Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 57


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 57




   "Prraaaaaang!!!" Tiba-tiba Tiau Li Ing dikejutkan oleh suara gemerincing senjata yang terjatuh di depannya. Dan ketika gadis itu memperhatikan senjata itu hatinya menjadi kaget sekali! Beberapa langkah di depannya tergeletak sebilah golok bersinar kuning keemasan! Dan gadis itu tidak akan lupa kepada golok itu, karena golok itu adalah golok pusaka kebanggaan ayahnya selama ini! Golok mustika yang bisa mematahkan besi baja! Dan sebelum gadis itu sempat berteriak atau mengambil suara, mendadak di angkasa terdengar lagi suara Si Penyanyi Sinting itu!

   "Lo-si-ong...! Pisahkanlah dahulu perkelahian mereka! Lambat laun Lohu merasa perkelahian ini tidak adil. Yang satu hanya bertangan kosong, sementara yang lain malah membawa dua buah senjata. kau berikanlah golok di depanmu itu kepada... Chin Yang Kun agar pertempuran ini menjadi adil!"

   Kakek buta itu tampak tersentak kaget mendengar suara gurunya. Tapi sekejap kemudian tangannya telah terulur ke arah golok mustika itu untuk melakukan perintah gurunya tersebut. Dan tanpa bisa diketahui bagaimana caranya, tiba-tiba saja dari dalam lobang lengan bajunya yang lebar, meluncur seutas tali kecil panjang, membelit gagang golok tersebut. Dan kemudian seperti seorang pemain sulap saja, golok tersebut sudah berpindah ke tangannya. Semua gerakan itu berlangsung dengan cepatnya, sehingga sepintas lalu golok tersebut bagaikan terbang sendiri ke tangan kakek Lo-si-ong itu.

   "Berhenti!" kemudian orang tua itu berseru ke arah pertempuran. Dan sebelum gema suaranya hilang, kakek itu sudah menggenggam dua puluh batang paku besi di masing-masing telapak tangannya. Lalu sambil mengerahkan Iweekangnya, kakek itu mengayunkan tangannya empat kali berturut-turut secara bergantian.

   Dan sebentar kemudian delapan kelompok paku, yang masing-masing terdiri dari lima batang melesat ke arena pertempuran, membentuk gambar bunga teratai yang berdaun bunga delapan lembar. Dan sampai dengan satu tombak jauhnya dari arena pertempuran, paku-paku tersebut masih tetap juga membentuk daun bunga teratai. Tapi setelah satu tombak jauhnya dari arena pertempuran, paku-paku itu berguguran satu persatu, bertebaran menyerang ke arah Chin Yang Kun dan Hek-eng-cu bagaikan derasnya titik-titik hujan. Tentu saja kedua orang yang sedang terlibat dalam pertempuran itu menjadi kaget setengah mati! Terutama bagi Chin Yang Kun yang secara kebetulan sedang membelakangi paku-paku itu. Apalagi saat itu pisau Hek-eng-cu juga sedang menusuk ke arah dadanya.

   "Kurang ajar...!" Chin Yang Kun yang mendapat serangan dari muka dan belakang itu mengumpat marah. Karena sebagian besar dari paku-paku itu menyerang ke arah dirinya, maka tiada pilihan lain bagi Chin Yang Kun selain mengebutkan mantel pusaka yang dipakainya itu ke belakang, yaitu untuk menangkis atau meruntuhkan paku paku tersebut. Dan bersamaan dengan itu pula kakinya melangkah ke samping untuk menghindari tusukan pisau Hek-eng-cu yang mengarah ke dadanya.Sementara itu beberapa buah paku yang lain juga menyerang ke arah dada dan muka Hek-eng-cu pula. Tapi dengan tenang serta penuh keyakinan diri, iblis berkerudung itu menyongsongnya dengan pisaunya yang lain.

   "Traaaang!" Begitulah, pada saat yang bersamaan paku-paku itu ditangkis oleh Chin Yang Kun dan Hek-eng-cu dengan kebutan mantel dan pisau mereka. Dan seperti tanpa kekuatan sama sekali, paku-paku itu segera terpental dengan mudahnya. Tetapi betapa terperanjatnya kedua orang itu tatkala paku paku yang terpental tersebut tiba-tiba meliuk kembali ke arah mereka, seperti layaknya senjata bumerang yang tidak mengenai sasaran. Dan yang amat mengejutkan, paku-paku itu ternyata justru melaju lebih cepat daripada tadi.

   "Gila! Ilmu melempar senjata rahasia macam apa ini, hah?" Hek-eng-cu memekik keras seraya berjumpalitan ke belakang untuk menghindarkan diri. Begitu pula halnya dengan Chin Yang Kun! Dengan sekuat tenaga pemuda itu terpaksa melemparkan dirinya ke atas tanah untuk meloloskan diri dari sergapan paku-paku yang bergerak seperti setan itu. Demikianlah, paku-paku itu meluncur terus tanpa mengenai sasarannya. Namun demikian maksud Lo-si-ong untuk memisahkan perkelahian mereka ternyata telah berhasil.

   "Nah, anak muda...! Terimalah golok pusaka ini, agar kau bisa melawan musuhmu itu!" orang tua itu kemudian berteriak sambil melemparkan golok pemberian Si Penyanyi Sinting tadi. Chin Yang Kun menatap Lo-si-ong dengan air muka kurang senang, namun demikian golok pusaka itu diterimanya juga. Sebaliknya Hek-eng-cu semakin merasa kesal serta jengkel kepada orang tua itu. Selain merasa telah diganggu perkelahiannya, Hek-eng-cu juga merasa marah karena lawannya kini telah memegang senjata pula seperti dirinya.

   "Hmmh, bangsat tua yang mau mampus! Tunggulah! Selesai membereskan bocah ini akan kubereskan pula nyawamu!" iblis itu berteriak menggeledek.

   "Apa...? Mau membereskan nyawaku? Oh-ho-ho ho ho...!" Lo-si-ong tertawa terkekeh-kekeh, "Boleh... boleh! Tapi... bereskanlah dulu lawanmu itu, ho-ho-ho...!"

   "Baiklah! Kalian saksikan saja, golok itu tidak akan banyak berarti di tangan bocah pandir itu! Dia tetap akan kubereskan dalam waktu singkat!" Hek-eng-cu tetap saja bersuara besar.

   "Kurang ajar! Sombong benar...!" Chin Yang Kun menggeram marah. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi pemuda itu menerjang dengan golok pusakanya. Sambil melompat golok itu mula-mula diayun dari atas ke bawah, seakan-akan golok itu mau membelah tubuh Hek-eng-cu menjadi dua bagian yang sama besar. Dan disebabkan karena kemarahannya pula pemuda itu sengaja mengerahkan seluruh kekuatannya yang maha dahsyat!

   "Whuuuuus...!" Seketika tubuh Hek-eng-cu bagaikan membeku karena terhembus oleh udara dingin yang keluar dari golok pusaka itu! Begitu dingin rasanya, sehingga iblis berkerudung itu seperti diguyur dengan air es yang keluar dari ujung golok pusaka itu! Tentu saja Hek-eng-cu terperanjat! Dia yang selama ini juga mempelajari tenaga dalam yang bersifat dingin ternyata masih tetap merasa menggigil juga oleh hawa yang terpancar dari golok pusaka tersebut.

   "Bangsat! Bocah ini tampaknya mendapatkan sebuah senjata yang amat cocok dengan ilmunya! Sungguh golok mustika yang tiada duanya...! Aku harus berhati-hati menghadapinya." iblis itu berkata di dalam hatinya.

   "Traaaang!" Bunga api berpijar menerangi arena pertempuran ketika Hek-eng-cu menangkis golok itu dengan sepasang pisaunya.

   Dan masing-masing segera meloncat mundur untuk memeriksa senjatanya. Dan begitu melihat senjata tersebut masih utuh serta tidak kurang suatu apa, maka mereka berdua lantas maju bergebrak kembali. Begitulah, sebuah pertempuran yang sangat dahsyat kembali berlangsung pula di dalam lembah yang sunyi itu. Masing-masing berusaha dengan sekuat tenaganya untuk cepat-cepat mengalahkan lawannya. Dan karena masing masing kini memegang senjata pusaka, apalagi keduanya mempunyai ilmu silat yang seimbang, maka pertempuran itu benar-benar sulit untuk diduga kesudahannya. Paling-paling keduanya tentu akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memanfaatkan kelebihan mereka untuk mendepak atau menindih kekurangan lawannya.

   Hek-eng-cu semakin meningkatkan ginkangnya. Tubuhnya berkelebat dan berputaran dengan cepatnya seperti baling baling, sehingga Chin Yang Kun terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga sakti Liong-cu I-kangnya untuk bertahan. Pemuda itu memutar golok mustikanya di sekeliling tubuhnya, untuk membendung serangan pisau lawannya. Kemudian sekali waktu, kalau ada kesempatan pemuda itu balas menyerang dengan tidak kalah dahsyatnya. DemikianIah, begitu dahsyatnya pertempuran sehingga tak terasa embun pagi telah turun membasahi mereka. Sinar cerah kemerahan telah mulai menyibak di langit sebelah timur lembah itu. Hari telah mulai menjelang fajar.

   "Kek, lihatlah... fajar sudah mulai menyingsing! Ohh, lama benar pertempuran mereka. Belum pernah aku melihat pertempuran seperti ini..." Tiau Li Ing tiba-tiba berseru sambil mengangkat jari telunjuknya ke arah langit.

   "Ya, cucuku...! Kedua orang itu memang boleh dikatakan mempunyai kesaktian yang seimbang. Itulah sebabnya mereka berdua sama-sama menduduki urutan yang ketujuh di dalam Buku Rahasia itu. Mereka itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Coba, kau lihatlah yang lebih baik...! Hek-eng-cu mempunyai ginkang yang lebih tinggi, bukan? Namun demikian sulit juga baginya untuk mendesak Chin Yang Kun, karena lweekangnya ternyata masih kalah jauh dengan pemuda itu. Padahal ilmu silat mereka boleh dikatakan seimbang, kalau tidak lebih tinggi si pemuda itu malah! Kalau tadi Hek-eng-cu bisa menang di atas angin, hal itu disebabkan oleh karena Chin Yang Kun tak bersenjata. Untunglah pemuda itu tadi memakai tutup mantel pada tubuhnya, kalau tidak...dia bisa kalah! Dan sekarang... mereka sama-sama bersenjata, sementara Chin Yang Kun malah mempunyai kelebihan sedikit yaitu... mantel pusaka itu!" kakek Lo-siong memberi penjelasan panjang lebar, seolah-olah orang tua itu bisa menyaksikan pertempuran tersebut dengan jelas.

   "Jadi...?" Kakek Lo-si-ong tersenyum lebar.

   "Kau tidak usah gelisah, cucuku...! Pertempuran ini akan segera selesai. Bukankah sudah kukatakan semuanya tentang mereka itu...? kau harus bisa menebak pula, bagaimana akhir dari pertempuran ini..."

   "Ohh...!" Benar juga, sejalan dengan semakin susutnya tenaga mereka masing-masing, maka semakin tampak pulalah selisih perimbangan kemampuan mereka. Kelelahan yang diakibatkan oleh pertempuran yang berkepanjangan itu membuat Hek-eng-cu seolah-olah kehabisan napas. Gerakannya tidak selincah dan segesit tadi. Berbeda dengan Chin Yang Kun.

   Meskipun pemuda itu juga tampak lelah, namun tenaga dalamnya yang hebat itu ternyata masih tetap membuatnya kokoh dan bersemangat. Angin pukulan yang keluar dari tangan pemuda itu masih tetap juga menderu-deru seperti sediakala, seolah-olah sumber tenaga Liong-cu I-kangnya itu tidak pernah habis atau kering. Maka dari itu jalan pertempuran merekapun segera menjadi berat sebelah. Hek-eng-cu yang sudah semakin kehabisan tenaga itu sudah tidak dapat memainkan Bu-eng Hwe-tengnya dengan lincah lagi. Akibatnya semua gerakan-gerakannya dengan cepat bisa dicegat dan dibuat kalang kabut oleh Chin Yang Kun yang masih segar dan bersemangat itu. Malahan beberapa saat kemudian golok pusaka di tangan Chin Yang Kun itu sudah mulai menggores dan melukai kulit Hek-eng-cu pula.

   Iblis berkerudung itu mulai mengumpat-umpat karena ketakutan. Tapi ia sudah tidak bisa berbuat banyak lagi. Tanpa mantel pusaka di tubuhnya iblis itu tidak bisa berlindung lagi dari amukan golok Chin Yang Kun. Dan akibatnya semakin banyak pula luka yang tergores pada tubuh iblis berkerudung itu! Akhirnya, iblis yang selalu merasa tidak akan terkalahkan itu, yang selama ini selalu bertindak kejam, ganas dan tidak berperikemanusiaan itu, menjadi hancur keangkuhan dan kesombongannya! Iblis keji itu mulai merintih dan menjerit-jerit ketakutan! Lenyap sudah semua kegarangan dan kebiadabannya selama ini! Kini iblis yang menakutkan itu tak ubahnya seekor babi yang menguik-nguik ketakutan ketika dibawa ke tempat penjagalan.

   "Ingat, Yang Kun! Bila kau membunuh aku, kau akan menanggung dosa yang besar. Kau akan dikutuk keluarga kita, karena kau teIah membunuh aku!" Hek-eng-cu berteriak dengan suara gemetar.

   "Persetan! kau pun telah membunuh ayah dan pamanku! Apa bedanya itu?" Chin Yang Kun balas berteriak.

   "Tapi... kau belum tahu, siapa aku ini sebenarnya! Kalau kau sudah tahu... kau benar-benar akan menyesal setengah mati nanti!" Hek-eng-cu sekali lagi berusaha untuk melemahkan hati Chin Yang Kun. Golok yang hampir mengenai punggung Hek-eng-cu itu mendadak berhenti di tengah jalan. Perkataan yang diucapkan Hek-eng-cu itu sungguh sungguh mengena di hati Chin Yang Kun. Perkataan itu segera mengingatkan Chin Yang Kun pada kata-kata kakek pengasuhnya tadi siang.

   "Kurang ajar...! ayoh, bukalah kedokmu itu! Siapakah sebenarnya kau ini? Pengecut...!" dalam kemarahannya Chin Yang Kun berteriak, lalu meneruskan serangannya kembali. Tapi kesempatan yang hanya sesaat itu telah dipergunakan dengan baik oleh Hek-eng-cu. Sambil menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh luka-lukanya, iblis itu telah meloncat menghindarkan diri. Namun ketika iblis berkerudung itu berusaha untuk melarikan diri, Chin Yang Kun segera melompat mencegatnya.

   "Traaaaaang...!" Sekali lagi golok dan pisau itu saling beradu di udara. Namun sekarang akibatnya sungguh lain. Kalau semula tenaga mereka masih boleh dikatakan seimbang, kini Hek-eng-cu terpaksa harus terbanting dan jatuh tunggang langgang karena terdorong oleh kekuatan Chin Yang Kun! Itupun ternyata belum menjamin keselamatan Hek-eng-cu pula. Karena begitu iblis itu terpental jatuh, Chin Yang Kun segera mengejar lagi dengan sabetan goloknya.

   "Aaaaah...!" iblis berkerudung itu menjerit setinggi langit. Chin Yang Kun cepat-cepat melompat mundur kembali untuk menghindari percikan darah segar yang menyembur dari lengan Hek-eng-cu. Dan iblis berkerudung itu sendiri tampak terhuyung-huyung sambil mendekap lengan kirinya yang putus akibat golok Chin Yang Kun tadi.

   "Bangsat kurang ajar! Anak durhaka... ohh!" Hek-eng-cu mengumpat dan merintih dengan suara tak jelas. Tapi suara itu cukup untuk didengar oleh Chin Yang Kun.

   "Anak durhaka? He-he-he... pembunuh keji, sungguh menggelikan sekali ucapanmu itu. Huh! Apakah kau sudah lupa lagi pada ucapanmu sendiri tentang arti perkataan "durhaka" itu, heh?" pemuda itu mengejek.

   "Bangsaaat...!" Hek-eng-cu yang diingatkan pada ucapannya sendiri itu berteriak marah. Kemudian tanpa menghiraukan lagi pada luka-lukanya, iblis berkerudung itu menerjang Chin Yang Kun dengan pisaunya. Tapi karena gerakan iblis keji itu sudah tidak tangkas dan gesit lagi, maka dengan mudah Chin Yang Kun mengelakkannya.Pemuda itu berputar ke kiri untuk kemudian menyerang lagi dengan ujung goloknya ke arah pinggang Hek-eng-cu! Kali ini Chin Yang Kun benar-benar ingin menghabisi lawannya! Tampaknya iblis berkerudung itu sudah berputus-asa pula. Dengan nekad iblis itu memutar tubuhnya, dan dibiarkannya saja golok Chin yang Kun itu menabas ke arah pinggangnya. Dan pada saat itu juga, pisau yang masih terpegang di tangan kanan iblis itu melesat menyambar tenggorokan Chin Yang Kun.

   "Wusssss...!"

   "Croooooot!" Chin Yang Kun menundukkan kepalanya, dan pisau itu melayang di atas ubun-ubunnya dan berbareng dengan itu goloknya dengan tepat menabas pinggang Hek-eng-cu! Bagaikan sapi disembelih tubuh iblis berkerudung itu menggeliat, kemudian jatuh berdebam di atas tanah. Pinggang itu menganga hampir putus! Namun demikian ketika Chin Yang Kun mendekat untuk membuka kerudung hitam itu. Tiba-tiba Hek-eng-cu bergerak untuk bangkit kembali. Dan... dengan susah payah iblis itu akhirnya bisa berdiri juga. Tapi karena perutnya sudah terbuka dan pinggangnya hampir putus, maka iblis itu tak dpat berdiri tegak lagi. Dengan darah yang mengucur dari luka-lukanya, iblis itu bertelekan pada lututnya.

   "Kakek...!" Tiau Li Ing yang telah biasa membunuh orang itu menjerit kecil dan membuang muka karena tak tahan melihat pemandangan itu. Lo-si-ong merangkul pundak Tiau Li Ing. Orang tua itu juga menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Bukan main...! Sungguh hebat sekali daya tahannya!" desahnya seolah tak percaya. Jikalau orang lain saja sampai merasa heran menyaksikan daya tahan yang sangat mentakjubkan itu, apalagi Chin Yang Kun yang langsung berhadapan sendiri dengan iblis itu. Pemuda itu hampir-hampir tak mempercayai matanya lagi melihat Hek-eng-cu yang putus lengannya dan terbuka isi perutnya itu masih hidup. Masih mampu berdiri pula malah!

   Tak terasa Chin Yang Kun melangkah mundur perlahan-lahan saking tegangnya. Tapi langkahnya segera terhenti begitu mendengar suara geram Hek-eng-cu. Dan pemuda itu lantas berdiri tegak seperti patung, dengan perasaan yang semakin menjadi tegang dan... heran! Tiba-tiba pemuda itu melihat atau merasakan adanya suatu perubahan dalam sikap lawannya yang hampir mati itu. Meskipun tidak bisa melihat wajah yang tertutup oleh kerudung hitam itu, namun Chin Yang Kun seperti melihat adanya sinar kedamaian yang memancar keluar dengan kuatnya, seolah-olah mau mengusir kabut kejahatan yang selama ini selalu membungkus jiwa Hek-eng-cu! Mendadak pemuda itu seperti melihat kembali wajah Paman Bungsunya yang telah meninggal dunia itu!

   "Aaaaah...!" Chin Yang Kun berdesah seraya menatap lawannya itu dengan tajamnya.

   "Yang... Yang Kun! Kemarilah...! A-a-a-aku hendak membisikkan sesuatu kepadamu. kau... kau datanglah kemari!" Hek-eng-cu tiba-tiba membuka mulutnya. Tiada lagi nada permusuhan di dalam suara itu. Dan tiada lagi hawa kejahatan yang menyelubungi manusia yang hendak pergi meninggalkan kehidupan dunia itu. Namun demikian Chin Yang Kun masih curiga dan tak mau melakukan perintah lawannya yang mau mati itu.

   "Anakku...! cepatlah kemari! Aku ingin meninggalkan pesan kepadamu! Jangan takut! Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Sebentar lagi aku akan mati. Dan aku tak ingin menambah bebanku dengan dosa yang lebih besar lagi. Oooh, Yang Kun... anakku, cepatlah...!" Hek-eng-cu merintih dengan suara yang semakin lirih.

   "Huh, iblis keji! kau telah membunuh seluruh keluargaku! Kini dalam keadaan sekaratpun kau masih menunjukkan kekejamanmu! Hmm, jangan harap aku akan termakan oleh tipu dayamu ini..." Chin Yang Kun menggeram.

   "Tapi... tapi... aku benar-benar hendak meninggalkan pesan kepadamu. Aku benar benar tak bermaksud jelek, apa lagi hendak memperdayai engkau... Yang Kun, lihat! Lihatlah, siapa aku...!" Hek-eng-cu cepat menarik kerudung hitamnya. Dan karena tangannya satu-satunya yang dipakai untuk menopang tubuhnya itu dipakai untuk membuka kerudung, maka tubuhnya yang mandi darah itu pun lantas tersungkur ke depan. Namun demikian wajahnya yang putih pucat itu sudah dapat dilihat oleh Chin Yang Kun.

   "Paman Bungsu...!?!" tiba-tiba Chin Yang Kun menjerit sekeras-kerasnya. Kemudian tanpa memikirkan keselamatannya lagi, Chin Yang Kun melompat dan menubruk paman bungsunya itu. Golok yang dipegangnya dibuang begitu saja, dan kepala Hek-eng-cu atau paman bungsunya itu didekap serta dipeluknya sambil mencucurkan air mata.

   "Bun susiok (Paman Bun)... oh, benarkah engkau Bun susiok? Bukankah Bun susiok telah meninggal dunia?" seperti orang yang tak waras Chin Yang Kun memeluk dan mengguncang-guncang tubuh Hek-eng-cu yang basah dengan darah itu.

   "Kau... kau tidak salah lihat, anakku... Aku memang benar paman bungsumu. Aku... aku memang tidak mati pada waktu itu. Semuanya itu hanya sandiwara belaka, agar aku bisa terlepas dari lingkungan keluarga Chin. Dan hal itu telah kurencanakan dengan matang bersama pamanmu Wan It," Hek-eng-cu menjawab dengan suara yang masih tetap jelas dan terang.

   "Ohh... tapi mengapa... mengapa paman berbuat demikian? Dan... dan kenapa paman juga tega membunuh ayah serta Kong susiok (paman Kong)?"

   "Inilah yang hendak kuutarakan kepadamu, anakku. Sekarang cobalah kau keluarkan dulu bungkusan kain yang terikat di punggungku ini, kemudian kau bukalah!" Hek-eng-cu memberi perintah. Tanpa membantah lagi Chin Yang Kun segera mengambil bungkusan yang dimaksudkan itu. Tapi pemuda itu segera mengkerutkan dahinya begitu melihat beberapa buah buku kumal di dalamnya. Buku itu terbuat dari lembaran-lembaran kain sutera yang diJilid menjadi satu, dan sudah berlobang-lobang saking tuanya. Dan ketika pemuda itu membaca tulisan-tulisan yang tertera di sampulnya, seketika menjadi kaget.

   "Kim-liong Sin-kun... Bu-eng Hwe-teng... Pat hong Sin-ciang! Eh... bukankah buku-buku ini peninggalan Bit-bo-ong almarhum?" Tubuh Hek-eng-cu tampak menggeletar menahan sakit, namun tak sepatah katapun suara rintihan terdengar dari bibirnya.

   "Benar, anakku... Buku ini memang benda peninggalan almarhum Bit-bo-ong. Dan buku ini kudapatkan secara licik dari tangan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai beberapa tahun yang lalu. Nah, anakku...kuminta dengan sangat kepadamu, kembalikanlah buku-buku ini kepada Hong-gihiap Souw Thian Hai! Atau...kalau engkau tidak bisa melakukannya, hmm...lebih baik kau musnahkan saja, agar tidak terjatuh ke tangan orang lain! Jangan sekali-kali kau miliki ataupun kau pelajari isinya, sebab hal itu benar-benar sangat berbahaya! Ilmu yang tertulis di dalam buku-buku ini tampaknya memang diciptakan oleh seorang manusia iblis, sehingga ilmu yang dahsyat itupun seolah-olah mempunyai pengaruh buruk, kotor dan jahat terhadap siapa saja yang mempelajarinya."

   Chin Yang Kun mencoba membuka beberapa halaman dari buku-buku itu. Semuanya tampak biasa dan tak ada keistimewaannya. Hanya suatu hal yang membuat kening Chin Yang Kun berkerut, yaitu dilihatnya beberapa halaman terakhir pada setiap buku itu telah hilang tersobek. Dan pada setiap buku itu, yaitu pada halaman terakhir yang tersisa, tentu tertulis kata-kata :

   HALAMAN SELANJUTNYA TELAH DIMUSNAHKAN KARENA SANGAT BERBAHAYA!
TERTANDA HOA-SAN LOJIN

   Tampaknya Hek-eng-cu juga dapat membaca pikiran Chin Yang Kun. Tetapi karena sudah tidak punya banyak waktu lagi, maka iblis yang pada saat-saat terakhirnya telah menyadari kesalahannya kembali itu tidak bertanya lebih lanjut. Sebaliknya iblis itu malah meneruskan kata-katanya.

   "Yang Kun, anakku...! Ketahuilah! Sebelumnya sudah kau ketahui pula, bahwa sifat dan watak pamanmu ini tidak demikian jahat, kejam serta angkara murka, bukan...? Tapi semenjak berhubungan dengan Hek-mou-sai Wan It dan kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Bit-bo-ong, aku lantas menjadi berubah pikiran. Watakku juga berubah. Aku lantas ingin menguasai dunia. Aku ingin semua orang tunduk dan menuruti segala kemauanku. Aku menjadi kejam, serakah dan senang melihat penderitaan orang lain. Dan karena tak seorangpun bisa mengalahkan aku, maka akupun lantas semakin lupa daratan. Aku ingin berkuasa di Tiongkok. Aku ingin merebut kembali singgasana kerajaan yang telah dikuasai oleh Liu Pang itu. Tapi ternyata masih ada sedikit ganjalan untuk melaksanakan cita-cita keinginanku itu. Sebagai saudara termuda di dalam keluarga Chin, aku tentu tak berhak untuk menduduki singgasana apabila perjuanganku itu nanti berhasil."

   "Dan... oleh sebab itu paman lalu membunuh ayah serta Kong-siok (Paman Kong)?"

   Hek-eng-cu berusaha untuk menggelengkan kepalanya, tapi tidak bisa lagi. Sebaliknya mulutnya malah meringis dan mendesis menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang seluruh tubuhnya. Dan karena otot-ototnya menegang, maka darahpun segera mengucur semakin deras dari luka-lukanya. Sehingga sekejap saja wajah yang pucat itu semakin menjadi putih pula seperti kapas.

   "Yang Kun... uuuuuh...! Semula aku tidak bermaksud membunuh kakak-kakakku itu. Aku ingin berjuang sendiri tanpa melibatkan semua keluarga Chin. Untuk itu aku dan Hek-mou-sai Wan It lalu membuat sandiwara "kematianku" itu. Aku berpura-pura mati dan meninggalkan pesan agar seluruh keluarga Chin "lari" dari lembah itu. Sandiwara itu kulakukan dengan maksud agar mereka tidak memikirkan aku lagi. Selain itu, dengan keberangkatan mereka semua dari lembah itu, otomatis semua barang-barang berharga tentu akan mereka bawa pula, termasuk di antaranya Cap Kerajaan itu! Sebab selama ini hanya ayahmu saja yang tahu di mana benda itu berada."

   "Dan kemudian... paman bermaksud untuk merampas benda itu di tengah perjalanan! Hmm... paman sungguh lihai sekali, bisa bermain sandiwara sedemikian rapinya tanpa diketahui oleh ayah dan Paman Kong," Chin Yang Kun menyela perkataan Hek-eng-cu.

   "Benar. Aku dan anak buahku memang bermaksud untuk merampas benda pusaka itu. Tapi semuanya itu ternyata tidak dapat terlaksana. Orang orang kepercayaanku, yang kutugaskan untuk merampas benda itu, kembali kehadapanku dengan tangan kosong, Benda itu ternyata tidak dibawa oleh ayahmu. Sementara itu orang orangku malah melapor kepadaku bahwa ada kelompok lain yang juga menginginkan benda pusaka itu. Aku menjadi marah. Dengan diam-diam aku lalu menemui ayahmu sendiri. Kutemui dia di rumah Pendekar Li. Dan kebetulan juga mereka sedang bertempur karena saling salah paham. Maka langsung saja kuringkus ayah dan pamanmu itu dan selanjutnya kuminta kepada mereka Cap Kerajaan itu. Tetapi ternyata mereka tidak membawanya. Dan lebih celaka lagi, ayahmu dan Kakak Kong seperti mengenali penyamaranku. Aku menjadi gelisah dan khawatir, maka aku lantas membunuh mereka!"

   "Oooh, paman sungguh kejam sekali...!" Chin Yang Kun dengan suara serak dan menahan tangis.

   "Benar, anakku...! dan kini aku telah mendapatkan pembalasan yang setimpal pula..." Hek-eng-cu bergumam sendiri diantara desah napasnya yang mulai tersengal-sengal. Sungguh tidak dapat ditebak ataupun diterka, bagaimana perasaan Chin Yang Kun pada saat itu.

   Demikian pahit kenyataan yang diterima oleh pemuda itu, sehingga kelihatan benar kalau pemuda itu menjadi sangat menderita hatinya. Semua bayangan-bayangan indah dan bahagia di dalam keluarganya di masa lampau, kini satu persatu telah tanggal oleh kenyataan pahit yang dihadapinya. Dan tampak benar kalau pemuda itu menjadi sangat kecewa sekali hatinya. Dengan pandang mata kosong dan hampa, namun masih dengan sisa-sisa air mata di sudut matanya, pemuda itu memandang wajah paman bungsunya yang telah mulai meregang jiwa menghadapi maut itu. Sukar dikira-kira, apa yang sedang berkecamuk di dalam hati pemuda itu. Tapi yang terang, segala macam perasaan tentu telah bercampur aduk menjadi satu, yaitu antara perasaan kecewa, sedih, menyesal dan juga perasaan berdosa.

   "Ooooh... demikian ruwetnya liku-liku jalan yang kutempuh selama ini, sehingga rasa-rasanya aku ini bukan hidup di dunia kenyataan, tapi hidup di alam impian atau hidup dalam sebuah lakon sandiwara saja. Dari kecil... aku merasa sebagai keturunan Keluarga Chin, tapi ternyata... aku bukan keturunan mereka. Dan orang yang selama ini kuanggap sebagai ayahku, ternyata juga... bukan ayahku pula. Malah orang lain, yang selama ini tak pernah kukenal nama dan wajahnya, kini secara tiba-tiba justeru menjadi ayahku! Dan... Paman Bungsu, yang demikian baik budi, ramah dan menjadi kebanggaan keluarga Chin, tak disangka sangka bisa berubah menjadi manusia iblis yang tega membasmi keluarganya sendiri. Sementara... aku sendiri, yang sejak kecil dididik, diasuh dan diberi pelajaran ilmu silat oleh Paman Bungsu, kini justru menjadi... pembunuhnya malah! Aaaaah...!"

   Begitu dalamnya pemuda itu memikirkan nasibnya sehingga tak tahu kalau nyawa paman bungsunya telah keluar meninggalkan jasadnya. Pemuda itu baru sadar ketika Lo-siong dan Tiau Li Ing datang menghampirinya.

   "Anak muda, pamanmu sudah meninggal..." orang tua itu berkata perlahan agar tidak mengagetkan Chin Yang Kun.

   "Aaaaah...!?!" ternyata pemuda itu masih tetap tersentak kaget juga. Dengan wajah yang semakin tampak kaku pemuda itu lalu mengurus jenasah pamannya. Dikuburkannya mayat Hek-eng-cu itu di bekas lobang tempat ia pura-pura dimakamkan dahulu, sehingga iblis itu kini benar-benar terkubur di tempat itu selama-lamanya. Sedangkan barang-barang peninggalan Bit-bo-ong oleh Chin Yang Kun dikumpulkan menjadi satu dalam satu bungkusan besar.

   "Di saat-saat terakhir hidupnya, Paman Bungsu ternyata telah menjadi sadar kembali dan memberi pesan agar aku mengembalikan barang-barang ini kepada Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Hmm... baiklah, aku akan melaksanakannya sekarang juga! Aku akan pergi ke Pulau Meng-to. Kudengar kemarin pendekar itu akan ke Pulau Meng-to bersama Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu..." pemuda itu berkata di dalam hatinya. Demikianlah, selesai mengubur mayat pamannya Chin Yang Kun lalu mengambil golok pusaka pemberian Si Penyanyi Sinting tadi dan mengembalikannya kepada Lo-si-ong. Setelah itu sambil menganggukkan kepalanya pemuda itu minta diri untuk pergi ke Pulau Meng-to.

   "Lo-cian-pwe, terima kasih atas bantuanmu. Tiau Li Ing... aku mohon diri pula..." Hampir saja gadis itu menjerit dan menahan kepergian Chin Yang Kun. Untunglah Lo-si-ong segera menahan lengan gadis itu. Sebagai orang telah banyak makan asam garam kehidupan, dan juga sebagai orang buta yang telah terbiasa mempergunakan perasaannya yang amat tajam, sekejap saja orang tua itu sudah mengetahui bahwa cinta Tiau Li Ing terhadap pemuda itu bertepuk sebelah tangan.

   "Cucuku...! biarkanlah dia pergi melaksanakan tugas yang diberikan oleh pamannya. Masih banyak waktu untuk bertemu kembali," orang tua itu berbisik dengan suara halus. Tiau Li Ing membalikkan tubuhnya, lalu memeluk kakek itu dengan sedu-sedan yang tertahan di tenggorokannya.

   "Kakek...!" keluhnya sedih.

   Demikianlah, bersamaan dengan fajar pagi yang mulai bersinar di ufuk timur, Chin Yang Kun pergi meninggalkan lembah yang sangat bersejarah itu. Pemuda itu sudah tidak memikirkan lagi keadaan Tiau Li Ing, Lo-si-ong maupun si Penyanyi Sinting itu. Jangankan orang lain seperti mereka bertiga, terhadap dirinya sendiripun kini Chin Yang Kun juga sudah tidak peduli pula lagi, Chin Yang Kun benar-benar sudah berubah sekarang. Penderitaan demi penderitaan, kekecewaan demi kekecewaan yang diterimanya, dan yang terakhir tadi adalah kenyataan pahit tentang paman bungsunya itu, benar-benar telah membuat hati pemuda itu menjadi hampa serta kecewa sekali terhadap hidupnya.

   Hampir-hampir pemuda itu sudah tidak percaya lagi kepada manusia dan alam sekelilingnya. Yang sekarang ada di dalam hati dan jiwa pemuda itu hanyalah perasaan kecewa, hampa dan sedih luar biasa. Dan begitu beratnya beban perasaan itu, sehingga tanpa diketahui oleh pemuda itu sendiri rambutnya telah banyak yang berubah menjadi putih. Sementara itu di Pulau Meng-to waktu itu ternyata juga terjadi pertempuran pula yang tidak kalah dahsyatnya dengan pertempuran Chin Yang Kun melawan Hek-eng-cu! Dikatakan amat dahsyat, karena pertempuran itu tidak hanya berlangsung antara seorang melawan seorang, melainkan antara beberapa orang sekaligus.

   Malam itu seusai pertemuan yang mengharukan dan tak disangka-sangka antara sepasang kekasih, yang telah bertahun-tahun berpisah dan tak pernah berjumpa, yaitu antara Keh-sim Siauwhiap dan Ho Pek Lian, suasana di pulau yang sunyi dan sepi itu seakan-akan lalu berubah menjadi cerah dan bergairah kembali. Keh-sim Siauwhiap dengan wajah yang berseri-seri dan hampir tak pernah lekang dari sisi Ho Pek Lian, mengajak sahabat-sahabatnya ke ruang Pendapa Utama, untuk menemui tamu-tamunya. Dan kedatangan mereka disana segera disambut dengan gegap gempita oleh teman-teman, sahabat-sahabat dan anak buah Keh-sim Siauwhiap itu. Sebaliknya sambutan yang sangat meriah itu ternyata juga menjadi tanda pula akan mulainya suasana panas di arena pertemuan tersebut.

   Otomatis semua orang atau tamu yang berada di dalam ruangan itu lantas mengetahui siapa orang orang di sekitar mereka yang berpihak kepada Keh-sim Siauhiap dan siapa pula yang kedatangan mereka di tempat itu hanya untuk mengadakan perhitungan dengan pihak tuan rumah. Lain dari pada itu munculnya pendekar ternama seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai bersama Keh-sim Siauwhiap ternyata juga menimbulkan kegaduhan pula. Banyak yang bertanya-tanya di dalam hati masing-masing, ada keperluan apa gerangan sehingga pendekar ternama itu sampai datang pula di pulau itu? Apakah pendekar itu memang sengaja diundang oleh Keh-sim Siauwhiap? kalau memang demikian halnya akan sungguh ramai seklai pertemuan mereka kali ini nanti.

   Serombongan tamu yang terdiri dari belasan tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi tampak duduk bergerombol di tempat yang terhormat. Mereka tidak lain adalah rombongan bekas Putera Mahkota Chin yang lari bersembunyi di Pegunungan Kun-lun-san itu. Selain Putera Mahkota itu sendiri, mereka terdiri dari Beng Tian, Yap Cu Kiat, Siang-hou Nio-nio dan Siangkoan Ciangkun beserta beberapa orang perwiranya. Hanya saja perwira-perwira bekas pemberontak itu kini tidak memakai pakaian seragam perajurit lagi. Namun demikian, mereka tetap mengenakan pakaian kuning-kuning sebagai tanda bahwa mereka dulu merupakan perwira-perwira pilihan dari pasukan Kaisar Han. Lalu di belakang mereka berdiri belasan orang pengawal bekas perajurit Siangkoan Ciangkun, yang siap dengan pedang-pedang di tangan.

   "Ongya...! inilah dia bangsat Souw Thian Hai itu! Sungguh kebetulan sekali kita bisa menemuinya di sini. Kita harus minta pertanggunganjawabnya atas kematian Siau Ongya," Siang-hou Nio-nio berbisik kepada bekas Putera Mahkota Chin itu.

   "Ya. Tapi kita harus berhati-hati menghadapinya. Selain kepandaiannya sangat tinggi, temannyapun banyak. Apalagi dia tampaknya bersahabat dengan Keh-sim Siauwhiap pula. Hmm, apakah kita tidak lebih baik menunda saja urusan tentang Siau Ongya itu? Sekarang kita bereskan urusan harta karun itu saja lebih dahulu! Ini lebih penting karena berhubungan dengan biaya perjuangan kita nanti..." Yap Cu Kiat, suami wanita tua itu menyahut perkataan istrinya.

   "Kukira pendapat Yap Lo-Cianpwe itu memang benar. Masih banyak waktu untuk menemui pendekar sakti itu. Sedangkan urusan tentang harta karun ini sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Laskar kita yang berjumlah ribuan itu membutuhkan biaya hidup yang tidak sedikit..." dari belakang Siangkoan Ciangkun menyela pula. Putera Mahkota itu menatap Beng Tian untuk meminta pertimbangan.

   "Hambapun sependapat dengan saudara Yap. Semua kepentingan pribadi harus kita kesampingkan dulu. Kepentingan kita bersama harus kita dahulukan..." Beng Tian berkata lirih.

   "Baiklah...!" akhirnya bekas Putera Mahkota itu mengambil keputusan. Demikianlah, setelah membalas penghormatan tamu tamunya kemudian mempersilakan sahabat-sahabatnya untuk duduk, Keh-sim Siauwhiap lantas memanggil para pembantunya.

   "Siang In...! Coba kalian baca daftar para tamu kita kali ini beserta maksud dan tujuan mereka!" perintahnya perlahan, tapi terdengar oleh semua tamu yang memadati ruangan itu. Sepasang gadis berbaju putih bergegas maju ke tengah tengah pendapa diikuti oleh kawannya, dua orang gadis berseragam hitam-hitam. Di dalam tangan gadis berbaju putih itu terlihat sebuah buku tebal berisikan nama-nama tamu yang hadir di arena pertemuan tersebut. Setelah memberi hormat kepada Keh-sim Siauwhiap, salah seorang dari gadis berbaju putih itu lalu membuka buku yang dibawanya.

   "Tocu...! Seperti biasanya, kami berempat membagi mereka menjadi tiga kelompok, berdasarkan kepentingan dan tujuan mereka kesini. Kelompok pertama adalah kelompok tamu yang ingin menyatakan rasa terima kasih mereka kepada Tocu, karena Tocu telah membantu dan memberi hadiah kepada mereka. Kelompok kedua adalah kelompok tamu yang ingin mengadakan perhitungan dengan Tocu karena Tocu telah merugikan mereka. Sedangkan kelompok yang ketiga adalah kelompok orang-orang yang ingin menyatakan persoalan harta karun yang tersimpan di Pantai Karang kepada Tocu. Orang-orang yang terkumpul di dalam kelompok ini rata-rata menganggap bahwa pantai itu masih termasuk di dalam wilayah kekuasaan Pulau Meng-to. Oleh karena itu kelompok ini juga beranggapan bahwa harta karun tersebut tentu sudah diketahui pula oleh Tocu."

   "Apa...? Harta karun yang diperebutkan itu berada di Pantai Karang? Siapa... yang mengatakan demikian?" ternyata Keh-sim Siauwhiap berseru kaget malah. Beberapa orang tamu yang ikut tercatat di dalam kelompok itu kelihatan berdiri dari kursinya. Salah seorang diantaranya yang mengenakan baju tapi membiarkan di bagian dadanya tetap terbuka lebar, segera berteriak ke arah Keh-sim Siauwhiap.

   "Hek-eng-cu yang menemukan tempat itu! Dan dia memperolehnya dari peta yang terlukis pada potongan emas. Beberapa hari yang lalu Hek-eng-cu dan anak buahnya datang ke pantai itu untuk mencarinya, tapi tak berhasil, sebab pasukan dari Kotaraja keburu menggagalkannya. Mendengar peristiwa itu kami dan puluhan orang persilatan yang lain segera datang pula ke tempat itu. Kami ikut mencarinya pula. Namun sampai rusak pantai itu kami aduk, harta karun itu tetap tidak dapat kami temukan juga. Maka akhirnya kami semua lantas menjadi curiga kepada Tocu, sebab Tocu juga yang menguasai pantai itu. Siapa tahu Tocu telah mengambilnya...?" orang itu berteriak dan ikut-ikutan memanggil Tocu seperti halnya Siang In. Tiba-tiba Keh-sim Siauwhiap menundukkan kepalanya.

   "Jadi...? jadi barang-barang itu adalah harta karun yang diperebutkan orang selama ini? Aaaah...!" desahnya.

   "Naaah...! Apa kataku? Bukankah Keh-sim Siauwhiap sudah tahu pula tentang harta karun itu?" dari pojok ruangan mendadak terdengar teriakan serak seorang lelaki brewok seraya mengacung-acungkan kepalan tangannya.

   "Huh! Tidak hanya tahu saja! Tampaknya harta karun itu telah diangkutnya pula...!" dua orang lelaki gendut yang duduk di dekat pintu depan berseru pula sambil berdiri.

   "Hah? Apa...? Kalau begitu harta karun itu harus dibagi rata kita semua! Bukankah setiap orang berhak untuk mendapatkannya? Kalau Keh-sim Siauwhiap tidak mau, kita bakar saja pulau ini menjadi lautan api...!" mendadak Siang-hou Nio-nio ikut berdiri pula seraya berseru nyaring.

   "Setuju!"

   "Setuju!"

   "Setuju! Itu baru adil namanya...!" ruangan itu lalu riuh dengan teriakan dan jeritan para tamu yang menyetujui ucapan Siang-hou Nio-nio tadi. Mereka menjerit dan berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan kepalan tangan dan senjata mereka, seolah-olah mereka benar-benar akan menyerang dan membakar pulau itu.

   Beberapa orang tamu dari kelompok pertama, yang kedatangan mereka di pulau itu hanya untuk menemui Keh sim Siauwhiap dan mengatakan rasa terima kasih mereka, dan sebagian besar rata-rata tidak mengenal ilmu silat, segera lari berserabutan keluar dari ruangan Pendapa Utama itu. Orang-orang itu menjadi ketakutan menyaksikan tingkah jago-jago silat yang seolah-olah telah menjadi gila itu. Sementara itu para tamu yang termasuk dalam kelompok kedua, yaitu orang-orang yang tak suka kepada Keh-sim Siauwhiap, yang kedatangan mereka di tempat itu memang bermaksud mengadakan perhitungan dengan Keh-sim Siauhiap, seakan-akan malah memperoleh angin dengan suasana yang ribut itu.

   Mereka segera ikut menimbrung pula untuk memanaskan suasana itu. Mereka berteriak-teriak pula menantang pihak tuan rumah. Dan suasana di arena pertemuan itu semakin menjadi kalut tatkala para sahabat dan pendukung Keh-sim Siauwhiap berdiri pula menghadapi kedua kelompok itu. Beberapa orang di antara mereka telah mulai saling melotot dan memaki. Malah mereka yang secara kebetulan telah berdiri atau duduk berdekatan sudah saling mendesak, siap untuk berkelahi. Tapi sebelum semuanya itu terjadi, tiba-tiba Keh-sim Siauhiap bangkit dari tempat duduknya dan berteriak melengking.

   "Diaaam semua...!" Semua orang yang berada di ruangan itu seolah-olah mendengar suara petir yang meledak di dalam telinga mereka masing-masing. Otomatis semuanya diam sambil menutup lobang telinga mereka, takut gendang telinga mereka akan pecah. Beberapa orang di antara mereka malah sudah ada yang terhuyung-huyung karena terlambat menutup telinga mereka. Meskipun demikian banyak juga jago-jago silat berkepandaian tinggi yang hampir tidak terpengaruh oleh pameran lweekang Keh-sim Siauwhiap itu.

   "Cuwi semua harap mau mendengarkan omonganku...!" begitu ruangan tersebut telah menjadi tenang kembali Keh sim Siauwhiap meneruskan perkataannya. "Terus terang sampai saat ini aku baru mengetahui kalau harta karun yang diperebutkan itu adalah harta karun yang tenggelam di Pantai Karang itu. Dan terus terang kuakui pula bahwa akulah yang mengambilnya, kalau tandu-tandu itu yang dimaksudkan sebagai harta karun."

   "Tandu...?" Siang-hou Nio-nio bertanya.

   "Ya! Tandu-tandu yang terbuat dari emas. Ada dua belas buah tandu banyaknya. Benda benda itu kuketemukan secara tak sengaja enam atau tujuh tahun yang lalu, yaitu ketika perahuku dihantam ombak dan terbalik di pantai itu."

   "Oooh...!" semua tamu bagaikan terpaku di tempat masing-masing. Seluruh perhatian mreka tercurah untuk mendengarkan ucapan Keh-sim Siauwhiap itu. Dan tak seorangpun di antara mereka yang mengeluarkan suara. Ceritera Keh-sim Siauwhiap tentang harta karun itu benar-benar merampas seluruh semangat dan perhatian mereka.

   "Lalu... tuan simpan dimana harta karun itu sekarang?" tiba-tiba bekas Putera Mahkota Chin itu memecahkan keheningan di dalam ruangan tersebut. Keh-sim Siauwhiap menoleh ke arah bekas Putera Mahkota Chin itu. Dahi pemilik Pulau Meng-to itu berkerut, suatu tanda bahwa ia tak mengenal tokoh itu.

   "Siapakah tuan ini? Rasanya aku belum pernah berkenalan dengan tuan..." Keh-sim Siauwhiap bertanya. Tapi Tocu dari Pulau Meng-to itu segera menutup mulutnya tatkala pandang matanya tertumbuk pada wajah Yap Cu Kiat dan Beng Tian. "Ah, Yap Lo-Cianpwe dan Beng Lo-Cianpwe kiranya... maaf, siauwte tidak menyambut Jiwi Lo-Cianpwe sejak tadi..." lanjutnya kemudian dengan suara merendah. Beng Tian dan Yap Cu Kiat terpaksa menganggukkan kepalanya dengan kikuk. Apalagi ketika mereka melihat Keh-sim Siauwhiap itu tersenyum sambil melirik ke arah bekas Putera Mahkota Chin itu.

   "Tocu tak usah menanyakan namaku, karena meski kukatakan... Tocu juga belum pernah mendengarnya. Lebih baik Tocu lekas-lekas mengatakan saja, dimana Tocu menyimpan harta karun itu..." bekas Putera Mahkota Chin itu cepat-cepat menyela untuk melindungi muka kedua pembantu utamanya itu.

   "Benar...! jangan bertele-tele dan berbicara tentang hal-hal yang tak perlu! Lekaslah Tocu mengatakan tempat penyimpanan harta karun itu kepada kami!" laki-laki yang bajunya dibiarkan terbuka di bagian dadanya itu berseru lagi.

   "Benar!"

   "Benar!" Dan merekapun lantas menjadi ribut pula kembali. Semuanya berkehendak agar Keh-sim Siauwhiap segera mengatakan tempat penyimpanan harta karun tersebut. Begitu bising dan ributnya suara mereka sehingga Keh-sim Siauwhiap tidak memperoleh kesempatan untuk mengatakannya malah. Pendekar itu terpaksa harus menantikan redanya suara mereka. Dan hal ini membikin salah seorang sahabat Keh-sim Siauhiap menjadi marah. Orang tersebut tidak lain adalah ketua Tiat-tung Kai-pang daerah Selatan, yaitu Tiat-tung Lokai.

   "Hei! Cuwi mau diam atau tidak...? Kedatangan cuwi kemari ini untuk mendapatkan keterangan atau... sengaja cuma mau ribut saja? Kalau memang hanya ingin ribut, baiklah...marilah kita langsung berkelahi saja! Keh-sim Siauwhiap tak perlu memberikan segala macam keterangan lagi! Ayoh...!" sambil meloncat ke tengah-tengah pendapa orang tua itu berteriak. Tapi kata-kata ketua pengemis itu ternyata telah menyadarkan orang-orang itu. Seketika mereka berhenti berteriak-teriak, sehingga sekejap saja ruangan itu telah menjadi tenang kembali.

   "Terima kasih, Lokai...! Silahkan kau duduk kembali! Nah, cuwi sekalian...! tadi sudah kukatakan bahwa kalau yang dimaksudkan dengan harta karun itu adalah tandu-tandu emas itu, memang akulah yang mengambilnya. Tapi semua itu sudah terjadi pada enam atau tujuh tahun berselang, sehingga benda-benda itu sekarang sudah habis dan tiada yang tertinggal lagi. Semuanya sudah kusebar dan kubagi bagikan kepada fakir miskin dan rakyat yang menderita..."

   "Bohong...!"

   "Bohong...!"

   "Tidak percaya! Geledah saja pulau ini!"

   "Benar...! Mari kita geledah bersama!"

   "Benar! Ayoh...!"

   "Ayoh!" Para tamu berteriak-teriak dan menjerit-jerit kembali. belasan orang diantara mereka malah sudah berloncatan ke tengah-tengah arena dengan senjata di tangan. Ho Pek Lian, Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu menjadi khawatir juga akhirnya. Diam-diam mereka bertiga juga mempersiapkan diri mereka. Tapi sebelum orang-orang itu menjadi semakin liar, tiba-tiba Yap Cu Kiat berdiri dari kursinya.

   "Saya harap cuwi semua duduk kembali. Biarlah Keh-sim Siauwhiap menyelesaikan keterangannya dahulu...!" orang tua itu berkata perlahan, namun anehnya setiap orang merasakan dadanya seperti dihantam oleh kekuatan yang sangat kuat, sehingga belasan orang tamu tampak terbatuk batuk dan sesak napas. Malah untuk beberapa saat orang orang yang meloncat ke tengah-tengah pendapa tadi tampak tersengal-sengal kehilangan napas mereka. Oleh karena itu dengan wajah ketakutan orang-orang itu segera kembali lagi ke tempat duduk mereka. Dan ruangan itupun menjadi tenang pula kembali.

   "Terima kasih, Yap Lo-Cianpwe..." Keh-sim Siauwhiap menjura kepada Yap Cu Kiat yang telah duduk kembali di kursinya. Lalu, "Cuwi sekalian...! siauwte tidak berbohong. Cuwi semua tentu sudah mendengar nama dan sepak terjangku selam tujuh atau delapan tahun belakangan ini. Dan... maaf, siauwte tak bermaksud untuk menyombongkan diri... tapi kukira cuwi semua juga sudah pernah mendengar pula serba sedikit, tentang apa yang pernah siauwte lakukan dalam waktu tujuh-delapan tahun itu." Keh-sim Siauwhiap menghentikan kata-katanya sejenak untuk melihat tanggapan tamu-tamunya. Tapi kesempatan itu dipergunakan dengan cepat oleh Tiat-tung Lokai. Ketua perkumpulan pengemis daerah selatan itu segera meloncat ke depan dan ikut berbicara di depan para tamu.

   "Coba cuwi ingat-ingat kembali! Masihkah cuwi ingat bencana paceklik yang diakibatkan oleh perang besar tujuh atau delapan tahun berselang itu? Hampir seluruh penduduk negeri pada bagian utara menjadi pengemis pada waktu itu. Nah, bila cuwi masih ingat akan kejadian itu, cuwi tentu akan ingat pula sebuah peristiwa besar yang sangat menggemparkan masyarakat pada saat itu. Peristiwa besar itu adalah...sebuah iring iringan gerobag berisi gandum dari daerah Kang Lam menuju ke daerah paceklik, yang memakan waktu sebulan lebih itu! Iring-iringan atau barisan gerobag itu terdiri dari tiga ratus pedati besar berisi gandum dan duaratus gerobag kecil berisi bahan makanan lainnya. Kemudian dengan pengawalan pasukan kerajaan bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada penduduk yang kelaparan. Nah, kalau cuwi sudah tidak ingat lagi, siapa orangnya yang bertanggung jawab dalam peristiwa besar itu, tuan bisa bertanya langsung kepada para penduduk itu sekarang. siauwte percaya bahwa mereka tentu masih ingat akan nama...Keh-sim Siauwhiap yang budiman ini! Nah... lalu dari mana Keh-sim Siauwhiap memperoleh biaya untuk membeli dan mengirimkan bahan makanan sebesar itu? Dan... masih ada lagi sebuah peristiwa lain yang tak kalah besarnya dengan peristiwa tadi, yaitu tatkala terjadi banjir besar sungai Huang-ho, yang menimbulkan bencana harta benda, sawah-ladang dan penyakit di kalangan penduduk tepian sungai itu pada kira-kira lima tahun berselang. Cuwi tentu juga masih ingat siapa yang mendirikan barak-barak pengungsi, mencukupi bahan makanan mereka, dan kemudian juga mengirimkan obat obatan bagi penduduk yang sakit? Kalau toh cuwi sudah tak ingat lagi, cuwi tentu masih tetap ingat juga apa yang karena kemuliaan budinya itu memperoleh tanda penghargaan dari Kaisar Han. Nah, cuwi sekalian... dari mana Keh-sim Siauwhiap mendapatkan biaya sebesar itu kalau tidak dari harta karun itu? Dan semuanya itu belum terhitung dengan peristiwa-peristiwa kecil yang juga mendapatkan penanganan Keh-sim Siauwhiap pula. Cuwi masih ingat waktu ada wabah penyakit menular di daerah Sin-kiang tiga tahun yang lalu? Siapa yang mengumpulkan tabib di seluruh negeri dan mengirimkannya ke daerah itu bersama obat-obatannya? Hmmm... Keh-sim Siauwhiap pulalah orangnya! Jadi...kalau cuwi masih menginginkan juga harta karun itu, ambillah atau mintalah kepada para penduduk yang kelaparan, yang terkena musibah sungai Huang-ho, yang dilanda penyakit menular, dan kepada fakir miskin yang pernah mendapatkan bantuan Keh-sim Siauwhiap itu..." dengan panjang lebar dan berapi-api ketua perkumpulan Tiat-tung Kai-pang itu memberi keterangan.

   Sungguh mengherankan! Ratusan tamu yang berada di Pendapa Utama itu tampak terdiam semuanya. Tak seorangpun menyela, apalagi membantah perkataan pengemis tua itu. Semuanya menutup mulut, seolah-olah mereka memang mengakui apa yang dikatakan Tiat-tung Lokai tersebut.

   "Tapi... tentu masih ada juga sisanya, meskipun sedikit..." tiba-tiba Siang-hou Nio-nio ambil suara. Dengan cepat Tiat-tung Lokai membalikkan badannya. Ditatapnya Siang-hou Nio-nio yang duduk di samping Putera Mahkota Chin itu dengan marah.

   "Sungguh tega benar Nio-nio mengatakan hal itu! Dan hal itu berarti Nio-nio tidak menghargai jerih payah dan kemuliaan hati Keh-sim Siauwhiap sama sekali! Seharusnya Nio-nio merasa malu berkata seperti itu!"

   "Kurang ajar! Pengemis hina... apa katamu, heh?" ternyata Siang-hou Nio-nio merasa tersinggung oleh kata-kata itu dan berseru marah pula. Tapi Tiat-tung Lokai malah tertawa semakin menyakitkan.

   "Aha-aha-ah... Nio-nio sungguh pandai memutarbalikkan kata-kata! Siapakah yang "hina" sebenarnya? Nio-nio atau aku? Hehehe... biarpun hanya seorang pengemis tapi aku ikut pula membantu pekerjaan pekerjaan mulia dari Keh-sim Siauwhiap itu. Dan aku tak pernah meminta imbalan untuk itu. Tapi apa yang Nio-nio lakukan? Membantupun tidak. Apalagi menyumbang harta benda. Kini datang-datang malah minta bagian..."

   "Tutup mulutmu...!" Siang-hou Nio-nio menjerit marah, lalu terbang dari kursinya menyerang Tiat-tung Lokai. Menyadari kalau wanita tua itu sangat lihai, Tiat-tung Lokai segera mengeluarkan tongkat besinya, lalu menyongsong serangan tersebut dengan tidak kalah ganasnya.

   Dengan demikian mereka berduapun segera terlibat di dalam pertempuran yang cepat dan seru. Dan biarpun hanya dengan tangan kosong, ternyata Siang-hou Nio-nio mampu menyerang dan bertahan sama tangguhnya dengan Tiat-tung Lokai. Sebagai tuan rumah tak enak juga rasanya Keh-sim Siauhiap menyaksikan tamu-tamunya itu berkelahi di depannya, apalagi yang menjadi dasar persoalan adalah dirinya. Maka sambil menarik napas panjang, Keh-sim Siauwhiap segera melangkah pula ke tengah-tengah pendapa. Perlahan saja gerakan kakinya, namun apa yang terjadi sungguh membuat kagum dan geleng-geleng kepala para tamunya. Sekali saja kaki itu tampak terayun dan itupun dilakukan oleh Keh-sim Siauwhiap dengan gerakan lambat, tapi seperti main sulap saja tiba-tiba tubuhnya telah berada di arena pertempuran.

   "Maaf, siauwte mohon jiwi berdua mau menahan diri dahulu...!" pendekar itu berkata seraya memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah pertempuran. Serangkum udara hangat berhembus dari telapak tangan tersebut menghantam persis di antara Siang-hou Nio-nio dan Tiat-tung Lokai. Begitu kuatnya hembusan angin itu sehingga kedua orang yang sedang bertempur itu terdorong mundur beberapa langkah ke belakang.

   "Sekali lagi siauwte mohon maaf. Silakanlah jiwi berdua duduk kembali! Ada beberapa perkataan yang hendak siauwte haturkan ke hadapan jiwi semua..." dengan suara tetap halus Keh-sim Siauwhiap mempersilakan mereka duduk. Melihat kehebatan tenaga dalam Keh-sim Siauwhiap, Sianghou Nio-nio dan Tiat-tung Lokai tidak berani bersitegang lagi. Apalagi mereka berdua juga merasa tidak enak hati pula melihat perlakuan Keh-sim Siauwhiap yang halus dan sopan itu. Namun demikian keduanya masih tetap saling melotot dan melemparkan ancaman ketika harus kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Terima kasih...!" Keh-sim Siauwhiap menjura. Lalu terusnya. "Begini, cuwi semua... siauwte memang masih menyimpan sebuah dari pada tandu emas itu. Dan benda itu juga berada di sini pula. Inilah dia...!" Pendekar dari Pulau Meng-to itu melangkah lagi ke kursinya yang bertutup kain sutera hitam halus berenda-renda dan kemudian membukanya. Tampaklah sebuah tandu yang telah dipreteli bagian atas dan tongkat penyangganya, sehingga kini tinggal tempat duduk dan sandarannya saja yang ada.

   Bagaikan disedot oleh besi bermagnit semua mata di ruangan itu melotot ke bekas tandu yang kini menjadi tempat duduk Keh-sim Siauwhiap tersebut. Namun mata itu segera berubah menjadi ragu-ragu dan tak percaya tatkala melihat kursi itu tak lebih hanya sebuah kursi kayu biasa saja. Dan keragu-raguan itu segera berubah pula menjadi kemarahan karena merasa dipermainkan. Tapi Keh-sim Siauwhiap cepat mencongkel lapisan kayu yang melapisi sandaran tangan pada kursi itu, dan hasilnya...semua tamu menjadi terbelalak matanya! Sinar kekuning-kuningan tampak menyorot keluar dari balik lapisan kayu yang diambil oleh Keh-sim Siauwhiap tadi. Emas! Ternyata tandu itu benar-benar terbuat dari emas tulen!

   "Emas...!"

   "Heh? Kursi sebesar itu... terbuat dari emas?"

   "Ohh, lantas berapa kati berat seluruhnya...?"

   "Hwaduh! Kursi itu bisa untuk membeli sebuah kota..." Kemudian... sesuatu yang tidak terbayangkan oleh Kehsim Siauwhiap sebelumnya berlangsung dengan cepatnya! Ratusan tamu itu tampak berdesakan dan berebut ke depan untuk melihat sisa harta karun tersebut lebih dekat lagi. Dan pertengkaran-pertengkaran kecil akibat keributan itupun segera terjadi pula diantara mereka. Malahan beberapa saat kemudian sebagian dari mereka lantas berkembang menjadi saling tangkis dan baku hantam yang seru.

   Akibatnya di tempat yang sempit itu segera terjadi perkelahian besarbesaran. Beberapa orang yang terkena salah pukul atau tendangan nyasar, segera menjadi marah dan merasa terganggu niatnya untuk mendekati kursi emas itu. Mereka lalu menggunakan kekuatan dan kepandaian masing-masing untuk menyingkirkan penghalangnya. Dan akhirnya masing masing tamu itu juga tak segan-segan lagi mempergunakan senjata mereka! Dan pertempuran yang dahsyatpun tak terelakkan lagi, masing-masing dengan segala cara dan kekuatan mereka berusaha maju mendekati kursi emas tersebut. Tujuan mereka sekarang adalah memperebutkan kursi yang sangat berharga itu! Sementara itu Keh-sim Siauwhiap tampak terpaku bagai patung di tempatnya.

   

Darah Pendekar Eps 35 Darah Pendekar Eps 31 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 12

Cari Blog Ini