Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 14


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 14




   "Inikah cairan yang harus kupergunakan untuk memeriksa darah mereka, koko?"

   "Ya! Cepatlah...!" Chu Seng Kun menjawab singkat. Kwa Siok Eng lalu meletakkan botol-botol dan cawan-cawan yang dipegangnya diatas meja. Kemudian sambil membawa sebuah cawan kecil lagi ia mengambil darah Tui Lan. Wanita muda itu masih belum sadarkan diri. Itulah sebabnya kelahiran bayinya mengalami kesulitan dan harus dibantu oleh Chu Seng Kun.

   "Koko, kau dan aku juga harus diperiksa darahnya. Siapa tahu justru darahmu atau darahku yang cocok untuk menambah darahnya?" Siok Eng berkata kepada suaminya.

   "Baik! Ambillah!" Sementara itu selagi semua penghuni rumah tersebut sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa Tui Lan dan anaknya, diluar rumah tampak tiga orang lelaki dan perempuan sedang mengendap-endap mendekati rumah itu. Mereka adalah Tung-hai Nung-jin dan dua orang keponakannya, Tiauw Li Ing dan Tiauw Kiat Su.

   "Benarkah kakek tua yang kita lihat itu masuk ke rumah ini?" Tiauw Li Ing berbisik kepada kakaknya.

   "Tentu. Akan kemana lagi? Inilah satu-satunya rumah yang ada di tempat ini." Tiauw Kiat Su menjawab mantap.

   "Hati-hatilah! Rumah ini sangat mencurigakan. Penghuninya tentu bukan orang sembarangan. Hatiku merasa berdebar-debar." Tung-hai Nung-Jin memperingatkan keponakannya.

   "Ah, paman... Apa yang mesti kita takutkan?" Tiauw Li Ing menggerutu.

   "Benar, Paman. Paman tidak usah cemas. Kalau ada apa-apa, serahkan saja kepada kami berdua. Tanggung beres!" Tiauw Kiat Su menyambung perkataan adiknya. Tung-hai Nung-jin menghela napas.

   "Beres? Hmmh! Kalian ini masih tetap saja seperti dulu. Meremehkan orang lain, sombong dan kurang perhitungan. Bagaimana kalau orang yang mempunyai rumah ini seorang tokoh sakti yang sedang mengasingkan diri? Apakah peristiwa dengan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai itu belum membuat jera juga?"

   "Jera...! Hahaha! Bukankah pendekar yang diagung-agungkan orang itu akhirnya terluka di tangan guruku, Giok-bin Tok-ong?" Tiauw Kiat Su menyahut dengan tertawa. Sekali lagi Petani Dari Lautan Timur itu menarik napas panjang.

   "Hmm, sejak dulu sifatmu selalu begitu. Bersandar pada kekuatan orang lain. Dulu kalian selalu mengandalkan kekuatan ayahmu, sekarang kalian mengandalkan kekuatan gurumu. Ya... kalau orang yang kalian pakai untuk bersandar itu selalu berada di dekatmu. Kalau tidak?"

   "Paman maksudkan kalau tiba-tiba di rumah itu muncul tokoh sakti semacam Hong-Gi-Hiap, padahal sekarang guruku tidak ada, begitu?" Tiauw Kiat Su mendengus.

   "Ya! Lalu yang hendak kau andalkan untuk melawannya?" Tiauw Kiat Su tersenyum. Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan sebuah benda bulat sebesar telur penyu, yang tidak lain adalah pek-lek-tan, senjata peledak kepunyaan Giok bin Tok-ong! Dengan senyum kemenangan pemuda itu menimang-nimang peluru maut tersebut di tangannya. ukan main kagetnya Tung-hai Nung jin melihat itu!

   "Hati-hati!" teriaknya.

   "Hahaha...! Bagaimanakah Paman? Apakah paman masih menyangsikan kemampuanku? Paman telah melihat sendiri kedahsyatan peluru ini. Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang disohorkan orang itupun tak kuasa melawan senjata ini, apalagi orang lain. Apa yang mesti ditakutkan lagi?"

   "Bagus! Kalau begitu... marilah kita masuki rumah itu! K ita cari kakek tua yang mencurigakan itu!" Tiauw Li Ing berseru gembira. Tung-hai Nung-jin terpaksa tidak bisa membantah lagi. Diikutinya saja kedua orang keponakannya itu dari belakang. Tangannya tak pernah lepas dari tangkai paculnya. Tiba-tiba suara tangis bayi terdengar sampai di telinga mereka.

   "Hei! Aku mendengar suara tangis bayi." Tiauw Kiat Su berdesah kaget.

   "Ah, peduli amat! Mari kita masuk!" Tiauw Li Ing menggeram, lalu mendorong pintu rumah itu.
(Lanjut ke Jilid 14)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 14
"Gerrrrtttt...!" Pintu terbuka. Tanpa mengendorkan kewaspadaan mereka masuk. Oleh karena ruang depan tidak ada orangnya, maka mereka bertiga lalu masuk ke ruang dalam. Dan... mereka segera berhadapan dengan Souw Lian Cu dan Lo Hoat yang sedang sibuk merawat orok yang baru lahir itu. Sementara itu di dalam kamar pengobatan keadaannya juga tidak kalah tegangnya. Tui Lan mulai sadar dari pingsannya. Namun karena tubuhnya sangat lemah, maka dia hanya bisa membuka matanya saja. Bibirnya yang kering dan pucat itu tampak bergetaran menahan sakit.

   "Tenanglah nyonya. Kau dan bayimu selamat. Sekarang berusahalah untuk mengerahkan tenaga saktimu, aku akan membantumu dari luar!" Chu Seng Kun berkata dengan suara bergetar pula. Seluruh kekuatannya juga hampir terkuras habis untuk menolong persalinan yang sulit itu. Mata Tui Lan tampak terbelalak mendengar tentang kelahiran bayinya. Ada terpancar perasaan gembira dan bahagia di dalam pandang matanya. Namun sinar kebahagiaan itu segera lenyap kembali tatkala ia menyadari keadaan tubuhnya yang tak berpengharapan lagi itu. Sekejab malah terbayang kembali tubuh suaminya yang terseret arus air di bawah tanah itu.

   "Koko..." bisiknya perlahan hampir tak terdengar sama sekali. Chu Seng Kun melepaskan kedua telapak tangannya yang menempel di atas perut Tui Lan.

   "Eng-moi! Bagaimanakah pekerjaanmu? Ada yang cocok untuknya?" desaknya kepada Kwa Siok Eng, isterinya.

   "Oh... sungguh beruntung sekali dia! darah Lian Cu ternyata cocok dengan darahnya!" Siok Eng menjawab hampir bersorak.

   "Bagus! Kalau begitu panggil Lian Cu kemari...!" Siok Eng cepat melesat keluar dan berlari ke ruang tengah.

   "Lian Cu, kau di...?" serunya terputus begitu menyaksikan apa yang terjadi di ruangan tersebut. Ternyata tempat itu telah menjadi ajang pertempuran yang seru. Lo Hoat yang tua itu bertempur dengan seorang lelaki kurus bersenjata pacul sedangkan Souw Lian Cu menghadapi seorang gadis cantik membawa kipas besi. Mereka berkelahi dan bertarung dengan hebatnya, sementara di dekat pintu masih terlihat seorang lagi yang masih menganggur. Sekilas pandang saja Kwa Siok Eng sudah bisa melihat bahwa orang-orang yang datang itu rata-rata memiliki kepandaian di atas suaminya dan dirinya sendiri. Dan Kwa Siok Eng segera dapat mengenali pula lelaki kurus bersenjata pacul tersebut.

   "Tung-hai Nung-Jin! Oh, kenapa bajak laut itu sampai berada di tempat yang terpencil seperti ini? Dan... siapa pula gadis lihai yang bertempur dengan Lian Cu itu? Celaka...!" Siok Eng berdesah cemas. Kedatangan Siok Eng itu segera diketahui oleh pemuda yang berdiri di dekat pintu.

   "Ahaaa! Ternyata masih ada penghuni lain di rumah ini!" pemuda yang tidak lain adalah Tiauw Kiat Su itu tertawa gembira sambil melangkah menghampiri Siok Eng.

   Siok Eng mundur kembali. Namun begitu teringat akan suaminya yang sedang mengobati orang, langkahnya segera terhenti.

   "Mereka tidak boleh ke kamar pengobatan." desahnya di dalam hati. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa begitu datang rombongan Tung-hai Nung-jin itu langsung bergebrak dengan kakek Hoat dan Souw Lian Cu? Ternyata begitu berhadapan muka, Souw Lian Cu dan kakak-beradik She Tiauw langsung saling mengenal. Mereka semua pernah berjumpa beberapa tahun yang lalu di dusun Ho-ma-cun meskipun hanya sebentar. (Baca: Pendekar Penyebar Maut). Pada waktu itu Tiauw Kiat Su mulai menaruh perhatian kepada Souw Lian Cu yang buntung lengan kirinya, walaupun di dalam pertemuan tersebut sama sekali ia tak mengerti kalau gadis yang menarik hatinya itu adalah puteri Hong gi-hiap Souw Thian Hai.

   "Hei, koko! Aku ingat gadis buntung ini! Kita pernah menjumpainya di desa Ho-ma-cun beberapa tahun yang lalu, ketika kita berdua baru pertama kalinya menginjakkan kaki di dunia kang-ouw..." Tiauw Li Ing berseru seraya mengacungkan jarinya ke arah Souw Lian Cu, yang sedang sibuk menjaga orok itu.

   "Kau... kau benar, Ing-moi! Ooh... selamat bertemu kembali, nona."

   "Hei! Hei! Jangan ngawur kau! Masih saja panggil nona nonaan seperti dulu. Lihat bayi yang di dekatnya itu!"

   '"Eh...!?!" Tiauw Kiat Su tersentak kaget. Sementara itu Tung-hai Nung-jin tampak mendekati kakek Hoat.

   "Aha... akhirnya ketemu juga kau! Kenapa kau tadi berlari sambil mengendap-endap di dalam hutan itu? Dan apa yang kaubawa tadi? Kau seperti menggendong orang. Mana orang itu, heh?" katanya dengan suara dingin. Lo Hoat menatap wajah lawannya. Hatinya sedikit bergetar juga melihat senjata pacul di tangan orang itu. Soalnya tiada seorangpun di dunia persilatan saat itu yang bersenjatakan pacul selain bajak laut Tung-hai Nung-Jin di Lautan Timur. Padahal ia menyadari bahwa ia takkan mampu menjinakkan pacul tersebut. Oleh karena itu ia berusaha untuk tidak membuat onar terlebih dulu.

   "Maaf, apakah aku yang tua ini berhadapan dengan Tung-hai Nung-jin dari Lautan Timur itu?" sapanya halus. Tung-hai Nung-jin mendengus melalui lobang hidungnya.

   "Tidak salah! Nah, lekaslah kau jawab pertanyaanku tadi!" Lo Hoat menghela napas. Bagaimana pun juga ia adalah bekas pengawal kaisar yang disegani orang. Sikap dan ucapan Tung-hai Nung-jin yang kurang bersahabat itu lambat laun memanaskan hatinya juga.

   "Maaf, apa peduli Tuan dengan semua yang kulakukan di hutan itu? Bukankah aku tidak mengganggu kepentingan Tuan?" katanya sedikit keras.

   "Setan! Kau tidak mau menjawab pertanyaanku? Apakah kau ingin dipaksa dahulu untuk menjawabnya?"

   "Tuan jangan terlalu kasar di rumah orang! Tuan adalah tamu di sini." Lo Hoat masih tetap berusaha mencegah pertumpahan darah. Akhirnya Souw Lian Cu maju ke depan. Ditariknya lengan Lo Hoat ke belakang. Lalu katanya kepada tamu-tamu yang tak diundangnya itu.

   "Harap cuwi duduk dahulu yang baik. Kita bisa berbicara tentang maksud cuwi datang ke sini nanti...kita tak perlu bersitegang leher tanpa alasan yang pasti. Nah, silakan...!" Sebenarnya hati Souw Lian Cu sendiri juga sudah mulai terbakar melihat tingkah laku tamu-tamunya. Sejak Tiauw Kiat Su menyebutnya gadis buntung tadi, hatinya sudah mulai tersinggung. Apalagi ketika ia disangka telah kawin dan mempunyai anak. Namun semuanya itu ditelannya saja di dalam hati, karena ia mengingat sesuatu yang lebih penting, yaitu keselamatan bayi itu dan ibunya. Tapi keinginannya tersebut agaknya tidak terkabul. Tung-hai Nung-jin yang sudah terlanjur bersikap garang itu tampaknya malu untuk mengubah sikapnya. Apalagi bajak laut yang sudah terbiasa bersikap kejam dan sewenang-wenang itu melihat tiada orang yang perlu ditakuti di dalam rumah tersebut.

   "Tak perlu! Kami datang tidak untuk bertamu. Kami datang untuk mencari orang tua itu! Nah, kau tidak perlu ikut campur agar kami tak usah membunuhmu!" bentaknya dengan suara bengis.

   "Benar, nona... eh, nyonya. Kau tak perlu ikut campur dalam urusan ini. Sayangilah kecantikanmu. Kau... eh, dimanakah suamimu?" Tiauw Kiat Su tiba-tiba melangkah maju dan mencoba untuk menggoda Souw Lian Cu. Ternyata Souw Lian Cu juga tak kuasa mengendalikan kemarahannya.

   "Tutup mulutmu! Kalian semua memang manusia tak punya aturan dan sopan-santun sama sekali! Seenaknya saja masuk ke rumah orang! Masih pula berlaku kurang ajar, membentak-bentak dan main paksa lagi! Huh! Ayoh, sekarang pergi dari sini! Pergi!" hardiknya dengan suara menggeledek. Karena marah, otomatis tenaga dalamnya bekerja, sehingga suaranya benar-benar seperti petir yang meledak di telinga para pendengarnya. Tung-hai Nung-jin dan keponakannya tersentak kaget. Mereka sama sekali tidak mengira kalau gadis buntung itu memiliki lweekang sedemikian tingginya. Namun hal itu justru mengelitik hati Tiauw Li Ing malah! Sebagai gadis yang congkak dan gemar membuat kerusuhan, tantangan Souw Lian Cu itu segera ditanggapi dengan gembira sekali.

   "Bagus! Kalau kami tidak mau pergi, kau mau apa? Main paksa juga? Hihi hihii...!" Saking marahnya Souw Lian Cu tak bisa berkata-kata lagi.

   Langsung saja ia menyerang gadis congkak itu. Telapak tangan tunggalnya mendorong lurus ke depan, ke arah ulu hati lawannya. Sederhana saja gerakannya, namun dari telapak tangan itu tiba-tiba mengeluarkan asap kemerah-merahan, seperti halnya kayu bakar yang baru dikeluarkan dari tungku api. Dan pengaruh yang ditimbulkannya ternyata juga sangat hebat. Udara panas terasa membakar ke tubuh Tiauw Li Ing. Mengetahui lawannya memilik ilmu silat tinggi, Tiauw Li Ing semakin menjadi bersemangat lagi. Gadis yang selalu menyombongkan kepandaiannya itu segera mengerahkan ilmu andalannya pula. Sambil berputar ke samping ia menghantam pergelangan tangan Souw Lian Cu. Dan serangkum udara dingin segera menerjang ke depan, memotong pancaran hawa panas yang ditimbulkan oleh serangan Souw Lian Cu.

   " Ceeeeeeeeeeeeess...!" Belum juga tangan mereka bertemu, udara panas dan udara dingin yang mereka timbulkan telah bentrok terlebih dahulu.

   Dan bentrokan tersebut menimbulkan suara berdesis seperti api tersiram hujan. Plaaak. Dan kedua buah telapak tangan itu akhirnya bertemu pula. Selanjutnya, masing-masing telapak tangan tersebut terpental kembali. Tiauw Li Ing meringis kesakitan. Telapak tangannya seperti menyentuh lidah api. Sementara Souw Lian Cu sendiri juga tampak menggigit bibirnya pula, karena tangannya seperti terperosok ke dalam lobang es yang dingin luar biasa. Keduanya lalu berdiri berhadapan. Masing-masing merasa terkejut atas kedahsyatan ilmu lawannya. Terutama Tiauw Li Ing. Gadis itu sama sekali tak menyangka kalau gadis buntung yang dianggapnya lemah itu ternyata menyimpan kekuatan yang luar biasa. Malahan pada benturan mereka yang pertama tadi, kekuatannya masih terasa sedikit kalah dibandingkan dengan kekuatan lawannya itu.

   Dan hal itu semakin menambah kegusarannya. Dikerahkannya seluruh kekuatannya kemudian menyerang kembali dengan dahsyatnya. Souw Lian Cu pun tidak mau tinggal diam pula. Dikerahkannya tenaga sakti Ang-pek Sinkang warisan ayahnya, kemudian menyambut serangan lawannya itu dengan tidak kalah garangnya. Demikianlah, mereka pun lalu terlibat dalam pertempuran yang hebat dan seru. Tentu saja keributan tersebut menyebabkan bayi yang sedang berada di dalam perawatan khusus itu menjadi gelisah dan menangis keras. Lo Hoat tak tega mendengarnya. Bergegas ia menghampiri. Namun Tung-hai Nung-jin cepat mencegatnya. Tanpa memberi peringatan terlebih dahulu iblis dari Lautan Timur itu menyerang dengan paculnya.

   "Yiuuss...!" Mata pacul yang tajam itu menyambar leher Lo Hoat. Lo Hoat dengan tangkas mengelak. Tiba-tiba tangannya sudah memegang ruyung berantai, yaitu tiga potong besi pendek yang masing-masing dihubungkan dengan rantai pendek pula. Ruyung tiga ruas itu segera menyambarnyambar dengan dahsyatnya mengurung pacul lawannya. Dan keadaan yang seperti itulah yang kemudian disaksikan oleh Kwa Siok Eng! Kwa Siok Eng menjadi kaget dan bingung. Sekejap ia tak tahu apa yang mesti dia lakukan. Semuanya berlangsung dengan mendadak dan tak disangka-sangka sebelumnya. Dan pada saat itulah tiba-tiba Tiauw Kiat Su datang mendekatinya. Dengan mulut meringis itu menegurnya.

   "Ahaa... ternyata masih ada penghuni lain di rumah ini!" Kwa Siok Eng melangkah mundur, namun segera berhenti tatkala teringat keadaan di kamar pengobatan.

   "Kalian siapa...? Mengapa tiba-tiba membuat onar di rumahku ini?" sapanya pura-pura tidak mengenal mereka. Tiauw Kiat Su tertawa.

   "Ah, nyonya tidak mengenal kami? Hahaha... dengarlah! Kami datang dari Lautan Timur. Kami berdua adalah putera Tung-hai-tiauw. Dan orang tua itu adalah pamanku, Tung-hai Nung-jin. Masakan nyonya belum mendengar nama pamanku itu?" katanya seraya menunjuki ke arah Tung-hai Nung-jin.

   "Tung-hai Nung-jin...? Mengapa dia sampai datang kemari? Ada urusan apa sebenarnya?" Kwa Siok Eng pura-pura terkejut.

   "Ketahuilah, nyonya. Kami bertiga sedang mencari seorang wanita muda berwajah cantik. Wanita itu mengenakan baju kulit ular. Dia berada di sekitar tempat ini. Tadi secara tidak sengaja kami melihat kakek tua itu berlari mengendap-endap menuju ke rumah ini. Dia menggendong sesosok tubuh manusia. Tapi ketika kami tanyakan, kakek tua itu tidak mau berterus terang. Itulah sebabnya kami menyerang..."

   "Ahh...!" Kwa Siok Eng berdesah. Serba sedikit nyonya rumah ini mulai mendapat gambaran tentang wanita muda yang kini sedang dirawat oleh suaminya itu. Tampaknya wanita muda itu adalah musuh keluarga Tiauw, dan sekarang sedang dikejar-kejar sampai di tempat ini.

   "Hmm, siapakah nama nyonya? Apakah kakek tua itu ayahmu? Siapakah dia? Kulihat kepandaiannya juga tidak rendah. Bisa melayani pamanku sedemikian lamanya." Tiauw Kiat Su bertanya kepada Kwa Siok Eng lalu mengalihkan pandangannya ke arena pertempuran.

   "Dan.. gadis buntung itu! Siapakan dia? Benarkah bayi yang ada di tengah-tengah barisan lilin itu anaknya?" Kwa Siok Eng tidak segera menjawab. Pikirannya sedang bingung memikirkan kemelut yang kini sedang dihadapinya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menolong jiwa wanita muda dan bayinya yang kini sedang berjuang untuk hidup itu. Apa lagi keduanya harus lekas-lekas mendapatkan pertolongan sekarang.

   "Tapi... tapi rumah ini sedang kedatangan perusuh. Dan Souw Lian Cu yang seharusnya menyumbangkan darahnya kini sedang bertempur dengan musuh. Oh... bagaimana ini?" pikirnya dengan gelisah.

   "Huh! Mengapa nyonya diam saja?" tiba-tiba Tiauw K iat Su membentak tak senang.

   "Aku... oh... ini..." Kwa Siok Eng menjadi semakin gugup dan berkeringat. Apalagi ketika suaminya tiba tiba berseru dari dalam,

   "Eng-moi! Suara apakah itu? Mengapa ribut benar? Dimanakah Souw Lian Cu? Mengapa lama sekali? Lekaslah...!" Tiauw Kiat Su terperanjat, dan Kwa Siok Eng pun menjadi pucat pula.

   "Siapakah dia? Suamimu? Kenapa dia tak keluar menemui kami?" pemuda itu menggeram, lalu melangkah ke ruang pengobatan.

   "Berhenti!" Kwa Siok Eng menjerit keras, kemudian melesat ke depan, menghalang di muka Tiauw Kiat Su. Tiauw Kiat Su tersenyum dingin. Wajahnya berubah menjadi kejam dan haus darah.

   "Hahaha... agaknya ada sesuatu yang kalian sembunyikan. Apakah itu? Wanita yang sedang kucari-cari itu? Bagus! Akan kucari dia!"

   "Jangan!" tanpa terasa Kwa Siok Eng berteriak pula.

   "Eng-moi! Kenapa kau berteriak-teriak? Ada apa di situ?" Chu Seng Kun berseru lagi. Sama sekali tak menyangka kalau di ruang tengah telah terjadi pertempuran yang menegangkan. Seluruh perhatiannya hanya tercurah kepada Tui Lan yang sedang meregang nyawa menghadapi maut.

   "Rumah kita kedatangan rombongan bajak laut dari Lautan Timur!" Kwa Siok Eng menjawab.

   "Tapi kau tak perlu khawatir. Kami bertiga sanggup menghalau mereka."

   "Rombongan bajak laut dari Lautan Timur?" Chu Seng Kun mengulang tak percaya.

   "Tempat ini ada ratusan lie jauhnya dari pantai. Bagaimana mereka bisa sampai kemari?" Tiauw Kiat Su tertawa terbahak-bahak.

   "Lihat! Suamimu tak percaya kalau kami bisa sampai di tempat ini. Hahaha...! Hayolah, sebutkan namamu sebelum mati! Aku akan mengguratkan nama itu di batu nisanmu nanti, hahaha!" Kulit muka Siok Eng yang putih halus itu menjadi merah padam. Dan hatinya tiba-tiba menjadi muak pula menghadapi sikap Tiauw kiat Su yang sombong dan kurang ajar itu. Mata yang semula tampak ketakutan karena harus memikirkan nasib sang suami dan orang-orang yang ditolongnya itu kini tampak kaku dan dingin. Dan itulah sebenarnya watak asli dari Kwa Siok Eng, karena jelek-jelek dia adalah puteri K wa Eng Ki Ketua Tai-bong-pai (Partai Kuburan Besar) yang terkenal itu.

   "Hemmh... tidak mudah membunuh aku. Cobalah!" geramnya seraya mengerahkan tenaga sakti Hio-yen-sinkangnya (Tenaga Sakti Asap Hio), yaitu tenaga sakti andalan kaum Tai-bong-pai. Kabut tipis berbau wangi tiba-tiba menyelimuti tubuh Kwa Siok Eng. Kabut itu tercipta dari lapisan keringat Siok Eng yang menguap karena adanya perubahan suhu badan secara mendadak. Oleh sebab itu kabut tersebut segera hilang dengan sendirinya.

   Tiauw Kiat Su melangkah mundur setindak. Ilmu yang diperlihatkannya oleh lawannya itu mengingatkannya kepada cerita yang pernah didengarnya dari ayahnya. Yaitu cerita tentang sebuah partai persilatan besar di daerah See-hek, yang pada se ratus tahun yang lalu didirikan oleb Cui-beng Kui-ong, salah seorang dari Empat Datuk Besar Persilatan zaman itu. Maka pemuda itupun tak mau berlaku sembrono lagi. Langsung saja ia mengerahkan ilmu yang didapatnya dari Giok-bin Tok-ong, gurunya yang baru. Mendadak serangkum bau busuk yang sangat memuakkan tersebar dari dalam tubuhnya membuyarkan bau wangi yang tadi berhembus dari dalam tubuh Kwa Siok Eng. Begitu busuknya bau itu sehingga orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut terasa mau muntah karenanya.

   "Awas, udara beracun!" Kwa Siok Eng yang sedikit banyak sudah hapal akan ciri-ciri racun itu berteriak memperingatkan kawan-kawannya, kemudian cepat menerjang sumber racun tersebut untuk menghentikannya.

   Tiauw Kiat Su melenting pergi, mencari tempat yang luang di dalam ruangan itu. Kwa Siok Eng segera mengejarnya. Dan mereka pun lalu terlibat dalam pertarungan sengit dan mendebarkan. Masing-masing memiliki ilmu yang aneh dan mengerikan, sehingga untuk beberapa saat lamanya belum dapat dipastikan, ilmu siapa yang lebih tinggi. Sementara itu pertempuran antara Souw Lian Cu melawan Tiauw Li Ing sudah mulai merayap ke tingkat yang paling tinggi pada ilmu mereka. Dan pada puncak ilmu mereka ternyata ilmu mereka mempunyai banyak kemiripan. Ternyata masing masing memiliki tenaga dalam yang bersifat Im dan Yang secara berbareng. Hanya bedanya, kalau Tiauw Li Ing harus mengeraskannya secara berbareng, yaitu sekaligus yang bersifat Im dan Yang.

   "Hmm...aku mengenal ilmu yang kau pakai ini! Coba katakan, apa hubunganmu dengan Aliran Im-Yang-kauw! Mengapa seorang puteri bajak laut seperti kau ini memiliki ilmu silat Im-Yang-kun-hoat dari Aliran Im-Yang-kauw?" di dalam kesibukannya Souw Lian Cu masih sempat menilai ilmu silat lawannya. Ternyata Tiauw Li Ing pun masih sempat menjawab pula,

   "Apa yang perlu diherankan? Apakah seorang keturunan bajak laut seperti aku ini tidak boleh mempelajarinya? Hi-hi-hi-hi...!"

   "Jadi kau benar-benar menguasai Im-Yang-kun-hoat dari Im-Yang-kauw? Lalu... siapakah suhumu?" Souw Lian Cu mendesak penasaran.

   "Kalau kukatakan siapa guruku, kau tentu kaget atau... mengatakan bahwa aku seorang pembual. Hi-hi-hi..."

   "Begitukah? Hmmh! Coba katakan!" Lian Cu mendesak dan berhenti menyerang. Tiauw Li Ing tertawa melengking sebelum menjawab. Lalu katanya mantap,

   "Guruku adalah tokoh terlihai di dalam Aliran Im-Yang-kauw. Kau tahu siapa yang terlihai di dalam aliran itu?"

   "Kau maksudkan... Toat-beng-jin (Manusia Pencabut Nyawa)? Tai-si-ong (Kepala Kuil Agung)...? Atau... Kauw Cu-si (Pengurus Agama) Tong Ciak?" Souw Lian Cu menyebutkan beberapa orang tokoh Im-Yang-kauw yang dikenalnya.

   "Ah, pengetahuanmu benar-benar dangkal sekali. Kenapa kau sebut nama-nama itu? Mereka hanya merupakan tokoh tokoh kelas dua di dalam aliran itu."

   "Tokoh kelas dua? Kurang ajar! Mereka adalah tokoh-tokoh puncak aliran itu. Kenapa mereka kau katakan sebagai tokoh-tokoh kelas dua?" Souw Lian Cu membentak gemas.

   "Dibandingkan dengan guruku mereka memang termasuk kelas dua? Mau apa lagi? Apakah aku harus mengatakan yang tidak benar?"

   "Baiklah! Baiklah! Kau boleh mengatakan sesuka hatimu! Sekarang sebutkan siapakah gurumu itu?" Tiauw Li Ing tertawa gembira me lihat kegusaran lawannya.

   "Kau tahu... siapakah pemimpin aliran Im-Yang-kauw yang lama? Yang mengundurkan diri karena cacat matanya akibat pibu dengan Put-chien-kang Cin-jin dari Bing-kauw itu?" katanya berteka-teki. Souw Lian Cu terperanjat.

   "Kau maksudkan... bo-sin-ong yang telah mengasingkan diri itu?" desahnya kemudian seperti tak percaya.

   "Nah, kau tak percaya dan menganggapku pembual, bukan?" Souw Lian Cu terdiam tak bisa menjawab. Di dalam benaknya segera terbayang seorang Kakek buta yang amat sakti, yang di dalam Buku Rahasia tercatat sebagal tokoh keenam pada urutan Pendekar Terkemuka dewasa ini. Setingkat di bawah ayahnya, Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Tapi yang ia tahu, orang tua itu sangat baik, seorang pendekar tulen, yang menjunjung tinggi kebajikan dan keluhuran budi. Maka dari itu sungguh amat mengherankan bila orang tua itu sampai bisa mengambil murid gadis binal seperti Tiauw Li Ing.

   "Lo-sin-ong memang buta matanya akibat pibu melawan Put-chien-kang Cin-jin belasan tahun yang lalu. Tetapi... masakan pendekar sakti itu juga buta hatinya, sehingga ia tak bisa merasakan macam apa sebenarnya gadis puteri bajak laut Tung-hai-tiauw itu?" pikirnya di dalam hati.

   "Nah... kau tak mempercayai kata-kataku, bukan? Huh, aku tahu itu!" tiba-tiba Tiauw Li Ing mendengus keras, sehingga Souw Lian Cu tersentak kaget dari lamunannya.

   Dan sekejap kemudian puteri bajak laut dari Lautan Timur itu telah menggenggam kipas besinya serta menerjang Souw Lian Cu kembali. Gadis berlengan tunggal itupun segera mengelak menjauhinya, oleh karena tidak membawa senjata, maka dia cepat mengubah cara bersilatnya. Kali ini ia mengeluarkan ilmu warisan keluarganya yang lain, yang khusus untuk melawan musuh-musuh bersenjata, yaitu Tai-lek Pek-khong-ciang (Pukulan Tangan kosong Bertenaga Mukjijat). Dengan ilmu yang dahsyat ini Souw Lian Cu dapat melukai lawannya dari jarak jauh, tanpa harus menyentuh tubuh musuhnya itu. Dalam jarak tertentu angin tajam yang meluncur dari telapak tangan atau ujung-ujung jari Souw Lian Cu, bisa melukai kulit dan daging lawannya seperti halnya pukulan tangan atau tajamnya ujung pedang biasa.

   "Cussss! Cussss! Cussss!" Angin tajam melesat ke depan menyerang jalan darah su-ki-hiat dan po ki-hiat di dada Tiauw Li Ing ketika ujung jari Souw Lian Cu menotok dari jarak jauh. Dalam kagetnya Tiauw Li Ing cepat membuang dirinya ke samping sambil mengayunkan kipasnya untuk menangkis. Tak! Tak! Cuuuus! Kipasnya tergetar mundur seperti dihantam ujung pedang, sedangkan tubuhnya terdorong ke belakang seperti didesak oleh sebuah tenaga yang maha besar, sehingga Tiauw Li Ing menjadi pucat dan mengumpat-umpat tiada habisnya. Apalagi ketika sudah bisa berdiri tegak kembali, dilihatnya ujung lengan bajunya tampak berlobang seperti bekas disundut api.

   "Gila! Perempuan Gila! Ilmu apakah yang kau keluarkan itu?" jeritnya.

   "Apakah kau takut? Inilah Tai-lek Pek-khong-ciang warisan keluargaku," Souw Lian Cu mengejek.

   "Tai-lek Pek-khong-ciang dari keluarga Souw? Hei... apakah kau mempunyai hubungan keluarga dengan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai?" tanya Tiauw Li Ing dengan suara semakin kaget.

   "Beliau adalah... ayahku!" dengan tenangnya Souw Lian Cu menjawab. Tapi jawaban itu bagaikan petir siang bolong bagi Tiauw Li Ing dan kawan-kawannya. Sama sekali tak mereka sangka kalau gadis buntung tersebut adalah puteri Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang mereka segani itu.Tung-hai Nung-Jin yang sudah mulai bisa mendesak Lo Hoat itu tiba-tiba meloncat mundur. Sambil mengawasi Tiauw Kiat Su ia berkata,

   "Nah... apa kataku? Tampaknya kita telah membentur batu karang lagi hari ini." sungutnya kesal. Sebaliknya Tiauw Kiat Su yang masih bertarung ramai dengan Kwa Siok Eng itu malah tertawa terbahak-bahak untuk menutupi keterkejutannya.

   "Hahaha...! Apa bedanya kalau dia itu anak Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai? Apakah paman sudah lupa pada senjata pek-lek-tanku? Kalau ayahnya saja bisa disingkirkan, maka apa sukarnya melenyapkan anaknya? Hahahaha...!" Diam-diam tersentak juga hati Souw Lian Cu mendengar perkataan Tiauw Kiat Su itu. Benarkah mereka telah menyingkirkan ayahnya? Di mana mereka bertemu dengan ayahnya itu?

   "Bertahun-tahun aku tak berjumpa dan mendengar tentang ayah. Kini ada orang yang berkata bahwa ia telah disingkirkannya. Hmm... benarkah kata-kata orang ini?" pikirnya gelisah. Karena gelisah otomatis serangan Souw Lian Cu menjadi kendor. Dan kesempatan itu benar-benar tak disia-siakan oleh lawannya. Dengan menghentakkan seluruh kemampuannya Tiauw Li Ing menerjang Souw Lian Cu. Tiba-tiba saja kipasnya ia lemparkan ke perut Souw Lian Cu seperti layaknya seorang suku bangsa liar melemparkan pisaunya.

   "Thaaaaar!" Tiba-tiba kipas besi itu meledak sebelum mencapai sasarannya, lembaran-lembaran daun kipasnya terlepas dari tangkai pegangan, melesat terus ke depan, bagai belasan anak panah, menyerang seluruh bagian depan tubuh Souw Lian Cu yang terbuka! Bersamaan dengan itu pula Tiauw Li Ing masih melepaskan lagi belasan batang paku beracun untuk mencegat gerakan Souw Lian Cu kalau mau mengelakkan diri!

   "OeekK...! Ooeek...! Oooooek...?" mendadak bayi yang berada di dalam lingkaran api lilin itu tersengal-sengal. Ternyata separuh dari api lilin tersebut telah padam akibat angin pukulan yang berseliweran di tempat itu.

   "Aaaa!" Lo Hoat yang berada paling dekat dengan bayi itu berdesah cemas. Namun sebelum ia beranjak untuk menolong bayi tersebut, Tung-hai Nung-jin sudah menyerangnya kembali dengan paculnya.

   "Jangan hiraukan bayi itu! Mari kita lanjutkan pertarungan kita!" Lo Hoat cepat mengelak.

   "Tapi... bayi itu! Dia... dia tersengal sengal kedinginan! Dia bisa mati!" teriaknya.

   "Persetan dengan bayi itu! Nyawamu sendiri juga berada di ujung paculku!"

   "Iblis kejam! Iblis tak punyai hati!" Lo Hoat memekik marah, lalu mengayunkan ruyungnya.

   "Oeeeek! Oeeek! Oeeek...!" bayi itu semakin tersengal-sengal. Ternyata tangis bayi itu terdengar pula oleh Kwa Siok Eng yang sedang bertempur melawan Tiauw Kiat Su. Dan seperti juga kawan-kawannya, ia menjadi kaget dan cemas memikirkan bayi yang sedang menghadapi maut tersebut.

   "Oh... anak itu!" la menoleh dan menjerit. Wajahnya pucat pasi. Tapi sekejap saja perhatiannya terpecah, sebuah totokan Tiauw Kiat Su telah menerobos pertahanannya dan tepat mengenai jalan darah Ki-hu-hiat di pundak kirinya.

   "Aduuuuh!" ia mengeluh dan cepat-cepat meloncat mundur untuk menghindari serangan Tiauw Kiat Su yang lain. Namun dengan demikian tangan kirinya telah menjadi lumpuh untuk sementara waktu. Sakitnya pun tiada terkatakan lagi.

   "Kau dengar ucapan pamanku tadi? Hahaha... jangan hiraukan bayi celaka itu! Pikirkanlah saja dulu jiwamu!" Tiauw Kiat Su tertawa.

   "Setan! Kalian memang setan, bukan manusia! Ooough...!" Kwa Siok Eng menggigit bibirnya, lalu menyerang lawannya dengan kemarahan yang meluap-luap. Karena lengan kirinya lumpuh, maka ia menggunakan lengan kanannya untuk memukul. Dalam kemarahannya Siok Eng melepaskan seluruh tenaga saktinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau pengaruhnya benar-benar hebat luar biasa. Serangkum udara dingin berembus mengiringi pukulannya, bagaikan badai salju yang bertiup membekukan. Belum juga pukulan itu menyentuh dada Tiauw K iat Su, pemuda itu sudah menggigil kedinginan.

   "Gila! Ternyata kau masih menyimpan ilmu yang hebat juga!" pemuda itu cepat menggeram sambil mengerahkan lwee kangnya, lalu meronta untuk membebaskan dirinya dari pengaruh udara dingin tersebut. Namun untuk selanjutnya pemuda itu menjadi kaget dan terheran-heran ketika menyaksikan lawannya bersilat dengan cara yang aneh serta mengerikan. Lawannya itu meloncat-loncat dengan tubuh lurus kaku seperti mayat, tapi dengan gerakan yang gesit dan cepat luar biasa. Begitu tangkas gerakannya, baik ketika berputar, membalik, melenting ataupun meliukkan tubuh, sehingga ia menjadi bingung dan sulit menentukan, yang mana bagian kepala atau bagian kaki dari lawannya itu.

   "Perempuan gila! Siapakah kau sebenarnya? Mengapa kau mahir memainkan Ilmu Silat Mayat Mabuk dari Tai-bong-pai?" Tiauw Kiat Su yang terheran-heran itu menjerit marah.

   "Jangan hiraukan siapa aku! Lihat serangan!" Kwa Siok Eng membentak.

   "Bagus! Aku memang tidak peduli siapapun kau ini! Kalau aku tadi bertanya kepadamu, hal itu hanya karena aku ingin mengetahui siapa yang telah kubunuh di rumah ini!" Tapi Kwa Siok Eng tak mau melayani kata-kata pemuda itu. Sebaliknya ia benar-benar melepaskan seluruh kemampuannya untuk melawan pemuda lihai itu. Sayang lengan kirinya telah lumpuh sehingga kehebatan ilmunya itu menjadi berkurang pula karenanya.

   Sementara itu Souw Lian Cu yang berada dalam keadaan yang sulit karena terancam oleh pecahan kipas dan sambaran paku-paku beracun itu tak mampu berbuat banyak lagi. Kemana pun ia bergerak akan tetap terancam oleh senjata rahasia lawan. Oleh karena itu ia segera membulatkan hatinya untuk mengadu jiwa dengan musuhnya. Mula-mula dikerahkannya seluruh tenaga sakti yang diyakininya selama ini untuk melindungi tubuhnya. Kemudian dengan sekuat tenaga ia mengayunkan lengan baju kirinya yang kosong ke depan, untuk menangkis senjata rahasia yang berhamburan ke arah dirinya itu sedapat dapatnya. Setelah itu dengan sisa-sisa tenaganya ia menotok tiga kali ke arah perut, paha dan dada Tiauw Li Ing dengan Tai-lek Pek-khong-ciangnya.

   "Plaaak! Thaakk! Thmgg! Cuuus!" Lengan baju Souw Lian Cu yang berubah keras bagai besi itu menghantam hampir sebagian besar pecahan kipas yang melesat ke arah dirinya.

   Sedangkan pecahan kipas yang lolos dari tangkisan lengan bajunya terpaksa ia biarkan menghunjam ke dalam dagingnya. Sementara itu paku-paku beracun yang dilontarkan oleh Tiauw Li Ing menjadi hilang kegunaannya karena ia sama sekali tak bergerak untuk mengelak dari serangan beruntun tersebut. Souw Lian Cu mengeluh panjang dan jatuh pingsan karena terkena dua buah pecahan kipas di kedua lututnya. Namun bersamaan dengan itu juga lawannya pun terjerembab ke lantai pula, karena bagian paha dan perutnya terluka mengucurkan darah akibat totokan jarinya yang ampuh. Sehingga dengan demikian mereka berdua sama-sama terluka cukup parah. Di dalam arena yang lain, Tung-hai Nung-jin telah mengurung Lo Hoat dengan senjata paculnya.

   Bajak laut yang lihai itu telah sampai pada ilmu puncaknya pula. Ia telah mencopot semua pakaiannya, sehingga ia hanya mengenakan cawat kecil saja. Namun dengan demikian ia justru menjadi lebih berbahaya, karena hal itu berarti dia telah mengetrapkan ilmu andalannya, yaitu Ban-seng-kun (Ilmu Selaksa Bintang). Entah dari mana datangnya, tiba-tiba tubuh Tung-hai Nung-jin yang terbuka itu mengeluarkan keringat yang bukan main banyaknya. Dan keringat itu lalu mengalir, menetes dan kemudian memercik berhamburan ke mana-mana. Terkena pantulan sinar matahari yang masuk melalui lobang jendela, percikan air keringat itu menjadi gemerlapan seperti kunang-kunang yang berterbangan di sawah pada malam hari. Bedanya, selain berbau dan sangat menjijikkan, percikan keringat itu dapat menyakiti atau bahkan dapat melukai kulit lawannya.

   Sudah terkurung oleh pacul lawan, masih juga harus menghadapi percikan-percikan air keringat yang berbahaya itu. Maka sungguh tidak mengherankan kalau sebentar saja Lo Hoat sudah berada di ujung maut. Praktis senjata ruyung yang dipegangnya itu tak bisa dipakai untuk bertahan lagi. Sedikit demi sedikit percikan keringat lawannya mulai melukai kulit dagingnya. Malah beberapa saat kemudian ruyungnya terlempar jatuh oleh gebrakan pacul Tung-hai Nung-jin. Sehingga untuk selanjutnya ia hanya menantikan saat kematiannya saja. Namun demikian ia telah bertekad untuk mati dengan cara ksatria, yaitu berjuang sampai titik darah penghabisan. Sementara itu di arena yang lain lagi, Kwa Siok Eng sebentar-sebentar menoleh ke arah bayi yang tersengal-sengal menghadapi maut itu.

   Dilihatnya lilin-lilin yang menghangatkan bayi tersebut sudah banyak yang padam, sehingga bibir dan kulit muka bayi itu telah menjadi biru kedinginan. Dan Siok Eng yang sudah lama mendambakan seorang anak di dalam keluarganya itu tampak semakin tersentuh hatinya. Akibatnya konsentrasinya menjadi sering terpecah karenanya. Sudah lengan kirinya lumpuh, kini masih sering terpecah pula konsentrasinya. Maka tidaklah mengherankan juga apabila daya perlawanannya semakin lemah pula akhirnya, biarpun ilmu silat Mayat Mabuk itu merupakan ilmu yang mengiriskan, namun Tiauw Kiat Su pun juga memiliki ilmu yang hebat pula. Itulah sebabnya semakin lama ia menjadi semakin terdesak di bawah angin. Malah beberapa saat kemudian lengan kanannya pun juga terpukul lumpuh oleh pukulan lawannya.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aaaaah...!" pekiknya kesakitan.

   "Aaaaaaargh...!?!" terdengar pula raungan Lo Hoat karena perutnya terhunjam oleh pacul Tung-hai Nung-jin.

   Lo Hoat dan Kwa Siok Eng terlempar ke atas lantai dalam waktu bersamaan. Kwa Siok Eng segera bangkit duduk, namun Lo Hoat tak bisa. Kakek tua itu malah terlentang mendekap perutnya. Darah mengucur tak henti-hentinya dari lukanya yang menganga. Namun demikian kakek itu masih tetap sadar dan terang pikirannya. Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su tertawa gembira atas kemenangan mereka. Tapi mereka segera terdiam kembali ketika melihat Tiauw Li Ing terkapar kesakitan di atas lantai. Bergegas keduanya menghampiri. Tapi pada saat itu pula Chu Seng Kun memasuki ruangan tersebut. Dengan badan yang masih tampak lemah sekali karena baru saja mengerahkan segala kemampuannya untuk menolong jiwaTui Lan, lelaki ahli obat itu ternganga menyaksikan keadaan ruang tengah tersebut.

   "Eng-moi...! Kau... kau kenapa?" serunya kaget. Lalu ketika tampak pula olehnya keadaan Souw Lian Cu.

   "Hei? Lian Cu? Dia... dia?" Sementara itu melihat munculnya seorang lawan lagi, Kiat Su tak jadi mendekati adiknya. Dengan garang ia justru menghadapi Chu Seng Kun. Tangan kanannya telah bersiap-siap dengan kipas besinya.

   "Paman, tolong kau lihat Li Ing itu! Biar kuhadapi sendiri orang ini!" bisiknya kepada Tung-hai Nung-jin. Tapi Chu Seng Kun tak mempedulikan sikap Tiauw Kiat Su tersebut. Seluruh perhatiannya sedang terpusat kepada isterinya.

   "Eng-moi...! Siapakah yang melukaimu? Apakah pemuda itu yang membuat onar di rumah kita? Siapakah dia?" desaknya kepada Kwa Siok Eng. Kwa Siok Eng tidak menjawab. Sebaliknya ia bertanya kepada suaminya itu,

   "Koko, bagaimana dengan wanita yang kau tolong itu? Apakah ia masih kuat menunggu tambahan darah dari Souw Lian Cu?" Chu Seng Kun mengangguk.

   "Jangan khawatir. Aku baru saja selesai memberikan tambahan tenaga kepadanya. Ia masih bertahan beberapa waktu lagi untuk menunggu tambahan darah dari Lian Cu. Eh, tapi...kenapakah dengan gadis itu? Ia... ia kelihatan terluka dan tak bisa bangun." katanya seraya menoleh ke tempat Souw Lian Cu terbaring.

   "Dia telah bertempur melawan puteri Tung-hai-tiauw, dan tampaknya mereka sama-sama terluka. Koko, berhati-hatilah. Mereka adalah Tung-hai Nung-jin dan anak-anak Tung-hai-tiauw. Pemuda itu sangat lihai. Dialah yang melukai aku. Sedangkan Lo Hoat dilukai Tung-hai Nung-jin..." Kwa Siok Eng berdesah menahan sakit.

   "Kurang ajar! Mengapa mereka memusuhi kita? Bukankah kita tidak mempunyai masalah atau dendam-kesumat dengan mereka?" Chu Seng Kun menggeram marah. Tapi Kwa Siok Eng cepat mencengkeram lengan suaminya.

   "Koko, kau bersabarlah! Kau baru saja kehilangan banyak tenaga. Keadaanmu tidak baik untuk berkelahi. Jangan kau paksakan dirimu. Biarlah kita mengalah saja kali ini. Lebih baik kau selamatkan dulu bayi itu." bujuknya perlahan.

   "Ya... tapi kenapa mereka memusuhi kita? Apa persoalannya?" Chu Seng Kun tetap meradang. Kwa Siok Eng menghela napas.

   "Ketahuilah, koko. Mereka datang ke sini untuk mencari wanita yang kau tolong itu!" bisiknya.

   "Hahaha..! Baiklah, kalian berdua kuberi waktu untuk saling memberi pesan sebelum mati. Tapi setelah itu kalian akan kukirim ke neraka." tiba-tiba Tiauw Kiat Su tertawa mengejek.

   "Bajak laut keparat...!" Chu Seng Kun mengumpat dan bangkit berdiri dengan marah.

   "Koko...!" Kwa Siok Eng mencoba untuk mencegah,namun tak berhasil. Suam inya sudah terlanjur marah melihat keganasan para bajak laut itu. Chu Seng Kun mengepalkan tangannya di depan Tiauw Kiat Su.

   "Anak muda! Sungguh kejam sekali hatimu! Kita semua belum pernah saling bertemu sebelumnya. Tapi apa sebabnya kau mengumbar kekejaman di rumahku ini?" Sekali lagi Tiauw Kiat Su tertawa terbehak-bahak.

   "Hahaha... agaknya kau sudah mulai pikun, ya? Bukankah pihakmu dulu yang memulainya? Kami datang untuk menanyakan orang yang kami cari. Tapi isterimu berusaha untuk menutupi dan menyembunyikannya. Malah orangmulah yang lebih dahulu menyerang kami..." kilahnya.

   "Tapi tak seharusnya kau berbuat begitu kejam. Semuanya bisa diurus dan diselesaikan dengan baik, tanpa harus bergelimang dengan darah."

   "Tutup mulutmu! Lihat! Pihak kami pun ada yang terluka pula! Persoalan ini sudah tidak bisa didamaikan lagi, meskipun orang yang kalian sembunyikan itu kalian serahkan kepada kami!" Tiauw Kiat Su berteriak.

   "Baik! Kalau begitu marilah kita selesaikan sekarang juga!" Chu Seng Kun berteriak pula dengan marahnya.

   "Kokoooo...?" Kwa Siok Eng masih juga mencoba untuk melunakkan hati suaminya. Tapi Chu Seng Kun sudah terlanjur menyerang lawannya. Meskipun sudah hampir kehilangan sebagian besar tenaga dalamnya, namun serangannya masih tetap berbahaya. Udara hangat terasa menebar menyertai gerakan kaki dan tangannya.

   "Bagus!" Tiauw Kiat Su memuji sambil menghindar. Melihat serangannya dengan mudah dapat dielakkan oleh lawannya, Chu Seng Kun yang telah banyak kehilangan tenaga itu semakin menjadi gusar. Dengan sisa sisa kekuatannya ia terus mengejar Tiauw Kiat Su. Sambil meloncat kedua telapak tangannya menyambar ke depan dalam jurus Kim-hong-pao-geat (Burung Merak memeluk bulan), yaitu salah sebuah jurus dari Kim-hong Kun-hoat (Pukulan Burung Merak) warisan perguruannya. Tapi Tiauw Kiat Su dengan tangkas membungkukkan badannya, kemudian menyelinap di bawah lengan, terus berputar ke belakang Chu Seng Kun. Semua itu dilakukan sambil membabatkan kipasnya ke pinggang lawan. Dari menyerang kemudian balik mendapatkan serangan, membuat Chu Seng Kun menjadi kelabakan setengah mati.

   Apalagi dengan kekuatannya yang telah jauh menyusut itu Chu Seng Kun juga telah kehilangan pula sebagian besar kecepatannya. Untunglah dengan sisa-sisa kekuatannya dia masih mampu menghindarinya juga. Namun bagaimanapun juga akhirnya ia tak mampu memperbaiki kedudukannya lagi. Serangan-serangan beruntun dari Tiauw Kiat Su membuatnya jatuh bangun untuk mempertahankan diri. Sehingga akhirnya dia tak dapat mengelak pula dari beberapa goresan kipas besi lawannya. Darah mulai mengucur dari luka-luka yang diperolehnya. Chu Seng Kun benar-benar berada di ujung maut sekarang. Ilmu silatnya yang tinggi tidak dapat menolongnya lagi. Begitu pula dengan ginkangnya yang terkenal hebat itu. Semuanya terasa mengendor dan hilang kegarangannya akibat terkurasnya tenaga ketika ia menolong persalinan Tui Lan tadi.

   "Hahaha...berdoalah sebelum nyawamu kukirim ke akherat!" Tiauw Kiat Su mengejek, lalu mengirimkan lagi pukulan mautnya dengan tangan kiri.

   "Duuuuk!"

   "Huaakh..." Sekali lagi Chu Seng Kun menerima pukulan di perutnya sehingga muntah. Keadaannya semakin mengkhawatirkan. Mukanya pucat pasi, sedangkan pakaiannya telah penuh dengan noda darah. Dapat dibayangkan betapa cemas gelisahnya Kwa Siok Eng. Dia sendiri masih lumpuh kedua buah lengannya, sementara kawan-kawannya yang lain justru lebih parah dari pada dirinya. Souw Lian Cu belum bisa bangun karena kedua lututnya terluka, sedangan Lo Hoat malah tinggal menunggu saat kematiannya saja. Oleh karena itu ketika sekali lagi suaminya menerima sebuah tendangan keras dari musuhnya, Kwa Siok Eng tak kuasa menahan diri lagi. Dengan nekat ia bangun, dan kemudian melompat menerjang Tiauw Kiat Su. Karena kedua lengannya tak bisa untuk menyerang, maka ia menerjang dengan kedua kakinya.

   "Wuuuut!" Tapi dengan mudah Tiauw Kiat Su menghindarinya. Malah tampaknya pemuda itu tak ingin memperpanjang waktu lagi. Dengan bengis kipasnya menyambar dua kali ke depan. Yang pertama luput, namun yang kedua dengan tepat menyambar leher Kwa Siok Eng!

   "Aaaaaah...I" Wanita itu menjerit keras, kemudian jatuh terbanting ke atas lantai. Sebuah goresan yang dalam melintang di leher sebelah kirinya, sehingga memutuskan urat nadinya. Sekejap ia masih bisa menoleh ke arah suaminya, yang kebetulan juga menggeletak di dekatnya, namun sebentar kemudian kepalanya terkulai lemas tak berdaya. Darah mengalir seperti pancuran dari lehernya.

   "Eng-moi? Oh, Eng-moi...!" Chu Seng Kun memekik sekuat-kuatnya, kemudian merangkak mendekati tubuh isterinya. Wanita itu sudah tak bisa bergerak lagi. Sinar matanya sudah memudar. Namun demikian ia masih merasakan kedatangan suaminya. Jari-jarinya tampak bergetar ketika lengannya disentuh oleh suaminya.

   "Ko...ko...?" bibir itu berdesah lirih untuk yang terakhir kalinya, lalu diam. Diam untuk selama-lamanya.

   "Eng-moiiiiiii..." Chu Seng Kun menjerit serak. Dipeluknya tubuh isterinya seperti tak hendak dilepaskannya kembali. Mendadak, seperti ada tambahan tenaga baru. Chu Seng Kun bangkit berdiri. Matanya nyalang seperti orang yang telah hilang kesadarannya.

   Giginya terdengar gemeretak menahan saluran sisa-sisa lweekangnya, kemudian bagaikan seekor singa terluka ia menubruk Tiauw Kiat Su! Pemuda itu terperanjat, la tak menduga kalau korbannya itu masih bisa bangun, bahkan melompat menyerangnya. Bergegas ia melangkah ke samping tiga kali untuk mengelakkannya, kemudian membuka kipas mautnya untuk menghabisi sekalian jiwa lawannya itu. Namun pada saat yang bersamaan tiba-tiba Lo Hoat menerkam kedua kakinya! Kakek tua yang belum juga menemui ajalnya itu ternyata benar-benar memanfaatkan kesempatan yang tiba-tiba berada di depannya. Melihat Tiauw Kiat Su melangkah dan berdiri di dekatnya, ia langsung mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menerkam pemuda itu. Kesepuluh jari tangannya mencengkeram paha sehingga berdarah!

   "Bangsat Tua Bangka...!" Tiauw Kiat Su mengumpat kotor sebelum ia jatuh tertelungkup bersama-sama dengan Lo Hoat. Dan kesempatan itu cepat dipergunakan pula oleh Chu Seng Kun. Lelaki ahli obat itu cepat menubruk kembali untuk mengadu nyawa. Tapi Tiauw K iat Su ternyata lebih cepat lagi. Sambil meronta untuk melepaskan kedua kakinya, pemuda itu mengecutkan lembaran kipas besinya.

   "Whuuuut! Singgggggg! Singggg!" puluhan batang jarum menyongsong Chu Seng Kun.

   "Aeaaauuuuuh!" ahli obat itu mengeluh keras ketika jarum-jarum beracun tersebut menancap semua ke dalam tubuhnya. Dan suara keluhannya itu segera diikuti pula oleh suara jeritan maut Lo Hoat, yang remuk kepalanya dihantam kaki Tiauw Kiat Su! Tiauw Kiat Su cepat membebaskan kakinya dari cengkeraman Lo Hoat dan mengobati luka-lukanya.Sedangkan Chu Seng Kun yang tertembus puluhan batang jarum itu tampak terhuyung-huyung jatuh di samping tubuh Souw Lian Cu. Sepintas lalu sudah dapat dilihat bahwa jiwanya tidak bisa ditolong lagi.

   "Tua Bangka keparat!" Tiauw Kiat Su mengumpat tiada habisnya.

   "Sudah mau mati saja masih bisa melukai kakiku! Kurang ajar...!" Tung-hai Nung-jin datang mendekat bersama Tiauw Li Ing. Gadis itu masih kelihatan pucat wajahnya, meskipun luka-lukanya telah diobati oleh pamannya.

   "Sudah kau bereskan semuanya Kiat Su?" orang tua itu bertanya.

   "Sudah. Tapi si Tua-renta yang berkelahi dengan paman tadi sempat melukai pahaku juga. Aku terkecoh. Kukira dia sudah mati tadi. Huh!"

   "Kalau begitu... marilah kita cari orang yang digendong Bangsat Tua itu! Siapa tahu orang itu benar-benar wanita yang kita cari?"

   "Marilah, paman!" Tiauw Kiat Su menyahut, lalu mendahului menyelinap ke pintu belakang. Berhati-hati Tung-hai Nung-jin menuntun Tiauw Li Ing, mengikuti langkah pemuda itu. Sebentar kemudian ruangan itu menjadi sepi pula. Semuanya tampak diam tak bergerak, kecuali orok kecil di atas meja itu. Biarpun sudah tak bisa menangis lagi, namun orok itu belumlah mati, Sebentar-sebentar masih tampak gerakan kaki atau kepalanya, walaupun sangat lemah sekali. Air mendidih yang ditaruh Lo Hoat di bawah meja itu ternyata masih mampu menolong bocah itu dari kebekuan. Souw Lian Cu yang pingsan itu tersentak kaget sehingga siuman dari pingsannya ketika lengan Chu Seng Kun tiba tiba bergerak menyentuhnya. Dan gadis itu segera terkejut setengah mati menyaksikan keadaan di sekelilingnya!

   "Chu siok-siok (paman Chu)...?" bibirnya bergetar lirih hampir menangis.

   "Apa... apa yang telah terjadi? Ba-bagaimana bi-bisa... sampai terjadi begini...? Paman? Paman...?" Chu Seng Kun yang kulitnya sudah membiru karena terkena racun itu ternyata juga belum mati. Lelaki ahli obat itu tampaknya masih menyimpan sesuatu yang hendak ia sampaikan kepada Souw Lian Cu, sehingga ia masih mampu bertahan untuk beberapa saat lamanya. Dan kini melihat keponakannya itu sudah siuman pula, ia segera mengerahkan sisa-sisa kekuatannya.

   "Lian Cu...? Kaukah itu? Ah, benar! Terima kasih... oh, Thian... terima kasih." bisiknya perlahan, hampir-hampir tidak terdengar oleh Lian Cu. Lalu,

   "Lian Cu, dengarlah...! Sampaikan permintaan maafku kepada Ban-hoat Sian-seng, karena aku ternyata tak bisa memenuhi permintaannya. Dan katakan juga kepada Ban-hoat Sian-seng bahwa aku sama sekali tak tahu-menahu tentang Buku Rahasia itu."

   "Paman...?"

   "Sudahlah! Jangan banyak memotong kata-kataku! Kita tak mempunyai banyak waktu lagi. Dengarlah... pesanku! Khabarkanlah kematianku ini kepada Chu Bwee Hong...! Dan... dan kau jangan terlalu menyusahkan ayahmu! Kembalilah kepadanya. Ayahmu sangat mencintaimu. Ia... pernah mengatakannya kepadaku. Hatinya sa... Sangat sedih memikirkanmu...!"

   "Paman...!" Souw Lian Cu tak kuasa menahan air matanya. Ia menangis terisak-isak.

   "Selain dari pada itu... Lian Cu, aku masih mempunyai sebuah permintaan lagi kepadamu. Yaitu... lanjut... lanjutkanlah usaha pamanmu untuk menolong wanita itu! Selamatkanlah wanita itu beserta bayinya...!"

   "Tapi, paman... bagaimana aku harus menyelamatkan mereka? Aku..."

   "Jangan khawatir, aku telah mempersiapkan segalanya.n Aku telah membawa wanita itu ke ruangan bawah tanah tadi. Dan..., kau dapat membawa pula bayi itu ke sana... karena... karena salah satu pintunya... ada disini. Kau putarlah tiang besar di dekatmu itu, nanti... kau akan melihat lobang di lantai pojok ruangan itu! Kau masuklah! Dan kemudian tutuplah kembali pintu lobang itu dengan menarik sebuah tangkai besi yang ada di dekat lobang itu! Kau... kau... bersedia Lian Cu?" Souw Lian Cu menghapus air matanya, lalu mengangguk.

   "Baik paman..."

   "Bagus! Nah, sekarang... te-terimalah jarum panjang ini! Ja-ja-jarum i-ini... berlobang di tengah-tengahnya. Setelah kau merawat bayi itu nanti, kau... kau ha-harus lekas-lekas... menyumbangkan beberapa cangkir darahmu kepada wanita itu. Sebab... sebab cuma darahmulah yang... yang kebetulan cocok dengan darahnya. Tusukkanlah jarum ini ke urat-nadimu dan urat-nadinya, kemudian... ouuuugh... ouuuuugh..."

   "Paman...?" Souw Lian Cu berdesah memanggil pamannya.

   "...Kemudian... kerahkanlah tenaga saktimu untuk mengalirkan darahmu ke... ke tubuhnya! Mudah-mudahan... kau berhasil... berhasil menyelamat... hkk!" Kepala Chu Seng Kun tiba-tiba terkulai dan tak bisa meneruskan ucapannya. Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.

   "Oh, pamaaaaan...!" Souw Lian Cu menjerit kecil dan segera terisak-isak kembali.

   Tapi begitu ingat akan pesan pamannya, Souw Lian Cu segera mengeraskan hatinya. Dia harus cepat-cepat melaksanakan pesan itu sebelum lawan-lawannya kembali ke ruangan tersebut. Souw Lian Cu cepat mengerahkan lweekangnya, lalu ditotoknya beberapa buah jalan darah di-atas lututnya untuk menghilangkan rasa sakit. Setelah itu ia lalu beringsut mendekati tiang besar yang ditunjuk oleh pamannya tadi dan memutarnya sekuat tenaganya. Terdengar suara bergerit ketika tiang itu berputar setengah lingkaran, dan di pojok ruangan tiba-tiba menganga sebuah lobang kecil, yang cukup untuk lewat satu orang. Souw Lian Cu bergegas menyeret kakinya untuk mengambil bayi itu, dan membawanya ke dalam lobang tersebut. Lapat-lapat telinganya masih mendengar cacian dan umpatan Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su yang datang kembali ke ruangan itu.

   Souw Lian Cu cepat-cepat menutup pintu lobang tersebut dan turun ke bawah. Dan kemudian ia pun telah berada di dalam sebuah kamar yang bersih dan teratur. Sebuah kamar yang cukup luas dengan perabotannya yang cukup lengkap pula. Ada meja, almari, tempat tidur, rak buku dan sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh pamannya, Souw Lian Cu menemukan wanita yang baru melahirkan itu di atas tempat tidur. Dilihatnya wanita itu sudah siuman dan menatap ke arahnya. Bibirnya yang pucat seperti kapas itu bergetaran, seolah-olah akan berbicara kepadanya, namun tak kuasa. Kemudian mata yang bening itu tampak menitikkan air ketika bayi itu ia letakkan di sisinya. Dan air mata itu terus saja mengalir, semakin lama semakin deras begitu ia berusaha menyelamatkan bayi yang kedinginan itu dengan saluran lweekangnya.

   "Oeeeek! Oeeeek! Oeeeeek...!" akhirnya bayi tersebut dapat menangis lagi setelah ia pijat dan ia gosok beberapa saat lamanya. Souw Lian Cu pun merasa sangat lega. Lalu diambilnya selimut tebal dari dalam almari untuk menghangatkan bayi itu. Sekilas dilihatnya wanita muda itu memandang dengan sinar mata berterima kasih kepadanya.

   "Tenanglah! Anakmu selamat..." katanya membesarkan hati wanita muda itu. Souw Lian Cu lalu mengambil sebuah kursi, kemudian duduk melepaskan lelah. Kepalanya mulai terasa pusing sekarang. Agaknya racun yang melekat pada kipas yang melukai lututnya itu mulai menunjukkan pengaruhnya lagi. Tapi ketika ia membungkuk melihat luka itu, tiba-tiba jarum panjang pemberian pamannya tadi terjatuh ke lantai.

   "Ahhh...??" Souw Lian Cu berdesah kaget, teringat akan pesan pamannya tadi. Cepat jarum tersebut diambilnya, lalu menghampiri Tui Lan.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 56 Darah Pendekar Eps 36 Pendekar Penyebar Maut Eps 9

Cari Blog Ini