Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 20


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 20




   "Benar! Dan selanjutnya akupun dapat mengintai pertemuan antara kalian itu. Aha, sungguh suatu pertemuan yang lengkap, sehingga aku dapat melihat semuanya." Honglui kun Yap Kiong Lee menjawab. Sekejap matanya yang berkilat tajam itu menatap Ceng-ya-kang untuk mencari kesan. Lalu sekejap kemudian ia melanjutkan keterangannya, "...Dan penemuanku sekali ini benar-benar amat berharga sekali! Setelah setahun aku bersama Yap Tai-Ciangkun berusaha mencari biang keladi kerusuhan di gedung Si Ciangkun itu baru kali inilah peristiwa itu agaknya mulai akan terungkap. Hmm, sayang aku hanya seorang diri..."

   "Jadi... jadi kau sudah mengetahui semuanya?" Dengan bibir agak tersenyum Hong-lui-kun menggelengkan kepalanya.

   "Tahu semuanya sih... belum! Tapi setidaknya aku sudah dapat mengira-ira, hubungan apakah yang ada antara pengkhianatan Si Ciangkun yang kalian dalangi tersebut dengan kubu kalian mencari Cap Kerajaan. Semuanya tentu berkisar soal tahta singgasana kerajaan! Dan kini secara kebetulan kalian mendapatkan peta harta karun yang disembunyikan oleh mendiang Perdana Menteri Li Su..."

   "Bangsat! Kalau begitu engkau harus kubunuh lebih dahulu...!!" tiba-tiba Ceng-ya-kang meloncat menerkam Hong-lui-kun Yap Kiong Lee.

   "Ha... kau bermaksud membungkam mulutku, agar aku tidak membocorkan rahasia ini? Hmm, jangan harap kau bisa! Biar inti ludah kelabang hijaumu sudah mencapai kesempurnaan, tapi ilmu itu takkan dapat mengalahkanku." Hong-Iui-kun meloncat ke samping dengan sigap. Lengan bajunya yang sebelah kiri ia pakai untuk mengebut ke depan, sehingga hawa beracun yang menyertai pukulan Ceng-ya-kang tersapu ke samping.

   "Huh! Boleh kau coba! Cuh! Cuh! Cuh!" Ceng-ya-kang yang gagal dalam serangan pertamanya itu berputar ke sebelah kiri, lalu tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menghantam ke depan.

   "Wuut!!" Angin pukulan yang mengandung racun ular hijau berhembus menerjang Hong-lui-kun. Dari sela sela bibirnya melesat gumpalan-gumpalan air ludahnya yang terkenal, Ludah Inti Kelabang Beracun! Anak buah Iblis Gundul itu saling berloncatan keluar menyelamatkan diri. Mereka tidak ingin mati konyol seperti temannya tadi. Begitu pula para penonton yang berada di luar warung. Tak terasa mereka juga melangkah surut, seakan akan takut kena percikan ludah yang ampuh luar biasa itu.

   Ternyata Hong-lui-kun sendiri juga tidak berani memandang rendah percikan ludah beracun yang melesat bagai peluru itu. Dengan lincah dan gesit tubuhnya melayang kesana kemari menghindarinya. Gerakannya cepat luar biasa, sementara ujung lengan bajunya yang longgar itu mengebut beberapa kali menghalau hawa beracun yang menyerangnya. Pertempuran antara dua tokoh persilatan itu makin lama makin seru. Masing-masing mengeluarkan ilmunya yang hebat dan langka, melesat kesana kemari, berputar putar di antara meja dan kursi, sehingga rasa-rasanya warung yang kecil itu tidak bisa memuat lagi untuk pertarungan mereka. Mereka hanya berdua, tapi pertempuran yang mereka lakukan rasa rasanya lebih dahsyat dan lebih hebat dari pertempuran beberapa orang tadi.

   Yang amat mengherankan ialah meskipun mereka berputar putar dan melesat kesana kemari serta disertai angin pukulan yang menderu-deru, ternyata tak sebuah meja, bangku ataupun kursi yang berpindah dari tempatnya. Pukulan maupun tendangan mereka seolah-olah tak mengandung tenaga. Padahal Lam Hui dan kawan-kawannya yang berada di luar pintu melihat dengan jelas betapa gumpalan-gumpalan ludah beracun itu melesat menghantam meja, tiang rumah dan dinding hingga berlubang. Sementara hawa pukulan beracun yang luput tampak mengotori udara di dalamnya. Tapi sudah sekian lamanya mereka berkelahi, Hong-Iui-kun masih saja bertahan dan belum terlihat serangan serangannya yang berarti. Anak murid keturunan Sin-kun Bu-tek yang sangat terkenal itu hanya melejit saja kian kemari dengan gin kangnya yang amat hebat!

   "Lelaki gundul itu memang hebat! Demikian sempurnanya dia mengatur dan mengontrol tenaga dalamnya, sehingga racun dalam setiap pukulannya dapat ia atur dan ia hemat dengan cermat sesuai dengan kebutuhan yang ia kehendaki. Dengan cara demikian ia tidak menghambur-hamburkan begitu saja tenaga racunnya!" Toat-beng-jin menggelenggelengkan kepalanya saking kagum.

   "...Dan caranya dia menghimpun racun inti Kelabang Hijau dalam kelenjar ludahnya benar-benar tidak masuk akal! Begitu sempurna, sehingga tidak membahayakan dirinya sendiri. Padahal racun itu demikian ganas dan mematikan! Coba lihat, Tong-hiante! Serangga dan semut yang berada di jendela dan tiang itu! Mereka semua mati hanya karena di dekat mereka ada percikan ludah lelaki gundul itu. Padahal sedikitpun mereka tidak terkena air ludah tersebut..." Tong Ciak tersenyum mengiyakan.

   "Lojin-ong benar...! Tapi meskipun begitu iblis itu takkan dapat mengalahkan pemuda itu. Khabarnya mereka sudah beberapa kali bertemu dan berkelahi., tapi belum pernah satu kalipun iblis gundul tersebut keluar sebagai pemenang! Jangankan baru Ceng-ya-kang sendiri, sedang kakak kakak seperguruannya seperti Tee tok-ci dan mendiang Tiat siang-kwi saja takkan menang melawan pemuda itu." Toat-beng-jin mengerutkan dahinya, sehingga alisnya yang putih tebal berjuntai itu bertemu satu sama lain.

   "Benarkah...? Mengapa gerakan pemuda itu tampak biasa biasa saja?"

   "Ah, dia sama sekali belum merasa perlu untuk unjuk gigi! Boleh Lojin-ong lihat, kalau dia nanti mengeluarkan ilmu silat andalan keluarganya...! Kutanggung tidak lebih dari sepuluh jurus, iblis gundul itu sudah akan lari terbirit-birit."

   "Hah?!?"

   "Lojin-ong tak percaya?"

   "Ah, tentu saja lohu percaya!" Toat-beng-jin tersenyum tersipu-sipu. "Aku percaya, kalau sampai Tong Ciak Cu-si berkata begitu... hal itu tentu benar adanya!"

   "Siauwte memang tidak berbohong. Silahkan saja nanti Lojin-ong melihatnya! siauwte percaya, begitu Lojin-ong melihat... Lojin-ong tentu akan segera berpikir, bahwa Im-yang-kun kita yang tertulis dalam lembaran kulit domba itu bukan satu-satunya ilmu yang tidak terlawan di dunia ini!"

   "Ah, Tong-hiante ini bisa saja...Dari dulupun aku tak pernah mempunyai pendapat seperti itu." Pertempuran kedua orang itu semakin lama semakin seru, Ceng-ya-kang yang merasa telah mengeluarkan semua pukulan beracunnya dan ternyata belum dapat juga menundukkan lawannya, menjadi marah sekali. Tiba-tiba tangannya merogoh buntalan yang berada di balik bajunya yang longgar dan sekejap kemudian ia telah memegang bumbung bambu berwarna hijau. Belum juga Hong-lui-kun dapat menebak apa isi dari bumbung bambu tersebut, mendadak benda itu telah dilemparkan oleh Ceng ya kang kepadanya. Selain kaget, Hong-lui-kun menjadi curiga sekali! Tak berani ia menangkis, apalagi menerimanya. Dengan tangkas ia melejit ke samping untuk menghindari. Tak terduga bumbung bambu itu meledak tepat di sebelahnya.

   "Bummmm!" Asap hijau tebal bergulung gulung menerjang dirinya. Baunya amis memuakkan! Sedetik kemudian kepala Hong-lui-kun Yap Kiong Lee terasa pusing.

   "Kurang ajar!" umpat pemuda gagah itu sambil melompat jauh ke belakang. Tapi bersamaan dengan saat kakinya menginjak tanah di luar rumah, sekali lagi sepotong bumbung bambu yang lain meledak pula di dekatnya. Bumm! Sekali lagi tubuh pemuda itu seakan-akan terbungkus asap hijau. Ceng-ya-kang meloncat pula keluar memburu lawannya. Para penonton yang sebagian besar adalah penduduk di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan berlari cerai-berai menyelamatkan diri. Sehingga sekejap kemudian hanya tinggal Yang Kun berempat saja yang masih berada di sana.

   "Gila!" Hong-lui-kun mengumpat sambil terhuyung-huyung keluar dari gumpalan asap tebal tersebut. Tetapi belum juga kaki pemuda itu dapat berdiri tegak, Ceng-ya-kang telah keburu datang dengan pukulan berikutnya. Suara pukulan itu menCicit tajam, pertanda bahwa pukulan itu mengandung kekuatan lweekang yang maha dahsyat! Apalagi di antara hawa pukulan yang meluncur tiba tersebut lapat-lapat tercium bau amis yang memuakkan! Hong-Iui-kun sekali lagi mengumpat. Kepalanya terasa berat sekali. Semua yang dilihatnya seperti bergoyang goyang.Dan kakinya seperti lengket dengan tanah dan sukar untuk melangkah. Padahal serangan lawan telah datang kembali dengan dahsyatnya!

   "Hiyaaaat!!!" Hong-Iui-kun berteriak dan meloncat tinggi ke atas, mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk meloloskan diri dari pengaruh racun lawan. Dengan kecepatan yang mengagumkan tubuhnya melenting tinggi bagai jengkerik raksasa yang marah. Meskipun begitu ternyata ia belum dapat juga menghindari pukulan Ceng-ya-kang yang menerjang tiba.

   "Desss!"

   "Ouwghhh!!" Tubuh yang tegap gagah itu meluncur semakin cepat dan terlontar sampai sepuluh tombak jauhnya. Berjumpalitan sebentar di udara, lalu mendarat dengan kaki terlebih dahulu di atas tanah. Ternyata biarpun terkena pukulan lawan, pemuda lihai itu masih bisa menunjukkan bahwa ia memang bukan tokoh sembarangan. Beberapa kali Hong-lui-kun menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri dan kekanan seolah-olah ingin menghilangkan sisa sisa rasa pening yang menggayuti dirinya.Setelah itu diambilnya sebutir obat anti racun yang selalu dibawanya dan ia telan dengan cepat, biarpun dia tahu obatnya itu hanya sekedar dapat menunda pengaruh racun lawan. Sebab racun-racun hebat hasil ramuan jago racun seperti iblis-iblis Ban-kwi-to itu tentu hanya bisa diobati oleh mereka sendiri dengan obat-obat penangkal khusus buatan mereka pula.

   Sementara itu Ceng-ya-kang tampak sangat puas atas kemenangannya, meskipun di dalam hati ada terselip juga sedikit perasaan heran dan kagum atas kekuatan lawannya. Pemuda yang sejak dahulu selalu menjadi musuh bebuyutannya itu telah terkena Pukulan Kelabang Hijaunya, sehingga Iapisan baju bagian dadanya telah berlobang dan kelihatan kulit dadanya yang bertanda telapak tangan berwarna hijau. Tetapi tidak seperti kebanyakan para korban pukulannya, tubuh pemuda itu tidak berubah menjadi kehijau-hijauan. Tubuh yang tegap itu masih tetap tampak bersih dan segar. Hanya noda bekas pukulan itu saja yang berwarna kehijau hijauan. Malah kulit muka pemuda itu tampak semakin menjadi merah, sejalan dengan kemarahan yang agaknya sudah mulai terangkat didalam dadanya.

   "Heh heh-heh... jangan harap kau bisa mengobati pukulan beracunku dengan segala obat obatan yang kau miliki! Di dunia ini hanya aku sendiri yang mempunyai obat pemunah racun kelabang hijau. heh he...! kau tunggulah, sebentar lagi kau akan mati perlahan-lahan dengan bibir tersenyum..." Iblis Gundul itu tertawa terkekeh-kekeh untuk menutupi kekhawatirannya melihat Hong-lui-kun tidak segera binasa oleh racun yang diandalkannya itu.

   "Wah, Tong-hiante kali ini salah perhitungan rupanya...!" Toat-beng-jin yang melihat hasil pertempuran itu menggamit kawannya.

   "Lihat! Pemuda Yang-hiante jagoi itu telah terkena pukulan Ceng-ya-kang!"

   "Ah, Lojin-ong jangan buru-buru menilai duIu! Pemuda itu kan masih berdiri tegak di tempatnya."

   "Yaa...tapi..."

   "Alaaa... Lojin-ong ini suka benar berolok-olok! Pura pura tak mengetahui hal yang sebenarnya," Tong Ciak Cu-si lekas lekas memotong.

   "Waah!?!" orang tua itu tersenyum kecut. Sebenarnyalah, dengan luka yang dideritanya itu hati Hong-lui-kun Yap Kiong Lee tampak mulai panas. Apalagi begitu mengetahui obatnya tidak mungkin bisa menolong dirinya. Satu-satunya jalan yang harus dilakukannya hanyalah merebut obat pemunah lawan. Dan usaha tersebut harus cepat-cepat ia laksanakan, sebelum racun yang mengeram dalam tubuhnya bobol dan melumpuhkan seluruh urat-uratnya.

   "Ceng-ya-kang! kau lihatlah yang jelas! Seperti yang terjadi sejak dahulu, pukulan beracunmu tidak pernah bisa membinasakanku. Sekarang kau bersiaplah! Tumpahkanlah segala ilmu kepandaianmu, keluarkanlah semua racunmu! Kini giliranku untuk membunuh engkau...!"

   Terdengar suara gemeretak tulang beradu ketika Hong-lui-kun mengerahkan Iwee kangnya melalui urat-urat di tubuhnya. Kedua lengan yang bergantung bebas di samping tubuh itu perlahan-lahan diangkat ke depan, sejajar dengan tulang pundak, lalu lengan yang sebelah kanan ditarik ke belakang hingga menempel pundak. Kemudian, dengan disertai hentakan yang keras penuh tenaga, lengan itu kembali lurus ke depan, sementara lengan yang sebelah kiri ganti ditarik ke belakang. Dua buah kepalan tampak bergetaran di udara, dan...terdengar suara letupan kecil yang disertai kilatan cahaya terang, seakan-akan ada kilatan petir yang meledak di sana!

   "Ohh? Apa itu?" Yang Kun dan Souw Lian Cu berseru hampir berbareng. Begitu pula dengan Toat-beng-jin. Orang tua itu tampak takjub pula melihatnya.

   "Itulah Thian-lui gong-ciang! Karena ilmu itu pulalah pemuda itu memperoleh julukan Hong-lui-kun (Si Tinju Petir dan Badai)!" Tong Ciak cepat menerangkan. Ceng ya kang melangkah mundur dua tindak.

   Agaknya iblis berkepala gundul itu menyadari pula kehebatan Thian-lui gong-ciang. Dengan badan sedikit terbungkuk ke depan, iblis itu menyiapkan pula ilmu simpanannya. Sekejap kemudian keduanya telah bertempur dengan hebatnya, Hong-lui-kun yang telah menyiapkan seluruh tenaga dalamnya itu meluncur ke depan dengan dahsyatnya. Mula mula gerakan pemuda itu sangat cepat, tapi lambat laun menjadi lambat. Tetapi sejalan dengan menurunnya kecepatan itu ternyata disertai meningkatnya kekuatan tenaga dalam yang tersalur pada setiap gerakan, sehingga Yang Kun dan ketiga orang temannya yang berada lima enam tombak jauhnya dari tempat itu ikut pula merasakan angin pukulan itu. Tapi untuk beberapa saat Iblis Gundul dari Ban-kwi-to itu tampak masih bisa mengimbangi ilmu silat lawannya.

   Dengan gerakan gerakan aneh, seperti layaknya seekor kelabang yang sedang marah, iblis itu berguling, melejit, meringkuk dan berlenggak-lenggok di atas tanah! Sepasang kaki dan tangannya bergantian menyerang dan melontarkan segala macam racun untuk membunuh lawannya. Kadang-kadang dari sela sela bibirnya yang tebal itu meluncur gumpalan gumpalan air ludah beracun yang sangat mematikan. Dilihat sepintas lalu ilmu kepandaian iblis gundul tersebut memang sangat hebat dan mengerikan. Halaman depan warung yang tidak begitu luas itu kini penuh dengan bermacam-macam racun yang bertebaran di mana-mana, sehingga Yang Kun dan teman-temannya terpaksa menyingkir pula ke halaman samping di mana kuda orang-orang yang sedang bertempur tersebut ditambatkan.

   "Wah, untuk beberapa waktu lamanya warung ini akan menjadi tempat yang berbahaya!" Toat-beng-jin bergumam.

   "Benar! Racun yang berceceran itu dapat membunuh orang jika terinjak." Tong Ciak menyahut.

   "Duuaaaar!!" Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras yang sangat mengagetkan, dan jambangan besar, tempat menyimpan air di dekat pintu masuk warung pecah berantakan terkena angin pukulan Thian lui-gong ciang Hong-lui-kun Yap Kiong Lee! Airnya sampai berhamburan membasahi dan menggenangi sekitarnya. Ceng-ya-kang yang sebenarnya menjadi sasaran pukulan sakti tersebut, tampak basah kuyup pula meskipun lolos dari bahaya.

   Iblis berkepala gundul itu berguling guling menjauh dengan pakaian kotor penuh debu dan lumpur. Dan... hal ini benar benar membuat iblis itu naik pitam! Kedua tangannya merogoh saku celananya dan keduanya telah menggenggam berpuluh-puluh... kelabang hijau! Lalu dengan menjerit keras iblis tersebut menggelundung cepat ke arah lawannya. Dan dua tiga langkah dari tempat lawan, tubuh gemuk bulat itu melenting tinggi bagaikan katak menerkam lalat. Hong-lui-kun tidak tinggal diam pula. Melihat lawan telah menyerbu ke arah dirinya, tangannya segera menyongsong ke depan. Serangkum udara panas meluncur dari telapak tangannya yang terbuka, menerjang ke arah tubuh Ceng yakang!

   Dalam keadaan kritis ternyata ilmu Silat Kelabang Hijau dari tokoh kelima Ban-kwi-to itu menunjukkan pula kehebatannya! Merasakan angin pukulan lawan menerjang ke arah perutnya, iblis itu segera menggeliat di udara beberapa kali. Sehingga dari bawah gerak tubuh yang dia perlihatkan itu seperti gerakan seekor kelabang yang terkena sentuhan api panas! Dan gerakan itu ternyata dapat membebaskan dia dari serangan Thian-Iui gong ciang! Malah justru dalam saat yang demikian itu ia mampu membalas serangan tersebut dengan taburan kelabang hijau yang berada di telapak tangannya! Bagai hujan lebat binatang melata berkaki banyak itu menyerbu ke arah Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee. Bau amis yang amat keras membuat pemuda tegap itu semakin merasakan pening yang amat sangat.

   Tapi untuk menarik lengan dan sekali lagi melepaskan Thian lui-gong ciangnya sudah tidak ada waktu lagi. Satu satunya jalan hanyalah mengerahkan Iweekangnya yang kuat untuk menahan dan sekaligus mengatasi serangan tersebut. Seperti juga Ceng ya kang tadi, dalam keadaan kritis seorang jago silat berkepandaian tinggi secara otomatis tentu mengeluarkan kehebatannya! Begitu pula halnya dengan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee! Karena tak punya kesempatan lagi untuk melepaskan pukulannya yang ampuh, maka dengan dilandasi oleh tenaga dalamnya yang kuat tubuhnya berputar seperti gasing dalam jurus Koai hong-hok tee (Angin Aneh Menaklukkan Bumi), yaitu salah satu jurus dari Tai hong ciang hoat (Ilmu Silat Angin Puyuh) ciptaan Sin-kun Bu tek.

   Tubuh tegap itu berdiri dengan satu kaki, yaitu bertumpu pada tumit kaki kanannya. Lalu sekejap kemudian berputar cepat sekali seperti gasing! Dan secara tiba-tiba dari badan yang berpusing bagai kitiran itu keluar angin pusaran yang amat kuat, yang menghembus balik semua kelabang hijau tadi. Bukan hanya itu saja! Demikian kuatnya angin pusaran yang ditimbulkan oleh ilmu sakti tersebut sehingga bukan hanya binatang binatang kecil itu saja yang terdorong pergi, tapi tubuh gemuk dari Ceng-ya-kang itu pun tampik terpental ke samping dengan kerasnya. Dan sebelum iblis gundul itu dapat memperbaiki posisinya, Hong-lui-kun telah menyusuIi dengan pukulan Thian lui gong ciangnya.

   "Bummm!!!"

   "Aduhh...!" Ceng-ya-kang tampak terjengkang dan berguling guling sambil mendekap dadanya. Dari mulutnya, menetes darah segar.

   "Bangsat! Cacing busuk...!" Iblis itu mengumpat tak habis-habisnya.

   "Nah! Apa kataku! kau masih tetap bukan lawanku...!Sekarang berikan obat pemunah racun kelabang hijaumu!" Hong-lui-kun membentak. Tangan kanannya masih tetap bersiap siaga untuk melepaskan pukulan Thian lui gong ciang ke arah muka lawannya.

   "Heh heh heh...! kau kira aku anak kecil yang mudah dibujuk? Huh, jangan kau harap! Lebih baik mati dari pada memberikan obat itu kepadamu. kau pun akan mati bersamaku..."

   "Ooh... itu yang kau inginkan? Baik! kau kira aku tidak bisa mencari seorang tabib sakti yang dapat mengobati pengaruh racunmu ini? Hmm, agaknya kau tidak mengetahui kalau aku dengan mudah dapat menghubungi ahli waris Bu eng sin Yok ong dan minta obat pemunah racunmu ini." Hong-Iui-kun tersenyum penuh kemenangan.

   ""Dan sementara itu kau telah kubunuh. Sehingga Hek-eng-cu, saudara-saudara seperguruanmu, serta kawan-kawanmu yang lain, tidak usah membagi harta karun serta kedudukan yang mereka peroleh denganmu. Haha... Sebab kau telah mati." Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee mengangkat tangan kanannya tinggi tinggi. Siap untuk melancarkan pukulan Thian-lui-gong-ciangnya yang ampuh! Matanya yang tajam mencorong seperti mata harimau marah itu menatap buas ke arah Ceng-yang-kang!

   "Tunggu...!" Iblis Gundul itu tiba-tiba mengangkat tangannya tanda menyerah.

   "Huh, kau merubah pendirianmu? Engkau mau menyerahkan obat pemunah itu?" Hong-lui-kun menggeram sambil menurunkan kembali tangannya.

   "Benar! Asal kau melepaskan aku pergi dari sini..."

   Memang, sebenarnya tak ada maksud sedikitpun di dalam hati Hong-lui-kun untuk membinasakan lawannya itu. Kalau semula pendekar itu mengancam dengan geram untuk membunuh Ceng ya kang, hal itu hanyalah sebagai taktik saja agar iblis tersebut menyerahkan obatnya. Dan taktik itu tampaknya benar-benar berhasil. Terbukti iblis tersebut lalu menyerahkan obat pemunahnya. Agaknya kata-kata Hong-lui-kun yang terakhir, yang menyinggung soal harta karun dan kedudukan tadi benar-benar tepat mengenai Iubuk hati Ceng-ya-kang! Bagi seorang Iblis yang serakah dan gila kedudukan seperti Ceng-ya-kang itu, kenikmatan duniawi adalah di atas segala galanya. Semuanya itulah yang selalu ia kejar selama ini. Oleh karena itu apalah gunanya jerih payahnya selama ini jikalau ia harus mati dalam mempertahankan obat pemunahnya itu.

   "Bagaimana?" Iblis Gundul itu menegaskan lagi.

   "Baik! Lekas kau serahkan obat itu...!" Ceng-ya-kang mengerahkan sebuah pundi pundi kecil dari balik bajunya yang sebelah dalam. Dengan hati-hati ia lalu mengambil sebotol pil berwarna putih dan menyerahkannya kepada Hong-lui-kun Yap Kiong Lee.

   "Kebetulan isi botol ini persis tinggal tiga butir saja. Telanlah satu persatu setiap tiga jam dan racun yang mengeram di dalam tubuhmu akan lenyap." Ceng-ya-kang menerangkan. Hong-lui-kun menerima botol itu dan menelitinya beberapa saat lamanya sebelum memasukkannya ke dalam kantong bajunya. Ceng ya kang yang sudah akan beranjak pergi itu tampak mengerutkan keningnya.

   "Mengapa tidak segera kau telan agar racun dalam tubuhmu lekas lenyap?" tanyanya ragu-ragu.

   "Kenapa mesti harus terburu-buru? Toh racunmu ini takkan bisa membunuhku sampai besok pagi..." Hong-lui-kun menjadi curiga malah.

   "Yaa... kau telah menelan pil buatanmu sendiri. Tapi siapa tahu...?"

   "Ha ha... siapa tahu obat yang kau berikan ini adalah palsu? Dan kau berharap agar aku lekas lekas menelannya sehingga racun yang kutelan justru bertambah banyak dan... aku cepat mati? Hehe..." Pendekar gagah itu tersenyum cerdik.

   "Ceng-ya-kang...akupun bukan anak kecil yang lekas-lekas percaya kepada ucapan seorang iblis dari Ban kwi to seperti engkau ini."

   "Lalu... lalu a-apa maksudmu...?" Iblis Gundul itu kelihatan pucat dan takut.

   "Jangan cepat-cepat pergi dari tempat ini! Akupun akan melukai tubuhmu dulu dengan jarum ulatku..."

   "Jarum ulat...? Apakah itu?" Ceng-ya-kang berbisik tak mengerti.

   Jilid 15
"Ya, Jarum ulat! Aku mempunyai Jarum yang sangat lembut. Ayahku memberi nama jarum ulat, karena bentuknya yang melengkung kecil seperti ulat. Besarnya tak lebih dari pada ujung duri bunga mawar, tapi kemampuannya benar-benar hebat! Jarum lembut itu akan kumasukkan ke dalam salah sebuah dari urat darahmu. Karena bentuknya yang lentur dan melengkung, jarum tersebut akan bergerak mengikuti aliran darahmu menuju ke jantung. Semakin banyak dan keras engkau bergerak, semakin cepat pula jarum tersebut tiba di pusat jantungmu! Dan itu berarti saat kematianmu telah tiba. Tapi..."

   "...Tapi...bagaimana...?" Ceng-ya-kang ketakutan, seakan akan jarum yang mengerikan itu telah menyusup di daIam aliran darahnya. Sekali lagi Hong-lui-kun tertawa.

   "Tapi pada saat yang tepat aku dapat mengambilnya kembali!" akhirnya pendekar muda itu meneruskan.

   "Asalkan... ah, sudahlah! Bersiaplah sekarang! Aku akan menyerangmu dengan jarum itu..."

   "Tungguu...!!" Ceng-ya-kang menjerit.

   "Baiklah! Akan kuberikan obat pemunah yang asli!" Dengan tergesa-gesa iblis itu mengeluarkan pundi pundinya lagi dan mengambil sepotong akar kering sebesar jari tangan, warnanya putih bersih.

   "Rebuslah akar ini dengan segelas air sampai mendidih, lalu minumlah! Ulangi lagi hal itu setiap hari, sampai yang ke lima, dan racun itu akan lenyap!" Hong-lui-kun menerima potongan akar obat itu sambil berkata,

   "Terima kasih! Tapi aku tetap meminta maaf kepadamu, sebab... besok pagi jam enam persis aku tetap meminta padamu untuk menemui aku di tempat ini, karena... jarum ulatku itu telah terlanjur kumasukkan ke dalam pembuluh darahmu!"

   "Hah? kau...! Bangsat! Kapan kau...?" Ceng-ya-kang berjingkrak kaget. Hong-lui-kun Yap Kiong Lee mengebut ngebutkan lengan bajunya yang longgar. Dengan sikap acuh tak acuh ia berkata,

   "Lihatlah pergelangan tangan kirimu! Ingatkah kau ketika engkau menangkis pukulan Thian lui gong-ciangku tadi?" Tergesa-gesa Ceng ya kang menyingsingkan lengan bajunya dan meneliti pergelangan tangannya dengan cermat. Bukan main kagetnya ketika ia melihat setitik noda berwarna merah, tepat di atas pembuluh nadinya!

   "Kau...? Bangsat kejam!" Iblis Gundul itu naik pitam. Tubuhnya yang gemuk tambun menerjang ke arah Hong-lui-kun. Tapi dengan mudah pendekar gagah itu mengelakkannya.

   "Sabarr...! Apakah kau ingin agar jarum itu lekas lekas sampai di jantungmu?" Hong-Iui-kun berteriak
memperingatkan. Sambil menggeram marah iblis itu menghentikan gerakannya. Dengan mata menyala menahan geram ia menatap ke arah lawannya.

   "Apa... apa maksudmu?" tanyanya serak.

   "Jangan panik! Asal aku masih hidup besok, jiwamu juga akan tertolong."

   "Kau masih tidak percaya kalau aku telah memberi obat pemunah yang asli?" Lagi-lagi Hong-Iui-kun tersenyum penuh arti.

   "Tentu saja, bung! Setiap orang memang harus berhati-hati apabila berhadapan dengan penghuni Ban kwi to. Tapi... jangan khawatir! Akupun takkan mengingkari janji! Asal aku masih bisa kemari besok pagi, kau tentu juga akan selamat."

   "Hmmmh!!"

   "Nah, sekarang kalian pergilah dari tempat ini dicium para penduduk itu melampiaskan kemarahannya kepadamu!"

   "Baiklah! Besok pagi jam enam aku akan menunggu engkau di tempat ini." Dengan tertatih-tatih Iblis Gundul itu mengajak anak buahnya pergi meninggalkan warung bubur yang porak poranda itu. Sepeninggal kawanan iblis itu Hong-Iui-kun kembali meneliti akar obat yang diperolehnya.

   "Kukira iblis gundul itu takkan berani main main denganku kali ini." gumamnya pelan. Lalu dimasukannya akar itu ke dalam saku bajunya. Sambil menghela napas Hong-lui-kun Yap Kiong Lee menatap ke sekelilingnya. Dipandangnya para penduduk yang menonton dengan takut-takut di luar halaman. Lalu matanya menebar lagi ke samping warung dan di tempat itu matanya bentrok dengan beberapa pasang mata tajam yang tidak lain adalah Chin Yang Kun dan kawan-kawannya. Sekejap dahi Hong-Iui-kun tampak berkerut. Salah seorang dari orang itu seperti pernah dikenalnya, tapi ia lupa! Oleh karena orang itu, yang tidak lain adalah Tong Ciak Cu-si, diam saja tak bereaksi, maka Hong-lui-kun juga tidak memikirkannya lagi. Ah...mungkin aku salah mengenali orang, gumamnya dalam hati.

   Dengan hati-hati Hong-Iui-kun melangkah kembali ke dalam warung. Di mana mana terlihat sisa-sisa racun yang berceceran. Racun yang tadi telah dipergunakan oleh Cengya-kang ketika bertempur melawan dirinya. Kemudian pendekar itu mendekati mayat Hao Chi dan anak buah Ceng-ya-kang yang masih terlentang di atas lantai. Kedua sosok mayat itu telah mulai membusuk. Perlahan-lahan kedua mayat itu ditarik dan diseret keluar dengan tali, lalu dibawa ke tempat yang bebas dari tebaran racun. Seorang kakek tua berperawakan gagah tampak memasuki halaman diiringi oleh empat orang pembantunya. Hong-lui-kun segera dapat menerka, bahwa orang tua tersebut tentulah salah seorang pemimpin desa itu. Dan ternyata dugaannya memang benar!

   "Maaf, Taihiap! Lohu adalah kepala dusun ini! Bolehkah Lohu bertanya sedikit?"

   "Oh... tentu saja." Hong-Iui-kun menjawab tak kalah sopannya.

   "Apakah yang telah terjadi di tempat ini? Dan... itu mayat siapakah? Hei! itu mayat Hao Chi, pemilik warung ini!" kakek tua itu kaget sekali.

   "Maaf, Cungcu (kepala kampung)! Saya tak bermaksud membuat keonaran di tempat ini. Saya sebenarnya kemari hanya untuk makan bubur, tapi... begitu datang kulihat telah terjadi suatu pembunuhan di warung ini. Seorang penjahat berkepala gundul telak membunuh si pemilik warung ini dan berkelahi dengan tamu lainnya. Terpaksa aku turun tangan untuk mengenyahkan orang itu." pendekar itu memberi keterangan.

   "Tanyalah kepada para penduduk yang menyaksikan peristiwa tadi!" Kepala kampung itu mengangguk-angguk, percaya karena ia juga telah mendapat laporan dari para pembantunya.

   "Kalau begitu kami sangat berterima kasih kepada Taihiap. Biarlah kami yang akan menyelesaikan kedua mayat itu..."

   "Terima kasih, Cungcu. Tapi perbolehkan aku memberi pesan sedikit. Yaitu, tutuplah tempat ini barang satu bulan. Jangan sekali kali diperbolehkan penduduk masuk pekarangan ini, karena tempat ini telah penuh dengan racun racun yang berbahaya. Dan... apabila membawa kedua mayat ini nanti, lakukanlah seperti yang telah kulakukan ini. Jangan sekali-kali menyentuh tubuh mayat ini...Nah, aku akan meneruskan perjalananku."

   "Taihiap, tunggu dulu...! Mengapa Taihiap begitu tergesa-gesa? Kami persilahkan Taihiap untuk singgah lebih dahulu di rumahku..." Hong-lui-kun menyatakan rasa terima kasihnya sambil meminta maaf karena ia tak dapat menerima undangan tersebut. Pemuda itu mengatakan bahwa ia masih mempunyai banyak urusan lain yang harus ia selesaikan. Lalu sambil menjura pemuda itu berjalan meninggalkan tempat tersebut. Dengan tenang ia mengambil kudanya dan pergi ke arah barat.

   Setelah kuda beserta penunggangnya itu telah lenyap di kelokan jalan, kepala dusun tersebut segera memerintahkan anak buahnya untuk menyeret kedua sosok mayat itu ke jalan raya. Kemudian dengan suara lantang orang tua itu memperingatkan penduduknya, agar untuk sementara waktu tidak menginjakkan kaki mereka di halaman tersebut. Kepada para keluarga Hao Chi dan pelayannya dipersilahkan untuk mengosongkan warung itu, dan mengungsi ke rumah saudara atau tetangga mereka. Rumah dan pekarangan itu dinyatakan sebagai daerah berbahaya dan terlarang, sampai pengaruh racun yang berceceran di tempat tersebut dianggap telah hilang. Sementara itu Toat-beng-jin dan teman-temannya diam diam keluar halaman, lalu meninggalkan tempat itu. Sambil melangkah Tong Ciak Cu-si menggerutu tak habis-habisnya.

   "Wah, hampir saja Hong-lui-kun tadi mengenal aku. Untung perawakan serta caraku berpakaian sudah banyak sekali perubahannya, sehingga ia tak mengenalku lagi."

   "Tapi kulihat dia tadi memandang Tonghiante agak lama," Toat-beng-jin menyahut.

   "Kelihatannya memang demikian. Agaknya orang itu seperti mengenali Tong Lo-Cianpwe, hanya mungkin dia belum bisa memastikan siapa sebenarnya Tong Lo-Cianpwe ini..." Souw Lian Cu ikut menyatakan pendapatnya.

   "Yaa... tapi omong-omong kali ini akulah yang paling sial!"

   "Eh, mengapa Lo-Cianpwe bilang paling sial?" Yang Kun bertanya.

   "Habis, kalian semua sudah dapat menghabiskan bubur panas itu... sedang aku belum! Jadi sekarang perutku masih keroncongan, nih!" Yang lain tersenyum menahan geli.

   "Eh, omong-omong... mau ke mana kita sekarang?" Toat-beng-jin mengalihkan pembicaraan.

   "Tadi Tong Lo-Cianpwe telah berjanji akan ke tempat mendiang kakek Piao-Liang!" Yang Kun mengingatkan.

   "...Ya, tapi yang aku butuhkan sekarang adalah pengisi perut terlebih dahulu," Tong Ciak Cu-si masih menggerutu...Kalian telah melahap satu mangkuk bubur, sedang aku tidak! Padahal jatahku setiap pagi harus lima mangkok bubur..."

   "Wah, Tong-hiante ini yang dipikirkan cuma makan saja...!" Toat-beng-jin berkelakar.

   "Tentu saja! Itu kan sumber tenaga buat kita..." jago Im-yang-kauw itu membela diri.

   "Dengan perut kosong, bagaimana kita bisa memainkan lm-yang kun...?"

   "Wah, kalau begitu kita harus masuk rumah makan lagi, nih!" Souw Lian Cu yang sudah merasa kenyang itu memberengut. Toat-beng-jin tertawa, sementara Yang Kun hanya tersenyum saja melihat hal itu.

   "Ha-ha ha... kelihatannya Tong-hiante ingin makan gratis lagi, ya? Tadi di warung Hao Chi kita belum sempat membayar, sekarang sudah mau masuk restoran lagi! Wah!"

   "Eh, benar! Kita tadi belum membayar harga bubur yang kita makan..." Souw Lian Cu terkejut.

   "Benar! Tapi keadaan demikian ributnya. Kepada siapa kita harus membayarnya...?" tak terasa Chin Yang Kun menyahut. Sesaat ia lupa bahwa ia dan gadis itu masih dalam keadaan "perang dingin"! Baru setelah Souw Lian Cu mengerling tajam kepadanya, Yang Kun menyadari ketelanjurannya. Otomatis muIutnya menjadi terdiam kembali, mukanya merah. Di tikungan jalan mereka melihat rumah makan yang agak besar. Meskipun hanya sebuah dusun, karena mempunyai bandar air sungai yang ramai, tempat itu tak ubahnya seperti sebuah kota kecil saja keadaannya. Ada penginapan, pasar dan toko-toko kelontong yang berjajar-jajar di sepanjang jalan utamanya.

   "Nah, sekarang lohu benar-benar mau makan di sini..." Tong Ciak membelok ke arah rumah makan itu. Toat-beng-jin tersenyum mengikuti.

   "Coba, ingin kulihat! Apakah Tong-hiante dapat melaksanakan niat itu, hehehe..." Tokoh sakti bertubuh pendek itu berhenti melangkah.

   "Wah! Apakah Lojin-ong bermaksud bahwa di tempat inipun akan terjadi keributan sehingga aku tak bisa makan pula kembali?"

   "Ah, siapa tahu...? Kesialan itu sering kali datang dengan beruntun. Kalau sudah mendapatkan satu, yang lain segera menyusul..." Toat-beng-jin tersenyum lebar. Tong Ciak Cu-si tampak termangu-mangu sebentar. Tapi sesaat kemudian dengan dada tengadah ia telah melangkah kembali ke restoran itu.

   "Uh! Uh! Perduli amat! Biarlah kalau mau sial lagi...,...Lebih baik kuhabiskan saja sekalian semua kesialan itu pada hari ini. Itu lebih baik dari pada harus menunggu sampai lain hari," ucapnya keras. Dan tanpa mengucapkan permisi lagi tokoh sakti bertubuh pendek itu melompati tangga yang berada di depan pintu, terus menerobos masuk. Tapi belum juga selangkah ia masuk...

   "Siiiing! Siuttt!" Sebatang tombak dengan mata yang berkilau saking tajamnya, tiba-tiba tampak melesat ke arah dadanya.

   Begitu kuat dan cepat daya luncurnya, membuat jago sakti dari Im-yang-kauw itu terkejut bukan main. Untunglah, sebagai seorang jago silat berkepandaian tinggi, Tong Ciak tak pernah kehilangan ketenangannya. Apalagi sepanjang hidupnya, selama ini tokoh itu telah kenyang dengan segala macam pengalaman yang hebat-hebat. Jadi biarpun merasa terkejut, tapi rasa terkejut itu tidak terlalu lama. Hanya dalam waktu sedetik tokoh itu telah bereaksi dengan hebatnya. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, Tong Ciak bergeser ke kiri, sementara tenaga sakti Soa-hu-sin kang yang berada di dalam tubuhnya secara otomatis bergerak melindungi badan. Kemudian dengan jari-jari terbuka telapak tangan kanannya menepis ujung tombak yang telah berada di depan hidungnya!

   "Taasss!" KepaIa tombak itu patah seketika dan tangkainya terlempar ke atas dengan kekuatan yang bertambah menjadi berlipat ganda!

   "Braaaak! Gedubraaaaak! Brooooll!!" Tangkai tombak yang terbuat dari besi pilihan itu menghajar tiang penglari yang menyangga genting dan atap restoran bahagian depan. Terdengar suara kayu patah dan sekejap kemudian bangunan depan yang kokoh kuat itu runtuh ke bawah dengan hebatnya. Padahal di sana berdiri... Toat-beng-jin, Chin Yang Kun dan Souw Lian Cu!

   "Yang-hiante! Souw-Kouwnio...! Awasss...!" Toat-beng-jin berteriak memperingatkan kedua orang temannya itu. Bencana itu datang begitu mendadak, sehingga orang tua tersebut tidak sempat untuk memikirkan keselamatan mereka. Beberapa orang penduduk yang saat itu kebetulan lewat atau kebetulan berada di sekitar tempat itu serentak menjerit panik. Mereka ngeri membayangkan nasib ketiga orang asing yang hampir tertimpa reruntuhan atap tersebut! Tak ayal lagi mereka tentu akan menyaksikan tubuh-tubuh berserakan yang tertimbun oleh remukan bangunan yang runtuh itu.

   "Gempa bumi lagi...!" seorang nenek tua menjerit ngeri sambil menutupi mukanya. Agaknya perasaan ngeri yang dia alami ketika terjadi gempa bumi beberapa waktu yang lampau masih sangat membekas dalam hatinya. Tetapi sekejap kemudian rasa kaget dan ngeri yang ada di dalam benak orang orang itu menjadi lenyap seketika dan diganti oleh perasaan kagum dan tak percaya.

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ternyata ketiga orang yang mereka khawatirkan itu dalam waktu yang hampir bersamaan mampu meloloskan diri dari bencana tersebut. Orang pertama yang mereka sangka tentu akan menjadi korban reruntuhan itu, yaitu Toat-beng-jin, ternyata... justru menjadi orang pertama yang bisa lolos dari bencana itu malah! Ternyata kakek tua renta tersebut bukan main tangkasnya. Bagaikan mempunyai sepasang per baja di bawah telapak kakinya, orang tua yang mereka anggap jompo itu melenting mundur dengan cepat sekali. Begitu cepat gerak refleks kakinya, sehingga tubuh tuanya yang kurus kecil itu dalam tempo singkat telah berada dua-tiga tombak jauhnya dari tempat semula. Sedang orang kedua yang mereka khawatirkan adalah Souw Lian Cu.

   Selain Souw Lian Cu adalah seorang wanita, gadis itu ternyata telah cacat tangannya. Ternyata kekhawatiran mereka kali inipun telah salah pula. Gadis cantik yang buntung lengannya itu ternyata mampu bergerak lincah seperti burung camar di lautan. Dengan tangkas gadis itu menjatuhkan diri pada telapak tangannya, dan di lain saat sepasang kakinya melenting ke atas cepat sekali, sehingga sekejap kemudian tubuhnya berputar menjauh seperti kincir angin yang tersapu badai! Orang ketiga, Chin Yang Kun yang mereka anggap paling kuat, sehingga tentu dapat bergerak paling tangkas, ternyata justru tidak bisa bergerak dari tempatnya malah! Luka dalam yang diderita oleh pemuda itu ternyata sangat mengganggu gerakannya, sehingga berbeda dengan kedua temannya yang bergerak gesit meloloskan diri, pemuda itu justru hanya bisa berdiri diam saja di tempatnya.

   Tapi apa yang dipertunjukkan oleh Yang Kun selanjutnya benar-benar membuat semua orang ternganga dan tak habis mengerti! Karena tak bisa berbuat lain selain bertahan, pemuda itu dengan nekad mengerahkan tenaga sakti Liong-cu I-kangnya! Ia tak menghiraukan lagi rasa sakit di dadanya. Sedetik kemudian terasa berhembus angin dingin yang memancar dari badannya, dan di lain saat baju longgar yang dikenakan oleh pemuda tersebut menggembung seperti balon yang mau meletus. Pada saat itu pula atap gedung yang runtuh itu jatuh menimpa tubuhnya. Suaranya menggelegar mengerikan. Debu, pasir dan patahan-patahan kayu berhamburan memenuhi tempat itu sehingga untuk sesaat udara menjadi gelap!

   "Yang-hiante...!" Toat-beng-jin dan Tong Ciak berseru hampir berbareng.

   "Yang Kunnnn..!" tak terasa Souw Lian Cu ikut berteriak khawatir. Baru beberapa saat kemudian debu yang memenuhi tempat reruntuhan itu hilang ditiup angin. Dan... semua orang yang tadi merasa khawatir, kini menjadi ternganga mulutnya!

   Suatu pemandangan yang sungguh-sungguh tidak masuk akal telah terjadi di depan mata mereka! Di depan mereka, di tengah-tengah tumpukan kayu dan genting yang menggunung, mereka melihat Chin Yang Kun masih berdiri tegak seperti semula. Tak sebutir kotoran maupun sepotong kayupun yang mengotori pakaiannya! Dari sepatu sampai ujung rambutnya tampak bersih dan Iicin seperti semula. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Sesungguhnyalah, tenaga sakti Liong-cu-i kang yang dikerahkan oleh Chin Yang Kun tadi memang bukan main hebatnya! Buktinya, pakaian yang dikenakan oleh pemuda itu sampai menggembung seperti balon yang ditiup karena ikut terisi oleh Liong-cu-i kang! Begitu ampuhnya tenaga sakti itu sehingga tubuh pemuda tersebut seperti ulat yang terlindung dalam kepompongnya!

   "Yang-hiante, kau tidak apa-apa, bukan...?" Toat-beng-jin bertanya sambil menarik si pemuda keluar dari reruntuhan itu.

   "Siauwte tidak apa-apa... Cuma, lukaku mungkin telah terbuka kembali..." Yang Kun menjawab agak tersipu. Sekejap matanya melirik ke arah Souw Lian Cu. Dalam suasana yang hiruk-pikuk tadi ia masih dapat mendengar teriakan khawatir dari gadis yang cantik tersebut. Tapi ia menjadi sangat kecewa ketika gadis itu tampak acuh tak acuh kembali.

   "Sesungguhnya Yang-hiante memang belum boleh menggunakan tenaga terlalu besar. Tapi tak apalah...! Yang terpenting Yang-hiante sekarang selamat. Tentang luka dalam itu... biarlah kami yang mengurusnya nanti." Toat-beng-jin menghibur.

   Sementara itu tanpa memperdulikan para penduduk yang datang ke tempat itu, Tong Ciak mendahului kawan-kawannya memasuki restoran. Dengan mata merah tokoh sakti dari lm yang-kauw tersebut mencari orang yang melepas tombak maut tadi. Ternyata Tong Ciak tidak mendapatkan kesukaran untuk mencarinya. Begitu masuk tokoh itu telah dihadang oleh belasan orang lelaki di depan pintu. Mereka berpakaian ringkas dan bersenjata lengkap, seperti layaknya jago-jago silat dari dunia kang ouw. Salah seorang di antaranya, yang berdiri di tengah, tampak memegang tombak panjang yang bentuk dan bahannya persis dengan tombak yang tadi hampir saja membunuh dia.

   "Atas nama Tuan Tan kami mengucapkan selamat datang kepada Cuwi semua...!" orang bertombak panjang itu menjura, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain. Tong Ciak cuma mengangguk dingin. Sebentar dia menoleh, melirik ke arah teman temannya yang mengikutinya masuk, setelah itu matanya kembali menatap ke depan dengan kaku.

   Peristiwa yang baru saja terjadi, yang hampir saja membunuh dia dan kawan-kawannya, benar-benar membuat hatinya marah bukan main. Beberapa orang tamu tampak bergegas meninggalkan kursinya. Dengan tergesa-gesa mereka membayar makanannya dan keluar dari pintu samping. Mereka seakan akan sudah mencium bahaya yang akan terjadi di restoran itu! Sudah beberapa kali mereka menyaksikan peristiwa perkelahian antara orang-orang asing yang baru datang di dusun mereka dengan para pengawal Tan-Wangwe. Melihat lawannya cuma berdiri diam dan tidak menjawab ucapan selamat datangnya, orang bertombak panjang itu menyeringai. Sekali lagi ia memberi hormat, seolah-olah tidak terpengaruh oleh sikap lawannya.

   "Ah, maafkanlah kami...! Mungkin tata cara kami dalam menyambut tuan tadi agak sedikit keterlaluan! Tapi...itu memang tata cara kami. Kami hanya bermaksud untuk mengetahui dan membuktikan, dengan siapa kami sekarang sedang berhadapan. Sehingga untuk selanjutnya kami dapat bersikap serta menempatkan diri di hadapan tamu kami..."

   "Huh!" Tong Ciak mendengus dan masih tetap berdiam diri. Tokoh sakti dari Im-yang-kauw itu menatap kaku ke arah lawan lawannya. Dipandangnya mereka satu persatu, bagaikan seekor ayam jago yang sedang menilai kekuatan lawan sebelum bertanding di medan laga. Lelaki bertombak panjang, yang tadi mengucapkan kata selamat datang, berusia sekitar empat puluhan tahun.

   Berperawakan sedang, berkumis dan berjenggot tipis serta mengenakan baju longgar berkembang-kembang. Dilihat dari sikapnya sejak tadi, dapat diduga kalau dialah yang memimpin rombongan itu. Di sebelah kanan dan kirinya berdiri dua orang yang wajahnya sangat mirip satu sama lain. Sama-sama berwajah bengis dan kejam. Hanya kulit tubuh mereka yang agak berbeda, yang satu lebih gelap dari pada yang lain. Mereka berdua sama-sama membawa sebuah tongkat besi yang diberi kaitan baja di sebelah ujungnya. Lalu di sebelah kiri dari ketiga orang itu tampak berdiri seorang laki-laki gundul tak berbaju, sehingga otot-otot kekar yang bertonjolan di badannya kelihatan dengan nyata. Sepasang mata yang terlindung oleg alis mata yang tebal dan lebat itu kelihatan hampir terpejam saking sipitnya.

   Sementara bentuk tulang pipi dan rahangnya yang kokoh persegi itu mengingatkan orang pada bentuk tulang pipi Bangsa Mongol atau Manchu, jari jari tangannya yang kokoh seperti penjepit baja itu memegang cambuk dari kulit ular. Dilihat sepintas lalu dapat diduga bahwa raksasa gundul ini adalah jago gwa kang yang sangat kuat! Sedangkan belasan orang yang berdiri menebar di belakang keempat jagoan itu adalah pembantu-pembantu yang mereka bawa. Tak ada yang kelihatan menonjol di antara orang orang tersebut, biarpun wajah mereka rata-rata tampak ganas dan kejam. Beberapa saat kemudian Tong Ciak kelihatan mengambil napas panjang sekali, lali menghembuskannya kembali kuat kuat. Setelah itu dengan wajah sedikit lebih cerah, ia mengangguk.

   "Baiklah! Selamat berjumpa!" akhirnya tokoh Im yang kauw yang amat sakti itu menjawab.

   "Tapi... terus terang saja, kami berempat ini belum merasa mengenal Cuwi semua. Oleh karena itu dapatkah Cuwi mengatakannya kepada kami? Siapakah cuwi ini? Dan siapakah Tuan Tan yang cuwi sebut tadi?" Orang bertombak itu saling berpandangan dengan kawan-kawannya, seolah olah merasa aneh mendengar pernyataan Tong Ciak tersebut. Tapi beberapa saat kemudian orang bertombak itu tersenyum geli.

   "Ah, tuan tak perlu berpura-pura di depan kami. Mungkin tuan memang benar-benar belum mengenal kami semua secara pribadi, tapi mengenal Tuan Tan... dan apakah kedudukan kami di dusun ini, kukira tuan telah bisa menebak..."

   "Tuan Tan...? Menebak...? Apakah maksudmu...?" Tong Ciak semakin tak mengerti kata-kata lawannya. Dengan dahi berkerut jago sakti bertubuh pendek ini menoleh ke arah Toat-beng-jin yang berdiri di belakangnya. Toat-beng-jin juga mengangkat pundaknya tanda tak mengerti pula.

   "Mungkin orang-orang ini telah salah mengenali kita," bisiknya perlahan.

   "Baiklah, kami akan memperkenalkan diri kepada cuwi..." akhirnya orang bertombak itu memutuskan, setelah beberapa saat lamanya pihak Tong Ciak Cu-si tetap belum mau mengakui kalau mengenal mereka.

   "Silahkan...! Kami akan mendengarkannya dengan baik."

   "Kami semua ini adalah para pembantu Tuan Tan yang menjadi penguasa tak resmi di dusun Ho-ma-cun ini... saya adalah Tu Seng..." orang bertombak itu memperkenalkan diri.

   "Ah, Hui chio (Si Tombak Terbang) kiranya...!" Tong Ciak yang mempunyai banyak pengalaman itu berseru.

   "Benar! Agaknya tuan sudah pula mendengar gelar yang diberikan oleh teman-teman kepadaku."

   "Tentu saja. Nama saudara pernah menggetarkan kota Kiciu ketika saudara masih menjabat sebagai Kepala Pasukan Kerajaan di kota itu." Tong Ciak yang dahulu adalah Kepala Pasukan Pengawal Istana itu mengenali orang tersebut.

   "Heh?!?" Hui Chiu Tu Seng tersentak kaget. "Tuan siapa? Mengapa tuan mengenal masa laluku?"

   "Sudahlah! saudara belum memperkenalkan nama teman teman saudara yang lain kepada kami..." Tong Ciak Cu-si memotong.

   "Baik! Tapi setelah itu kami juga ingin mengetahui nama tuan yang terhormat..." Tong Ciak tersenyum dan saling pandang dengan Toat-beng-jin.

   "Yang berada di sampingku ini adalah dua orang bersaudara dari lembah sungai Hoang-ho. Kalangan persilatan menyebut mereka Huang-ho Heng-te (Dua saudara dari Sungai Huang-ho). Sedang kawanku yang gundul ini datang dari daerah Mongol, namanya Togu. Dia biasa membunuh beruang hanya dengan memuntir kepalanya, maka orang kang ouw memanggilnya Si Pembunuh Beruang!" Tu Seng memperkenalkan semua pembantu-pembantunya. Kemudian dengan rasa ingin tahu ia melanjutkan, "Nah, sekarang beritahukan kepada kami! Siapakah nama serta gelar tuan? Siapa pula teman-teman tuan itu?"

   "Hei! saudara ini aneh benar! saudara telah menyambut kami di sini. Tentu saja saudara sudah mengenal kami dengan baik..." Tong Ciak balik berkata kepada Tu Seng.

   "Ya, tapi..." orang bertombak itu menjawab dengan gagap.

   "Sudahlah...! apa sih sebenarnya maksud kalian menanti dan menyambut kami disini? Kita toh belum saling mengenal dan berhubungan satu sama lain?" akhirnya Toat-beng-jin ikut pula berbicara. Tu Seng berpaling dan menatap Toat-beng-jin dengan dahi berkerut.

   "Siapa pula tuan ini?" tanyanya penasaran.

   "Meski kusebutkan namaku, kalian juga takkan mengerti! Lebih baik katakan saja maksud kalian yang sebenarnya... atau... kita tak usah saling mengurus kepentingan kita masing-masing."

   "Huh!" tiba-tiba raksasa Mongol yang bernama Togu itu menggeram.

   "Saudara Tu, tak usah bicara berbelit-belit dengan mereka! Membuang waktu saja! Tuan Tan sudah memberi wewenang kepada kita, jikalau mereka datang, kita diperintahkan untuk menyuruh mereka pulang! Kalau mereka membangkang dan tetap ingin mengganggu keluarga Tuan Tan, kita diperbolehkan menyikat mereka!"

   "Saudara Tugu benar! Lenyapkan saja orang orang ini! Habis perkara!" salah seorang dari Huang-ho Heng-te yang berkulit gelap ikut berteriak.

   "Baiklah! Tapi biarlah mereka memilih, melanjutkan maksud mereka atau membatalkan niat mereka...dan meninggalkan tempat ini." Tu Seng cepat-cepat menenangkan kawan-kawannya yang mulai marah itu. Lalu dengan wajah kaku Tu Seng berkata ke arah Tong Ciak. Suaranya keras dan penuh ancaman.

   "Nah! Tuan telah melihat sendiri kemarahan teman temanku. Oleh karena itu untuk menyingkat waktu, kami takkan bertanya lagi tentang cuwi semua. Kami tak perduli lagi...! tapi demi keselamatan cuwi, kuminta cuwi segera meninggalkan dusun kami ini!"

   "Dan... ingatlah! jangan sekali-kali kalian menampakkan diri di hadapan kami! Sekali lagi aku melihat kalian... huh! jangan harap kaitan di ujung tongkatku ini mau mengampuni jiwa kalian!" salah seorang dari Huang-ho Heng-te turut membentak.

   "Lekas pergi! Mau tunggu apa lagi?" Togu berteriak pula sambil melangkah maju. Sepasang alis Tong Ciak berkerut sehingga bertemu satu sama lain. Begitu pula dengan Yang Kun dan Lian Cu! Malahan...kedua remaja itu telah menjadi merah padam mukanya! Mereka benar-benar tersinggung karena mendapat perlakuan seperti itu.

   "Eh! Ada apa pula ini? Sabar...! sabarlah...!" Toat-beng-jin melangkah maju, berusaha mendinginkan suasana yang telah meruncing itu. Tapi maksudnya yang baik itu ternyata telah diartikan salah oleh lawannya. Togu menyangka bahwa orang tua itu bermaksud untuk melawannya. Maka kedatangannya langsung disambut oleh raksasa gundul tersebut dengan ayunan lengannya yang sebesar paha orang itu.

   "Whuuut!"

   "Eeit! Lhoh? Bagaimana, nih...? Sabarrrr...!" Toat-beng-jin mengangkat kedua lengannya ke depan dengan telapak tangan terbuka untuk memberi tahu kepada Togu bahwa dia tak ingin berkelahi. Tapi dengan tangkas raksasa Mongol itu berputar ke samping,lalu cambuk yang dipegangnya sejak tadi ia sabetkan ke arah lengan yang terjuIur ke depan itu. Lagi-lagi raksasa ini telah salah mengartikan maksud Toat-beng-jin! Raksasa ini mengira lawannya telah melancarkan pukulan jarak jauh kepadanya!

   "Wuuuttt! Thaaar!" Cambuk yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu menghantam, lalu membelit sepasang lengan Toat-beng-jin yang kurus. Suara ledakan ujung cambuk itu sangat keras sekali, sehingga gedung itu seperti bergetar karenanya. Dan di lain saat tubuh Toat-beng-jin yang kecil itu tampak terangkat dari tempatnya. Kemudian seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, tubuh kecil kurus yang terlontar oleh daya sentak ujung cambuk itu terlempar ke atas dan...menghantam genting dengan dahsyatnya!

   "Brraak!!"

   Genting itu jebol dan berlobang besar sekali sedang tubuh Toat-beng-jin yang menabraknya terus meluncur keluar lubang dengan derasnya. Pecahan kayu dan genting berhamburan ke bawah membuat beberapa orang di antara anak buah Tu Seng berloncatan menghindar.

   "Lo-Cianpwe!"

   "Lo-Cianpwe...!" Yang Kun dan Souw Lian Cu berteriak hampir berbareng. Hampir saja mereka meloncat pula ke arah genting yang berlobang itu untuk menolong Toat-beng-jin yang lenyap dari pandang mata mereka.

   Tapi dengan tangkas Tong Ciak segera menahan lengan mereka.

   "Yang-hiante! Souw-Kouwnio! Biarlah! Jangan hiraukan Lojin-ong! Beliau tidak apa-apa..." Pengurus Agama itu berbisik di dekat telinga mereka. "Marilah kita layani saja orang-orang ini...!" Togu tampak amat puas dengan apa yang baru saja ia lakukan itu. Dengan tertawa lebar ia memandang Tong Ciak yang masih tertegun mengawasi lobang genting di atas ruangan itu.

   "Nah! Sudah kalian lihat nasib tua bangka yang bermaksud melawanku itu, bukan? Memang amat kasihan sekali! Tubuhnya tentu sudah remuk dan sukar dikenal lagi apabila mayatnya kita ambil dari atas genting itu..."

   "Haha..." Yang Kun terpaksa tertawa perlahan, tak kuasa menahan kegelian hatinya.

   "Kurang ajarr...!!" raksasa itu mengumpat keras sekali.

   "Monyet kecil, apa yang kau tertawakan?" Selanjutnya tanpa memberikan suatu peringatan lagi Togu menerjang ke arah Chin Yang Kun dengan ganasnya. Kepalan tangannya yang sebesar periuk nasi itu menghajar ke arah mulut yang mentertawakan dirinya tersebut. Terdengar suara mengaung akibat kerasnya kepalan itu terayun. Tong Ciak dan Souw Lian Cu cepat-cepat meIoncat ke samping untuk menjaga agar tidak ikut terkena sasaran pukulan itu.

   "Awas, Yang-hiante! Hati-hatilah sedikit dalam mengerahkan tenaga saktimu! Jangan sampai kekuatanmu yang aneh itu membunuhnya...!" tokoh bertubuh pendek itu berteriak keras. Tokoh Im-yang-kauw itu ternyata tidak mengkhawatirkan kesehatan Yang Kun, tetapi justru khawatir kalau pemuda itu sampai kesalahan tangan membunuh lawannya malah!

   Tapi Yang Kun hampir tidak mendengar seruan itu. Dia yang masih belum sembuh dari sakitnya itu sedang berusaha keras menghindari pukulan lawan. Kakinya yang panjang itu menjejak lantai, sehingga tubuhnya yang jangkung terlontar ke atas dengan cepatnya. Pukulan Togu lewat dengan deras di bawah kaki Yang Kun, sehingga tubuh raksasa itu nyelonong lewat pula. Keadaan itu benar-benar tidak disia siakan oleh Yang Kun. Dengan memutar badannya di atas udara Yang Kun berbalik mengulurkan tangan ke arah tubuh Togu yang lewat di bawahnya. Hawa yang sangat dingin terasa memancar dari lengan yang terulur itu, sementara lapat-lapat terdengar suara mendesis dari bibir di atasnya.

   "Cuuuusssss...!"

   "Yang-hiante, jangan...!" Tong Ciak berseru kaget.

   "Saudara Togu...awas dibelakangmu!" Huang-ho Heng-te berteriak bersama-sama, dan di lain saat tubuh dua bersaudara itu tampak melesat ke arena pula. Ternyata Togu sendiri telah mencium bahaya itu pula. Maka tanpa menoleh lagi, ia mengayunkan cambuknya ke belakang dengan kekuatan penuh.

   

Darah Pendekar Eps 31 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Darah Pendekar Eps 8

Cari Blog Ini