Pendekar Pedang Pelangi 24
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 24
"Gila...! Aduh!" Chin Tong Sia mengumpat keras sekali ketika jalan darah "tia-ping-hiat" di bawah punggungnya disambar siku Hek-kui! Begitu kuatnya sehingga separuh badannya menjadi lumpuh seketika! Maka tiada ampun lagi tubuh Chin Tong Sia terjerembab ke tanah! Pemuda itu bangkit lagi. Tapi sebuah pukulan kembali menghajar perutnya. Dan kali ini benar-benar telak, sehingga dia tak dapat bangun pula. Pingsan.
"Hebat sekali kepandaiannya. Baru sekali ini Lok-kui-tin dibikin kalang kabut oleh seorang pemuda tak ternama. Hmmh...! Ayoh, kita bawa dia ke ruang bawah tanah!" Hek-kui menggeram. Chin Tong Sia dibawa masuk ke dalam gedung. Mereka langsung membawanya ke ruang bawah tanah. Dan majikan mereka, Mo Hou, ternyata sudah berada di sana pula.
"Bagus! Akhirnya kalian dapat juga meringkusnya...!"
"Ucapan Kongcu benar. Anak ini memang hebat sekali. Walaupun berhadapan dengan kami bertiga, dia masih dapat melukai Cing-kui. Orang ini sebaiknya dibunuh saja. Dia dapat merepotkan kita di kemudian hari..." Mo Hou tersendat kaget.
"Cing-kui terluka? Jadi... tiga di antara Barisan Lok-kui-tin yang tersohor itu... terjungkal olehnya? Sungguh memalukan! Bagaimana kita akan dapat menaklukkan negeri ini, kalau orang-orang kita gampang dikalahkan oleh bocah ingusan seperti dia?" Mo Hou mendengus marah.
"Maafkan kami, Kongcu. Kami sudah berusaha dengan baik. Tetapi bocah ini memang memiliki ilmu silat yang amat tinggi."
"Sudahlah! Rantai kaki dan tangannya! Kurung di ruang Pendekar Souw dan isterinya!"
* * *
Sementara itu. di rumah makan, Liu Wan dan yang lain-lain masih tetap menunggu kedatangan Tiau Hek Hua. Mereka menjadi lega ketika gadis berkulit hitam itu datang membawa empat ekor kuda.
"Eh, mengapa datang sendirian? Di mana saudara Chin tadi?" A Liong menyambutnya dengan tergesa-gesa. Mo Goat yang sedang menyamar itu turun dari kudanya. Air muka tampak kesal sekali.
"Kita tak usah memikirkannya lagi. Dia telah berangkat lebih dulu. Katanya dia tahu jalan yang lebih cepat. Huh!"
"Begitukah...?!?" Liu Wan berdesah. Wajahnya menampilkan rasa kurang percaya. Ditatapnya wajah Tiau Hek Hoa yang hitam itu tanpa berkedip.
"Apakah Sinshe tidak percaya kepadaku?" Gadis itu berteriak kesal. Liu Wan berpaling ke arah Souw Hong Lam.
"Bagaimana pendapatmu, saudara Souw? Lohu sama sekali tidak menyangka kalau saudara Chin pergi mendahului kita..." Souw Hong Lam mengangkat pundaknya.
"Kemanakah Tiau Lihiap dan saudara Chin tadi? Apakah para penjual kuda itu anak buah Kim Wangwe? Jangan-jangan saudara Chin dipengaruhi tengkulak kuda itu..."
"Mereka memang anak buah Kim Wangwe. Kuda-kuda ini memang dari peternakannya. Tapi semua itu tak ada hubungannya dengan kepergian saudara Chin. Dia pergi begitu saja, setelah mendapatkan kuda. Huh, sudahlah...! Terserah kalau kalian tetap ingin menunggu dia. Aku akan berangkat lebih dulu..." Tiau Hek Hoa melompat ke atas punggung kudanya dan melangkah meninggalkan teman-temannya.
"Nona Tiau, tunggu...! Aku percaya padamu!" Souw Hong Lam memilih salah seekor dari kuda itu dan mengendarainya di belakang Tiau Hek Hoa. A Liong memandang Liu Wan yang ia anggap sebagai pimpinan rombongan mereka.
"Bagaimana, Ciok Sinshe? Rombongan ini bisa terpecah belah sebelum tiba di tempat tujuan."
"B-baiklah...! lupakan saja keadaan saudara Chin. Apa boleh buat. Mari... Kita berangkat bersama mereka! Hemmmm..." Liu Wan berkata dengan suara berat. Liu Wan segera naik ke punggung kuda dan mengejar Tiau Hek Hoa. Tapi sungguh celaka bagi A Liong. Sejak kecil pemuda itu tak pernah mengenal kuda. Jangankan harus menaikinya, menuntunpun dia belum pernah. Lebih celaka lagi, dia justru mendapatkan kuda yang paling besar dan paling liar.
"Lo-Cianpwe! Ini... Ini, wah... bagaimana aku harus menaikinya?" Ia berteriak gugup. Tapi semuanya telah hilang dari pandangan. Mereka telah berbelok ke jalan yang lebih besar. Dalam keadaan bingung pemuda itu terpaksa nekad melompat ke punggung kuda. Hupp! Karena terlalu kasar, kuda itu menjadi kaget. Otomatis kedua kaki depannya terangkat tinggi ke atas sambil meringkik keras sekali! Tentu saja A Liong terlempar ke udara. ALiong menjadi malu sekali.
Meskipun dengan ginkangnya dia tidak terbanting ke tanah, tapi keadaannya memang sangat menggelikan bagi setiap orang. Sambil meringis A Liong kembali melompat ke punggung kuda. Kali ini ia mengerahkan ginkangnya. Namun karena gugup dan malu, dia lupa bagaimana harus menaikinya. Bukan pantatnya yang mendarat di atas pelana, tapi... Kakinya! Sehingga dia mengendarai kuda itu dengan berdiri, seperti pemain akrobat yang sedang menunjukkan kebolehannya! Dan kuda itu berlari kencang meninggalkan orang-orang yang kini berubah takjub menyaksikan kelihaian pemuda itu. Di sebuah tikungan jalan, A Liong berhasil mengejar rombongannya. Tetapi mereka menjadi heran dan geli melihat cara berkuda A Liong. Apalagi ketika di tikungan kuda itu berlari tanpa mengendorkan langkahnya. A Liong seperti dilemparkan dari punggung kudanya!
"Hehehe! saudara Liong! Apa-apaan kau ini? Masa naik kuda seperti itu" Liu Wan terkekeh Souw Hong Lam juga tersenyum. Tapi pemuda tampan itu tak berkata apa-apa. Justru Tiau Hek Hoa atau Mo Goat yang berdesis agak kurang senang.
"Tampaknya bisul di pantatnya sedang kumat, sehingga tidak dapat duduk dengan baik!" Tidak terduga A Liong berteriak marah! Sambil menyambar rambut kudanya, dia berjumpalitan di udara, kemudian kembali mendaratkan kakinya- di atas pelana!
"Siapa bilang aku bisulan? Sudah kukatakan bahwa aku tak dapat naik kuda!" Pertunjukan ginkang pemuda itu sepintas lalu tidak mengesankan kehebatannya. Tapi ketika kemudian mereka melihat sepatu pemuda itu seolah-olah lengket di atas pelana yang licin, mereka baru merasa kaget sekali!
"Hmmh, tampaknya kerbau dungu ini memiliki tenaga dalam yang cukup hebat! Aku harus berhati-hati terhadapnya!" Tiau Hek Hoa atau Mo Goat mencatat di dalam hati.
Akhirnya A Liong dapat juga menguasai kudanya. Dia duduk seperti kawan-kawannya, walaupun masih terasa kaku. Mereka menerobos hutan dan bukit-bukit gundul yang jarang dilalui orang, sehingga malam harinya mereka sudah sampai di tepian Sungai Huangho. Mereka langsung menuju ke dusun Luan-cung. Dusun itu bagaikan sebuah kota kecil saja ramainya. Walau hari telah menjadi gelap, namun suasana di pinggiran sungai itu masih ramai dengan para nelayan, pedagang, maupun penduduk yang mencari nafkah di tempat tersebut. Warung-warung minum ataupun warung-warung makan juga penuh dengan para pembeli. Mereka rata-rata adalah para pekerja atau para nelayan yang kelelahan setelah sehari penuh bekerja keras. Tiau Hek Hoa mengajak Liu Wan ke tempat penitipan kuda.
"Ciok-Lo-Cianpwe...! Kita langsung mencari tumpangan perahu, atau... Istirahat dulu di tempat ini?" Liu Wan menoleh ke arah Souw Hong Lam dan A Liong untuk meminta pendapat mereka. Tapi kedua pemuda itu menyerahkan keputusan kepada Liu Wan.
"Baiklah. Tampaknya kita harus bermalam di tempat ini. Selain kita harus mencari perahu yang baik, berlayar dalam gelap juga sangat berbahaya bagi keselamatan perahu kita. Marilah kita mencari penginapan dulu!" Dusun itu memang menyediakan banyak penginapan. Dari yang sangat sederhana sampai yang cukup baik. Setelah mendapatkan tempat menginap, mereka[ lalu keluar mencari tempat untuk menyewa perahu.
"Silakan Anda bertiga mencari tempat makan dahulu, sementara Lohu akan ke tempat penyewaan perahu." Liu Wan berkata sambil menunjuk ke arah timur.
"Ah, mengapa kita tidak pergi bersama-sama? Kita tinggal empat orang lagi. Bagaimana kalau Ciok-sinshe nanti kabur pula?" A Liong bergurau sambil tertawa.
"Hehehe! Lohu sudah tua. Langkah Lohu gampang dikejar oleh anak-anak muda seperti kalian..." Liu Wan tertawa pula. Tapi di tempat penyewaan perahu mereka menjadi kecewa. Mereka hanya mendapatkan perahu yang sudah agak tua. Kata pemilik perahu telah ada beberapa rombongan yang lebih dulu menyewa perahunya.
"Oh, siapakah mereka itu? kemana tujuan mereka...?" Liu Wan berdesah kaget.
"Entahlah. Tampaknya mereka orang-orang dari rimba persilatan pula seperti cuwi sekalian. Semuanya menuju ke hilir. Ada empat rombongan yang menyewa perahu di sini. Lainnya menyewa di tempat Lou Pai..."
"Heran. Tampaknya ada yang tak beres. Jangan-jangan..." Liu Wan mengerutkan keningnya.
"Eeh, apakah saudara tahu... atau mengingat salah seorang dari mereka?" Pemilik perahu itu mengusap rambut kepalanya yang mulai memutih, lalu menggeleng.
"Aku belum pernah melihat mereka sebelumnya. Tapi mereka benar-benar garang dan suka berkelahi. Hanya satu rombongan yang masih kuingat dengan baik, yaitu seorang lelaki tua bersama puterinya. Orang itu menggeser perahu besar hanya dengan tongkat kecilnya..."
"Orang tua? Siapa dia...?" Tiau Hek Hoa berdesah pendek. Matanya yang tajam itu menerawang jauh.
"Baiklah. Terima kasih atas keterang-anmu. Kami jadi menyewa perahu ini besok pagi. Sekali lagi terima kasih." Liu Wan berterima kasih, kemudian mengajak kawan-kawannya pergi.
"Menggeser perahu hanya dengan sebatang tongkat kecil. Amboi! Sungguh sakti sekali." A Liong bergumam pelan.
"Huh! Apa anehnya menggeser perahu di atas pasir?" Tiau Hek Hoa mencibirkan bibirnya. A Liong tertawa. Meskipun kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda gagah perkasa, namun wataknya yang lugas dan suka bergurau itu masih tetap melekat pada diri pemuda yatim piatu tersebut.
"Apakah kau juga mampu? Kalau begitu... biarlah kAu-yang menjadi tukang kemudinya besok pagi. Setuju...?" Tiba-tiba wajah hitam itu menjadi beringas.
"Setan! kau kira semua orang takut pada badanmu yang besar seperti raksasa itu? Huh, walaupun kecil... aku bisa membantingmu sampai lumat! Lihatlah!" Gadis itu menjerit marah. Entah bagaimana caranya bergerak, tapi tahu-tahu gadis itu sudah bergeser di belakang A Liong. Cepat bukan main. Bahkan bayangan gadis itu rasanya masih tertinggal di tempat semula.
"Weeesssh! Siiiing... siiing... siiiing.!" Dan dalam jarak yang begitu dekat, tiba-tiba gadis itu membokong dengan lemparan pisau terbangnya! Bahkan dengan tiga buah pisau sekaligus!
"Oh...!?" Semua terpekik kaget. Liu Wan menjadi pucat. A Liong tentu akan binasa, karena tidak seorangpun di dunia ini yang akan mampu menyelamatkan diri dari serangan seperti itu. Kecuali dia mengenakan baju besi.
"Hei, kau...?" A Liong berteriak keras sekali. Ternyata A Liong sama sekali juga tidak menduga kalau Tiau Hek Hoa bisa seganas itu. Namun dalam keadaan yang tidak memungkinkan seperti itu, A Liong masih sempat menggeliatkan tubuhnya. Dan selanjutnya terdengar suara kain robek, disertai denting pisau tiga kali pula.
"Brett...! Ting! Ting! Tiiiing...!" Kali ini semua orang melongo! Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Semuanya berlangsung dengan begitu cepatnya! Mereka hanya bisa melihat pisau-pisau itu sudah berserakan di atas pasir. Dan dalam sekejap tadi mereka juga masih dapat menyaksikan, asap tipis berwarna-warni, menghilang dari tubuh A Liong. Kini di depan kaki A Liong terlihat sebilah pedang pendek, tergeletak utuh dan masih tetap berada di dalam sarungnya. Dan pemuda itu dengan cepat memungutnya, kemudian menyelipkan kembali ke dalam bajunya. Baju yang kini tampak menganga lebar akibat terpotong di bagian perutnya.
"Kau...!!?" Tiau Hek Hoa memekik berang. Siap untuk menyerang lagi.
"Tahan...!" Liu Wan berseru sambil meloncat di tengah-tengah mereka.
"Akan kubunuh bocah ini!" Gadis bermuka hitam itu tetap menjerit-jerit. Tapi Souw Hong Lam dengan tangkas menghalanginya.
"Sabar, Lihiap! Bersabarlah...!" Pemuda ganteng itu membujuk. Liu Wan segera membujuk pula. Dengan panjang lebar pemuda itu mengingatkan tugas penting mereka. Rombongan itu tinggal empat orang lagi. Selanjutnya tidak boleh berkurang pula. Tiga orang tidak akan cukup untuk memasuki Benteng Langit. Mereka akan gagal tanpa keikutsertaan salah seorang dari mereka.
Demikianlah, mereka lalu kembali ke penginapan setelah melihat keadaan perahu yang mereka sewa. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa gerak-gerik mereka tadi selalu diikuti oleh seseorang. Keesokan harinya mereka sudah berlayar mengikuti arus sungai. Tiau Hek Hoa masih kelihatan geram terhadap A Liong, walaupun A Liong sendiri seperti sudah melupakan peristiwa kemarin. Justru Liu Wan dan Souw Hong Lam yang diam-diam masih sibuk memikirkan peristiwa kemarin. Semalaman dua orang itu memeras otak untuk mengetahui cara bagaimana A Liong meloloskan diri dari pisau terbang Tiau Hek Hoa! Dan dari mana munculnya pedang pendek yang sarungnya tampak kuno itu? Benarkah pedang tersebut milik A Liong? Tapi sejak kapan pemuda itu mengeluarkannya?
"Pemuda itu hanya menggeliatkan i. pinggangnya. Kedua tangannya sama sekali tak ada kesempatan untuk menangkis ataupun menghindarkan diri. Apalagi harus mencabut senjata." Souw Hong Lam tak habis pikir. Sebaliknya, selain berpikir tentang hal itu, Liu Wan juga mulai curiga kepada Tiau Hek Hoa. Pemuda yang sedang menyamar sebagai tabib tua itu, merasa pernah melihat gerakan melempar pisau Tiau Hek Hoa. Tapi dia tidak dapat mengingatnya lagi. Air sungai Huang-ho mengalir dengan tenang. Begitu tenang dan luasnya sehingga orang sulit menduga, berapa dalam dasar sungai itu. Sinar matahari menyorot menembus kabut dan mulai menggapai ujung layar mereka.
"Lihat...! Indah sekali! Sedemikian banyaknya perahu berlayar di sungai ini, sehingga dari jauh seperti barisan semut yang sedang berbaris menuju ke liangnya." Liu Wan yang suka keindahan alam itu mulai berpantun. Souw Hong Lam tersenyum. Perlahan-lahan tangannya mengambil suling dari balik, mantelnya, kemudian meniupnya dengan halus. Suaranya mengalun panjang, semakin lama semakin nyaring. Dan Liu Wanpun tak tahan untuk tidak bernyanyi. Walaupun harus membuat suaranya seolah-olah sedikit serak, tapi nyanyiannya terasa sedap didengar telinga. A Liong mengetuk-ngetukkan jarinya di pagar perahu. Meskipun tidak mengerti irama, apalagi soal pantun dan musik, namun pemuda itu bisa merasakan kenikmatan lagunya. Hanya Tiau Hek Hoa yang masih tetap diam di tempatnya. Air mukanya juga masih gelap, sementara bibirnya yang hitam itu tetap merengut pula.
"Awan berarak ke selatan,
Mengalir ke Bukit Kun-lun,
Menebar pasir dari Gurun Gobi,
Merata bagai tikar dari Parsi."
Para penumpang perahu yang lainpun kelihatan menikmati pula alunan suara suling dan nyanyian Liu Wan. Beberapa orang nelayan sampai melongokkan kepalanya ke arah mereka. Sebuah perahu mendekati mereka. Seorang kakek tinggi kurus dengan rambut putih menganggukkan kepalanya ke arah mereka. Kakek itu memegang sebatang suling pula.
"Tiupan sulingmu sungguh bagus, Anak muda. Bolehkah Lohu turut menyema-rakkannya?" Tiba-tiba terdengar suara halus di telinga mereka. Suara yang di dorong oleh tenaga dalam yang sangat tinggi. Meskipun kaget, Souw Hong Lam tidak menolaknya. Sambil mengangguk pemuda itu mulai meniup sulingnya lebih keras lagi. Kali ini nadanya tambah renyah dan gembira. Ternyata kakek berambut putih itu tidak mau kalah pula. Dengan nada tinggi sulingnya mengikuti irama Souw Hong Lam. Nada dan suaranya terasa serasi dan nyaman di telinga, membuat duet seruling mereka terdengar nikmat dan menyenangkan. Akhirnya perahu kakek berambut putih itu berendeng dengan perahu mereka.
"Bukan main...! saudara masih muda, tapi suara sulingmu sudah mampu menggetarkan awan di langit! Bukan main! saudara muda, bolehkah Lohu yang tua ini mengenal namamu?" Souw Hong Lam menggosok-gosok sulingnya dengan ujung bajunya.
"Siauwte bernama... souw Hong Lam, Lo-Cianpwe. Maaf, siauwte juga belum mengenal Lo-Cianpwe pula..." Mata yang tajam berkilat tegun sebentar, lalu kembali seperti semula.
"Hohoho, Lohu tidak pernah menginjak daerah biasa berkeliaran di sepanjang pantai timur Propinsi Shantung. Lohu bernama Kwe Tiong Li..."
"Kwe Tiong Li...?" Liu Wan berdesah kaget. Nama itu sangat terkenal puluhan tahun lalu. Sebuah nama yang dikaitkan dengan julukan yang menyedihkan. Keh-sim Taihiap atau Pendekar Patah Hati...
"Ciok Sinshe mengenal namanya?" A Liong bertanya ketika melihat kegugupan Liu Wan.
"Yah! Dia seorang pendekar ternama yang kemudian mengasingkan diri di Pulau Meng-to. Lohu juga kenal puteranya yang gagah perkasa, Kwe Tek Hun. Tapi beberapa tahun yang lalu Keh-sim Taihiap dikhabarkan pergi ke Pondok Pelangi. Entah benar atau tidak."
"Oh, jadi beliAu-yang bernama Keh-sim Taihiap?" A Liong tersentak kaget.
"Kau pernah mendengar namanya?" A Liong tidak menjawab. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menatap orang tua gagah itu tanpa berkedip. Ternyata bukan hanya Liu Wan dan A Liong yang terkejut mendengar nama Kwe Tiong Li. Souw Hong Lampun ternyata juga kaget pula. Terbukti matanya yang tajam itu terbelalak lebar.
"Ah, Kwe Taihiap rupanya. Nama Lo-Cianpwe terkenal di mana-mana. Setiap orang kang-ouw tentu mengenalnya. Sayang siauwte baru dapat bertemu sekarang..." Souw Hong Lam berkata sambil memberi hormat.
"Ah, sudah lama Lohu mengasingkan diri. Sungguh tidak kusangka kini banyak tumbuh jago-jago muda di kalangan persilatan. Dan caramu meniup suling mengingatkan aku kepada seseorang. Hmmm, apakah saudara mempunyai hubungan darah dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?" Sekali lagi Souw Hong Lam terkejut. Orang tua itu benar-benar awas dan lihai sekali. Hanya dengan mendengarkan caranya meniup suling, dia sudah dapat menebak asal usulnya.
"B-benar, Locianpj^. BSirfute#nlemaflg masih mempunyai pertalian darah dengan Souw Taihiap. Sayang sekali siauwte jarang dapat berjumpa dengan beliau."
"Benarkah? Oh, ternyata masih baik juga telingaku ini." Aliran sungai itu mulai mendekati belokan yang tajam. Arus juga mulai terasa kuat menggoyang perahu mereka. Liu Wan yang sedianya hendak memperkenalkan diri menjadi batal. Dengan tangkas pemuda itu meraih dayung untuk ikut menjaga. keseimbangan perahu.
"Tiau Lihiap! saudara A Liong! Awas...! Jangan sampai perahu kita bersenggolan dengan perahu Kwe Taihiap! Ombak sungai ini dapat menenggelamkan perahu yang saling berbenturan!" Liu Wan berteriak sambil membelokkan kemudinya.
"Benar! Kita tidak boleh terlalu berdekatan!" Kwe Tiong Li berseru pula dari atas perahunya. Dan kakek gagah itu bergegas mengayunkan dayungnya ke dalam air. A Liong, Tiau Hek Hoa dan Souw Hong Lam bekerja sama mengendalikan perahu. Dengan kesaktian mereka, perahu itu mudah saja mereka kuasai. Terutama A Liong.
Pemuda itu telah terbiasa mengarungi lautan ganas hanya dengan sampan kecil dari tulang ikan hiu. Baginya, ayunan ombak sungai itu belum seberapa bila dibandingkan dengan keganasan arus Pusaran Maut di Laut Utara! Apabila kawan-kawannya tampak tegang dalam usaha melawan ombak arus sungai, maka tidak demikian dengan" ALiong. Pemuda itu kelihatan tenang saja berdiri di ujung perahu. Matanya tak pernah lepas dari arus air di bawahnya. Sebentar-sebentar dayungnya dihentakkan ke dalam air untuk menggeser arah perahu. Tak seorangpun menyadari perbuatan A Liong. Semuanya baru sadar setelah beberapa kali perahu mereka lolos dari terjangan ombak. Setiap arus datang dari samping, tahu-tahu ujung perahu mereka telah berbalik menyongsong arus. Mereka baru sadar bahwa semua itu adalah hasil perbuatan A Liong!
"Ooooiiii...! Anak muda! kau sungguh hebat...!" Kwee Tiong Li berseru dari perahunya. Suaranya tertelan oleh deru angin dan ombak. Kakek tua yang sudah terbiasa mengarungi lautan itu gampang saja mengendalikan perahunya. Perahu-perahu yang lain bergulat pula seperti mereka. Walaupun sulit tapi tak sebuah perahupun yang terbalik atau tenggelam. Semua orang memang sudah tahu keganasan tempat itu, sehingga merekapun telah berjaga-jaga sebelumnya. Hanya orang yang pandai mengemudikan perahu, berani melewati tikungan tersebut. Selepas dari tikungan itu aliran sungai kembali bergelombang seperti biasa. Hanya arusnya saja yang masih terasa deras. Tetapi sebagai gantinya deru angin bercampur debu mulai terasa meniup dari arah utara.
"Di manakah perahu Kwe Taihiap tadi?" Liu Wan melongok kesana-kemari, tapi perahu yang dimaksud sudah tak kelihatan lagi.
"Perahunya lebih kecil. Mungkin sudah meluncur lebih dulu." A Liong menjawab.
"Eh, lihat...! Orang-orang itu seperti mau berpindah. Apakah mereka juga mau mengungsi seperti penduduk di sepanjang Tembok Besar?" Tiba-tiba Souw Hong Lam mengacungkan tangannya ke daratan.
"Benar. Tampaknya pasukan Mo Tan sudah ada yang menyusup sampai ke daerah ini. Gawat! Sungguh gawat!" Liu Wan berdesah cemas. A Liong yang tidak begitu paham soal negara hanya diam saja di tempatnya. Dia yang sejak kecil hidup menderita di kolong-kolong jembatan, tak begitu acuh pada persoalan-persoalan pemerintahan. Ia hanya tahu, peperangan membuat kehidupan menjadi sulit. Terutama bagi rakyat kecil. Di masa perang seorang pengemispun akan sulit mencari sisa-sisa makanan. Dia sendiri pernah mengalaminya.
"Heran. Mengapa orang suka benar berperang?" Tak terasa pemuda itu bergumam perlahan.
"Ciok Sinshe! Kita harus lekas-lekas membebaskan Yap Tai-Ciangkun! Kita tidak boleh terlambat!" Souw Hong Lam berkata.
"Benar, Hian-te. Marilah...!" Mereka semakin bersemangat mendayung perahu. Beberapa kali mereka melewati dusun-dusun kecil yang sudah ditinggalkan penghuninya. Seharian mereka mendayung perahu tanpa mengenal lelah. Terik matahari tidak menghalangi semangat mereka. Apalagi kalau mereka menyaksikan para penduduk yang berbondong-bondong meninggalkan sawah ladangnya.
"Eh, Lo-Cianpwe. Rasa-rasanya orang di perahu itu selalu mengawasi kita. Mencurigakan benar..." Tiba-tiba A Liong menggamit Liu Wan.
"Perahu mana...?"
"Empat perahu besar di belakang kita itu! Seharusnya perahu mereka lebih cepat dari perahu ini. Layar mereka juga lebih besar dan lebih lebar. Tapi, tampaknya mereka memang sengaja tidak memasang layar sepenuhnya. Mereka memang memperlambat perahu mereka."
"O, perahu itu! Apakah mereka bukan pengungsi pula? Hemmm, jangan-jangan mereka malah mencurigai kita. Siapa tahu mereka justru menganggap kita perampok?" Souw Hong Lam yang ikut mendengar percakapan mereka tertawa lirih.
"Benar. Dalam keadaan seperti ini, setiap orang tentu akan saling curiga-mencurigai. Sulit untuk menentukan, siapa kawan siapa lawan." Sekonyong-konyong Tiau Hek Hoa mendengus. A Liong tertawa lebar.
"Ah, aku hanya omong sekenanya saja. kau juga tak perlu marah-marah."
"Siapa yang marah? Marahpun juga percuma melihat tampangmu yang bodoh seperti kerbau ini!"
"Nah! Nah...! Kalau tidak merasa marah, jangan mengumpat-umpat begitu! Tenang saja...!" A Liong yang tidak mudah marah itu tersenyum menggoda.
"Bangsat kecil...!" Tiau Hek Hoa menjerit. Mendadak kedua tangannya terayun ke depan.
"Sing! Sing! Sing!" Belasan buah paku kecil melesat ke tubuh A Liong. Semuanya menuju ke jalan darah kematian!
"Tiau Lihiap!" Liu Wan berseru. Begitu pula dengan Souw Hong Lam. Serang-flm itu sungguh amat ganas dan keji. Sama sekali tidak memberi kesempatan atau peringatan kepada lawannya. Perahu itu tidak begitu besar. Paling-paling hanya dua tombak panjangnya, sehingga jarak antara Tiau Hek Hoa dan A Liong juga tidak lebih dari sepanjang dua lengan mereka. Maka dapat dibayangkan bahwa serangan paku itu tidak mungkin dapat dihindari lagi. Kalaupun A Liong sempat menangkis, maka tak mungkin dapat ditangkis semuanya.
"Gila...!" A Liong mengumpat lirih. Kemudian dengan gerakan yang mentakjubkan, tubuh pemuda itu meliuk ke kanan dan ke kiri sambil menggeser ke samping, sehingga badannya yang kekar itu terperosok keluar perahu.
"A Liong...!??" Souw Hong Lam yang berada di dekat pemuda itu berteriak kaget. Bergegas ia melongok ke bawah.
"Bagaimana...?" Liu Wan ikut melongok ke bawah pula.
"Heran. Tidak terdengar suara dia tercebur air."
"Ciok Sinshe, aku di sini! Jangan khawatir, aku tidak apa-apa..." Tiba-tiba terdengar suara A Liong di buritan. Pemuda itu baru saja mengangkat kakinya dari pagar perahu.
"Kau...?!?" Tiau Hek Hoa memekik dan siap menyerang kembali.
"Aduh, tahaaaan! Kenapa sebenarnya kalian ini?" Liu Wan cepat melerai di tengah-tengah mereka.
"Ciok Lo-Cianpwe, menyingkirlah! Akan kubunuh kerbau dungu ini!" Tiau Hek Hoa menggeram. Sebaliknya A Liong tetap bersikap tenang.
"Aku sudah dua kali bersikap sabar kepadamu. Tapi kesabaran orang tentu ada batasnya. Terserah kepadamu. Yang jelas aku tidak takut pada wajah hitammu itu. Dari harap kau ketahui juga, bahwa kau tidak akan mudah mengalahkan aku. Sebaliknya, aku justru mempunyai kesempatanku lebih banyak untuk mengalahkanmu. Mau coba?"
"Kau menantang aku?" Wajah hitam itu semakin kelam.
"Sudahlah! Kalian ini mau melanjutkan perjalanan kita atau tidak? Kalau tidak, silakan turun dari perahu! Lohu dan saudara Souw akan berangkat sendiri! Marilah, saudara Souw... Kita turunkan mereka ke pinggir! Kita berdua saja!" Liu Wan berseru marah.
"Baik, Lo-Cianpwe..." Souw Hong Lam mengangguk. Tiba-tiba A Liong mengangkat tangannya.
"Maaf, Ciok Sinshe. Aku mengaku salah. Tak kusangka tadi membuat marah Nona Tiau. Biarlah aku meminta maaf kepadanya." Dan pemuda pendekar itu benar-benar membungkuk di depan lawannya. Liu Wan dan Souw Hong Lam tercengang.
Bagi mereka A Liong sebenarnya tidak bersalah. Justru Tiau Hek Hoa yang mereka anggap keterlaluan. Gadis itu yang seharusnya meminta maaf kepada A Liong. Tiau Hek Hoa membuang muka. Tapi keinginan untuk berkelahi sudah tidak ada. Ternyata pada saat yang tepat pikiran sehatnya telah muncul kembali. Dia ingat tugas yang diberikan oleh ayahnya. Bersama Mo Hou, dia ditugaskan untuk mengawasi gerakan para tokoh persilatan di daerah Tionggoan. Kebetulan dalam perjalanan mereka di Tai-bong-sui, mereka mencium berita tentang pertemuan para pendekar persilatan daerah utara. Dan secara kebetulan pula mereka mendengar rencana pembebasan Panglima Yap Kim. Mereka lalu membagi tugas. Mo Goat menyusup di antara para pendekar sebagai Tiau Hek Hoa, sementara Mo Hou melindunginya dari kejauhan.
Panglima Yap Kim memang sangat disegani Mo Tan. Beberapa kali raja suku bangsa Hun itu menelan kekalahan bila berperang melawan pasukan Yap Kim. Oleh karena itu Mo Hou bersama Mo Goat harus dapat menggagalkan rencana pembebasan itu. Bahkan kalau dapat, mereka harus bisa melenyapkan panglima perang yang tersohor itu. Semakin ke timur, suasana perang semakin terasa panas. Pasukan Mo Tan yang dipimpin oleh Panglima Yeh Sui, tampaknya sudah tidak main kucing-kucingan lagi. Kelihatannya pasukan itu sudah mulai menyerang dengan terang-terangan. Dan kemungkinan besar pasu-kan itu sudah bertemu dengan pasukan Ciang Kwan Sit, sehingga pasukan Au-yang Goanswe yang sedianya akan menangkap Pangeran Liu Wan Ti itu berhadapan dengan mereka.
Pertempuran dahsyat tak bisa dielakkan lagi. Korban berjatuhan. Pasukan Han sebenarnya lebih banyak dan lebih lengkap peralatannya, tapi semangat tempur mereka ternyata tidak setinggi pasukan Mo Tan. Pasukan Ciang Kwan Sit yang telah terbiasa hidup enak itu segera kocar-kacir dilanda pasukan Yeh Sui. Akibatnya dapat diduga. Kekalahan itu membuat penduduk di sekitar daerah pertempuran menjadi kalang-kabut. Mereka menerima perlakuan kasar dari pasukan Mo Tan. Seperti halnya negeri yang kalah perang, tempat itu dijarah rayah oleh pemenangnya. Benar juga. Berita tentang pertempuran itu segera mereka dengar dari para pengungsi. Bahkan diberitakan pula bahwa Panglima Ciang Kwan Sit terbunuh dalam pertempuran itu.
"Celaka! Sekarang di Kotaraja tidak ada panglima perang yang pandai. Semua jendral yang setia kepada Panglima Yap Kim telah dibuang atau dipenjarakan. Bagaimana mungkin negeri ini dapat mempertahankan diri? Ah! Mo Tan sungguh pintar dan licik! Bertahun-tahun dia telah mempersiapkan penyerangan ini..." Liu Wan bergumam perlahan. Suaranya gemetar mencerminkan kegelisahan hati.
* * *
Sementara itu Chin Tong Sia yang terkurung di ruang bawah tanah, terkejut sekali ketika siuman dari pingsannya. Sepasang kaki dan tangannya terikat rantai besi. Dan dia tidak tahu di mana dia berada. Ruangan luas itu hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak di pojok ruangan. Dan sinarnya yang lemah hanya mampu menggapai meja" kecil tempat ia diletakkan.
"Anak muda...? Engkau siapa? Apakah kau juga ditangkap oleh Liok-kui-tin?" Tiba-tiba terdengar suara berat dari pojok ruangan. Chin Tong Sia berpaling kaget. Tapi sinar lampu terlalu lemah untuk mencapai tempat itu, sehingga matanya tak mampu melihat siapa yang berbicara. Matanya hanya mampu menangkap dua sosok bayangan kehitaman.
"Aku... eh, kau... siapa?" Pemuda itu balik bertanya. Otomatis kaki tangannya bersiaga.
"Aku bernama Souw Thian Hai. Ini isteriku... Kami berdua juga ditawan oleh pengawal Raja Mo Tan itu."
"Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?" Terdengar gemerincing suara rantai ketika pendekar ternama itu mendekati Chin Tong Sia. Dan sesaat kemudian terlihatlah bayangannya di keremangan lampu. Pendekar itu datang bersama Chu Bwe Hong, isterinya. Mereka masih tampak kuat dan bersemangat walaupun rambutnya telah memutih. Meski sudah sering melihat dan mendengar namanya, tapi baru sekali inilah Chin Tong Sia berhadapan langsung dengan Souw Thian Hai dan isterinya.
"Lo-Cianpwe, seorang pemuda yang katanya masih keluarga dan mencarimu. Namanya Souw Hong Lam. Sekarang dia juga ada di kota ini. Kami bersama beberapa teman bermaksud pergi ke suatu tempat. Sayang aku terperangkap di sini..." Souw Thian Hai memandang Chu Bwe Hong. Dahinya berkerut.
"Souw Hong Lam...? Siapakah dia? Rasanya tak ada nama itu di keluarga Souw kami. Berapakah usianya?" Chu Bwe Hong berbisik sambil tetap mengawasi suaminya.
"Masih muda. Mungkin empat atau lima tahun lebih muda dariku. Tinggi langsing dan ganteng." Souw Thian Hai menggeleng lemah.
"Sudahlah, nanti kalau sempat bertemu, tentu akan saling mengenal. Sekarang kita pikirkan dulu keadaan kita. Emmm, kau tadi belum menyebutkan namamu."
"Namaku Put-tong-sia, dari Beng-kauw..." Terdengar jerit lirih dari bibir Chu Bwee Hong yang masih menatap wajah Chin Tong Sia seperti melihat hantu.
"Kau... Kau putera Put-ceng-li Lojin?" Souw Thian Hai bertanya dengan suara sedikit gemetar. Sekejap Chin Tong Sia menjadi gugup. Sikap suami-isteri ternama itu tiba-tiba terasa aneh. Mereka kelihatan kaget sekali ketika mendengar namanya.
"Benar, Lo-Cianpwe. Aku memang putera mendiang Put-ceng-li Lojin. Mengapa Lo-Cianpwe kelihatan kaget?" Souw Thian Hai memandang isterinya dan tiba-tiba wanita cantik itu menubruk serta menangis di dadanya. Tentu saja Chin Tong Sia semakin bingung. Sambil mengelus rambut isterinya, Souw Thian Hai berpaling kepada Chin Tong Sia.
"Tapi, maaf... Kami... Kami tidak pernah tahu kalau Put-ceng-li Lojin sudah pernah menikah. Sejak kami saling mengenal, orang tua itu selalu sendirian." Chin Tong Sia menghela napas panjang. Wajahnya kelihatan sedih.
"Menurut penuturan Ayah, Ibu meninggal pada saat melahirkan aku. Dan Ayah tidak pernah kawin lagi..." Tak terduga Chu Bwe Hong semakin terisak-isak.
"Jadi kau belum pernah melihat wajah Ibumu? Apakah Put-ceng-li Lojin juga tidak pernah bercerita tentang Ibumu?" Souw Thian Hai bertanya seolah tak percaya. Chin Tong Sia menatap wajah pendekar ternama itu lekat-lekat. Ada perasaan tidak enak di hatinya. Orang tua itu menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi baginya. Dan kebetulan pula mengenai masalah yang kurang begitu disukainya. Tapi wajah pendekar tua itu kelihatan bersungguh-sungguh. Bahkan kulit mukanya tampak pucat dan serba salah. Chin Tong Sia menggelengkan kepalanya.
"Apakah... Lo-Cianpwe mengenal Ibuku?" Souw Thian Hai menepuk punggung isterinya.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah, Put-ceng-li Lojin memang seorang lelaki sejati. Meskipun pembawaannya seperti orang yang tidak beradab, tetapi ia seorang yang tahu memegang janji dan sumpahnya. Sekarang semuanya tergantung kepadamu. Apakah engkau sudah dapat menghapus kebencian itu?"
"Aku... aku, oh... entahlah." Chin Tong Sia semakin tak mengerti. Kelakuan sepasang pendekar ternama itu terasa sangat aneh baginya. Mula-mula mereka kaget ketika mendengar nama dan asalnya. Lalu isteri pendekar tua itu menangis terisak-isak setelah ia bercerita tentang ayah-ibunya.
"Lo-Cianpwe, apakah sebenarnya yang terjadi? Tampaknya Lo-Cianpwe berdua sangat mengenal Ayah-ibuku..." Chu Bwe Hong semakin kuat tangisnya, sehingga Souw Thian Hai terpaksa membujuknya.
"Baiklah... Kau tidak usah memikirkannnya lagi kalau memang belum dapat melupakan peristiwa itu. Tapi kuminta kau jangan menyakiti hatinya. Bagaimanapun dia tidak bersalah. Dia tidak tahu apa-apa..." Akhirnya Souw Thian Hai menghibur isterinya.
"Maaf, Lo-Cianpwe... aku menjadi bingung. Apa yang telah terjadi sebenarnya? Apakah ada sesuatu yang Lo-Cianpwe ketahui tentang kedua orang tuaku?" Souw Thian Hai melepaskan pelukan isterinya melangkah mendekati Chin Tong Sia. Pendekar itu lalu mengangkat tangannya dan menepuk pundak Chin Tong Sia, sehingga rantai besi yang terikat di pergelangan tangannya saling bergesekan dan menimbulkan suara gemerincing nyaring.
"Kau tidak perlu bingung. Kami berdua memang mempunyai sebuah rahasia besar tentang orang tuamu. Tapi sekarang belum saatnya rahasia itu dibeberkan. Aku berjanji, suatu saat kami berdua tentu akan memberitahukannya kepadamu. kau tidak usah khawatir..." Souw Thian Hai berkata perlahan. Chin Tong Sia mengerutkan keningnya. Wajahnya kelihatan kecewa. Tapi dia memang tidak dapat memaksa.
"Chin Tong Sia bagaimana ceritanya sehingga kau berada di sini? Apakah orang-orang Mo Tan itu bermusuhan denganmu?" Souw Thian Hai mengalihkan pembicaraan.
"Benar, Lo-Cianpwe. Semula aku tidak menyangka kalau mereka orang Hun. Tapi setelah pemuda yang berhadapan dengan aku itu menyebut dirinya putera Raja Mo Tan, baru aku sadar bahwa aku berhadapan dengan pasukan asing. Sayang jumlah mereka sangat banyak sehingga aku tak berdaya melawannya." Souw Thian Hai mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tak kusangka semuanya berubah dengan cepat sekali. Semenjak pengkhianatan Au-yang Goanswe itu berkuasa dan berhasil mempengaruhi Ibu Suri negeri ini benar-benar kacau." Chin Tong Sia mengangkat wajahnya.
"Kudengar Lo-Cianpwe pergi ke Pondok Pelangi dalam lima tahun ini. Benarkah?" Pendekar itu menatap Chin Tong Sia kemudian mengangguk. Lengannya yang masih kelihatan kokoh disilangkan di depan dadanya.
"Sebenarnya aku belum sampai di sana. Sulit sekali mencapai tempat itu. Utusan Pondok Pelangi yang membawa aku dan isteriku, ternyata juga tidak mampu pulang ke tempat tinggalnya. Mereka tak mampu mengatasi keganasan laut utara. Kami terdampar di sebuah pulau kecil yang hampir selalu diselumuti es."
"Khabarnya Kwe Taihiap dari Pulau Meng-to juga pergi ke Pondok Pelangi. Lo-Cianpwe bertemu dengan dia?"
"Tidak. Aku justru mengetahui hal itu setelah pulang dari sana. Mungkin utusan Pondok Pelangi yang membawa Kwe Taihiap justru dapat membawanya ke Pondok Pelangi. Aku belum sempat bertemu dengan Kwe Taihiap."
"Em, Lo-Cianpwe... Kudengar Utusan Pondok Pelangi itu sangat sakti. Benarkah?" Souw Thian Hai menghela napas panjang. Terasa nada kecewa dalam suaranya.
"Benar. Selama hidupku baru sekali itu aku dikalahkan orang dengan amat mudahnya. Ilmu silat yang kupelajari selama ini bagaikan permainan anak kecil saja bagi mereka. Sungguh mentakjubkan..."
"Akh!" Chin Tong Sia berdesah hampir tak- percaya. Jago-jago silat ternama seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dikalahkan orang dengan mudah?
"Untunglah mereka bukan orang-orang jahat. Setelah bertahun-tahun tidak mampu kembali ke Pondok Pelangi, kami berdua diperbolehkan pulang. Bahkan selama lima tahun itu mereka telah memberikan tambahan penjelasan tentang ilmu silat secara panjang lebaE."
"Begitu sulitkah mencari jalan ke Pondok Pelangi? Rasanya sangat aneh kalau orang tak mampu mencari jalan pulang ke rumah sendiri." Souw Thian Hai tersenyum.
"Anak muda, kau memang belum menyaksikan sendiri kedahsyatan Laut Utara. Apabila kau sudah pernah ke tempat itu, kau baru akan percaya kata-kataku. Jadi bukannya mereka tak mampu mencari jalan pulang, tapi kedahsyatan alamlah yang menghalangi mereka untuk mencapai tempat tersebut."
"Oooh...?.!?" Chin Tong Sia menarik napas panjang.
(Lanjut ke Jilid 24)
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 24
Hening sejenak. Terdengar suara jengkerik di pojok ruangan.
"Ah, tampaknya hari sudah malam. Hong-moi, kau istirahatlah. Kita perlu banyak menyimpan tenaga untuk dapat keluar dari tempat ini." Pendekar tua itu berkata kepada isterinya. Chu Bwe Hong beringsut dan duduk kembali di dekat lampu. Chin Tong Sia benar-benar kagum melihatnya. Nenek itu tentu telah berusia lebih dari setengah abad, tapi wajah dan penampilannya masih kelihatan cantik dan anggun. Coba kalau rambutnya yang putih itu dicat kembali dengan warna hitam, niscaya orang akan mengira kalau dia masih muda.
"Kudengar kesaktian suami-isteri ini sangat disegani di dunia persilatan. Bagaimana mungkin mereka dikalahkan oleh Mo Hou dan para pengawalnya itu?" Chin Tong Sia berkata di dalam hatinya, seperti tahu apa yang dipikirkan Chin Tong Sia, pendekar itu bergumam perlahan.
"Sejak mendengarkan penjelasan tentang ilmu silat dari Utusan Pondok Pelangi, aku merasa ilmu silatku sudah jauh lebih baik lagi. Tapi dugaanku meleset. Ternyata ilmu silat orang lainpun dapat bertambah tinggi pula. Buktinya ilmu silat para pengawal Raja Mo Tan itu juga bertambah hebat pula dibandingkan dulu. Dua puluhan tahun yang lalu pernah kukalahkan. Kini ketika ilmuku sudah bertambah, mereka justru dapat mengalahkan aku."
"Tetapi... Mereka menang karena kau belum pulih dari lukamu. Coba kalau luka dalam akibat sabetan ekor ikan paus itu sudah sembuh, mungkin kau tidak akan dikalahkan oleh mereka." Chu Bwe Hong menghibur suaminya. Chin Tong Sia terkesiap.
"Apakah yang Lo-Cianpwe maksudkan itu... Lok-kui-tin, pengawal Mo Hou?"
"Benar, selain sebagai pengawal keluarga raja, enam hantu itu sebenarnya adalah murid Ulan Kili, Pendeta Agung suku bangsa Hun. Sebelum menjadi Pendeta Agung, Ulan Kili bernama Bok Siang Ki, jago silat nomor dua di seluruh negeri ini. Seperempat abad yang lalu ia kabur keluar Tembok Besar, karena dikalahkan oleh Pangeran Liu yang kun. Maka kau jangan kaget kalau melihat murid-muridnya sangat lihai."
"Lo-Cianpwe benar. Kepandaian Lok-kui-tin memang benar-benar hebat. Saya juga tidak berdaya melawan mereka, walaupun dalam perkelahian tadi dapat kurobohkan tiga orang diantaranya!" Souw Thian Hai terkejut.
"Kau dapat merobohkan tiga orang di antara mereka? Benarkah? Wah, ilmu silatmu tentu hebat sekali! Sungguh tidak kusangka Put-Ceng-li Lojin dapat mewariskan ilmunya kepadamu." Tiba-tiba Chin Tong Sia menundukkan mukanya. Pujian itu justru menyadarkannya. Tidak seharusnya ia mengatakan seperti itu. Bagaimanapun juga robohnya ketiga orang itu lebih disebabkan oleh keberuntungannya, bukan karena ilmu silatnya yang lebih baik. Coba kalau sejak semula lawannya itu tidak memandang rendah kepadanya dan melawannya dengan hati-hati, mungkin kesudahannya akan menjadi lain. Chin Tong Sia menengadahkan kepalanya kembali. Namun ketika mulutnya hendak mengatakan hal tersebut, di luar kamar terdengar suara langkah orang mendatangi. Souw Thian Hai bergegas mendekati isterinya. Matanya mengawasi pintu yang terbuat dari besi itu dengan penuh kewaspadaan.
"Silakan makan malam...! Baru besok pagi Kongcu dapat menemui kalian." Terdengar suara penjaga di luar pintu. Lobang kecil di bagian bawah pintu terbuka. Sebuah nampan berisi makanan dan minuman disorongkan masuk.
"Koko, jangan diambil! Makanan itu beracun." Chu Bwe Hong memperingatkan suaminya.
"Tenanglah...! kau tidak perlu kuatir. Mereka belum bermaksud membunuh kita, Mereka masih menginginkan sesuatu dari kita. Kalau mereka menghendaki, mereka tidak perlu menggunakan segala macam racun. Tanpa diberi racunpun kita akan mati kelaparan di ruang pengap ini."
"Lo-Cianpwe benar. Kalau mereka menginginkan nyawa kita, mereka tak perlu menyekap kita di sini. Mereka akan segera membunuh lawan yang tidak mereka butuhkan." Chin Tong Sia sependapat.
"Lalu... apa yang akan kita kerjakan?" Chu Bwe Hong akhirnya dapat menerima alasan Chin Tong Sia dan suaminya.
"Biarlah saya mengambil makanan itu, Nyonya. Saya akan mencobanya lebih dahulu. Mati dan hidup tidak ada bedanya bagiku. Tak seorangpun di dunia ini yang peduli akan kehidupan atau kematianku. Sekarang yang penting adalah memanfaatkan apa saja yang perlu bagi kesehatan tubuh kita. Siapa tahu kita dapat meloloskan diri dari penjara ini?" Chin Tong Sia bangkit, kemudian menyeret rantai yang mengikat, kedua kakinya. Diambilnya nampan berisi makanan itu dan dia letakkan di atas meja di depan Chu Bwe Hong. Tanpa rasa gamang sedikitpun ia mengambil sebagian dari makanan itu dan menelannya. Kemudian dengan tenang pula ia menyambar cangkir teh dan meminumnya.
"Nah, Nyonya Souw... silakan!" Wanita cantik itu menatap wajah Chin Tong Sia seperti menatap wajah hantu. Matanya yang telah mulai berkeriput itu terbelalak bagaikan mata burung hantu yang menyimpan berbagai macam perasaan. Tak terasa mata itu kembali berair.
"Sudahlah, mari kita makan!" Souw Thian Hai merangkul istrinya dan membagi makanan itu menjadi tiga bagian. Chin Tong Sia juga tidak segan-segan lagi. Pemuda itu menyingsingkan lengan bajunya, sehingga tahi lalat lebar di bawah sikunya terlihat jelas oleh Souw Thian Hai suami-isteri. Tubuh Chu Bwe Hong kembali bergetar. Tak terasa tangannya juga meraba siku kirinya pula.
"Kita memang tidak dapat mengelakkannya, Moi-moi. Thian telah memberikan tanda yang tak bisa dipungkiri lagi. Pertemuan yang tidak diduga-duga inipun merupakan petunjuk dari Thian. Tapi, sudahlah... Kalau kau belum siap menerima... tak perlu memaksa diri. Marilah, kau makanlah...!" Mereka lalu makan tanpa bicara lagi. Chin Tong Sia yang sejak kecil biasa bersikap acuh tak acuh itu segera makan dengan lahapnya, sementara Souw Thian Hai dan isterinya sebentar-sebentar tampak melirik kepadanya. Malam itu mereka benar-benar istirahat. Mereka duduk bersamadhi sambil berusaha mengumpulkan seluruh tenaga sakti mereka.
Walaupun rantai besi membuat gerakan mereka terganggu, tapi mereka tetap berusaha sekuatnya. Asap tipis berwarna merah dan putih mengepul keluar dari kepala Souw Thian Hai, sementara Chu Bwe Hong duduk tegak di sebelahnya. Butit-butir keringat tampak mengalir membasahi kening dan lehernya.
Chin Tong Sia berada di pojok ruangan. Caranya bersemadhi memang lain dari pada yang lain. Ia berjungkir balik dengan kepala sebagai alas tubuhnya. Kedua kakinya tegak lurus ke atas, sementara kedua lengannya dilipat di depan dada. Rantai yang mengikat kaki dan tangannya seperti tidak mengganggunya. Dan malam itu berlalu tanpa terjadi peristiwa apa-apa. Cuma, pagi harinya Chin Tong Sia sedikit terkejut ketika tiba-tiba Souw Thian Hai dan isterinya telah berada di depannya. Pemuda itu buru-buru melompat dan berdiri kembali di atas kakinya.
"Wah, aku terlambat bangun rupanya." Chin Tong Sia menyapa mereka.
"Anak muda, kita harus berusaha keluar dari tempat ini. Malam tadi aku sempat menguping pembicaraan para penjaga. Mereka mengatakan bahwa pimpinan mereka sedang meninggalkan tempat ini untuk sesuatu urusan. Berarti saat ini kita mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri. Hmm, apakah kau punya usul yang baik?" Souw Thian Hai berkata perlahan. Chin Tong Sia memandang pintu besi yang kokoh kuat itu. Keningnya berkerut.
"Entahlah. Saya belum memikirkannya. Bagaimana dengan Lo-Cianpwe sendiri?"
"Mungkin gabungan dari kekuatan kita bertiga dapat merobohkan pintu besi itu. Tapi... Kalau gagal, keadaan kita justru akan semakin sulit."
"Benar, Koko. Aku juga sangsi. Tak mungkin mereka mengumpulkan kita di sini, kalau kekuatan gabungan kita akan dapat merobohkan pintu itu." Chu Bwe Hong tidak sependapat dengan usul suaminya.
"Kau punya pendapat lain?" Chu Bwe Hong menggelengkan kepalanya.
"Aku juga belum mendapatkannya. Sebentar aku pikirkan..." Chin Tong Sia menyeret kakinya mendekati pintu. Sambil melangkah ia mencoba mencari akal untuk keluar dari tempat itu. Dia lalu memperhatikan pintu besi itu lekat-lekat, kalau-kalau ada bagian yang dapat dipergunakan untuk meloloskan diri. Pemuda itu berjongkok di depan lubang kecil, tempat menyodorkan makanan kemarin. Lubang itu hanya pas untuk lewat makanan. Kepala manusiapun tak mungkin dapat memasukinya.
"Makanan datang...!" Tiba-tiba terdengar suara penjaga mendatangi. Raut muka Chin Tong Sia menjadi tegang. Apalagi ketika lobang kecil itu terbuka dan makanan disorongkan masuk.
"Ambil makanan ini! Lalu kembalikan bekas tempat makanan kemarin ke sini! Cepat...!" Penjaga itu berteriak dari luar pintu. Chin Tong Sia mengambil makanan itu, kemudian menyodorkan bekas tempat makanan mereka kemarin. Tapi bersamaan dengan bergesernya nampan tersebut, tangan Chin Tong Sia juga ikut bergeser keluar di bawah nampan. Begitu tangan penjaga itu terulur untuk memungut nampan, cepat bagai kilat tangan Chin Tong Sia menyambar.
"Wuuus... sst!" Pergelangan tangan penjaga itu berhasil dicengkeram. Selanjutnya lengan itu ditarik dengan paksa sehingga penjaga itu terjungkal mencium lantai. Di lain saat jari telunjuk Chin Tong Sia telah menekan urat gagunya.
"Berikan kunci pintu ini atau... Kau tak ingin melihat isteri dan anakmu lagi?" Pemuda itu mengancam sambil menekan jarinya sehingga menimbulkan sakit yang luar biasa.
"Uh-uh-uh...!" Penjaga itu kesakitan namun tak bisa bersuara karena urat gagunya telah ditotok Chin Tong Sia.
"Cepat! Aku. tahu kau tidak bisa menjawab! Tapi aku tak peduli! Sekali lagi kuminta kau tak memberikannya, jariku akan mencoblos tengkorakmu! Nah, berikan!" Sekali lagi pemuda itu menghardik. Suaranya terdengar sungguh-sungguh. Tiba-tiba terdengar suara gemerincing. Tangan kiri penjaga itu melemparkan seuntai kunci melalui lobang tersebut.
"Lo-Cianpwe, bukalah...!" Chin Tong Sia memberikan kunci itu kepada Souw Thian Hai, sementara tangannya yang lain tetap mencengkeram lengan lawannya. Souw Thian Hai mencoba kunci tersebut satu persatu, sehingga akhirnya pintu itu terbuka. Selanjutnya pendekar itu mencoba pula kunci-kunci yang lain untuk membuka rantai di tubuh mereka. Semua itu berlangsung dengan cepat, seolah-olah rencana pembebasan tersebut telah mereka atur secara rapi.
"Bagus...! Benar-benar rencana yang hebat! Tapi... bagaimana kau bisa tahu penjaga itu membawa kunci?" Souw Thian Hai berdesah dengan suara gembira. Sambil melepaskan tubuh penjaga yang lemas itu Chin Tong Sia mengebut-ngebutkan lengan bajunya.
"Rencana itu juga timbul dengan mendadak saat mendengar suara gemericing di antara suara langkahnya. Sebenarnya saya juga tidak yakin kalau dia membawa kunci itu. Semuanya hanya untung-untungan saja..." Chin Tong Sia menjelaskan.
Suara ribut-ribut itu terdengar pula oleh penjaga yang lain. Sebentar saja tempat itu telah dipenuhi para pengawal. Pertempuranpun tidak dapat dielakkan lagi. Tapi mana mungkin para pengawal itu dapat menahan Souw Thian Hai bertiga? Sekejap saja mereka telah bergelimpangan di lantai. Semuanya tertotok lemas tanpa bisa bangun lagi. Souw Thian Hai mengandeng isterinya untuk menaiki tangga. Sementara Chin Tong Sia mengikut di belakang mereka sambil menyeret rantai yang tadi mengikat lengannya. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di atas tangga. Sekejap mata mereka menjadi silau oleh sinar matahari yang menyorot ke dalam ruangan itu.
"Serang...!" Sekonyong-konyong terdengar aba-aba di sekeliling mereka. Belasan anak panah meluncur ke arah mereka bertiga. Bahkan panah berikutnya telah menyusul pula sebelum yang pertama sampai di tujuan.
"Cepat bertiarap di lantai!" Souw Thian Hai berseru sambil melepaskan baju luarnya. Baju itu diputar-putar di sekeliling tubuhnya dan tubuh isterinya. Chin Tong Sia juga memutar rantai besi di tangannya. Panah berjatuhan di sekitar mereka. Tetapi lawan terus saja melepaskan panah, sehingga Souw Thian Hai dan Chin Tong Sia juga tidak berani pula menghentikan gerakan mereka. Keduanya tetap saja memutar-mutar senjata mereka seperti baling-baling. Akhirnya Chin Tong Sia menjadi marah. Hujan anak panah itu segera diterjangnya dengan berani. Sambil memutar rantainya dia melepaskan pukulan-pukulan jarak jauhnya. Beberapa anak panah yang lolos dari sabetan rantainya, ternyata juga tidak dapat melukai tubuhnya. Anak panah itu hanya mampu menggores kulit dan merobek pakaiannya.
"Traaaang! Traaaaang...! Braaak! Braaaakk!" Dalam kemarahannya Chin Tong Sia tidak lagi memilih-milih sasaran. Rantai besi itu menyapu apa saja yang menghalang di depannya. Tembok, jendela dan pintu ruangan itu hancur bertaburan terkena sabetan rantainya. Para pemanah yang bersembunyi di sana segera berlari menyelamatkan diri.
"Awaaaas...! Lari!" Mereka berteriak dan berhamburan seperti kawanan lebah yang dihancurkan sarangnya. Namun demikian beberapa orang diantara mereka tidak sempat meninggalkan tempatnya.
Mereka tewas terkena sambaran rantai Chin Tong Sia. Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Souw Thian Hai dan isterinya. Keduanya bangkit berdiri dan mengamuk pula. Ternyata kepalan tangan mereka justru lebih berbahaya daripada senjata tajam. Sesekali tampak sinar putih atau kemerahan melesat dari ujung jari Souw Thian Hai. Dan sinar itu melesat bagaikan mata pedang yang mampu merusak segala macam benda penghalangnya. Tembok, kayu, perabotan rumah, semuanya hancur terkena kilatan sinar tersebut. Bahkan barang-barang yang terbuat dari besipun menjadi rusak terkena sambaran sinar yang keluar dari ujung jari pendekar itu. Pertunjukan kesaktian itu benar-benar mengecutkan hati para pengawal Mo Hou. Mereka segera lari berserabut-an meninggalkan tempat itu.
"Gila! Mengapa. kalian lari! Lawan terus!" Ho Bing dan kawan-kawannya tiba-tiba muncul dari ruang dalam. Pengemis berpakaian rapi itu berteriak marah.
"Bagus, kita ketemu lagi!" Chin Tong Sia berseru gembira. Sesaat pertempuran itu berhenti. Mereka saling berhadapan. Ho Bing dibantu Tiat-tou dan Siang-kiam-eng, berhadapan dengan Chin Tong Sia beserta Souw Thian Hai suami-isteri. Sementara itu para pengawal rumah itu menjadi besar lagi hatinya menyaksikan Ho Bing telah berada diantara mereka. Mereka segera bersiap lagi mengepung tempat tersebut.
"Kalian bertiga... Menyerahlah! Tempat ini penuh dengan jebakan! Kalian tidak mungkin dapat meninggalkan tempat ini! Sekali aku memberi perintah, maka jebakan demi jebakan akan menghalangi langkah kalian!" Ho Bing berseru dengan penuh keyakinan. Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong dan Chin Tong Sia saling memandang satu sama lain. Ancaman itu membuat mereka menjadi was-was juga.
"Sudahlah! Apapun yang terjadi kita wajib berusaha. Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Siapa tahu Thian memberi jalan kepada kita?" Souw Thian Hai berbisik kepada Chin Tong Sia. Chin Tong Sia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Di dalam benaknya juga tidak ada kata-kata untuk menyerah. Sambil menggeram rantai di tangannya kembali berkelebat menyerang lawannya.
"Jangan banyak bicara! Lakukanlah kalau kau mampu!"
"Siiiiing!" Rantai itu melesat ke depan dengan cepatnya. Ujungnya mematuk ke arah dada Ho Bing.
"Baiklah. kau memang perlu diberi pelajaran! Pengawal, semprotkan bubuk pelemas...!" Ho Bing mengelak sambil berseru memberi perintah. Tiba-tiba dari langit-langit ruangan itu bertaburan bubuk putih ke bawah. Dalam sekejap ruangan itu bagaikan dilanda hujan abu.
"Hong-moi, awaaaas...! Tahan napasmu! Cepat keluar dari tempat ini!" Souw Thian Hai memperingatkan isterinya. Ruangan itu menjadi gelap, penuh dengan taburan bubuk putih yang berhamburan dari atap ruangan tersebut. Meskipun tidak berani membuka mata, tapi Souw Thian Hai dapat mengenali gerakan lawannya.
"Ha-ha-ha, jangan harap bisa lolos! Pengawal, siapkan jaring-jaring perangkap!" Terdengar suara teriakan Ho Bing diantara kelamnya kabut putih itu. Chin Tong Sia terpaksa kembali untuk menolong Souw Thian Hai dan isterinya. Pemuda itu telah menutupi wajah dan seluruh kepalanya dengan sobekan kain bajunya.
Memburu Iblis Eps 28 Memburu Iblis Eps 20 Memburu Iblis Eps 30