Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 39


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 39




   Dengan ganas dan kejam pangeran yang telah kehilangan seluruh pengikutnya itu menyerang dan membunuh kesebelas anggota Kim liong Piauw-kiok yang masih tertinggal itu. Busur dan anak-anak panahnya berkelebatan kesana kemari mencari mangsa. Sebentar saja semua musuhnya tidak ada yang tersiksa. Semuanya mati dengan tubuh yang mengerikan. Chin Yang Kun meloncat dari tempat persembunyiannya tanpa terasa. Kekejaman pangeran itu sungguh amat mengejutkannya. Maksud hatinya untuk tidak mencampuri urusan mereka menjadi buyar seketika. Kekejaman pangeran itu ternyata telah membakar hati mudanya. Munculnya Chin Yang Kun dari dalam hutan itu ternyata juga membakar hati Siauw-ongya pula. Siauw Ong ya itu mengira bahwa Chin Yang Kun adalah orang Kim liong Piauwkiok pula.

   "Hai! Berhenti...! Jangan lari!" pangeran itu berteriak mengguntur. Dengan ginkangnya yang tinggi pangeran itu melesat mengejar Chin Yang Kun. Tangan kanannya yang menggenggam anak panah itu tampak terayun keras ke depan, dan sekejap kemudian tiga batang anak panah kelihatan melesat dengan derasnya ke tubuh Chin Yang Kun!

   Dalam kemarahannya Chin Yang Kun tidak mau mengelakkan serangan itu. Dengan mengerahkan Liong-cu-ikangnya yang tinggi pemuda itu menangkis dan menghantam runtuh ketiga anak panah tersebut. Begitu kuatnya pemuda itu mengerahkan tenaga saktinya sehingga anak-anak panah itu menjadi hancur berpatahan ketika tersentuh jarinya. Dan yang benar-benar amat mengejutkan adalah potongan-potongan anak panah itu masih mampu menghancurkan batu dan amblas ke dalam tanah! Tentu saja pangeran itu menjadi kaget sekali! Langkahnya berhenti dengan tiba-tiba. Wajahnya yang tampan itu menjadi pucat seketika. Apalagi begitu mengenal siapa yang ada di hadapannya!

   "Kau...?" pangeran itu berseru. Suaranya terdengar sedikit gemetar. Sinar kekejaman yang tadi tampak pada air mukanya kini mendadak hilang.

   "Ya! Tak kusangka kita bisa bertemu lagi di sini. Hmm, di mana pengawalmu yang lihai itu? Seharusnya kau jangan terlalu jauh darinya, sebab tanpa dia jiwamu akan lekas melayang ke akherat..." Chin Yang Kun menyahut dengan kata-kata yang mengandung ancaman. Pangeran yang garang itu semakin tampak ketakutan. Berkali-kali matanya melirik kalau-kalau pengawalnya yang sakti itu telah datang. Tapi ternyata Souw Thian Hai belum juga kelihatan, sehingga pangeran itu tampak semakin gelisah. Hilang seluruh keberanian dan kegarangannya tadi. Agaknya kedahsyatan ilmu Chin Yang Kun, yang di waktu yang lalu hampir saja merenggut nyawanya, masih amat membekas dalam ingatannya. Sementara itu Chin Yang Kun tampaknya dapat membaca pula semua kegelisahan lawannya itu. Dengan suara dingin pemuda itu mendengus,

   "Bersiaplah! Aku akan mulai...!" Pangeran itu melangkah mundur. Wajahnya semakin pucat.

   "Tahan dulu...!" serunya gemetar.

   "Aha, ada apa lagi?" Chin Yang Kun tetap bersiap-siap untuk mengejar lawannya. "Kau mau mengulur-ulur waktu? kau ingin menantikan kedatangan pengawalmu itu? Hmm, jangan harap! Aku akan membunuhmu terlebih dahulu. Aku tidak perduIi kepadanya. Kalau dia datang...akupun akan membunuhnya juga!"

   "Aku..." pangeran itu masih mencoba untuk mengulur waktu.

   "Tutup mulutmu! Lihat serangan..." Chin Yang Kun bergeser dengan cepat ke depan.

   Kedua belah telapak tangannya terayun secara menyilang ke arah kepala lawan, sementara lutut kanannya menghantam ke arah dagu! Ternyata dalam kemarahannya pemuda itu telah langsung mengeluarkan ilmu silat andalan keluarganya, yaitu Hok-te Ciang-hoat! Dan gerakannya itu adalah gerakan dari jurus Raja Chin Miu Mematahkan Kim-pai. Dahulu, sebelum ilmu pemuda itu disempurnakan oleh nenek buyutnya saja telah mampu menggoyahkan pertahanan ilmu silat Souw Thian Hai, apalagi sekarang! Jurus Raja Chin Miu Mematahkan Kim-pai itu perbawanya benar-benar hebat bukan kepalang! Angin pukulan menyilang yang keluar dari kedua belah telapak tangan pemuda itu bagaikan tiupan badai berpusing, yang dapat meremukkan segala benda yang digilasnya! Tidak bisa tidak pangeran itu terpaksa harus melawan juga.

   Bagaimanapun juga dia tak ingin kepalanya dipuntir hancur oleh serangan lawannya. Oleh karena itu dengan ginkangnya yang tinggi ia melejit lagi ke belakang, lalu bergeser ke samping tiga langkah. Busur panahnya yang terbuat dari baja lentur itu tampak berputar di atas kepalanya, lalu dengan tiba-tiba mencokel ke bawah ke arah selangkangan Chin Yang Kun. Jurus ini disebut Menyibak Air Mendayung Perahu, salah sebuah jurus kebanggaan Beng Tian yang diturunkan kepada pangeran itu. Sebenarnya jurus ini harus digunakan dengan senjata tombak. Tapi karena pangeran itu telah terbiasa dengan senjata busur, maka Beng Tian sengaja mengubahnya sedikit agar bisa dipelajari oleh pangeran tersebut. Meskipun begitu oleh karena ilmu silat itu memang bukan ilmu sembarangan, maka perbawanyapun tetap sama saja dengan aslinya.

   "Gila...!" Chin Yang Kun mengumpat ketika serangkum hawa panas menjilat ke arah tubuhnya. Meskipun segera menghindar pemuda itu merasakan tubuhnya seperti disengat oleh panasnya api. Melihat kehebatan ilmu silat lawan, Chin Yang Kun tak mau mengulur-ulur waktu lagi. Pemuda itu tak mau kehilangan banyak waktu, sehingga pengawal dari pangeran itu keburu datang mengeroyok dirinya. Maka pemuda itu segera mengerahkan ilmu pamungkasnya, Kim coa-ih-hoat dan Liongcu-i-kang!

   Begitu jurus Menyibak Air Mendayung Perahunya dapat dielakkan lawannya, pangeran itu cepat menyusulnya dengan jurus Meraih Bintang Menyodok Bulan. Kali ini adalah jurus yang diwarisinya dari Sianghouw Nio-nio. Tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun, sementara busur panah yang berada di tangan kanan menusuk ke arah dada! Chin Yang Kun berputar ke kiri, lalu menjatuhkan kedua telapak tangannya ke tanah dalam posisi jurus Menatap Lantai Menyembah Raja, jurus ke sebelas dari Hok-te Ciang-hoat. Kemudian masih dengan posisi berlutut pemuda itu cepatmengulurkan sepasang lengannya ke muka, ke arah kedua kaki lawannya. Kini pemuda itu menyerang dengan iImu Kimcoa-ih hoatnya yang dahsyat, sehingga tubuhnya yang jangkung itu tiba-tiba bagaikan seekor ular sanca menggeliat semakin panjang melebihi ukuran biasa!

   Melihat sodokannya ke arah dada dapat dielakkan oleh Chin Yang Kun, sebenarnya pangeran itu bermaksud memburu lawannya dengan jurus-jurus berikutnya. Tapi gerakan Chin Yang Kun ternyata lebih cepat dari yang ia duga. Belum juga ia menyelesaikan jurus Meraih Bintang Menyodok Bulannya, lawannya sudah lebih dulu memasukkan serangan ke arah dua kakinya. Terpaksa pangeran muda itu melangkah surut ke belakang untuk menghindari serangan tersebut. Tapi untuk kesekian kalinya pangeran itu menjadi pucat wajahnya. Meskipun telah melangkah mundur ternyata serangan itu masih tetap saja mengejarnya. Tubuh dan lengan lawannya bagaikan seekor ular berbisa yang terus memanjang tak henti-hentinya!

   "Ilmu setan...!" pangeran muda itu menjerit. Karena bingungnya pangeran muda itu meloncat tinggi ke atas, kemudian dengan gugup melemparkan semua anak panah yang dipegangnya ke bawah, ke arah lawan yang mempunyai ilmu silat mengerikan itu. Karena gugup dan takut maka kekuatan yang ia gunakan untuk melemparkan anak panah itu menjadi berlipat ganda besarnya. Terdengar suara mengaung bagaikan ribuan lebah terbang ketika belasan anak panah itu meluncur ke bawah, menghujam badan Chin Yang Kun!

   Kaget juga Chin Yang Kun melihat kegesitan dan kehebatan ilmu lawannya. Untuk menangkis atau menepiskan anak-anak panah itu seperti yang ia lakukan tadi rasanya tidak mungkin. Selain anak panah itu sangat banyak serta diIemparkan dari atas, kedudukan tubuhnya saat itu tak memungkinkan bagi dirinya untuk mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya! Apabila ia tetap memaksakannya juga, maka kemungkinan untuk terluka sungguh sangat banyak. Oleh karena itu Chin Yang Kun bergegas mengkerutkan kembali tubuhnya, kemudian cepat-cepat berguling ke arah kanan. Gerakan ini dilakukan oleh Chin Yang Kun dengan cepat sekali, lebih cepat dari pada laju anak panah yang menyerangnya, sehingga tubuhnya lolos dari rejaman anak panah tersebut.

   Jilid 29
Keduanya lalu berdiri berhadapan kembali. Masing-masing saling mengagumi kegesitan dan kehebatan ilmu silat lawannya. Chin Yang Kun benar-benar sangat kagum dan tidak menduga lawannya yang masih muda itu mempunyai demikian banyak macam ilmu silat pilihan. Sementara lawannya, si pangeran itu juga tidak menduga bahwa dirinya ternyata mampu melayani ilmu Chin Yang Kun yang mengerikan itu. Demikianlah, setelah mendapatkan kembali kepercayaan dirinya, pangeran muda itu bertempur semakin mantap dan garang. Dan keadaan ini tentu saja membuat lawannya, Chin Yang Kun, semakin sukar untuk segera menghentikan perlawanannya. Tiba-tiba terdengar suara siulan nyaring dari atas puncak bukit tersebut. Wajah Siauw-ongya berubah menjadi gembira sekali, sementara Chin Yang Kun menjadi berdebar-debar hatinya.

   "Kau dengar suara itu? Hahaha, pengawalku itu telah datang...! Kini kau jangan mengharapkan bisa lolos dari tempat ini!" Siauw-ongya itu tertawa senang.

   "Persetan! Aku tidak peduli siapapun juga...Panggillah dia! Ajaklah ia mengeroyokku! Aku tidak takut! Aku akan membunuh kalian berdua...!" Chin Yang Kun berteriak marah sekali. Mendadak Chin Yang Kun melenting tinggi ke atas melampaui kepala lawannya. Mulutnya yang terkatup rapat itu mengeluarkan suara mendesis bagai ular marah. Kemudian sebelum kedua buah kakinya meluncur turun, keSepuluh jari jari tangannya mencengkeram ke bawah ke arah punggung lawan yang tepat berada di bawahnya. Jurus ini adalah jurus ke lima dari Kim coa-lh hoat yang disebut Membelit Udara Membentuk Huruf Goat. Sebuah jurus atau gerakan yang amat indah untuk dilihat, yaitu badan membungkuk di udara dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menerobos di antara paha sendiri untuk mencengkeram punggung lawan yang berada di bawahnya!

   Siauw-ongya yang tak pernah mengendurkan kesiapsiagaannya ini cepat bereaksi. Sambil berputar tubuhnya membungkuk, lalu kedua telapak tangannya secara berbareng menyabet ke samping untuk memotong cengkeraman lawannya. Tangkisan ini ia lakukan karena ia sudah jera untuk mengelakkan lagi serangan-serangan tangan Chin Yang Kun yang selalu bertambah panjang dan berubah-ubah arah setiap kali dielakkan itu. Langkah yang diambil oleh Siauw-ongya itu sesungguhnya sudah betul. Dengan seIaIu menahan dan memapaki setiap pukulan atau serangan Chin Yang Kun itu sudah berarti mengurangi kedahsyatan Ilmu Kim-coa ih-hoat yang mengerikan tersebut.

   Dan cara yang diambil untuk membentur serangan itupun juga sudah benar pula, yaitu tidak langsung beradu dada untuk menentukan kalah menangnya, tapi dengan cara mematahkan kekuatan lawan dari samping! Hal ini dilakukan oleh pangeran itu karena menyadari bahwa Iweekangnya masih jauh di bawah Chin Yang Kun. Tetapi ternyata masih ada beberapa hal yang dilupakan oleh Siauw-ongya itu. Meskipun apa yang dia lakukan itu sudah betul, tapi dia lupa bahwa selain bisa memanjang dan memendek Kim-coa ih-hoat itu masih mempunyai satu keanehan lagi, yaitu sendi-sendi tulang yang bisa bergerak bebas ke mana saja. Selain itu masih ada satu lagi yang dilupakan atau tidak diperhitungkan oleh pangeran itu, yaitu hawa beracun yang keluar dari tubuh Chin Yang Kun. Maka benturan selanjutnya benar-benar hebat bukan kepalang!

   "Plakk! Plukk! Thaas...!"

   "Croooot!"

   "Aauuugh...!"

   Tampak tubuh Chin Yang Kun yang jangkung itu terpelanting ke kanan. Tapi bersamaan dengan itu tubuh Siauw-ongya juga tampak terhempas ke tanah dengan kerasnya. Untuk beberapa saat tubuh pangeran itu berguling guling kesana kemari, kedua tangannya menggaruk-garuk perut seolah-olah perut itu menjadi gatal bukan main. Tapi sekejap kemudian tubuh itu lalu meregang dan...mati! Baju di bagian perutnya tampak terbuka dan penuh darah! Chin Yang Kun berdiri tenang mengawasi mayat lawannya. Kedua belah tangannya masih berlepotan darah. Darah pangeran yang malang itu! Apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana Siauw-ongya yang sakti itu sampai dapat menemui ajalnya seperti itu? Semuanya memang berjalan dengan amat cepat, sehingga seluruh gerakan mereka hampir-hampir tidak dapat diikuti oleh mata.

   Keduanya tadi mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka. Oleh karena itu benturan yang tadipun sungguh hebat bukan kepalang. Ketika dengan kekuatan penuh kedua lengan Chin Yang Kun dibentur oleh Siauw Ong ya, tepat pada siku tangan, tiba-tiba tangan pemuda itu menekuk keluar. Suatu hal yang tak mungkin bisa dilakukan oleh orang lain. Dan lengan yang tertekuk secara mustahil itu mendadak bertambah panjang sejengkal jauhnya sehingga dengan mudah dapat mencapai perut Siauw-ongya. Tentu saja hal itu benar-benar tidak diduga oleh pangeran muda tersebut. Dengan air muka yang tiba-tiba menjadi pucat pangeran itu berusaha menghindar. Tapi karena serangan tersebut sungguh-sungguh amat sangat mendadak serta dalam jarak yang begitu pendek, maka usaha pangeran itu sia-sia saja.

   Sehingga tanpa ampun lagi jari-jari tangan Chin Yang Kun itu mencengkeram dengan telak ulu hati pangeran yang malang tersebut. Begitu dahsyatnya kekuatan Liong-cu-ikang yang tersalur pada jari-jari itu sehingga jari-jari tersebut mampu menembus kulit dan menghancurkan isi perut! Demikianlah, Siauw-ongya itu terhempas ke tanah, dan kematiannya semakin dipercepat oleh hawa beracun yang keluar menyertai cengkeraman Chin Yang Kun tadi...Chin Yang Kun itu membersihkan kedua tangannya yang terkena darah lawannya. Setelah itu dengan tergesa-gesa dia menghampiri jago Kim liong Piauw-kiok yang dilihatnya masih hidup tadi. Dengan hati-hati Chin Yang Kun memeriksa jago Kim-Liong Piauw-kiok itu. Dan dugaan pemuda itu memang benar juga, orang itu memang belum mati. Sambil mengerang orang itu membuka matanya.

   "Terima...terima kasih! saudara telah...telah menolong kami..." orang itu berbisik menyatakan rasa terima kasihnya. "Saudara, boleh...bolehkah aku mengetahui nama...nama besarmu?" Sambil memeriksa anak panah yang terhunjam pada perut orang itu, Chin Yang Kun menjawab,

   "Tampaknya saudara telah lupa kepadaku...Tapi tak mengapa. Yang perlu sekarang adalah mengobati luka ini. Cobalah saudara bertahan sedikit, aku akan mencabutnya!"

   "Saudara...kau? kau...oh, benar...aku ingat sekarang. saudara benar-benar merupakan malaikat penolong bagi Kim-liong Piauw-kiok kami. Sudah dua kali ini saudara menyelamatkan kami...Ohh, bagaimana dengan saudara-saudaraku yang lain?" orang itu berdesah dengan gembira begitu mengenali wajah Chin Yang Kun kembali.

   "Maaf, kedatanganku tadi telah terlambat sehingga tak bisa menolong yang lain-lainnya. Tapi...sudahlah, kau jangan memikirkan yang lain dulu! Sekarang bersiaplah! Aku akan mencabut anak panah ini..."

   "Ahhh...!" Dengan mudah Chin Yang Kun mencabut anak panah itu, lalu membalutnya.

   "Untuk sementara darah yang keluar telah dapat kita hentikan. Tapi untuk selanjutnya saudara harus lekas-lekas pergi ke kota untuk berobat. Apakah saudara sudah kuat untuk berjalan?" Orang itu mencoba bangkit, tapi rasa sakit membuat dia mengurungkan niatnya tersebut.

   "Ah, perutku masih terasa sakit. BiarIah aku berbaring saja dahulu di sini. Sebentar juga dua orang temanku akan kembali ke sini. Mereka sekarang sedang pergi ke Poh-yang." orang itu berkata. "Eh, apakah saudara hendak cepat-cepat meninggalkan tempat ini?"

   "Ya! Temanku diculik orang dan dibawa ke puncak bukit itu." Chin Yang Kun mengiyakan.

   "Syukurlah kalau saudara masih mempunyai kawan yang dapat membawa saudara ke kota...tak enak hatiku sebenarnya untuk meninggalkan saudara. Tapi urusanku itu juga tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ehm, masih lama benarkah kedatangan teman saudara itu?"

   "Tidak! Sebentar lagi kukira mereka akan datang. Mereka hanya kusuruh mencari berita di kuil dekat pintu kota itu..."

   "Kuil dekat pintu kota? Maksud saudara kuil yang berada di dekat pintu gerbang kota sebelah timur itu?" Chin Yang Kun terkejut. Orang Kim-liong Piauw-kiok itu mengkerutkan keningnya.

   "Benar! Mengapa saudara kelihatan sangat kaget mendengar aku menyebutkan tempat itu?" tanyanya dengan heran pula. Chin Yang Kun menjadi tegang.

   "Maaf, bolehkah aku bertanya...apakah kepentingan saudara di sana...eh, maksudku...kepentingan saudara di kuil itu?" Orang itu semakin menjadi bingung atas pertanyaan Chin Yang Kun tersebut.

   "Kami mendapatkan pekerjaan dari seseorang untuk mengirimkan barang ke kuil itu pada hari ini. Tapi sebelum barang itu kami serah-terimakan kami harus menghubungi seseorang lebih dahulu di kuil tersebut. Itulah sebabnya kedua kawan kami itu kami kirimkan ke Poh-yang." katanya memberi keterangan. Lalu lanjutnya. "Mengapa? Apakah saudara melihat sesuatu yang tidak beres dalam hal ini?" Chin Yang Kun tidak mempedulikan pertanyaan itu. Dengan air muka tetap tegang pemuda itu mencengkeram tangan orang yang terluka itu.

   "Apakah orang yang harus kalian hubungi itu, adalah penunggang-penunggang kuda yang datang dari jauh?"

   "Penunggang-penunggang kuda? Ah, entahlah...! Tapi kukira bukan. Sebab yang harus kami hubungi itu Cuma seorang saja."

   "Cuma seorang...? Eh, apakah orang itu mengenakan pakaian serba putih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terjurai di atas punggungnya?" Chin Yang Kun dengan suara keras menyebutkan ciri-ciri Song-bun-kwi Kwa Sun Tek.

   "Hei! Ya...ya...benar! Apakah saudara mengenalnya?" orang yang terluka itu bertanya dengan hati yang berdebar-debar. Tapi jawaban yang dia peroleh sungguh di luar dugaan!

   "Ya! Orang itu hampir saja membunuhku dengan ilmunya yang mengerikan!"

   "Ahhh!" orang Kim-liong Piauw-kiok itu berdesah. "Sejak semula kami memang telah bercuriga. Tapi karena orang orang yang memberikan titipan itu berani membayar banyak maka kami terpaksa menyanggupi juga..." Keduanya lalu diam. Masing-masing berjalan dengan pikirannya sendiri-sendiri. Beberapa saat kemudian barulah Chin Yang Kun membuka suara kembali.

   "Apakah sebenarnya isi kiriman itu?" Tanya Chin Yang Kun sambil menoleh ke arah gerobag-gerobag pengangkut barang itu.

   "Itulah...! Selain memperoleh imbalan banyak, kami mendapat pesan...tidak boleh membuka kotak-kotak kiriman tersebut. Maka sungguh menyesal aku juga tidak mengetahui isinya," orang yang terluka itu menghela napas sedih. Chin Yang Kun terdiam kembali. Dahinya tampak berkerut merut. Kemudian perlahan-lahan dia berdiri.

   "Saudara, bolehkah aku melihatnya?" Orang itu tampaknya sangat berat untuk menjawab. Kelihatannya dia masih berpegang teguh pada tugas dan tanggung jawabnya. Tapi serentak melihat keadaan dirinya yang payah orang itu menjadi lemas kembali.

   "Terserah! biarpun masih hidup, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Dimisalkan ada seorang anak kecil yang ingin membukanya, akupun sudah tidak bisa mencegahnya juga..." Chin Yang Kun mengangguk, laIu melangkah mendekati gerobag-gerobag tersebut. Dengan tenaga saktinya yang ampuh pemuda itu mencengkeram hancur pinggiran kotak yang terbuat dari kayu pilihan tersebut, lalu membukanya dengan paksa. Dan isinya membuat pemuda itu menjadi tercengang.

   "Tumpukan senjata!" gumamnya heran. Pemuda itu cepat membuka kotak kotak yang lain. Tapi seperti pada kotak yang pertama, isinya juga tumpukan tumpukan senjata tajam pula. Ada yang berisi tumpukan senjata golok, ada pula yang berisi tumpukan senjata pedang. Semuanya berjumlah lebih dari dua ribu batang.

   "Gila! Orang itu benar-benar mau mempersenjatai orang untuk memberontak..." Chin Yang Kun menggeram di dalam hati dan tiba-tiba pikirannya melayang ke kotak yang dibawa oleh si Pemuda Tampan itu.

   "Apakah kotak itu berisi senjata pula?"

   "Saudara..." jago Kim liong Piauw-kiok yang terluka itu tiba-tiba memanggil. Chin Yang Kun tersentak kaget.

   "Yaa...?" pemuda itu dengan tergesa-gesa menjawab, "Saudara memanggil sa...?!" Tapi pemuda itu menghentikan ucapannya dengan cepat. Mukanya menjadi pucat dan matanya tertegun ketika mendadak ia melihat seorang laki-laki duduk berjongkok di samping mayat Siauw-ongya. Mayat itu terletak tidak jauh dari tempat di mana orang Kim-liong Piauw-kiok itu berbaring, dan tempat tersebut hanya sepuluh langkah saja dari tempat ia berdiri. Meskipun demikian ternyata ia tak mendengar sama sekali suara langkah orang itu.

   "Siapa kau?" Chin Yang Kun menggeram. Orang itu menghela napas panjang, lalu perlahan-lahan berdiri. Tubuhnya yang tegap dan tinggi perlahan-lahan berbalik menghadap ke arah Chin Yang Kun. Meskipun demikian kepalanya tetap tertunduk ketika menjawab Chin Yang Kun.

   "Aku terlambat datang...tapi ini bukan salahku. Dia sendiri yang menyuruh aku pergi ke kota Poh-yang."

   "Kau...?" Tiba-tiba Chin Yang Kun berseru kaget. Otomatis kakinya melangkah mundur setindak ke belakang sehingga punggungnya menempel pada gerobag, ketika orang itu mengangkat wajahnya! Chin Yang Kun tidak akan lupa pada wajah yang amat sangat diingatnya itu! wajah seorang lelaki yang pada saat-saat pertama telah mendapatkan kecurigaannya sebagai pembunuh keluarganya!

   "Hong-gi-hiap Souw Thian Hai!" pemuda itu menggeram lagi. Seluruh otot-ototnya menegang, siap untuk bertempur mati-matian dengan jago pengawal Siauw-ongya itu.

   Tapi Souw Thian Hai ternyata tidak meladeni sikap Chin Yang Kun tersebut. Dengan tenang pendekar sakti itu mengangkat tubuh Siauw-ongya, kemudian membawanya ke pinggir hutan. Dibuatnya sebuah lobang dan dikuburkannya mayat orang yang selama ini harus dilindunginya itu disana. Sementara itu dari dalam hutan tampak dua orang lelaki berlari keluar dengan tergesa-gesa. Dengan wajah kaget dan pucat mereka bergegas menghampiri mayat-mayat anggauta perkumpulan Kim-liong Piauw-kiok. Melihat semuanya mati mereka menjadi bingung dan tak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Tiba-tiba mereka memandang kea rah Chin Yang Kun dengan mata melotot. Mereka mengira bahwa pemuda itulah yang bertanggung jawab atas kematian mereka. Tapi anggota Kim-liong Piauw-kiok yang terluka itu segera memanggil kedua orang itu.

   "Kiu Pok...! Kiu Jiang...! Kemarilah!"

   "Ohh?" Kedua orang itu terkejut melihat temannya masih ada yang hidup. Mereka bergegas menghampiri teman mereka yang terluka itu. "Tuan Hua, kau masih hidup? Apa yang telah terjadi dengan kawan-kawan kita di sini? Siapakah yang membunuh mereka?" Orang yang terluka, yang dipanggil dengan nama Tuan Hua itu bangkit dan kemudian duduk dibantu oleh dua orang yang baru datang itu.

   "Kita dirampok orang..." Ia menjelaskan.

   "Sepeninggal kalian rombongan kita telah didatangi lima orang lelaki yang ingin merampas barang bawaan kita. Kita dapat membunuh empat orang diantara mereka, tapi yang seorang ternyata lihai bukan main. Satu persatu kawan kita dibunuhnya, termasuk pula aku. Untunglah malaikat penolong kita datang..."

   "Malaikat penolong?" kedua orang itu menegaskan.

   "Ya! Kalian ingat kepada malaikat penolong kita yang dahulu pernah menolong rombongan kita ketika bentrok dengan para pengemis Tiat-tung Kai-pang itu?" Tuan Hua itu bertanya kepada dua orang temannya tersebut.

   "Oh, ya...ya! tentu saja kami ingat! Jadi pemuda ini..." kedua orang itu menoleh ke arah Chin Yang Kun dengan takut-takut. Mereka sekarang teringat kepada cerita teman teman mereka tentang seorang pemuda sakti yang pernah menolong mereka.

   "Ya! Tuan penolong kita itu sekarang telah menolong kita kembali. Perampok yang sangat lihai itu dapat dibunuhnya," Tuan Hua mengangguk.

   "Oh, syukurlah..." kedua orang itu berdesah lega.

   "Tapi kita belum benar-benar terlepas dari kesulitan ini. Kalian jangan terburu-buru bergembira dahulu!"

   "Hah? Maksudmu...?"

   "Lihatlah di pinggir hutan itu!" Tuan Hua berbisik sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. "Kalian tahu siapa dia...?"

   "Orang yang sedang mengubur mayat itu? Siapakah dia?" dua orang anggota Kim-liong Piauw-kiok itu memandang ke arah Souw Thian Hai, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Tuan Hua menghela napas panjang.

   "Orang itu adalah teman para perampok itu pula. Dan kalau tak salah tuan penolong kita tadi menyebut dia sebagai Hong-gi-hiap Souw Thian Hai...!"

   "Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?" dua orang Kim-liong Piauw-kiok ini terpekik kaget.

   "Benarkah...benarkah i-itu...? Tapi...tapi...tapi...bukankah pendekar sakti itu terkenal akan kebaikan budinya? Memengapa...??" "Entalah! Aku sendiri juga belum pernah melihat wajah pendekar yang sangat terkenal itu. Tapi yang terang...tuan penolong kita itu tentu tidak salah omong. Apa yang dia katakan tentulah benar." Tuan Hua itu berbisik lagi sambil melirik ke arah Chin Yang Kun yang masih berdiri tegang di dekat gerobag. Melihat Souw Thian Hai telah selesai menguburkan mayatnya, Chin Yang Kun perlahan-lahan melangkah maju. Dihampirinya orang-orang Kim-liong Piauw-kiok itu sebelum ia melayani Hong-gi-hiap Souw Thian Hai.

   "Pergilah kalian dari tempat ini! Bawalah teman kalian yang terluka ini ke kota agar lekas-lekas mendapatkan pengobatan. Biarlah aku melayani yang seorang ini..." pemuda itu berkata kepada mereka.

   "Eh, mana bisa begitu? Apa kata orang nanti kepada Kim-liong Piauw-kiok kami? Masakan kami malah meninggalkan orang yang sedang berusaha menolong kami? Di mana kami akan menyembunyikan muka kami nanti? Tidak...! Kami tidak akan meninggalkan saudara!" Tuan Hua menolak anjuran Chin Yang Kun tersebut dengan bersemangat.

   "...Selain itu, apakah gunanya kami selamat kalau barang yang dititipkan kepada kami itu lolos dari tangan kami? Bagaimana pertanggungan jawab kami terhadap guru kami nanti?"

   "Kalian jangan khawatir tentang barang kalian yang berada di dalam gerobag itu. Tak akan ada seorangpun yang mau mencurinya. Kalian sudah tahu...apa isinya?" Dengan cepat ketiga orang Kim-liong Piauw-kiok itu menggeleng.

   "Belum..." jawab mereka serentak.

   "Ketahuilah! Kotak-kotak kalian itu hanya berisi senjata senjata saja, bukan benda-benda berharga seperti yang kalian bayangkan."

   "Benarkah...?" dua orang anggota Kim-liong Piauw-kiok itu tak percaya. Bergegas mereka berlari ke gerobag untuk membuktikannya. Tapi yang mereka lihat di dalam setiap kotak itu memang hanya senjata saja. Biarpun mereka membolak-balik isi kotak itu, isinya tetap senjata. Tak ada yang lain! Oleh karena itu dengan wajah penasaran mereka menatap Tuan Hua.

   "Apa maksud pengirim itu mengirimkan benda-benda seperti ini? Mengapa dia membungkus barang-barang ini demikian rapinya, seolah-olah benda ini sedemikian berharganya?" mereka berteriak.

   "Hah? Entahlah...! Aku juga tidak tahu. Yang terang orang itu telah membayar banyak kepada kita untuk ongkos pengiriman..." Tuan Hua itu juga terkejut begitu tahu apa isi barang bawaan mereka.

   "Sudahlah, kalian cepat-cepatlah pergi ke kota! Setelah kalian berobat, kalian dapat mencari orang untuk mengambil gerobag-gerobag ini. Lekaslah, sebelum kalian terlambat...! soalnya, terus terang saja...aku masih sangsi! Apakah aku bisa menang melawan orang itu," Chin Yang Kun mendesak lagi.

   "Tapi...saudara bagaimana?" dengan terbata-bata Tuan Hua mencoba untuk mengelak pula.

   "Jangan pikirkan aku! Kalau aku tidak bisa mengatasi dia, aku masih dapat melarikan diri. Lain halnya dengan kalian. Bagaimana kalian akan lari kalau salah seorang dari kalian ada yang terluka? Bukankah keadaan kalian justru akan lebih buruk? Nah, jangan membuang-buang waktu! Pergilah...!"

   "Ba-baiklah kalau begitu! Terima kasih atas pengorbanan tuan...!" dua orang Kim-liong Piauw-kiok yang tidak terluka itu buru-buru menyahut, kemudian menyambar Tuan Hua dan membawanya pergi meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum mereka pergi jauh, Tuan Hua berteriak ke arah Chin Yang Kun.

   "Saudara, bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia? Katakanlah...agar kami dapat mencatatnya di dalam hati!" Chin Yang Kun menoleh. Melihat langkah mereka yang sedikit tertegun dan tidak segera pergi meninggalkan tempat itu, Chin Yang Kun menjadi serba salah juga.

   "Baiklah! Sebut saja aku Yang Kun! Nah, sekarang pergilah! Eh, nanti dulu...! Aku lupa mengatakan...ehm, apakah saudara Thio Lung ada di rumah sekarang?" Kedua orang Kim-liong Piauw-kiok itu berhenti dengan tiba-tiba. Sambil tetap menggendong Tuan Hua mereka menghadap ke arah Chin Yang Kun.

   "Thio Lung suheng? Ada, dia ada di rumah sekarang. Dia sedang menunggui guru kami yang baru menderita sakit. Apakah...apakah saudara Yang sudah mengenal Thio suheng?"

   "Ya! Katakan kalau aku ingin berjumpa dengan dia!"

   "Baik! Kami akan memberitahukan hal itu kepadanya...Nah, kami akan berangkat sekarang." Kedua orang itu segera meloncat pergi menerobos hutan, meninggalkan Chin Yang Kun dan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai sendirian. Matahari telah mendaki hampir ke puncaknya, sehingga udara menjadi bukan main panasnya. Meskipun demikian karena angin berhembus sedikit kencang, maka udara di sekitar hutan itu masih terasa segar dan nyaman. Sementara itu Souw Thian Hai tampak berdoa sebentar di depan makam yang baru saja ditimbunya. Setelah itu perlahan-lahan tubuhnya berbalik dan menghadap ke arah Chin Yang Kun.

   "Aku sangat berterima kasih sekali kepadamu, karena kau telah melepaskan belenggu yang mengikat kebebasan dan kemerdekaanku..." katanya perlahan.

   "Melepaskan belenggu? Huh! Apa maksudmu?" Chin Yang Kun mendengus sambil melangkah maju. Kini keduanya saling berhadapan dalam jarak dua setengah tombak. Mereka saling bertatap mata bagaikan dua ekor ayam jago yang hendak berlaga. Hanya bedanya, Chin Yang Kun kelihatan seperti jago yang gelisah dan tegang, sementara Souw Thian Hai tampak tenang serta acuh tak acuh saja.

   "Karena kelalaianku sendiri aku telah terkena pisau Hek-eng-cu yang beracun. Tak ada yang mempunyai obat pemunah racun tersebut selain pangeran itu tadi. Dan secara kebetulan tubuhku yang keracunan itu diketemukan oleh pangeran tersebut bersama ayahnya, yaitu bekas Pangeran Mahkota Wangsa Chin. Kedua orang pangeran ayah dan anak itu bersedia menyembuhkan lukaku asal aku mau berjanji untuk mengabdi kepada mereka selamanya..." pendekar sakti itu menghentikan sejenak keterangannya, kemudian setelah menghela napas panjang berulang-ulang ia meneruskan kata-katanya. "...Sebenarnya berat sekali bagiku untuk meluluskan permintaan atau syarat mereka itu, tapi...akhirnya terpaksa kusetujui juga syarat tersebut. Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan. Aku akan mati dengan penasaran kalau aku belum dapat menyelesaikan semua urusan tersebut. Oleh sebab itulah aku terpaksa menerima juga syarat mereka. Meskipun demikian syarat itu tidak kuterima semuanya begitu saja...Aku juga mengajukan syarat kepada mereka bahwa aku mau mengabdi seperti yang mereka kehendaki, tetapi...hanya kepada salah seorang dari mereka! Sungguh tidak adil kalau selembar jiwaku ini harus ditukar dengan melindungi dua lembar jiwa mereka. Aku menghendaki satu jiwa ditukar dengan satu jiwa pula...! Dan ternyata mereka setuju. Aku diharuskan mengabdi kepada pangeran muda yang usianya jauh lebih muda dari umurku. Dengan demikian mereka berharap dapat mengikat aku sepanjang hidupku. Tapi nasib manusia ternyata tidak dapat diduga, pangeran muda itu ternyata justru telah pergi mendahului aku..."

   Pendekar sakti itu mengakhiri keterangannya yang panjang lebar dengan menundukkan mukanya. Meskipun telah terbebas dari belenggu yang mengikat dirinya, pendekar itu tampaknya tidak merasa bergembira pula.

   Wajahnya yang tampan dan ganteng itu tetap kelihatan pucat dan lesu. Dahinya yang lebar selalu berkerut-merut, sementara matanya kadang-kadang menatap jauh ke depan, seolah-olah banyak sekali beban pikiran yang masih ditanggungnya. Tetapi keadaan Souw Thian Hai tersebut tidak diacuhkan sama sekali oleh Chin Yang Kun, bagaimanapun juga pemuda itu masih menganggap bahwa Souw Thian Hai tentu mempunyai hubungan dengan para pembunuh keluarganya. Munculnya Souw Thian Hai di gubug kosong di tepi sungai Huang-ho setahun yang lalu takkan pernah dilupakan oleh Chin Yang Kun. Meskipun dalam penyelidikan selanjutnya pemuda itu tidak pernah menemukan atau mencium keterlibatan tokoh sakti tersebut, tapi sampai sekarang kecurigaannya tetap belum hilang juga.

   "Huh! Tidak usah bercerita yang bukan-bukan di hadapanku! Engkau tidak mungkin lagi bisa melunakkan sikapku terhadapmu. Aku akan tetap menuntut balas kepadamu..." pemuda itu menggeram dengan keras. Souw Thian Hai seperti dihentakkan dari lamunannya. Keningnya semakin tampak berkerut, sementara matanya dengan terbelalak menatap ke arah Chin Yang Kun. Sekejap pendekar sakti itu seperti akan menjadi marah, tapi di lain saat ternyata sikapnya kembali mengendur. Dengan menghela napas dalam pendekar itu berdesah.

   "Ahhhh...ternyata engkau masih mendendam juga kepadaku, padahal aku sungguh-sungguh tak bermaksud melukaimu di desa Hok cung dulu itu. Aku cuma bermaksud menyelamatkan jiwa Siauw-ongya yang terancam pukulan mautmu..."

   "Bukan hal itu yang akan kupersoalkan sekarang!" Chin Yang Kun berteriak marah karena merasa tersinggung telah diingatkan luka-lukanya yang parah akibat pukulan pendekar sakti itu. "...Dan kau jangan terlalu berbangga karena dapat melukaiku! Engkau pun telah menderita luka pula pada saat itu!"

   "Ah!" kaget juga Souw Thian Hai mendengar kata-kata Chin Yang Kun tersebut. Lalu persoalan apa sebenarnya yang membuat pemuda itu mendendam kepadanya?

   "Lalu persoalan apa lagi? Kukira kita tak pernah berhubungan sebelumnya..." akhirnya Souw Thian Hai bertanya dengan wajah bingung.

   "Belum pernah berhubungan sebelumnya katamu? Kurang ajar...! kau sudah tidak ingat lagi pada pertemuan kita yang pertama kali itu? Pertemuan di gubug kosong di tepi sungai Huang-ho itu? Engkau tidak ingat lagi...?" Chin Yang Kun berteriak semakin keras.

   "Ohhh...itu! Jadi engkau masih menuduh aku yang membunuh keluargamu?"

   "Tentu saja! Siapa lagi kalau tidak kau...? kau telah membunuh ibu, adik-adik, dan para pengawal, kemudian menyelipkan secarik kertas di tangan ibuku. Di atas kertas kecil itu engkau menulis agar ayah dan pamanku pergi ke gubug kosong di pinggir Sungai Huang-ho untuk menemuimu. Engkau menginginkan agar ayah menyerahkan Cap Kerajaan yang dibawanya kepadamu di sana...nah, bagaimana? Masih mau mungkir juga?" Souw Thian Hai mendengarkan semua tuduhan itu dengan air muka bingung. Sebentar-sebentar ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

   "Jadi..., jadi itukah sebabnya kau dahulu lantas menyerang aku dengan membabi-buta di gubug kosong itu?" tanyanya dengan suara gemetar.

   "Nah, sudah teringat lagi kau sekarang?" Chin Yang Kun mengejek.

   "Wah, kalau begitu engkau benar-benar salah sangka dalam persoalan ini!" Souw Thian Hai cepat-cepat menukas. "...Aku sama sekali tidak membunuh ibu dan adikmu, apalagi meninggalkan surat seperti yang kau katakan itu. Aku..."

   "Bohong! Pengecut! Engkau mau mengingkari perbuatanmu sendiri...?"

   "Kurang ajar! Anak muda, kau jangan menuduh orang sembarangan saja! Dengar dulu keteranganku, setelah itu baru kau boleh marah sesuka hatimu! Jangan main tuduh dan main bunuh tanpa alasan atau bukti yang kuat. Bagaimana kalau engkau sendiri yang dituduh orang seperti itu padahal engkau sendiri merasa tidak melakukannya?" lambat laun pendekar sakti itu marah juga. Chin Yang Kun merasa pula bahwa perkataan lawannya itu benar juga.

   "Kalau begitu...lekaslah kau berbicara!" bentaknya. Souw Thian Hai berusaha menyabarkan hatinya, lalu dengan hati-hati ia memberi keterangan.

   "Terus terang...kedatanganku di gubug kosong itu memang bukan secara kebetulan. Seperti telah kuceriterakan...aku terpaksa menjadi pengawal pribadi dari Siauw-ongya semenjak dia bisa menyembuhkan lukaku. Dan pada waktu itu kedatanganku disana memang dalam rangka mengawal pangeran muda tersebut. Aku tidak tahu apa yang hendak dikerjakan oleh pangeran itu bersama-sama anak buahnya di daerah itu, tapi dari pembicaraan mereka aku dapat mengetahui bahwa mereka sedang memburu buronan yang membawa sebuah pusaka kerajaan. Karena aku tidak mau campur tangan dengan urusan mereka selain menjaga keselamatan pangeran itu, maka orang-orang itu juga tidak pernah mempedulikan aku. Mereka membiarkan saja aku berbuat semauku..."

   Pendekar sakti itu berdiam diri sebentar untuk mengambil napas. Matanya yang tajam itu mengerling sekejap untuk mencari kesan di wajah Chin Yang Kun. Begitu melihat pemuda tersebut mendengarkan ceritanya dengan serius hatinya menjadi gembira.

   "Karena bosan semalaman hanya melihat orang-orang yang saling mengintai saja, aku lalu pergi ke tepi Sungai Huang-ho. Tapi tak kusangka di tepi sungai itu aku bertemu dengan musuh besarku, Hek-eng-cu! Dan tampaknya orang itu juga ikut mengincar benda pusaka tersebut. Dan kelihatannya orang itu juga telah lebih dahulu datang di daerah tersebut, serta telah melihat pula rombonganku. Buktinya iblis itu bersama-sama dengan seorang kawannya telah mempersiapkan sebuah perangkap untukku, agar aku tidak bisa menolong rombonganku apabila sewaktu-waktu terjadi benturan di antara mereka." Pendekar itu menghentikan lagi ceritanya. Wajahnya tampak sangat menyesal karena ternyata dia tak bisa menghindari perangkap yang dipasang oleh Hek-eng-cu.

   "Ketika sedang enak-enaknya aku berjalan di tepi sungai Huang-ho itu, tiba-tiba mataku melihat sebuah perahu kecil melintas di atas sungai tersebut. Perahu itu hanya dinaiki oleh seorang nenek yang telah lanjut usianya, dan entah bagaimana asal mulanya mendadak perahu tersebut terbalik sehingga nenek tua itu tercebur ke dalam air yang ganas. Sekejap aku mendengar nenek itu berteriak minta tolong kepadaku. Maka tanpa pikir panjang lagi aku meloncat ke dalam air dan berenang melawan arus sungai yang besar untuk menolongnya. Untunglah aku belum terlambat sehingga nenek itu dapat kuselamatkan. Dengan menggendong tubuhnya yang berat aku kembali bergulat melawan arus untuk mencapai tepian sungai..." Pendekar itu kembali menundukkan kepalanya, lalu sambil menghembuskan napas panjang dia meneruskan ceritanya.

   "Tapi aku benar-benar tidak menyangka sama sekali...selagi aku lengah karena sedang bergulat dengan arus air itu, tiba-tiba nenek yang berada di atas punggungku menyerang leher dan ubun-ubunku secara ganas! Tangan kirinya mencengkeram leherku, sementara tangan kanannya yang secara tiba-tiba telah memegang pisau itu menusuk ke arah ubun-ubunku! Sekilas aku mendengar suara ketawanya yang seperti iblis, dan aku segera mengenalnya sebagai suara ketawa Hek-eng-cu!" Pendekar itu mengambil napas lagi, matanya menerawang ke depan seolah-olah ingin mengumpulkan kembali ingatannya tentang peristiwa yang sangat mendebarkan itu.

   "Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tubuhku secara otomatis bergerak untuk menyelamatkan diri. Cepat bagai kilat aku menyelam sehingga ayunan tangan yang memegang pisau itu tertahan dengan kuat oleh permukaan air. Dan waktu yang hanya sekejap itu kupergunakan untuk melepaskan leherku dari cengkeraman tangan kiri Hek-eng-cu. Tapi cengkeraman itu ternyata amat kuat dan sukar sekali kulepaskan. Memang selain mengerahkan seluruh tenaga saktinya, Hek-eng-cu ternyata telah menggunakan Ilmu Sam ci thiam-hwe-touw untuk mencengkeram urat-urat penting di leherku. Tanpa kusadari jari-jarinya yang kuat itu telah menekan urat gagu dan urat kelumpuhan yang menghubungkan tan-tian dengan otak sehingga tak ampun lagi tubuhku menjadi lemas dan tak bisa berbicara. Tapi sebelum kelumpuhan itu benar-benar menyerang seluruh urat-urat di dalam tubuhku, aku secara mati-matian mengerahkan Khong-sinkang untuk menjaga diri..."

   "Khong-sinkang? Apakah itu?" untuk pertama kalinya Chin Yang Kun menukas cerita lawannya.

   "Ah, cuma ilmu kosong yang tiada artinya sesuai dengan namanya...Khong sinkang berarti Ilmu Sakti Tenaga Kosong!" Souw Thian Hai menjelaskan dengan sedikit jengah takut dikatakan menyombongkan dirinya.

   "Hmmh! Lalu bagaimana seterusnya...?"

   "Begitulah...dalam saat-saat terakhir ilmu yang kukerahkan itu ternyata dapat menyelamatkanku. Badanku yang lumpuh akhirnya hanyut terbawa gelombang sungai dan tersangkut di dekat gubug kecil itu. Beberapa saat lamanya aku tergolek saja di tepian sungai. Baru beberapa waktu kemudian, setelah kelumpuhan itu berangsur-angsur hilang dari tubuhku, aku bangkit dan pergi menghampiri gubug kecil itu. Aku harus segera mencari tempat berlindung untuk memulihkan kembali tenagaku. Sebab meskipun aku sudah tidak lumpuh lagi tapi aku ternyata belum bisa mengerahkan lweekang seperti sedia kala. Beberapa buah jalan darahku masih terpengaruh oleh Sam-ci Tiam-hwe-louw Hek-eng-cu. Malah urat gaguku juga belum lepas pula dari pengaruh cengkeramannya. Nah, pada saat demikian itulah kau datang...!"

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Chin Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang kenapa ilmu silat Souw Thian Hai yang dahsyat itu dahulu seperti tidak punya tenaga sama sekali ketika bertempur dengannya.

   Itulah juga sebabnya kenapa pendekar sakti itu tidak mengeluarkan suara sama sekali ketika mereka bertempur! Hati Chin Yang Kun mulai ragu-ragu. Pemuda ini mulai percaya pada kebenaran penuturan lawannya. Agaknya pendekar sakti yang mempunyai nama harum di dunia kang ouw itu memang sungguh-sungguh tidak terlibat sama sekali dalam peristiwa pembunuhan keluarganya itu. Kelihatannya memang tak ada alasan yang kuat bagi pendekar sakti itu untuk memusuhi apa lagi sampai berbuat begitu keji kepada keluarganya. Lalu, siapa sebenarnya yang menulis surat itu? Mengapa orang itu tidak muncul di gubug kosong itu? Apakah orang itu menjadi ketakutan dan tidak berani mendekati gubug tersebut karena di sana ada Souw Thian Hai?

   "Eh, mengapa peristiwa kecil di gubug kosong itu kelihatannya amat mengganggu pikiran saudara? Apakah aku telah berbuat suatu kesalahan besar di tempat itu sehingga engkau demikian mendendam kepadaku?" tiba-tiba Souw Thian Hai mengajukan pertanyaan, sehingga Chin Yang Kun yang sedang melamun itu menjadi kaget.

   "Hmmh!" pemuda itu mendengus. "Kau tahu...siapa yang kau katakan sebagai buronan itu? Mereka adalah keluargaku! Seluruh keluargaku! Mereka diburu, dikejar-kejar, disiksa...kemudian dibunuh!"

   "Haah?" Souw Thian Hai tersentak kaget. Lalu, "Sungguh tak kusangka bila demikian halnya. Sekarang aku tahu...kenapa sikapmu demikian kerasnya! Tapi...percayalah engkau kepadaku, aku sungguh-sungguh tidak tahu menahu tentang keluargamu!"

   "Kalau begitu...siapakah menurut pendapatmu?" Souw Thian Hai bernapas dengan lega melihat gelagatnya pemuda itu sudah tidak mencurigainya lagi. Tampaknya pemuda itu dapat menerima seluruh keterangannya tadi.

   "Kalau memang keluargamu itulah yang dicari dan dikejar kejar oleh orang-orang itu aku hampir berani memastikan bahwa mereka jugalah yang telah membunuhnya! Siapa lagi kalau tidak orang-orang itu? Bukankah masalahnya hanya pada Cap Kerajaan itu?"

   "Kau maksudkan Siauw-ongya dan anak buahnya?"

   "Ah...bukan! Bukan! Bukan mereka. Aku tahu dengan pasti bahwa bukan mereka pelaku pembunuhan itu, karena kalau mereka yang melakukan aku pasti mengetahuinya pula."

   "Lalu siapa kalau bukan mereka? Apakah rombongan Hek-eng-cu yang kau jumpai di sungai Huang-ho itu?"

   "Entahlah...!" Souw Thian Hai menggeleng dengan ragu ragu.

   "Kemungkinan juga memang merekalah pelakunya...tetapi kemungkinan juga bukan. Sebab selain rombongan Siauw-ongya dan Hek-eng-cu, aku mencium pula jejak-jejak yang lain, yang kalau tak salah adalah jejak para iblis Ban-kwi-to dan jejak para petugas kerajaan."

   "Hek-eng-cu dan para iblis Ban-kwi-to itu adalah satu rombongan..." Chin Yang Kun cepat menukas karena ia teringat waktu ditawan oleh rombongan itu di gedung Si Ciangkun setahun yang lalu.

   "Begitukah? Jikalau demikian tinggal dua rombongan saja yang pantas dicurigai, yaitu rombongan Hek-eng-cu dan para petugas kerajaan!" Souw Thian Hai berkata tegas.

   "Rombongan petugas kerajaan...?" Chin Yang Kun menegaskan.

   "Ya, para petugas kerajaan! Mereka dipimpin sendiri oleh Yap Tai-Ciangkun dan kakaknya Hong-lui-kun Yap Kiong Lee."

   "Ahhhh!" Chin Yang Kun berseru kaget. "...Tapi...tapi tak mungkin rasanya kalau mereka itu yang berbuat keji. Kedua orang kakak beradik itu selain mempunyai kedudukan tinggi di Kotaraja, mereka juga merupakan pendekar pendekar persilatan yang bernama harum dan berjiwa kesatria. Tak mungkin rasanya mereka berbuat sekeji itu!"

   "Engkau benar!" Souw Thian Hai mengiyakan perkataan Chin Yang Kun tersebut. "Akupun telah mengenal dengan baik kedua orang kakak beradik itu. Mereka tak mungkin membunuh orang dengan cara yang begitu pengecut! Kepandaian mereka sangat tinggi dan kekuasaannya sangat besar..."

   "Kalau begitu satu-satunya kecurigaan hanya tinggal kepada rombongan Hek-eng-cu," Chin Yang Kun menggeram.

   "Ya! Akupun lebih mencurigai mereka dari pada yang lainnya. Mereka terdiri dari penjahat-penjahat yang sudah terbiasa berbuat kejam, curang dan licik!" Souw Thian Hai mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Meskipun demikian kita juga tidak boleh menuduhnya begitu saja tanpa bukti-bukti yang jelas. kau harus menyelidikinya terlebih dahulu..."

   "Tapi aku hampir yakin bahwa memang kelompok itulah yang membunuh ibu, adik-adik dan para pengawalku. Hanya para iblis Ban-kwi-to itu saja yang selalu membunuh orang dengan racun..."

   "Agaknya memang benar demikian..." Sekali lagi Souw Thian Hai mengiyakan perkataan Chin Yang Kun. Chin Yang Kun menghela napas lega, hatinya terasa lapang, seakan-akan tirai kegelapan yang menutupi peristiwa yang mengerikan itu kini telah terbuka, sehingga ia bisa melihat dengan jelas siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan ibu dan adik-adiknya itu. Dia tinggal mencari saja, siapakah diantara iblis-iblis Ban-kwi-to itu yang sering mempergunakan racun hijau. Racun yang mengakibatkan korbannya mati dengan perasaan nikmat dan tenang, tapi dengan warna kulit yang berubah menjadi kehijau-hijauan.

   "Semuanya telah menjadi terang. Pembunuh-pembunuh itu sebentar lagi akan dapat kubekuk. Aku tinggal pergi saja ke Ban-kwi-to untuk mencari pembunuh ibu, sementara pembunuh ayah dan paman juga tinggal menanyakan saja kepada Thio Lung!" pemuda itu berkata di dalam hatinya.

   "Maaf, kalau tidak salah ketika berada di desa Hok-cung itu saudara bersama-sama dengan Chu Seng Kun...dimanakah pemuda itu sekarang?" tiba-tiba Souw Thian Hai bertanya kepada Chin Yang Kun.

   "Eh, anu...entahlah! Kami telah bersimpang jalan ketika secara mendadak desa itu diserang oleh tentara kerajaan," Chin Yang Kun yang sedang melamun itu menjawab dengan suara gagap.

   "Ohhh...!" pendekar sakti itu berdesah dengan kecewa.

   "Ada apa? Mengapa engkau bertanya tentang Chu Seng Kun? Apakah engkau sudah mengenalnya?" Chin Yang Kun yang merasa heran atas sikap Souw Thian Hai itu segera mendesak dengan pertanyaannya.

   "Aku dan dia tidak hanya saling mengenal tetapi lebih dari pada itu. Kami saling bersahabat. Malahan aku..." Tiba-tiba pendekar sakti itu menutup mulutnya. Hampir saja ia berkata tentang hubungannya dengan Chu Bwee Hong, adik Chu Seng Kun. Sekejap pendekar yang kesaktiannya sangat dikagumi orang itu menjadi kikuk, tapi di lain saat sikapnya segera berubah lesu dan sedih begitu mengingat hubungannya yang kandas di tengah jalan.

   "Ahhhh, sudahlah...!" akhirnya pendekar itu berdesah getir. "Sebaiknya aku sekarang pergi saja. Mumpung aku sudah bebas akan kuselesaikan semua urusan yang terbengkalai itu. Terima kasih atas pengertianmu..." Pendekar itu mengangguk ke arah Chin Yang Kun, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut. Jalannya perlahan dan gontai seolah sedang menyangga beban yang berat sekali di pundaknya. Chin Yang Kun termangu-mangu di tempatnya. Bagaikan seorang yang tiba-tiba kehilangan sahabat atau kawan seperjalanannya, pemuda itu memandang punggung Souw Thian Hai yang bidang. Entah bagaimana sikap dan kepribadian pendekar sakti tersebut benar-benar amat menarik perhatiannya. Tiba-tiba saja hatinya terasa dekat dan menyukainya.

   "Kau...kau mau pergi ke mana?" tak terasa mulut pemuda itu berteriak. Pendekar sakti itu menoleh dan bibirnya tampak tersenyum pedih.

   "Entahlah, aku tak tahu...Tapi yang terang aku hendak mencari dulu puteriku yang hilang," jawabnya.

   "Puterimu yang hilang?" Chin Yang Kun yang tidak menyangka bahwa pendekar sakti itu telah mempunyai anak, bertanya seolah tak percaya. "Di mana dia hilang? Bagaimana itu bisa terjadi? Siapa yang telah mencurinya?" Souw Thian Hai menghentikan langkahnya. Wajahnya yang pucat itu mendadak tersenyum, meskipun senyumnya tampak kaku dan tak bergairah.

   "Yang mencurinya...? Ahh, kau sangka umur berapa puteriku itu?" tanyanya sedikit geli. "...Puteriku itu bukan lagi seorang bayi atau anak-anak yang mudah dibawa orang. Usianya mungkin hampir sebanyak umurmu..." Chin Yang Kun tersentak kaget tak percaya. Tapi sebelum pemuda itu bertanya lebih lanjut, Souw Thian Hai telah melangkah pergi meninggalkannya. Pendekar sakti itu telah lenyap menerobos hutan. Sambil berdesah Chin Yang Kun juga pergi meninggalkan tempat itu. Sesekali pemuda itu menoleh, mengawasi mayat-mayat yang berserakan di tempat tersebut. Tetapi karena telah yakin bahwa orang-orang Kim liong Piauw kiok itu pasti akan datang kembali untuk mengurus mayat-mayat tersebut, maka ia tetap meneruskan langkahnya.

   "Ah, tak kusangka pendekar Souw Thian Hai yang ternama itu telah mempunyai anak sebesar aku, padahal umurnya tidak lebih tua dari pada Chu Seng Kun ataupun Hong-Iui kun Yap Kiong Lee...Kalau begitu usia puteri Souw Thian Hai tersebut tentu sama dengan Tiau Li Ing atau Souw Lian Cu...eh!" Tiba-tiba pemuda itu berhenti melangkah, wajahnya menjadi pucat seketika.

   "Souw Thian Hai" Souw Lian Cu! Souw Lian Cu...Souw Thian Hai! Hah! Apakah...apakah me-mereka...?" Bagai kilat cepatnya Chin Yang Kun melesat memburu Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Saking tegangnya pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatan ginkangnya! Oleh karena itu dapat dibayangkan bagaimana cepatnya pemuda itu berlari. Tapi pemuda itu segera menjadi heran sekali. Sampai ia keluar dari hutan itu kembali pendekar tersebut tidak dapat ia ketemukan! Pendekar sakti itu seperti dapat menghilang saja saking cepatnya.

   "Bukan main! Pendekar ternama itu memang tidak bernama kosong! Rasa-rasanya memang cocok bila menjadi ayah dari Souw Lian Cu..." Chin Yang Kun bergumam tiada habisnya. Pemuda itu melangkah kembali ke tempat semula. Tiba-tiba terdengar lagi suara siulan dari atas bukit, membuat pemuda itu ingat pada maksud kedatangannya semula, yaitu mencari kawannya yang diculik oleh orang-orang berkuda.

   "Ah, jangan-jangan anak bengal itu mendapatkan kesulitan di sana," geramnya. Chin Yang Kun mengerahkan ginkangnya kembali untuk mendaki bukit tersebut. Pemuda itu sengaja mengambil jalan lintas agar tidak terlihat oleh para penjaga, yang mungkin sudah dipasang untuk menjebaknya. Meskipun medannya menjadi lebih sukar, tetapi dengan kepandaiannya yang tinggi semuanya dapat ia lalui dengan mudah dan cepat. Beberapa menit saja puncak itu telah kelihatan di depan mukanya. Mula-mula Chin Yang Kun menjadi kaget sekali ketika matanya melihat banyak sekali orang-orang yang duduk duduk menggerombol di bawah pohon-pohon rindang.

   "Heran! Ada apa sebenarnya di tempat ini? Orang-orang ini berjumlah ribuan, tetapi mengapa mereka tidak menjadi ramai dan hingar-bingar suaranya? Apakah mereka ini merupakan pengikut sebuah aliran kepercayaan yang sedang mengadakan upacara keagamaan?" pemuda itu termangu-mangu di tempatnya. Sebenarnya bisa saja dia menerobos kumpulan orang-orang yang duduk bergerombol di segala tempat itu. Tapi orang-orang itu tentu akan melihatnya kemudian menahannya. Dan selanjutnya tentu akan terjadi pertempuran yang sangat berat bagi dirinya. Dia harus melawan ribuan orang bersenjata!

   "Ahhh...!" Chin Yang Kun berdesah.

   Selagi pemuda itu kebingungan untuk mencari jalan yang aman ke atas puncak, mendadak dari kaki bukit terdengar suara roda gerobag yang berdentangan melindas bebatuan. Suara itu makin lama makin dekat, sehingga akhirnya gerobag itu tampak oleh Chin Yang Kun muncul dari balik pohon-pohon lebat di bawahnya. Gerobag itu didorong dengan susah payah oleh enam tujuh orang ke atas bukit. Sekejap mata Chin Yang Kun terbelalak mengawasi gerobag itu, tapi kemudian cepat-cepat bersembunyi ketika tiba-tiba di belakang gerobag tersebut muncul beberapa orang lelaki yang tidak lain adalah para penunggang kuda yang dicarinya itu. Orang-orang itu berjalan tanpa mengeluarkan suara seolah-olah mereka itu adalah sekelompok iring-iringan orang yang sedang mengantar jenazah ke liang kubur.

   Chin Yang Kun membiarkan iring-iringan itu melintas di depan persembunyiannya. Matanya nyalang mencari-cari kalau-kalau temannya yang bengal itu berada diantara mereka, tapi pemuda tampan itu ternyata tidak ada diantara mereka. Sambil menghela napas Chin Yang Kun beranjak dari tempat persembunyiannya. Pemuda itu bertekad untuk menerobos tempat itu dengan nekad. Tapi belum juga ia melaksanakan maksudnya tiba-tiba dari bawah terdengar suara gerobag lagi. Kali ini malah lebih keras dan lebih gaduh daripada tadi. Chin Yang Kun kembali mendekam di tempat persembunyiannya dan beberapa saat kemudian dia melihat iring-iringan gerobag dan pedati kecil muncul dari balik pepohonan. puluhan orang lelaki tampak mendorong gerobag gerobag itu bersama-sama. Tubuh mereka yang kekar-kekar itu tampak basah oleh keringat.

   

Darah Pendekar Eps 17 Darah Pendekar Eps 6 Darah Pendekar Eps 26

Cari Blog Ini