Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 27


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 27




   Gerakan Ceng Ceng amat lincah. Kedua tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mekar seperti sayap rajawali, kadang-kadang menotok seperti paruh rajawali, tubuhnya menyambar ke atas ke bawah, kedua kakinya kadang-kadang berjungkit, kadang-kadang merendah atau meloncat loncat tinggi. Pendeknya amat indah dipandang akan tetapi amat berbahaya dihadapi lawan.

   "Bagus sekali! Kau hebat, nona,? berkali-kali Cui Kong mengeluarkan suara pujian bukan hanya sekedar untuk mengambil hati akan tetapi memang ia merasa kagum sekali. Sifat gadis yang lincah jenaka ini memang cocok sekali dengan ilmu silat ini. Dan Cui Kong girang mendapat kesempatan?main-main" dengan gadis seperti ini, sungguhpun main-main ini dapat membahayakan keselamatannya karena pukulan-pukulan gadis itu ternyata bukan main-main. Tingkat kepandaian Cui Kong memang masih menang setingkat, akan tetapi ia harus berlaku hati-hati sekali kalau tidak mau terkena pukulan yang berbahaya.

   Seratus jurus lewat dan belum juga Ceng Ceng dapat mendesak Cui Kong. Sebenarnya kalau Cui Kong mau, ia tentu akan dapat robohkan lawannya ini dalam seratus jurus, dia sudah banyak mempunyai ilmu pukulan yang aneh-aneh dan beracun. Namun menghadapi Ceng Ceng ia menjadi lemah, tidak tega mencelakainya. Ia ingin merebut hati gadis ini tanpa kekerasan, melainkan dengan kehalusan dan cinta kasih.

   Di lain pihak, Ceng Ceng makin lama makin kagum terhadap pemuda ini. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda demikian pandainya, kecuali Tiang Bu. Ia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja tidak mampu ia mendesak. Pertahanan pemuda itu kuat seperti baja sehingga semua serangannya membalik.

   Cui Kong berpikir bahwa kalau dalam pertandingan tangan kosong ini ia mengalahkin gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi tersinggung hatinya dan berbalik membencinya. Harus kuberi kesempatan kepadanya supaya kali ini dia menang, pikirnya. Cepat ia menyerang akan tetapi berbalik memberi kesempatan dan lowongan. Sebagai seorang ahli silat ia tentu saja Ceng Ceng dapat melihat lowongan ini dan tidak menyia-nyiakan kesempatan baik. Tangan kirinya menyambar ke arah dada yang terbuka dengan pukulan keras, akan tetapi segera kepalannya dibuka dan hanya telapak tanganuya yang mendorong sekuat tenaga.

   "Bukk!" Cui Kong terjengkang dan berjungkir balik ke belakang, Sedangkan Ceng Ceng merasa tangannya kesemutan dan kaku. Bukan main kagetnya dan diam-diam ia menjadi makin kagum karena hal itu membuktikan bahwa tenaga lweekang pemuda itu tinggi.

   "Nona lihai sekali. Aku Cui Kong mengaku kalah," kata Cui Kong sambil mengebut-ngebutkan bajunya.

   Akan tetapi Ceng Ceng bukan anak kecil. Kini ia maklum bahwa pemuda itu sengaja mengalah dan merahlah mukanya. Makin tertatarik hatinva, pemuda ini selain gagah perkasa, juga berbudi manis dan pandai merendah. Di lain fihak, Cui Kong hampir menari kegirangan karena ketika merubah pukulan menjadi dorongan tadi. Ia dapat menduga bahwa sedikitnya gadis itu mempunyai pandangan baik terhadap dirinya dan tidak mempunyai sikap bermusuh lagi!

   "Ah, kau terlalu memuji. Sebetulnya akulah yang kalah dan terus terang saja aku mengakui kelihaianmu, saudara.... saudara,...."

   "Cui Kong namaku, nona. Kau selalu merendah, nona Lie. Sebetulnya saja kepandaian kita setingkat, mungkin aku sodikit lebih kuat, ini tidak aneh karena kau seorang wanita, Akan tetapi, dibandingkan dengan ayahmu tentu aku kalah jauh sekali. Sudahlah, tertang kepandaian memang tidak ada batasnya, nona. Bolehkah aku bertanya, nona hendak pergi kemanakah?"

   "Aku pergi merantau meluaskan pengalaman," jawab Ceng Ceng singkat.

   Wajah Cui Kong berseri.

   "Aah, tentu saja begitu. Puteri seorang pendekar tentu ingin pula mengetahui bagaimana keadaan dunia kang-ouw. Akupun mempunyai keinginan seperti itu, nona. Hanya bedanya, kalau ayah bundamu terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, adalah aku seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini, hanya mempunyai seorang ayah angkat. Akan tetapi....." Cui Kong menarik napas panjang.

   "Ayah angkat inipun hanya menambah beban hidupku. Aku...... aku terpaksa lari dari rumahnya....."

   Mendengar ucapan terputus-putus dan tidak jelas ini, hati Ceng Ceng tertarik. Kepribadian pemuda itu memang telah menarik hatinya. ingin sekali ia mengetahui keadaan pemuda ini.

   "Mengapa......? Mengapa kau....... lari?"

   Diam-diam Cui Kong makin gembira. Jelas bahwa nona ini menaruh perhatian kepada dirinya. Ia harus berlaku hati-hati. Nona ini bukan nona sembarangan, melainkan puteri dari Pek.thouw-tiauw-ong Lie Kong. Ia harus menggunakan akal dan siasat untuk mendapatkan gadis yang benar-benar yang benar-benar telah membetot semangatnya ini.

   "Ahh, kepada orang lain biar mati aku takkan mau menceritakan urusan keluargaku, nona. Akan tetapi terhadapmu....... entah mengapa biarpun baru sekarang bertemu, aku merasa...... seakan-akan kita sudah menjadi sahabat baik puluhan tahun lamanya......." Ia berhenti sebentar untuk melihat bagaimana reaksi kata-katanya yang berani ini, apakah gadis ini akan marah? Tidak, Ceng Ceng malah menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Ia menjadi makin berani dan melanjutkan kata-katanya,

   "Sebenarnya, ayah angkatku hendak memaksa aku untuk menikah dengan seorang gadis kampungku. Maka aku..... lari pergi!"

   Tanpa disengaja Ceng Ceng tertawa kecil mendengar ini. Ia memandang muka pemuda itu dan bertanya jenaka sudah timbul sifatnya yang jenaka dan lincah.

   "Mengapa lari? Apa dia itu buruk rupa?"

   "Tidak buruk, bahkan cantik menjadi kembang kampungku. Akan tetapi, nona Lie yang baik, bukan seorang gadis cantik yang lemah menjadi idam-idaman hatiku. Gadis itu benar cantik, akan tetapi dia lemah dan bodoh. Kakinya sebesar kepalan tangan....."

   "Eh. bukankah itu baik sekali? Kata orang kaki wanita harus kecil, makin kecil makin baik." Diam-diam ia melirik ke arah kakinya yang biarpun tidak besar dan mungi namun tidak bisa dibilang kecil seperti kaki wanita dusun yang semenjak bayi dibungkus dan diikat.

   "Mana bisa dibilang baik? Kaki kecil bengkok, jalannya terpincang-pincang. Ah, tak sudi aku dekat wanita demikian. lemah berpenyakitan. Idaman hatiku, kalau orang buruk rupa dan bodoh semacam aku ini laku kawin, calon isteriku harus seorang wanita yang gagah perkasa. Tak usah dibilang lagi kalau gagahnya seperti engkau, nona, baru memiliki kegagahan setengah kepandaianmu saja, aku sudah akan merasa bahagia sekali. Kalau......... andaikata....... dia itu seperti engkau baik rupa maupun kepandaian....... ah. aku....... aku mau berlutut di depannya, nona!" Sambil berkata demikian, Cui Kong betul betul menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng.

   Demikian pandainya Cui Kong mengambil hati! Ceng Ceng cepat membalikkan tubuh tidak mau menerima penghormatan itu sambil berkata.

   "Jangan begitu! Tidak patut orang-orang muda seperti kita bicara tertang perjodohan. Itu urusan orang tua. Berdirilah agar kita bisa bicara dengan baik." Diam-diam gadis ini merasa girang sekali hatinya. Sudah lama ia mengidamkan seorang calon suami yang tidak saja tampan dan halus budinya, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang melebihi kepandaiannya. Dan pemuda ini tidak saja sudah memenuhi semua syarat, bahkan terang-terangan sudah menyatakan cinta kepadanya!

   "Kau tidak marah? Terima kasih, nona. Agaknya hari ini Thian menuntunku ke jalan babagia." Cui Kong berdiri dan nona itu kembali menghadapinya.

   "Seperti juga kau. aku dipaksa oleh ayah untuk menikah dengan seorang pemuda yang tidak kusetujui. Aku tadinya hendak dipaksa menjadi jodoh seorang pemuda bernama..... Tiang Bu."

   Kalau Cui Kong tidak mempunyai kepandaian menguasai diri, tentu ia akan tersentak kaget mendengar disebutnya nama ini. Hendak dijodohkan dengan Tiang Bu pemuda sakti itu, Hatinya berdebar keras. Alangkan kebetulan. Kalau ia bisa mendapatkan gadis ini, tidak saja hatinya akan puas karena memang ia tertarik dan cinta kepada Ceng Ceng, Akan tetapi juga sekaligus itu merupakan pukulan terhadap Tiang Bu, merupakan sebagian dari pada balas dendam kepada pemuda yang dibencinya itu.

   "Mengapa kau tidak setuiu, nona? Apakah Tiang Bu itu seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian silat?" ia pura-pura bertanya.

   Ceng Ceng tersenyum.?Tentang kepandaian silat aku sama sekali tidak dapat menang melawan dia, mungkin kau dapat mengalahkannya. Hemm, aku ingin sekali melihat kan dan dia bertempur.?

   Diam-diam Cui Kong mengeluh di dalam hatinya. Kalau saja Ceng Ceng tahu betapa Tiang Bu sudah membikin kocar.kacir Ui-tiok-lim! Dikeroyok tujuh saja masih tidak kalah, bagaimana Cui Kong harus menghadapi Tiang Bu seorang diri? memikirkan hal ini saja bulu tengkuknya sudah berdiri saking ngerinya.

   "Ah, kalau begitu dia seorang yang berkepandaian tingi? Mengapa kau menolaknya. nona?" tanyanya menyimpangkan pembicaraan tentang kepandaian silat. Kemudian disambungnya cepat agar dianggap sopan.

   "Ah, maaf beribu maaf, sebetulnya tidak patut aku berlancang mulut. Mulutku patut digampar!"

   Cenga Ceng yang tadinya hendak marah menjadi tersenyum.

   "Apakah kepandaian tinggi saja cukup menjadi syarat perjodohan? Kalau hati tidak suka, siapa bisa memaksaku?"

   Cui Kong bertepuk tangan, wajahnya berseri.

   "Bagus! Barus! Memang menjadi orang muda barus demikian. Aku girang sekali bahwa ternyata pendirianku ada yang menyamai, keadaanku dan keadaanmu cocok sekali, nona."

   Kembali Ceng Ceng menjadi merah mukanya, akan tetapi dia memang bukan gadis pemalu. Ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik, lalu bertanya.

   "Kau telah memperkenalkan nama, akan tetapi siapa she (nama keturunan) mu? Dan kemana kau hendak pergi?"

   "Aku she Kwe dan seperti juga kau, aku pergi merantau menjauhkan diri dari paksaan ayah angkatku." Kemudian ia berkata dengan sikap sungguh-sungguh.

   "Nona Lie Ceng, aku Kwee Cui Kong biasa bicara jujur dan terbuka, sesuai dengan sikap orang gagah yang tidak suka menyimpan perasaan sendiri sebagai rahasia. Terus terang nona. Begitu bertemu dengan nona, apa lagi setelah mengadu kepandaian, aku merasa cocok sekali denganmu, dan....... apa bila nona setuju?.. maafkan kelancanganku karena aku suka berterus terang menyatakan isi hatiku, apabila nona setuju, aku ingin ikut nona menemui orang tua nona untuk........ untuk mengajukan pinangan atas diri nona."

   Dapat dibayangkan betapa likat dan malu rasa hati Ceng Ceng sebagai seorang dara mendengar kata-kata yang terus terang seperti ini. Akan tetapi diam-diam ia memuji keberanian pemuda ini dan sama sekali ia tidak bisa marah karena memang pemuda ini tidak bisa dibilang kurang ajar. Bahkan ucapan itu membuktikan betapa jujur dan gagah sikapnya! Memang Ceng Ceng hanya pandai ilmu silat akan tetapi pengalamannya masih hijau sekali. Tentu saja menghadapi seorang "buaya " seperti Cui Kong, ia terpikat!

   Sampai lama Cang Ceng tidak bisa bicara, akhirnya sambil menundukkan muka ia berkata.

   "Urusan jodoh urusan orang tua, bagaimana jika kau hendak bertemu sendiri dengan ayah bundaku?"

   Sudah menang setengah bagian, pikir Cui Kong! Terang gadis ini setuju, kalau tidak masa bertanya demikian, tentu marah. Kalau gadis ini marah dan menolaknya, tentu Cui Kong hendak menggunakan kekerasan menculiknya, akan tetapi ia lebih senang mengambil jalan halus karena memang kali ini ia bersungguh-sungguh, begitu berjumpa dengan Ceng Ceng ia tertatik sekali. Apa lagi kalau diingat bahwa dara ini puteri Pek-tbouw-tiauw-ong, dia harus berhati-hati.

   "Ucapanmu itu memang tepat sekali, nona, dan akupun tentu akan mematuhi peraturan dan kesopanan. Akan tetapi apa mau dikata, seperti tadi telah kuceritakan, aku adalah seorang anak yatim piatu, tiada ayah bunda lagi........" Sampai di sini dengan pandai sekali sepasang mata Cui Kong menjadi basah oleh air mata! "Ayah angkatku memaksaku menikah dengan seorang gadis kampungku puteri seorang hartawan, kalau kuceritakan kepadanya tentang niatku ini sudah pasti ia akan marah-marah dan menolak. Oleh karena itu, lebih baik aku datang sendiri kepada ayah bundamu dan menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi waliku sehingga terpaksa aku mengajukan pinangan sendiri. Nona Lie yang mulia. sudikah kau menyetujui permohonanku ini?"

   Ceng Ceng menjadi terharu. Hatinya sudah jatuh betul-betul. akan tetapi sebagai seorang gadis terhormat, bagaimana dia bisa menjawabnya? Tiba-tiba kudanya meringkik dan menggaruk-garuk tanah dengan kaki depan. Kuda itu sudah tidak sabar dan minta diberi kesempatan lari.

   "Aku memang hendak manyusul ayah di kota Kiu-kiang. Kalau kau hendak mencari kami, datang saja di Telaga Po-yang, di sana ayah mempunyai perahu besar tempat kami pelesir. Nah, aku pergi dulu!" Dengan gerak ringan sekali Ceng Ceng melompat ke atas punggung kudanya. Sekali menarik kendali kuda itu meringkik dan melompat jauh terus berlari cepat.

   "Nona, bagaimana aku tahu yang mana perahu ayahmu?" Cui Kong berteriak keras.

   "Cari saja burung pek-thouw-tiauw, tentu ketemu!" jawab Ceng Ceng sambil menoleh dan melambaikan tangannya. Kemudian kuda itu membalap cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan. Cui Kong berdiri bengong, merasa hatinya dan semangatnya terbawa lari oleh kuda itu. Akhirnya ia menghela napas panjung dan berkata heran,

   "Cui Kong... Cui Kong.... mengapa hatimu seaneh ini? Hemm, banyak sekali wanita cantik, akan tetapi tak seorangpun dapat menandingi Ceng Ceng. Dia itulah calon isteriku! Aku harus mendapatkan dia!" Kemudian iapun lari cepat menuju ke Kiu-kiang.

   Telaga Poyang adalah sebuah telaga besar di Propinsi Kiang-si. telaga yang indah dan juga ramai. Telaga ini menjadi pusat keramaian dan tempat orang berpelesir, terutama sekali oleh karena letaknya di dekat kota-kota besar seperti Nan ciang dan lain-lain. Para saudagar tidak ada yang tidak melewatkan waktu untuk mengunjungi telaga ini apa bila maraka kebetulan lewat di daerah ini, juga para pembesar setempat selalu menghibur hati di telaga dengan perahu-perahu mereka yang serba mewah dan indah. Telaga ini menjadi pusat para seniman di mana mereka menvari ilham di tempat sunyi indah ini untuk menghasiIkan karya-karya besar. Hanya rakyat kecil, kaum petani dan nelayan yang agaknya tidak menaruh perhatian atas segala keindahan alam ini, pandangan mata mereka jauh sekali bedanya dengan orang-orang kota itu.

   Mengapa demikian? Oleh karena rakyat kecil yang selamanya tinggal di dusun-dusun ini sudah biasa dengan segala keindahan alam semenjak mereka kecil. Mereka telah menjadi satu dengan keindahan tamasya alamsehingga para pelukis dan penyajak tidak pernah lupa menyebut mereka ini dalam lukisan atau sajak mereka. Memang sagala keindahan itu akan kehilangan rasanya apabila telah dimiliki.

   Di antara puluhan buah perahu indah millik para pembesar dan saudagar, terdapat sebuah perahu cat putih yang sedang saja besarnya. Akan tetapi tentu saja sudah termasuk besar dan mewah apa bila dibandingkan dengan perahu-perahu butut milik para seniman dan nelayan yang banyak berkeliaran di permukaan telaga. Perahu bercat putih ini sudah tiga bulan berada di situ, dimiliki oleh sepasang suami isteri pendekar yang amat ternama, yaitu Pek-thouw tiauw ong Lie Kong dan isterinya Souw Cui Eng. Bagi orang-orang yang sudah biasa merantau di dunia kangouw, melihat dua ekor burung pak-thouw-tiauw yang sering kali hinggap di atas perahu atau terbang berputaran di atasnya, tentu akan mengenal siapa pemilik perahu itu.

   Pada suatu pagi, ketika matahari mulal memancarkan sinarnya di permukaan telaga suami isteri pendekar ini sudah kelihatan duduk di atas dek perahu mereka. Sudah jadi kebiasaan mereka untuk "mandi cahaya matahari" di waktu pagi yang merupakan sebagian dari pada latihan mereka sehingga tubuh selalu sehat dan awet muda. Inilah saatnya mereka bercakap cakap dengan asyik, si isteri melayani suami minum teh hangat dan sekedar santapan pagi.
(Lanjut ke Jilid 27)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
"Heran mengapa Ceng Ceng masih juga belum kembali? Apa dia lupa bahwa dalam bulan ini kita akan meninggalkan Po-yang?" terdengar Lie Kong berkata sambil menghirup teh panasnya.

   "Anak ini kalau sudah bertamasya lupa waktu." jawab Souw Cui Eng.

   "Akan tetapi pada saatnya ia tentu akan datang. Biarpun suka pelesir, Ceng Ceng selalu ingat akan pesan kita. Kurasa sebelum lewat bulan ini tentu ia akan pulang."

   Lie Kong menarik napas panjang.

   "Tabun ini Ceng Ceng sudah berusia delapan belas lebih, dan kita belum mendapatkan calon jodohnya......."

   Isterinya juga menarik napas panjang.

   "Anak itu agak bandel. Akupun sudah setuju sekali kalau dia menjadi isteri Tiang Bu pemuda yang sakti itu. Akan tetapi, aahhh, memang Ceng Ceng amat bandel?.."

   "Tunggu saja sampai kita bertemu dengan keluarga di Kim-bun-to, tentu hal perjodohan ini akan kujadikan," kata Lie Kong,

   Tiba-tiba terdengar pekik nyaring. Suami isteri itu menoleh ke darat sebelah timur sambil mengerutkan kening. Sekali lagi pekik terdengar dan tak lama kemudian seekor buruag rajawali berkepala putih datang beterbangan di alas perahu, berputar-putar sambil cecowetan.

   "Hemm, betinanya ke mana?" tanya Lie Kong sambil memandang burungnya itu.

   "Celaka, tentu terkena bencana. Hayo kita lihat!" kata isterinya yang amat sayang kepada separang burungnya. Suami isteri ini cepat minggirkan perahu, diikuti oleh pok-thouw-tiauw dari atas. Dengan sigap mereka melompat ke darat meninggalkan perahu lalu berlari mengikuti burung mereka yang menjadi penunjuk jalan.

   Burung itu terbang terus ke sebuah hutan kecil di sebelah timur telaga. Setelah memaauki hutan, mereka melihat enam orang laki-laki aneh yang berdiri saling berhadapan. Lie Kong dan isterinya berdiri bengong seperti patung! Apa yang mereka lihat memang luar biasa anehnya. Tiga di antara enam orang itu pernah mereka lihat, yaitu bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui (Tiga Iblis Kutub Utara) yang bernama Giam lo-ong Ci Kui, Liok-to Mo-ko Ang Bouw, dan Sin sai-kong Ang Louw.

   Akan tetapi, tiga orang ini sekarang berdiri berhadapan dengan tiga orang Pak kek Sam-kui pula! Tegasnya pada saat itu terdapat dua orang Ci Kui, dua orang Ang Bouw, dan dua orang Ang Louw. tiga pasang manusia kembar yang sukar sekali dibedakan mana aseli mana palsu! Hanya bentuk pakaian mereka yang agak berbeda, selebihnya mereka serupa benar. Saking heran dan terkejut menyaksikan pemandangan ganjil ini, Lie Kong dan isterinya sampai tak dapat mengeluarkan suara. Burung pek-thouw-tiauw betina sedang dipegang sayapnya oleh seorarg Ci Kui dan burung itu sama sekall tak dapat berkutik. Memegang burung besar yang amat kuat seperti itu menunjukkan keahlian sipemegangnyaa.

   "Ha, pemilik pek thouw tiauw sudah datang kau masih juga belum melepaskannya!" kata Ci Kui kedua kepada Ci Kui pertama. Ci Kui yang memegang burung mengeluarkan ketawa sambil memandang kepada Lie Kong, agaknya ia jerih dan sekali menggerakkan tangan, burung pek thouw tiauw betina itu sudah terbang tinggi mengeluarkan pekik marah.

   Ci Kui kedua yang menyuruh Ci Kui pertama tadi lalu menjura kepada Lie Kong.

   "Si-cu harap sudi memaafkan kami. tiga orang adik kakak ini membuat kesalahan terhadadap sicu, kami yang mintakan maaf. Sekarang kami enam orang kakak beradik masih mempunyai urusan penting sekali, harap sicu mengalah dan mundur."

   Lie Kong cepat-cepat mengerahkan tenaganya ketika dari sepasang kepalan itu menyambar angin yang amat kuatnya. Ia membari penghormatan itu dengan merangkap kedua tangan ke dada dan digerakkan ke depan. Dua tenaga dahsyat saling bertemu dan Lie Kong tergeser sedikit kaki kirinya, tanda bahwa orang tinggi kurus itu benar-benar lihai sekali. Hal ini mengejutkan hati Lie Kong. Ia tahu bahwa tiga orang Pak kek Sam kui lihai, akan tetapi tidak mungkin seorang saja dari mereka dapat menandinginya. Akan tetapi karena orang bicara dengan cengli (menurut aturan), iapun tidak mau banyak cakap. Burungnya tidak terganggu, mengapa ia harus banyak ribut? Ia mengangguk kepada isterinya, lalu mengundurkan diri.

   Akan tetapi oleh karena hutan itu tempat umum, ia berani dengan isterinya duduk di bawah pohon agak jauh dari situ untuk melihat apa yang selanjutnya akan terjadi antara tiga pasang manusia kembar yang aneh-aneh seperti siluman itu. Dua pasang Pak-kek Sam kui selanjutnya tidak memperdulikan lagi akan hadirnya Lie Kong dan isterinya dan mereka saling berhadapan, sikap Pak-kek Sam kui pertama menantang dan Pak-kek Sam -kui kedua sikapnya tenang, sabar membujuk.

   "Bagaimana, apakah kalian masih berkeras kepala tidak mau ikut kami pulang ke utara?" terdengar Ci Kui kedua bertanya.

   Ci Kui pertama menjawab.

   "Tidak! Kami bebas melakukan apa saja yang kami sukai dan kalian tak perlu mencampuri urusan kami!" Agaknya seperti juga Ci Kui kedua, yang pertama inipun mewakili kawan-kawannya.

   "Hemmm, kalian ini benar-benar tak tahu diri. Kami sebagai saudara-saudara tua masih bersikap sabar sekali. Kalian patut dilenyapkan dari muka bumi. Kalian secara tak tahu malu sekali mencemarkan nama saudara tua, membantu manusia manusia jahat dan pengkhianat semacam Liok Koug Ji dan Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Di mana sifat kegagahanmu? Raja besar kami sedang sibuk memukul ke barat, kalian anak-enak hedak mengikuti Liok Kong Ji yang bersembunyi di Pulau Pek-houw-to (Pulau Harimau Putih) di laut selatan. Sudah banyak kejahatan kalian lakukan sebagai kaki tangan Liok Kong Ji sudah banyak kalian membuat permusuhan dengan orang-orang gagah di dunia selatan. Dari pada kelak kalian mampus di tangan orang-orang gagah, lebih baik sekarang kalian roboh oleb tangan kami sendiri."

   Mendengar ini, Pak-kek Sam-kui pertama menggereng marah dan mereka mulai menyerang. Ci Kui pertama menyerang kakaknya, demikian pula Ang Bouw dan Ang Louw. Pertempuran hebat terjadi, pertempuran aneh antara orang-orang kembar yang aneh!

   Memang membingungkan sekali melihat pertempuran antara orang-orang ganjil itu. Sabenarnya, tiga orang yang biasa disebut Pak-kek sam-kui yaitu yang sekarang menjadi Pak-kek Sam-kui pertama, adalah adik-adik kembar dari Pak kek Sam kui ke dua. Mereka adalah tiga pasang orang kembar dari daerah Mongol yang semenjak kecil menjadi sahabat.

   Kemudian setelah mereka dewasa, mereka terpisah, merupakan dua kolompok. Yang tua melanjutkan ilmu mereka, menyembunyikan diri di gunung sedangkan yang muda. yaitu Pak-kek Sam-kui yang sudah banyak dikenal, membantu perjuangan Temu Cin atau Jengis Khan. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Pak-kek Sam-kui ini terpikat oleh Li Kong Ji dan menjadi kaki tangannya.

   Ketika saudara saudara tua mereka mendengar akan penyelewengan adik-adiknya ini mereka turun gunung, membantu Jengis Khan kemudian mereka menuju ke selatan untuk mencari adik-adik mereka yang mengikuti Li Kong Ji. Tidak mengherankan apabila kepandaian mereka lebih tinggi dari pada Pak kek Sam-kui yang sudah dikenal Lie Kong.

   Sekarang dapat menduga pula akan hal itu setelah mendengar percakapan tadi. Yang menggirangkan hatinya adalah berita tentang tempat tinggal Liok Kong Ji, akan tetapi berbareng juga membuatnya tidak mengerti. Ia sedang berusaha mencari Ui tiok lim tempat tinggal Liok Kong Ji untuk mencari kembali kitab Omei-san yang dirampas oleh dua orang gadis Ui-tiok-lim dari tangan Ceng Ceng. Mengapa sekarang Liok Kong Ji sudah ke Pek-houw-to?

   Ketika ia memandang ke arah pertempuran, mudah saja ia menduga bahwa tak lama lagi Pak kek Sam-kui yang muda akan kalah. Pertempuran itu memang hebat, dilakukan dengan tangan kosong saja akan tetapi angin pukulan mereka membuat batang pohon bergoyang-goyang dan daun-daun rontok semua seperti ada enam ekor gajah mengamuk.

   Betul saja dugaannya, hampir berbareng tiga orang Pak-kek Sam-kui yang muda terpukul roboh dan pingsan. Masing-masing mengangkat adik sendiri, memanggulnya dan tanpa menoleh lalu lari pergi dari situ.

   "Sam-bengcu, tunggu!" teriak Lie Kong sambil melompat mengejar.

   "Hendak kutanya sedikit, bukankah Liok Kong Ji berada di Ui tiok-lim? Mengapa sam-wi tadi mengatakan dia sudah pindah ke Pek-houw to?"

   Si jangkung gundul yang memanggul tubuh Ci Kui menengok dan berkata,?Kami juga tadinya menyusul ke Ui-tiok-lim, ternyata di sana sudah rusak, dihancurkan oleh seorang pemuda perkasa bernama Tiang Bu. Sekarang Liok Kong Ji dan Cun Gi Tosu berada di Pek-houw-to, kedudukan mereka lebih kuat lagi!" Setelah berkata demikian, bersama kawan-kawannya ia lari cepat sekali, sebentar saja sudah lenyap dari situ.

   Lie Kong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya.

   "Benar benar banyak sekali orang pandai di dunia ini. Baiknya tiga orang saudara tua Pak-kek Sam kui itu tergolong orang orang baik, kalau mereka jahat seperti adik-adiknya, entag siapa yang dapat menghadapi mereka. Sekarang kita sudah tahu bahwa Liok Kong Ji berada di Pek houw to, tentu kitab Pat-sian-jut-bun juga ia bawa ke sana. Kita menanti kembalinya Ceng Ceng, kemudian kita harus mengejar ke Pek-houw to."

   Suami isteri ini lalu kembali ke perahu mereka di Telaga Po-yang. Alangkah kaget dan girang hati mereka melihat Ceng Ceng sudah tiba di situ, kudanya ditambatkan di pinggir telaga dan gadis itu sendiri duduk melamun di atas dek perahu.

   "Ceng Ceng.......!" ibunya berseru girang.

   "Ayah.......! Ibu.......!" seru gadis itu, sadar dari lamunannya.

   Setelah bertemu dengan ayah bundanya, Ceng Ceng mendapatkan kembali kelincahannya dan sebentar saja ia sudah sibuk manceritakan pengalaman perjalanannya kepada ayah bundanya. Diceritakannya keindahan alam yang dilihatnya di Tapie-san, tentang para petani dan tentang bagaimana ia membantu anak petani menangkap burung. Akhirnya ia berkata tentang Cui Kong setelah bicara tentang hal yang sepele-sepele.

   "Ayah, Aku bertemu dengan seorang pemuda dan aku....... aku kalah bertanding ilmu silat olehnya."

   "Mengapa kau bertempur dengan orang?" kontan ayahnya menegur.

   "Dia mengalahkanmu! Waah, tentu dia lihai sekali?. Siapa pemuda itu? Agaknya kau kagum padanya," komentar Ibunya. Memang wanita lebih tajam perasaannya dalam hal ini.

   Ceng Ceng sekaligus menjawab pertanyaan ayah dan ibunya.

   "Aku salah kira, tadinya ia kusangka pencuri kudaku, tidak tahunya dia malah yang merampas kembali kudaku dari tangan pencuri." Dengan singkat dia menceritakan pengalamannya tentang kuda yang dicuri orang pada malam hari, lalu tentang pertemuannya dengan Cui Kong.

   "Kami bertempur, mula-mula dengan senjata lalu bertangan kosong. Akan tetapi dua kali aku kalah. Dia she Kwee seorang yatim piatu......"

   "Eh. eh. alangkah tak patutnya kau sampai berkenalan dengan orang asing!" tegur Lie Kong.

   "Habis dia memperkenalkan diri, masa aku harus menutupi kedua telingaku," bantah Ceng Ceng manja.

   "Dia...... dia bilang mau datang ke sini...... mau berjumpa dengan ayah ibu....." Sampai di sini muka gadis itu menjadi merah sekali dan ia berlari memasuki kamarnya sambil berkata.

   "Ayah, aku lelah sekali hendak mengaso."

   Lie Kong saling pandang dengan isterinya, lalu keduanya mengangguk-angguk maklum.

   "Bagaimanapun juga, kita harus berlaku hati-hali dalam memilih calon jodohnya," kata Lie Kong dan untuk ini isterinya setuju.

   Pada keesokan harinya, Cui Kong sudah tiba di tepi Telaga Po-yang karena ia telah melakukan perjalanan cepat sekali. Banyak terdapat perahu-perahu besar di telaga yang luas itu. Akan tetapi tidak sukar untuk mencari perahu yang dimaksudkan oleh Ceng Ceng. Dari tepi pantai ia sudah melihat dua ekor burung, yang seekor hinggap di atap perahu, yang seekor lagi beterbangan di atap perahu, berputaran. Burung-burung yang indah dan besar.

   Berdebar hati Cui Kong. Ia sudah mendengar nama besar Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong, yang berilmu tinggi, juga kabarnya Lie adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Ia tahu pula bahwa ayahnya tidak cocok dengan suami isteri pendekar ini dan bahwa dahulu ketika beramai-ramai menyerbu ke Omei-san suami isteri inipun mendapatkan sebuah kitab yang akhirnya terjatuh ke tangan ayah angkatnya. Ia harus berlaku hati-hati dan pandai beraksi.

   Disewanya sebuah perahu kecil dan didayungnya perahu itu ke tengah telaga, mehampiri perahu cat putih yang kelihatannya tidak ada penghuninya. Akan tetapi setelah perahu kecilnya mendekati perahu besar cat putih itu, tiba-tiba terdengar suara bersuit dan burung pek thouw tiauw yang yadinya enak enak melengut di atas atap perahu mengulur kepala dan memandang ke arah perahu kecil kemudian ia terbang menyambar menyerang Cui Kong dengan ganasnya!

   Cui Kong adalah seorang cerdik. ia dapat menduga bahwa perbuatan burung ini tentu ada yang mengaturnya. Kalau burung itu memang liar dan menyerang semua orang asing, sudah tentu telaga itu takkan aman. Setiap orang tentu akan diserang burung ini dan sebentar saja telaga itu akan kosong ditinggal pergi para pengunjung. Jadi jelas bahwa burung ini tentu ada yang memerintah maka menyerangnya. Dan justeru dia yang diserang! Pasti orang yang menyuruhnya itu hendak nenguji sepandaiannya. Dia tadi sudah mendengar suitan nyaring sebagai tanda, Ceng Cengkah gerangan yang menyuruh burung itu menyerangnya? Tak mungkin.

   Gadis itu "ada hati" kepadanya, tak mungkin hendak mencelakainya dan untuk coba-coba, gedis itu sudah cukup tahu akan kepandaiannya. Tak bisa salah lagi, pikirnya, tentu pemilik burung itu, Pek-thouw-tiauw-ong sendiri atau isterinya yang menyuruh burung rajawali ini menyerangnya. Dan ini-pun tidak mungkin kalau tidak ada sebabnya. Pek-thouw.tiauw-ong dan isterinya belum mengenalnya, mengapa turun tangen? Jawaban satu satunya, cukup mudah, tentu Ceng Ceng sudah menceritakan hal dirinya kepada ayah bundanya dan sekarang begitu tiba ia diuji oleh ayah gadis itu yang ingin melihat sendiri sampai di mana kelihaian pemuda yang dibicarakan oleh anaknya!

   Cui Kong memikirkan ini semua sambil mengelak. Sedikit saja miringkan tubuh patukan dan cakaran burung itu mengenai tempat kosong. Lewatnya tubuh burung besar itu membawa angin yang cukup santer, membuat ikat kepala Cui Kong berkibar-kibar.

   Memang dugaan Cui Kong tepat sekali. Da balik dinding balik perahu, Lie Kong, isterinya dan Ceng Ceng mengintai ke luar dan tad Lie Kong yang memberi aba-aba kepada burung rajawalinya untuk "mencoba? kepandaia pemuda yang ditunjuk oleh puterinya. Melihat betapa mudahnya Cui Kong menghindarkan sambaran burungnya, kembali Lie Kong bersuit lebih keras. Sekarang tidak saja burung betina yang tadi menyerang pula, bahkan burung jantan yang beterbangan di atas ikut pula menyambar dan mengepung Cui Kong.

   Cui Kong terkejut. Ia maklum bahwa burung itu kuat bukan main dan sekali kena disamhar, buarpun ia depat mengebalkan diri dan tidak terluka, akan tetapi ada bahayanya, ia akan terlempar dari perahu dan jatuh ke dalam air telagu! Tentu saja dengan pukulan tin-san-kang ia dapat memukul mampus dua burung itu, akan tetapi inipun tidak baik. Kalau ia membikin mati burung-burung kesayangan orang tua Ceng Ceng. bukankah berarti ia akan mengecewakan dan membikin marah Pek.thouw tiauw ong Lie Kong? Kalau terjadi demikian, mana ada harapan baginya untuk meminang gadis itu?

   Pada saat yang kritis ini, Cui Kong mendapt pikiran baik. Perahu itu adalah perahu nelayan dan di pojok perahu terdapat sebuah jala ikao. Cepat ia menyambar jala itu dan begitu dua ekor burung menyambar dekat, ia menggetakkan jala ikan ke atas memapaki. Jala itu milik seorang nelayan miskin, sudah robes-robek dan butut. Alan tetapi di dalam tangan Cui Kong yang memiliki lweekang tinggi, jala itu rupakan senjata hebat. Sekali lempar saja ia telah berhasil menangkap dua ekor burung itu ia dalam jala. Cepat ia memutar-mutar jala itu sehingga tubuh dan kaki dua pek-thouw-tiauw itu tergubat sama sekali. Dua ekor burung itu meronta kuat, namun Cui Kong lebih kuat lagi. Dengan tenang Cui Kong lalu menggenjot tubuhnya dan melompat ke atas dek, jala terbuka dan dua ekor burung tadi terbang tinggi sambil berteriak-teriak ketakutan!

   Lie Kong dan isterinya kagum sekali. Kini mereka percaya bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada Ceng Ceng. Cara yang dipergunakan untuk menghadapi dua ekor burung pek thouw-tiauw tadi saja sekaligus telah membuktikan adanya kecerdikan, kegesitan dan tenaga lweekang yang mengagumkan.

   Muncullah Lie Kong den Souw Cui Eng dari dalam bilik perahu, diikuti oleh Ceng Ceng yang menundukkan muka kemalu-maluan dan mengerling dengan ekor matanya ke arah Cui Kong. Pemuda itu cepat-cepat menjatuhkan berlutut di depan Pek thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya sambil berkata,

   "Mohon locianpwe yang budiman sudi memaafkan boanpwe yang berlaku lancang. Tanpa diundang boanpwe Kwee Cui Kong berani lancang naik ke perabu locianpwe, tidak lain oleh karena di tengah jalan boanpwe mendapat kehormatan bertemu dengan puteri locianpwe yang terhormat. Boanpwe sudah berjanji hendak datang ke sini menghadap locianpwe berdua."

   Sow Cui Eng berseri girang melihat sikap yang amat sopan santun dan merendah dari pemuda ini. Benar-benar seorang pemuda yang pandai membawa diri, tepat sekali menjadi mantuku, pikirnya. Akan telapi Lie Kong mengerutkan alisnya. Hatinya tak senang melihat sikap berlebih-lebihan dan agak menjilat dari pemuda ini. Bukan sikap seorang gagah, pikirnya. Akan tetapi oleh karena orang sudah berlutut, tidak baik kalau tidak disambut. Ia lalu membungkuk dan berkata.

   "Orang muda, jangan terlalu sungkan, bangunlah." Dipegangnya kedua pundak Cui Kong untuk ditarik baneun tambil dikerahkan sedikit tenaganya.

   Merasa betapa dua tangan itu mengenai pundaknya seperti bukit karang menindihnya, Cui Kong cepat-cepat mengerahkan lweekangnya menahan sehingga Lie Kong memegang pundak yang lunak seperti tidak bertulang. Pek-thouw-tiauw-ong mengangpuk-angguk. Diam-diam ia agak terkejut karena dari sentuhan ini ia dapat menaksir babwa tenaga lweekang pemuda ini sudah hampir mengimbanginya.

   "Bangunlah, aku sudab tahu akan kepandaianma yang tinggi."

   Setelah Cui Kong bangkit berdiri, kembali Lie Kong mengerutkan keningnya. Sepasang mata pemuda ini benar-benar tidak menyenagkan perasaan batinya. Mata yang tajam liar, mengsndung sesuatu yang mangerikan seperti bukan mata manusia. Mata Iblis! Sabaliknya, Souw Cui Eng memandang kagum kepada pemuda ini. Dia juga tahu betapa suaminya telah mencoba tenaga pemuda yang agaknya menjadi pilihan hati puterinya.

   "Sekarang katakan apa kehendakmu mengunjungi kami," tanya Lie Kong, suaranya dingin dan tenang. Hati Cui Kong berdebar. Suara ini nadanya tidak memberi banyak harapan, akan tetapi ia dapat menenteramkan hatinya, menarik napas panjang lalu berkata,

   Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Maafkan, boanseng yang berani mati menghadap locianpwe mengandung maksud hati. Bososeng sudah bertemu dengan puteri locianpwe, tak disengaja mencoba kepandaian dan boanseng menganggap di dunia ini tidak ada gadis yang lebih sampurna dari pada puteri loeianpwe. Oleh karena itu, melupakan kerendahan diri sendiri, bounseng datang untuk mohon tangan puteri locianpwe......."

   "Hemm, orang muda berani mati! Mana ada aturan orang meminang sendiri?" bentak Lie Kong.

   "Boanpwe seorang yatim piatu, hidup sebatangkara di atas.dunia tiada sanak kadang. siapa yang sudi menjadi wali boanpwe?"

   "Menilik gerakanmu tadi, kau seorang ahli waris kepandaian dari utara, siapa -gurumu dan mengapa gurumu tidak mewakilimu mengajukan pinangan?"

   Cui Kong terkejut. Alangkah tajam pemandangan pendekar ini. Ketika ia mainkan dua ekor pek thouw tiauw tadi, ternyata pendekar ini sudah dapat melihatnya bahwa ia mewarisi ilmu silat utara.

   "Memang sesungguhnya boanpwe adalah murid seorang tosu perantau di perbatasan utara dan sekarang suhu telah meninggal dunia. Oleh karena tidak mempunyai wali lain, terpnaksa boanpwe memberanikan diri menghadap locianpwe," jawabnya sedih sekali. Ia dapat mengatur suaranya demikian berduka sehingga Ceng Ceng dan ibunya merasa terharu. Akan tetapi Lie Kong memandang tajam penuh selidik ke arah pemuda di depannya itu, kemudian ia berkata, suaranya tetap tenang akan tetapi dingin dan berpengaruh,

   "Orang muda, tidak gampang mendapatkan tangan puteri tunggal kami secara begitu saja. Kepandaianmu memang memenuhi syarat, cukup tinggi. Akan tetapi kepandaian tidak akan ada artinya kalau orang tidak dapat mempergunakannya untuk maksud baik. Sekarang dangarlah syarat kami. Kami telah kehilangan sebuah kitab pelajaran ilmu Silat Pat-siat-jut bun. Kitab itu dicuri oleh dua orang perempuan jahat dari Ui-tiok-lim, sarang penjahat iblis Liok Kong Ji. Kalau kau bisa merampas kembali kitab itu dan memberikannya kepada kami, nah, permintaanmu akan dapat kami pertimbangkan."

   Mendengar ini, berseri wajah Cui Kong. Kalau hanya itu syaratnya, apa sih sukarnya? Kitab pelajaran Pat sian-jut-bun telah berada di tangan ayahnya, dan bukan hal yang sukar baginya untuk mencurinya,

   "Baiklah, locianpwe. Boanpwe sanggup dan paling lama dalam waktu satu bulan kitab itu pasti akan boanpwe haturkan di depan locianpwe. Selamat tinggal, boanpwe bermohon diri." Setelah berkata demikian, Cui Kong memberi hormat kepada Lie Kong suami isteri, mengerling diiringi senyum manis kepada Ceng Ceng, kemudian dengan sigapnya ia meloncat ke atas perahu kecilnya yang masih tarapung-apung tak jauh dari situ. Ini saja sudah membuktikan kelihaiannya. Perahu kecilnya terpisah empat tombak lebih dan meloncat ke atas perahu kecil ringan yang bergoyang-goyang. Itu merupakan kepandaian ginkang yang tinggi.

   Karena terlampau girang mendengar syarat yang amat mudah baginya itu, Cui Kong berlaku kurang hati-hati. Ia tidak tahu betapa Lie Kong makin menaruh curiga kepadanya. Permintaan Lie Kong ini sebetulnya sama sekali tak boleb dibilang ringan. Bagi orang lain, merampas kembali kitab dari tangan Lie Kong Ji di Ui-tiok-lim, bukan hal semudah itu. Akan tetapi pemuda ini bahkan dengan muka berseri berani memastikan akan berhasil dalam satu bulan.

   Hal ini sudah merupakan jawaban yang amat mencurigakan Pertama, kalau pemuda itu tidak pasti akan berhasil, tak mungkin dia begitu bergembira. Ke dua. Ulan dia berani memastikan dapat berhasil dalam satu bulan, itu berarti bahwa pemuda ini sudah tahu akan kepindahan Liok Kong Ji ke laut selatan. Karena, andaikata mencari kitab itu ke Ui-tiok-lim, perjalanan pulang pergi saja ke Ui tiok-lim akan mamakan waktu berbulan-bulan!

   Pemuda itu mencurigakan sekali,? kata pendekar yang cerdik dan waspada ini.

   "siapa tahu kalau-kalau dia itu mempunyai hubungan dengan penjahat iblis Liok Kong Ji."

   "Akan tetapi sikapnya demikian sopan santun juga kepandaiannya demikian tinggi," bantah isterinya.

   Kau tabu apa?" kata Lie Kong mencela.

   "Dahulu di waktu mudanya Liok Kong Ji si Iblis juga seorang pemuda sopan dan berkepandaian tinggi."

   "Ayah menurut pendapatku. dia bukan orang jahat Buktinya dia telah merampaskan kembali kudaku dari tangan pencuri sela Ceng Ceng berani.

   Hem hem, apa kau melihat sendiri? Betul dia berkata demikian, akan tetapi kau tidak melihat sendiri ia bertempur melawan pencuri kuda."

   Kau memang terlalu curiga," mencela Souw Cui Eng kepada suaminya.

   "Kita lihat saja. Mudah-mudahan kecurigaanku keliru."

   Apa yang didengar oleh Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dari percakapan Pek-kek Sam-kwi tentang Liok Kong Ji memang betul. Orang yang licin sekali itu setelah terlepas dari tangan Tiang Bu dapat menyelamatkan diri dan pindah ke selatan. Ia merasa tidak aman. Tadinya hanya Wan Sin Hong seorang yang ia takuti. Malah belakangan ini ia tidak begitu jerih lagi terhadap Sin Hong setelah ia tinggal di Ui tiok-lim dan selain kepandaiannya sendiri sudah banyak maju, juga ia dilindungi oleh lima orang saudara angkatnya. Akan tetapi, sungguh tidak nyana sekali lima orang pembantunya itu tewas semua oleh Tiang Bu puteranya sendiri, putera keturunannya yang hanya satu-satunya.

   Malah ia sendiri hanya dengan kecerdikannya saja dapat meloloskan diri. Sekarang merasa makin tidak aman lagi, tahu bahwa Tiang Bu takkan mau berhenti mencarinya untuk membalas dendam, untuk membunuhnya. Kalau Kong Ji teringat betapa putera keturunannya sendiri hendak membunuhnya, mau tak man hatinya menjadi perih sekali. Ia takut melawan Tiang Bu, maklum bahwa kesaktian pemuda itu sekarang bahkan jauh melebihi kepandaian Sin Hong atau kepandaian tokoh yang manapun juga yang pernah ia ketahui.

   Kemudian ia teringat kepada Lo-thian tung Cun Gi Tosu, kakek buntung yang amat lihai. Hanya kakek buntung ini yang akan dapat membantunya. Dan kebetulan sekali, kakek itu sekarang sudah pindah ke selatan, tempat yang amat terpencil, di sebuah pulau kosong yang disebut Pek houw-to (Pulau Macan putih), Andaikata kakek itu masih berada di utara masih ada bahaya lain. Di utara adalah tempat pasukan-pasukan Mongol, ia tahu bahwa diam-diam Jengis Khan tidak suka kepadanya. Raja besar itu memberi hadiah kepadanya karena memang tadinya ia membantu, akan tetapi setelah ia mengundurkan diri tidak mau membantu penyerbuan orang Mongol ke barat, Jengis Khan menjadi curiga dan tentu akan mencelakainya.

   Demikian, Liok Kong Ji lalu pergi menyusul Cun Gi Tosu ke Pulau Pek-houw to. Ia diterima baik oleh kawannya ini yang maklum bahwa kedatangan Kong Ji berarti memperkut kedudukannya. Kong Ji diam-diam lalu mendatangkan selir-selirnya yang ia sayang, lima orang jumlahnya dan sebentar saja pulau kosong itu berubah menjadi ramai dan indah, berkat pembiayaan Kong Ji yang masih mempunyai harta simpanan. Hanya Cui Kong yang tidak betah tinggat lama-lama di pulau itu dan pemuda ini sering kali pergi merantau ke luar pulau.

   Di atas pulau ini, Liok King Ji memperdalam ilmu silatnya. Dengan tekun ia mempelari kitab-kitab dari Omei-san yang terjatuh ke dalam tangannya. Dia sendiri mendapatkan kitab Swat lian-kiam-coan-si yang sudah dilatih dengan baik, kemudian kitab silay Pat-sian-jut-bun yang didapatkan oteh Cui Lin din Cui Kim juga telah dipelajari sampai hafal benar. Akhirnya ia membuka-buka kitab Delapan Jalan Utama yang ia ambil dari mayat Toat-beng Kui bo. Tadinya Cun Gi Tosu yang mempelajari kitab ini, akan tetapi tosu ini terlalu bodoh sehingga mengira bahwa kitab ini hanya kitab pelajaran Buddha biasa saja.

   Akan tetapi begitu Kong Ji melihatnya dengan girang ia dapat memecahkan rahasia kitab itu. Sama sekali bukan hanya sekedar pelajaran kebatinan dari Agama Buddha, melainkan pelajaran ilmu silat yang amat hebat. Akan tetapi di samping kehebatannya, juga sukarnya bukan main sehingga payah Kong Ji mempelajarinya. Isi kitab ini mengandung delapan sari pelajaran lweekang dan penyatur hawa dalam tubuh, setiap pelajaran mempunyai pecahan-pecahan yang amat banyak.

   Setiap huruf mengandung pelajaran tinggi dan Kong Ji bukanlah seorang ahli dalam ilmu sastera, maka dapat dibayangkan betapa ia memeras otaknya dan dalam waktu setengah tahun ia baru dapat memetik buahnya dua saja di antara delapan mata pelajaran itu. Sungguhpun begitu, yang dua ini sudah mendatangkan kepandaian yang mujijat, tenaga lweekangnyat meningkat tinggi dan sinkang (bawa sakti) di dalam tubuh dapat ia salurkan sampai ke ujung pedang. Semua ini ia latih secara diam-diam. Cun Gi Tosu sendiri sampai tidak mengetahuinya.

   Demikianlah, sekali lagi Kong Ji mengalami hidup tenteram dan aman. Ia pikir, tak mungkin Sin Hong atau Tiang Bu dapat mencarinya. Andaikata mereka dapat mencarinya, ia juga tidak takut. Selain di sampingnya ada Cui Kong dan Cui Gi Tosu yang lihai, juga dia sendiri sanggup menghadapi mereka. Ia malah ingin sekali mencoba kepandaian barunya dengan Sin Hong atau Tiang Bu.

   Sementara itu, Wan Leng. puteri Sin Hong yang diculik oleh Cun Gi Tosu juga hidup di Pulau Pek Houw-to, ia dirawat oleh para selir Liok Kong Ji yang rata-rata sayang kepada bocah mungil ini. Juga Cun Gi Tosu kelihatan sayang kepada calon muridnya.

   Kita ikuti perjalanan Pendekar Sakti Wan Sin Hong yang mencari jejak Can Gi Tosu, penculik puterinya. Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah mengurus pernikahan antara Wan Sun dan Coa Lee Goat. Wan Sin Hong lalu meninggalkan Kim bun-to untuk pergi mencari puterinya yang diculik oleh Lethian-tung Cun Gi Tosu. Ia sudah mendengar bahwa bala tentara Mongol kini menghentikan serangannya ke selatan dan mengalihkan perahatiannya ke barat.

   Dan ia tahu bahwa musuh besarnya itu ialah pembantu orang Mongol, di samping Liok Kong Ji. Oleh karena itu, walaupun perjalanan ke utara amat berbahaya dan tidak sembarang orang berani ke sana, Sin Hong melupakan bahaya, merantau ke utara lewat perbatasan Tiongkok utara untuk mencari jejak musuh besar yang melarikan puterinya itu.

   Tepat sekali keputusan yang diambil Sin Hong untuk melakukan perantauan seorang diri tampa membawa isterinya, karena perjalanan yang ditempuhnya ini memang amat berbahaya. Sungguhpun isterinya juga gagah perkasa dan jarang ada orang yang mampu menandinginya, namun memasuki wilayah Mongol yang rakyatnya sedang bergolak itu, apa lagi menghadapi Cun Gi Tosu dan Liok Kong Ji, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya. Baru saja memasuki wilayah Mongol, selagi enak berjalan di dalam hutan belukar, tiba-tiba dari kanan kiri menyambar belasan batang anak panah yang cepat sekali datangnya!

   Baiknya Sin Hong bukan pendekar basa saja, melainkan seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi dan kewaspadaan yang mengagumkan. Begitu mendengar bersiutnya anak panah dan melihat sinar berkelebat dari kanan kiri, cepat ia telah menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri dan ujung lengan bajunya dengan tepat mengibas runtuh belasan anak panah itu.

   Melihat bentuknya anak panah yang bergerak lalu, tahulah Sin Hong bahwa dia dikepung orang Mongol. Memang anak panah Mongol amat terkenal dan di dalam perang di selatan yang lalu, tentara Tiong-goan kewalahan menghadapi serangan anak panah ya amat kuat dan laju ini. Benar saja dugaannya tempat yang tadinya sunyi itu tiba-tiba menjadi ramai dengan munculnya dua puluh orang Mongol dan terdengar suara kuda meringkik. Heran hati Sin Hong bagaimana kuda dapat dilatih sampai berdiam diri tanpa mengeluarkan suara apa-apa dalam pemasangan bai hok (barisan pendam) itu.

   Sambil berteriak-teriak menyeramkan, dua puluh orang Mongol seorang di antaranya berpakaian sebagai perwira, menerjang dan mengeroyoknya tanpa bertanya lagi. Ini tidak aneh karena dalam masa seperti itu, kedatangan seorang berpakaian seperti orang Han tentu dianggap musuh atau mata-mata. Senjata senjata bermacam macam, ada pedang, golok dan tombak. Bagaikan hujan sekalian sanjata itu menyambar ke arah tubuh Wan Sin Hong dan kalau semuanya mengenai tubuh, tentu tubuh itu akan menjadi hancur.

   Sin Hong tidak sudi hanyak bersoal jawab. Walaupun dia tidak perdulikan urusan negara dan perang, akan tetapi orang-orang Mongol sudah banyak merampok, membunuh dan membakari rumah rakyat, dengan demikian mereka menjadi juga musuhnya. Tampak sinar menyilaukan mata berkelebatan ke sana kemari, disusul jerit dan keluh kesakitan. Sebentar saja sembilan belas orang serdadu Mongol telah bergeletakan mandi darah di atas tanah dan perwira tadipun sudah kehilangan pedangnya dan sekali totok perwira itu menjadi lemas.

   Sin Hong sengaja tidak mau membunuh perwira itu.

   "Katakan di mana adanya thian-tung Cun Gi Tosu dan Liok Kong Ji." Sin Hong mengancam dengan ujung pedangnya.

   Semua perwira Mongol mempunyai ke gagajan yang luar biasa. Mereka itu rata-rata tidak takut mati dan melakukan perjuangan sampai titik darah penghabisan. Inilah sebuah di antara rahasia kekuatan balatentara Mongol, setia dan berdisiplin. Demikian pula perwira yang sudah terjatuh ke dalam tangan Wan Sin Hong ini. Dia sudah tertotok dan tubuhnya tak dapat bergerak pula. Akan tetapi ia masih dapat bicara dan mendengar pertanyaan serta ancaman musuhnya ini, ia tertawa besar.

   "Aku seorang perajurit sejati, sudah terjatuh ke dalam tangan musuh, mau bunuh mau siksa, silahkan. Kau kira aku takut mati?" jawabnya gagah.

   Diam-diam Sin Hong kagum sekali. Tadi pun ketika ia mengamuk, tak seorangpun antara para perajurit Mongol itu kelakutan atau melarikan diri, sungguhpun kawan-kawan mereka roboh seorang demi seorang oleh pedang pendekar sakti itu. Kalau saja bala tentara Kin demikian setia dan gagah berani tidak nanti Kerajaan Kin demikian mudah dibikin kocar kacir oleh Jangis Khan, pikir Sin Hong.

   "Kau benar-benar seorang tai-tiang-bu (seorang gagah setia) tulen. Aku suka benar akan orang yang berhati jujur dan setia. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku datang ke utara ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang, melainkan untuk urusan pribadi. Salahmu sendiri kau datang-datang menyerangku dengan anak buahmu sehingga terpaksa aku harus membela diri. Juga sedikitnya merupakan hukuman akan perbuatan terkutuk anak buahmu ketika menyerbu ke selatan. Aku menanyakan dua orang itu, terutama Lo-thian-tung Cun Gi Tosu, adalah karena urusan pribadi. Kau adalah pecundangku dan sudah menjadi hak yang menang untuk mengambil nyawa yang kalah. Akan tetapi melihat kesetiaan dan kegagahanmu, aku mau menukar nyawamu dengan keterangan di mana adanya dua orang itu, atau terutama sekali Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Agar kau tidak ragu-ragu, baik kau ketahui bahwa aku sedang mencarinya untuk merampas kembali puteriku yang ia culik." Sin Hong yang sudah banyak pengalaman dan amat cerdik itu tahu bahwa berhadapan dengan orang yang jujur dan setia seperti ini, lebih baik ia berterus terang.

   "Mata-mata selatan memang pandai menipu dan membohong," jawab Perwira Mongol itu berkeras.

   "Aku bukan mata-mata. Kalau aku mata-mata masa aku memasuki wilayah Mongol secara berterang begini?" Wan Sin Hong menjawab sabar.

   "Bagaimana aku bisa yakin sebelum tahu betul siapa kau? Siapa namamu?"

   Wan Sin Hong mulai jengkel. Dia menang dia yang menawan, akan tetapi sebaliknya dia malah "diperiksa" oleh tawanannya ini. Akan tetapi karena membutuhkaa keterangan di mana adanya musuh besarnya, ia menahan sabar dan menjawab,

   "Namaku Wan Sin Hong"

   Perwira itu membelalakkan matanya.

   "Kau....... Wan Sin Hong yang disebut Wan-bengcu? Raja besar kami sering kali menyebut-nyebut namamu sebagai seorang pendekar besar yang sakti, bukan pembela kerajaan selatan akan tetapi sayang tidak mau membantu pergerakan kami yang suci. Pantas saja aku dan sembilan belas orangku kalah! Ah, jadi kau Wan-bengcu.......?"

   "Apa kau sekarang mau menolongku?"

   "Tentu saja! Manusia-manusia macam Cun Gi Tosu dan Liok Kong Ji itu mana ada harga kulindungi namanya!" Sin Hong cepat membuka totokannya, membebaskan kembali orang itu.

   "Nah, ceritakanlah di mana mereka."

   "Mereka tidak membantu kami lagi. Malah mereka itu diancam oleh raja besar kami karena mereka mengingkari janji, tidak mau membantu penyerbuan ke barat. Kalau kami mendapat kesempatan menyerbu ke wilayah selatan lagi, manusia-manusia macam itu pasti akan kami binasakan! Menurut keterangan para penyelidik kami, Liok Kong Ji sekarang bersembunyi di Ui-tiok-lim di lembah Sungai Luan-ho di luar tembok Kota Raja Kin, sedangkan Cun Gi Tosu katanya melarikan diri ke selatan dan kabarnya tinggal di sebuah pulau kosong di laut selatan, namanya Pulau Harimau Putih."

   Wan Sin Hong percaya penuh. Keterangan seorang setia seperti ini tak mungkin bohong. Ia mengangguk-angguk lalu berkata.

   "Terima kasih aku harus kembali ke selatan."

   Perwira itu memandang kepadanya dengan mulut celangap.

   "Kau..... kau membebaskan aku? Tidak membunuhku?"

   "Mengapa harus kubunuh? Kita tidak bermusuhan."

   "Akan tetapi..... kalau aku menjadi engkau, setiap orang musuhku tentu akan kubunuh. Negara kita kan sedang saling berperang." Saking jujurnya perwira itu malah menyatakan keheranannya mengapa ia tidak dibunuh!

   Sin Hong tersenyum. Ia memang kagum sekali kepada orang ini, maka ia suka membuang waktu untuk memberi sedikit kuliah.

   "Perang adalah perjuangan bunuh membunuh di antara sesama manusia yang sama sekali tidak punya urusan pribadi, bahkan saling tidak mengenal! Memang seorang perajurit harus membunuh musuhnya selagi negara dalam perang bukan sekali-kali membunuh karena rasa benci perseorangan, melainkan membunuh agar jangan dibunuh dan membunuh untuk memenuhi kewajiban sebagai perajurit terhadap negara. Memang perjuangan dalam perang untuk membela nusa bangsa adalah tugas suci setiap orang gagah."

   "Akan tetapi sekali saja kau membunuh tentara lawan dengan hati mengandung kebencian pribadi, maka sifat membunuh itu menjadi keji dan hina! Kau boleh membunuh seribu orang tentara lawan tanpa memperdulikan siapa lawan itu, tanpa rasa benci kepada orangnya, dengan pegangan bahwa dia itu musuh negara dan harus dibunuh. Akan tetapi, sekali-kali kau tidak boleh membunuh dengan rasa benci perseorangan. Kalau aku membunuhmu, apa alasanku? Aku tidak ada parmusuhan dengan kau, juga aku bukan tentara lawanmu. Kalau tadi aku membunuh anak buahmu adalah karena aku dikeroyok dan aku diserang lebih dulu sehingga aku harus membela diri. Dengan kau lain lagi, kau seorang gagah dan setia, kau telah memberi keterangan penting kepadaku, Nah, selamat tinggal."

   

Pendekar Pedang Pelangi Eps 23 Pedang Penakluk Iblis Eps 25 Pedang Penakluk Iblis Eps 26

Cari Blog Ini