Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 16


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 16




   ratusan ekor ular itu terdiam seketika. Semuanya tertunduk ketakutan di tempat masing-masing, sehingga Liu Yang Kun menjadi lega hatinya. Pemuda itu lalu bersembunyi di balik sebongkah batu karang besar dan mengintai ke mulut goa. Mulut goa itu kira-kira masih ada lima puluhan tombak jauhnya dari tempat persembunyian Liu Yang Kun. Dan lobang itu tidak begitu besar ukurannya. Mungkin cuma ada dua tombak tingginya maupun lebarnya. Itupun pada bagian bawah dipergunakan sebagai jalan keluar oleh aliran sungai di bawah tanah itu. Lama benar rasanya Liu Yang Kun menantikan kedatangan orang itu. Hampir saja ia tak sabar menunggunya lebih lama lagi, ketika secara mendadak orang yang bercakap-cakap tersebut telah berada di depannya. Mungkin cuma belasan tombak saja dari tempatnya berlindung.

   Sekejap Liu Yang Kun merasa seperti manusia yang baru saja lolos dari kematian. Setelah sekian lamanya tersekap di tempat gelap bersama Tui Lan ia hampir-hampir tidak percaya bahwa orang-orang yang dilihatnya itu adalah seorang manusia pula seperti dirinya. Apalagi ia tak melihat dari mana orang orang itu masuk ke dalam gua itu tadi. Seperti siluman saja mereka itu. Tahu-tahu sudah di depannya. Pemuda itu mencoba melongok mereka. Dilihatnya dua orang lelaki, yang seorang berusia sekitar enam puluh tahun dan yang seorang lagi kira-kira berumur empat puluh lima tahunan, berdiri me lihat-lihat dinding gua itu. Jarak mereka tinggal sepuluhan tombak saja daro tempatnya bersembunyi. Dan diam-diam pemuda itu melirik ke arah ular-ularnya. Ia merasa khawatir juga kalau-kalau ular-ular tersebut tidak bisa ia kendalikan lagi.

   "Supek, benarkah gua ini yang dimaksudkan oleh nelayan itu?" orang yang lebih muda itu bertanya kepada orang yang lebih tua.

   "Ya! Kukira memang inilah Gua Siluman itu. Sesuai dengan petunjuk yang kita peroleh, gua ini dialiri oleh sungai di bawah tanah dan mempunyai banyak pintu masuk. Nah, bukankah kita tadi selalu berputar-putar dari lorong pintu gua yang satu ke lorong pintu gua yang lain? Liu yang Kun terkejut juga. Orang yang lebih tua itu tampak sangat tenang, berwibawa dan bersuara mantap. Hal tersebut menandakan bahwa dia adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi.

   "Aku rasa-rasanya pernah mengenalnya..." Liu Yang Kun berkata di dalam hatinya. Kedua orang itu lalu meraba-raba dinding gua yang gelap itu. Dan mereka segera menemukan sebuah lobang gua lagi.

   "Lihat, Supek...! Di sini ada sebuah lobang lagi! Apakah kita akan masuk melihatnya?"

   "Ya! Kita lihat semuanya! Tapi.. kita juga harus berhati-hati! Kita sedang berhadapan dengan bajak-laut, golongan manusia yang tak pernah mengindahkan tata-cara maupun sopan-santun. Siapa tahu mereka telah memasang perangkap untuk kita?"

   "Baik, Supek. Kita memang wajib bercuriga dengan keadaan yang sepi ini..."

   Kedua orang itu lalu menghilang lagi ke dalam gelap. Dan Liu Yang Kun menjadi tahu sekarang, bahwa pada dinding-dinding gua yang gelap itu ternyata banyak lorong-lorong gua yang lain, Itulah sebabnya ia tak tahu dari mana kedua orang itu tadi datang. Untuk sesaat pemuda itu menjadi ragu-ragu, ditengoknya ratusan ular yang tertunduk ketakutan di belakangnya. Ingin sebenarnya ia mengikuti kedua orang itu untuk melihat siapa sebetulnya mereka. Tapi bagaimana dengan ular-ularnya itu? Bagaimana kalau mereka nanti menjadi ribut dan menyerang orang-orang itu? Liu Yang Kun menarik napas panjang. Kasihan rasanya kalau harus membubarkan ratusan ular yang telah berhari-hari mengikutinya itu.

   "Biarlah mereka ikut. Nanti kalau mereka membikin ribut aku akan membubarkannya. Hmm... sekalian belajar mengendalikan ular-ular beracun!" akhirnya pemuda itu mengambil keputusan.

   Oleh karena itu Mustika racun yang berada di tangannya segera dimasukkannya kembali ke dalam kantungnya, kemudian berlari mengejar orang-orang itu. ratusan ekor ular itu seperti terbangun dari tidurnya. Bergegas mereka merayap pula mengikuti Liu Yang Kun. Benar juga. Pada dinding gua yang gelap itu terdapat sebuah lobang gua yang lain. Liu Yang Kun cepat memasukinya. Dan sebentar kemudian rombongan ular-ular beracun itu berbondong-bondong pula mengikutinya. Mereka berbelok kesana kemari menurutkan lorong gua itu. Turun naik dan sering kali Liu Yang Kun harus memilih jalan ketika lobang gua tersebut tiba-tiba pecah menjadi dua atau tiga bagian.

   Namun telah sejauh itu ia berjalan, kedua orang yang dikejarnya itu belum kelihatan juga. Malahan karena secara tidak sengaja ia berputar-putar saja di dalam lorong gua tersebut, maka ratusan ekor ular yang mengikutinya itu menjadi bingung dan ribut. Barisan ularnya mencapai puluhan meter panjangnya itu menjadi terpecah-belah dan tersesat kesana-kemari di dalam lorong-lorong yang banyak jumlahnya itu. Akhirnya Liu Yang Kun menjadi kesal tatkala kakinya tiba-tiba menginjak lorong gua yang pertama lagi. Gemerciknya aliran air sungai itu segera memberi kesadaran pada dirinya bahwa ia hanya membuang-buang waktu saja di tempat itu. Sementara rombongan ular-ularnya justru menjadi susut jumlahnya.

   "Persetan dengan orang-orang itu. Lebih baik aku keluar dari dalam gua ini." geram pemuda itu di dalam hatinya, lalu melangkah menuju ke mulut gua yang terang benderang itu. Beberapa saat lamanya pemuda itu silau dan tak bisa melihat apa-apa. Namun setelah mengerahkan tenaga sakti Liong-cu i-kangnya, rasa silau itu segera hilang. Dan kemudian dipandangnya keindahan alam di pantai karang yang indah luar biasa itu.

   "Bukan main! Betapa indahnya! Betapa leganya...!" Liu Yang Kun menengadahkan kepala seraya merentangkan lengannya, mensyukuri kebebasannya. Namun sesaat kemudian wajahnya tertunduk kembali. Matanya terasa menjadi pedas. Tiba-tiba ia teringat kepada isterinya lagi.

   "Sayang... Tui Lan tak ikut merasakannya..." Dengan kepala tertunduk Liu Yang Kun melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat yang sangat bersejarah baginya itu. Kakinya menginjak hamparan pasir yang terbentang di depan mulut gua itu. Semakin jauh ia berjalan semakin heran ia me lihat lobang-lobang gua yang banyak terdapat di tebing pantai karang itu. Demikian banyaknya lobang gua itu sehingga ia sudah tak bisa Iagi menentukan, mana lobang gua tempat ia keluar tadi.

   Hari masih pagi. Matahari belum terlalu tinggi mendaki langit. Burung burung camar tampak terbang berseliweran di atas pantai tersebut. Mereka selalu berebutan menyambar ikan-ikan kecil yang terdampar ombak ke tepian.
(Lanjut ke Jilid 16)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 16
Mendadak Liu Yang Kun melihat sebuah perahu layar datang mendekati pantai itu. Perahu itu tidak begitu besar bentuknya, namun dipasangi layar-layar yang besar dan lebar sehingga di tengah laut perahu itu tentu sangat laju jalannya. Dan awak perahu itu kelihatan menggulung layarnya begitu mendekati pantai. Karena hatinya masih diliputi kecurigaan, maka Liu Yang Kun cepat mencari tempat persembunyian.

   Pemuda itu ingin me lihat apa yang hendak dikerjakan oleh awak perahu tersebut? Apakah mereka adalah teman kedua orang yang dilihatnya di dalam gua tadi? Ataukah mereka justru para bajak laut yang disebut-sebut oleh kedua orang itu? Sebentar kemudian perahu itu telah membuang sauhnya tidak jauh dari pantai. Kemudian belasan orang tampak menurunkan sampan dan mengayuhnya ke pinggir. Mereka mempergunakan empat buah sampan kecil-kecil, yang masing-masing mengangkut empat atau lima orang di dalamnya. Setelah menyeret sampan-sampan itu ke tepian, para penumpangnya segera berkumpul di tempat yang berpasir. Semuanya tampak tegap-tegap dan kasar-kasar suatu tanda bahwa mereka benar-benar para pelaut yang biasa bersikap buas dan kasar.

   "Hai... awaaaaaaass!? banyak ular di sini!" tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak ketakutan. Liu Yang Kun terperanjat!

   "Wah.., aku sampai melupakan ular-ular itu," sesalnya. Tapi apa daya, mereka telah melihatnya ia tak mungkin mencegahnya lagi. Orang-orang kasar itu menjadi ribut. Apalagi ketika ular-ular Liu Yang Kun semakin banyak yang keluar menampakkan diri. Mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan membabati ular-ular yang datang itu. Ular-ular yang lain segera menjadi marah pula. Mereka berbondong-bondong keluar menyerang rombongan orang kasar tersebut. Sehingga sebentar saja tempat itu menjadi ajang pertempuran aneh yang amat mengerikan! Manusia melawan ular!

   Korban pun segera berjatuhan. Pasukan ular itu susut dengan cepatnya. Meskipun demikian dari pihak orang-orangkasar itu pun mulai jatuh korban pula. Beberapa orang yang tidak mampu menghindar dari pagutan ular-ular berbisa itu mulai kejang-kejang, untuk kemudian jatuh tersungkur di atas pasir dan menjadi santapan pasukan ular yang sudah marah itu. Dan korban dari pihak orang-orang kasar itu ternyata semakin lama semakin bertambah banyak juga. Bagaimana pun juga mereka tak bisa terus-menerus menghindar dari pagutan ratusan ular berbisa itu. Walaupun masing-masing dari mereka itu dapat membunuh empat puluh atau lima puluh ekor di antara penyerbunya, namun seekor atau dua ekor di antaranya tentu berhasil dan menggigit dirinya. Oleh karena tidaklah mengherankan bila beberapa saat kemudian orang-orang tersebut mulai ngeri dan ketakutan.

   "Tolong! Toloongggggg...," satu atau dua orang dari mereka mulai berlari-lari menyelamatkan diri sambil menjerit-jerit m inta tolong ke arah perahu yang ada di tengah laut itu. Sementara itu kawan-kawan mereka yang berada di atas perahu tampaknya juga sudah melihat keributan tersebut. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan urat-urat yang membengkak di tiap bagian badannya, terutama di bagian dada, bahu dan lengannya, terdengar menggeram sambil memilin-milin kumis serta jenggotnya yang lebat luar biasa. Sebuah rantai besi panjang tampas melilit di pinggangnya.

   "Setan laut! Huh! Kenapa mereka itu? Kenapa mereka menjadi ribut tak karuan seperti itu?"

   "Mereka seperti diserang orang. Mungkin dengan anak-panah atau sambitan batu. Kita tak bisa melihatnya dari sini..." salah seorang pengawalnya menyatakan pendapatnya.

   "Heii...? Lihat! Kelinci-kelinci tak berguna itu banyak yang roboh.. dan berusaha melarikan diri! Bangsat! Kelinci Busuk keparat...!" lelaki berotot kekar itu berteriak marah.

   "Be-benar...wah! A-apa yang harus kita lakukan sekarang?" pegawainya berkata pula dengan cemasnya.

   "Turunkan sekoci! Kita kesana melihatnya! Bangsat tak berguna!"

   Begitu sekoci diturunkan, lelaki kekar itu meloncat ke bawah dengan tangkasnya. Meskipun sampan kecil itu langsung ambles dan hampir terbenam menerima beban tubuhnya, tapi sampan itu sama sekali tak bergoyang karenanya. Para pengawal atau pembantu dari Laki kekar itu lalu membagi tugas, sebagian menjaga perahu, sebagian lagi mengikuti pemimpin mereka itu. Pengawal yang mendapat bagian menjaga perahu segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjaga hal-hal yang tak mereka duga sebelumnya, sementara para pengawal yang memperoleh bagian mengikuti pemimpin mereka segera menurunkan beberapa buah sekoci lagi untuk mengangkut mereka ke daratan. Di tengah jalan mereka bertemu dengan kawan-kawan mereka yang melarikan diri dari pantai itu.

   "Ulaaaar...! Ulaaaaaaar...!" orang-orang yang datang dari darat itu menjerit-jerit.

   "Pengecut... Mengapa dengan ular saja kalian takut? Setan busuk!" lelaki kekar itu marah-marah.

   "Tapi... tapi ularnya tidak hanya seekor, Twako!" orang yang melarikan diri itu menjawab ketakutan.

   "Tidak hanya satu? Lalu...berapa, heh?"

   "Lebih dari se-se-seribu ekor!"

   "Apa...? Seribu?" lelaki kekar itu tersentak kaget, lalu bergegas mengayuh sampannya ke pinggir. Sementara itu pertempuran antara pasukan ular dan rombongan orang-orang kasar itu telah selesai. Di antara belasan orang kasar yang mendarat tadi ternyata hanya enam orang saja yang mampu meloloskan diri dari sergapan ular-ular berbisa itu. Sisanya tergeletak berserakan di atas pasir itu dalam keadaan tewas. Namun demikian pihak pasukan ular pun tinggal beberapa puluh ekor saja yang hidup.

   Yang lain telah menemui ajalnya di tangan senjata orang-orang kasar itu. Tubuh mereka terpotong-potong, berceceran memenuhi arena pertempuran itu. Baunya jangan dikata lagi. Amis dan memuakkan! Salah seorang dari orang-orang kasar itu mati di depan tempat persembunyian Liu Yang Kun. Semula orang itu mencoba melarikan diri setelah mendapat gigitan di kakinya. Tapi baru beberapa langkah ia berlari, tubuhnya telah kejang kejang dan jatuh tersungkur di depan Liu Yang Kun. Liu Yang Kun lalu menarik tubuh orang itu. Melihat orang itu telah tewas, ia lalu mengambil pakaiannya. Liu Yang Kun tak ingin dilihat orang dengan pakaian kulit ularnya itu. Dan beruntung juga buat dia, karena orang itu berperawakan tinggi besar, sehingga pakaian itu dapat menutupi pakaian kulit ularnya.

   "Kurang ajar...! Bagaimana tempat yang sepi ini mendadak menjadi demikian banyak ularnya, heh?" begitu melompat turun dari sampannya lelaki kekar itu berteriak marah. Tapi teriakannya itu segera disambut oleh serbuan ular-ular yang masih tersisa. puluhan ekor ular yang masih hidup itu segera menyerang dengan ganasnya.

   "Setan laut! Setan busuk...!" lelaki kekar itu mengumpat seraya mengerahkan tenaganya ke arah lengannya yang berotot. Lalu sekali sambar tangannya telah meraup lima atau enam ekor ular sekaligus dan kemudian meremasnya sehingga hancur. Demikianlah, berkali-kali lelaki kekar itu berbuat serupa. Bergantian sambil menghindarkan serbuan ular-ular itu, kedua belah tangannya menyambar ke depan, menangkapi ular-ular tersebut dan meremasnya sampai hancur.

   Sebentar saja korbannya telah bertumpuk-tumpuk. Dan korban itu pun semakin bertambah lagi dengan cepat, ketika orang itu sudah mulai bosan dengan caranya tersebut. Orang itu lalu mengeluarkan gulungan rantai besinya yang panjang. Dan rantai besi yang berat itu diayun dan diputarnya kesana-kemari, membabat ular ular yang menyerangnya. Sekejap saja pasukan ular itu terpental kesana-kemari dengan tubuh hancur. Bahkan tidak cuma ular-ular itu saja yang menjadi korban amukan besi itu. Pasir, tanah dan batu karang di sekitar arena itu pun menjadi porak poranda bertaburan kemana-mana. Begitu hebatnya tenaga gwa-kang lelaki kekar itu sehingga batu karang sebesar kerbau pun menjadi retak dan berguguran tersapu rantai besinya.

   "Huh! Melawan ular-ular macam itu saja sudah lari terbirit-birit! Kelinci-kelinci tak berguna. Huoaaaaiii... ayoh kemari semua...!" lelaki kekar itu bersungut-sungut, kemudian berteriak kepada anak-buahnya yang masih berada di atas sekoci mereka. Dan ketika orang-orang itu telah mendarat, lelaki kekar itu segera memerintahkan mereka untuk membereskan kawan-kawan mereka yang tewas.

   "Goblog semua! Huh! Belum belum sudah membuang nyawa secara percuma.! Hee... kemana orang-orang Mo-kauw itu...? Apakah mereka tidak berani datang, heh?" lelaki kekar itu mengumpat dan mengedarkan pandangannya ke tebing-tebing pantai yang banyak lobang guanya itu. Salah seorang dari orang-orang kasar yang tadi bisa melepaskan diri dari keroyokan pasukan ular itu segera maju ke depan.

   "Kami... kami belum sempat menemui utusan dari Mo-kauw, Twako. Begitu kami menginjakkan kaki di pantai ini, ular-ular itu langsung menyerbu..." lapornya sedikit gugup. Sementara itu ditempat persembunyiannya Liu Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Benar! Hmm... Ingat aku sekarang. Kedua orang yang kutemui di dalam gua itu adalah anggota aliran Mo-kauw. Aku pernah melihatnya di Kuil Delapan Dewa beberapa tahun yang lalu. Kalau tak salah orang yang dipanggil supek itu adalah tokoh tingkat tiga di dalam Aliran Mo-kauw. Dia adalah murid Bhong Kim Cu, salah seorang dari Siang-Kauw Tai-shih (Sepasang Utusan Agama) Aliran Mo-kauw."

   "Huh...!" lagi-lagi lelaki kekar itu mendengus. Lalu,

   "...Kalau begitu... mengapa utusan Mo-kauw itu belum datang juga? Apakah nelayan-nelayan yang dititipi oleh Hai-ong kita itu belum sempat menyampaikan pesan itu? Hmm... apabila demikian halnya, maka kedatangan kita ini sungguh sia-sia. Sudah banyak kehilangan kawan, masih tidak bisa bertemu dengan orang yang dicari lagi... hmmmh!" (Hai-ong Raja Laut/Raja Bajak Laut) Tapi sebelum gema suara lelaki kekar itu hilang tertiup angin, tiba-tiba dari sebuah mulut gua muncul dua orang laki-laki yang dilihat oleh Liu Yang Kun.

   "Ah, maafkanlah kami bila kami tidak lekas-lekas menemui cuwi di sini. Karena belum pernah memasuki Gua Siluman ini, maka kami terpaksa berputar putar kebingungan di dalamnya. Sebenarnya kami telah sejak tadi berada tempat ini." utusan Mo-kauw yang berusia lebih tua itu cepat memberi keterangan atas keterlambatannya.

   Sambil memberi hormat kedua orang utusan Mo-kauw itu melirik ke arah mayat-mayat yang berserakan di depan mereka. Diam-diam mereka menjadi bingung juga menyaksikan keadaan itu. Apalagi ketika mereka lihat bangkai-bangkai ular yang luar biasa banyaknya itu. Sekejap lelaki kekar itu tertegun juga melihat kedatangan orang yang dicarinya. Namun kematian anak-buahnya itu segera membuatnya malu dan marah. Apalagi kemudian timbul kecurigaan di dalam hatinya, kemungkinan keterlibatan mereka didalam peristiwa ini.

   "Hee? Apakah kalian utusan dari Mo-kauw, hah? Siapakah kalian? Mengapa Pek-i Liong-ong (Raja Naga Berbaju Putih -Ketua Aliran Mo-kauw) sendiri yang datang?" sapanya kasar. Wajah kedua orang utusan Mo-kauw itu menjadi merah. Mereka merasa tersinggung. Meskipun demikian orang yang lebih tua itu segera menahan lengan kawannya.

   "Jangan terpancing dengan api yang disulutnya! Kita harus tetap tenang dan waspada, agar urusan kita dengan bajak laut itu cepat selesai dan menjadi jelas. Persoalan Mo-kauw dengan Tung-hai-tiauw itu akan semakin ruwet dan berlarut-larut apabila kita berkelahi sekarang. Kau masih ingat pesan Mo-cu (Ketua Aliran agama Mo), bukan?" bisiknya perlahan untuk menenangkan hati kawannya itu.

   "Maafkanlah teecu, Supek..." Orang yang dipanggil supek itu mengangguk, lalu melepaskan lengan yang dipegangnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Dengan amat hati-hati menjawab perkataan lelaki kekar tadi.

   "Kami mohon maaf yang sebesar besarnya karena Mo-cu kami tidak bisa hadir sendiri menemui cuwi (saudara). Meskipun demikian Mo-cu telah memberi kepercayaan kepada kami berdua untuk menjumpai saudara, sesuai dengan undangan yang kami terima lewat nelayan itu..." Dan ketika lawannya tidak segera menanggapi ucapannya, maka tokoh Aliran Mo-kauw itu lalu Meneruskan perkataannya.

   "Dan... perkenalkan, Siauwte bernama Ouw Lam Cu. Dan keponakan muridku ini bernama Tan Bing Cu. Lalu siapakah nama besar ci-su? Bolehkah kami berdua mengetahuinya?" Tapi lelaki kekar itu tetap pada sikapnya. Sedikitpun tidak mau merubah sikapnya yang kurang bersahabat itu. Dengan suara yang masih menunjukkan kecurigaannya lelaki itu menggeram.

   "Hmmh! Apakah kalian berdua masih memerlukan namaku pula setelah kejadian ini? Baiklah! Aku pun tidak akan mundur menghadapinya. Sebut saja aku Tiong Pan Kang Si Gajah Laut. Kedatanganku kemari juga diutus Tung-hai-tiauw untuk menjemput Pek-i Liong-ong, ketua kalian. Tapi karena Pek-i Liong-ong tidak datang, maka kami akan menangkap kalian sebagai gantinya. Bersiaplah! Kami tidak segan-segan untuk membunuh, karena kawan kami pun telah banyak yang terbunuh pula oleh ular-ular itu." Ternyata kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu dapat menangkap kecurigaan lawan mereka. Tapi karena mereka memang tidak mempunyai sangkut-paut dengan pasukan ular itu, maka mereka pun lantas menyanggahnya.

   "Saudara Tiong...! Kau tak perlu berputar-putar mencari alasan untuk menangkap kami. Kami berdua sama kali tak tahu-menahu tentang ular-ular itu. Kedatangan kami kemari hanya untuk menemui utusan Tung-hai-tiauw. Kami mendapat tugas untuk menanyakan pada utusan itu, apa sebabnya Tung-hai-tiauw dan anak buahnya memusuhi Aliran Mo-kauw tanpa sebab. Malahan beberapa hari yang lalu Mo-cu kami telah menerima pula laporan dari cabang cabang kami di daerah, yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh cabang kami banyak yang diculik oleh kaki tangan Tung-hai-tiauw."

   "Ho-ho-ho-ho...! Jadi kalian sudah mendengar pula berita itu? Bagus...! Bagus... ho-ho-ho! Kalau begitu kalian pun akan mengalami nasib yang sama pula sekarang! Ayoh, sekarang menyerahlah!" Tiong Pan Kang menggertak. Tapi dengan tenang Ouw Lam Cu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ooh... jadi itukah sebenarnya maksud kalian mengundang kami ke tempat sepi seperti ini? Jadi kalian juga akan meringkus aku? Begitukah? Ehm... hebat juga rencana Tung-hai-tiauw ini. Tapi... coba katakan kepada kami, apakah sebabnya Tung-hai-tiauw berbuat demikian? Bukankah selama ini Mo-kauw tak pernah bermusuhan dengan Tung-hai-tiauw?"

   "Jangan banyak bicara, itu urusan Hai-ong kami dengan Mo-cu kalian! Kita tak usah mempermasalahkannya? Pokoknya kami mendapat perintah, sebelum Pek-i Liong-ong menyerahkan diri, kami akan menangkap semua tokoh Mo-kauw kalian!"

   "Kurang ajar! Kalian memang bukan manusia baik-baik! Tak tahu aturan, sombong, kejam dan hanya ingin menang sendiri! Hmmh Kalian kira kami takut kepada Tung-hai-tiauw? Silahkan menangkap kalau mampu," ternyata Ouw Lam Cu tak bisa mengekang diri pula akhirnya.

   "Bagus! Lihat serangan...!" Tiong Pan Kang membentak seraya melompat ke depan. Rantai besi yang ada di dalam genggamannya menyambar ke arah lawannya. Suaranya berdentangan, seolah-olah lingkaran besi yang saling bertautan itu secara tiba-tiba berlaga pula satu sama lain. Melihat itu kawanan bajak laut yang sedang mengumpulkan mayat-mayat temannya itu segera menyingkir. Mereka tak ingin menjadi korban senjata mengerikan itu.

   "Wuuuuuuut!" Ouw Lam Cu cepat mengelak, sehingga ujung rantai besi itu menghantam pasir dengan dahsyatnya!

   "Bhhhhuuuuuuum!" Tanah dan pasir muncrat berhamburan kemana-mana. Sekejap tempat itu menjadi gelap oleh taburan pasir dan tanah!

   "Bukan main! Gwa-kang si Bajak laut itu benar-benar luar biasa! Kalau tokoh Mo-kauw itu tak berhati-hati, badannya bisa lumat dihantam senjata berat itu." Liu Yang Kun berkata di dalam hatinya. Memang benar. Tiong Pan Kang yang bertubuh besar dan kekar itu memang memiliki tenaga luar (gwa-kang) yang hebat sekali.

   Rantai besi sepanjang dua depa itu seperti benda mainan saja ditangannya. Terayun kesana-kemari seakan-akan tidak berbobot sama sekali. Padahal bila menyentuh tanah, padas, pasir atau batu-batu karang, semuanya seolah-olah lalu meledak dengan dahsyatnya. Untunglah Ouw Lam Cu mempunyai ginkang yang baik. Meskipun terus-menerus terdesak dan tak bisa membalas sedikit pun, namun ia masih mampu menyelamatkan diri dari kejaran rantai besi tersebut. Hanya saja keadaan itu tentu takkan bisa berlangsung lama. Dengan berloncatan begitu, tenaganya akan lebih cepat habis. Sementara lawannya yang hanya memutar-mutarkan rantainya itu akan tetap segar bukan seperti sedia-kala. Ternyata Liu Yang Kun merasakan juga ketimpangan itu.

   "Heran. Mengapa Pek-i Liong-ong cuma mengirimkan orang seperti Ouw Lam Cu untuk menemui utusan Tung-hai-tiauw. Apakah Aliran Mo-kauw sudah kehabisan jago-jagonya? Mengapa bukan Bhong Kim Cu atau Leng Siauw, kedua orang Utusan Agamanya yang lihai itu?" pemuda itu membatin. Sementara itu Tan Bing Cu benar-benar sangat mencemaskan keadaan supeknya. Semakin lama rasa cemasnya itu semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika rantai-besi itu mulai menyentuh tubuh supeknya. Oleh karena itu tanpa memikirkan akibatnya ia segera terjun menolong supeknya. Tapi ternyata langkahnya itu justru mengundang bahaya lain yang lebih besar lagi malah! Melihat pemimpinnya dikeroyok lawan, kawanan bajak-laut yang berada di tempat itu segera turun pula ke arena.

   Bagaikan kawanan serigala haus darah mereka menyerbu Tan Bing Cu. Demikianlah bukannya dia bisa menolong supeknya, tapi ia sendiri justru terjerumus ke dalam lobang kesulitan pula malah! Sekarang Liu Yang Kun lah yang menjadi gelisah. Pemuda itu menjadi bingung, tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Menolong kedua tokoh Mo-kauw itu atau membiarkan saja mereka menerima nasibnya? Begitulah, di saat pemuda itu masih disibukkan oleh keragu-raguannya maka pertempuran itu sendiri sudah sampai pada akhirnya. Tanpa memakan banyak waktu kedua orang tokoh Mo-kau itu telah dapat diringkus oleh Tio Pan Kang dan anak buahnya. Malah Lam Cu sendiri terpaksa harus menderita patah tulang pada lengan kirinya, akibat menangkis sambaran rantai besi Tiong Pan Kang.

   "Ah! Tampaknya para bajak-laut itu memang tidak bermaksud membunuh mereka. Mereka benar-benar hanya ditangkap saja..." Liu Yang Kun bernapas lega.

   Oleh karena itu Liu Yang Kun tidak jadi keluar dari tempat persembunyiannya. Dibiarkannya saja kawanan bajak laut itu mengurus kawan-kawan mereka yang tewas. Dan dibiarkannya pula mereka pergi membawa tawanan mereka ke atas perahu yang berlabuh di tengah-tengah laut itu. Ia baru keluar ketika tempat itu benar-benar telah menjadi sepi. Pemuda itu menengadahkan kepalanya. Dilihatnya matahari telah naik tinggi. Perlahan-lahan kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Disusurinya pantai tersebut ke arah utara. Dibiarkannya angin laut yang mengandung air itu menerpa tubuhnya. Dingin, namun malah membuatnya segar. Tapi dengan demikian perutnya yang kosong justru terasa lapar sekarang.

   "Ah, ingin benar rasanya aku mencicipi masakan yang enak-enak setelah setahun hanya makan ikan bakar terus-menerus. Cuma...?" pemuda itu tak meneruskan ucapannya mengingat dirinya tak memiliki uang sama sekali untuk membeli makanan itu.

   Pantai itu semakin jauh semakin sulit dilewati. Selain berbatu-batu karang besar, tebingnya pun semakin bertambah curam dan licin pula. Sehingga beberapa lie kemudian Liu Yang Kun tak bisa berjalan di bibir pantai lagi. Pemuda itu terpaksa harus naik ke atas tebing, dan berjalan menerobos lebatnya hutan perdu yang memadati pantai tersebut. Semakin ke utara hutan itu semakin lebat. Dan pepohonannya pun juga semakin bertambah tinggi pula, sehingga akhirnya beberapa lie kemudian hutan tersebut benar-benar telah berubah menjadi rimba-raya yang sulit diterobos lagi. Liu Yang Kun terpaksa semakin menjauhi pantai. Ia mulai melewati daerah daerah yang telah dijamah oleh tangan manusia, jalan setapak, ladang-ladang, kebun, dan akhirnya melewati pula dusun-dusun kecil yang masih jarang didatangi orang kota.

   "Ah, tampaknya aku tadi telah salah memilih tujuan. Seharusnya aku tadi menuju ke selatan atau ke barat saja, sehingga kemungkinan besar aku tidak terlunta-lunta ke daerah yang masih perawan seperti ini." pemuda itu menggerutu, karena sudah sekian lamanya ia berjalan, belum juga bertemu dengan kota. Tapi hati pemuda itu sedikit terobati pula ketika akhirnya dia bisa menjumpai sebuah dusun yang agak besar dan ramai. Dusun itu berada di tepi sebuah sungai yang cukup lebar. Penduduknya ramah-tamah dan mereka banyak dijumpai Liu Yang Kun di sawah sawah atau ladang-ladang mereka.

   "Lopek, dusun apakah ini namanya?" pemuda itu bertanya kepada seorang petani yang dijumpainya di tengah jalan. Petani tua itu tersenyum. Sambil meletakkan paculnya ke tanah, matanya menatap Liu Yang Kun dengan pandangan aneh. Meskipun demikian mulutnya menjawab dengan ramah.

   "Apakah Siau-heng (saudara muda) belum pernah lewat di sini? Dusun kecil ini bernama Kee-cung. Masih termasuk wilayah kabupaten An hui. Ehmm... Siau-heng hendak pergi kemana?"

   "Ah...!" Liu Yang Kun berdesah gugup.

   "Saya... saya cuma seorang petualang yang biasa berjalan kemana saja. Saya tak mempunyai tujuan yang pasti. Tapi... tapi eh, dimanakah kota yang terdekat dari sini, lopek?" Mendengar Liu Yang Kun memperkenalkan dirinya sebagai petualang, petani tua itu mengernyitkan dahinya. Tampak sinar kecurigaan membayang di matanya. Walaupun begitu ia tak bertanya apa-apa. Ia tetap menjawab pertanyaan Liu Yang Kun dengan sopan.

   "Siau-heng maksudkan... kota kecil atau kota besar? Kalau yang Siau-heng maksudkan adalah kota kecil, tempatnya memang tidak terlalu jauh dari dusun ini. Tapi kalau yang Siau-heng maksudkan itu adalah sebuah kota yang besar, Siau-heng terpaksa harus menempuh sehari perjalanan lagi untuk mencapainya."

   "Ohh...?" Liu Yang Kun berdesah sambil mengangguk anggukkan kepalanya.

   "Pertama, Siau-heng bisa mengambil jalan darat ke arah barat daya. Siau-heng menerobos hutan itu, kemudian melewati bukit panjang sejauh empat atau lima lie. Nanti Siau-heng akan sampai di sebuah kota kecil, bernama Yun-ceng. Dari kota itu Siau-heng bisa mendapatkan kuda atau kereta, sehingga bisa meneruskan perjalanan ke kota Si-hwee atau Kuo-cui di pinggir telaga Tai Ouw."

   "Jalan yang lain...?" Petani tua itu membalikkan badannya, lalu menunjuk ke arah sungai.

   "Jalan yang kedua adalah melalui sungai itu. Kalau Siau-heng mengikuti aliran sungai itu ke arah utara, Siau-heng akan sampai ke kota kecil An-lei nantinya. Di kota kecil itu Siau-heng bisa memperoleh tumpangan perahu ke kota-kota yang lain di sepanjang sungai itu. Malahan bila Siau-heng mau terus menyelusuri sungai itu jauh ke utara, maka sebelum mencapai sungai besar Yang-ce, Siau-heng akan sampai di kota besar Cin-an. Nah, sekarang Siau-heng bisa memilih, jalan mana yang hendak Siau-heng lalui..."

   "Terima kasih, Lopek. Tetapi... jalan manakah sebaiknya yang harus kutempuh, Lopek? Maksudku, jalan mana yang lebih mudah dan enak untuk ditempuh?" Petani tua itu tertawa.

   "Wah, Siau-heng ini sungguh lucu sekali. Siau-heng yang hendak berjalan, masakan Lopek yang disuruh memilih." Liu Yang Kun terpaksa ikut tertawa pula.

   "Manakah yang lebih mudah, Lopek?" pemuda itu tetap mendesak. Masih dalam keadaan tertawa, petani tua itu menjawab.

   "Yaaah... tentu saja melalui air lebih enak dari pada melalui jalan darat. Selain tidak panas dan banyak melewati rumah-rumah atau perkampungan penduduk, bisa juga menumpang perahu yang lewat, sehingga badan lebih banyak beristirahat di dalam perjalanan."

   "Ah, Lopek benar. Bodoh benar aku ini." Liu Yang Kun ikut pula mentertawakan dirinya sendiri. Sementara itu beberapa orang petani yang lain, yang baru pulang dari sawahnya, ikut berhenti pula di dekat mereka. Mereka mengawasi Liu Yang Kun dengan wajah ingin tahu, sehingga pemuda itu rikuh dan merasa risih.

   "Terima kasih, Lopek. Kalau begitu aku mohon diri sekarang." pemuda itu cepat cepat meminta diri.

   "Ah, mengapa tergesa-gesa? Apakah siau-heng tidak beristirahat dulu di dusun kami? Marilah, kalau Siau-heng mau... singgah dulu di gubugku!" petani tua itu mengundang dengan ramah.

   "Tidak usah, Lopek. Terima kasih... Saya ingin lekas-lekas sampai di kota sore ini. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas keterangan Lopek ini." Liu Yang Kun cepat-cepat memberi hormat, lalu pergi meninggalkan petani yang baik hati itu. Sementara yang ditinggalkan masih saja berdiri mengawasi dengan pandang mata aneh, seakan-akan ada sesuatu yang dipikirkannya.

   "Sinar matanya tajam luar biasa. Hampir-hampir aku tak kuasa menentang tatapan matanya. Hmm... aku berani bertaruh pemuda itu tentu memiliki kesaktian yang luar biasa dahsyatnya!" petani tua itu berkata didalam hatinya. Lalu sambil menarik napas panjang ia menambahkan.

   "Dan... rasa-rasanya aku pernah melihat atau bertemu dengan dia. Hmmmmm..."

   "Kam Lojin, siapakah dia...? Apakah yang dikatakan kepadamu tadi?" para petani yang berkumpul di dekat mereka tadi segera mendekat dan bertanya. Petani tua itu mengangkat pundaknya. Lalu sambil meraih paculnya kembali dia menjawab,

   "Aku tak tahu. Dia hanya memperkenalkan diri sebagai petualang. Begitu saja. Dia menemui aku untuk menanyakan jalan menuju ke kota." Orang-orang dusun itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kemudian sambil masih mempercakapkan Liu Yang Kun mereka berjalan pulang bersama-sama. Seorang demi seorang mereka lalu memisahkan diri pulang ke rumah masing-masing. Sehingga akhirnya tinggal petani tua itu sendiri yang melangkah pulang ke rumahnya, yaitu sebuah rumah kecil di pinggir desa itu.

   "Benar. Rasa-rasanya aku memang pernah bertemu dengan pemuda itu. Tapi dimana...?" sambil berjalan petani tua itu masih disibukkan oleh bayangan Liu Yang Kun. Tapi belum juga petani tua itu memasuki halaman rumahnya, tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan para tetangganya.

   "Kam Lojin... Kam-Lojin... Ada sesosok mayat lagi yang hanyut di sungai itu!"

   "Hah! Apa...? Mayat lagi...?" petani tua itu tersentak kaget. Belasan orang penduduk segera datang mengelilingi petani tua tersebut.

   "Benar, Kam Lojin. Sesosok mayat wanita tampak terapung-apung lagi di sungai kita. Tampaknya masih baru. Kini sedang diambil oleh beberapa orang kawan kita..." salah seorang dari mereka melapor. Berbondong-bondong mereka pergi ke sungai. Di sana telah berkerumun para penduduk desa itu. Beberapa orang pemuda tampak membawa galah panjang untuk mengambil mayat itu. Mayat itu masih sangat muda. Mungkin belum ada dua puluh tahun umurnya. Tidak ada tanda-tanda luka pada tubuhnya yang hampir tak berpakaian sama sekali. Wajahnya cukup manis. Dan yang jelas bukan penduduk desa itu.

   "Hmmh... keadaan mayat ini persis dengan mayat-mayat yang telah kita ketemukan selama ini. Terbunuh oleh racun yang sangat keras setelah diperkosa kehormatannya. Dan wanita ini belum lama mati. Tampaknya baru saja terjadi..." Kam Lojin berkata kepada seorang lelaki tua yang hampir sebaya dengan dirinya, setelah memeriksa mayat wanita muda itu. Lelaki tua yang tidak lain adalah kepala desa dari dusun itu menghela napas panjang. Air mukanya tampak geram, karena sudah beberapa kali desanya menemukan mayat wanita tanpa bisa mengungkapkan siapa pembunuhnya.

   "Selama sebulan ini saja kita telah menemukan empat mayat wanita tak dikenal. Dan semuanya adalah korban lelaki hidung belang. Huh... pusing aku!" dengusnya kesal.

   "Cungcu (Kepala Kampung), agaknya penjahatnya juga sama. Mungkin seorang jai-hwa-cat (penjahat-pemetik-bunga) yang suka mengganggu dan memaksa wanita muda." salah seorang penduduk desa itu menyatakan pendapatnya.

   "Benar, Cungcu. Mungkin di daerah hulu sungai sana berkeliaran seorang jai-hwa-cat, sehingga korban-korbannya banyak yang hanyut sampai ke sini..." yang lain ikut bicara.

   "Kukira memang demikian..." Kam Lojin menyetujui pendapat itu.

   "Hanya saja..." Tapi belum juga kata-kata Kam Lojin itu habis, tiba-tiba dari arah hilir sungai terdengar jeritan wanita meminta tolong.

   "Tolooooong! Toloooong...!" Semuanya terkejut dan menoleh ke arah suara itu berasal. Seorang gadis manis, cucu kepala desa itu sendiri, muncul dari balik pepohonan sambil menjerit-jerit dan berlari-lari. Gadis itu hanya mengenakan pakaian dalam saja sehingga ketika menyadari keadaannya ia langsung menubruk dan berlindung di belakang kakeknya. Tangisnya tak bisa dibendung lagi. Saking kagetnya Kepala-desa itu menjadi pucat pasi wajahnya. Namun melihat keadaan cucunya dia cepat melepas pakaian luarnya dan kemudian menyelimutkan kepada tubuh cucunya itu.

   "Ceng Ceng, ada apa? Ada apa? Le-lekas... katakan!" serunya gagap.

   "Pemuda itu... pemuda itu... oh... dia... dia hendak... hendak berbuat kurang ajar kepada... kepadaku!" Ceng Ceng menjerit-jerit lagi seperti orang ketakutan.

   "Apaaa...????" sekian banyak orang yang berada di tempat itu berseru berbareng. Otomatis semuanya memandang ke tempat dimana gadis itu tadi muncul. Dan semuanya berwajah berang. Belum juga hilang rasa geram mereka menyaksikan korban kekejaman lelaki hidung belang, kini malah ada orang yang berani berbuat kurang ajar di depan hidung mereka. Terhadap cucu kepala desa mereka lagi! Maka dapat dibayangkan betapa marahnya orang-orang itu. Sekali lagi penduduk Kee-cung itu berbondong-bondong ke tempat di mana Ceng Ceng tadi diganggu orang.

   Dan kali ini dengan kemarahan yang meluap-luap. Beberapa orang malah mengambil senjata seadanya, seperti pacul, sabit, pisau, tongkat dan lain sebagainya. Kam Lojin yang mencoba menahan dan mendinginkan hati orang-orang itu ternyata tidak berhasil. Orang-orang itu sudah terlanjur marah. Oleh karena itu untuk menjaga segala kemungkinan Kam Lojin lalu mengawal saja penduduk yang sedang marah itu. Siapa tahu akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nanti? Dan ternyata apa yang dikhawatirkan oleh Kam Lojin itu memang benar-benar terjadi. Begitu sampai di tempat yang dituju, petani tua itu melihat pemuda yang dijumpainya tadi sedang duduk bersamadi mengheningkan pikirannya. Tampaknya ada sesuatu yang telah terjadi pada diri pemuda itu.

   "Itu dia penjahatnya! Bunuh saja!" para petani itu berteriak-teriak.

   "Jai-hwa-cat keparat! Tentu dia pula yang membunuh dan memperkosa mayat-mayat yang kita ketemukan itu! Bunuh dia!" yang lainnya menyambung pula.

   "Benar! Bunuh saja lelaki hidungbelang itu! Mungkin dia pulalah si Iblis Penyebar Maut yang mengganas di propinsi Kang Lam setahun yang lalu!" salah seorang penduduk yang mempunyai saudara di Kota Soh-ciu, Kang Lam, berseru pula dengan kerasnya. Demikianlah, sebelum Kam Lojin yang disegani penduduk Kee-cung itu berkesempatan mencegah mereka, mereka telah lebih dulu menyerang Liu Yang Kun. Berbagai senjata yang mereka pegang tadi terayun bersama-sama ke tubuh pemuda yang kini sedang duduk memusatkan pikiran itu.

   "Jangaaaaan...!" Kam Lojin masih sempat berteriak cemas. Tapi bukan cemas pada keselamatan pemuda itu. Sebaliknya justru mencemaskan keselamatan orang-orang desanya itu. Namun semuanya telah terjadi! puluhan senjata tumpul maupun tajam itu sudah terlanjur mengenai tubuh Liu Yang Kun! Dan pemuda itu seakan-akan tidak berusaha untuk mengelak sama sekali!

   Dia hanya mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya! Dan yang terjadi kemudian benar-benar tidak masuk di akal sama sekali! Memang selanjutnya terdengar suara berdebug dan berdentang berkali-kali, serta diikuti pula suara jeritan kesakitan di tempat itu. Namun bukan pemuda itu yang berteriak-teriak dan terkapar di atas tanah. Sebaliknya justru orang orang kampung itulah yang berteriak dan bergelimpangan di atas tanah. Tentu saja orang-orang yang belum sempat mengayunkan senjatanya menjadi kaget dan bingung menyaksikan kejadian itu. Mulut mereka ternganga mengawasi kawan-kawan mereka yang bergelimpangan kesakitan itu. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang telah dilakukan pemuda itu terhadap kawan-kawan mereka itu. Tapi yang jelas mereka menjadi ngeri dan takut kepada pemuda itu sekarang!

   Dan rasa ngeri dan takut itu segera terbukti ketika Liu Yang Kun bangkit dari duduknya. Bagaikan sekelompok kijang yang bertemu dengan singa, tiba tiba mereka membuang senjata di tangannya, lalu lari lintang-pukang menyelamatkan diri. Saking takutnya mereka lari tanpa melihat jalan. Mereka saling tabrak dan saling tubruk, sehingga banyak di antara mereka yang terluka karenanya. Sekejap saja mereka itu telah hilang dari pandangan. Sekarang tinggal Kam Lojin dan orang-orang yang terluka saja yang masih berada di tempat itu. Petani tua itu tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu ia menghampiri kawan-kawannya yang terluka akibat serangan mereka sendiri tadi. Serangan yang ditujukan kepada pemuda asing itu, namun ternyata malah membalik mengenai diri mereka sendiri.

   "Lopek...!" Liu Yang Kun menyapa petani tua itu.

   "Sudahlah! Maafkanlah mereka! Mereka adalah orang-orang desa yang bodoh." Kam Lojin menyahut tanpa memalingkan mukanya. Ia asyik mengobati kawan-kawannya. Tangan dan jari-jarinya sungguh cekatan sekali.

   "Siauwte inilah yang seharusnya meminta maaf, bukan mereka. Siauwte lah yang bersalah, karena tak tahan melihat... melihat gadis yang baru mandi di sungai itu..." Kam Lojin menoleh dengan cepat. Dipandangnya wajah Liu Yang Kun seakan akan tak percaya.

   "Jadi... kau benar-benar mengganggu gadis itu, Siau-heng?" Liu Yang Kun menarik napas panjang, lalu dengan sangat berat ia menganggukkan kepalanya. Wajahnya tampak sedih dan amat tertekan sekali.

   "Lopek...! Setelah bertemu dengan engkau tadi aku lantas pergi menyusuri sungai ini. Sambil berjalan aku memikirkan Lopek, karena...karena aku merasa seperti pernah mengenal Lopek. Tapi aku lupa, dimana aku pernah bertemu dengan Lopek. Karena melamun terus, maka tak merasa kalau sampai di tempat...di tempat gadis itu mandi. Aku menjadi kaget setengah mati. Celakanya... celakanya... aku ini mempunyai penyakit...penyakit..."

   "Penyakit hidung belang maksud Siau-heng?" Kam Lojin meneruskan dengan sedikit tersenyum. Liu Yang Kun menjadi merah-padam mukanya.

   "Bukan! Bukan! Bukan itu...

   " sergahnya cepat.

   "Penyakit itu... penyakit itu... ahh...!" Pemuda itu tak bisa menerangkan penyakitnya. Oleh karena itu dengan senyum di kulum Kam Lojin memotong,

   "Sudahlah, Siau-heng... kau tak perlu menerangkannya. Aku pun pernah menjadi muda pula. Tapi aku percaya kepadamu, Bahwa sebenarnya engkau tidak jahat. Aku pun merasa seperti pernah mengenal Siau-heng pula."

   "Hah? Jadi Lopek merasa pula kalau kita pernah bertemu dan saling berkenalan?" Liu Yang Kun berseru girang.

   "Benar. Tapi seperti halnya Siau-heng, aku yang tua ini telah lupa pula. Hm, siapakah nama Siau-heng sebenarnya?"

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Yang Kun, Lopek... Liu Yang Kun! Lopek siapakah?"

   "Penduduk Kee-cung ini menyebutku... Kam Lojin. Tapi... sebentar, ehm... Liu Yang Kun... Liu Yang Kun...! Rasanya aku pernah mendengar nama itu..." Kam Lojin mengeryitkan dahinya sambil berpikir keras.Tapi sebelum petani tua itu menemukan jawabannya, Liu Yang Kun sudah keburu ingat siapa sebenarnya petani tua dihadapannya itu. Sambil menjura dalam-dalam, pemuda itu berseru.

   "Kam-Lo-Cianpwe, kita pernah bertemu di dusun Ho-ma-cun beberapa tahun yang lalu. Pada waktu itu Siauwte datang mengunjungi Lo-Cianpwe bersama-sama dengan Toat-beng-jin dan Kauw Cu-si Tong Ciak dari Aliran Im-Yang-kauw." Tiba-tiba Kam Lojin berseru girang pula.

   "Hei, benar! Ingat aku sekarang. Liu-heng datang bersama-sama dengan puteri Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai itu, bukan? Aku ingat benar pada gadis ayu berlengan satu itu. Eh, dimanakah dia sekarang? Apakah anak itu sudah kawin?" Sekali lagi Liu Yang Kun menjadi merah pada mukanya. Sekejap ia seperti diingatkan kembali kepada gadis yang pernah merampas hatinya itu. Dan tiba-tiba pula hatinya terasa sangat pedih. Tentu saja perubahan air muka Liu Yang Kun itu tak luput dari pandangan Kam Lojin. Sebagai orang tua yang telah banyak makan garam kehidupan, ia segera bisa meraba apa yang kira-kira bergejolak di dalam hati pemuda itu. Oleh karena itu ia pun segera terdiam dan tak mau mendesak pula terlebih lanjut.

   "Tampaknya ada sesuatu yang tak beres di dalam hubungan mereka. Dahulu pun mereka kelihatan tak akur. Dan keadaan tersebut agaknya berlarut-larut pula hingga sekarang. Malahan siapa tahu ketidak akuran mereka itu berkembang menjadi permusuhan yang hebat di antara mereka kini?" ia menduga-duga di dalam hati. Maka untuk menghilangkan kesan yang kurang menyenangkan itu Kam Lojin lalu mengalihkan pembicaraan mereka. Tapi Liu Yang Kun yang masih merasa bersalah dan ingin menjelaskan persoalannya itu cepat mengembalikan lagi pokok permasalahan mereka semula.

   "Kam Lo-Cianpwe, Siauwte benar-benar ingin meminta maaf kepada warga desa Kee-cung ini, terutama kepada gadis itu beserta keluarganya. Aku telah khilaf tadi, dan untunglah semuanya belum terjadi. Namun demikian Siauwte ingin menjelaskan semua ini kepada mereka..." Kam Lojin menatap wajah Liu Yang Kun dengan tajamnya. Senyumnya merekah tanda ia semakin menyukai pemuda itu. Dan keyakinannya juga semakin tebal bahwa pemuda dihadapannya itu memang bukanlah orang jahat.

   "Tapi... bagaimana Siau-heng hendak menjelaskan kepada mereka? Bukankah Siau-heng tadi benar-benar telah mengganggu gadis itu?" Liu Yang Kun terdiam pula termangu mangu.

   " Ini... ini... ah, bagaimana sebaiknya Lo-Cianpwe? Siauwte... Siauwte memang sulit menjelaskannya. Tapi... tapi Siauwte merasa kurang enak pula kalau tidak menjernihkannya di hadapan mereka." Kam Lojin mengerutkan dahinya sambil mengusap jenggotnya yang panjang.

   "Wah, repot juga kalau begitu. Bagaimana mereka mau mengerti kalau Siau-heng tidak bisa menjelaskan sebab-sebabnya? Siau-heng harus menjelaskan sebab-sebab perbuatan Siau-heng itu! Kalau tidak, mana mereka mengerti?"

   "Ah!" Liu Yang Kun berdesah semakin gelisah. Beberapa saat lamanya ia tidak segera bisa mengambil keputusan. Bolak-balik matanya menatap Kam Lojin. Namun bila hendak membuka mulut, tidak jadi. Kam Lo jin menengadahkan kepalanya. Sambil menghela napas panjang ia berkata,

   "Sebenarnya Siau-heng bisa saja meninggalkan desa ini tanpa harus menjelaskan persoalan kecil ini kepada mereka Tak seorangpun bisa mencegah kepergian Siau-heng. Tapi... aku juga lebih menyetujui keinginan Siau-heng tadi. Soalnya... di desa ini sedang ada persoalan gawat, yang akan bisa merugikan nama baik Siau-heng bila persoalan Siau-heng sekarang tidak segera dijernihkan dulu."

   "Persoalan gawat? Oh, persoalan apakah itu?" Liu Yang Kun tersentak kaget.

   "Sudah sebulan ini kami menemukan mayat-mayat gadis muda di sungai ini. Gadis-gadis itu dibunuh orang setelah diperkosa kehormatannya. Nah, kalau Siau-heng tidak segera menjelaskan persoalan Siau-heng itu selekasnya, maka tidak urung mereka akan menganggap bahwa Siau-heng lah pelakunya. Mereka akan menyebarkan berita ini kemana-mana, sehingga Siau-heng pun akan dicari orang untuk dibunuh. Kehidupan Siau-heng pun lalu menjadi terkekang dan tidak bebas lagi. Semua orang ingin menjauhi Siau-heng, karena semua orang menganggap bahwa Siau-heng sangat berbahaya."

   "Oh? Begitukah? Kalau begitu siau te semakin bernafsu untuk menjelaskannya kepada mereka. Kalau tidak... wah!" Pemuda itu lantas teringat kembali akan tingkah laku dan pengalamannya beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika dirinya masih meraja lela menjadi Si Iblis Penyebar Maut di daerah Kang Lam itu. Sebuah pengalaman yang amat mengerikan, yang sangat bertentangan dengan hati-nuraninya sendiri, namun terpaksa ia lakukan karena ia tak kuasa mencegahnya. Oleh karena itu ia tak ingin mengulanginya lagi sekarang. Ia harus mencegahnya, karena selama menikah dengan Tui Lan ia merasa telah sembuh dari penyakit anehnya itu.

   "Aku baru saja keluar dari gua di bawah tanah itu. Jadi tidak mungkin kalau aku yang membunuh dan memperkosa gadis-gadis itu. Tentu ada orang lain yang melakukannya. Aku harus membersihkan diriku. Aku tak ingin didakwa lagi sebagai Si Iblis Penyebar Maut seperti dulu. Apalagi sekarang aku tak merasa berbuat..." katanya di dalam hati. Sementara itu Kam Lojin telah selesai mengobati orang-orang yang terluka. Orang itu telah bisa bangkit berdiri kembali. Tapi mereka tampak ketakutan memandang Liu Yang Kun.

   "Saudara-saudara, kalian telah mendengar pula pembicaraanku dengan pemuda ini tadi. Dia bukanlah pelaku dari serangkaian kejahatan yang menimpa gadis-gadis muda yang mayatnya kita ketemukan di sungai ini. Dia telah menyanggahnya, dan aku percaya kepadanya. Memang dia telah berusaha menganggu Ceng Ceng, cucu Kepala Desa kita. Tapi semua itu disebabkan oleh... oleh... oleh..." Kam Lojin tak bisa melanjutkan keterangannya.

   "Maaf. Biarlah Siauwte sendiri yang menjelaskannya." Liu Yang Kun cepat memotong seraya tampil ke depan.

   "Begini saudara-saudara sekalian...! Mungkin saudara sekalian tak percaya kalau kukatakan bahwa aku mempunyai sebuah penyakit yang aneh. Aneh sekali malah. Yaitu, aku tak kuasa mengekang diri bila melihat wajah cantik. Sehingga akibatnya kadang-kadang aku berbuat yang kurang senonoh tanpa sadar. Namun terus terang, aku belum berbuat apa-apa terhadap gadis itu tadi. Aku tadi baru dalam taraf melihat dan datang mendekati tempatnya mandi. Dan ia telah berteriak-teriak ketakutan sambil berlari meninggalkanku. Itu saja. Dan seperti yang dikatakan oleh Kam Lo-ci-anpwe ini, aku benar-benar tidak tahu-menahu tentang mayat-mayat yang kalian ketemukan itu. Aku baru saja datang dari pantai. Aku berani bersumpah untuk meyakinkan kata-kataku ini..."

   Penduduk desa Kee-cung yang terluka itu hanya ternganga sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hati mereka belum percaya se ratus persen pada pernyataan pemuda itu, namun karena mereka takut pada kesaktian pemuda itu, maka mereka tidak berani menyanggahnya. Mereka hanya memandang kepada Kam Lojin, warga desa mereka yang mereka anggap pintar serta berilmu itu dengan hati pasrah.

   "Nah, Kam Lo-Cianpwe... marilah kita menemui Kepala Desa untuk menjernihkan perkara ini...!" Liu Yang Kun akhirnya berkata.

   "Baiklah, Siau-heng..." Demikianlah, orang-orang itu lalu berjalan mengantarkan Liu Yang Kun ke Balai Desa. Ketika sampai di tempat pengambilan mayat tadi, mereka tidak menemukan siapapun di sana. Warga desa yang berkumpul di tempat itu telah pergi pula menyelamatkan diri. Mereka membawa juga mayat gadis itu. Di sepanjang jalan menuju ke Balai Desa suasananya seperti kuburan. Tak seorangpun tampak berkeliaran di luar rumah. Pintu dan jendela rumah tak ada yang terbuka. Semuanya tertutup. Anak-anak kecil yang biasa terlihat di mana-mana itu pun tak ada yang keluar pula.

   "Ah! Tampaknya kesaktian yang Siau-heng perlihatkan tadi benar-benar menggiriskan para penduduk di sini. Lihat tak seorangpun kelihatan batang hidungnya! Semuanya menutup diri di dalam rumah. Hmm... betul bukan ucapanku tadi, Siau-heng? Mereka menganggapmu sebagai manusia yang sangat berbahaya, yang harus disingkirkan atau., dijauhi!"

   "Benar, Lo-Cianpwe. Oleh karena itu pula Siauwte harus cepat-cepat memberikan penjelasan kepada mereka. Bila terlambat, dan mereka mendapat kesempatan untuk menyebar-luaskan anggapan yang keliru ini, maka tamatlah riwayatku. Aku tak bisa hidup aman, tenteram dan bebas lagi seperti dulu..." Tak berbeda dengan yang lainnya, rumah Kepala Desa itu juga tertutup rapat semua pintu dan jendelanya. Halamannya yang luas dimana Balai Desa itu didirikan, juga kelihatan sepi seolah-olah tak berpenghuni. Meskipun demikian Kam Lojin tetap membawa Liu Yang Kun ke atas pendapa dan mengetuk pintunya. Beberapa orang yang mengikuti mereka tadi segera duduk beristirahat di emperan pendapa.

   "Cungcu, bukalah pintumu...! Aku Kam Lojin datang untuk berbicara sedikit denganmu." Kam Lojin berseru. Hening sejenak. Tak seorangpun menjawab. Namun telinga Kam Lojin dan Liu Yang Kun dapat mendengar suara banyak orang di dalam rumah itu. Kedua orang itu saling memandang, seakan-akan meminta pendapat masing-masing, apa yang sebaiknya mereka lakukan.

   "Kita buka dengan paksa pintu itu, Lo-Cianpwe?" Liu Yang Kun mendesak.

   "Ya, tapi jangan kau yang melakukannya. Mereka akan menjadi semakin ketakutan kepadamu. Biarlah aku saja yang membukanya." petani tua itu mengiyakan, kemudian serunya lagi ke arah dalam,

   "Cungcu... Maaf, aku hendak membuka pintumu secara paksa! Aku...!" Tapi belum juga habis kata-kata Kam Lojin itu, tiba-tiba pintu tersebut telah bergerit. Dari sela-sela daun pintu yang belum sepenuhnya terbuka, Kepala Desa itu menjengukkan kepalanya. Matanya nanar, wajahnya pucat.

   "Kam... Kam Lojin... Di-dimanakah... pemuda... pemuda setan itu...?" bisiknya gagap dan terengah-engah seperti dikejar setan.

   "Dia berada di belakangku." Kam Lojin menjawab seraya menggerakkan kepalanya ke belakang.

   "Hah...?" Kepala Desa itu terhenyak kaget, lalu buru-buru hendak menutup kembali pintunya, tapi dengan tangkas Kam Lojin menahannya.

   "Cungcu, jangan takut! Aku ada di sini. Lihat, kawan-kawan kita yang terluka itu juga ada di sana! Mereka juga tidak apa-apa..."

   "Heh? Mereka tidak mati terkena tenaga-setan pemuda itu?"

   "Tenaga-setan? Tidak ada tenaga setan di dunia ini!" Kam Lojin membujuk.

   "Tidak ada? Ah, Kam Lojin jangan membohong! Bukankah pemuda iblis itu tidak mempan senjata tajam? Bukankah hanya jeritannya saja pemuda iblis itu mampu melontarkan belasan kawan kita? Apakah itu bukan tenaga-setan?"

   "Ah... Cungcu! Itu tadi bukan tenaga-setan. Setiap ahli-silat tingkat tinggi tentu bisa melakukannya pula. Aku pun juga bisa. Mengapa harus ditakutkan?" petani tua itu berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkan kepala desanya.

   "Sungguh...?"

   "Cungcu ingin bukti? Baiklah... aku akan melemparkan Cungcu dari belakang pintu itu hanya dengan hentakan kakiku di lantai. Bersiaplah!" Dengan cepat Kam Lojin mengerahkan tenaga-dalamnya. Lalu sebelum kepala desanya itu menyadari keadaannya, tiba-tiba kaki kanannya menghentak lantai dengan kerasnya. Hup! Dan di saat itu juga kepala-desa itu terlempar ke belakang dengan kuatnya.

   "Brussh!"

   "Aduuuuh!" Di lain saat di dalam rumah itu terjadi kegaduhan. Beberapa orang warga desa Kee-cung yang ikut bersembunyi di dalam rumah itu berteriak-teriak kesakitan ketika tubuh kepala-desa mereka itu menimpa mereka. Kam Lojin cepat membuka pintu tersebut. Bersama sama dengan Liu Yang Kun ia memasuki rumah besar itu. Keduanya tersenyum geli melihat belasan orang yang jatuh tunggang-langgang di atas lantai. Semuanya tampak ketakutan ketika melihat kedatangan Liu Yang Kun. Kam Lojin cepat membangunkan kepala-desanya.

   "Bagaimana, Cungcu? Tidak ada yang aneh, bukan?"

   "Ini... ini... eh! A-apa maksud... maksudnya datang kemari?" Kepala desa itu masih saja ketakutan melihat Liu Yang Kun. Kam Lojin lalu mengumpulkan orang-orang yang ada di dalam rumah itu dan mengajak mereka keluar ke pendapa. Di depan mereka Kam Lojin menerangkan bahwa Liu Yang Kun bukanlah orang jahat. Kalau tadi pemuda itu me lukai kawan-kawan mereka, hal itu dilakukannya karena terpaksa. Hanya untuk membela diri.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 35 Pendekar Penyebar Maut Eps 34 Pendekar Penyebar Maut Eps 57

Cari Blog Ini