Tangan Geledek 4
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Dengan ujung sepatunya, Ang-jiu Mo-Li meraba-raba jubah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa di situ tidak tersimpan kitab, ia nampak kecewa dan marah. Dipandangnya, wajah Thai Gu Cinjin dengan tajam.
"Thai Gu Cinjin, sekarang kau me-nang. Memang kau tidak membawa kitab, akan tetapi kalau kelak ternyata kitab itu ada padamu, ingatlah bahwa aku tidak biasa melupakan penghinaan orang kepadaku. Dan kalau saat ini kau me-s nipuku, berarti kau telah menghinaku!" Setelah berkata demikian, sekali berkele-bat lenyaplah wanita yang mengerikan itu.
Thai Gu Cinjin mencabut tongkatnya sambil menarik napas panjang, memakai lagi jubahnya yang merah Hu, lalu tiba-tiba ia berpaling memandang ke arah tujuh orang yang baru saja muncul dari
(Lanjut ke Jilid 04)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
tempat persembunyiannya.
"Nah, apakah kalian hendak melanjut-kan pertempuran tadi sampai mati?" bentaknya marah.
Tujuh orang ini bukan lain adalah empat orang hwesio dan tiga kakek Pak-kek Sam-kui. Mereka ini tadi mengejar dan melihat Thai Gu Cinjin bertengkar dengan seorang wanita "baju putih yang kedua tangannya merah, mereka berhenti. Pak-kek Sam-kui menjadi pucat ketika mengenal bahwa wanita itu bukan lain adalah Ang-jiu Mo-li yang mereka takuti, maka buru-buru mereka mengajak empat orang hwesio itu bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah Ang-jiu Mo-li pergi, barli mereka berani muncul. Thai Gu Cinjin yang merasa terhina oleh Ang-jiu Mo-li akan tetapi tidak berdaya, me-lihat munculnya bekas Jawan ini, menimpakan kemarahannya kepada mereka dan menantang mereka melanjutkan pertempuran.
Akan tetapi ketika empat orang hwe-iio itu melihat betapa setelah digeledah ternyata pendeta Lama itu benar-benar tidak menyimpan kitab yang mereka hendak rebut, mereka bahkan menjura memberi hormat dan Le Thong Hosiang berkata.
"Mohon Taisuhu sudi memaafkan ka%i yang keliru menyangka dan telah berlaku kurang ajar."
Thai Gu Cinjin mengeluapkan suara di hidung, melirik ke arah Pak-kek Sam-kui dan berkata periaiian.
"Ang-jiu, Mo-Li Si Ratu Iblis dari utara datang untuk mencari kitab Omei-san, agaknya banyak orang-orang dari utara juga datang berramai-ramai. Hemmm, kalau yang tiga ini bukan Tiga Setan Kutub Utara, siapa lagi?".
Giam-lo-ong Ci Kui menjura dan tertawa. la maklum bahwa ilmu kepandaian dari Thai Gu Cinjin tinggi sekali dan biarpun mereka bertujuh mengeroyok, kalau .dilakukan pertempuran mati-matian, andaikata mereka menang sekalipun tentu di fihak mereka akan jatuh banyak korban.
"Penglihatan Cinjin benar-benar tajam sekali. Kelak kalau ada kesempatan ke Tibet, tentu kami bertiga akan mengada-kan kunjungan penghormatan."
Kembali Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara mengejek di hidung, kemudian me-nyeret tongkatnya dan pergi dari situ. Tentu saja ia tidak terus pergi meninggalkan pegunungan itu, melainkan berkeliaran di sekitar situ mencari Tiang Bu. Akan tetapi alangkah heran, kaget dan mendongkolnya ketika ia tidak dapat menemukan bocah yang ia titipi kitab-kitab itu! Tadi ia melemparkan Tiang Bu ke dalam jurang mempergunakan ke-pandaiannya sehingga bocah itu tidak terluka ketika tiba di dasar jurang, akan. tetapi sekarang bocah itu sudah tidak berada di dalam jurang lagi, entah ke mana perginya dan dengan cara bagai-mana. Thai Gu Cinjin marah-marah, terus mencari, bahkan pergi ke sekitar puncak gunung itu, tetap saja sia-sia dan tidak menemukan bocah itu.
"Celaka! Bocah?etan! Kalau aku mendapatkan engkau, akan kuputar batang lehermu. Berani kau mempermainkan aku," pikir pendeta Lama itu dengan marah dan terus mencari-cari, kini menuju ke selatan karena disangkanya bocah itu tentu telah lari ke selatan membawa bungkusan kitab-kitab itu.
Adapun Pak-kek Sam-kui pada saat itu sedang bercakap-cakap dengan empat orang hwesio itu. Memang, empat orang hwesio itu bukan lain adalah Le Thong Hosiang, Nam Kong Hosiang, Nam Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin, empat orang hwesio yang pernah datang di Lu-liangsan dan membuka rahasia Wan-bengcu sebagai keturunan dari Pangeran Wanyen yang dibenci oleh orang-orang gagah, kemudian telah dituturkan di bagian de-pan betapa Le Thong Hosiang telah mengadu kepandaian dengan Bu Kek Siansu.
Le thong Hosiang dan kawan-kawan-nya memberi hormat kepada Pak-kek Sam-kui dan memperkenalkan namanya. Kemudian ia berkata.
"Sudah lama pinceng mendengar nama besar Sam-wi Locianpwe dan kebetulan sekali hari ini selain menyaksikan ke-lihaian Sam-wi, juga telah menerima pertolongan. Pinceng dan kawan-kawan menghaturkan banyak terima kasih.".
Giam-lo-ong Ci Kui tertawa.
"Ah, Saudara-saudara terlalu sungkan. Sudah selayaknya orang-orang segolongan saling membantu dan tentang kepandaian..... ah". memalukan bicara tentang kepandaian setelah kita bertemu dengan orang-orang seperti Thai Gu Cinjin dan lebih-lebih Ang-jiu Mo-li itu. Hanya orang dengan kepandaian tinggi seperti Wan-bengcu kiranya boleh dibandingkan dengan mereka".
Ci Kui sengaja menyebut Wan-bengcu untuk melihat bagaimana hubungan mereka ini dengan bengcu itu. Girang hatinya melihat betapa wajah empat orang hwesio itu menjadi muram, bahkan Heng tuan Lojin berkata tak senang.
"Orang-orang utara memang banyak yang pandai, sayang nnereka tolol, memilih bengcu keturunan Pangerah Cin dan bekas penjahat pula!"
Ci Kui tertawa girang.
"Cocok! Me-mang kami sendiri merasa benci melihat bengcu yang muda sorhbong dan keturun-iao bangsawan penindas rakyat itu! Akari tetapi, mengapa saudara-saudara dari selatan tidak mau turun tangan dan men-diamkannya saja bangsat itu merajalela?"
Le Thong Hosiang menarik napas panjang.
"Orang-orang kang-ouw di dae-rah utara itulah yang menyebabkan. Me-reka semua percaya kepada bengcu me-reka dan menyokongnya. Terus terang saja, di utara banyak terdapat orang-orang pandai dan andaikata kami turun | tangan terhadap Wan-bengcu kami tentu akan bermusuhan dengan semua orang kang-ouw di sana."
Ci Kui melanjutkan pancingannya.
"Heran sekali, bukankah di selatan ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai? Bahkan dulu aku pernah mendengar nama besar dari seorang bengcu di sini yang disebut Tung-nam Beng-cu (Ketua Persilatan Selatan dan Timur) dan bernama Liok Kong Ji!"
Le Thong Hosiang mengangguk-angguk.
"Memang betul, akan tetapi Liok-taihiap itu hanya sebentar saja berada di sini memirripin kami. Sekarang dia telah pergi menghilang dari dunia ksng-ouw, entah ke mana. Paling akhir ia berada di utara, akan tetapi di" sana ia dimusuhi oleh orang-orang di bawah pimpinan Wan-bengcu. Kalau masih ada di sini, kiranya kami akan lebih kuat dan mudah untuk menghadapi penghinaan orang-orang utara."
Mendengar ini, kegirangan Ci Kui memuncak. Sambil tertawa-tawa ia mengeluarkan sebuah benda darj saku bajunya, memperlihatkan benda itu kepada Le Thong Hosiang dan kawan-kawannya sambil berkata.
"Kenalkah Saudara-saudara akan benda ini?"
"Hek-tok-ciam dari Liok-taihiap.....!" seru Le Thong Hosiang dan Hengtuan Lojin yang mengenal baik senjata rahasia berupa jarum hitam yang terkenal sebagai senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Liok Kong Ji atau bengcu mereka dahulu.
"Apakah Liok-taihiap masih hidup? Di mana dia dan bagairnana Hek-tok-ciam berada di tanganmu?" tanya hwesio ketua dari Taiyun-pai itu.
"Ketahuilah, Le Thong Hosiang, kami sebetulnya adalah utusan-utusan dari Thian-te Bu-tek Taihiap yang kini berada di luar daerah sebelah utara wilayah Cin."
"Siapa itu Thian-te Bu-tek Taihiap? tanya Nam Kong Hosiang, terkejut mendengar nama julukan yang demikian hebatnya.
"Apakah kau tidak bisa menduga? Thian-te Bu-tek Taihlap adalah Liok-taihiap yang kini menjadi tangan kanan raja.besar di Mongoiia."
Empat orang hwesio itu menjadi heran dan curiga.
"Menjadi pembantu pemimpin bangsa Mongoi yang disebut Temu Cin dan amat terkenal itu? Akan tetapi mengapa? Dan apa maksudnya mengutus Sam-wi ke selatan ini?"
"Ketahullah Saudara-saudara yang baik. Taihiap melihat keadaan yang ma-kin buruk di utara, di mana rakyat di-tindas oleh penjahat-penjahat bangsa Cln itu, bahkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw Sudah dikuasai puia oleh orang she Wan yang bukan lain adalah juga seorang keturunan Pangeran Wanyen dari suku bangsa Cin. Oleh karena itu, taihiap dengan bantuan raja besar dari bangsa Mongol, kami bermaksud memukul Kera-jaan Cin dan membebaskan rakyat dari-pada penjajahan orang-orang Cin. Makci, kami diutus untuk menyampaikan hal ini kepada saudara-saudara di selatan agar kita dapat bekerja sama dalam usaha mulia itu.
Hnmm, inilah urusan besar sekali yang tidak dapat begitu saja diputuskan oleh kami berempat," kata Le Thong Hosiang hati-hati sekali.
"bagi pinceng sendiri, tentu saja pinceng bersedia bekerja sama kalau kerja sama ini dimaksudkan untuk memberi hukuman kepada Wan-bengcu dan mengangkat seorang bengcu baru yang lebih tepat, juga pinceng kira semua saudara di selatan akan setuju kalau diajak menggulingkan Pemerintah Cin untuk membebaskan rakyat daripada; tindasan penjajahan." Ia berhenti sebehtar, kemudian melanjutkan.
"Akan tetapi, bukan semestinya kalau, untuk usaha ini, kami menarik bantuan bangsa Mongol. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk bekerja dengan kekuatan sendiri."
Ci Kui mengerutkan keningnya. tak disangkanya orang-orang di selatan begini angkuh.
"Akan tetapi, Le Thong Hosiang. Kau sendiri tadi yang menyatakan bahwa di selatan kekurangan orang pandai, kalah oleh orang-orang di utara. Tanpa kerja sama, bagaimana akan berhasil cita-cita?"
Le Thong Hosiang tertawa.
"Bukan di selatan tidak ada orang pandai, hanya belum muncul orang pandai. Kalau dua Naga Sakti yang bertapa di Omei-san tidak begitu tua dan mengasingkan diri puluhan tahun lamanya, kiranya di seluruh dunia ini tidak ada yang berani memandang rendah kepada kami orang-orang selatan." Untuk meninggikan dera-jat orang-orang selatan, Le Thong Hosiang lalu menceritakan kepada tiga orang .pen-dengarnya bahwa kitab yang diperebutkan oleh Thai Gu Cinjin dan Ang-jiu Mo-li tadi, dimaksudkan kitab dari Omei-san. Di puncak Omei-san yang amat keramat terdapat dua orang pertapa sakti bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, dua orang kakek pertapa yang sudah mengasingkan din di tempat itu selama tiga puluh tahun lebih dan kabarnya dua orang kakek ini masing-masing telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya dari nenek moyang persilatan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu.
Karena dua orang kakek ini tidak mau "turun" ke dunia ramai dan tekun bertapa, maka banyak orang yang ingin sekali mencuri kitab-kitab pelajaran ilmu silat mereka yang kabarnya mereka simpan di dalam kuil tua di mana mereka tinggal. Inilah sebabnya maka ketika tersiar berita bahwa Thai Gu Cinjin dari Tibet berhasil mencuri kitab-kitab itu, ia dikejar-kejar oleh semua orang yang ingin merampas kitab-kitab itu
Demikianlah, mengapa tadi kami berempat mengeroyoknya untuk merampas kembali kitab-kitab yang seharusnya tinggal di selatan. Akan tetapi ternyata kilab-kitab itu tidak berada padanya. Memang tadinya kami sudah bersangsi apakah betul-betul ada orang mampu mencuri kitab-kitab itu dari tangan dua orang kakek sakti itu," Le Thong Hosiang mengakhiri ceritanya.
Pak-kek Sam-kui tertarik sekali oleh cerita ini dan diam-diam mereka mencatat semua yang mereka dengar itu, karena sebagai orang-orang ahli silat, mendengar tentang ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh dua orang kakek itu, amat menarik perhatian mereka dan ingin mereka berjumpa dengan dua orang kakek itu.
"Betapapun juga, seperti telah pinceng katakan tadi, urusan yang sam-wi kemukakan bukanlah urusan kecil yang dapat pinceng putuskan sendiri. Pinceng akan menyampaikan hal itu kepada kawan-kawan lain dan minta pendapat mereka. Kemudian, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih dan apabila kebetulan sam-wi lewat di Taiyiin-san, pinceng persilakan mampir."
Mereka berpisah di situ. Setelah empat orang liwesio itu pergi, Pak-kek Sam-kui baru teringat akan murid mereka, Tiang Bu.
"Eh, mana bocah itu?" kata Sin-saikong Ang Louw. Mereka mencari-cari, akan tetapi, seperti juga Thai Gu Cinjin, mereka tidak dapat menemukan TiangBu.
Mari kita menengok apa yang dialami oleh Tiang Bu, bocah yang dicari-cari oleh Thai Gtt Cinjin dan Pak-kek Sam-kui itu. Tiang Bu kaget bukan main ketika pendeta Lama yang memaksanya menerima titipannya oerupa bingkisan itu melemparkannya ke dalam jurang yang cukup dalam. Anehnya, ia terlempar ke dalam jurang dalam keadaan berdiri dan agak memutar sehingga tidak laju benar jatuhnya dan ia jatuh dalam keadaan duduk. la tidak memperdulikan lagi seruan kakek Lama itu yang menyuruhnya tinggal menunggu di situ, karena pada saat itu Tiang Bu menghadapi keanehan lain yang membuatnya melongo. Temyata ketika a jatuh dalam keadaan duduk, ia merasa betapa tubuhnya diterima oleh sepasang tangan yang kuat dan ketika ia memandang, betul saja bahwa ia terjatuh ke dalam pangkuan seorang kakek yang kepalanya bundar botak dan tubuhnya pendek, kecil dan kurus seperti tengkorak! Dengan sepasang mata seperti orang baru bangun tidur, kakek ini memandang bocah di pangkuannya dengan pandangan tajam menyelidik, kemudian ia fersenyum aneh, disusul suara ketawa perlahan.
"Heh, heh, heh, peruntungan manusia me-mang aneh. Yang setengah mampus mencari tidak mendapat, yang duduk diam tak tersangka-sangka menerima apa yang direbutkan orang. Bocah, tahukah kau bahwa kau telah menerima sebuah pusaka yang tak ternilai harganya dari Thai Gu Cinjin tadi?"
Tiang Bu biarpun seorang anak kecil, karena ia sudah lama mengikuti tiga orang gurunya yang juga orang-orang aneh dan sakti, dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang pandai. Cepat la menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan locianpwe." Orang aneh yang pakaiannya bertambal-tambal seperti pengemis kelaparan itu mengangkat alis.
"Eh.....? Terima kasih untuk apa? Siapa yang menolongmu? Memang Thai Gu Cinjin tidak mengliendaki kau binasa maka kau dilempar ke sini seperti tadi. Kau ^tahu, apa yang kau bawa di saku bajumu itu?"
Tiang Bu menggeleng kepala.
"Teecu tidak tahu." Kembali kakek itu tertawa, hampir-hampir tidak bersuara, hanya angin dari mulutnya yang ompong saja terdengar hahaheheh.
"Lucu sekali...... lucu sekali! Kalau kedua losuhu di Omei-san mendengar akan hal ini, mereka bisa mati tertawa. Pusaka berharga berada di dalam saku, masih tidak tahu benda apa sebenarnya itu! Heh, heh, heh, bocah tolol, ketahuilah bahwa bungkusan itu berisi kitab rahasia pelajaran ilmu silat yang luar biasa dari Tiong Jin Hwesio yang dicuri oleh Thai Gu Cinjin."
Tiang Bu tetap tidak berubah air mukanya.
"Tiada gunanya bagiku, locian pwe."
"Tiada gunanya? Apa inaksudmu?" Muka yang botak ini inenjadi merah sekali, saking mendongkol dan heran mendengar kata-kata yang baginya tak inasuk akal ini. Bagaimana orang yang mendapatkan kita luar biasa itu berani mengatakan tiada guna?.
"Pertama-tania, benda ini hanyalah barang titipan saja dan tentu akan diambil kembali oleh pendeta berjubah merah itu. Kedua kalinya, teecu , tidak dapat membaca sebuah hurufpun."
"Bodoh! Pertama, Thai Gu Cinjin hanya akan menerima kembali kitab itu berikut nyawamu karena kau menjadi saksi utaina bahwa kitab itu berada padanya. Kedua, apa sih sukarnya belajar membaca huruf? Kau tidak tahu bahwa sebentar lagi, pendeta Lama itu tentu akan mencari-carimu untuk mengambil kembali kitab itu berikut nyawamu."
Kini Tiang Bu benar-benar kaget.
"Locianpwe, harap tolong teecu."
"Mari kau ikut keluar dari sini."Kakek pengemis ini berdiri dan temyata kakinya cacat, besar sebelah. Kaki yang kiri amat kecil sehingga jalannya terpincang-pincang. Akan tetapi, sekali ia meme-gang lengan Tiang Bu dan menggerakkan kaki kanan, tubuh mereka berdua telah melayang naik dari dalam jurang itu. Tak lama kemudian, dengan menggandeng tangan Tiang Bu, atau lebih tepat mengangkat tubuh anak itu karena kedua kaki Tiang Bu tidak menyentuh tanah, kakek aneh ini berlarr cepat sekali keluar dari tempat itu, memasuki hutan, keluar hutan dengan cekatan se-perti seekor burung walet saja.
Beberapa hari kemudian, di dalam se-buah hutan yang luas, di tempat sunyi yang jarang didatangi manusia di mana-mana sekitar tempat itu hanya terdapat pohon-pohon dan batu karang menjulang tinggi bersaingan dengan pohon, kelihatan Tiang Bu membalik-balik lembaran buku, belajar membaca di bawah petunjuk ka-kek pengemis pincang. Anak ini belajar dengan tekun sekali karena hatinya berbisik bahwa inilah kesempatan baginya untuk maju setelah ia mendengar penuturan pengemis tua itu tentang kitab yang jatuh di dalam tangannya.
Siapakah kakek botak ini? Dia bukanlah orang yang tidak ternama di dunia kang-ouw. Kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastra membuat la dahulu dianggap sebagai seorang bun-ou-cwan-jai (ahli silat dan surat). Tidak saja ia pandai membaca menulis, juga ia terkenal sebagai ahli bermain catur. Kegemaran inilah yang membuat ia akhirnya berkenalan dengan dua orang sakti yang bertapa di Omei-san. Pada suatu hari, kakek yang lihai ini ketika berjalan seorang diri, tiba-tiba ia mendengar desir angin dan tahu-tahu ia merasa dikempit dan dibawa pergi orang. Tahu-tahu ia telah berada di puncak Omei-san dan ketika ia dibebaskan dari totokan yang luar biasa lihainya itu, ia berhadapan dengan dua orang hwesio tinggi besar yang sudah tua sekali.
Akhirnya ia tahu bahwa dua orang hwesio itu bukan lain adalah dua orang pertapa sakti yang ditakuti" semua orang karena dikabarkan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya, bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, berusia tujuh puluh tahun lebih. Tiong Jin Hwesio yang "menculiknya" tadi dan perbuatan ini saja sudah menjadi bukti betapa hebat dan tinggi kepandaian hwe-sio ini. Menculik orang biasa secara de-mikian saja sudah merupakan kelihaian yang jarang dimtliki orang, apalagi men-culik orang yang ilmunya sudah tinggi seperti kakek botak ini!
Ternyata bahwa dua orang hwesio itu sengaja membawanya ke Omei-san untuk diajak bermain catur! Kakek botak itu yang mempunyai nama julukan Bu Hok Lokai (Pengemis Tua Tidak Beruntung) menjadi girang sekali dan melayani ke-inginan dua orang kakek sakti itu dengan gembira. Sampai sebulan lebih ia tnggal di sana dan sebagai tanda terima kasih, dua orang kakel sakti itu menurunkan semacam ilmu silat kepadanya atau lebih tepat disebut ilmu menghindarkan diri dari serangan musuh.
Ilmu ini disebut Sam-hoan-san-bu (Tiga Kali Lingkaran Tiga Kali Menari), semacam ilmu yang berdasarkan ginkang dan khusus dipergunakan untuk meng-hadapi serangan lawan, baik dengan ta-ngan kosong maupun bersenjata. Dengan memiliki ilmu silat ini, sewaktu apabila" menghadapi lawan yang jauh lebih lihai sekalipun, Bu Hok Lokai tak usah takut, akan tetapi sudah pasti ia dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu silat". : ini.
Dua orang kakek sakti itu menurun-kan ilmu ini mengingat bahwa Bu Hok Lokai adalah seorang yang bercacad ka-kinya. Bu Hok Lokai setelah menerima ilmu ini mendapat kenyataan bahwa dua orang sakti itu benar-benar lihai sekali dan kalau saja ia bisa menjadi murid mereka, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang ia inginkan. Maka ia lalu men-jatuhkan dirj berlutut, minta diangkat murid.
Tak diduga sama sekali, dua orang kakek itu menjadi marah-marah, memaki-makinya sebagai orang tak tahu terima kasih, kemudian mengusirnya dengan ancaman ilmunya akan dicabut kembali kalau ia berani kembali ke situ! Inilah yang menimbulkan sakit hati Bu Hok Lokai maka ketika ia melihat kitab rahasia Omei-san terjatuh ke dalam tangan Tiang Bu, ia mendapat pikiran, untuk mengambil bocah ini sebagai muridnya. Dia sendiri adalah seorang bercacad, lagi sudah tua, kalau belajar sendiri takkan mungkin jadi. Kalau dia mempunyai se-orang murid pandai, bukankah hari tua-nya akan terjamin?
Mernang nasib manusia kadang-kadang ditentukan oleh sikapnya yang dianggapnya tidak akan berakibat sesuatu. An-daikata dua orang kakek sakti itu tidak marah ketika melihat Bu Hok Lokai mir""" ta diangkat menjadi murid dan menolak dengan halus saja, kiranya Bu Hok Lokai melihat kitab itu akan cepat-cepat mem-bawa kitab itu kembali ke Omei-san untuk dikembaiikan kepada pemiliknya.
Akan tetapi, kemarahan dua orang sakti yang sebetulnya tidak berarti, da-pat membalikkan sejarah, dan kitab itu tidak kembali kepada pemiliknya melainkan dipelajari oleh Tiang Bu!
Makin lama Bu Hok Lokai menjadi makin sayang kepada Tiang Bu yang ter-nyata memang luar biasa sekali ketajam-an ingatannya. Biarpun setiap hari di-jejali puluhan huruf-huruf baru, akan tetapi sekali huruf-huruf itu menempel pada ingatannya, takkan terlupa iagi. Di samping kepintarannya ini, ia juga amat tekun. jarang sekali ia kelihatan menganggur dan buku pelajaran tak pernah dilepas dari tangannya!
Setahun kemudian Tiang Bu telah dapat membaca kitab dari Omei-san itu yang ternyata berisi pelajaran ilmu silat tinggi yang disebut Pat-hong Hong-i (11-s mu Pukulan Delapan Penjuru Angin Hu-jan)! la mulai mempelajari ilmu pukylaa ini di bawah pengawasan gurunya yang baru, Bu Hok Lokai. Bahkan Bu Hok LoNaimenurunkan pula pelajaran ilmu silat yang ia dulu terima dari dua kakek sakti Omei-san, yaitu Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu kepada muridnya yang ia sayang.
Di lingkungan bangunan-bangunan istana kaisar di ibu kota Yen Ping (Pe-king}, yaitu istana Kerajaan Cin, ter-dapat sebuah istana yang indah dengan pekarangan depan yang lebar dan taman bunga yang penuh dengan bunga-bunga indah di bagian belakang. Inilah istana dari Pangeran Wanyen Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat berpenga-ruh dan dipercaya oleh kaisar, akan te-tapi juga terkenal di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang budiman dan tidak pernah menolak permintaan tolong orang.
Anehnya, pangeran yang hartawan, berpengaruh dan berwajah tampan ini sampai berusia tiga puluh tahun belurri juga menikah, menikah dengan sah. Karena isterinya di luar kawin sah ada lima orang! Atau pendeknya pangeran yang masih perjaka ini telah mempunyai lima orang selir. Di antara selir-selirnya terdapat seorang selir yang paling dlsayangi-nya dan agaknya selir inilah yang membuat ia segan untuk menikah lagi.
Di dalam diri selir ini ia mendapat-kan seorang yang ia cinta sepenuh hati-nya, seorang yang menjadi ibu dari pu-teranya, dan seorang pelindung keselamatannya.
Oleh karena itu, biarpun seHr ini ia kawin di luar upacara yang sah, akan te-tapi agaknya selir ini menjadi pengganti dari isteri yang sah. Selir ini yang men-jadi ratu rumah tangga dan mengepalai semua penghuni rumah.
Akan tetapi para selir lain tidak merasa iri hati, karena memang selir ini mempunyai watak yang pendiam dan tidak sombong biarpun ia amat disayang oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Adanya selir inilah maka tidak ada orang yang berani sembarangan mengganggu istana ini, dan keluarga di rumah itu merasa aman dan tenteram seakan-akan di situ terdapat seorang dewi pelindung.
Orang takkan merasa heran kalau sudah mengetahui bahwa selir ini bukan lain adalah pendekar wanita yang amat gagah perkasa murid dari Hwa 1 Enghiong Go Ciang Le pendekar besar dari Kim-bun-to. Dia inilah yang dulu dijuluki orang Kang-sim-li atau Dara Berhati Baja, karena ia keras hati dan jujur, tidak mengenal ampun menghadapi para penjahat. Namanya Gak Soan Li dan ia adalah suci (kakak seperguruan) dari Go Hui Lian.
Di dalam cerita Pedang Penakluk iblis telah diceritakan betapa Gak Soan Li telah menjadi gila karena perbuatan keji yang dilakukan oleh penjahat besar Liok Kong J1 dan betapa kemudian Gak Soan Li telah ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci Lun yang mencintanya. Kemudian akhirnya Gak Soan Li tinggal di istana pangeran itu dan menjadi selir yang paling dicinta.
Apalagi karena Wanyen Ci Lun tidak mendapatkan seorang pun anak dari em-pat orang selir yang lain, sedangkan setahun setelah ia mengambil Gak Soan Li, pendekar wanita ini melahirkan se-orang anak laki-laki yang tampan sekali. Cinta kasih dan sayangnya makin besar dan dengan tidak resmi Gak Soan Li menjadi Toanio atau Toa-hujin (Nyonya Besar)!
Anak itu diberi nama Sun, dan Wan-yen Ci Lun yang ingat akan jasa-jasa Wan Sin Hong memberi she atas nama keturuna Wan kepada puteranya, karena ia tahu bahwa she Wan itu pun asalnya adalah she Wanyen. Demikianlah, putera-nya itu nama lengkapnya Wan Sun dan semenjak kecilnya Wan Sun sudah nampak bahwa ia akan menjadi seorarg yang cerdik dan tampan sekali
Ketika Wan Sun baru berusia dua tahun, pada suatu malam yang sunyi, seorang pelayan wanita yang kebetulan pergi ke taman bunga, mendengar tangis bayi dari taman itu. Pelayan ini ketakut-an dan lari masuk sambil berteriak-teriak.
"Siluman.....! Siluman.....!"
Mendengar ini, para pelayan lain dan selir-selir Pangeran Wanyen Ci Lun men-jadi ketakutan pula. Hanya Gak Soan Li yang tidak takut sama sekali, bahkan dengan marah ia mengguncang-guncang-kan pundak pelayan yang menjerit-jerit ketakutan itu sambil menghardik.
"Diam! Ceritakan apa yang kau telah lihatl"
"Ampun..... Toanio..... hamba me-lihat..... eh, mendengar tangis bayi di dalam taman..... tentu siluman....."
Soan Li tidak menanti habisnya oceh-an pelayan yang ketakutan ini melainkan cepat ia berlari ke belakang sambil me-nyambar pedangpya. Ketika tiba di ta-man bunganya yang indah itu, tiba-tiba ia tertegun dan tak terasa pula bulu tengkuknya meremang. Benar saja, ia pun mendengar suara tangis anak kecil yang nyaring sekali, keluar dari tengah-tengah taman. Bagaimana bisa ada bayi me-nangis di situ kalau bukan perbuatan si-luman? Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang memiliki kegagahan. Se-bentar saja ditindasnya perasaan seram ini dan di lain saat ia telah melompat ke tengah taman.
Malam itu gelap, hanya ribuan bintang yang menimbulkan cahaya remang-remang menambah keseraman keadaan di taman itu. Setelah tiba di tempat di mana terdengar suara tangis bayi itu, kembali Soan Li tertegun dan kedua kakinya seperti terpaku pada tanah ke-tika ia melihat sebuah benda kecil ber-gerak-gerak di atas tanah di depannya. Ketika ia memperhatikan, tak salah lagi, benda itu bukan lain adalah seorang bayi yang baru beberapa bulan usianya! Ta-ngis bayi itu luar biasa nyaringnya, hampir senyaring tangis Wan Sun ketika ma-sih bayi.
Soan Li menyarungkan pedangnya dan cepat menyambar tubuh bocah itu yang ternyata hanya dibungkus dengan sehelai kain kuning. Tubuh anak itu montok dan sehat sekali dan ketika Soan Li mendekap bocah itu pada dadanya ia mencium bau yang harum sekali, keharuman ^yang amat aneh seakan-akan dalam tu-buh anak itu bersembunyi ribuan tangkai kembang beraneka warna!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain menjadi bengong ketika melihat Soan Li datang memondong seorang bayi perempuan yang montok dan mungil.
"Eh, eh..... anak siapakah ini.....?" tanya Wanyen Ci Lun.
"Entah dia ditinggalkan menangis di tengah taman. Harus diselidiki perbuatan siapa ini yang demikian kejam dan bia-dab. Orang tuanya harus diberi hukuman berat. Kurasa tentu seorang di antara pegawai kita atau dari rumah yang berdampingan, karena kalau bukan orang dalam yang berdekatan, siapa bisa me-, ninggalkan anak di tengah taman?" kata Soan Li marah sambil merawat anak itu penuh kasih sayang.
Melihat bocah yang begitu mungil dengan rarpbutnya yang hitam lebat, matanya bercahaya dan beiiilng, kulitnya yang putih halus, timbul rasa sayang. Cepat ia menyuruh pelayan memanggil seorang inang pengasuh yang biasa me-nyusui anak-anak dan sebentar saja setelah mendapat minum susu, anak. itu tidur pulas dengan bibir tersenyum manis. Anak ini berusia paling banyak lima bulan.
Usaha Wanyen Ci Lun untuk menemii-kan orang tua anak perempuan itu sia-sia belaka. Tidak saja ia menyelidiki para pelayan, bahkan ia telah memerin-tahkan penjaga-penjaga untuk menyelidiki siapa orang-orang yang mempunyai seorang anak perempuan berusia lima bu-lan, namun ternyata bahwa yang dicari-cari tidak dapat diketemukan. Banyak yang mempunyai anak, akan tetapi anak-anak itu masih ada semua pada orang-orang tuanya, jadi anak perempuan itu seakan-akan jatuh dari langit ke taman bunga itu!
Soan Li mengerutkan kening dan mukanya yang cantik itu berpikir keras.
"Tidak mungkin anak ini jatuh begitu saja dari atas langit. Pasti ada orang-nya yang menaruhnya di tengah taman pada malam hari. Akan tetapi, memasuki lingkungan istana, apalagi memasuki ta-man kita tanpa diketahui oleh siapapun juga kemudian meninggalkan seorang bayi di situ, sungguh hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Entah apa maksud dan kehendak orang yang meninggalkan anak itu, aku tidak tahu. Akan tetapi, anak ini bukanlah bocah biasa, melainkan se-orang anak yang memiliki bakat baik sekali dan kelak pasti menjadi orang luar biasa. Melihat anak ini, timbul rasa suka dalam hatiku dan kalau sekiranya kau tidak keberatan, biarlah anak ini men-jadi anak kita yang ke dua, menjadi kawan bermain dari anak kita Sun-ji."
Mendengar ini, Wanyen Ci Lun tidak keberatan sama sekali oleh karena ia sendiri pun suka melihat bocah yang cantik itu. Puteranya hanya seorang, tentu saja ia ingin anak ke dua, apalagi kalau perempuan. Dengan demikian, ia mempunyai dua orang anak, seorang lakio-laki dan seorang lagi perempuan.
Demikianlah, bocah yang mereka da-patkan di tengah taman bunga itu men-jadi anak mereka dan mereka beri nama Bi Li (Wanita Cantik) dan selanjutnya disebut Wan Bi Li. Bi Li semenjak kecil-nya sudah mengalami hal yang aneh-aneh. Pertama-tama, munculnya di ke" luarga pangeran itu sudah merupakan teka-teki yang tidak diketahui artinya.
Kemudian, pada suatu malam, ketika Bi Li berusia satu tahun, terdengar Soan Li menjerit keras. Wac.yen Ci Lun yang masih tidur nyenyak itu kaget bukan main dan cepat-cepat ia melompat dari tempat tidurnya untuk membiiru ke arah isterinya yang sedang berdiri di dekat tempat tidur Bi Li.
Dan alangkah kagetnya ketlka ia me-lihat isterinya itu memegang seekor ular pada kepalanya dan dengan tenaganya telah meremas kepala ular itu sampai hancur di dalam genggamannya! Ular itu hanya dapat menggeliat-geliatkan ekornya beberapa kali sebelum diam dan mati. Dan anehnya, Bi Li tetap tidur nyenyak seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Aneh....." kata Soan Li menjawab pertanyaan suaminya.
"Tadi aku men-dengar Bi Li tertawa-tawa dalam tidur-nya, kemudian karena mendengar ke-resekan-keresekan di dalam tempat tidur-nya, aku tucun dan menengoknya. Kau mengerti betapa kagetku melihat seekor ular hijau yang berbisa ini melingkar di dekatnya, dengan kepalanya diusap-usap-kan pada pipi Bi Li saking ngeri dan terkejut aku menjerit dan cepat me-nyambar kepala ular itu untuk kubunuh."
Wanyen Ci Lun membelalakkan mata-nya dan memandang kepada Bi Li yang tidur dengan nyenyak dan nampak begitu mungil!
"Heran benar, Bi Li selalu berbau begini harum, apalagi kalau sedang ti-dur," katanya.
Kata-kata. ini seakan-akan mengingatkan Soan Li akan sesuatu. la mendekati Bi Li dan hidungnya mencium-cium. Ke-mudian.. ia memandang suaminya dan mengangguk-angguk, laki menarik napas panjang.
"Entah ini anak siapa dan dari mana datangnya. Bau harum ini mengingatkan aku akan cerita mendiang Suhu dahulu akan semacam bunga aneh yang harum sekali dan amat disuka oleh bangsa ular berbisa namanya Coa-ong-hwa (Bunga" Raja Ular).
Bunga seperti ini hanya tumbuh di dekat Kutub Utara dan banyak orang-orang kang-ouw yang tinggi kepandaian-nya mempergunakan bunga ini untuk menjaga diri apabila mereka bermalam di dalam hutan liar. Dengan bunge seperti itu di dalam saku baju, binatang-binatang berbisa takkan mau mengganggu, malah ular-ular berbisa akan melindungi orang yang membawa bunga itu! Dan bocah ini..... entah bagaimana tubuhnya ter-utama hawa mulutnya, berbau harunf" sekali seperti bunga itu!"
"Isteriku, anak ini benar-benar anak yang aneh. Kiranya kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, atau seorang yang cerdik pandai. Oleh karena itu, bukankah ini berarti kita telah memperoleh sebuah keuntungan bagus sekall? Kita mempunyai Wan Sun yang kita sa-yang, sekarang bertambah lagi seorang anak perempuan yang begini luar biasa. Kita harus mengucap syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa."
Akan tetapi Soan Li mengerutkan alisnyy yang bagus bentuknya itu.
"Kata-katamu memang benar, Koko. Akan tetapi kalau aku teringat akan orang yang menaruh Bi Li di dalam ta-man, hatiku tidak enak sekali. Siapa dia dan apa maksudnya? Ahh..... kalau saja aku tahu siapa orangnya itu, takkan be-gini gelisah hatiku. Kalau saja aku tahu dan yakin bahwa ,,ia memang hendak fnemberikan anak ini kepada kita, akan "lega dan puaslah hatiku....."
Wanyen Ci Lun merangkul isterinya. Sudahlah, mari kita tidur. Tak perlu hal itu dipikirkan terlalu dalam. Siapapun juga orangnya, dia tidak bernnaksud bu-"iruk, dan lagi andaikata ia bermaksud buruk, kita takut .apakah? Kau sendiri berilmu tinggi, belum lagi di sini ter-jaga kuat. Lebih baik kita jangan beritahu kepada para pelayan tentang ular itu, supaya mencegah ^erita-berita yang tidak karuan tentang anak kita Bi Li."
Pangeran itu lalu melempar sendiri ular tadi ke dalam empang di taman, , kemudian tidur bersama isterinya setelah Soan Li membersihkan bekas-bekas darah ular dengan teliti.
Akan tetapi, keanehan ini tak dapat ditutup untuk seiamanya. Ketika Bi Li sudah berusia dua tahun, dan Wan Sun " empat tahun, dua orang bocah itu selalu bermain-main dengan rukun sekali. Sering-kali mereka main-main berdua di taman " bunga, dikawani oleh beberapa orang pengasuh.
Pada suatu hari, ketika dua orang anak kecil itu sedang bermain-main di taman bunga tiba-tiba seorang di antara pelayan-pelayan itu menjerit.
Semua pelayan memandang dan mere-ka menjadi pucat melihat tiga ekor ular belang yang ganas melenggang-lenggok datang menuju ke arah dua orang anak yang sedang duduk bermain-main pasir di bawah pohon itu.
Seorang di antara para pelayan itu takut kalau-kalau tiga ekor ular itu akan menggigit anak-anak tadi, maka ia cepat mengambil sepotong kayu dan memukul pada ular-ular itu, dengan maksud me-ngusirnya pergi dari situ. Akan tetapi, tiba-tiba seekor ular belang mendesis dan tubuhnya meluncur cepat ke depan. Di lain saat pelayan itu sudah memekik dan roboh dengan muka kehitaman dan napas terhenti. Ular yang menggigit lengannya itu merayap pergi dan bersama kawannya terus saja menghampiri Bi Li dan Wan Sun!
Dua orang pelayan wanita yang lain berdiri terpaku dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka tadi kaget setengah mati melihat seorang kawan mereka roboh tergigit ular, dan sekarang se-mangat mereka seperti terbang pergi meninggalkan tubuh ketika mereka rne-lihat ular-ular itu merayap mendekati asuhan mereka.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika mereka melihat seekor ular merayap ke atas pangkuan Bi Li dan lidahnya yang dijulurkan keluar itu men-jilat-jilat muka anak itu, ia menjadi se-tengah pingsan dan lari bersama kawan-nya yang sudah pucat seperti orang dikejar setan!
"Celaka..... mati..... ular..... aduuhhh |....." ratap mereka tidak karuan.
Keduanya jatuh berdebuk di depan Soan Li dan selir-selir Pangeran Wanyen Ci Lun yang lain. Yang seorang megap-megap seperti ikan dilempar di darat,? mulutnya terbuka tertutup tanpa suara apa-apa. Sedangkan pelayan ke oua malah sudah pingsan seperti orang t"dur, tertelungkup di atas lantai.
"Ada apakah? Mana Kongcu dan Siocia?" tanya Soan Li, hanya dia yang nampak tenang, sedangkan selir-selir yang lain sudah ikut-ikutan panik.
"Ular..... ular..... aduh celal^t" ^"09^ nio..... ular..... mati....."
"Apa? Ular mati? Kenapa takut ular mati?" Soan Li bertanya gemas.
Gak Soan Li memang semenjak muda^ berv/atak keras sehingga ia mendapat juiukan Kang-sim-li (Wanita Berhati Baja).
Ia paling benci melihat sifat pengecut, maka paling sebal kalau melihat orang ketakutan seperti pelayan-pelayannya itu. Dibentak-bentaknya pelayan itu sehingga menjadi makin panik.
"Toanio, ular..... ada ular di taman....Siocia dan Kongcu..... digigit ular belang-belang....." kata pelayan itu sambil menangis tidak karuan.
Mendengar ini, tanpa membuang wak-tu lagi Soan Li melompat dan berlari cepat ke taman sambil membawa pe-dangnya. Sarrtbil mengeluh cemas Pangeran Wanyen Ci Lun ikut berlari ke bela-" kang sedang para selirnya dan pelayan-pelayan lain mengejar pula, akan tetapi dengan hatl kecut dan kedua kaki siap berlari balik apabila terdapat bahaya!
Ketika Soan Li tiba di taman di ma-na kedua orang anaknya sedang duduk di| bawah pohon, wanita gagah yang tak kenal takut itu tiba-tiba menjadi pucat mukanya dan ia berdiri tegak tak ber-gerak, hanya dua tombak dari tempat dua bocah itu duduk, ia melihat peman-dangan yahg menggetarkan jantungnya saking cemas dan khawatir.
Seekor ular mengalungi leher Bi Ci, seekor lagi merayap-rayap melingkari pinggangnya dan ular ketiga yang paling panjang ekornya melilit tangan kanan Wan Sun sedangkan kepalanya berada di pundak Bi Li dan menjilat-jilat.
Kalau Soan Li menahan napas panjang saking khawatirnya, adalah Bi Li yang berada dalam keadaan mengerikan itu tertawa-tawa. Melihat ibunya datang, Bi Li bahkan berkata....
"Ibu, ular bagus..... ular bagus.....!"
Tak jauh dari situ menggeletak tubuh pelayan yang mukanya kehitaman dar sudah tak bergerak. Benar-benar peman-dangan yang menyeramkan. Yang me-ngagumkan adaiah Wan Sun. Bocah in sudah empat tahun usianya sudah me-ngerti urusan. la tahu bahwa pelayan iti roboh karena gigitan ular dan bahwc sekarang yang bermain-main dengan di< dan Bi Li adalah ular-ular berbisa yanj amat berbahaya. Akan tetapi, biarpun tak mungkin dapat tertawa-tawa seperti Bi Li yang bermain-main dengan tiga ekor ular itu, namun ia tidak kelihatan takut sama sekali, hanya diam seperti patung memandang adiknya, mengeraskan hati mengusir rasa jijik dan takut ketika ular ketiga merayapi tubuhnya dan kini ekornya melilit tangannya! Anak yang lain kiranya akan menjerit-jerit atau lari dan kalau ia lakukan hal ini, besar ke-mungkinannya ia pun akan menggeletak seperti pelayan itu. Akan tetapi melihat kedatangan ibunya, baru Wan Suh teringat akan bahaya besar yang meng-ancam. Maka ia memanggil ibunya dengan suara penuh harapan pertolongan.
" Ibu...."
Baru saja ia membuka mulut menge-luarkan suara, ular yang paling panjang dan melilit tangannya itu tiba-tiba mem-balik dan kini ia merayap pundak Wan Sun, mendesis-desis dan lidahnya men-jilat-jilat leher dan muka Wan Sun, agak-nya siap untuk menyerang! Kalau tadi Bi Li tertawa-tawa dan bicara keras ular-ular itu jinak saja, adalah sekarang ter-hadap Wan Sun yang baru saja mengeluarkan sedikit kata-kata, ular itu sudah nampak marah.
Melihat bahaya ini, Soan Li meng-gigil. la tidak berani bergerak secara" sembrono. Ular itu sudah terlampau de" kat dengan anaknya, kalau ia menyerang, tentu ular itu akan marah. Sekali saja gigitan, nyawa puteranya sukar ditolong lagi. la melihat ular-ular ini sebagai ular belang yang paling berbisa, yaitu ular belang kuning dengan leher berkalung biru.
"Wan Sun, jangan bergerak, jangan? bicara....." katanya, kemudian dia berkata kepada Bi Li.
"Bi Li, kau berdirilah per-lahan-lahan, ya..... ya..... begitu..... sekarang berjalan ke sini, perlahan-lahan..."
Bi Li amat sayang kepada ibunya dan segala permintaan ibunya tentu ditaatinya. Sambil tertawa-tawa ia berdiri dan berjalan mendekati ibunya, meninggalkan Wan Sun. Ular yang tadi melilit Wan Sun, melihat Bi Li bergerak menjauhi, lalu merayap turun dan mengejar, akan tetapi secepat kilat Soan Li menggerak-kan pedangnya dan "sratt!" kepala ular itu terpisah dari tubuhnya yang menggeliat-geliat.
"Ibu..... ular baik mengapa dibunuh...?" tanya Bi Li kaget. Dua ekor ular masih melilit tubuhnya.
"Bi Li, ular-ular itu jahat..... Awas...!" teriak Soan Li ketika tiba-tiba ular yang melilit pinggang anak itu qampak marah, demikian pula yang mengalungi lehernya. Ular-ular itu mencium bau darah kawannya dan kini kepala mereka bergerak-gerak mencari.
Tiba-tiba ular yang melilit\ pinggang Bi Li menjulurkan kepala dan lehernya ke arah Soan Li dan tiba-tiba. dengan gerakan mendadak ular itu meluncur melakukan serangan dahsyat ke leher nyonya itu. Akan tetapi tentu saja binatang ini bukan apa-apa bagi Soan Li. Sekali pedangnya berkelebat, tubuh ular itu putus menjadi dua.
"Jangan gigit Ibuku....." berkali-kali Bi li berteriak-teriak sambil memanggil ular yang mengalungi lehernya dan yang meronta-ronta hendak membela kawannya. Anak itu kalah kuat dan ular hampir terlepas dari pegangnya, hanya tinggal ekornya yang dipegang.
"Jangan serang Ibuku, kau ular nakal!" teriak Bi Li lagi, Kemudian anak ini menggigit ekor ular yang dipeganginya dan..... Soan Ll melongo melihat ular itu tiba-tiba menjadi lemas, tergantung lum-puh seperti seekor ular yang sudah mati di tangan anak itu.
Dengan suara di tenggorokan, setengah menangis dan setengah tertawa. Soan Li melompat, merampas dan melempar ular itu ke taman dengan kuat yang membuat tubuh ular itu remuk, kemudian ia merangkul dan menciumi kedua anaknya yang selamat. Diam-diam ia mengaku bahwa betul-betul dalam diri Bi Li terdapat sesuatu yang luar biasa, dan tidak saja ular-ular ganas\ tidak mau mengganggu anak yang ber-keringat harum ini, akan tetapi juga dengan sekali gigitan anak ini telah melumpuhkan seekor ular berbisa!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain juga girang sekali melihat dua orang bocah itu selamat, akan tetapi pangeran itu mengerutkan kening melihat pelayan yang menggeletak di situ. Soan Li yang sedang m^ngenangkan perbuatan Bi Li menggigit ular tadi, mendapat pikiran baik. la melepaskan kedua orang anaknya dan cepat menghampiri tubuh pelayan yang tertelungkup di atas tanah. Diperik-sanya pergelangan lengan dan ketukan jantungnya. Tubuh pelayan itu sudah dingin akan tetapi ketukan jantungnya masih terasa sedikit, tanda bahwa pe-layan itu sesungguhnya belum tewas. la lalu menghampiri Bi Li dan berbisik.
"Anak baik, mari ikut Ibu." la menggendong Bi Li dan menggandeng Wan Sun kemudian mengajak suaminya memasuki rumah, setelah memesan kepada para pelayan untuk mengangkat tubuh pelayan yang digigit ular itu ke dalam kamar.
"Jangan beri obat apa-apa, aku sendiri mau mengobatinya," pesan nyonya ini kepada para pelayan.
"Dan bersihkan tempat ini, babat semua tanaman yang berupa alang-alang. Juga perkuatt pagar tembok agar jangan ada ular berbisa masuk sini." Setelah tiba di dalam kamar, ia memberi tahu kepada suaminya tentang pikirannya hendak mengobati pelayan itu.
"Kurasa sedikit darah dari Bi Li mungkin menolong nyawa pelayan itu," katanya kepada suaminya.
"Setujukah kau kalau aku menghisap sedikit darah anak kita ini?" Biarpun dalam hal-hal seperti ini Soan Li lebih pandai dan mengerti daripada suaminya, akan tetapi ia selalu i minta pendapat suaminya sebelum melakukan sesuatu hal, tanda akan kasih sayangnya dan kesetiaannya kepada suaminya ini.
"Tidak membahayakan diri Bi Li sendiri?" tanya Wanyen Ci Lun. Isterinya menggeleng kepala.
"Tidak ada bahayanya diambil sedikit saja darahnya. Melihat betapa sekali menggigit ekor ular dia bisa membikin ular itu tidak berdaya, kurasa di dalam darah anak ini terkan-dung khasiat melumpuhkan pengaruh oisa ular."
"Kalau tidak membahayakan jiwanya, tentu saja aku setuju. Mulia sekali orang yang dapat menolong keselamatan nyawa lain orang, biarpun yang ditoiong itu hanya seorang pelayan. Lakukanlah kehendakmu itu."
Soan Li mencium Bi Li yang merang-kul ibunya dengan manja.
"Bi Li, anakku yang manis. Kau tadi tentu melihat pe-layan yang digigit ular tadi, bukau?
"Ibu maksudkan Liang Ma?"
"Ya, dia itulah. Bi Li, kita harus mengobatinya dan kalau Ibumu ini tidak salah, sedikit darahmu akan menolong nyawanya. Bi Li, kuatkanlah, aku hen-dak mengambil sedikit darahmu!" Dengan gerakan cepat sekali agar anak itu tidak mengira dan tidak merasa ngeri, tahu-tahu Soan Li telah menancapkan sebuah jarum dan menggurat pangkal lengan Bi Li. Darah mengucur dari luka ini dan Bi Li hanya menjerit kecil, mukanya men-jadi merah dan air matanya bertitik akan tetapi tidak menangis.
"Anak baik, siapa tahu dengan darah-mu ini kau menolong nyawa lain orang," kata Soan Li sambil menggunakan. jari-jari tangannya memencet lengan Bi Li dan menggunakan Iweekang untuk men-dorong keluar darah anak itu keluar melalui luka pangkal lengannya.
Setelah mendapatkan darah sebanyak dua puluh lima tetes, Soan Li menutup luka itu dengan koyo (obat tempel) dan mencium kedua pipi anaknya dengan pandang mata sayang dan kagum. Se-pasang mata Bi Li yang bening itu ber-sinar-sinar, sedikit pun tidak kelihatan takut biar darahnya diambil sampai dua puluh lima tetes! Benar-benar anak yang luar biasa mengingat bahwa usianya baru dua tahun lebih. Wan Sun memandang semua ini dengan mata penuh kekhawa-tiran dan kasihan terhadap adiknya.
Soan Li membav."a darah itu ke kamar pelayan yang sakit, menggunakan sedikit darah dioles-oleskan kepada luka bekas gigitan ular yang sudah menggembung bengkak, kemudian sisa darah itu ia mi-numkan dengan paksa ke mulut pelayan itu. Memang amat sukar memasukkan darah itu karena orang ini hampir tak bernapas lagi. Akan tetapi perlahan-lahan darah itu dapat juga mengalir masuk.
Tidak seorang pun pelayan mengira bahwa yang dipergunakan sebagai obat itu adalah darah dari siocia! Semua pe-layan dan selir melihat cara pengobatan ini dengan penuh harapan. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara berisik, dan semua, termasuk Soan Li dan Wan-yen Ci Lun, menjaga di situ melihat akibat darip^da obat istimewa itu.
Tak lama kemudlan terdengar suara kerurak-keruruk seperti suara ayam di tenggorokan dan perut pelayan itu," ke-mudian seperti tersentak ia muntah-muntah, muntah darah, darah hitam! Para pelayan atas perintah Soan Li lalu menolongnya. Banyak sekali darah hitam keluar dan makin banyak yang keluar, keadaan si sakit makin baik. Cahaya kehitaman yang menyelimuti seluruh tubuhnya berangsur-angsur hilang, ter-ganti warna pucat.
Melihat pelayan itu muntah-muntah, Wanyen Ci Lun dan Soan Li meninggal-kan kamar itu dan Soan Li memesan kepada para pelayan agar supaya si sakit itu dibersihkan, kemudian diberi obat makan bubur encer dan diberi obat pe-nafnbah darah. Betul seperti dugaan Soan Li, dalam waktu dua pekan saja pelayan itu sudah sembuh kembali.
Semenjak saat itu, kesayangan suami isteri ini terhadap Bi Li makin dalam, akan tetapi tetap saja teka-teki tentang siapa adanya Bi Li siapa orang tuanya dan apa maksud orang yang meninggal-kannya di taman bunga, masih selalu menggelisahkan hati mereka. Diam-diam Wanyen Ci Lun teringat kepada saudara misannya, Wan Sin Hong dan alangkah rindu hatinya untuk bertemu dengan Sin Hong karena kiranya hanya Wan Sin Hong yang akan dapat membantunya memecahkan teka-teki tentang diri Bi Li ini.
Oleh karena itu, alangkah girangnyt hati Wanyen Ci Lun ketika dua bulan setelah peristiwa di atas, tiba-tiba muncul Coa Hong Kin! Seperti telah diketa-hui dalam cerita Pedang Penakluk Iblis, Coa Hong Kin ini dahulu adalah sahabat dan tangan kanan Wanyen Ci Lun yang amat disayang dan dipercaya penuh, seorang pembantu yang amat setia.
Dua orang sahabat yang telah lama berpisah ini saling peluk dengan tertawa-tawa terharil. Kemudian mereka duduk bercakap-cakap melepas rindu. Hong Kin tidak mau bercerita tentang terculiknya Tiang Bu, karena memang ia tahu bahwa tidak pada tempatnya kalau ia bercerita tentang putera Gak Soan Li yang men-jadi anak tiri pangeran ini. Pula Pange-ran Wanyen Ci Lun juga tidak mau ba-nyak bertanya. Apalagi Soan Li yang juga menjumpai bekas sahabat suaminya inl, sama sekali tidak bicara tentang bocah itu, karena memang ia sama sekali tidak tahu di mana adanya bocah yang dilahirkannya dengan penuh kebencian itu.
Hong Kin mertgeluarkan surat yahg ia bawa dari Luliang-san.
"Selain datang berkunjung dan me-nengok karena sudah rindu, juga hamba membawa surat dari Wan-bengcu," kata-nya sambil memberikan surat itu kepada Wanyen Ci Lun. la menanti sampai Soan Li meninggalkan mereka berdua saja sebelum memberikan surat itu, karena ia pun tahu bahwa baik Wanyen Ci Lun tidak menghendaki nyonya itu tahu akan adanya seorang Wan Sin Hong cii per-mukaan bumi ini". Seperti telah dicerita-kan dalam cerita Pedang Penakluk Iblis, mula-mula Gak Soan Li jatuh cinta ke-pada Wan Sin Hong dan kemudian ia menjadi isteri Wanyen Ci Lun yang mu-kanya serupa benar dengan Sin Hong. Bagi Soan Li, orang yang pertanna-tama merebut hatinya "tu disangkanya suamijb-nya yang sekarang itulah!
Setelah membaca surat dari Sin Hong, Wanyen Ci Lun duduk termenung. Di dalam surat itu Wan Sin Hong menceri-^takan tentang keadaan bahaya dari Pe-merintah Cin berhubung dengan makin kuatnya bangsa Mongol dan betapa ia telah didatangi oleh tokoh-tokoh utusan Temu Cin. Sin Hong selanjutnya me-nyatakan bahwa apabila kelak terjadi perang kalau tentara Mongol menyerang Kerajaan Cin, sukarlah diharapkan bantu-an orang-orang gagah di dunia kang-ouw, karena selain orang-orang gagah itu se-bagian besar tidak suka kepada Kerajaan Cin, juga bahwa mereka sekarang tahu bahwa bengcu mereka juga keturunan bangsa Cln dan agaknya hendak mem-berontak! Selanjutnya Sin Hong memberi nasihat kepada saudara misannya itu agar supaya mengundurkan diri saja di tempat yang aman dan, tenteram.
Demikianlah, Wanyen Ci Lun merasa bingung dan gelisah. Dengan nasihatnya itu, Sin Hong seakan-akan memberi tahu lebih dulu bahwa kalau sampai terjadi perang, Sin Hong sendiri pun takkan mau membantu Kerajaan Cin untuk ^memukul mundur musuh. Hal ini dapat dimaklumi oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Biarpun keturunan bangsawan Cin, akan tetapi seperti mendianig ayahnya, Wan Sin Hong lebih dekat dengan rakyat jelata daripada deng-an kebang.sawanannya.
Akan tetapi bagi dia sendiri, sampai m"dti Wanyen Ci Lun tidak nanti mau rnembelakangi Kerajaan Cin begitu saja. la bukan seorang pengecut, ia telah me-ngecap kebahagiaan dengan berdirinya Kerajaan Cin, tak mungkin ia sudi me-ninggalkan lari begitu saja setelah kini menghadapi bahaya! Akan tetapi kalau ia memikirkan dya orang anak-anaknya...... ia menjadi gelisah sekali.
Coa Hong Kin tinggal sampai satu bulan di istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Pangeran itu tidak menyimpan rahasia tentang anak pungutnya dan mencerita-kan tentang Bi Li kepada Hong Kin. Tentu saja Hong Kin menjadi terheran-heran dan ia pun tidak dapat menduga siapa orangnya yang telah meninggalkan anak itu di dalam taman, dan anak siapa pula gerangan bocah itu.
Ketika Hong Kin hendak pulang, Waft-yen Ci Lun memberi banyak barang ha-diah dan Gak Soan Li juga minta di-sampaikan pesannya kepada sumoinya, Go Hui Lian, bahwa dia sudah merasa rindu sekali dan sewaktu-waktu hehdak pergi menengok ke Kim-bun-to.
"Hong Kin, kalau sudah tiba masanya, harap kau bersiap menerima kedua anak-ku bersama ibu mereka untuk tinggal di Kim-bun-to, mengungsi apabila keadaan sudah amat mendesak," katanya.
Hong Kin yang diberitahu juga tentang isi surat dari Sin Hong, mengerti akan maksud hati Wanyen Ci Lun. Ia sudah kenal baik akan watak Wanyen Ci Lun yang setia kepada negara dan bang-sanya. la tahu bahwa kalau sampai terjadi perang, Wanyen Ci Lun tak mungkin mau lari seperfi yang diusulkan oleh Sin Hong, dan akan membela Kerajaan Cin sampai mati. Dan agaknya pangeran itu sudah bersiap-siap, kalau terjadi sesuatu, tentu Gak Soan Li dan dua orang anak itu disuruh mengungsi ke Kim-bun-to. Oleh karena itu Hong Kin mengangguk dan menjawab.
"Harap jangan khawatir, tentu kami akan menerima dengan segala senang hati." Maka berangkat pulanglah Hong Kin, diantar oleh pangeran itu sampai keluar istana.
Mari kita ikuti perjalanan Tiang Bu, anak yang nasibnya amat luar biasa itu sehingga semenjak kecil sudah mengalami hal-hal yang hebat dan dia sendiri berganti-ganti jatuh ke dalam tangan orang-orang aneh berkepandaian tinggi.
Telah diceritakan di bagian depan betapa nasib telah melemparkannya ke dalam tangan Bu Hok Lokai, seorang jembel tua perantau yang berilmu tinggi dan jalannya terpincang-pincang. Sampai setahun ia ikut merantau dengan Bu Hok Lokai ini, naik turun gunung, keluar masuk kota dan dusun dan telah menyeberangi entah berapa banyak sungai. Pekerjaan Bu Hok Lokai tak lain hanya me" ngemis dan kadang-kadang kalau bertemu dengan orang-orang pandai bermain catur, ia sampai lupa diri.
Kakek pengemis pincang ini kuat ber-main catur sampai tiga hari tiga rnalam tanpa beristirahat sejenak pun, berganti-ganti lawan. Kegemarannya bermain catur luar biasa sekali dan kalau di suatu kota terdapat banyak ahli catur, ia kadang-kadang lupa untuk melarijutkan perjalanannya.
Oleh karena gurunya setiap hari ha-nya mengemis, sebagai muridnya Tiang Bu tak berdaya dan tidak bisa berbuat lain kecuali mengemis. Sebetulnya anak ini tidak sudi mengemis dan sebagai seorang yahg pernah hidup bersama dengan Pak-kek Sam-kui, ia pernah melakukan pencurian makanan untuk dia sendiri dan terutama untuk menyenang-kan hati Bu Hok Lokai gurunya.
Pedang Penakluk Iblis Eps 11 Pedang Penakluk Iblis Eps 29 Pendekar Pedang Pelangi Eps 24