Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 56


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 56




   Malahan pada suatu saat keduanya mengeluarkan jurus yang sama pula, sehingga benturan-benturan yang sangat keras tidak bisa dielakkan lagi.Lo-si-ong dan Tiau Li Ing menyaksikan pertempuran tersebut dengan hati tegang. Tiau Li Ing yang mengetahui betapa hebatnya kesaktian Hek-eng-cu itu menjadi gelisah sekali terhadap keselamatan Chin Yang Kun. Meskipun gadis itu sedang marah dan kecewa kepada Chin Yang Kun, namun tak dapat dipungkiri hatinya masih terpaut kepada pemuda itu. Sebaliknya, Lo-si-ong yang buta itu, meskipun tidak dapat melihat langsung pertempuran mereka, tetapi dengan indera tubuhnya yang sudah sangat terlatih, ia bisa menduga-duga apa yang telah terjadi.

   "Tenanglah, cucuku...! kau tak perlu mengkhawatirkan nasib temanmu itu. Biarpun mereka bertanding dengan ilmu yang sama, tapi aku dapat merasakan perbedaan perbedaannya."

   "Berbeda...? Apanya yang berbeda, kek? Ilmu silat mereka sama, jurus-jurus yang mereka keluarkanpun sama pula. Kalau toh berbeda...itu cuma karena Hek-eng-cu Iebih tangkas dan lebih mendalami ilmu tersebut!" Tiau Li lng bertanya dengan kening berkerut. Lo-si-ong tertawa perlahan, sehingga mulutnya yang ompong tak bergigi lagi itu terbuka dengan jelas.

   "Kau keliru, cucuku. Kalau kau katakan bahwa Hek-eng-cu itu lebih cepat dan gesit gerakannya, itu memang benar. Siapapun sudah tahu bahwa Hek-eng-cu mempunyai ginkang yang hebat sekali. Tapi kalau kau katakan bahwa Hek-eng-cu itu lebih dalam ilmunya dari pada Chin Yang Kun... hmm, kau salah! Yang terjadi justeru sebaliknya malah! Meskipun mereka melakukan gerakan yang sama, tetapi apa yang dilakukan oleh Chin Yang Kun ternyata lebih baik dan lebih bermutu dari pada Hek-eng-cu..."

   "Lebih baik dan lebih bermutu? Apanya yang lebih baik? Kulihat mereka sama-sama tangkasnya..." sekali lagi Tiau Li Ing memotong perkataan Lo-si-ong dengan wajah tak mengerti. Tangan Lo-si-ong terangkat, lalu menepuk-nepuk pundak Tiau Li Ing.

   "Li Ing, memang masih sulit bagimu untuk melihat perbedaan-perbedaan itu. Tapi suatu saat kau pun akan bisa juga melihatnya, hanya saja mulai sekarang kau harus belajar lebih giat lagi." Tiba-tiba wajah Tiau Li Ing menjadi murung sekali.

   "Ohh! Tidak...! Aku tidak berminat lagi untuk belajar silat..." desahnya seperti berputus-asa. Tapi Lo-si-ong segera menutup mulutnya.

   "Ssstt! Lihatlah...!" orang tua itu berbisik sambil memasang telinganya dengan sungguh-sungguh. "Tampaknya mereka sama-sama mengeluarkan jurus yang sama, sehingga kedua kepalan mereka saIing beradu satu sama lain. Tapi karena gerakan Chin Yang Kun lebih baik dan lebih betul, maka jurus yang dilakukan oleh pemuda itu lebih menampakkan hasilnya dari pada jurus yang dilakukan oleh Hek-eng-cu... Hei, lihat! Benar bukan perkataanku? Lihat... Hek-eng-cu terjatuh kesakitan." orang tua itu berseru gembira. Tiau Li lng memandang ke arah pertempuran. Gadis itu benar-benar melihat Hek-eng-cu terpelanting karena beradu kepalan dengan Chin Yang Kun! Namun demikian dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang maha hebat, iblis berkerudung itu cepat-cepat melenting kembali, sehingga tubuhnya tidak jadi menyentuh tanah. Meskipun begitu iblis itu telah merasa malu bukan main.

   "Gila...!" Hek-eng-cu mengumpat. "Darimana kau mempelajari ilmu silat itu? Mengapa ilmu silat itu sudah tidak sesuai lagi dengan aslinya?" Chin Yang Kun tersenyum puas melihat keberhasilannya. Dan di dalam hati pemuda itu semakin percaya kepada nenek buyutnya yang telah tiada.

   "Hei? Siapa bilang ilmu silat Hok-te Ciang-hoatku tadi sudah tidak sesuai lagi dengan aslinya? Hmmh... mengapa sebagai seorang ahli kau tidak bisa menilainya? Dari hasilnya saja setiap orang tentu bisa melihat, bahwa ilmu silatmu itulah yang telah menyimpang dari aslinya." pemuda itu menerangkan, lalu lanjutnya lagi. "Ketahuilah...,! Jurus Menatap Lantai menyembah Raja tadi diciptakan oleh mendiang Raja Chin yang ke tiga, yaitu Raja Chin Luan. Dan jurus itu khusus diciptakan dan dipersiapkan oleh beliau untuk menghadapi Raja Chouw yang menduduki istana kerajaan Chin pada waktu itu. Ketika Baginda Raja Chin Luan diseret ke depan Raja Chouw dan dipaksa untuk berlutut didepan raja penakluk itu, Baginda Raja Chin Luan lalu mengeluarkan jurus Menatap Lantai Menyembah Raja itu. Dengan telapak tangan penuh Iweekang Baginda Raja Chin Luan menghantam lutut kiri Raja Chouw sehingga remuk! Oleh karenanya dalam jurus Menatap Lantai Menyembah Raja ini, tangan kanan kita bergerak dari atas ke bawah seperti layaknya sebuah kaki yang hendak memasang kuda-kuda. Dan karena bergerak seperti kaki, maka tumpuan tenaga kitapun terletak pada bahu, bukan dari pinggang... seperti yang kau lakukan tadi."

   Pemuda itu menerangkan atau lebih tepatnya membuka rahasia jurus Menatap Lantai Menyembah Raja kepada Hek-eng-cu, seperti halnya dulu nenek buyutnya menerangkan hal tersebut kepadanya.

   "Selain kau tadi salah dalam menyalurkan tenaga saktimu, gerakan tubuhmu juga masih terlalu tegak dan kurang membungkuk sedikit. Meskipun kepalamu sudah menunduk, tapi matamu masih dapat melihat aku sebagai lawanmu. Sehingga jurusmu tadi lebih tepat disebut Menatap Kaki Menghantam Lutut dari pada Menatap Lantai Menyembah Raja! Hmm...untunglah aku tadi tidak mengerahkan seluruh Iweekangku. Kalau aku tadi mengerahkan seluruh tenagaku, niscaya lenganmu sudah patah..."

   Dapat dibayangkan betapa merahnya muka di balik kerudung hitam itu. Namun karena perkataan lawannya itu memang terbukti dan masuk akal, maka iblis yang banyak akalnya itu tak bisa membantah atau menyanggahnya lagi.Dan untuk menutupi perasaan malunya, iblis itu segera mengerahkan tenaga sakti Pat-hong-sinkangnya. Yang bergejolak di dalam benak iblis itu sekarang hanyalah membunuh mati pemuda yang telah membuatnya malu itu! Perlahan-lahan tangan yang gemetar itu telah memegang sepasang pisaunya lagi.

   "Bocah sombong...! Kini aku tak bisa mengampunimu lagi! kau bersiaplah! Pisauku ini akan mengerat tulang dan dagingmu, sepotong demi sepotong, sehingga darahmu akan terkuras habis dan tak bisa berdiri lagi..." Asap tipis kehitam-hitaman mengepul di atas kepala Hek-eng-cu, suatu tanda bahwa iblis itu benar-benar telah mengerahkan seluruh kesaktiannya. Oleh karena itu Chin Yang Kun juga tidak berani berlaku sembrono Iagi. Pemuda itu tahu bahwa dirinya tak mungkin bisa melawan ginkang Hek-eng-cu yang tersohor itu. Maka untuk menghadapi keIincahan dan kegesitan iblis itu, Chin Yang Kun segera membentengi tubuhnya dengan Liong-cu I-kangnya yang maha dahsyat itu pula. Dan untuk membatasi gerak langkah lawannya yang cepat seperti angin itu Chin Yang Kun segera bersiap-siap untuk bertempur dalam jarak jauh.

   "Sayang aku tak membawa senjata untuk melawan pisaunya. Hmm, tampaknya hari ini harus benar-benar mengerahkan seluruh kemampuanku." Chin Yang Kun mengeluh di dalam hatinya.

   "Hei! Kenapa kau tidak lekas-lekas mengeluarkan senjatamu? Jangan salahkan pisauku kaIau kau terluka atau tak bisa menahannya nanti...!" Hek-eng-cu menggeram dan bersiap-siap menyerang.

   "Kau mulailah! Aku memang tidak pernah membawa senjata..." Chin Yang Kun menantang seraya membetulkan letak bungkusan pakaian yang terikat di atas pinggangnya.

   "Kurang ajar...!" Hek-eng-cu yang semakin merasa terhina itu menjerit dan menyerang dengan buasnya. Bagaikan kilatan halilintar sepasang pisau itu berkelebat ke arah leher dan ulu hati Chin Yang Kun! Sepintas lalu tangan yang tergenggam itu seperti tidak memegang apa-apa. Itulah sebabnya ilmu silat yang sedang dikeluarkan oleh Hek-eng-cu ini mendapat sebutan Kim-Iiong Sin-kun atau Kepalan Sakti Naga Emas!

   Dan pada zamannya Bit-bo-ong asli, iImu silat ini hampir tak pernah mendapatkan tandingan. Melihat lawannya menggerakkan pisau ke arah leher dan ulu hatinya, Chin Yang Kun segera melangkah ke samping dua tindak. Kemudian sambil meliukkan badannya ke depan, pemuda itu menotok ke arah tulang rusuk Hek-eng-cu bagian kiri bawah, yaitu pada jalan darah leng-siu-hiat. Begitu serangannya gagal dan kemudian malah mendapatkan serangan balik dari lawannya, Hek-eng-cu buru buru menarik sepasang pisaunya. Dengan cepat ujung sepatunya menotol ke tanah, sehingga tubuhnya melesat ke atas seperti burung meninggalkan sarangnya. Ketika tubuhnya berada di atas Chin Yang Kun, iblis berkerudung itu kembali menyerang dengan kedua bilah pisaunya. Kali ini yang diincar adalah ubun-ubun kepala Chin Yang Kun!

   "Sungguh lihai...!" Chin Yang Kun berdesah seraya menarik kembali tangannya, lalu bergeser setengah langkah lagi ke depan, sehingga serangan lawannya itu juga menemui tempat kosong pula.

   "Hmmh...!" Hek-eng-cu menggeram penasaran, lalu sebelum tubuh meluncur kembali ke atas tanah kakinya menendang ke arah punggung Chin Yang Kun. Dengan tangkas Chin Yang Kun memutar badannya pula. Siku tangan pemuda itu dengan cepat menghantam tumit Hek-eng-cu! Dhuuuk! Chin Yang Kun terdorong ke samping dan hampir jatuh tertelungkup. Sebaliknya tubuh Hek-eng-cu yang berada di atas itu juga terpelanting dengan kuatnya, sehingga menghantam batang pohon yang-liu (cemara) yang tumbuh di dekat pintu rumah. Lagi-lagi Iweekang Chin Yang Kun menunjukkan keunggulannya bila dibandingkan dengan Iweekang Hek-eng-cu! Dan hal itu semakin membuat penasaran Hek-eng-cu!

   "Anak gila! Awas, kubunuh kau...! Kubunuh kau...!" iblis berkerudung itu menjerit-jerit seraya menyerbu Chin Yang Kun kembali dengan ganasnya. Dan pertempuran selanjutnya sungguh-sungguh dahsyat tidak terkira. Tubuh Hek-eng-cu berkelebat kesana kemari dengan gesitnya seperti burung walet menyambar mangsanya, sementara Chin Yang Kun yang telah membentengi tubuhnya dengan Liong-cu I-kang itu tampak bergerak lamban namun pertahanannya kelihatan kokoh dan rapat sekali. Sepuluh jurus. Dua puluh jurus. Dan akhirnya tiga puluh juruspun telah berlalu. Hek-eng-cu benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan dan kesaktiannya. Semua ilmu peninggalan Bit-bo-ong yang dahsyat itu ia keluarkan semuanya, sehingga tubuh iblis berkerudung itu bergerak bagaikan badai angin yang hendak melumatkan tubuh Chin Yang Kun.

   Sepasang pisau pusaka di tangan Hek-eng-cu, yang mempunyai perbawa mengerikan karena telah banyak meminum darah manusia itu, tampak berkelebatan memenuhi arena. Pisau itu tampak berkilat-kilat di keremangan malam, memburu serta mengejar Chin Yang Kun kemanapun pemuda itu pergi, seolah-olah pisau tersebut memang bernyawa iblis, yang haus akan kehangatan darah Chin Yang Kun. Memang sungguh berat lagi Chin Yang Kun sekali ini. Meskipun sudah menguras seluruh kemampuan dan kesaktian yang diperolehnya selama ini, pemuda itu masih tetap saja kewaIahan menghadapi kebuasan ilmu lawannya. Hok-te Ciang-hoat yang tadi sempat membuat malu Hek-eng-cu ternyata menjadi kalang kabut menghadapi kim-liong Sin-kun dan Pat-hong sin-ciang warisan Bit-bo-ong.

   Untunglah dengan Kim-coa ih-hoatnya yang aneh pemuda itu dapat sekedar membingungkan lawannya, sehingga dengan demikian dia bisa bertahan dan mengulur waktu. Apalagi dengan perlindungan Liong-cu I-kangnya yang dahsyat itu, Chin Yang Kun semakin sulit untuk ditundukkan dalam waktu singkat. Namun demikian kalau hal itu berlanjut terus tanpa ada pertolongan dari luar, tak pelak lagi Chin Yang Kun benar benar akan mengalami kesulitan yang serius. Benar juga beberapa saat kemudian Chin Yang Kun mulai kebobolan pertahanannya. Untunglah dengan mengenakan mantel pusaka yang dapat direbutnya tadi, pemuda itu dapat terhindar dari goresan pisau yang mengandung racun mematikan itu.

   "Kurang ajar! Ginkang iblis ini semakin lama semakin memusingkan aku!" pemuda itu mengeluh di dalam hatinya. Memang tak dapat disangkal lagi. Tanpa memegang senjata yang sekali waktu dapat ia pergunakan sebagai perisai untuk menangkis pisau beracun itu, Chin Yang Kun tak mungkin dapat bertahan terus-menerus. Sekali waktu pisau itu tentu akan terhunjam pula ke dalam tubuhnya. Sementara itu di tepi arena pertempuran, Tiau Li Ing menjadi gelisah bukan main melihat Chin Yang Kun terdesak terus tanpa bisa membalas. Tanpa terasa saking gelisahnya gadis itu mencengkeram lengan Lo-si-ong yang berdiri di sampingnya. Meskipun matanya buta, namun orang tua itu tahu juga keadaan Chin Yang Kun yang "repot" itu.

   Tapi karena bekas ketua lm-yang-kauw itu sangat percaya pada ucapan gurunya, maka hatinya tidak segelisah hati Tiau Li Ing. Orang tua itu tetap yakin bahwa lblis berkerudung itu akan jatuh di tangan Chin Yang Kun. Hanya saja orang tua itu tidak mengetahui cara bagaimana pemuda yang telah terdesak habis-habisan itu akan bisa mengalahkan Iawannya. Yang sangat mengherankan, meski sudah sedemikian jauh pertempuran antara Hek-eng-cu dan Chin Yang Kun itu berlangsung, namun Si Penyanyi Sinting itu tetap belum menampakkan dirinya juga. Malahan suara nyanyiannya yang sejak tadi selalu mengganggu konsentrasi Hek-eng-cu, kini telah tiada dan tidak terdengar pula. Seolah-olah orang itu memang telah pergi meninggalkan tempat itu. Langit tampak bersih tanpa awan, sehingga bintangbintang kelihatan jelas bertaburan di angkasa.

   Mereka berkelap-kelip berdesakan, seolah-olah mereka juga ingin menyaksikan pertempuran seru antara Chin Yang Kun dan Hek-eng-cu tersebut. Sementara itu angin pegunungan yang dingin terasa meniup semakin kencang pula, sehingga udara di dalam Iembah itupun seolah-olah menjadi beku karenanya. Dan pada saat yang sama, udara dingin juga bertiup di atas Pulau Meng-to yang sunyi.Angin laut yang mengandung air itu bertiup kencang membasahi pepohonan dan bebatuan di atas pulau kecil tersebut, sehingga suasana di atas pulau itu menjadi lembab dan basah. Maka tidak mengherankan bila semua penghuninya menjadi enggan untuk keluar dari pintu rumah, padahal d Pendapa Utama saat itu banyak berkumpul tamu-tamu yang ingin bertemu dengan majikan pulau mereka, Keh-sim Siauwhiap.

   Tamu-tamu yang berdatangan sejak pagi hari itu banyak yang sudah bosan dan mulai tak sabar lagi untuk bertemu dengan Keh-sim Siauwhiap. Meskipun mereka semua dijamu dan diberi tempat istirahat yang baik, tapi semuanya berkeinginan untuk lekas-lekas bertemu dengan Keh-sim Siauwhiap dan mengutarakan maksud kedatangan mereka masing masing. Kini semuanya berkumpul di tengah-tengah Pendapa Utama yang luas itu. Tapi sejauh ini mereka juga baru ditemui oleh Sepasang Gadis Berbaju Putih dan Sepasang Gadis Berbaju Hitam, pembantu Keh-sim Siauwhiap itu. Beberapa orang tamu yang mulai terpengaruh oleh arak yang disuguhkan kepada mereka, mulai terdengar menggerundel dan mengeluarkan rasa ketidak-senangan mereka. Tapi dengan sabar dan halus gadis-gadis pembantu Keh-sim Siauhiap itu menenangkan hati mereka.

   Gadis-gadis itu memberi tahu kepada mereka bahwa Keh-sim Siauwhiap memang baru akan keluar pada tengah malam nanti, sebab Keh-sim Siauhiap sekarang sedang menyelesaikan samadhinya. Untuk mengurangi perasaan kesal serta bosan itu beberapa orang tamu tampak berdiri dari tempat duduk mereka, lalu keluar dari pendapa, menuju ke arah pantai. Mereka berjalan sendiri-sendiri atau dengan teman seperjalanan mereka, tanpa menghiraukan hembusan angin laut yang membasahi tubuh mereka. Dan diantara mereka itu terdapat seorang lelaki muda dan dua orang gadis cantik yang berjalan perlahan-lahan menyusuri tepian pantai. Diantara suara angin dan debur ombak yang memecah pantai itu terdengar desah suara mereka bertiga dalam nada yang amat kesal dan mendongkol.

   "Lagaknya seperti seorang raja saja...hah! Tahu begini aku tidak mau berkunjung ke mari." salah seorang dari kedua gadis itu menggerutu seraya menyepak sepotong kayu kecil yang dilemparkan ombak di atas pasir.

   "Ah, sudahlah Adik Pek Lian...! kau tak perlu menggerutu begitu...! kau harus ingat, bahwa pulau ini adalah rumah dan tempat tinggalnya. Tentu saja dia bebas untuk berbuat apa saja di rumahnya sendiri. Apa lagi dia tak memintamu atau mengundangmu kemari. kau datang ke pulau ini atas kehendakmu sendiri. Apa salahnya ia menemui kita tengah malam nanti? Dan... eh, Adik Pek Lian...kau jangan Iupa bahwa dia pernah menyelamatkan kita dari keganasan mendiang para iblis Ban-kwi-ti itu!" gadis satunya yang tidak lain adalah Kwa Siok Eng menegur Ho Pek Lian, gadis yang sedang kesal itu.

   "Benar, Nona Ho... biarlah kita bersabar lagi barang sejenak. Toh waktu yang dijanjikannya itu sudah tidak lama Iagi..." lelaki yang bersama mereka itu ikut membujuk Ho Pek Lian.

   "BaikIah...! Baiklah! Tapi... aku tetap ingin segera tahu, macam apa sebenarnya pendekar yang disanjung-sanjung orang itu?" Ho Pek Lian terpaksa mengalah, meskipun mulutnya masih tetap cemberut juga.

   "Hei... bukankah kita dulu pernah melihatnya?" Kwa Siok Eng memotong.

   "Ya! Tapi kita tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Selain sangat gelap, waktu itu dia selalu membelakangi kita."

   "sudahlah...! Sebentar lagi kita juga akan melihatnya. Yang terang, melihat namanya... dia itu masih muda," Chu Seng Kun, lelaki yang bersama mereka itu, menengahi perdebatan mereka.

   "Benar! Masih muda dan...sukar diajak bersahabat!" tunangannya menambahkan dengan suara menggoda. Chu Seng Kun menatap wajah Kwa Siok Eng dengan kening berkerut. Namun demikian mulutnya tetap bersenyum ketika bertanya,

   "Sukar diajak bersahabat? Mengapa demikian...?" Kwa Siok Eng juga tersenyum.

   "Koko, sebutan atau gelarnya saja Pendekar Patah Hati (Keh-sim Siauwhiap).Nah...mana ada seorang yang sedang patah hati bisa diajak bersahabat di dunia ini? Koko sudah bisa melihat sendiri sekarang, bagaimana ia selalu menutup dirinya..." Chu Seng Kun menunduk serta menghela napas dalam dalam.

   "Memang. Sejak kedatangan kita di pulau ini akupun sudah berpikir tentang...dia! Namanya begitu disanjung dan dikagumi orang karena kemuliaannya. Hartanya banyak, kaya raya, kepandaiannyapun tinggi sekali. Lalu apa yang masih kurang pada dirinya itu? Mengapa dia masih bisa patah hati? Puteri mana yang telah menolak manusia pilihan seperti dia itu?"

   "Ah, Chu-Twako jangan berpendapat demikian..." Ho Pek Lian cepat-cepat menyahut perkataan Chu Seng Kun itu.

   "Patah hati itu bisa diakibatkan oleh bermacam-macam sebab. Dan salah satu di antaranya memang bisa seperti yang Twako katakan itu. Tapi selain hal itu, patah hati dapat juga disebabkan oleh karena hal yang lain. Misalnya... salah seorang dari mereka meninggal dunia, padahaI keduanya sudah saling mencinta satu sama lain. Atau... patah hati itu bisa juga terjadi karena adanya rintangan dari pihak luar yang sama sekali tidak dapat mereka atasi, sehingga akhirnya mereka tak bisa mewujudkan cita-cita dan impian mereka itu. Dan hal-hal yang demikian itu bisa mengakibatkan mereka menjadi patah hati pula... Banyak contoh tentang peristiwa seperti itu di masa lampau. Misalkan pada zaman Dinasti Chou Barat dahulu, seorang pangeran mahkota telah dipaksa untuk melepaskan kekasihnya yang hanya seorang gadis rakyat jelata ketika ia dinobatkan sebagai raja. Akibatnya gadis itu menjadi patah hati dan akhirnya bunuh diri, sementara putera mahkota itu juga patah hati dan tak mau kawin pula selama hidupnya. Dan contoh yang lain tak usah jauh-jauh kita cari.Baginda Kaisar Han yang sekarangpun juga seorang yang menderita patah hati, sehingga beliau memilih tidak kawin pula sampai sekarang..."

   Chu Seng Kun dan Kwa Siok Eng saling memandang satu sama lain. Wajab mereka malah kelihatan bingung dan terheran-heran mendengar ucapan Ho Pek Lian yang seolah olah malah membantu atau melindungi Keh-sim Siauwhiap itu. Padahal gadis itu tadi baru saja marah-marah karena kesal dan dongkol kepada Keh-sim Siau hiap.Dan yang lebih mengherankan Iagi adalah sikap dan cara gadis itu berbicara. Gadis itu berbicara dengan bersemangat dan bersungguh-sungguh, seakan-akan gadis itu sendiri sedang mewakili orang-orang yang patah hati tersebut. Oleh karena itu sambil tertawa menggoda, Kwa Siok Eng berkata kepada Ho Pek Lian,

   "Adik Lian... mendengar kata-katamu yang bersemangat tadi hatiku malah menjadi berdebar-debar. Ehh..., jangan-jangan kau pun...kau pun juga pernah menderita patah hati pula." Tiba-tiba wajah yang cantik itu menyeringai kecut.

   "Ahh, Cici... kau ini ada-ada saja. Patah hati...sih tidak. Cuma pada suatu saat aku memang pernah merasa kecewa kepada seseorang dan kepada hidupku sendiri, sehingga sampai sekarang akupun belum mempunyai minat untuk mencari teman hidup..." Ho Pek Lian terpaksa menerangkan dengan suara lirih.

   "Kecewa...? Ah, sungguh tak masuk akal. Siapa yang telah berani mengecewakanmu? Apakah orang itu tidak tahu kalau kau ini murid terkasih dari Baginda Kaisar Han?"

   "Ahh, kau ini... Apa hubungannya Kaisar Han dengan masalah pribadiku? Apa lagi waktu itu suhu belum menjadi Kaisar seperti sekarang ini..."

   "Oh, jadi peristiwa itu terjadi pada waktu kau dan Kaisar Han masih suka berkelana di dunia kang-ouw dahulu? Hmm... kalau begitu sudah hampir Sepuluhan tahun yang lalu, ya? Eh, Adik Lian...kalau aku boleh bertanya...kalau aku boleh bertanya, siapa sih pemuda yang Pernah mengecewakanmu itu?" Kwa Siok Eng yang sudah amat akrab dan sudah seperti saudara sendiri dengan Ho Pek Lian itu berbisik sambil merangkul pundak gadis itu. Ho Pek Lian menjadi merah pipinya, sementara matanya melirik ke belakang, kearah Chu Seng Kun yang berjalan enam atau tujuh langkah di belakang mereka. Tampaknya pemuda ahli obat itu memang sengaja memperlambat langkahnya begitu mendengar pembicaraan mereka yang mulai bersifat pribadi itu.

   "Bagaimana Adik Lian? Apakah... apakah aku boleh tahu siapa orang itu?" Kwa Siok Eng mendesak lagi.

   "Aaaaah...!" Ho Pek Lian mengerling dan berdesah panjang, seakan-akan masih merasa enggan atau malu mengatakannya.

   "Ayolah... Adik Lian! Kita toh sudah seperti keluarga sendiri. Apa lagi usia kitapun sudah tidak muda lagi. kau dua puluh lima dan aku dua puluh enam, yang kalau menurut adat kebiasaan kita sudah dianggap terlambat kawin. Mengapa kau masih merasa malu dan ragu-ragu untuk mengatakannya kepadaku?"

   "Tapi..." Ho Pek Lian sekali lagi melirik ke belakang. Dilihatnya Chu Seng Kun tertinggal semakin jauh di belakang mereka. Pemuda itu tampak sedang bermain-main dengan air laut yang menjilati kakinya.

   "Baiklah, Cici Siok Eng... Aku akan berbicara. Tapi kuminta kau jangan menceritakannya kepada Chu-Twako. Maukah kau?" akhirnya gadis itu mengalah. Kwa Siok Eng tersenyum lalu menoleh ke arah tunangannya.

   "Jangan takut! Kalau kau memang menginginkan demikian, akupun takkan mengatakannya kepada siapapun. Aku berjanji! Nah... ayolah!" Hening sejenak. Kedua orang sahabat itu lalu berjalan menuju ke gardu pemandangan, yang khusus dibangun oleh Keh-sim Siauwhiap dan anak buahnya di tempat itu. Mereka berdua duduk berendeng seperti sepasang kekasih atau seperti dua orang kakak-beradik yang sedang menikmati hamparan ombak di depan mereka. Keduanya tidak mempedulikan lagi pada Chu Seng Kun yang bermain-main dengan air sendirian.

   "Cici...! Sebenarnya aku malu menceriterakan hal ini kepadamu. Tapi karena kau sudah berjanji untuk tidak mengatakannya kepada siapa pun juga, maka aku berani pula berterus-terang kepadamu. Begini...! Sebenarnya sampai saat ini aku sendiri juga masih bingung terhadap hatiku sendiri. Aku benar-benar tak tahu, siapa sebenarnya Ielaki yang kudambakan itu? Dan aku sendiri juga masih bingung, siapa sebenarnya lelaki yang kupilih diantara mereka itu? Cici... aku benar-benar bingung bila memikirkan hal itu. Rasa-rasanya aku menjadi asing terhadap diriku sendiri..."

   "Heh...? Adik Lian...? kau ini sungguh aneh sekali. Bagaimana bisa sampai begitu? Coba kau terangkan kepadaku! Aku malah menjadi bingung pula mendengar ceritamu itu... Eh, apakah" apakah kau mencintai lebih dari seorang lelaki? Ataukah... kau ini dicintai dan dilamar oleh beberapa orang lelaki, sehingga kau malah menjadi bingung dan sulit untuk memilihnya?" Kwa Siok Eng berbisik dengan suara heran.

   "Ahh, Cici... bukan begitu maksudku." Ho pek Lian mencubit lengan sahabatnya itu dengan cemberut.

   "Aku... aku... ah, bagaimana ya?"

   "Wah... kau ini bagaimana sih?" Kwa Siok Eng pura-pura merasa kesal.

   "Sudahlah! Marilah kita pulang kembali saja kalau kau memang tak ingin menceritakannya!" Kwa Siok Eng pura-pura bangkit dari tempat duduknya, tapi dengan cepat lengannya ditarik kembali oleh Ho Pek Lian.

   "Baik! Baiklah...! Aku akan mengatakannya kepadamu..." gadis itu berkata kepada Kwa Siok Eng.

   "Kalau begitu cepatlah bercerita...!" Siok Eng mendesak tak sabar. Sambil menundukkan mukanya Ho Pek Lian akhirnya bercerita, meskipun suaranya terdengar semakin lirih di telinga Kwa Siok Eng.

   "Cici, aku mulai merasa tertarik kepada laki-laki pada usia tujuh belas tahun. Dan perasaan itupun bermula dari rasa kasihan pula, karena pemuda yang kumaksudkan itu menderita penyakit aneh yang sukar disembuhkan. Rasa kasihan itu ternyata berkembang menjadi perasaan tertarik dan perasaan kagum pula ketika aku semakin bisa mendalami watak dan sikapnya yang jantan penuh keperwiraan. Tetapi karena waktu itu usiaku masih terlalu muda dan belum punya pengalarnan sama sekali, maka aku belum menyadari bahwa sebenarnya aku telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Oleh karena itu ketika salag seorang sahabat akrabku juga merasa tertarik kepada pemuda itu, bahkan kemudian malah jatuh cinta pula kepadanya, aku langsung saja menyetujui dan merelakannya. Bahkan aku ikut membantunya malah! Saya sangat bergembira pemuda itu memperoleh kebahagiaannya. Tapi... lama-kelamaan justru hatiku sendiri yang akhirnya menjadi sedih. Entah mengapa aku seperti telah kehilangan sesuatu yang tak kumengerti. Hatiku seakan-akan selalu merasa menyesal terus-menerus..."

   Ho Pek Lian berhenti untuk mengambil napas. Wajahnya pucat, matanya menerawang jauh ke tengah laut, seolah-olah benar-benar menyesali sikapnya selama ini.

   "...Lalu datanglah pemuda yang kedua mendekatiku. Di dalam segala hal pemuda ini jauh lebih baik dari pada pemuda yang pertama. Selain masih muda, kaya, tampan dan berkepandaian tinggi, pemuda yang kedua ini juga sangat dihormati orang. Sebab pemuda itu adalah seorang pemimpin persilatan yang mempunyai anggota lebih dari ribuan orang. Dan pemuda ini juga seorang pejuang serta ksatria pembela kaum lemah pula. Apalagi secara terus terang pemuda itu juga telah menyatakan cinta kasihnya kepadaku...," Sekali Iagi Ho Pek Lian menghentikan ceritanya. Matanya yang sayu itu tampak berkaca-kaca ketika bercerita tentang pemuda yang kedua itu, sehingga Kwa Siok Eng sama sekali tak berani mengganggunya. Gadis itu takut kalau-kalau Ho Pek Lian menjadi terganggu konsentrasinya.

   "Sebetulnya... di dalam hati aku telah menerimanya. Memang pemuda seperti itulah yang selalu kucari-cari selama ini. Gagah, tampan, berkedudukan baik, berwatak ksatria pula. Nah... apalagi yang kurang? Tapi...Cici, aku sungguh heran terhadap hatiku sendiri. Kenapa aku tak bisa melupakan pemuda yang pertama itu? Wajahnya yang polos, yang kadang-kadang tampak sangat menderita karena penyakitnya itu sering mengganggu hatiku. Biarpun di sana sudah ada seorang gadis yang mendampinginya, namun hatiku ini rasanya masih tetap juga belum yakin dan belum percaya kepada gadis tersebut. Rasanya hatiku ini seperti hati seorang ibu yang tidak tega melihat bayinya dalam perawatan wanita lain. Dan celakanya, perasaan itu selalu saja mengejar dan menggangguku di manapun aku berada, sehingga lambat-laun hatiku menjadi terpengaruh pula karenanya. Tanpa terasa sikapku terhadap pemuda yang kedua itu menjadi berubah dingin dan acuh tak acuh, padahal aku sama sekali tak bermaksud demikian. Akibatnya pemuda yang telah kupilih dan kucintai sepenuh hati itu menjadi salah sangka terhadapku. Dengan perasaan kecewa dia lantas mengundurkan diri dari sampingku, dan kemudian pergi entah ke mana...Oh, Cici... bagaimanakah menurut pendapatmu? Salahkah sikapku itu? Apa yang mesti kuperbuat? Cici, aku benar-benar bingung sekali. Aku benar-benar tak tahu, apa sebenarnya yang kukehendaki selama ini. Sebab sepeninggal pemuda yang kedua itu, hatiku juga menjadi pecah berantakan pula. Kalau semula sikapku terhadap pemuda yang pertama itu seperti sikap seorang ibu yang tidak tega melepaskan bayinya dalam perawatan orang lain, kini sikapku terhadap pemuda yang kedua malah justru lebih parah lagi. Sikapku sekarang benar-benar seperti sikap seorang ibu yang telah kehilangan anaknya! Setiap hari hatiku menangis tak henti-hentinya menyesali kepergiannya. Tapi apalah dayaku... nasi telah menjadi bubur, semuanya telah terjadi dan tak mungkin diulang kembali. Kini tinggallah aku seorang diri, terombang-ambing tak menentu, seperti perahu yang kehilangan arah di tengah lautan."

   Gadis itu menghela napas panjang ketika menyelesaikan ceritanya. Matanya yang semula hanya berkaca-kaca, kini benar-benar meneteskan air mata. Wajahnya tampak pucat dan hampa, sungguh berbeda sekali dengan sikapnya sehari hari yang riang dan gembira. Sekejap Kwa Siok Eng juga termangu-mangu saja di tempatnya. Meskipun gadis itu bisa menebak siapa yang dimaksudkan dalam cerita Ho Pek Lian itu, namun kenyataan yang tak pernah diduganya itu sungguh-sungguh telah mengagetkannya. Hampir tak terlintas sama sekali di dalam hati Kwa Siok Eng bahwa temannya itu akan mengalami hal yang demikian.

   "Adik Lian... sungguh tak kusangka kau akan mengalami persoalan yang rumit seperti itu. Selama ini aku hanya menyangka bahwa kesendirianmu ini memang telah kau sengaja karena engkau belum mendapatkan pasangan yang cocok dengan selera hatimu. Ternyata dugaanku atau bayanganku itu adalah salah sama sekali. Ternyata kau telah menyimpan persoalan yang demikian peliknya di dalam hatimu. Adik Lian, kita telah lama menjalin persababatan. Oleh karena itu kukira aku telah bisa menebak siapa-siapa yang kau maksudkan dalam ceritamu itu. Hmm... pemuda yang pertama, yang menimbulkan rasa belas kasihanmu itu tentu Souw Thian Hai, bukan? Dan pemuda yang kedua, yang sebenarnya merupakan pemuda yang sangat mencocoki hatimu itu tentulah saudara Kwee Tiong Li, bukan? Dan tentu saja gadis yang kau maksudkan itu adalah Enci Chu Bwe Hong. Benar tidak?" dengan sangat hati-hati Kwa Siok Eng menanggapi cerita Ho Pek Lian itu. Gadis itu mengangguk tanpa menjawab. Kwa Siok Eng merangkul pundak sahabatnya itu.

   "Adik Lian... sungguh malang benar keadaanmu. Seharusnya kau tak perlu mengalami keruwetan itu apabila kau mau meminta pendapat atau petunjuk kepada sahabat-sahabatmu. Persoalanmu itu sebenarnya sangat jelas dan mudah sekali pemecahannya..." Dengan cepat wajah yang tertunduk itu menengadah, menatap wajah Kwa Siok Eng.

   "Cici Siok Eng...?" gadis itu berdesah kaget. Siok Eng merangkul pinggang Pek Lian. Dengan suaratenang dan halus gadis itu berbisik,

   "Adik Lian... jangan terkejut! Aku tidak bergurau, aku berkata sebenarnya. Kalau hal itu terasa sulit dan ruwet, semua itu karena kau ikut terlibat langsung di dalamnya, sehingga akibatnya kau malah tak bisa melihat persoalan tersebut secara jelas dan terang." Wajah yang cantik itu semakin tertunduk lesu.

   "Ohhh...kalau begitu lekaslah Cici katakan pendapatmu itu!"

   "Baik...!" Siok Eng berkata seraya bangkit dari tempat duduknya, lalu berdiri bersandar pada dinding gardu tersebut.

   "Sebagai orang luar aku justru dapat melihat persoalanmu itu dengan jelas sekali. Oleh sebab itu aku dengan mudah juga bisa mengetahui di mana letak kesalahannya dan bagaimana pula pemecahan serta jalan keluarnya... Nah, Adik Lian... marilah kita bahas masalahmu itu perlahan-lahan!" Bulan tipis yang tadi berada di atas langit sebelah barat, kini sudah hampir tenggelam di balik cakrawala, suatu tanda bahwa hari sudah mendekati tengah malam. Dan dengan sabar serta penuh pengertian Chu Seng Kun masih tetap berada di tepi laut, bermain-main dengan percikan air sendirian.

   "Adik Lian... Dari dasar atau landasan perasaan tertarikmu kepada kedua orang pemuda itu saja sebenarnya sudah bisa dipergunakan sebagai pedoman, siapa sebenarnya pemuda yang kau pilih. Karena kasihan kau menaruh perhatian kepada saudara Souw Thian Hai. Dan perhatian itu akhirnya berkembang menjadi rasa kagum melihat kepandaian dan keperwiraannya. Dari hal ini saja sebenarnya sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa kau sesungguhnya tidak mencintai saudara Souw Thian Hai. kau cuma merasa kasihan kepadanya dan juga sangat menyayangkan kepandaiannya yang tinggi. kau sebenarnya tidak mencintainya, karena di dalam hati kecilmu kau sendiri merasa kurang cocok dengan keadaannya. Sebab sebagai seorang puteri pejabat tinggi kau sudah terbiasa berkecimpung dalam dunia kemewahan, kemuliaan dan kehormatan. kau tidak akan merasa puas dan cocok dengan pemuda biasa seperti Souw Thian Hai itu. Apa lagi dia mempunyai penyakit gila. Itulah sebabnya ketika Enci Chu Bwee Hong jatuh cinta kepada Souw Thian Hai, kau merasa girang luar biasa, sebab kau merasa seperti mendapatkan wakil yang bisa kau percayai untuk merawat pemuda hebat seperti saudara Souw Thian Hai itu. Sementara itu kau sendiri sudah cocok dengan saudara Kwee Tiong Li. Sebab selain di dalam segala hal saudara Kwee Tiong Li itu tidak kalah dengan saudara Souw Thian Hai, diapun juga datang dari golongan terhormat, kaya dan berpangkat pula. Apa lagi saudara Kwee Tiong Li tidak gila seperti saudara Souw Thian Hai. Dan semua penilaianku ini sebenarnya juga sudah tercermin di dalam pendapatmu sendiri. Bukankah Adik Lian sendiri sudah mengibaratkan tentang kepergian mereka itu? kau mengibaratkan saudara Souw Thian Hai sebagai bayi yang diasuh oleh wanita lain, sementara kau menganggap kepergian saudara Kwee Tiong Li sebagai ibu yang kehilangan anaknya. Dari perumpamaanmu itu saja sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa kau lebih merasa berat kehilangan Kwee Tiong Li dari pada kehilangan Souw Thian Hai..." dengan panjang lebar Kwa Siok Eng memberi petunjuk kepada Ho Pek Lian.

   Bagai terbuka rasanya hati Ho Pek Lian sekarang. Ternyata persoalan tersebut sebenarnya tidaklah sesulit yang ia rasakan. Hanya karena dia sendiri ikut terlibat di dalamnya, maka dirinya seolah-olah menjadi buta dan tak bisa mengurai persoalan tersebut dengan baik.

   "Ohh, Cici... lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?" gadis itu bertanya dengan suara sendu. Kwa Siok Eng menghampiri Ho Pek Lian dan kemudian duduk di samping gadis itu kembali. Dengan suara tenang namun pasti Siok Eng berkata,

   "Tentu saja kau harus mencari saudara Kwee Tiong Li sampai dapat, lalu meminta maaf kepada dia karena kau telah menyakiti hatinya."

   "Mencarinya sampai dapat? Ohhh... Cici, ba -bagaimana kalau... kalau ia sudah kawin dengan wanita lain? Delapan tahun bukanlah waktu yang pendek, siapa tahu kalau dia telah melupakan aku?" Ho Pek Lian berdesah hampir menangis, lalu menubruk ke atas pangkuan Kwa Siok Eng. Siok Eng menghela napas panjang. Matanya ikut berkaca kaca melihat penderitaan sahabat akrabnya itu.

   "Adik Lian... kau jangan buru-buru berputus-asa dahulu. Serahkanlah semuanya ini kepada Thian. Yang penting kau harus berusaha, siapa tahu Thian masih menaruh belas kasihan kepadamu? Namun demikian kalau Thian nanti terpaksa menentukan lain, kau pun juga harus menerimanya dengan hati lapang pula. Anggaplah semua cobaan itu sebagai tebusan atas kesalahan kesalahanmu di masa lalu..."

   "Ciciii...!" Ho pek Lian tak dapat menahan tangisnya. Angin laut bertiup semakin kencang, mengawali pasangnya air laut, tepat pada waktu tengah malam. Begitu kuatnya hembusan angin tersebut sehingga mampu menerbangkan pasir-pasir Iembut ke udara. Sekejap tempat itu menjadi gelap oleh debu-debu pasir tersebut. Namun demikian Chu Seng Kun tidak menjadi terhalang pandangannya ketika dari arah Pendapa Utama mendatangi dua sosok bayangan ke tempat itu.

   "Berhenti! Siapakah kalian...?" pemuda ahli obat itu menyapa. Kedua sosok bayangan itu berhenti beberapa langkah di depan gardu pemandangan, sehingga Chu Seng Kun dengan tergesa-gesa menghampiri mereka.

   "Oh, Tuan Chu rupanya...! Inilah kami yang datang. Kami berdua mau menjemput Tocu (Majikan Pulau) karena waktu yang beliau janjikan telah tiba." kedua sosok bayangan yang tidak lain adaIah kedua gadis pembantu Keh-sim Siauwhiap itu menjawab teguran Chu Seng Kun.

   "Ahh...nona berdua kiranya." Chu Seng Kun bernapas lega, "Hmm, jadi pertemuan itu sudah akan dimulai? Tapi... kenapa nona berdua malah datang kemari...? Apakah nona berdua mau memberi tahu kepada tamu-tamu yang berada di luar pendapa?" Kedua gadis pembantu Keh-sim Siauwhiap itu saling memandang satu sama lain. Tiba-tiba mereka menjadi curiga ketika dalam gardu pemandangan itu muncul Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian menghampiri mereka.

   "Kami... kami berdua mau menjemput Tocu kami. Eh, kenapa cuwi bertiga berada di sini? Di sini tempat terlarang...," dengan suara gemetar gadis-gadis itu menjawab gemetar.

   "Gerrriiit...!" tiba-tiba terdengar suara daun pintu terbuka di dalam gardu pemandangan itu.

   Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian menjadi terkejut setengah mati, sebab mereka tahu bahwa tidak ada pintu di dalam gardu pemandangan tersebut. Bangunan itu cuma bangunan kecil berukuran tiga kali tiga meter, dengan tembok di bagian samping dan belakang saja. Sementara di dalamnya hanya ada tumpukan batu-batu tebal memanjang, di mana di bagian atasnya ditutup papan kayu tebal untuk alas duduk orang orang yang ingin beristirahat di sana.Empat sosok bayangan hitam tiba-tiba berdiri di tengah tengah bangunan itu. Dua orang lelaki dan dua orang wanita. Dan salah seorang dari ke empat bayangan itu segera melangkah keluar dari dalam gardu pemandangan tersebut, kemudian diikuti pula oleh ketiga sosok bayangan yang lain. Meskipun udara sangat gelap, namun sinar bintang yang berkelap-kelip di atas langit ternyata mampu juga menerangi raut wajah mereka berempat.

   "Tocu...!" dua orang pembantu Keh-sim Siauwhiap tadi segera berlari menyongsong bayangan yang pertama dan berlutut di hadapannya.

   "Hari sudah tepat waktu tengah malam. Para tamu sudah lama menantikan kedatangan Tocu." mereka melapor. Lelaki yang tak lain adalah Keh-sim Siauwhiap atau pemilik Pulau Meng-to sendiri itu mengangguk.

   "Aku sudah siap. Kalian berangkatlah lebih dahulu, nanti aku menyusul bersama-sama sahabat-sahabatku ini!" Dua orang gadis itu mengerutkan kening mereka.Sebenarnya mereka agak curiga kepada orang-orang yang berada di tempat terlarang itu. Tapi karena majikan mereka telah mengatakan bahwa orang-orang itu adalah sahabatnya, maka keduanya tidak berani berbuat apa-apa lagi. Keduanya lantas pergi meninggalkan tempat itu. Sementara itu Chu Seng Kun, Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian seolah-olah menjadi patung saking kaget mereka melihat siapa yang keluar dari gardu pemandangan itu. Meskipun tidak begitu jelas, namun mereka semua takkan melupakan wajah-wajah yang telah lama mereka kenal itu.

   "Kwee Tiong Li... koko!" Ho Pek Lian menatap wajah Keh-sim Siauwhiap seakan tak percaya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya telah menghambur ke dalam pelukan.

   "Saudara Thian Hai...!" Chu Seng Kun menegur Ielaki tinggi besar yang berada dibelakang Keh-sim Siauwhiap.

   "Bwee Hong...! Lian Cu...! Kenapa kalian diam saja?" Kwa Siok Eng berteriak dan segera menghambur memeluk kedua wanita itu pula.

   Jilid 43
Demikianlah, pertemuan itu sungguh-sungguh sebuah pertemuan yang tak mereka sangka sebelumnya. Semuanya benar-benar tak mengira bahwa Keh-sim Siauwhiap yang tersohor dan amat terkenal di dunia persilatan itu adalah Kwee Tiong Li, sahabat lama mereka sendiri (baca Darah Pendekar). Sahabat lama yang telah delapan tahun tak pernah berjumpa. Dan khusus bagi Ho Pek Lian, pertemuan itu sungguh sungguh sangat membahagiakan hatinya. Rasanya ia bisa mendapatkan kembali anaknya yang hilang itu. Dunianya yang semula sepi itu tiba-tiba terasa ramai dan cerah kembali.

   "Lian-moi, aku dan saudara Souw telah mendengar semua pembicaraanmu tadi. Sungguh tak kusangka kau pun juga menderita pula seperti aku..." Keh-sim Siauwhiap atau Kwee Tiong Li berbisik di telinga Ho Pek Lian, kekasihnya. Sekejap pipi gadis itu menjadi merah. Sekilas matanya mengerling ke dalam gardu pemandangan itu. Tatkala dilihatnya papan kayu tempat duduknya tadi kini telah terbuka, gadis itu maklum apa yang telah terjadi.

   "Tampaknya di bawah tempat duduk itu merupakan pintu masuk ke ruangan di bawah tanah. Benarkah, Koko?" gadis itu bertanya.

   "Benar. Tempat ini adalah tempat terlarang, karena tempat ini adalah tempatku melakukan samadhi setiap harinya. Kebetulan pula sejak sore tadi aku telah berada di sana bersama saudara Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu..."

   "Ohh... kalian sungguh nakal. Mengapa kalian tidak lekas-lekas keluar menemui kami? Huh... dasar tukang intip dan mendengar omongan orang!" Ho Pek Lian pura-pura mengomel, padahal sesungguhnya hatinya merasa malu sekali. Malu sekaligus berbahagia!
Keh-sim Siauwhiap tersenyum pula.

   "Tapi kalau aku tadi terus keluar, kami semua ini tentu takkan bisa mendengarkan isi kesulitanmu itu. Dan tanpa mendengarkan pengakuanmu yang tulus dan berterus terang tadi, kami semuapun tentu masih akan tetap salah sangka terhadapmu, sehingga pertemuan ini juga tidak akan dapat semeriah dan sebahagia ini pula. Tanpa pengakuanmu tadi semuanya masih akan tetap gelap dan ruwet... Bukankah demikian, sahabatsahabatku?" pendekar itu berkata sambil menoleh ke arah tamu-tamunya, terutama kepada Souw Lian Cu yang kelihatannya baru saja selesai menangis. Souw Thian Hai melirik ke arah puterinya sebentar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikian pula yang dilakukan oleh Chu Bwee Hong. Wanita ayu bekas isteri ketua Bing-kauw itu juga menatap wajah Souw Lian Cu sambil menepuk-nepuk bahu gadis berlengan sebelah itu.

   "Ayolah, Lian Cu...! Tunjukkanlah kebesaran dan keluhuran hatimu! Bukankah kau tadi sudah mengatakan, bahwa kau telah maklum dan sadar pula akan kekeliruanmu selama ini, seperti halnya yang terjadi pada Ho Pek Lian, yang sadar akan sikapnya yang kurang benar itu?" katanya lembut kepada gadis calon anak tirinya tersebut. Souw Lian Cu tersenyum getir, namun demikian matanya yang bulat dan indah itu menatap Chu Bwee Hong penuh pengertian. SeteIah itu dengan dada tengadah gadis tersebut melangkah maju menghampiri Keh-sim Siauwhiap dan Ho Pek Lian.

   "Apa yang telah dikatakan oleh Paman Tiong Li tadi memang benar, Cici Pek Lian... Tanpa mendengar pembicaraanmu dengan Cici Siok Eng tadi, suasana tentu belum akan sejernih sekarang ini. Semuanya tentu belum akan menyadari kesalahannya. Dan masing-masing tentu juga masih salah sangka terhadap yang lain. Alhasil, persoalan ini masih akan tetap ruwet sepanjang masa..." gadis itu berkata dengan suara dalam seolah-olah tertahan di dalam tenggorokannya.

   "Ehh... Lian Cu, kau? Mengapa kau... kau berkata demikian? Ada... ada hubungan apa kau dengan masalah ini?" Ho Pek Lian tersentak kaget, matanya menatap heran.

   Souw Lian Cu menarik napas panjang untuk lebih menenangkan hatinya, kemudian melangkah lagi semakin dekat. Tangan yang tinggal sebelah itu mencengkeram lengan Ho Pek Lian dengan eratnya. Mata yang merah bekas tangis itu tampak basah kembali.

   "Cici... ternyata tidak cuma kau yang mengalami kebingungan serta salah tafsir dalam masalah cinta itu! Ternyata aku... akupun telah mengalaminya pula seperti halnya engkau. Keadaanku... serta persoalanku ternyata persis seperti yang kau alami pula. Cuma bedanya, aku yang masih sangat muda ini tidak dapat mengendalikan diri seperti engkau. Aku masih terlalu kekanak-kanakan pikirankupun belum dewasa. Untunglah semua yang telah kulakukan selama ini belum sampai merugikanmu, atau merugikan Paman Tiong Li. Baru aku sendirilah yang menanggung rugi akibat kedangkalan pikiranku itu..."

   Ho Pek Lian semakin merasa bingung dan tak mengerti. Matanya menatap Kwee Tiong Li, Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong berganti-ganti. Tapi gadis itu semakin menjadi heran menyaksikan orang-orang itu juga tercenung diam tak bergerak di tempat masing-masing. Mereka semua seperti deretan patung batu di keremangan malam.

   "Cici Pek Lian, ketahuilah...! Pada pertemuanku yang pertama dengan Paman Tiong Li, aku juga merasa kasihan melihat penderitaannya. Dan seperti juga yang terjadi di hati Cici Pek Lian terhadap ayahku, rasa kasihan itu akhirnya juga berkembang menjadi rasa...rasa...cinta pula. Padahal di dalam hati aku sudah merasa bahwa langkahku itu telah menyimpang dari angan-angan dan cita-citaku selama ini. Akibatnya lalu terjadi pertentangan yang hebat di dalam diriku sendiri. Dan pertentangan itu semakin memuncak tatkala kuketahui bahwa Paman Tiong Li ternyata tidak mau menyambut uluran tanganku itu. Akibatnya aku menjadi marah karena malu. Aku merasa telah mengesampingkan kepentingan dan cita-citaku sendiri, dan aku juga merasa telah merendahkan diriku sendiri dengan mengasihani seorang lelaki yang telah patut menjadi ayah atau pamanku sendiri. Tapi semuanya itu ternyata tidak memperoleh tanggapan yang baik dari orang itu. Oleh karena itu aku lantas menjadi benci kepadanya! Aku benci kepada laki-laki! Aku benci kepada semua orang...! Maka ketika seorang pemuda lain hendak mendekatiku, akupun lantas menghindarinya. Aku sudah tak mau lagi berhubungan dengan lelaki, meskipun di dalam hati sebenarnya aku menyukai pemuda itu..."

   Souw Lian Cu berhenti sejenak untuk mengambil napas. Kemudian sambil memandang ke arah Keh-sim Siauwhiap gadis itu meneruskan kembali ceritanya.

   "...Tetapi rasa benciku itu ternyata semakin hari semakin luntur pula, dan akhirnya aku kembali ke sini untuk menengok Paman Tiong Li. Meskipun demikian rasa marah dan penasaranku masih tetap belum mereda juga. Rasa marah dan rasa penasaran itu baru lenyap setelah mendengar percakapan Cici Pek Lian dengan Cici Siok Eng tadi. Seperti halnya Cici Pek Lian, akupun Iantas menjadi sadar pula akan kekeliruanku. Aku sebenarnya tidak cinta kepada Paman Tiong Li, aku hanya merasa kasihan saja melihat nasibnya. Sebenarnya aku hanya ingin menghiburnya saja, sebab aku tak rela orang seperti Paman Tiong Li menderita demikian hebatnya hanya karena patah cinta..."

   "Oooohh... Lian Cu!" Ho Pek Lian menjerit lirih, lalu merangkul gadis berlengan buntung itu. Semuanya menghela napas lega, tak terkecuali pula ayah Souw Lian Cu sendiri, Souw Thian Hai. Pendekar bernama besar itu kelihatan mengangguk-anggukkan kepalanya, sebagai tanda bahwa hatinya merasa puas dan bangga terhadap kebesaran dan kelapangan hati puterinya itu.

   "Cici Pek Lian, maafkan aku...!" Souw Lian Cu berbisik di telinga Ho Pek Lian.

   "Tidak, Lian Cu... kau sama sekali tidak bersalah! Itu sudah lumrah dan wajar bagi seorang gadis sebayamu! Aku malah kagum sekali kepadamu. Ternyata kau lebih terbuka, dan lebih berani dalam hal ini dari pada aku. Semuda ini usiamu, namun demikian ternyata kau sudah mempunyai pemikiran yang dalam dan pertimbangan yang matang dalam hal ini... Dan... eh, omong-omong siapakah pemuda yang mencintaimu itu? Apakah pemuda itu bernama Yang Kun, yang berada di tepi pantai kemarin malam itu?"

   "Be-benar, Cici..." Souw Lian Cu menjawab perlahan.

   "Oh... dia! Hmm... benar-benar pemuda yang hebat! Aku sudah mengenalnya pula." tiba-tiba Keh-sim Siauwhiap menyahut. "Malah hampir saja aku terjatuh di tangannya."

   "Kau...? kau kalah melawannya?" Ho Pek Lian menatap wajah kekasihnya seolah tak percaya.

   "Kukira saudara Kwee memang tidak berbohong, Nona Ho. Akupun pernah terluka pula ketika berbaku hantam dengan anak itu. Selain lweekangnya amat tinggi, pukulannya mengandung racun pula..." Souw Thian Hai yang sejak tadi belum membuka suara mendadak ikut menyahut pula. Ho Pek Lian semakin terperanjat. Kemarin malam gadis itu juga sudah menyaksikan kehebatan Chin Yang Kun, yaitu ketika pemuda itu memukul patah pedangnya di tepi pantai itu. Namun demikian gadis itu sungguh tak menyangka kalau pemuda tersebut bisa menandingi Keh-sim Siauwhiap dan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai sedemikian rupa. Padahal gadis itu sudah lama mengenal pemuda tersebut, yaitu sejak pemuda itu dibawa oleh Kaisar Han ke istana beberapa tahun yang lalu. Melihat keheranan Ho Pek Lian, Chu Seng Kun segera menyela,

   "Ah... kukira tidak hanya saudara Kwee dan saudara Souw saja yang pernah merasakan kuatnya pukulan saudara Yang Kun. Akupun pernah melihat Hek-eng-cu yang lihai bukan main itu dibuat jatuh bangun oleh pemuda itu..."

   "Hek-eng-cu...?. Dia dibuat tak berdaya oleh Yang Kun?" tanpa terasa Kwa Siok Eng, Chu Bwee Hong dan Ho Pek Lian berdesah tak percaya.

   "Begitulah...! Padahal pada waktu itu Hek-eng-cu ada bersama dengan... kakak dari Siok Eng sendiri, yaitu Song-bun-kwi Kwa Sun Tek." Chu Seng Kun mengiyakan seraya melirik tunangannya. Demikianlah, mereka berbicara tentang Chin Yang Kun, tanpa mereka ketahui sama sekali bahwa pada saat itu pemuda tersebut sedang memeras keringat beradu tenaga dengan Hek-eng-cu pula! Tanpa memegang senjata yang dapat ia pakai sebagai perisai untuk menahan sabetan-sabetan pisau beracun itu, Chin Yang Kun semakin tak berdaya menghadapi kecepatan gerak lawannya. Untunglah dengan Kim-coa ih-hoatnya yang mempunyai gerakan-gerakan aneh di luar kewajaran manusia itu Chin Yang Kun mampu bertahan serta meloloskan diri setiap menemui jalan buntu.

   "Setan! Iblisss...! kau ini manusia atau hantu, hah? Gila...! Ilmu apa sebenarnya ini?" beberapa kali Hek-eng-cu mengumpat dengan suara agak takut-takut setiap kali pemuda itu melakukan gerakan-gerakan yang tak masuk akal. Sebenarnya apabila diperbandingkan ilmu kepandaian mereka, Chin Yang Kun agak lebih unggul dari pada Hek-eng-cu. Setelah sehari lamanya mereka bertempur, ternyata Pat hong-sinkang yang sangat dibangga-banggakan oleh Hek-eng-cu itu benar-benar tak mampu mengimbangi kedahsyatan Liong-cu I-kangnya Chin Yang Kun. Begitu pula dengan Kim liong Sin-kun dan Pat-hong Sin-ciang.

   Ilmu silat yang dulu sangat disegani orang itu kini ternyata juga tak mampu menaklukkan Kim-coa ih-hoat pula. Satu-satunya keunggulan Hek-eng-cu hanyalah ginkangnya yang maha hebat itu! Apa lagi keunggulan tersebut ditunjang pula dengan sepasang pisau pusaka beracun itu. Maka tak mengherankan kalau Chin Yang Kun lantas menjadi terdesak karenanya, bagaimanapun hebatnya Iweekang dan ilmu silat Chin Yang Kun, tapi menghadapi lawan yang dengan gerakannya seolah-olah bisa menghilang dari pandangan itu, tentu saja sedikit keunggulannya itu seperti menjadi tak berguna lagi. Apalagi orang yang hampir tak bisa dilihat bentuknya itu membawa sebuah pusaka yang ampuh dan berbahaya pula. Alhasil, pertempuran itu memang terasa sangat berat dan melelahkan bagi mereka berdua.

   Dengan Bu-eng Hwe-tengnya Hek-eng-cu memang mampu mendesak dan menghujani lawannya dengan sabetan-sabetan pisaunya. Namun demikian dengan memeras tenaga dan keringat ternyata Chin Yang Kun masih dapat juga melindungi dirinya pula, sehingga rasa rasanya pertempuran itu takkan selesai-selesai meskipun sampai pagi hari nanti. Memang, telah beberapa kali Chin Yang Kun kecolongan serta tak mampu menangkis pisau Hek-eng-cu. Namun dengan mantel pusaka yang dipakainya, pemuda itu berhasil lolos dari kematian. Atau pula, kalau pemuda itu sudah benar-benar terpojok, ia lalu mengobral pukulan dengan seluruh kekuatan Iweekangnya! Biarpun sangat melelahkan serta menguras tenaganya, tapi dengan demikian pemuda itu dapat memaksa lawannya untuk mengundurkan desakannya.

   "Wah, pemuda itu memang hebat bukan main! Usianya masih muda, tapi Iweekangnya ternyata benar-benar sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Dan Iweekangku yang telah kuhimpun dengan susah payah selama puluhan tahun inipun agaknya juga belum bisa menandinginya pula. Hmmm...sungguh tidak masuk akal!" Lo-si-ong yang buta itu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berdecak kagum. Dengan cepat Tiau Li Ing memandang orang tua itu.

   "Tapi... menurut suara yang terdengar berkumandang tadi, kepandaian kakek masih tetap lebih tinggi bila dibandingkan dengan mereka berdua itu? Suara itu tadi mengatakan bahwa kakek berada di urutan yang ke enam bersama Kam Lojin, sementara Hek-eng-cu dan Chin Yang Kun itu berada di urutan yang ketujuh." Gadis itu menyela. Lo-si-ong tersenyum.

   "Memang benar... tapi keunggulanku itu sebenarnya juga tidak terpaut terlalu banyak dengan mereka itu. Apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian Hek-eng-cu. Aku hanya mempunyai kelebihan sedikit dari pada dia, yaitu ilmu melontarkan senjata rahasia. Ginkangnya yang hebat itu hampir tak ada gunanya menghadapi lontaran senjata rahasiaku..." bekas ketua Aliran Im-yang-kauw itu menerangkan.

   "Oh...!" Tiau Li Ing berdesah dengan suara gemetar. Di dalam hati gadis itu semakin merasa kecil dan lemah di hadapan jago-jago silat berkepandaian tinggi itu. Diam-diam gadis itu menyesali sikapnya yang sombong dan pongah selama ini. Dia yang merasa tak terkalahkan di kalangan para perompak anak buah ayahnya itu, kini ternyata seperti seekor anak ayam yang lemah begitu berada di daratan Tiongkok. Setiap saat gadis itu merasa selalu bertemu dengan jago silat berkepandaian tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian ayahnya malah!

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Darah Pendekar Eps 35 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 14 Darah Pendekar Eps 35

Cari Blog Ini