bungkusan obat masih dicengkeram oleh tangan kirinya! Terdengar keluhan perlahan dan Sin Hong cepat menghampiri Kwa Siucai, lalu berlutut.

   "Sayang sekali aku datang terlambat Kwa Siucai. Apakah lukamu hebat?"

   Kwa Siucai mencoba untuk bangun akan tetapi tak dapat karena tulang-tulang iganya telah remuk terkena pukulan Tek Goan It. Kwa Siucai sudah tua dan memang tidak mengerti ilmu silat maka mudah saja ia terpukul, sedangkan Tek Goan It adalah tokoh lm-yang-bu pai yang berkepandaian tinggi. Mungkin pembaca masih ingat bahwa dulu Tek Goan It inilah yang mengejar Liok Sun, dan kemudian bertempur dengan Lie Bu Tek di Bukit Hoa-san.

   Sin Hong membantu Kwa Siucai duduk. Sasterawan ini muntahkan darah segar, kemudian napasnya terengah-engah. Setelah ia melihat tubuh Tek Goan It rebah tak bernyawa lagi. Kwa Siucai tertawa! Sin Hong merasa heran atas kematian Tek Goan It, kini melihat sastewan itu tertawa, ia merasa makin heran lagi.

   "Ha, dikira aku seorang sasterawan yang lemah dan tak mampu membalas? Sayang hanya orang macam Tek Goan It ini yang bertukar nyawa dengan aku, sungguh tidak berharga! Kalau saja See-thian Tok-ong yang mati bersamaku, aku tidak akan penasaran!" Kwa Siucai memandang dan agaknya baru sekarang ia memperhatikan bocah itu.

   "Kau bocah aneh, kau bukan bocah sembarangan. Matamu tajam, kau cerdik dan wajahmu membayangkan budi yang luhur. Eh, siapakah kau sebenarnya? Nama Tan A Kai tentu palsu!"

   Merah wajah Sin Hong.

   "Sesungguhnya, Kwa Siucai, aku adalah Wan Sin Hong, seorang anak perantau. Aku adalah murid Pak Kek Siansu."

   "Apa...? Pak Kek Siansu sudah meninggal dunia...."

   "Betul, akan tetapi akulah yang mewarisi kitabnya." Wajah Kwa Siucai menjadi terang dan ia nampak girang sekali.

   "Bagus! Pak Kek Siansu adalah sahabatku yang baik. Bagus, Sin Hong, kau pun menjadi muridku pula. Terimalah kitab ini, ambil bungkusan obat-obat itu Pelajari baik-baik... tolonglah orang-orang yang menderita sengsara dengan kepandalanniu dari Pak Kek Siansu dan dari aku...." Tiba-tiba tubuh saterawan itu menjadi lemas, ia muntahkan daral segar lagi dan matanya tertutup untuk selamanya.

   Sin Hong menjadi terharu sekali, dan juga ia merasa bingung. Sasterawan ini mengangkat ia sebagai murid dan memberi warisan berupa kitab pengohatan dan sebungkus obat-obatan yang amat manjur dan yang tadi sudah ia saksikan kehebatan khasiat obat-obat itu. Akan tetapi, ia pun mcnyaksikan betapa tosu yang bernama Tek Goan It itu terus saja tewas begitu menyentuh kitab. Ia dapat menduga bahwa tentu sampul kitab itu diberi racun yang amat hebat. Bagaimana ia dapat menyimpan kitab itu tanpa terkena racunnya? Memang bisa mengambil dengan tangan ditilami kain, akan tetapi selanjutnya bagaimana ia dapat membaca kitab itu kalau ia takut terkena racunnya?

   "Bagaimana nanti sajalah, sekarang paling perlu menyimpannya," pikir Sin Hong. ia lalu mengambil kain pembungkus obat-obatan itu dan menghampiri mayat Tek Goan It. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya panas seperti terbakar. Ia telah memberi tilam kain itu pada tangannya namun begitu menyentuh kitab, ia merasa jari-jari tangannya seperti dibakar api yang luar biasa panasnya!

   "Celaka, racun ini hebat sekali!" serunya sambil melepaskan lagi kitab itu yang jatuh di atas tanah. Ketika ia melihat tangannya, ternyata kulit tangannya menjadi hangus. Cepat Sin Hong mengeruhkan tenaga simkang di tubuhnya ke arah jari itu dan akhirnya ia berhasil mengusir hawa panas yang membakar tangannya.

   "Lihai sekali..."...... katanya perlahan sambil menengok ke arah jenazah Kwa Siucai.

   "Suhu, maafkan teecu. Terpaksa teecu tidak berani membawa kitab dan akan teecu tanam saja di sini agar jangan terjatuh ke dalam tangan orang lain. Hanya obat-obat ini saja yang akal teecu bawa, sungguhpun tanpa kitab itu teecu tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya."

   Sambil berkata demikian, Sin Hong lalu mengumpulkan bungkusan kecil dari obat-obatan itu untuk dimasukkan ke dalam kain pembungkus besar yang tadi dipakai untuk mengambil kitab. Dalam pekerjaan ini ia melihat tulisan-tulisan di atas kertas pembungkus dari tiap bungkusan. Ia segera meneliti tulisan dan alangkah girangnya ketika ia melihat tulisan pada sebuah bungkusan yang berbunyi : PENAWAR RACUN SAMPUL KITAB. Dengan gtrang ia membuka bungkusan ini yang terisi bubuk warna hijau. Ia menjemputnya sedikit dan menggosok-gosokkan obat int pada tangannya yang terbakar. Seketika itu juga hangus pada tangannya lenyap dan tangan itu terasa nyaman dan sejuk sekali.

   "Terima kasih, Kwa Siucai. Kau benar benar seorang suhu yang baik!"
(Lanjut ke Jilid 10)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
Sin Hong mempergunakan bubuk obat hijau itu untuk menggosok kedua tangannya dan kini tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil kitab kecil yang terlempar di atas tanah. Tak terjadi sesuatu pada kedua tangannya. Sin Hong tidak mau bekerja kepalang tanggung, sebelum ia mempelajari tentang pengobatan dan penolak racun, untuk menjaga keselamatan, ia lalu mempergunakan obat hijau itu untuk dibalurkan kepada seluruh permukaan sampul buku sehingga kini ia akan selalu aman kalau menjamah kulit buku itu.

   Setelah melakukan semua ini, ia menyimpan kitab dan obat-obatan di dalam saku bajunya, kemudian ia menggali untuk menanam jenazah Kwa Siucai. Kebaikan dasar watak Sin Hong terbukti ketika tanpa ragu-ragu ia menggali lubang untuk mengubur jenazah Tek Goan It.

   Akan tetapi baru saja ia menyelesaukan penggalian lubang untuk tokoh Im-yang-bu-pai ini, tiba tiba terdengar bentakan keras,

   "Bocah lancang kau berbuat apa?" Pada saat itu menyambar angin dari belakangnya. Sin Hong cepat miringkan tubuh dan bersiap sedia untuk menjaga diri. Akan tetapi orang yang baru datang itu tidak jadi menyerangnya ketika melihat bahwa ia hanya seorang bocah biasa saja. Yang datang ternyata adalah kakek tanggi besar yang berwajah bengis.

   Sin Hong tidak kenal siapa adanya orang ini, akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berhadapan dengan dia ini tentu bukan orang baik-baik. Maka sambil tersenyum ia menjawab tenang,

   "Orang tua, aku melihat dua orang ini saling bunuh di tempat ini, maka karena kasihan aku lalu mengubur jenazah mereka. Apakah ini salah dan lancang?""

   Kakek tinggi besar yang kepala gundul dan berhidung panjang bengkok itu memandang dengan matanya yang tajam, kemudian membentak bengis.

   "Jembel cilik, hayo katakan siapa namamu!"

   "Namaku? Aku bernama Tan A Kai."

   "Apa kerjamu di sini?"

   "Suda kukatakan tadi, aku mengubur mayat ini, adapun pekerjaanku, karena kau bilang aku jembel tentu saja seorang jembel pekerjaannya mengemis."

   "Kau hilang tadi! mereka itu saling bunuh? Betulkah? Awas, jangan kau membohong!"

   "Bagaimana aku berani membohong? Aku melihat dengan kedua mata sendiri betapa kakek tua itu dipukul dadanya oleh tosu jahat ini."

   "Kwa Siucai tak mungkin mampu membunuh Tek Goan It!" kata kakek gundul yang baru datang. Sin Hong memang cerdik, maka ia tidak menyebut nama dan pura-pura ttdak tahu siapa adanya dua orang yang saling membunuh. ia hanya berkata,

   "Memang Kakek tua itu tidak balas membunuhnya, akan tetapi begitu pembunuh itu merampas kitab milik Si Tua, ia lalu jatuh dan mati scketika." Kakek gundul nampak kaget sekali.

   "Apa...? Di mana kitab itu? llayo katakan, di mana kitab itu sekarang?" Sin Hong memang cerdik, akan tetapi di samping kccerdikannya, ia pun tabah dan jujur. Ia menjawab dan masih kelihatan tenang saja.

   "Kitab itu oleh Kakek Tua telah diwariskan kepadaku."

   Mendengar ini, tiba-tiba kakek gundul itu mengulurkan tangan hendak memegang pundak Sin Hong. Akan tetapi sebelum sambaran tangannya mengenai sasaran, dengan enak Sin Hong sudah meloncat setombok ke belakang, gerakannya seperti kapas ringannya. Kakek itu melongo, akan tetapi tadi ia memandang rendah kepada anak ini dan sama sekali tidak mengira bahwa anak itu mengerti ilmu silat, maka bentaknya,

   "Kau sebenarnya siapakah?"

   "Tan A Kai namaku, anak jembel....!

   "Setan, berani kau main-main terhadap See-thian Tok-ong? Kalau tidak melihat kau akan mengubur mayat Tek Goan It, sudah tadi-tadi kau kubikin mampus. Berikan kitab itu kepadaku?

   Kini Sin Hong benar-benar terkejut. inikah orangnya yang bernama See-thian Tok ong, yang amat terkenal dan juga yang sudah ia saksikan kekejian dan kejahatan bekas tangannya? Untuk memancing keluar kepandaian Kwa Siucai See-thian Tok-ong telah membasmi sebuah dusun dengan mempergunakan binatang berbisa yang amat keji.

   Akan tetapi Sin Hong memang tidak kenal takut. ia merasa dirinya tidak bersalah, maka perlu apa ia harus takut?

   "See-thian Tok-ong atau siapapun juga tidak boleh minta kitab yang sudah diwariskan oleh Kwa Siucai kepadaku. Dan aku tidak ada urusan apa-apa dengan See-thian Tok-ong." Sehabis berkata demikian, Sin Hong lain melompat pergi.

   "Bocah Setan. perlahan dulu!" Tubuh See-thian Tok-ong bergerak cepat, melompat sambil menggerakkan tangan kanan memukul ke arah punggung Sin Hong. Namun karena See thian Tok-ong masih belum mengenal siapa sebetulnya anak ini dan hanya mengira bahwa bocah ini tentu murid seorang pandai yang kalau dibandingkan dengan tingkatnya sendiri tentu amat jauh, ia tidak mempergunakan seluruh tenaga, bahkan pukulannya juga tidak amat bcrbahaya bagi Sin Hong.

   Sin Hong mendengar sambaran angin pukulan yang tidak berapa hebat, cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan kirinya menangkis, sambil mengerahkan tenaga lweekang dan berbareng kedua kakinya menotol tanah dengan gerakan Garuda Terbang ke Langit, semua gerakan yang disertai ginkang amat tinggi

   "Plak!" kedua lengan, yang satu besar yang satu kecil itu beradu amat kerasnya.

   "Ayaaa..." See-thian Tok-ong berseru saking terkejutnya. Ia merasa betapa lengan bocah yang kecil itu empuk seperti kapas dan amat dingin seperti salju sehingga tenaganya sendiri lenyap disedot oleh hawa dingin yang keluar dari lengan kecil itu. Ia menjadi terkejut dan amat terheran oleh karena maklum bahwa itulah penggunaan lweekang tingkat tinggi. Orang yang dapat mempergunakan lmkang (tertaga Im) sampai mengeluarkan hawa dingin, atau mempergunakan Yang-kang sampai mengeluarkan hawa panas, bukanlah orang sembarangan, dan hanya dapat dilakukan oleh ahli silat kelas tinggi.

   Bagaimana seorang bocah sekecil ini dapat menangkis serangannya dengan tenaga Im-kang dengan hebatnya? Lebih-lebih ketika ia melihat betapa sambil menangkis tadi, tubuh bocah itu telah mencelat seperti kilat cepatnya, melompat dengan kedua tangan dikembangkan seperti sayap dan berapa kali kedua lengan bergerak sehingga tubuh yang kecil itu pun terapung sebelum kedua kaki menginjak tanah. Benar-benar seperti seekor burung garuda yang sedang terbang dan menggerak-gerakkan sepasang sayapnya.

   Hal ini tentu saja bukan hal yang amat aneh bagi seorang sakti seperti See-thian Tok-ong, Akan tetapi yang bikin ia bengong terlongong adalah karena bocah yang sekecil itu mana mungkin melakukan hal ini semua? Sebaliknya, Sin Hong juga terkejut sekali ketika merasa lengan tangan kirinya yang bertemu dengan lengan See- thian Tok ong, terasa gatal, dan sakit. Ketika ia melihat tangannya, ternyata kulit lengannya telah menjadi merah sekali, tanda bahwa pukulan lawan tadi mengandung hawa beracun yang amat berbahaya! Ia diam-diam bergidik. Ia maklum bahwa kakek gundul itu tadi memandang rendah kepadanya sehingga tidak mengerahkan seluruh tenaga serta tidak mempergunakan ilmu pukulan yang berbahaya.

   Akan tetapi baru sedikit tenaga dan semacam ilmu pukulan biasa saja akibatnya telah membuat ia terluka oleh hawa beracun, apalagi kalau kakek itu menyerangnya sepenuh hati! Maka ia tidak berani lagi mencoba untuk mengadu kepandaian, dan melarikan din secepat mungkin. Girang hatinya karena ternyata bahwa dalam hal ginkang, ia masih mengatasi kepandaian kakek itu. See-thian Tok ong mengejar terus akan tetapi makin lama makin tertinggal jauh. Akan tetapi, sambil mengejar, See-thian Tok-ong berseru berkali-kali.

   "Ji Nto..., Kok Sun...! Anak itu membawa kitab Kwa Siucai, tangkap...!"

   Mendengar ini, Sin Hong maklum bahwa See-thian Tok-ong masih mempunyai kawan-kawan yang tentu berkepandaian amat tinggi pula, maka ia lalu mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian ia telah jauh meninggalkan See-thian Tok-ong yang menjadi bingung karena kehilangan jejak bocah yang dikejarnya.

   Akan tetapi, tiba-ttba Sin Hong mendengar bentakan keras dari belakang.

   "Bocah nakal tinggalkan kitab dan kepalamu!"

   Ia menoleh dan melihat seorang perempuan tua yang berwajah cantik mengejarnya dengan lari cepat seperti terbang, di tangannya memegang sebatang tongkat kecil!. Sin Hong terkejut menyaksikan cara nenek itu berlari cepat. ia telah mempelajari ilmu berlari cepat dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, akan tetapi sebetulnya biarpun anak ini sudah menghafal seluruh isi kitab di luar kepala, namun dalam waktu empat tahun saja, bagaimana ia dapat melatih diri dengan sempurna?

   Sebaliknya, Kwan Ji Nio adalah seorang tokoh kang-ouw yang memang amat terkenal akan kepandaiannya berlari cepat dan dalam hal ginkang suaminya sendiri pun tidak dapat menangkan dia. Kini, biarpun ia amat terheran-heran menyaksikan bocah yang dapat berlari cepat, akhirnya ia setelah mengerahkan seluruh tenaga dapat juga menyusul Sin Hong.

   "Jangan harap dapat melarikan diri!" Kwan Ji Nio berseru keras dan rantingnya bergerak cepat, menotok ke arah pinggang Sin Hong. Seperti juga kesalahan suaminya tadi, Kwan Ji Nio ternyata amat memandang ringan kepada bocah ini, yang dikiranya hanya pandai berlari cepat saja. Oleh karena itu, totokan rantingnya juga tidak berbahava, hanya cukup untuk merobohkan bocah itu.

   Sin Hong yang sudah tajam sekali pendengarannya, tahu bahwa totokan ranting itu tidak berbahava baginya, maka ia mengerahkan sinkangnya sambil berlari terus. Ujung ranting mengenai jalan darah di pinggangnya, akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kwan Nio ketika merasa betapa rantingnya itu melengkung dan terpental seakan-akan menotok baja!

   Akan tetapi dengan pekik nyaring nyonya tua ini telah mencelat lagi dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Sin Hong, mencegat larinya. Adapun Sin Hong pada saat itu sudah memegang sebatang ranting yang dipungutnya di bawah pohon ketika ia tadi melarikan diri lagi. Kini menghadapi Kwan Ji Nio yang gerakannya luar biasa cepatnya itu, ia tidak membuang waktu lagi dan cepat ia menggerakan rantingnya dengan tipu terlihai dari Pak-kek-sin-kiam-sut! Kwan Jii Nio memutar rantingnya, akan tetapi segera ia berseru kaget ketika tiba-tiba tangannya terasa lemas dan ranting yang dipegangnya terlepas dari tangan. Ternyata bahwa dalam segebrakan itu Si Bocah yang aneh telah dapat menotok urat nadinya secara demikian ajaib. Hal ini tentu saja amat mengejutkan hati Kwan Ji Nio sehingga ia berdiri bengong dan tidak mengejar lagi ketika melihat Sin Hong melarikan diri lebih cepat lagi. Di sepanjang jalan, Sin Hong merasa menyesal dan kecewa bukan main.

   "Mengapa aku berani-berani keluar dari gua sebelum kepandalanku sempurna? Hm, benar-benar seperti katak dalam sumur. Baru saja bertemu dengan dua orang, haI tenaga dan ilmu silat sudah terang aku bukan tandingan See-thian Tok-ong, sedangkan dalam ilmu ginkang aku tak mampu mengatasi nenek tadi!" Ia berlari terus dan berjanji di dalam hatinya bahwa kalau sudah selesai tugasnya mencari ayah angkatnya. ia akan kembali ke dalam gua di jurang Jeng-in-thia di puncak Luliang-san untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya.

   Anak yang baru berusia kurang lebih tiga betas tahun ini tidak sadar bahwa di dalam tuhuh dan otaknya, ia telah memiliki dasar kepandaian yang jauh melebihi kepandaian See-thian Tok-ong maupun Kwan Ji Nio. Ilanya tentu saja kurang matang melatihnya, apalagi ia berlatih ilmu tanpa ada yang memberi petunjuk, kecuali sebuah kitab peninggalan Pak Kek Siansu.

   Setelah jauh meninggalkan Kwan Ji Nio dan See-thian Tok-ong yang mengejarnya, Sin Hong merasa lega. ia berhenti di bawah pohon dan membuka-buka kitab peninggalan Kwa Siucai. Dengan cepat matanya menelan huruf-huruf yang tertulis di dalam kitab, terutama sekali ia mencari cara-cara pengobatan untuk luka akibat pukulan beracun. Alangkah girangnya bahwa di dalam kitab itu terdapat daftar yang menuturkan tentang ratusan macam luka akibat pukulan beracun. Dengan mudah ia mendapatkan catatan tentang luka yang dideritanya ketika lengannya bertemu dengan lengan See-thian Tok ong tadi. Kulit lengannya merah sekali dan berbintik-bintik terasa gatal dan perih. Berkat petunjuk di dalam kitab, ia dapat mengambil obat penawarnya dari bungkusan-bungkusan obat dan benar saja, sekali dioleskan, obat itu telah mengusir rasa gatal dan warna merah.

   Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadapi kitab dan bungkusan berisi obat itu.

   "Suhu Kwa Siucai, teecu menghaturkan terima kasih atas warisan yang Suhu tinggalkan untuk teecu. Teecu bersumpah akan mempergunakan kepandaian dan obat-obat serta petunjuk kitab ini, bukan saja untuk menjaga diri, juga untuk .mengobati orang lain yang perlu dengan pertolongan teecu."

   Baru saja Sin Hong menyimpan kitab serta bungkusan obat, hendak melanjutkan perjalanannya menuju Hoa san, tiba-tiba terdengar pekik nyaring dan dari atas menyambar turun seekor rajawali yang amat besar!

   Sin Hong mengelak cepat dan debu mengebul tinggi ketika burung itu menghantam tanah dengan sayapnya. Kembali burung itu menyerang Sin Hong dengan sepasang cakarnya yang berkuku tajam meruncing, dan dengan sepasang sayapnya yang lebar lagi kuat. Juga paruhnya mengancam hebat.

   "Kaukah ini, kim-tiauw yang baik...?"

   Sin Hong berseru girang ketika mengenal burung rajawali yang dahulu telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dilemparkan ke dalam jurang oleh Giok Seng Cu.

   Akan tetapi burung itu tidak mengenalnya lagi, dan tentu saja kim-tiauw ini hanya tunduk akan perintah See-thian Tok-ong dan anak isterinya. ia memang disuruh mencari Sin Hong, maka begitu bertemu ia menyerang dan hendak mencengkeram bocah itu.

   Sin Hong mengelak ke sana ke mari. Kalau ia mau, dengan pukulan ia akan dapat menghancurkan kepala burung atau memecahkan dadanya akan tetap ia tidak tega melakukan ini. Ia telah di tolong oleh burung ini dan tentu saja masih ingat baik akan budi ini, bahkan ingin sekali membalas. Ketika burung itu terus menerus menyerangnya, Sin Hong mendapatkan akal. ia mengelak dan tiba- tiba dengan gerakan kilat, tubuhnya telah berada di atas rajawali, duduk di punggung di antara sayap-sayap!

   Kim-tiauw kebingungan. Tidak dapat menyerang bocah yang sudah duduk di atas punggungnya itu. Akan tetapi ia tidak bodoh. Cepat ia meniekik dan terbang tinggi, lalu bergulingan di udara"

   Kalau saja Sin Hong bukan anak yang tabah, tentu ia akan jatuh terguling, atau akan takut setengah mati. Akan tetapi Sin Hong cepat memegang leher kim-tiauw dan ketika tubuh itu bergulingan, ia tidak meramkan mata, bahkan tertawa-tawa.

   Kim-tiauw menjadi kewalahan. Akhirnya ia berlaku cerdik dan cepat terbang, hendak membawa bocah ini ke hadapan majikannya.

   Sin Hong yang tahu ke mana arah terbang burung ini terkejut sekali. Ia teringat bahwa burung yang dapat merampas pedang Pak-kek Sin-kiam ini, tentulah bukan sembarangan dan mungkin sekali peliharaan orang pandai. Kini burung itu menyerangnya, bahkan membawanya kembali ke tempat See thian Tok-ong berada. Tentu burung ini binatang peliharaan See-thian Tok-ong, pikirnya.

   "Kim-tiauw, jangan terbang ke sana. Bawa aku ke Hoa-san!" serunya keras di dekat kepala burung itu. Akan tetapi mana burung itu mau mendengar perintahnya? Ia bahkan terbang makin cepat.

   Terpaksa Sin Hong menepuk punggung binatang itu yang tiba-tiba kehilangan tenaga sepasang sayapnya sehingga ia meluncur jatuh ke bawah seperti sebuah batu. Cepat Sin Hong membebaskan totokannya dan membentak lagi.

   "Bawa aku ke Hoa-san!"

   Begitu punggungnya ditepuk, kim-tiauw itu sembuh kembali dan mendapatkan kembali tenaganya yang hilang, maka cepat terbang menuju ke tempat See-thian Tok-ong sambil memekik ketakutan. Akan tetapi Sin Hong tentu saja tidak mau membiarkan hal ini terjadi. Berkali-kali, asalkan burung itu membawanya terbang ke tempat musuh, ia menepuk punggungnya, dan baru membebaskan setelah mereka meluncur ke bawah mendekati pohon-pohon.

   Akhirnya kim-tiauw itu maklum bahwa bocah yang menunggangnya harus diturut perintahnya. Binatang hanya mau mngerti dan tunduk kepada kekerasan. Kali ini kim-tiauw tidak melanjutkan terbang membalik dan berputaran di udara. Sin Hong masih ingat jurusan mana yang harus ia ambil, maka sambil menunjuk ke utara ia berkata.

   "Hayo bawa aku terbang ke sana!"

   Kim-tiauw itu tidak banyak rewel lagi dan segera terbang ke arah yang dikehendaki oleh Sin Hong. Alangkah senangnya hati bocah itu. Ia merangkul leher kim-tiauw, menepuk-nepuk dan mengelus-elus kepalanva sambil berkata,

   "Kim-tiauw yang balk. Kita telah menjadi sahabat sekarang. Percayalah, aku takkan melupakan budimu dan kelak mudah mudahan aku akan dapat membalasmu."

   Kim-tiauw tidak dapat menjawab, hanya mempercepat terbangnya karena takut kalau-kalau anak itu akan mencuri tenaga sepasang sayapnya lagi. Kalau ada orang yang kebetulan melihat Sin Hong naik di atas punggung seekor burung rajawali yang demikian besarnya, tentu orang itu akan menyangka bahwa ia melihat dewa atau iblis. Karena, siapakah pernah melihat atau mendengar, kecuali dalam dongeng, orang menunggang burung? Akan tetapi burung kim-tiauw itu memang bukan sembarangan burung, melainkan binatang peliharaan See thian Tok-ong yang sudah jinak dan lagi memang ia seekor burung besar yang amat kuat. Adapun penunggangnya, Wan Sin Hong, juga bukan sembarangan bocah, melainkan murid dari mendiang Pak Kek Siansu, bocah yang sudah mewarisi kitab peninggalan dari pertapa sakti itu. Dengan amat tepatnya Sin Hong dapat mengarahkan terbangnya burung kim-tiauw menuju Hoa-san.

   Lie Bu Tek telah semhuh dari luka- lukanya dan kini ia menjadi seorang yang buntung sebelah tangannya, yakni pada pangkal lengan kanan dekat pundak. Dengan kekuatan batin yang luar biasa Lie Bu Tek berhasil juga menahan semua kesengsaraan. ia harus hidup terus tidak untuk membalas semua perbuatan jahat dari orang-orang lm-yang bu-pai, akan tetapi terutama sekali untuk mencari Wan Sin Hong, anak angkatnya. Seringkali ia turun gunung dan bertanya-tanya di dunia kangouw kalau-kalau ada orang yang mellhat anak itu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Tak seorang pun dapat memberi keterangan kepadanya di mana adanya anak itu.

   Di dalam usahanya mencari Sin Hong, Lie Bu Tek mendengar pula banyak hal terjadi di dunia kang-ouw, di antaranya mendengar betapa Luliang Sam-lojin tewas ketika orang-orang kang-ouw menyerbu ke gunung itu untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek Siansu. Ia hanya bisa menarik napas panjang dengan duka sekali, karena dengan kepandaiannya yang terbatas, apalagi setelah sebelah lengannya putus, ia bisa berbuat apakah? Yang membikin ia merasa duka sekali adalah keadaan Sin Hong yang masih belum diketahuinya sama sekali. Tak seorang pun tokoh kang-ouw pernah melihat anak itu, dan sudah lama ia mencari Kian Cun Eng ketua Hek-in-kaypang, namun sia-sia belaka. Bahkan para anggauta Hek-kin-kaipang yang dijumpainya, mempunyai kedukaan yang sama yakni mereka kehilangan ketua itu yang tidak mereka ketahui ke mana lenyapnya!

   Dalam pikiran Lie Bit Tek, tentu Kiang Cun Eng membawa Sin Hong ke tempat rahasia dan hal ini merupakan hiburan baginya. Selama ia tidak mendengar bahwa anak itu telah binasa, masih mempunyai harapan untuk kelak berjumpa pula. Ia percaya penuh akan kesetiaan Kiang Cun Eng yang agaknya merasa lebih aman untuk menyembunyikan sendiri anak itu dari ancaman malapetaka musuh-musuhnya.

   Setelah bertahun-tahun mencari, Lie Bu Tek mendengar berita tentang dibasminya Im-yang-bu-pai oleh See-thian Tok ong, dan hal ini amat menggembirakan hatinya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yakni Lai Tek dan Kwa Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai yang telah menyerbu Hoa-san, tewas pula oleh See-thian Tok-ong, hatinya memuji keadilan Thian yang membasmi orang-orang jahat. Tanpa turun tangan ada orang lain yang membalaskan sakit hati Hoa-san-pai. Ia merasa puas, lalu ia kembali ke Hoa san-pai di mana Lie Bu Tek mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa untuk memperdalam ilmu batinnya.

   Lie Bu Tek adalah seorang ahli pedang tunggal dari ilmu pedang Hoa-san-pai. Sekarang setelah tangan kanannya tidak ada lagi dan ia sudah malas berlatih, tentu saja ilmu silatnya banyak mundur. Akan tetapi sebaliknya, oleh karena tekun bersamadhi dan memperkuat tenaga batin, lweekangnya otomatis maju dengan pesat.

   Lima tahun lewat dengan cepat. Lie Bu Tek tak pernah meninggalkan tempat pertapaannya di puncak Hoa-san lagi, sungguhpun ia masih belum melupakan Sin Hong dan selalu kalau ia tidak bersamadhi, pikirannya penuh dengan bocah yang dikasihinya itu. Pada suatu hari, selagi ia duduk di depan tempat pertapaannya sambil merenungkan nasib dan pengalaman yang lalu, tiba-tiba dari udara terdengar pekik keras. Lie Bu Tek memandang ke atas dan amat heranlah ketika melihat titik hitam jauh di angkasa yang bergerak-gerak dan kemudian meluncur turun. Kini baru ia melihat bahwa titik itu adalah seekor burung rajawali yang besar dan indah. Makin besar keheranannya ketika burung itu sudah terbang dekat, ia melihat bahwa di punggung burung raksasa itu duduk seorang pemuda cilik.

   "Gihu...!" sebelum burung itu hinggap di atas tanah, Sin Hong sudah mendahuluinya melompat turun dan langsung berlutut di depan Lie Bu Tek yang duduk di atas batu. Burung itu setelah bebas dari penunggangnya, memekik keras dan terbang tinggi, kemudian menghilang di balik puncak.

   Lie Bu Tek duduk bengong, hampir tak dapat percaya kepada mata sendiri. Bahkan beberapa kali ia menggosok kedua matanya merasa seperti dalam mimpi.

   "Sin Hong...?" suaranya setengah berbisik.

   "Gi-hu, ampunkan anak yang tidak berbakti, baru sekarang dapat menghadap Gi-hu, membiarkan Gi-hu hidup dalam kesengsaraan," kata Sin Hong yang tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga air matanya bercucuran.

   "Hong ji, anakku...!" Lie Bu Tek menubruk dan di lain saat mereka berpelukan, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

   Lie Bu Tek dapat menekan perasaannya lebih cepat, dan tiba-tiba ia tertawa di antara air matanya.

   "Sin Hong" Ha-ha-ha, mengapa kita bertangisan? Ahh... lima tahun lebih ku menanti dan kini kau tiba-tiba jatuh dari udara! Kau benar-benar mengejutkan hatiku, anakku. Biarkan aku melihatmu baik-baik!" Ia berdiri dan memegang dua pundak Sin Hong, menjauhkan tubuh anak itu agar la dapat memandang wajahnya. Keduanya berpandangan, wajah mereka penuh keharuan akan tetapi dua pasang mata berseri penuh kebahagiaan.

   "Sin Hong, lima tahun... aku hampir putus asa... dan sekarang, kau sudah begini besar...!" Kembali pendekar Hoa-san pai ini mendekap dan memeluk anak angkatnya.

   "Gi-hu, apakah kau sehat-sehat dan balk-baik saja" Sin Hong bertanya sambil memandang ayah angkatnya dengan penuh keharuan, apalagi ketika tak disengaja ia memandang ke arah lengan kanan yang sudah buntung sehingga lengan baju yang kanan tergantung kosong di samping pinggang.

   Bu Tek tersenyum.

   "Baik-baik dan sehat anakku. Eh, ke mana perginya burung rajawali tadi?"

   "Burung itu bukan punyaku, Gi-hu. Dapat kupinjam dari See thian Tok-ong."

   Lie Bu Tek terkejut.

   "Apa? Kau bersahabat dengan siluman tua dari barat itu?"

   Sin Hong tersenyum.

   "Jangan khawalir, Ayah. Aku dapat mcmilih siapa yang patut dijadikan sahabat dan siapa pula yang tidak. Aku meminjamnya tanpa ia ketahui."

   "Mari kita masuk ke dalam, Nak. Aku ingin sekali mendengar semua pengalamanmu." Mereka berdua sambil bergandengan tangan lalu masuk kembali ke dalam pondok kecil di puncak Hoa-san itu. Sin Hong lalu menuturkan semua pengalamannya dengan sejelasnya.

   Bukan main girangnya hati Lie Bu Tek mendengar betapa anak angkatnya telah menjadi ahli waris dari Pak Kek Siansu. Ketika ia mendengar tentang Kwi Siucai yang terbunuh oleh Im-yang-bu-pai yang bernama Tek Goan It, ia mengerutkan kening.

   "Sudah kudengar bahwa lm-yang-bu pai dibasmi oleh See-thian Tok-ong, akan tetapi sekarang seorang tokoh Im-yang-bu-pai bekerja sama dengan siluman dari barat itu, benar-benar aneh. Apakah bisa jadi See thian Tok-ong mempergunakan orang-orang bekas anggauta Im-yang-bu-pai? Sin Hong, biarpun kau sudah mempelajari ilmu yang tinggi, namun kita terkurung oleh orang orang jahat yang berilmu tinggi dan keselamatanmu masih terancam. Apalagi kalau Ba Mau Hoat tahu bahwa kau adalah keturunan dari Wan-yen Kan tentu kau akan dibunuhnya. Oleh karena itu mari kita pergi mencari Hwa I Enghiong Go Ciang Le, hanya dia lah kiranya yang akan dapat melindugimu. Apalagi, dia juga murid Pak Kek Siansu, jadi masih terhitung Suhengmu. Dia pasti akan suka memberi bimbingan padamu kalau kau ceritakan bahwa kau yang mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."

   Akan tetapi Sin Hong menggelengkan kepalanya.

   "Tidak Gi-hu. Sudah terang bahwa sehingga kini Hwa I Enghiong yang tersohor sebagai pendekar gagah budiman, tidak muncul, biarpun dunia sudah kotor oleh orang-orang jahat. Untuk apa kita mencari-cari dia. Aku bahkan ingin memperdalam kepandaianku di tempat persembunyianku itu, karena aku sudah merasa bahwa kepandaian See-thian Tok-ong dan yang lain-lain amat tinggi. Marilah kau ikut dengan aku, Gi-hu."

   Lie Bu Tek tentu saja tidak mau berpisah lagi dari putera angkatnya setelah kini bertemu, maka ia tidak membantah ketika Sin Hong mengajaknya pergi ke Luliang-san. Tadinya Lie Bu Tek masih ragu-ragu untuk percaya bahwa anak angkatnya ini, memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi setelah Sin Hong membawanya lari cepat, terutama sekali ketika mereka harus melompati jurang "jurang lebar, bukan main kagumnya hati pendekar Hoa-san-pai ini. Tidak saja kepandaian anak itu jauh melebihi dirinya sendiri bahkan Sin Hong tanpa ragu-ragu memegang tangannya dan menariknya melompat, jurang yang terlalu lebar dan berbahaya bagi Lie Bu Tek.

   "Hebat sekali, anakku. Memang Suhu Liang Gi Tojin sendiri agaknya takkan mampu melompat sambil menarik aku seperti yang kaulakukan ini." Sin Hong tersenyum bangga dan girang mendengar pujian ayah angkatnya.

   "Gihu, aku telah menerima budi mendiang Pak Kek Siansu. Kepandaian Suhu Pak Kek Siansu tak terbatas, dan kitab peninggalannya itu mengandung sari pelajaran yang takkan ada habisnya biarpun kumelatih diri sampai puluhan tahun. Oleh karena itu, biarlah kita berdua bersembunyi di sana dan selain aku memperdalam ilmu silatku, Gi-hu bisa mempelajari ilmu silat yang sesuai de ngan Gi-hu." Lie Bu l ek menarik napas panjang mukanya memperlihatkan sinar kecewa.

   "Tak mungkin, Hong-ji. Ilmu silat mengandalkan kecepatan gerak kaki tangan, terutama sekali gerakan kedua tangan untuk mengimbangi gerakan tubuh. Dengan tanganku tinggal sebelah, biarpun andaikata aku mempelajari ilmu silat amat tinggi, kiranya takkan dapat mainkan ilmu silat itu dengan sempurna."

   "Gi-hu terlalu memandang rendah kepada diri sendiri. Mengapa Gi-hu harus berputus asa? Ilmu yang ditinggalkan Suhu Pak Kek Siansu, jangankan dipelajari oleh seorang seperti Gi-hu yang biarpun sudah kehilangan sebelah lengan, akan tetapi memiliki bakat dan kepandaian silat, bahkan andaikata dipelajari oleh seorang yang sudah buntung dua lengannya dan tidak sepandai Gi-hu, orang itu tentu akan memetik sari pelajaran yang amat berguna bagi dirinya."

   Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lie Bu Tek tertegun. la mcndapat kenyataan bahwa biarpun anak angkatnya ini masih belum dewasa, namun cara bicaranya demikian keras, bersemangat, dan juga berisi. Ia dapat menduga bahwa ini semua dilahirkan oleh pengalaman pengalaman dan derita-derita pahit getir yang dialami oleh anak itu.

   "Baiklah, Hong-ji," katanya dan memaksa supaya suara dan mukanya mengandung kegembiraan.

   "Aku akan belajar lagi dan kaulah sekarang yang harus memberi pimpinan kepadaku dalam ilmu silat""

   Padahal kata-kata ini bagi Lie Bu Tek hanya untuk menghibur dan menyenangkan hati Sin Hong belaka, karena ia masih tidak percaya kalau ia akan dapat mewarisi ilmu silat tinggi setelah tangan kanannya buntung. Setelah tiba di puncak Luliang-san Sin Hong mengajak Lie Bu Tek menuju ke Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau), dan jago Hoa-san-pai ini mengagumi keindahan tempat itu.

   "Benar-benar patut menjadi tempat kediaman seorang sakti dan suci seperti Pak Kek Siansu," ia memuji berkali-kali.

   "Sin Hong, di manakah tempat rahasia yang menjadi tempat tinggalmu selama lima tahun itu?"

   "Di sana, Gi-hu. Di dasar sana itu." Sin Hong menunjuk ke jurang yang tidak kelihatan dasarnya.

   Lie Bu Tek terkejut.

   "Jadi kau telah dilempar oleh Giok Seng Cu ke dalam jurang ini?" Ia memandang ke dalam jurang dan bergidik.

   "sekarang... bagaimana kita bisa masuk ke sana? Kau sendiri bilang bahwa jalan menuju ke sana sudah tertutup ketika kau keluar dari gua."

   "Memang tadinya aku berpikir demikian, Gi-hu. Akan tetapi aku telah mempelajari keadaan di dasar jurang dan kurasa dengan menggunakan akal, aku dapat turun ke dasar jurang ini."

   "Apa katamu? Turun dari sini? Kau bilang dasar jurang ini dari sini jauhnya tak dapat diukur!"

   "Memang betul demikian, Gi-hu. Ketika kim-tiauw terbang membawaku ke dalam jurang, mengingat waktunya yang lama sebelum ia tiba di dasar, kiranya dalamnya jurang ini tidak kurang dari pada setengah li! Akan tetapi, aku mempunyai akal untuk turun ke bawah, mempergunakan sebatang tambang yang kuat dan dibantu dengan sebatang pedang yang tajam."

   "Tentang pedang, kiraku pedang ini cukup tajam, kalau dugaanku cocok bahwa pedang itu hendak kaupergunakan untuk membacok batu karang atau pohon di lereng jurang. Akan tetapi tentang tambang di manakah kita bisa mendapatkan tambang yang panjangnya sampai tengah lie" tanya Lie Bu Tek sambil lebarkan matanya, karena ia menganggap akal dari anak angkatnya itu tak masuk akal dan tak mungkin dilaksanakan lagi pula amat berbahaya.

   "Di sini terdapat akar pohon yang amat kuat, Gi-hu. Memang panjangnya tidak mungkin ada yang sampai setengah lie, akan tetapi kiranya ada yang panjangnya sampai lima tombak. Dengan akar itu pun sudah cukup bagiku. Harap Gi-hu jangan khawatir, aku sudah perhitungkan masak-masak bahwa aku pasti akan dapat mencapai dasar jurang dengan aman dan selamat. Kemudian aku akan membuka gua itu dari terowongan agr Gi-hu dapat masuk. Baiklah sekarang Gi-hu melihat gua rahasia tempat bertapa mendiang Suhu Pak Kek Siansu dan menunggu aku di sana."

   Dengan perasaan tidak nyaman, Lie Bu Tek mengikuti Sin Hong ke gua yang menjadi pintu masuk ke tempat persembunyian dan yang kini tertutup oleh tempat tidur baja yang tak mungkin digeraki dan dipindah karena menjadi satu dengan palang baja penutup pintu gua itu.

   "Harap Gi-hu menanti di sini, dengan sabar dan tenang, tak lama tentu aku akan datang membukakan pintu rahasia untuk Gi-hu," kata Sin Hong. Akan tetapi ketika ia hendak meninggalkan ayah angkatnya, Lie Bu Tek berkata,

   "Sin Hong, biarpun aku percaya penuh akan kecerdikan dan kemampuanmu, namun usaha menuruni jurang yang hendak kaulakukan itu amat berbahaya. Bagaimana kalau... sampai terjadi sesuatu yang mengerikan? Apakah tidak lebih baik kita tanggal di puncak yang indah ini saja dan kau pun dapat menyempurnakan pelajaranmu di sini? Bukankah seluruh isi kitab itu telah kauhafal semua?"

   "Maksud Gi-hu ini memang baik. Akan tetapi kurang tepat. Gi-hu sendiri maklum bahwa orang-orang jahat seperti See thian Tok-ong itu amat berbahaya. Kita tidak tahu apakah mereka takkan menyusul ke tempat ini, dan kalau sampai mereka mendapatkan kita di sini sebelum kita membuat persiapan dan kepandaian kita belum maju, apakah hal itu takkan lebih berbahaya lagi? Tidak, Gi-hu harap tenang. Lebih baik kita menyembunyikan diri di dasar jurang. Di sana aman, buktinya aku berada di sana sampai lima tahun tanpa ada gangguan dari siapapun juga."

   "Akan tetapi kalau gagal... kalau tambang itu putus...."

   Sin Hong tersenyum. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh semangat.

   "Jangan khawatir, Gi-hu. Aku akan menjaga diri baik-baik dan bukankah ujar-ujar kuno menyatakan bahwa, siapa yang bercita-cita dan berkemauan baik, selalu akan mendapat perlindungan dari pada Thian Yang Maha Kuasa?"

   Akhirnya Lie Bu Tek tak dapat membantah lagi dan ia hanya menarik napas panjang dan diam-diam berdoa untuk keselamatan anak angkatnya itu ketika dengan gerakan lincah sekali Sin Hong berkelebat pergi dari situ.

   Sin Hong membawa pergi pedang Lie Bu Tek, sebuah pedang yang cukup baik dan tajam. Ia mencari sebatang akar pohon yang kuat dan ulet, memilih yang paling panjang. Betapapun panjangnya sebatang akar, tidak lebih dari empat tombak. Dengan hati tabah ia lalu menghampiri jurang, mencari batu karang yang kuat lalu membuat pengait. Ujung akar itu ia talikan sedemikian rupa sehingga merupakan lingkaran yang dapat dikaitkan pada batu karang. Kemudian ia merayap turun melalui tambang akar itu. Setelah tiba di ujung akar yang tergantung di udara, ia lalu mempergunakan kakinya menginjak batu karang di lereng jurang, dengan pedangnya ia membuat tempat untuk mengaitkan tambang. Pedang yang tajam itu baik sekali untuk membacok batu karang sehingga terdapat tempat untuk mengaitkan akar yang cukup kuat. Setelah kepastian bahwa tempat itu kuat, ia lalu menancapkan pedang pada lereng jurang, bergantung dengan tangan kiri pada gagang pedang kedua kaki menekan batu karang di lereng jurang dan tangan kanan digerakkan sedemikian rupa pada akar yang masih bergantung sehingga ujung akar atas yang tadi dikaitkan pada batu karang terlepas ke bawah.

   Dengan amat cekatan, Sin Hong kembali memasang ujung tambang itu pada batu karang ke dua dan meluncurlah ke bawah seperti tadi. Usaha ini ia lakukan berulang kali, lebih dari lima belas kali sebelum ia berhasil menginjakkan kaki di dasar jurang. Pekerjaan sehebat itu memang amat berbahaya. Sekali saja tambang putus atau kakinya tergelinci pasti tubuhnya akan hancur di bawah jurang. Untuk dapat melakukan hal seperti itu, tidak hanya membutuhkan kecerdikan, keuletan dan kepandaian tinggi, akan tetapi juga membutuhkan ketabahan yang luar biasa. Agaknya sukar mencari orang ke dua, apa lagi yang masih belum dewasa seperti Sin Hong yang berani melakukan pekerjaan seperti itu.

   Lie Bu Tek merasa tidak enak sekali menanti di gua itu. Tubuhnya sebentar panas sebentar dingin kalau ia membayangkan bahaya yang dapat mengancam diri anak angkatnya selagi menuruni jurang yang demikian curamnya. Hatinya angin sekali membawa dia keluar dari gua, berlari ke tepi jurang untuk melihat keadaan Sin Hong, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan tetap menanti di situ sambil berdoa kepada Thian agar supaya anak angkatnya itu selamat.

   Tentu saja ia harus menunggu lama. Tidak saja pekerjaan menuruni jurang dengan cara seperti yang dilakukan oleh Sin Hong itu memakan waktu lama juga setelah anak itu berhasil mendarat di dasar jurang, ia harus mempergunakan waktu yang cukup lama untuk berjalan memasuki terowongan sehingga tiba di gua di mana Lie Bu Tek menantinya dengan hati tidak karuan rasanya.

   Akhirnya Lie Bu Tek mendengar sesuatu di balik tempat tidur bekas tempat Pak Kek Siansu. Batu karang yang menjadi dinding di belakang tempat tidur bergerak dan terbuka dan... muncullah Sin Hong dengan wajah berseri.

   "Hong-ji...!" Lie Bu Tek melompat dan memeluknya dengan kedua mata basah dan muka pucat.

   "Gi-hu, kau amat khawatir dan cemaskah? Lihat, anakmu Sin Hong tidak kurang sesuatu!" kata anak itu dengan jenaka, padahal kedua telapak tangannya masih ada tanda darah karena betapa pun kuatnya, kulit telapak tangannya lecet-lecet ketika ia menuruni tambang dari tempat setinggi itu.

   Cepat mereka masuk ke dalam pintu rahasia dan Sin Hong lalu menutup kembali pintu rahasia gua itu dari sebelah dalam. Lenyaplah mereka dari pandangan mata, bahkan lenyap dari dunia ramai, berada di tempat yang tak mungkin didatangi oleh manusia lain.`

   Sebagaimana telah dituturkan di dalam cerita Pendekar Budiman, pemerintah penjajah Kin makin lama menjadi makin lemah karena gempuran- gempuran perjuangan rakyat jelata yang patriotik yang dipimpin oleh orang-orang gagah di seluruhnya propinsi yang terjajah.

   Serangan dari barisan-barisan rakyat yang memberontak di mana mana membuat pemerintah Kin menjadi lemah sekali sehingga terpaksa Raja Kin menarik kembali bala tentaranya dari selatan, timur dan barat, lalu mengumpulkan kekuatan induk pasukan untuk menjaga keselamatan istana dan daerahnya yang terdekat. Hanya di daerah utara saja mereka aman.

   Akan tetapi, pemerintah Kin yang sudah berada di jurang keruntuhan itu tidak tahu atau tidak mengira sama sekali bahwa justru dari daerah utara inilah datangnya malapetaka yang akan menamatkan sejarah kejayaan mereka. Bagaikan awan-awan hitam yang kecil-kecil bertemu dan berkelompok lalu berkumpul menjadi satu gumpalan awan besar menghitam, kekuatan baru ini mengancam angkasa di sebelah utara.

   Kekuasaan baru ini bukan lain adalah orang-orang Mongol yang tadinya tidak dipandang mata oleh pemerintah Kin. Bangsa Mongol adalah suku bangsa pengembara dan pemburu yang gagah berani. Mereka hidup berkelompok, tidak mempunyai tempat tanggal tertentu, melainkan menjelajah di sepanjang tapal batas Mongol. Mereka hidup bebas menguasai daerah yang amat luas, daerah yang dijadikan tempat mereka mendapatkan makanan, daerah di mana mereka hidup berkeluarga berpindah-pindah, sesuka hati mereka, menurut keadaan. Apabila di suatu tempat mereka mendapatkan penghasilan cukup, pindahlah mereka di daerah lain dalam wilayah itu juga untuk mencari hasil yang lebih mencukupi untuk keluarga mereka. Wilayah mereka ini, dari Pegunungan Altai-san di barat sampai ke pegunungan yang subur dan yang cocok untuk pekerjaan mereka.

   Suku bangsa Mongol ini, sebagaimana telah dituturkan di atas, adalah pemburu-pemburu yang gagah berani. Di samping memburu binatang hutan, mereka melihara hewan ternak, terutama lembu, domba dan kuda. Oleh pekerjaan inilah mereka rata-rata merupakan penunggang kuda yang pandai.

   Keadaan hidup mereka yang boleh di bilang sukar kalau dibandingkan dengan orang-orang di pedalaman Tiongkok sebelah selatan, penghidupan yang penuh kekerasan dan penderitaan itulah agaknya yang menjadikan mereka sebagai bangsa yang keras hati, bersatu dan kuat. Kekuatan mereka semata-mata hanyalah hewan ternak dan kuda. Makanan mereka yang terutama adalah daging sapi atau domba dan susu merupakan kegemaran mereka pula, terutama sekali susu domba.

   Betapapun kasar dan keras hati, suku bangsa Mongol ini harus diakui mempunyai semangat persatuan yang kokoh kuat, berdisiplin dan jujur. Semboyan mereka "bersatu kita kokoh, bercerai kita roboh". Hal ini memang bukan hanya semboyan kosong belaka, namun sudah sering kali terjadi sebagai kenyataan. Daerah itu merupakan daerah pegunungan yang amat sukar, dan agaknya orang akan sukar hidup menyendiri saja, selain sukar mendapatkan makan, juga sukar karena bahaya mengintai dari mana-mana, bahaya diterkam binatang buas, diterkam kelaparan dan kehausan.

   Tadinya suku bangsa Mongol memang tidak begitu kuat, bahkan bisa disebut lemah. Bukan lemah saja, melainkan suku bangsa Mongol pernah tunduk kepada suku bangsa lain yang lebih besar dan kuat seperti suku bangsa Kerait dan Naimad. Akan tetapi, semenjak akhir abad ke sebelas terjadi perubahan hebat pada suku bangsa Mongol yang tadinya hidup berkelompok-kelompok dan berpencar itu. tiba tiba saja mereka menjadi amat kuat bahkan suku-suku bangsa lain satu demi satu digempur dan ditundukkan dan ditarik menjadi anggauta sehingga suku-suku bangsa itu bersatu dan menjadi satu bangsa!

   Mengapa demikian? Tak lain oleh karena di dalam keluarga suku bangsa Mongol ini lahir seorang Mongol yang berjiwa besar seorang yang oleh mereka dianggap mendapat wahyu dari sekalian Dewa. Orang inilah yang dalam usia kurang lebih lima belas tahun, sudah dapat merampas kekuasaan dan menjadi pimpinan suku bangsa Mongol dan membawa bangsanya itu ke arah kemajuan dan kekuatan yang maha hebat. Siapakah dia? Bukan lain adalah Temu Cin, pemuda perkasa yang bercita-cita tinggi. Temu Cin inilah pemuda yang kelak akan menggemparkan dunia Tiongkok dan namanya takkan pernah terhapus dari catatan sejarah, karena dialah kelak terkenal sebagai Khan atau raja besar, raja pertama dari sekalian suku bangsa di wilayah Mongol!

   Pada suatu hari, ketika matahan baru saja muncul dan memancarkan cahayanya yang kemerahan di permukaan Padang Pasir Gobi, kelihatan serombongan manusia berjalan, didahului oleh bayangan mereka. Dari letak bayangan yang berada di depan mereka, dapat diketahui bahwa rombongan ini sedang menuju ke barat.

   Mereka itu terdiri dan seratus orang lebih, semua laki-laki dan masih muda-muda. Melihat dan cara mereka berjalan, dapat diduga bahwa mereka adalah sebarisan orang muda yang terlatih baik. Biarpun pakaian mereka tidak seragam namun jelas tampak dan mudah diduga bahwa mereka adalah sepasukan tentara atau orang-orang yang sedang dalam perjuangan.

   Memang benar demikian. Mereka itu adalah rombongan orang Mongol dan ialah pasukan pilihan yang dipimpin sendiri oleh Temu Cin, seorang pemuda yang berusia paling banyak dua puluh tahun. Temu Cin kelihatan gagah sekali dengan tubuhnya yang kekar kuat, wajahnya yang segi cmpat dengan dagu jelas memperlihatkan kekerasan hatinya. Dadanya membusung, pundaknya bidang dan langkahnya seperti seekor harimau. Sepasang matanya sipit dan kecil, namun selalu seperti ada dua titik api bernyala dalam sepasang mata itu. Telinganya lebar dan panjang dan biarpun wajahnya tak dapat disebut tampan, namun ia benar-benar kelihatan gagah.

   Rombongan itu nampak lelah. Biarpun pagi hari itu matahari belum naik tinggi, namun hawa panas dart lautan pasir itu membakar dan membuat napas menjadi sesak. Telah semalam penuh mereka berjalan, didahului oleh Temu Cin yang berjalan terus tanpa berhenti, juga tak pernah mengeluarkan kata-kata.

   Seorang Mongol yang tinggi besar akan tetapi kurus, dengan jenggot pendek, mendahului kawan-kawannya menyusul Temu Cin.

   "Kawan-kawan sudah kelihatan lelah sekali. Apakah tidak baik kalau kita beristirahat sebentar?" ia melapor sambil mengusulkan kepada pimpinan muda itu. Tanpa menghentikan langkahnya, Temu Cin menjawab, matanya mengerling tajam penuh celaan kepada kawan yang melapor ini,

   "Obika, kita takkan mengaso sebelum sampai di Telaga Gasyun Nor, di mana kawan-kawan kita menanti dengan kuda-kuda yang sudah dipersiapkan. Kalau kita berjalan cepat, menjelang tengah hari kita akan sampai di sana."

   "Akan tetapi lihatlah, kawan-kawan kita sudah lelah". Boleh jadi kita berdua kuat, akan tetapi mereka tidak sekuat kita. Apakah kau tidak kasihan?" kata-kata ini diucapkan keras oleh Obika sehingga terdengar oleh semua anak pasukan yang segera mengeluarkan suara menggumam, tanda setuju dengan usul Obika.

   Temu Cin ketika mendengar betapa suara derap kaki pasukannya menjadi kacau dan mehhat mereka ragu-ragu untuk melanjutkan perjalanan tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat beberapa orang sudah amat payah dan kelelahan, akan tetapi masih saja terus berjalan. Tiba-tiba tangan kanan Temu Cin bergerak dan tahu-tahu telah mencabut sebatang golok yang bersinar merah. Semua orang terkejut, terutama sekali Obika, akan tetapi sebelum ada yang sempat menduga-duga, golok itu bergerak dan leher Obika telah putus kena sambaran golok. tubuhnya terhuyung dan sebuah tendangan dari Temu Cin membuat tubuh itu terlempar. Darah mengalir keluar, diisap oleh pasir yang kehausan.

   "Dia ini pengecut dan pengacau. Kata-katanya beracun, melemahkan semangat kawan-kawan, tak patut pengecut ini berada di barisan kita! Kita terkalahkan oleh musuh yang ribuan jumlahnya, yang sampai sekarang masih mengejar kita. Kalau kita beristirahat berarti kita akan mampus semua di tangan musuh. Kita berjalan cepat selama setengah hari lagi dan kalau kita sudah tiba di Telaga Gasyun Nor, tidak saja kita akan selamat, bahkan kita akan dapat menggempur dan menghancurkan musuh yang telah menghina kita. Siapa sekarang mau bicara tentang mengaso? Siapa.??"

   Semua orang diam, tak berani bergerak. Mereka semua tahu bahwa tak seorang pun yang mampu melawan Temu Cin, baik dalam ilmu berkelahi, dalam ilmu berperang, maupun dalam perdebatan.

   "Yang masih kuat bantu kawan yang lemah, kalau perlu yang sudah tidak kuat boleh digendong, dipanggul, atau di seret. Betapapun juga, kita harus cepat-cepat tiba di Gasyun Nor!"

   Kembali rombongan itu maju, bahkan lebih cepat dari tadi. Kata-kata pemimpin muda itu membangkitkan semangat anak buah dan jenazah Obika ditinggalkan di situ, terlentang dengan leher putus, membuat tempat yang sesunyi itu nampak makin sepi.

   Ketika rombongan ini tiba di dekat Telaga Gasyun Nor, dari jauh Temu Cin sudah melihat bahwa di situ terjadi suatu. Ia melihat orang-orangnya bertempur, mengeroyok beberapa orang yang bermain pedang secara luar biasa hebatnya. Banyak sudah kawan-kawannya yang mengeroyok menggeletak mandi darah. Temu Cin yang biarpun sudah melakukan perjalanan semalam suntuk dan setengah hari, masih dapat berlari cepat menghampiri tempat pertempuran di dekat telaga itu. Dan ia melihat pertempuran yang amat menarik hatinya. Sepasang orang muda bangsa Han sedang dikeroyot oleh puluhan orang anak buahnya, akan tetapt anak buahnya itu dapat diumpamakan sebagai nyamuk-nyamuk menyerang dua nyala api lilin. Pemuda dan gadis bangsa Han itu bukan main hebatnya, di mana juga pedang mereka berkelebat, tentu seorang pengeroyok roboh.

   "Tahan semua senjata...!" Suara Temu Cin memang amat berpengaruh dan seketika itu juga, semua pengeroyok mengundurkan diri.

   Siapakah adanya pemuda dan gadis yang demikian luar biasa ilmu silatnya hingga anak buah Temu Cin yang terkenal gagah perkasa itu seakan-akan nyamuk menghadapi api bagi mereka? Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya jangkung kurus wajahnya tampan akan tetapi kepucatan, sepasang matanya bersinar-sinar dan selalu bergerak-gerak bola matanya, menandakan bahwa ia amat cerdiknya, pakaiannya mewah dan menambah anggun sikapnya yang memang gagah. Adapun gadis itu paling banyak berusia tujuh belas tahun, lincah dan manis, pada wajah yang jelita itu terbayang kejenakaan dan kegembiraan hidup, sepasang matanya bersinar terang membayangkan hati yang jujur dan terbuka, mulutnya mungil kemerahan selalu tersenyum akan tetapi kadang-kadang tertarik garis yang membayangkan kekerasan hati luar biasa. Kadang-kadang sikap gadis cilik ini agak kasar dan tidak pedulian, bahkan masih kekanak-kanakan, namun semua ini tidak mengurangi kelucuannya dan membikin orang menaruh rasa sayang.

   

Pendekar Pedang Pelangi Eps 18 Memburu Iblis Eps 33 Pendekar Pedang Pelangi Eps 19

Cari Blog Ini