Memburu Iblis 20
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 20
"Auuuh...?" tokoh Aliran Mo-kauw itu menjerit kecil ketika sebuah dari paku itu mampu menembus sepatunya dan melukai ibu-jari kakinya. Untunglah paku-paku yang lain dapat ia tepiskan dengan kibasan sepatunya. Sambil terpincang-pincang Leng Siauw memandang Tiauw Li Ing. Tokoh Aliran Mo-kauw yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw itu hampir tak percaya kalau gadis muda yang belum dikenalnya itu mampu menggagalkan niatnya untuk menyerang Tung-hai-tiauw, Bahkan dapat melukai dirinya pula. Pandangan Leng Siauw mulai berubah terhadap gadis itu.
"Bukan main! Nona, ilmumu melempar senjata rahasia benar-benar hebat sekali! Hmm... siapakah gurumu?" tokoh Aliran Mo-kauw itu berdesis. Sementara itu Bhong Kim Cu menjadi marah sekali menyaksikan Sutenya terluka. la juga tak menyangka kalau puteri Tung-hai-tiauw itu memiliki ilmu sedemikian hebatnya.
"Bocah licik! Pengecut! Mengapa kau menyerang lawan dari belakang?" geramnya. Namun sambil tertawa cekikikan Tiauw Li Ing menjawab.
"Hihihihi...! Sudah kukatakan tadi, kalian hadapi dulu aku... baru kemudian ayah! Mengapa kalian tak mau mendengarkannya juga? Huh...! Setelah kini menerima akibatnya, kalian lantas mencak-mencak. Bilang aku pengecut, licik, menyerang lawan dari belakang...! Huh!"
"Baik, kau bersiaplah! Tampaknya kau memang patut diberi pelajaran supaya sedikit berkurang kecongkakanmu." Bhong Kim Cu membentak.
"Rewel! Huh! Kaulah yang harus berhati-hati! Karena akulah yang akan memberi pelajaran pahit kepadamu!" Tiauw Li Ing berteriak tidak kalah garangnya.
"Kurang ajar! Lihat serangan..!" akhirnya Bhong Kim Cu tak kuasa menahan kemarahannya. Dengan jurus Burung-Hong-merentangkan-Sayap Bhong Kim Cu menubruk Tiauw Li Ing. Sepasang lengan bajunya yang panjang dan amat longgar itu menampar dari kanan dan kiri, seolah-olah mau menjaring atau mengurung Tiauw Li Ing di tengah-tengah. Sementara gelombang udara hangat terasa menyertai serangan itu. Tiauw Li Ing terperanjat. Hembusan udara hangat itu terasa menggencet tubuhnya ke bawah. Semakin lama semakin kuat, sehingga gadis itu merasa seperti ada beban berat yang hendak menindihnya ke atas lantai. Untunglah di dalam kekagetannya Tiauw Li Ing tidak cuma terpaku diam menantikan datangnya serangan tersebut. Dengan ilmu silatnya yang tinggi gadis itu cepat bereaksi.
Sebelum lengan baju yang mengandung tenaga mukjijat itu benar-benar mengurung dan menindihnya ia buru-buru membungkukkan badan serendah-rendahnya. Kemudian sambil me lemparkan telapak tangannya ke lantai beberapa kali, ia menggeliat ke samping tiga atau empat kali. Dengan demikian ia bisa meloloskan diri dari kurungan lawannya. Kini ganti Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang terkejut. Sebagai tokoh yang memiliki banyak pengalaman mereka segera 'melihat" sesuatu yang aneh di dalam ilmu silat lawannya. Mereka seperti mengenal gaya dari ilmu silat tersebut. Yaitu gaya dari sebuah ilmu yang mendasarkan ilmunya pada dua inti sekaligus. Inti Im dan Inti Yang (Positif dan Negatif). Namun mereka juga merasa ragu-ragu pula, karena hanya Aliran Im-Yang kauw lah yang memiliki gaya seperti itu. Masakan anak bajak laut yang kejam itu menjadi anak murid Aliran Im-Yang-Kauw?
"Oouugh!" tiba-tiba Leng Siauw meringis kesakitan sambil memegang kakinya yang tertusuk paku tadi. Darah sudah berhenti menetes dari luka itu. Tapi ketika Leng Siauw memeriksanya sekali lagi tiba-tiba matanya melotot. Ibu-jari kakinya itu kini telah berubah menjadi hitam seluruhnya. Dan tampaknya malah akan merembet ke atas. Leng Siauw cepat mengeluarkan pisau kecilnya. Sekali tabas, ibu jari itu dipotongnya. Darah merah mengucur seperti pancuran. Namun dengan cepat pula Leng Siauw menghentikannya. Ujung jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah di sekitar luka tersebut.
"Awas, suheng! Anak itu ternyata suka bermain-main dengan racun!" Leng Siauw memberi peringatan kepada suhengnya.
"Keji sekali!" Bhong Kim Cu mengumpat. Tiauw Li Ing tertawa cekikikan lagi. Sambil menimang-nimang kedua buah kipasnya gadis itu mengejek.
"Apakah kalian berdua takut? Kalau takut...hi-hi, lekaslah menyerah! Aku takkan membunuhmu."
"Huah-haha-haha...! Bagus! Bagus!" Tung-hai-tiauw tertawa puas pula menyaksikan kehebatan puterinya.
"Hmmh, jangan cepat merasa puas! Kita belum benar-benar bertarung tadi! Kini kau betul-betul harus waspada! Aku tidak akan main-ma in lagi." Bhong Kim Cu menggeram. Tokoh kedua dari Aliran Mo-kauw itu lalu merangkapkan kedua buah telapak tangannya di depan dada.
Setelah tenaga saktinya terkumpul, kaki kanannya lalu melangkah ke depan sambil mendorongkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah. Masing-masing tertuju ke arah kepala dan pusar Tiauw Li Ing. Dan udara hangat pun terasa menyambar pula ke depan. Tapi Tiauw Li Ing juga tidak mau kalah gertak. Sama sekali ia tidak mau mengelak dari serangan yang penuh dengan tenaga-sakti itu. Kedua buah kipas besi yang ada di tangannya itu segera direntangkannya ke atas dan ke bawah untuk menyongsong pukulan lawannya. Dan kedua buah kipas itu juga tampak bergetar pula, suatu tanda bahwa gerakannya juga disokong oleh sebuah tenaga raksasa. Sekali lagi gerakan gadis itu sangat mengagetkan lawannya, karena seperti tadi pula, gerakan tersebut juga mencerminkan sebuah ilmu yang berintikan Im dan Yang!
Akibatnya, untuk sesaat Bhong Kim Cu menjadi bimbang. Di kebimbangan ini ternyata malah menyelamatkan nyawanya. Sebab pada saat-saat terakhir, tokoh kedua dalam Aliran Mo kauw itu cepat menarik kembali serangannya, dan kemudian menggantinya dengan serangan yang berbeda. Dan bersamaan dengan itu pula, tiba-tiba kedua buah kipas itu menghamburkan puluhan jarum halus ke arahnya. Untuk yang kedua kalinya Bhong Kim Cu menarik kembali serangannya. Bergegas dia membanting tubuhnya ke lantai, kemudian menggelundung pergi dengan muka merah. Hampir saja ia termakan oleh jarum-jarum halus yang berhamburan seperti hujan itu. Coba pada saat terakhir tadi ia tak menarik serangannya, niscaya kedua lengannya telah penuh dengan jarum-jarum beracun!
Demikianlah, untuk selanjutnya Bhong Kim Cu tidak berani memandang enteng gadis itu lagi. Ternyata kepandaian puteri Tung-hai-tiauw itu benar-benar di luar dugaannya. Oleh karena itu pada gebrakan-gebrakan selanjutnya ia sungguh-sungguh mengerahkan semua kemampuannya. Dan ternyata gadis itu dapat melayaninya dengan baik. Sementara itu di luar gedung telah terjadi pertempuran yang tidak kalah serunya. Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su yang memimpin pencarian terhadap orang yang berani mengganggu kawan-kawan mereka itu, ternyata tidak segera dapat menemukannya. Halaman yang luas itu telah mereka periksa dengan teliti, namun orang itu tetap belum mereka ketemukan juga. Akibatnya Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su menjadi marah. Kedua tokoh bajak laut itu segera memanggil para touw-bak, dan memerintahkan mereka untuk segera memeriksa kembali halaman itu.
"Bongkar saja semua tempat yang sekiranya dapat dipakai untuk bersembunyi Si Penyelundup itu!" Tiauw Kiat Su yang kejam dan berangasan itu berteriak. Tapi dengan cepat Tung-hai Nung jin melunakkan perintah itu. Orang tua yang memiliki banyak pengalaman itu tidak ingin suasana menjadi bertambah ribut dan kalut, sehingga justru memberi banyak peluang bagi buruan itu untuk meloloskan diri.
"Cobalah kalian periksa saja sekali lagi yang lebih teliti! Jangan sampai ada tempat sejengkal pun yang terlampaui!" katanya tegas dan berwibawa.
"Baik!" para thouw-bak itu mengiyakan, kemudian membawa pasukan masing masing untuk melaksanakan perintah itu.
"Kiat Su, kita pun harus membagi tugas. Kita berkeliling mengawasi mereka. Kau ke utara, aku ke selatan. Kita bertemu di tembok sebelah timur nanti. Bagaimana?" setelah semuanya berpencar pergi, Tung-hai Nung-jin berkata kepada Tiauw Kiat Su. Tiauw Kiat Su menghela napas panjang.
"Baik, Paman..." desahnya. Demikianlah, halaman gedung yang luas itu sekali lagi diperiksa oleh kawanan bajak laut itu. Kini mereka benar-benar memeriksa dengan teliti setiap jengkal tanah yang mereka injak. Mereka meneliti sedemikian seksamanya sehingga tak mungkin rasanya buruan itu bisa meloloskan diri. Bahkan beberapa anggota bajak laut yang mempunyai ginkang agak lumayan pun telah naik ke atas genting pula. Mereka memeriksa dengan cermat semua tempat yang mereka curigai.
"Gila! Apa yang mesti kulakukan? Bangsat-bangsat itu tentu akan sampai ditempat ini pula nanti." Liu Yang Kun mengumpat umpat ketika orang-orang itu mulai mendekati persembunyiannya. Pemuda itu lalu melirik ke bawah, ke tempat dimana bayangan yang dilihatnya tadi bersembunyi. Ternyata orang yang berlindung di semak-semak itu juga berada dalam bahaya pula. Sekelompok bajak laut telah mendekati tempat itu. Sungguh mengherankan! Liu Yang Kun yang sedang berada di dalam bahaya itu justru menjadi tegang menyaksikan pemandangan di bawahnya. Sama sekali pemuda itu telah lupa akan keadaannya sendiri. Perhatiannya justru tercurah kepada orang yang bersembunyi di dalam semak-semak itu.
"Sebentar lagi orang itu tentu keluar. Hmm... akan dapat kulihat nanti, siapa sebenarnya dia?" bisiknya dengan hati tegang.
"Heeei... lihat! Dia berada di sini!" tiba-tiba salah seorang dari kawanan bajak laut itu berteriak begitu menyibakkan semak tersebut. Dan teriakan itu segera disambut dengan gegap-gempita oleh yang lain, sehingga sebentar saja semuanya berlarian ke tempat itu. Mereka berteriak dan menjerit-jerit dengan ributnya.
"Awaaaaaas...! Jangan biarkan lolos!"
"Bunuh dia!"
"Mana...? Di manakah dia?" Namun beberapa saat kemudian mereka menjadi heran dan bingung! Demikian pula halnya dengan Liu Yang Kun yang menonton dari atas genting.
"Eh...? Mengapa orang itu tak kunjung keluar juga dari persembunyiannya? Apakah yang terjadi dengan dia?" pemuda itu terheran-heran.
"Hei... cepat! Dimanakah orang itu? Mengapa tidak lekas-lekas ditangkap?" kawanan bajak laut itu berteriak-teriak. Mereka tidak mengerti, terutama yang berdesakan di belakang kepungan, mengapa kawan-kawan mereka yang berada di depan tidak lekas-lekas menangkap buruan itu.
"Ya! Mengapa cuma diam saja? Bunuh orang itu!" yang lain ikut berteriak.
"Bunuh..."
"Tangkap...!" Dan mereka pun lantas berteriak-teriak dengan ributnya. Mereka mendesak maju dengan paksa. Namun yang berada di depan tiba-tiba berseru.
"Tahaaan...! Dia... Dia bukan buruan kita! Dia... Tang Hun, kawan kita sendiri! Dia pingsan ditotok orang! Pakaiannya dirampas...!"
"Hah?" Kawanan bajak laut itu terdiam seketika! Mereka terbelalak dan termangu mangu di tempat masing-masing! Tapi hanya sesaat saja. Karena sedetik kemudian mereka telah berteriak dan menjerit jerit kembali. Namun kini dengan kemarahan yang meluap-luap.
(Lanjut ke Jilid 20)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 20
"Bangsat itu telah lolos! Keparat!"
"Dia menyamar dengan pakaian Tang Hun!"
"Ayoh, cari dia sebelum pergi dari tempat ini!"
"Setan busuk! Tangkap orang yang mengenakan pakaian Tang Hun!"
"Bunuuuuh...!" Dan kepungan itupun lantas bubar kembali. Mereka menyebar untuk mencari buruan mereka yang kini mengenakan pakaian Tang Hun. Tetapi sekali lagi mereka dikejutkan oleh teriakan dari atas genting. Kali ini adalah teriakan kawan-kawan mereka yang menemukan persembunyian Liu Yang Kun.
"Awas! Dia bersembunyi di sini!"
"Cepat kemari semua! Dia ada di s ini!" Kawanan bajak laut yang berada di atas genting itu berteriak-teriak, sehingga kawanan bajak laut yang berada di bawah itu tidak jadi bubaran. Semuanya berlarian kembali ke tempat itu.
"Hei? Kalian mengatakan apa? Buruan kita berada di atas genting?"
'Mana dia...? Tangkap saja!"
"Bunuuuuh...!" Mereka berteriak dan menjerit-jerit lagi. Bagi yang mempunyai ginkang lumayan segera ikut naik ke atas genting, sedangkan yang tidak mampu lantas menggerombol berdesakan di bawah. Mereka mengumpat-umpat sambil mengacung-acungkan senjata mereka. Di dalam kekecewaannya, karena tidak jadi bisa melihat orang yang bersembunyi di dalam semak itu, Liu Yang Kun sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Sehingga ketika kawanan bajak laut itu menemukannya, ia sudah tidak bisa lari bersembunyi lagi.
"Kurang ajar! Kini aku lah yang menjadi kambing hitamnya! Huh...!" geramnya mendongkol.
"Menyerahlah! Jangan bertindak bodoh. Lihatlah di bawah itu! Engkau telah dikepung." kawanan bajak laut yang berada di atas genting itu membentak, ketika menyaksikan Liu Yang Kun bangkit untuk melawan. Tapi dengan suara kaku pemuda itu menjawab,
"Persetan... Aku tidak takut! Kerahkanlah semua kawan kawanmu! Tangkaplah aku kalau kalian bisa!"
"Bangsat busuk! Sombong benar kau! Terimalah pedangku ini...!" kawanan bajak laut yang berada di atas genting itu berseru marah, kemudian berloncatan menyerang Liu Yang Kun.
"Bunuh orang sombong ini!"
"Cincang tubuhnya..!" yang lain pun segera berteriak-teriak pula. Sekejap kemudian tempat itu telah menjadi ajang pertempuran yang kasar dan tak beraturan. Genting-genting yang mereka injak pun segera berpecahan dan melorot turun pula. Banyak yang terperosok kakinya dan jatuh tunggang langgang ke bawah, karena ginkangnya yang buruk. Liu Yang Kun tertawa dingin, dia itu sama sekali belum menggerakkan tangannya.
Dia hanya melangkah dan meloncat kesana-kemari untuk mengelakkan serangan lawannya. Mereka terlalu empuk baginya. Liu Yang Kun baru terpancing untuk menggerakkan lengannya ketika beberapa orang thouw-bak mulai datangi tempat itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi pemuda itu berloncatan, menghindar dan menangkis serbuan para pengepungnya. Namun karena para thouw-bak itu rata-rata juga memiliki kepandaian tinggi, maka serangan mereka semakin lama semakin merepotkan pula. Seringkali karena tak sempat untuk mengelak lagi, Liu Yang Kun terpaksa membiarkan punggung, dada atau perutnya yang terlindung oleh kulit ular Ceng-liong-ong itu dihantam atau ditusuk oleh senjata lawannya. Akibatnya para thouw-bak itu menjadi jerih, karena senjata mereka terpental dan tak bisa melukai kulit pemuda itu.
"Awas... dia kebal!"
"Ya... dia tak mempan senjata! Cepat laporkan kepada Hai-ong...!" mereka berseru gusar.
"Tak usah! Aku sudah ada di sini! Tak perlu melapor kepada ayah! Semuanya minggir...!" Tiba-tiba terdengar suara Tiauw Kiat Su membentak.
"Benar! Semuanya minggir! Biarlah kami yang menghadapi bangsat itu!" terdengar pula suara Tung-hai Nung-jin. Para thouw-bak itu mundur ke belakang, dan membiarkan Tung hai Nung-jin dan tiauw Kiat Su menghadapi lawan mereka.
"Cuh!" Tiauw Kiat Su meludah, kemudian melangkah maju bersama sama Tunghai Nung-jin. Sikapnya benar-benar amat memandang rendah kepada Liu Yang Kun. Namun ketika mereka sudah berhadapan muka, tiba-tiba pemuda itu terbelalak kaget. Begitu pula halnya dengan Tung-hai Nung-jin.
"Kau...?" desahnya pendek.
"Kau...?" Tung-hai Nung-jin tersentak hingga terbatuk-batuk. Liu Yang Kun tersenyum dingin, lalu meludah pula di depan lawannya,
"Benar! Akulah yang datang. Kalian masih mengenal aku?" katanya tenang. Sama sekali tidak peduli melihat lawan sedemikian banyaknya. Tiauw Kiat Su terperangah. Hatinya tersinggung. Sikap Liu Yang Kun yang seenaknya itu benar-benar membakar jantungnya. Diam-diam ia membatin,
"Kurang ajar! Ia masih menyangka aku seperti dulu. Hmm... akan kuringkus dia. Akan kubeset kulit mukanya. Akan kucongkel biji matanya. Biar dia tahu siapa aku sekarang. Bangsat!" Tetapi Tiauw Kiat Su tidak menunjukkan kemarahannya itu dihadapan Lawannya. Sambil menahan kegeramannya dia berkata,
"Huh... Jadi kau tidak mati tertimbun bukit longsor itu? Lalu... dimanakah gadis cantik yang kau bela mati-matian itu?" Untuk sekejap mata Liu Yang Kun seperti menyala di dalam kegelapan. Bayangan wajah Tui Lan yang sedang hamil tua itu kembali menggoda hatinya.
"Aah...?" pemuda itu berdesah panjang sekali. Suaranya terdengar sedih. Tiauw Kiat Su menjadi salah tafsir. Ia mengira kalau Liu Yang Kun telah mulai sadar akan kedudukannya sekarang. Dan pemuda itu mulai merasa ketakutan melihat lawan yang sedemikian banyaknya. Sementara itu diam-diam Tung-hai Nung-jin menggamit lengan Tiauw Kiat Su.
"Hati-hati! Kudengar pemuda ini lihai sekali. Kalau tak salah dia lah yang dulu dikejar-kejar adikmu." bisiknya perlahan.
"Apa? Dia...?" Tiauw Kiat Su tersentak kaget.
"Bangsat. Kalau begitu akan kubunuh dia! Dia bukan tandinganku sekarang!" Sejak Tiauw K iat Su mendengar adiknya tergila-gila kepada manusia yang bernama Chin Yang Kun, bahkan khabarnya adiknya itu sampai mengejar-ngejarnya pula, maka Tiauw Kiat Su merasa malu dan juga sangat benci kepada Chin Yang Kun. Tapi karena belum pernah melihat wajah Chin Yang Kun, maka Tiauw Kiat Su tidak mengenalnya ketika berjumpa di kota Soh-ciu setahun yang lalu.
"Hmh! Apakah kau yang bernama Chin Yang Kun itu?" tanyanya menahan gusar. Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya. Dengan wajah kaku ia menatap mata Tiauw Kiat Su.
"Kau sudah mengenal namaku!" katanya serak.
"Tentu saja. Aku sudah lama mencarimu. Aku ingin membunuhnya agar kau tidak bisa mengganggu adikku lagi. Oleh karena itu bersiaplah sekarang..!" Liu Yang Kun mengerutkan dahinya. Namun akhirnya ia tak mau berpikir banyak lagi. Sambil mengepalkan tinjunya ia menggeram.
"Persetan! Majulah...!"
Dan ternyata Tiauw Kiat Su juga tidak mau membuang-buang waktu lagi. Langsung saja ia mengeluarkan ilmu barunya yang didapatkannya dari Giok-bin Tok-ong. Ia ingin segera memperlihatkan ilmunya itu kepada Liu Yang Kun agar pemuda yang dibencinya itu tahu bahwa ilmunya sekarang telah jauh melampaui ilmu pemuda itu. Dan setelah lawannya itu kalah dan menjadi ketakutan nanti, ia akan mempermainkannya dan menyiksanya lebih dulu, sebelum akhirnya ia serahkan kepada Tiauw Li Ing untuk dibunuh. Dengan demikian semua hati dan dendam keluarganya terhadap pemuda itu telah terlampiaskan. Begitulah, ketika Tiauw Kiat Su mengerahkan tenaga saktinya, maka di seputar arena itu lalu tercium udara busuk yang menyesakkan napas. Kawanan bajak laut yang tidak segera mundur menjauhkan diri, atau meloncat turun ke bawah, segera menjadi pening dan mau muntah.
"Semuanya mundur! Jangan dekat-dekat!" Tung-hai Nung-jin cepat berteriak.
"Hei... ada apa? Apakah yang terjadi?" kawanan bajak laut yang berdesakan di bawah genting menjadi ribut dan berteriak-teriak. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kawan-kawan mereka di atas genting. Dan beberapa orang kawan mereka yang turun ke bawah segera memberi tahu apa yang terjadi di atas. Sehingga kawanan orang kasar itu merasa ngeri tapi sekaligus juga merasa kagum dan bangga terhadap putera Hai-ong mereka.
"Begitukah...? Wah, hebat betul!" mereka berseru.
"Kalau begitu sungguh malang benar nasib buruan kita itu. Sebentar lagi dia akan disiksa dan menjadi tontonan yang mengasyikkan buat kita, hahaha..."
"Biar tahu rasa dia! Mentang-mentang memiliki kepandaian tinggi enak saja dia mempermainkan kawan-kawan kita. Dikiranya kita ini tidak memiliki jago pula?" salah seorang bajak laut yang tadi ditotok lemas berseru pula dengan gemasnya.
Demikianlah, pertempuran di atas genting itu berlangsung semakin hebat dan seru. Ilmu yang diturunkan Giok-bin Tok-ong kepada Tiauw K iat Su memang dahsyat sekali. Ganas dan mengerikan. Selain hawa pukulannya mengandung racun, gerakan-gerakannya pun amat ganas dan mematikan. Sungguh sangat cocok dan serasi dengan watak dan ilmu yang pernah diwariskan oleh ayah Tiauw Kiat Su sendiri. Jadi, sesungguhnyalah bahwa ilmu kepandaian Tiauw Kiat Su sekarang benar-benar hebat sekali. Tak heran kalau Tung-hai Nung-jin yang lihai itu sampai kalah. Sayang sekali yang dihadapi pemuda itu sekarang adalah Liu Yang Kun, seorang pemuda yang secara tak terduga juga mempunyai nasib baik dan pengalaman yang menguntungkan dalam ilmu silat.
Maka sungguh tidak mengherankan bila ilmunya yang ganas dan mengerikan itu hampir menjadi tidak berarti berhadapan dengan ilmu Liu Yang Kun yang dahsyat dan aneh luar biasa. Baru menghadapi ginkang Liu Yang Kun saja Tiauw Kiat Su sudah kewalahan, apalagi menghadapi ilmu-ilmu Yang Kun yang lain. Meskipun demikian karena ilmu Tiauw Kiat Su juga bukan ilmu sembarangan, maka dalam waktu singkat Liu Yang Kun juga sulit untuk mengatasinya. Cuma yang sangat mengherankan Tiauw Kiat Su adalah mengapa lawannya seolah-olah kebal terhadap racun yang sebarkannya? Lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu pula hati Tiauw Kiat Su semakin menjadi kecut, gelisah, namun juga... heran, penasaran dan bingung! Kesombongan hatinya yang meledak-ledak tadi berangsur-angsur menghilang, dan selanjutnya berganti dengan kecemasan serta keputus-asaan.
"Sungguh gila! Manusia atau setan-kah pemuda ini? Mengapa ilmuku tidak mampu mengatasinya? Apakah aku harus mempergunakan pek-lek-tan untuk menundukkannya...?" Di dalam keputus-asaannya Tiauw K iat Su mulai berpikir tentang senjata pamungkasnya.
Kesulitan Tiauw Kiat Su itu dapat dilihat dan dirasakan pula oleh Tung-hai Nung jin. Diam-diam orang tua itu merasa kaget dan heran juga menyaksikan kehebatan ilmu silat Liu Yang Kun. Padahal beberapa tahun yang lalu dia pernah mengalahkan pemuda itu. (baca Pendekar Penyebar Maut). Lalu dari manakah pemuda itu memperoleh kesaktiannya ini?
"Tampaknya aku harus turun tangan untuk membantu Kiat Su..." bajak laut tua itu bergumam. Tangannya mulai menyentuh senjata paculnya yang terkenal itu. Sementara itu Liu Yang Kun sendiri ternyata belum sepenuhnya mengeluarkan ilmunya. Pemuda itu baru mengerahkan Bu-eng Hwe-teng dan sebagian saja dari ilmu Bit-bo-ong yang lain. Itu pun belum ia kerahkan sampai ke puncaknya. Meskipun demikian ternyata Tiauw Kiat Su yang kini kepandaiannya sudah melampaui ayahnya itu tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapinya.
"Ilmu silat pemuda ini sangat mirip dengan ilmu silat Giok-bin Tok-ong yang memiliki senjata peledak amat dahsyat itu. Hmmh... apakah pemuda ini murid kakek tua pesolek itu? Kalau dia benar-benar murid orang tua itu, ah... aku harus berhati-hati menghadapinya. Siapa tahu dia juga mewarisi senjata peledak itu?" Liu Yang Kun berkata dalam hatinya.
Demikianlah, meskipun berada diatas angin, namun Liu Yang Kun masih tetap waspada dan berhati-hati. Pemuda itu juga masih tetap menyisakan tenaganya untuk sewaktu-waktu menghadapi hal-hal yang luar biasa. Ia hanya mengerahkan separuh dari tenaga sakti Liong-cu i-kangnya yang maha ampuh itu, sementara ilmu silat Kim-coa ih-hoatnya belum ia keluarkan sama sekali. Liu Yang Kun baru mengeluarkan ilmu silat warisan Keluarga Chin, yang merupakan dasar ilmu kepandaiannya semenjak kecil. Hanya kadang-kadang saja ia menyelipkan beberapa jurus ilmu silat warisan Bit-bo-ong yang hebat itu. Namun karena semuanya itu ditunjang oleh ginkangnya yang sempurna serta tenaga dalamnya yang dahsyat, maka sungguh tidak mengherankan bila pengaruhnya benar-benar menjadi hebat tiada terkira.
Walaupun demikian, ternyata masih sulit juga bagi Liu Yang Kun untuk mengalahkan Tiauw Kiat Su, yang kepandaiannya sudah melebihi ayahnya itu. Maka dengan sangat terpaksa Liu Yang Kun lalu mengeluarkan Pat-hong Sin-ciang secara utuh. Perlahan-lahan ilmu warisan Bit-bo-ong itu ia mainkan dengan konsentrasi penuh. Oleh karena pemuda itu telah menguasai ilmu iblis tersebut dengan sempurna, sesempurna penciptanya sendiri, maka akibat dan pengaruhnya pun benar-benar luar biasa hebat dan mengerikan! Malahan kalau mau diperbandingkan dengan Bit-bo-ong asli, yang hidup pada zaman se ratus tahun yang lalu, kedahsyatan ilmu itu sekarang justru melebihi dalam segala-galanya. Hal itu disebabkan oleh karena lweekang Yang Kun sekarang jauh lebih tinggi dan lebih sempurna dari pada lweekang mendiang Bit-bo-ong asli dahulu.
Begitulah, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, tiba-tiba saja kawanan bajak laut itu merasakan sesuatu yang aneh di sekitar mereka. Udara tiba-tiba menjadi gelap. Dan hawa pun mendadak berubah menjadi dingin mencekam. Hati dan perasaan merekapun tiba-tiba menjadi kecut dan ngeri pula. Kawanan bajak laut itu masih memegang obor di tangan mereka. Namun api obor yang menjilat-jilat ke udara itu rasa-rasanya tidak memiliki sinar terang yang bisa menerangi udara di sekitar mereka. Nyala api itu rasa-rasanya hanya seperti bara api yang memerah tanpa sinar sama sekali. Dan ketika mereka mencoba mendongak ke atas mereka itu pun lantas menjadi kaget pula. Bintang yang semula bertaburan di atas langit itu mendadak lenyap. Yang mereka lihat sekarang cuma kekelaman, seolah-olah di atas mereka telah terbentang sebuah tabir hitam yang hendak mengurung mereka.
"Gila...!" mereka mengumpat dengan tubuh gemetar, karena mendadak saja gelombang udara dingin telah mengurung mereka pula.
Perubahan suasana yang tidak wajar itu ternyata dapat dicium dan dirasakan pula oleh K iat Su dan Tung-hai Nung-jin. Terutama sekali oleh Tiauw Kiat Su, yang sedang bertempur langsung dengan Liu Yang Kun. Pemuda itu merasa seperti ada getaran aneh di dalam dadanya. Di dalam hatinya. Getaran getaran aneh yang membuat perasaannya menjadi kecut dan ngeri tanpa sebab. Malah beberapa saat kemudian hatinya merasa resah dan takut pula. Apalagi kalau ia terlalu lama sering menatap mata lawannya. Di dalam pandangan atau pun perasaan Tiauw Kiat Su, roman muka dan perbawa Liu Yang Kun itu semakin menakutkan serta mengerikan. Lambat laun ia merasa seperti tidak sedang berhadapan dengan manusia lumrah, tetapi sedang bertempur dengan Raja Iblis atau Raja Kegelapan yang sangat mengerikan hati.
"Aaah... ilmu sihir!" pemuda itu berdesah panjang. Sebagai pemuda berkepandaian tinggi Tiauw Kiat Su cepat menebak bahwa ketidak-wajaran suasana itu disebabkan atau diakibatkan oleh ilmu lawannya.
Oleh karena itu untuk menjaga hal-hal yang tidak ia inginkan, ia sengaja mengelak dan menghindar terus dari benturan tenaga lawan. Sebaliknya ia berusaha untuk tidak selalu berhadapan langsung dengan lawannya. Terutama sekali ia harus menghindari tatapan mata lawan yang mengeluarkan getaran-getaran mengerikan itu. Dan untuk itu ia mengeluarkan senjata andalannya, yaitu sepasang kipas besi yang penuh jebakan dan senjata rahasia. Tetapi dengan caranya itu Tiauw Kiat Su semakin terjeblos ke dalam kesulitan. Karena ia mengambil sikap bertahan, maka Liu Yang Kun semakin bebas dan leluasa menentukan serangannya. Apalagi bagaimana Tiauw Kiat Su mampu mengimbangi kedahsyatan Bu-eng Hwe-teng yang amat luar biasa itu?
Dengan kehebatan dan keanehan senjata kipasnya, memang beberapa kali Tiauw Kiat Su bisa menyelamatkan dirinya. Tapi setelah Liu Yang Kun juga semakin meningkatkan ilmunya, maka keadaannya pun semakin menjadi parah pula. Dengan demikian semakin terusik pula hati pemuda itu untuk mempergunakan senjata pamungkasnya. Pek lek-tan! Namun sebelum Tiauw Kiat Su mengeluarkan senjata peledaknya itu, tiba-tiba Tung-hai Nung-jin telah terjun ke dalam arena untuk membantunya. Dengan garangnya orang tua itu mengayunkan pacul-panjangnya ke arah Liu Yang Kun. Karena orang tua itu sengaja mengerahkan seluruh tenaga-dalamnya, maka pacul itu pun juga menyambar pula dengan dahsyatnya. Terdengar suara mengaung tajam ketika mata-pacul tersebut membelah udara dingin yang tersebar dari tubuh Liu Yang Kun.
"Siiiiiing! Wuuuuuuut!" Bagaikan hantu atau siluman, tiba-tiba saja Liu Yang Kun menghilang dari tempatnya. Tahu-tahu pemuda itu telah berpindah tempat, sehingga pacul itu menyambar udara kosong.
"Keparat! Ilmu... ilmu meringankan tubuhnya benar-benar hebat!" Tung-hai Nung-jin menggeram dengan mulut melongo. Hampir saja orang tua itu lupa meneruskan serangannya kalau tiba-tiba tidak datang sebatang paku yang menyambar dadanya. Paku itu meluncur dari dalam kipas Tiauw Kiat Su. Paku itu gagal menyambar Liu Yang Kun, sehingga meluncur terus ke arah dirinya.
Tapi dengan demikian orang tua itu justru menjadi sadar kembali kalau dirinya sedang membantu kerepotan Tiauw Kiat Su. Demikianlah, setelah menghindari paku tersebut Tung-hai Nung-jin lantas maju lagi untuk membantu Tiauw Kiat Su. Mereka berdua bekerja-sama menghadapi Liu Yang Kun. Mereka berdua saling membelakangi agar mereka tidak terlalu di kocok oleh ginkang Liu Yang Kun yang sangat luar biasa itu. Dan kerja-sama itu ternyata dapat menahan gempuran lawan untuk sementara waktu. Tapi cuma untuk sementara waktu saja. Sebab bagaimanapun juga ilmu warisan Bit-bo-ong itu, yang kemudian ditunjang dengan tenaga-dalam Liu Yang Kun sendiri yang maha dahsyat, benar-benar merupakan sebuah ilmu silat yang tak terukur tingginya. Sementara itu pertempuran di dalam pendapa pun ternyata telah meningkat menjadi semakin menarik pula.
Tiauw Li Ing yang masih muda belia itu ternyata mampu mengimbangi permainan Bhong Kim Cu yang sangat lihai dan banyak pengalaman itu. Meskipun Iweekang gadis itu masih berada setingkat di bawah lweekang Bhong Kim Cu, namun permainan kipasnya yang aneh dan penuh muslihat itu ternyata mampu membendung serangan lawannya. Bahkan ilmu meringankan tubuh Bhong Kim Cu yang tinggi itu sering tersendat-sendat oleh cegatan-cegatan Tiauw Li Ing, yang ternyata memiliki langkah-langkah ajaib dan membingungkan. Lambat laun Bhong Kim Cu menjadi kewalahan menghadapi permainan kipas Tiauw Li Ing yang diselang-seling dengan taburan senjata rahasia itu. Beberapa kali tokoh Aliran Mo-kauw itu berada di dalam bahaya. Taburan senjata rahasia yang dilemparkan secara khusus itu benar-benar sulit dihadapi dan sukar dielakkan.
"Gila! Sungguh memalukan sekali! Apakah aku harus mengaku kalah kepada gadis kecil yang patut menjadi cucuku ini?" Bhong Kim Cu mengeluh sambil mengeluarkan senjatanya. Sebatang cambuk panjang bergerigi yang amat jarang sekali ia keluarkan.
Kemudian dengan cambuknya itu Bhong Kim Cu berusaha memperbaiki keadaannya. Cambuknya yang bergerigi tajam itu menyambarnyambar bagaikan ekor naga yang berkelebatan di udara. Dengan cambuk itu pula Bhong Kim Cu mencoba menjinakkan langkah-langkah ajaib Tiauw Li Ing yang sangat membingungkan itu. Namun usahanya itu tetap juga mengalami kesulitan. Sebab begitu ia mengeluarkan cambuk, gadis itu lalu meningkatkan serangannya pula. Lontaran-lontaran senjata rahasia yang sulit di tebak arah dan tujuannya itu ternyata juga semakin sering pula dilakukan oleh lawannya. Alhasil ia tetap saja terdesak di bawah angin. Bahkan beberapa waktu kemudian jiwanya pun sudah mulai terancam pula.
"Oooh, gila...! Tak kusangka nama yang telah kupupuk selama puluhan tahun itu akan hancur di tempat ini..." diam-diam Bhong Kim Cu menyesali nasibnya. Melihat suhengnya di dalam bahaya, Leng Siauw tidak mau tinggal diam. Ia juga mengeluarkan senjatanya, kemudian perlahan-lahan ia melangkah mendekati arena. Tapi sebelum ia turun tangan, tiba-tiba terasa hembusan angin di sampingnya.
"Hahaha-heheh...!" Tung-hai-tiauw yang semula duduk di kursi itu mendadak telah berdiri didekatnya,
"Kulihat kau juga sudah gatal tangan pula. Tapi tak baik mengganggu pertempuran mereka. Marilah kita membuat arena sendiri, hahahaha!" raja bajak laut itu menantang.
"Bagus! Memang inilah yang kuharapkan. Bukankah sudah sejak tadi aku menantangmu?" Leng Siauw menggeram sambil menyerang pula. Tung-hai-tiauw cepat berkelit. Kemudian tangannya mencabut golok emas yang terselip di pinggangnya dan balas menyerang lawannya. Dan sebentar saja mereka telah terlibat dalam pertempuran yang seru serta menegangkan. Masing masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang tinggi. Kepandaian Leng Siauw tidak jauh bedanya dengan Bhong Kim Cu.
Mereka sama-sama murid Pek-i Liong-ong. Dan Ilmu silat mereka banyak bersumber pada ilmu silat warisan mendiang Bu-eng Sin yok-ong, karena sebelum menjadi Mo-cu dari Aliran Mo-kauw, Pek-i Liong-ong yang bernama Ouw-yang Kwan Ek itu adalah murid dari Bu-eng Sin-yok-ong. Maka tidaklah mengherankan bila kepandaian mereka sangat tinggi. Namun yang dihadapi Leng Siauw sekarang adalah Tung-hai-tiauw, Si Raja Bajak Laut dari Lautan Timur, yang memiliki kepandaian luar biasa pula. Apalagi raja bajak laut itu sekarang memegang sebuah golok mustika yang mampu memotong besi dengan mudahnya. Maka seperti halnya Bhong Kim Cu, Leng Siauw pun akhirnya harus mengakui keunggulan lawannya pula. Sedikit demi sedikit sambaran cambuknya terdesak dan terkurung oleh ayunan golok lawannya.
Anak buah Tung-hai-tiauw yang berada di dalam ruangan itu bersorak-sorak gembira. Meskipun tidak bisa mengikuti jalannya pertempuran, namun mereka tahu kalau pemimpin mereka berada di pihak yang menang. Hanya seorang yang tidak ikut bersorak-sorak seperti yang lain, yaitu seorang bajak Iaut tua-renta berjenggot putih panjang sebatas dada. Orang tua itu berdiri menyendiri di pojok ruangan. Pakaian seragamnya tampak serabutan dan kurang cocok untuk ukurannya. Selain menyendiri bajak laut tua renta itu tampak menghela napas panjang bila menyaksikan Bhong Kim Cu dan Leng Siauw berada dalam kesulitan sedang menghadapi bahaya. Bahkan sesekali orang itu menyeka keringat dingin yang mengalir di lehernya.
"Aaah...?!" sesekali pula mulutnya yang tertutup kumis dan jenggot panjang itu berdesah cemas dan gelisah. Tiba-tiba seorang bajak laut muda datang mendekati orang tua itu.
"Hei? Mengapa kau tidak ikut bergembira melihat keunggulan Hai-ong kita? Apakah kau...kau...eh-oh..? Siapakah kau?" serunya terputus. Bajak laut muda itu terbeliak matanya. Dan mata itu hampir tak berkedip mengawasi orang tua renta itu.
"Kau... kau... si-si-siapa? Mengapa k-k-kau berada disini... dan... dan mengenakan seragam ka-kami?" desisnya kemudian dengan bibir gemetar. Orang tua renta itu menarik napas panjang kembali, lalu perlahan-lahan menanggalkan seragamnya yang kebesaran itu. Dan sebentar kemudian ia telah mengenakan jubahnya sendiri yang berwarna putih bersih.
"Aku adalah Pek-i Liong-ong, ketua Aliran Mo-kauw." jawabnya perlahan pula. Tapi nama itu ternyata sangat mengejutkan bajak laut muda itu.
"Kau...kau...?" serunya tertahan sambil mundur-mundur.
"Benar. Akulah penyelundup yang kalian cari-cari itu. Aku memang sengaja merampas pakaian seragam dari salah seorang kawan kalian agar dapat lebih leluasa memasuki gedung ini. Dan kini aku sudah tidak membutuhkannya lagi, karena aku harus membantu muridku..." orang tua itu berkata lagi dengan tenangnya. Namun bajak laut muda itu segera menjerit dan berteriak begitu sudah mendekati teman-temannya kembali.
"Itu dia penyelundupnya! Itu dia penyelundupnya! Dialah yang merampas pakaian Tang Hun! Tangkaaaap...!" Kawanan bajak laut yang berada di ruangan itu seketika menjadi gempar. Semuanya buru-buru berlari ke tempat Pek-i Liong-ong berada. Bagaikan kawanan pemburu yang menemukan binatang buruannya, mereka mengangkat senjata dan siap menghunjamkannya. Tapi dengan sangat tenangnya Peki Liong-ong mengibaskan kedua lengan bajunya yang lebar itu ke arah mereka. Dan hembusan udara yang sangat kuat tiba-tiba telah melemparkan kawanan bajak laut itu ke pinggir.
"Kalian menyingkirlah! Biarlah pemimpinmu saja yang menghadapi aku!" ketua Aliran Mo-kauw itu berseru. Kemunculan Pek-i Liong-ong yang tak terduga itu ternyata juga amat mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur. Tung-hai-tiauw dan puterinya cepat meloncat mundur. Begitu pula dengan Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang hampir dikalahkan itu. Semuanya mengawasi kedatangan Pek-i Liong-ong yang tak terduga itu.
"Pek-i Liong ong...!" Tung-hai-tiauw menyapa kaku.
"Mo-cu...?" Bhong Kim Cu dan Leng Siauw membungkuk ragu seakan belum percaya bahwa ketuanya telah benar-benar datang. Pek-i Liong-ong mengangguk ke arah Tung-hai-tiauw untuk membalas sambutan raja bajak laut itu. Setelah itu Pek-i Liong-ong menoleh ke arah murid-muridnya.
"Kalian berdua mengasolah! Biarlah aku sendiri yang menyelesaikan masalah ini." katanya berwibawa.
"Harap Mo-cu berhati-hati. Puteri Tung-hai-tiauw itu sangat lihai. Terutama senjata rahasia dan langkah-langkah ajaibnya..." Bhong Kim Cu melaporkan.
"Jangan takut! Aku telah melihatnya juga." Sementara itu Tung-hai-tiauw juga berbisik kepada puterinya.
"Li Ing, awas! Orang tua ini ditulis pada urutan yang kedelapan di dalam Buku Rahasia itu. Jadi berada dua tingkat di atasku. Kepandaiannya tentu amat luar biasa." Tiauw Li Ing mencibirkan bibirnya yang mungil.
"Ah? ayah...! Aku tidak takut! Bukankah dia cuma sendirian saja! Masakan dia menang melawan kita berdua?"
"Lalu bagaimana dengan kedua bekas lawan kita tadi? Kepandaian mereka pun sangat tinggi."
"Bukankah kita masih mempunyai paman Tung-hai Nung-jin dan engkoh Kiat Su pula? Sebentar juga mereka akan kembali ke ruangan ini. Hmm... nanti ayah tinggal menonton saja kalau engkoh Kiat Su telah datang. Aku dan engkoh Kiat Su yang... eh! Ayah! Kudengar di atas genting ini ada pertempuran juga. Apa yang terjadi di luar?" tiba-tiba Tiauw Li Ing berseru kaget. Tung-hai-tiauw mendongakkan kepalanya. Dan sekejap kemudian Si Raja Bajak Laut itu ganti mengawasi Pek-i Liong-ong.
"Entahlah, aku tak tahu. Hmm" mungkinkah bangsat tua dan Mo-kauw ini masih membawa teman yang lain lagi?" geramnya.
"Ayah...! Itu seperti suara paman Tung-hai Nung-jin dan Engkoh Kiat Su! Tampaknya mereka...mereka seperti sedang marah-marah. Apakah... apakah...?" Tiauw Li Ing tidak berani meneruskan kata-katanya. Pek-i Liong-ong melangkah setindak ke depan.
"Tung-hai-tiauw! Di luar memang sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda sakti telah masuk pula ke halaman gedungmu ini, dan anak buahmu telah mencegatnya. Tapi harap engkau ketahui pula bahwa kami tidak mempunyai sangkut-paut dengan pemuda itu. Aku datang hanya sendirian..."
"Bagus! Kalau begitu kita tak usah menghiraukan pertempuran di luar. Kita menyelesaikan urusan kita sendiri. Bagaimana...?" Tung-hai-tiauw berkata kasar.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar. Kita menyelesaikan urusan kita sendiri." Pek-i Liong-ong mengiyakan.
"Bagus! Nah, silakan duduk! Penjaga...! Ayoh, atur kembali kursi dan meja ini!"
"Ayah...! Mengapa pakai duduk-duduk segala? Hantam saja. habis perkara!" Tiauw Li Ing bersungut-sungut. Tung-hai-tiauw tertawa.
"Jangan khawatir! Kita gebuk juga mereka nanti. Tapi siapa tahu mereka mau memberikan pusaka itu secara suka-rela! Haha-hah...??" Bhong Kim Cu dan Leng Siauw menggeram, tapi tidak berani membuka mulut di depan ketuanya. Mereka tetap berdiam diri karena ketua mereka juga berdiam diri. Tapi keduanya tidak ikut duduk di kursi yang disediakan. Mereka memilih berdiri di belakang kursi Pek-i Liong-ong sekalian berjaga-jaga keselamatan ketuanya itu.
"Praaaaak! Krosaaak...! Plok! Plok!" Tiba tiba sebuah genting di atas mereka pecah dan berjatuhan ke bawah karena terinjak sepatu dari orang-orang yang sedang bertempur di atas genting itu. Hampir saja pecahan genting tersebut mengenai kepala Tiauw Li Ing.
"Kurang ajar!" gadis itu memaki, lalu bangkit dari kursinya. Namun dengan cepat Tung-hai-tiauw menahan lengannya.
"Biarkan saja! Kau tetap disini menemani ayah. Kita tak perlu mengurusi orang-orang di luar itu. Bukankah begitu, Liong-ong?" Pek-i Liong-ong menengadahkan mukanya ke atas sebentar, kemudian mengangguk.
"Kau benar, Hai ong. Nah, silakan kau berbicara...!" Sekali lagi Tung-hai-tiauw tertawa puas. Sambil mengelus-elus golok pusakanya si Raja Bajak Laut yang ganas itu berkata.
"Hahaha...! Mengapa aku harus mengulangi lagi kata-kataku? Bukankah Liong-ong juga sudah mendengarnya tadi? Bukankah Liong-ong sudah berada di pendapa ini semenjak utusanmu itu datang?" ek-i Liong-ong menatap mata lawannya dengan tajam.
"Baiklah, aku tak tahu, apakah kau benar-benar mengetahui kedatanganku atau cuma menduga-duga saja. Yang jelas aku memang telah mendengar seluruh ucapanmu tentang baju mustika Kim-pouw-san itu." Ketua Aliran Mo-kauw itu berhenti untuk mengambil napas sebentar. Setelah itu ia melanjutkan lagi perkataannya.
"Cuma yang menjadi masalahnya sekarang adalah... hmm...?"
"Apakah masalahnya, hei? Ayoh, lekaslah kau sebutkan," Tung-hai-tiauw yang kasar itu mendesak.
"Hmm... betulkah engkau ini pemiliknya yang asli? Apakah buktinya? Siapa tahu kau hanya mengaku-aku saja?"
"Bangsat!" Tung-hai-tiauw menggebrak meja dengan kerasnya. Wajahnya yang kasar itu menjadi merah padam. Matanya melotot buas sehingga Bhong Kim Cu dan Leng Siauw buru-buru berdiri di samping Pek-i Liong-ong. Mereka bersiap siaga kalau-kalau raja bajak laut itu menjadi kalap dan menyerang ketuanya.
"Bangsat! Kau kira aku cuma mengaku-aku saja, heh? Bagaimana kami sampai tahu kalau pusaka itu berada di tangan kalian, kalau kami cuma mengaku-aku saja? Sudah sejak lama kami mencari-cari dan menyelidiki hilangnya pusaka itu, tahu? Baju pusaka itu semula dipakai oleh puteriku ini lalu dirampas oleh Song-bun-kwi Kwa Sun Tek dari perguruan Tai-bong-pai. Nah, bagaimana aku harus membuktikannya kalau Song bun kwi itu telah dibunuh oleh kedua utusanmu itu?" Pek-i Liong-ong lalu berdiri pula dari kursinya. Walaupun lawannya mengumpat-umpat dan membentak-bentak namun orang tua itu tetap tenang dan tidak menjadi marah.
"Maaf, Hai-ong. Kalau hanya itu alasanmu, terus terang aku tak bisa memberikannya."
"Apa? Apakah kau tak memikirkan nasib orang-orangmu yang ada di dalam penjara kami? Apakah kau tega membiarkan mereka terbunuh hanya karena kau ingin mempertahankan benda itu?" Tung-hai-tiauw masih mencoba mempengaruhi lawannya. Tiba-tiba Pek-i Liong-ong menarik napas panjang sekali. Perlahan-lahan orang tua itu menoleh ke arah muridnya.
"Bagaimana pendapatmu, Bhong Kim Cu?" bisiknya perlahan.
"Mhhmm... memang sangat berat untuk memutuskannya, Mo-cu. Tapi... terserahlah bagi Mo-cu untuk memutus kailnya. Saya selalu siap menerima perintah Mo-cu." Bhong Kim Cu menjawab.
"Ehmm... lalu menurut engkau bagaimana, Leng Siauw?" Pek-i Liong-ong ganti menanyakan pendapat Leng Siauw, muridnya yang banyak akal dan pandai. Murid kedua dari ketua Aliran Mo-kauw itu menatap wajah Tung-hai-tiauw dengan sinar mata geram. Sambil mengepalkan tinjunya ia menjawab.
"Mereka memang sangat licik, Mo-cu. Tapi apa boleh buat, semuanya telah terjadi. Kita harus bisa mengatasinya dengan kepala dingin."
"Benar. Itulah yang hendak kuketahui darimu. Nah, coba katakan pendapatmu!" Peki Liong-ong mengangguk-angguk.
"Mo-cu, maafkanlah kalau pendapatku nanti salah."
"Jangan takut! Katakanlah!"
"Begini. Mo-cu. Dalam hal bagaimanapun kukira kepentingan Mo-kauw harus diutamakan. Benda itu kukira tidak begitu penting bila dibandingkan dengan nyawa orang-orang kita yang dipenjara oleh mereka..."
"Sute...?" Bhong Kim Cu memotong dengan suara kaget.
"Maafkan aku, suheng..."
"Bhong Kim Cu, biarkan Sutemu berbicara!" Pek-i Liong-ong menegur muridnya. Setelah mengangguk ke arah suhengnya, Leng Siauw meneruskan pendapatnya.
"Mo-cu, agama kita tidak memerlukan baju mustika itu. Agama kita lebih memerlukan orang-orang yang sanggup mendalaminya, menganutnya dan sekaligus juga mengamalkannya. Apalagi baju mustika itu cuma sebuah benda mati, sementara orang-orang kita itu adalah makhluk-makhluk hidup yang perlu dihormati dan dilindungi. Oleh karena itu, kalau kita dipojokkan dalam suatu pilihan, kita lebih baik memilih orang-orang kita dari pada baju mustika itu. Meskipun demikian...hal itu juga tidak berarti kalau kita takut kepada mereka!" Pek-i Liong-ong mengangguk-angguk memahami ucapan muridnya.
"Jadi maksudmu?" orang tua itu bertanya.
"Kita membuat perjanjian dengan mereka. Kita menyerahkan baju mustika itu kepada mereka. Tapi mereka juga harus melepaskan semua orang kita."
"Tapi, mereka akan beranggapan bahwa kita takut kepada mereka!" Bhong Kim Cu menyela lagi.
"Tidak, suheng. Setelah semua perjanjian itu dilaksanakan dengan baik oleh mereka, baru kita nanti menunjukkan taring kita kepada mereka. Kita tantang mereka, agar supaya mereka tahu bahwa sebenarnya kita tidak takut menghadapi mereka. Kita kalahkan mereka, supaya mereka tahu bahwa kita ini lebih baik dari pada mereka!" Leng Siauw berbisik semakin lama semakin perlahan. Pek-i-Liong-ong bertepuk tangan gembira.
"Bagus. Aku setuju dengan pendapatmu, Leng Siauw. Biarlah sekarang kurundingkan dengan mereka." Tung-hai-tiauw yang sudah tidak merasa sabar lagi itu bertepuk tangan pula.
"Hei? Apakah kalian sudah selesai berunding? Hmm, Liong-ong... apakah keputusanmu?" Pek-i Liong-ong tersenyum, kemudian mengangkat kedua telapak tangannya di dada.
"Baiklah, Hai-ong... aku akan menyerahkan baju Kim pouw-san itu. Tapi dengan syarat."
"Hahaha..., apa syaratmu, heh?"
"Kau juga harus melepaskan semua orang-orangku yang telah kau penjara. Bagaimana...?" Bukan main senangnya Tung-hai-tiauw.
"Bagus! Bagus! Hahaha... kuterima syaratmu! Nah, dimanakah baju itu! Lekas kau serahkan kepadaku!" Tapi dengan cepat Pek-i Liong-ong menggoyang-goyangkan telapak tangannya.
"Kita berbareng menyerahkannya. Kau keluarkan dulu orang-orangku. Setelah itu aku juga akan mengeluarkan baju Kim-pouw-san itu. Kemudian kita menukarkannya bersama-sama." Tung-hai-tiauw terperangah.
"Bangsat! Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi... awas kalau kau berbohong, aku akan mencincangmu sampai lumat!" Pek-i Liong-ong tersenyum. Sama sekali orang tua itu tidak tersinggung mendengar bentakan-bentakan yang menyakitkan itu. Dengan tenang ia duduk kembali di kursinya. Demikianlah, beberapa waktu kemudian pendapa itu menjadi sibuk dengan kawanan bajak laut yang membawa keluar para tawanan mereka. Lebih kurang dua puluh orang anggota Aliran Mo-kauw yang masih dalam keadaan terikat kedua kaki dan tangannya, mereka dorong dan mereka kumpulkan di ruangan tersebut. Para tawanan itu tampak amat lelah dan menderita. Sebagian dari mereka malah tampak sedang menderita sakit atau menderita luka-luka di tubuhnya. Mereka rata-rata sangat terkejut begitu melihat Mo-cu atau ketua mereka.
"Nah, lihat mereka itu, Suheng! Apakah kita akan tega melihat kesengsaraan orang-orang kita itu? Apa gunanya benda mati itu bila dibandingkan dengan nyawa mereka?" Leng Siauw berbisik dengan nada geram kepada suhengnya. Bhong Kim Cu menjadi sadar pula.
"Kau benar, Sute." desahnya perlahan.
"Nah, Pek-i Liong...! Coba kau lihat orang-orangmu ini! Sudah cocok atau belum? Kalau sudah... hehehe... ayoh, kau keluarkan baju Kim-pouw-san itu di hadapanku!" setelah selesai semuanya Tung-hai-tiauw berseru kepada Pek-i Liong-ong.
"Mo-cu...!" para tawanan itu berbisik gemetar menyebut ketua mereka.
"Baiklah...?" Pek-i Liong-ong berseru pula, kemudian membuka jubahnya dan melepaskan baju Kim-pouw-san yang melekat di dadanya. Tung-hai-tiauw terbelalak gembira. Si Raja Bajak Laut itu lalu melangkah ke depan seakan sudah tidak sabar lagi melihat mustika yang diimpi-impikannya itu.Tapi dengan tangkas Pek-i Liong-ong meloncat mundur pula.
"Jangan tergesa-gesa Hai-ong!Kau belum memerintahkan anak buahmu untuk melepaskan tali-tali pengikat itu!" katanya keras.
"Bangsat...!" Tung-hai-tiauw menggeram marah.
"Masakan aku mau berbuat demikian bodohnya dengan melepaskan ikatan mereka? Bukankah dengan demikian sama saja aku melepaskan kawanan singa di rumahku, heh? Ayoh, serahkan baju mustika itu, dan aku akan menyerahkan orang-orangmu dalam keadaan masih terikat begitu! Kalian sendirilah yang harus melepaskan ikatan itu! Cepat...!" Pek-i Liong-ong memandang Leng Siauw sekejap.
"Bagaimanakah pendapatmu, Leng Siauw?" bisiknya perlahan. Leng Siauw menghela napas panjang.
"Apa boleh buat... Kita terpaksa menurutinya. Silahkan Mo-cu memberikan benda itu kepadanya. Biarlah teecu dan Bhong suheng yang melepaskan ikatan tali itu." katanya perlahan pula.
"Liong-ong! Kau menunggu apalagi? Bukankah aku sudah menyerahkan semua tawananku?" Tung-hai-tiauw membentak lagi.
"Baiklah, Hai-ong. Tapi... apakah aku benar-benar bisa memegang janjimu tadi...?" Pek-I Liong-ong masih mencoba untuk mengulur waktu. Sementara itu Bhong Kim Cu dan Leng Siauw bergegas menghampiri para tawanan untuk melepaskan ikatan mereka.
"Persetan! Kau boleh percaya, boleh tidak! Pokoknya aku telah meluluskan permintaanmu untuk melepaskan tawanan-tawanan itu! Habis perkara!" Terpaksa Pek-i Liong-ong tak bisa menundanya lagi.Seakan-akan dengan berat hati ia menyerahkan baju pusaka itu kepada lawannya. Sementara hatinya agak sedikit terhibur tatkala dengan sudut matanya melihat sudah ada lima atau enam orang tawanan yang dilepaskan ikatannya. Di pihak lain Tung-hai-tiauw tampak sangat bergembira sekali. Baju mustika Kim-pouw-san itu dibolak-balik dan dipandanginya sambil tertawa-tawa.
"Li Ing, lihatlah! Baju Kim-pouw san yang kau hilangkan itu telah kita ketemukan kembali. Hahahaha...!"
"Tapi... bagaimana dengan orang-orang Mo-kauw ini, ayah?" Tiauw Li Ing tetap cemberut.
"Hahaha... biarkan mereka pergi!"
"Tapi mereka tahu tentang baju mustika kita, ayah." Tung-hai-tiauw menghentikan tawanya secara tiba-tiba.
"Maksudmu...?" serunya tertahan.
"Ayah tentu bisa membayangkan, bagaimana repotnya kita nanti bila khabar tentang Kim-pouw-san ini tersebar di dunia persilatan." Tung-hai-tiauw terdiam. Matanya yang besar kemerahan itu terbelalak memandang puterinya. Dan perlahan-lahan ia mulai mengerti maksud puterinya itu.
"Lalu...?" desahnya perlahan dan hampir tak terdengar. Gadis yang cantik itu menyeringai kejam.
"Habisi saja semuanya!" cetusnya dingin.
"Tapi aku telah berjanji kepadanya." Tung-hai-tiauw berkata ragu.
"Persetan dengan janji itu. Sejak dahulu golongan kita juga tak pernah disebut sebagai kesatria yang selalu memegang janji. Apalagi ayah tadi tak menjanjikan keselamatan kepada mereka. Ayah hanya berjanji untuk menukar pusaka itu dengan para tawanan. Dan janji itu telah ayah penuhi." Tung-hai-tiauw tertawa bengis.
"Bagus! Bagus! Kau benar, haha...! Kalau begitu... mari kita basmi mereka!"
"Marilah, ayah!" Demikianlah, setelah mengenakan baju Kim-pouw-san itu di badannya, Tung-hai-tiauw lalu menerjang Pek-i Li ong kembali. Golok pusakanya yang tajam luar biasa itu menyambarnyambar laksana burung garuda mengejar mangsanya. Sementara di tempat lain Tiauw Li Ing menyerang Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang sedang sibuk melepaskan tali-tali pengikat anak buahnya.
"Panggil beberapa orang touw-bok kemari untuk membantu aku!" sambil menyerbu lawannya gadis cantik itu masih sempat berteriak kepada anak buahnya pula.
"Kurang ajar! Mengapa nona menyerang kami? Bukankah kita telah...?"
"Persetan! Pokoknya kalian semua harus mati! Habis perkara!" Tiauw Li Ing memotong perkataan Bhong Kim Cu.
"Gila! Kalian memang manusia-manusia kasar yang tak mengenal tata-tertib dan sopan-santun!" Bhong Kim Cu mengumpat, kemudian melayani serangan gadis cantik itu dengan kemarahan yang meluap-luap. Sementara itu Pek-i Liong-ong dan Tung-hai-tiauw telah terlibat dalam pertarungan yang sengit pula. Meskipun di dalam Buku Rahasia itu nama Pek-i Liong-ong ditulis dua tingkat di atas Tung-hai-tiauw, namun karena Tung-hai-tiauw sekarang mempergunakan dua pusaka sekaligus, yaitu baju Kim-pouw-san dan golok emas Toat-beng-to, maka perbedaan tingkat kepandaian tersebut menjadi tidak berarti lagi. Bahkan di dalam beberapa kesempatan golok pusaka itu justru menjadi sangat berbahaya bagi keselamatan Pek-i Liong-ong.
"Tak kusangka tokoh tersohor semacam ini masih suka menjilat ludah sendiri. Dasar..." Pek-i Liong-ong mendengus gusar.
"Hahaha...! Jangan berang, Liong-ong! Apakah kau telah lupa siapa aku ini, heh? Aku adalah Raja Perompak Lanun! Apa yang hendak kau harapkan dari orang seperti aku ini? Apalagi aku tadi tak merasa menjanjikan keselamatan bagi kalian semua, hahahah...!"
"Baik! Kalau begitu aku memang tidak mempunyai pilihan lain lagi." Peki Liong-ong berdesah seraya mengeluarkan cambuk bergeriginya yang berwarna putih. Dan sementara itu kawanan bajak laut yang berada di luar pendapa tampak berbondong-bondong masuk memenuhi panggilan Tiauw Li lng tadi. Tiga atau empat orang touw-bak yang memiliki kepandaian tinggi tampak memimpin mereka. Dan kedatangan mereka segera disambut oleh tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw yang telah dilepaskan tali pengikatnya. Mereka bertempur secara serabutan seperti layaknya dua pasukan musuh di medan laga, sehingga semua perabotan di dalam ruangan itu menjadi porak-poranda. Bhong Kim Cu yang berhadapan dengan Tiauw Li Ing terpaksa harus mengakui keunggulan gadis itu lagi.
Selain kipasnya yang hebat, gadis itu mahir sekali melontarkan senjata rahasia. Berkali-kali tokoh Aliran Mo-kauw itu harus berjumpalitan jatuh bangun untuk menyelamatkan dirinya. Leng Siauw sendiri tak bisa membantu suhengnya, karena dia juga harus menghadapi tiga orang touw-bak sekaligus. Dan para pengeroyoknya itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat-hebat, sehingga untuk sementara waktu dia juga sulit untuk menundukkan mereka. Sedangkan tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw yang sudah dilepaskan tali pengikatnya itu juga harus menghadapi kepungan bajak laut yang memenuhi ruangan tersebut. Meskipun mereka itu rata-rata juga berkepandaian tinggi, namun karena lawan berjumlah banyak, apalagi banyak di antara mereka yang telah terluka ataupun letih, maka keadaan mereka itu juga sama saja.
Alhasil nasib para tokoh Aliran Mo-kauw yang bertempur di dalam pendapa itu benar-benar seperti telur di ujung tanduk. Mundur atau maju akan sama saja. Setiap saat tentu akan hancur di tangan lawan. Sementara itu di atas genting Liu Yang Kun benar-benar telah menguasai lawannya pula. Tiauw Kiat Su dan Tung-hai Nung-jin yang sangat lihai itu betul-betul tidak berdaya melawan ilmunya. Dan kenyataan tersebut sungguh sangat memukul batin Tiauw Kiat Su yang sombong dan merasa tak terkalahkan itu. Demikianlah, di dalam keputus-asaannya tiada jalan lain bagi Tiauw Kiat Su selain mengeluarkan senjata pamungkasnya. Sebuah pek-lek-tan segera digenggamnya. Pemuda itu sudah tidak peduli lagi bila senjata peledaknya nanti akan memusnahkan tempat itu.
Pendekar Penyebar Maut Eps 32 Pendekar Penyebar Maut Eps 38 Pendekar Penyebar Maut Eps 25