Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 21


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 21




   "Wuuuuut!" Dalam keadaan terpojok dan tak bisa mengelak lagi, tiba-tiba Tiauw Kiat Su me lemparkan senjata peledaknya. Setelah itu dengan tergesa-gesa ia menjatuhkan diri di atas genting dan menggelundung ke bawah dengan cepatnya.

   "Paman, lariii...!!?" teriaknya kepada Tung-hai Nung-jin. Tung-hai Nung-jin terperanjat. Dia yang kebetulan sedang berada jauh dari Liu Yang Kun itu cepat melemparkan dirinya ke bawah genting pula.

   "Dhuuuuuuuuuuaaaaaaaarrrr...!" Udara malam yang dingin itu tiba tiba disentakkan oleh suara ledakan yang maha dahsyat! Begitu dahsyatnya suara tersebut sehingga gedung yang megah itu bagai digoncang oleh gempa! Tembok gedung yang kokoh itu tampak merekah di beberapa tempat, sementara genting-gentingnya pun banyak yang melorot berhamburan ke bawah!

   Asap debu mengepul tinggi, seolah-olah di tempat itu baru saja terjadi ledakan gunung berapi. Begitu dahsyatnya letusan itu, sehingga suaranya benar-benar menggoncangkan udara malam di kota kecil itu. Penduduk di sekitar tempat itu segera berlarian keluar dari rumah mereka. Tapi serentak mereka tahu bahwa suara letusan itu datang dari rumah luas, yang selama ini mereka anggap angker serta dihuni oleh sekelompok orang-orang aneh, mereka tidak berani datang mendekatinya. Mereka hanya berdiri bergerombol di kejauhan. Sementara itu pertempuran seru di dalam pendapa gedung itu menjadi bubar dengan sendirinya. Semuanya berlarian keluar menyelamatkan diri. Mereka mengira kalau gedung itu hendak roboh. Beberapa orang yang telah terluka terpaksa diseret keluar oleh kawannya.

   Pek-i Liong-ong, Bhong Kim Cu, Leng Siauw, dan tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw yang lain terpaksa menjebol pintu dan jendela agar dapat dengan segera meninggalkan ruangan tersebut. Tung-hai-tiauw dan puterinya tidak ketinggalan pula. Kedua orang ayah dan anak itu telah lebih dulu keluar untuk kemudian mencegat lawan-lawan mereka itu di halaman. Sebab meskipun mereka bingung dan heran atas kejadian yang mendadak itu, mereka tetap tak ingin kehilangan lawan-lawan mereka. Di lain pihak, walaupun Tiauw Kiat Su dan Tung-hai Nung-jin telah berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menghindari daya ledakan tersebut, tetapi mereka berdua tetap saja terhempas ke tanah dengan kuatnya. Mereka berdua jatuh berguling-guling dengan pakaian yang compang-camping. Dan secara kebetulan mereka jatuh terhempas di dekat Tung-hai-tiauw dan Tiauw Li Ing berdiri.

   "Koko...?" Tiauw Li Ing menjerit kaget.

   "Nung-jin...?" Tung-hai-tiauw berseru kaget pula. Meskipun macamnya sudah tidak keruan lagi, tapi Tiauw Kiat Su masih juga bisa tersenyum kepada ayah dan adiknya.

   "Jangan khawatir, kami tidak apa apa. Ledakan itu aku sendiri yang membuat. Terpaksa kulakukan untuk membunuh penyelundup itu." katanya puas dan bangga.

   "Penyelundup? Jadi kau benar-benar mempunyai lawan lain selain orang-orang ini?" tukas Tung-hai-tiauw seraya menoleh ke arah Pek-i Liong-ong dan kawan-kawannya. Ternyata Tiauw Kiat Su dan Tung hai Nung-jin pun menjadi kaget pula melihat kehadiran Pek-i Liong-ong di tempat itu. Apalagi ketika melihat beberapa orang tawanan mereka telah dibebaskan pula. Tung-hai-tiauw bisa menebak apa yang dipikirkan oleh Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su. Oleh karena itu ia segera menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi. Raja Bajak Laut itu juga menerangkan pula maksudnya untuk membasmi tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw itu.

   "Bagus, ayah. Aku pun telah membunuh penyelundup itu pula. Kuhantam dia dengan peluru peledakku, sehingga hancur-lebur menjadi abu." Tiauw Kiat Su menyombongkan diri pula. Sambil berkata pemuda itu melirik Tiauw Li Ing, adiknya.

   "Kau hantam dia dengan peluru pemberian gurumu itu?" gadis cantik itu bertanya keheranan.

   "Mengapa? Apakah kepandaiannya sangat tinggi sehingga koko terpaksa mengeluarkan senjata ampuh itu? Siapakah dia?" Tiba-tiba Tiauw Kiat Su menjadi gugup. Pemuda itu tak mau adiknya tahu bahwa yang datang adalah Liu Yang Kun. Tapi bagaimana ia harus menjawabnya?

   "Paman...?" pemuda itu meminta pertimbangan Tung-hai Nung-jin.

   "Entahlah. Kami belum pernah mengenalnya." akhirnya orang tua itulah yang menjawab pertanyaan Tiauw Li Ing. Gadis itu mengerutkan keningnya. Hatinya merasakan adanya keganjilan pada sikap kakaknya dan Tung-hai Nung-jin, Mereka seperti sedang menyembunyikan sesuatu terhadapnya. Tapi ketika ia hendak bertanya lagi, tiba-tiba terdengar suara Pek-i Liong-ong kepada ayahnya.

   "Tung-hai-tiauw...! Apa maumu sekarang? Kita lanjutkan lagi pertempuran kita?"

   "Hahahaha... tentu saja. Tanpa kau ingatkan pun kami akan tetap meneruskannya. Pokoknya kalian semua harus mati. Tak boleh ada yang hidup hahahaha..."

   "Hmmh, kalau begitu kita harus menunggu apa lagi? Marilah...!"

   Untuk sekejap Tung-hai-tiauw merasa kaget juga melihat ketenangan lawannya.

   "Hahaha... kau sungguh bernyali besar! Lihat golokku...!" bentaknya. Penasaran juga hati Tung-hai-tiauw menyaksikan ketenangan lawannya. Oleh karena itu ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Begitu menyerang langsung saja ia menggunakan seluruh tenaganya. Wuuuuut! Ayunan golok mustika itu menimbulkan hembusan angin yang luar biasa kuatnya. Begitu kuatnya sehingga pengaruhnya terasa pula oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Taaaar! Pek-i Liong-ong meledakkan cambuknya untuk mengurangi perbawa kehebatan lawannya. Kemudian dengan kelincahan kakinya ketua Aliran Mo-kauw itu melangkah dengan cepat ke samping. Setelah itu dengan kekuatan penuh pula cambuknya ia sabetkan ke lengan Tung-hai-tiauw yang memegang golok.

   "Sinnnnnng...!" Tung-hai-tiauw buru-buru menghindari pula. Lengannya ia tekuk ke bawah, kemudian ia putar ke depan menuju ke dada lawan yang terbuka. Namun Pek-i Liong-ong dengan gesit meloncat ke belakang, sehingga ujung golok itu juga menemui tempat kosong. Demikianlah, kedua tokoh tingkat tinggi itu lalu terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit. Masing-masing mengerahkan segala kemampuannya. Dan karena masing-masing juga memiliki kelebihan dan kekurangannya, maka pertempuran merekapun menjadi amat sulit untuk segera diketahui hasilnya. Sementara itu Leng Siauw dan Bhong Kim Cu juga tidak mau tinggal diam pula. Melihat ketuanya telah turun tangan, mereka lantas maju ke depan pula. Dan langkah mereka segera dicegat oleh Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su.

   Demikian pula halnya dengan para anggota Aliran Mo-kauw yeng baru saja dibebaskan dari penjara itu. Mereka segera menceburkan diri ke dalam arena pula. Mereka langsung berhadapan dengan para touw-bak dan anak-buah bajak laut yang luar biasa banyaknya itu. Sehingga untuk yang kedua-kalinya tempat tersebut menjadi ajang pertempuran seru dan kacau-balau. Tapi seperti yang telah terjadi tadi, pihak Mo-kauw lah yang kemudian menjadi repot dan terdesak oleh kerubutan lawan mereka. Jumlah mereka memang tidak banyak, apalagi kondisi badan mereka juga kurang baik selama di dalam penjara. Meskipun demikian mereka tidak mau menyerah begitu saja. Mereka tetap saja bertarung dengan segala kemampuan mereka. Di lain pihak, dengan masuknya Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su didalam arena, maka perimbangan kekuatan pun menjadi semakin berat sebelah.

   Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang harus menghadapi kedua tokoh bajak laut itu terpaksa harus memeras keringat pula. Masih beruntung yang dihadapi oleh Bhong Kim Cu adalah Tung-hai Nung-jin, sehingga sedikit banyak tokoh Mo-kauw itu masih memiliki beberapa keunggulan. Tapi bagi Leng Siauw yang kebetulan harus berhadapan dengan Tiauw Kiat Su, benar-benar harus menguras segala kemampuannya. Itu pun ternyata juga tidak banyak menolongnya, karena bagaimana pun juga ilmu kepandaian Tiauw Kiat Su masih beberapa tingkat di atasnya. Begitulah, beberapa waktu kemudian perimbangan kekuatan yang tidak sebanding itu mulai menampakkan hasilnya. Satu demi satu orang-orang Mo-kauw yang berhadapan dengan para touw-bak itu mulai berjatuhan. Mereka tergeletak mandi darah di atas tanah.

   Tubuh mereka seolah hancur terkena amukan senjata para pengeroyoknya. Pek-i Liong-ong bukan tidak melihat musibah yang menimpa anak buahnya itu. Tapi apa dayanya? Dia sendiri juga sudah terikat dengan lawannya. Sementara kedua pembantunya. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw, juga telah disibukkan oleh musuh mereka sendiri-sendiri. Bahkan korban yang berjatuhan di pihaknya itu tampaknya juga sangat mempengaruhi perlawanan pembantunya itu. Mereka berdua tampak sangat terpukul batinnya, sehingga beberapa kali mereka membuat kesalahan dan hampir celaka karenanya. Demikianlah, dalam saat-saat yang menegangkan itu tiba-tiba terdengar bentakan yang sangat keras, yang disertai tenaga dalam yang amat tinggi, sehingga rasa-rasanya semua isi dada dari orang-orang yang berada di halaman itu menjadi tergoncang karenanya.

   Begitu dahsyatnya pengaruh suara bentakan tersebut, sehingga beberapa orang bajak laut tampak terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan. Otomatis pertempuran itu terhenti. Semua mata mencari sumber suara itu. Mereka mengawasi tempat-tempat yang gelap, yang sekiranya dipergunakan untuk bersembunyi orang yang mengeluarkan suara itu. Tung-hai-tiauw juga terpaku diam di tempatnya. Raja Bajak Laut itu merasa berdebar-debar hatinya. Suara bentakan itu ternyata mampu menggoyahkan pemusatan tenaga dalamnya. Begitu pula dengan Pek-i Liong-ong dan pembantu-pembantunya. Suara bentakan yang dilontarkan dengan kekuatan lweekang tinggi itu ternyata juga mampu menggetarkan isi dada mereka.

   "Siapa...? Ayoh...keluarlah! Jangan bersembunyi di tempat gelap...!" Tiauw Li Ing yang belum kebagian lawan itu berseru sambil bertolak-pinggang. Meskipun bersuara lantang, namun tampak pula bahwa gadis itu sangat gelisah dan tegang hatinya. Hal itu bisa dilihat pada matanya yang nanar serta jari-jari tangannya yang gemetar ketika menggenggam erat kedua buah kipasnya. Dan bagaimana halnya dengan Tiauw Kiat Su dan Tung-hai Nung-jin? Ternyata kedua orang itu pun tidak kalah kagetnya dari pada yang lain. Malah boleh dikatakan rasa terkejut mereka jauh melebihi orang-orang yang ada di halaman itu. Suara bentakan itu seolah-olah suara petir yang meledak di telinga mereka karena suara itu adalah suara yang belum lama mereka kenal namun sudah membuat mereka ketakutan setengah mati.

   "Aku tidak bersembunyi di tempat gelap, nona Tiauw. Aku berada di sini..." tiba-tiba terdengar suara itu lagi. Kali ini suara itu justru terasa sangat dekat dengan mereka. Bahkan suara itu seperti berada di tengah-tengah mereka.
(Lanjut ke Jilid 21)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 21
"Hei... han-han-han... tu! Hantu!" mendadak seorang touw-bak menjerit seraya menuding lelaki di sampingnya. Kontan semua orang yang berdiri di tempat itu menyibak dengan cepatnya, sehingga lelaki itu menjadi terpencil sendirian di tengah-tengah mereka. Dan orang pun segera bisa melihat wajahnya yang masih muda dan tampan. Dan orang pun juga segera bisa menyaksikan pula pakaiannya yang hangus di sana-sini.

   "Chin... Yang... Kun..?!?" terdengar desah kaget dari mulut Tiauw Kiat Su, Tiauw Li Ing, Tung-hai-tiauw, Tung-hai Nung-jin dan lain-lain. Dan sekarang justru Tiauw Li Ing lah yang paling kaget di antara orang-orang itu. Kemunculan yang amat mendadak dan tak terduga dari orang yang selama ini selalu dia kenang dan dia puja di dalam hati, membuat gadis itu terpaku diam seperti patung di tempatnya. Untuk beberapa saat lamanya gadis itu cuma termangu mangu bengong seperti orang linglung.

   "Ouuuhhhh...!" Dan akhirnya gadis itu tak kuasa menahan goncangan perasaannya, sehingga tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung kemudian jatuh pingsan. Untunglah Tung-hai-tiauw cepat menyambarnya dan membawanya masuk ke dalam pendapa.

   "Nung-jin! Urus lawan kita ini! Aku akan mengobati Li Ing lebih dahulu." sebelum pergi Raja Bajak Laut itu memberi pesan kepada Tung-hai Nung-Jin.

   "Ba-baik, Hai-ong..." orang tua itu menjawab gugup. Dan hal itu ternyata juga menyadarkan pula pikiran Tiauw Kiat Su dari perasaan ngerinya. Pikirannya yang semula menyangka ia telah berhadapan dengan 'hantu' Liu Yang Kun kini telah hilang. Lawannya itu benar-benar belum mati terkena senjata peledaknya. Bahkan pemuda itu masih tampak segar-bugar, meskipun sebagian dari pakaiannya telah menjadi hangus.

   "Gila!" Tiauw Kiat Su menggeram marah.

   "Ternyata kau belum lumat oleh senjata peledakku itu! Hmmh... sungguh mengherankan sekali! Bagaimana kau bisa menyelamatkan diri tadi?" Liu Yang Kun tersenyum.

   "Apa anehnya dengan senjata peledakmu itu? Paling-paling cuma membikin aku kaget sedikit. Lain tidak. Lihat...! Justru anak-buahmu sendiri yang menjadi korban," katanya mencemooh.

   "Setan busuk!"

   "Jangan mengumpat!" Liu Yang Kun tertawa. Kemudian pemuda itu menoleh kepada Pek-i Liong-ong.

   "Ah, jadi yang masuk ke halaman, dan kemudian memperdayai para penjaga itu Lo-Cianpwe kiranya. Tak heran kalau aku sampai tak bisa mengikutinya..." Pek-i Liong-ong mengerutkan dahinya.

   "Maaf, bolehkah Lohu (aku orang tua) mengetahui nama Siauw-heng (saudara muda)? Mungkin aku sudah pikun, tapi rasa-rasanya Lohu belum pernah berkenalan dengan Siauw-heng." ketua Aliran Mo-kauw itu bertanya dengan hati-hati. Tapi sebelum Liu Yang Kun menjawab, tiba-tiba Bhong Kim Cu berbisik di telinga Pek-i Liong-ong.

   "Para bajak laut itu tadi menyebutnya Chin Yang Kun. Kalau memang benar demikian dia tentu pemuda sakti yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw itu." Pek-i Liong-ong terkejut.

   "Hah.. Kalau begitu... dia membunuh Hek eng cu pada lima tahun yang lalu?" desahnya heran. Tak heran kalau Pek-i Liong-ong sampai kaget begitu mengetahui siapa pemuda di hadapannya itu. Dahulu ia pernah mengukur kepandaian dengan Hek-eng-cu, dan ia kalah. Tak tersangka Hek-eng-cu yang lihai luar biasa itu dapat dikalahkan oleh Chin Yang Kun, yang ternyata usianya masih sangat muda sekali.

   "Namaku... Yang Kun, Lo-Cianpwe." Liu Yang Kun menjawab pertanyaan Pek-i Liong-ong. Ia sengaja tidak menyebutkan shenya, karena untuk menyebutkannya kadang-kadang ia merasa bingung harus menyebutkannya yang mana. Chin atau Liu. Sebab dua-duanya adalah benar.

   "Oh, Chin Siauw-heng kiranya. Sungguh tak kusangka Lohu bisa bertemu dengan Siauw-heng di tempat ini. Sudah lama Lohu mendengar namamu yang tersohor..."

   "Ah, Lo-Cianpwe terlalu memuji. Namaku tak pernah dikenal orang." Liu Yang Kun cepat memotong. Pek-i Liong-ong tersenyum.

   "Pandai benar Chin Siauw-heng merendahkan diri..." katanya kagum. Kikuk juga rasanya hati Liu Yang Kun. Oleh karena itu untuk mengalihkan pembicaraan tersebut Liu Yang Kun lantas bertanya.

   "Lo-Cianpwe...? Ada urusan apakah sebenarnya sehingga Lo-Cianpwe membawa banyak orang ke tempat tinggal Tung-hai-tiauw ini? Apakah..?" Tiba-tiba Pek-i Liong-ong menghela napas panjang. Urusan itu sebenarnya adalah urusan pribadinya. Urusan antara Mo-kauw dan Tung-hai-tiauw. Tapi apa boleh buat, keadaan anak buahnya sekarang tidak menguntungkan. Dan pemuda itu ternyata telah menyelamatkan mereka. Oleh karena itu tak enak juga hati Pek-i liong-ong untuk berdiam diri terhadap pertanyaan pemuda itu. Maka dengan singkat Pek-i Liong-ong terpaksa bercerita tentang sebab-musabab perselisihan tersebut.

   "Bohong! Engkau jangan mencoba untuk memutar-balikkan kenyataan!" Tung-hai Nung-jin berteriak.

   "Baju mustika itu memang milik kami! Kalianlah yang mencurinya!"

   "Mana buktinya! Kalianlah yang mengaku-aku, lalu mencari seribu macam alasan dan tipu daya untuk memilikinya." Bhong Kim Cu berseru pula untuk menangkis tuduhan Tung-hai Nung-jin.

   "Aaaah...?" tiba-tiba Liu Yang Kun berdesah panjang.

   "Jadi hanya urusan Kim-pouw-san itukah yang menjadi pokok persoalannya? Kalau begitu... urusan ini sudah benar dan tak perlu diperpanjang lagi. Kim-pouw-san sudah kembali ke tangan Tung-hai-tiauw. Masing-masing tak perlu bersitegang lagi."

   "Urusannya sudah benar? Apakah maksud perkataan Chin Siauw-heng itu?" Bhong Kim Cu melangkah ke depan sambil menggeram penasaran.

   "Benar. Mengapa Chin Siauw-heng berkata demikian?" Leng Siauw menyambung ucapan suhengnya. Liu Yang Kun cepat merangkapkan kedua tangannya di depan dada untuk menghormati Bhong Kim Cu dan Leng Siauw.

   "Maaf, apakah Siauwte berhadapan dengan Siang-kau Tai-shih (Sepasang Utusan Agama) dari Aliran Mo kauw?" pemuda itu menyapa. Kedua orang murid Pek-i Liong-ong itu terpaksa membalas penghormatan itu.

   "Benar..." mereka menjawab berbareng.

   "Begini, Jiwi Lo-Cianpwe... Siauwte tidak bermaksud berbohong atau mengada-ada. Tapi sungguh kebetulan sekali di dalam urusan Kim-pouw-san ini Siauwte juga ikut mengetahuinya pula. Baju mustika itu memang kepunyaan Keluarga Tiauw. Dan yang biasa memakai adalah nona Tiauw Li Ing. Kira-kira lima tahun yang lalu, nona Tiauw diculik dan disandera oleh Song-bun-kwi Kwa Sun Tek di puncak bukit di sebelah selatan kota Poh-yang. Nona Tiauw ditempatkan di sebuah ruangan di bawah tanah. Di dalam ruangan itu nona Tiauw hendak diperkosa oleh Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Dan ketika melepaskan pakaian nona Tiauw itulah Song-bun-kwi Kwa Sun Tek memperoleh baju mustika itu. Semua kejadian itu dapat Siauwte saksikan, karena pada waktu itu Siauwte berada di ruangan itu pula. Malah kemudian Siauwte lah yang menolong dan membebaskan nona itu. Sayang Song-bun-kwi Kwa Sun Tek melarikan diri..."

   "Benar. Aku ingat sekarang. Pemuda inilah yang kutemui di puncak bukit itu dahulu. Dialah yang telah membebaskan Tiauw Li Ing dari cengkeraman Song bun-kwi Kwa Sun Tek." tiba-tiba terdengar suara Tung-hai-tiauw dari arah pendapa dan sekejap kemudian orangnya telah berada di tempat itu pula. Tiauw Li Ing tidak ikut serta.

   "Nah, bagaimana sekarang? Apakah kalian masih belum percaya juga?" Tung hai Nung-jin mengolok-olok Pek-i Liong ong. Pek-i Liong-ong saling pandang dengan kedua pembantunya. Mereka mulai percaya pada kisah yang diceritakan Liu Yang Kun.

   "Maaf, apakah Siauw-heng berkata yang sebenarnya?" akhirnya Pek-i Liong ong menegaskan. Liu Yang Kun tersenyum, lalu mengangguk.

   "Siauwte berkata yang sebenarnya. Buat apa Siauwte berbohong? Siauw te tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Lo-Cianpwe maupun Tung-hai-tiauw." Pek-i Liong-ong menundukkan mukanya, lalu menarik napas panjang.

   "Baiklah. Kalau memang demikian halnya aku pun tidak keberatan pula untuk melepaskan Kim-pouw-san itu..."

   "Tapi...?" Bhong Kim Cu yang masih merasa penasaran itu mencoba mencegah.

   "Kim Cu, sudahlah... aku percaya kepada Chin Siauw-heng ini. Biarlah benda itu lepas dari tangan kita. Toh sejak semula benda itu memang bukan milik kita."

   "Tapi banyak saudara-saudara kita yang telah menderita dan menjadi korban karena benda itu." Pek-i Liong-ong berdesah pendek.

   "Memang. Tapi hal itu juga karena kesalahan kita. Kitalah yang harus bertanggung-jawab atas musibah dan penderitaan mereka. Coba, kalau kita tidak menjadi serakah dan bisa menghilangkan nafsu angkara-murka kita untuk memiliki benda temuan itu, niscaya semua itu tidak akan terjadi. Mengertikah kau.." Bhong Kim Cu dan Leng Siauw cepat menundukkan mukanya.

   "Teecu mengerti, Mo-cu..." bisik mereka dengan bibir gemetar.

   "Nah, kalau begitu uruslah saudara-saudara kita yang mati dan terluka! Kita pulang kembali ke Gedung Pusat!"

   "Eeit, enaknya...! Nanti dulu!" Tung-hai-tiauw tiba-tiba berseru sambil meloncat ke depan Pek-i Liong-ong. Pek-i Liong-ong cepat memberi hormat.

   "Maaf! Apakah Hai-ong masih mempunyai pesan yang lain?" katanya kaku.

   "Hmmh! Kalian mau kemana? Siapakah yang mengijinkan kalian pergi dari tempat ini, hah?" Tung-hai-tiauw membentak tak kalah kasarnya. Wajah Pek-i Liong-ong dan pembantunya menjadi merah-padam. Hampir saja mereka tidak bisa menahan amarah mereka.

   "Kami telah memutuskan untuk merelakan baju mustika Kim-pouw-san itu. Dan selanjutnya kami takkan mengutik-utik atau mengganggu-gugat hal itu lagi. Oleh karena itu kami sekarang akan pulang kembali ke Gedung Pusat kami." Leng Siauw menjawab dengan suara dingin pula.

   "Tidak boleh! Kalian semua telah terlanjur melihat barang pusaka kami. Oleh karena itu kami akan membunuh kalian semua!" Tung-hai-tiauw berteriak.

   "Kurang ajar! Jadi kalian tetap ingin melanjutkan pertempuran kita?" Bhong Kim Cu ikut berteriak pula.

   "Bangsat! Jangan banyak bicara! Ayoh... Kiat Su, Nung-jin! Basmi mereka!" Tung-hai-tiauw menjerit marah. Sekejap saja para bajak laut itu telah menyerbu lawan mereka kembali. Dan pertempuran kasar dan brutal pun lalu berlangsung pula dengan riuhnya. Pek-i Liong-ong kembali berhadapan dengan Tung-hai-tiauw, sementara Bhong Kim Cu dan Leng Siauw juga bertempur dengan Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su lagi. Liu Yang Kun tak bisa mencegah lagi. Semuanya berjalan begitu cepatnya sehingga ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Ia hanya bisa berdiri termangu-mangu menyaksikan pertempuran semrawut di sekelilingnya. Namun ketika perimbangan kekuatan itu mulai goyah, sehingga korban mulai berjatuhan kembali di pihak Mo-kauw, Liu Yang Kun tak bisa berdiam diri lagi.

   "Berhenti...!" serunya keras mengatasi kebisingan dan keributan di dalam arena perang-tanding itu.

   Oleh karena Liu Yang Kun menghentakkan suaranya itu dengan enam bagian dari seluruh kekuatan tenaga dalamnya, maka akibatnya pun sungguh hebat sekali! Semua anak buah Tung-hai-tiauw yang kelas rendahan pun segera terjungkal berjatuhan, bagaikan pohon tumbang dilanda angin topan. Sementara para touw-bak yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu juga terhuyung-huyung seperti kawanan pemabuk yang terlalu banyak minum arak! Sedang Tung-hai-tiauw, Pek-i Liong-ong dan yang lain-lain, meskipun tidak menderita seperti anak buah mereka itu, tapi mereka juga terpaksa menghentikan pertempuran mereka. Dinding dada mereka seperti dihantam oleh gelombang kekuatan yang maha dahsyat, sehingga mereka juga dipaksa untuk bertahan agar tidak terpengaruh oleh kekuatan yang sangat luar biasa itu.

   "Bukan main...!" Pek-i Liong ong berdecak kagum setelah dapat mengatasi benturan gelombang suara itu.

   "Bangsat...!" Tung-hai-tiauw mengumpat pula sambil mengerutkan keningnya, seperti orang yang sedang menahan sakit.

   "Uuuuh...?!?" Tung-hai Nung-jin, Bhong Kim Cu dan Leng Siauw mengeluh sambil mencengkeram dada mereka masing-masing.

   "Gila! Betul-betul gila! Kubunuh kau...!" Tiauw Kiat Su menggeram marah. Tangannya segera merogoh saku dan mengeluarkan pek-lek-tan kebanggaannya. Tapi dengan cepat Liu Yang Kun menghardiknya.

   "Tahan senjata itu. Apakah kau ingin membunuh ayahmu sendiri! Apakah engkau belum jera juga menggunakan bahan peledak itu! Lihatlah pakaianmu itu? Apakah engkau ingin mengulanginya lagi? Huh...!"

   "Persetan! Aku ingin melumatkanmu!" Tiauw Kiat Su semakin meradang.

   "Hahahaha...!" Tiba-tiba Liu Yang Kun tertawa.

   "Kau ingin membunuh aku? Hahaha... tampaknya kau belum sadar juga akan kelemahanmu. Apakah kau rasa kau bisa membunuh aku dengan pelurumu itu? Ah... yang benar saja! Coba lihat sendiri pakaianmu itu! Kulihat kau lebih parah dari pada aku. Setidak-tidaknya pakaianku masih utuh. Cuma hangus sedikit. Sebaliknya bagaimana dengan pakaianmu yang compang-camping itu? Apakah engkau juga belum bisa melihat kenyataan ini? Apakah engkau memang ingin membunuh diri secara massal dengan ayahmu dan semua anak buahmu?" Betapapun besarnya rasa marah dan rasa tersinggung di hati Tiauw Kiat Su namun pemuda itu tak bisa mengingkari kenyataan tersebut. Kenyataannya peluru pek-lek-tan itu memang tidak bisa melukai Liu Yang Kun. Justru dirinya sendirilah yang hampir menjadi korban ledakan peluru itu.

   "Coba kau pikirlah sekali lagi. Jangan sembarangan mempergunakan senjata mengerikan itu! Kau tidak akan bisa membunuh aku dengan senjata itu. Jangankan kau, gurumu sendiri juga tak bisa membunuh aku dengan peluru itu! Kau masih ingat peristiwa di Lembah Dalam setahun yang lalu?" Tiauw Kiat Su semakin tak berkutik. Apa yang dikatakan lawannya itu memang benar semuanya. Kalau dia tetap nekad juga melepaskan senjata peledaknya, hal itu memang sama saja hendak membunuh ayah, paman dan anak-buahnya sendiri. Bahkan mungkin juga semua orang yang berada di tempat itu, termasuk dirinya pula.

   "Bocah sombong! Lalu... maksudmu menghentikan pertempuran kami?" Tung-hai-tiauw berseru kesal. Liu Yang Kun menoleh, kemudian mendengus.

   "Hmmh...! Aku hanya ingin mencegah pertumpahan darah di antara kalian. Lain tidak. Karena Ketua Aliran Mo kauw sudah mau mengembalikan baju mustika itu, maka kalian juga harus mau berlapang dada melepaskan mereka pergi."

   "Apa pedulimu? Jangan turut campur dalam urusan kami!" Tung-hai-tiauw membentak gusar.

   "Tidak bisa!" Liu Yang Kun berkata tegas.

   "Aku tidak ingin melihat kekejaman dan ketidak-adilan berlangsung di depan mataku. Kalau kau tetap ingin mengumbar keangkara-murkaan, aku akan mencegahnya. Apapun yang terjadi."

   "Bangsat! Kalau begitu terimalah golokku ini!" Tung-hai-tiauw meraung, kemudian menyerang dengan golok emasnya. Liu Yang Kun mengelak, lalu ganti menyerang pula dengan cepatnya.

   Dan mereka pun lantas terlibat dalam pertarungan yang seru dan cepat luar biasa, masing-masing mencoba mengungguli kecepatan lawannya, sehingga tubuh mereka seakan lenyap di dalam keremangan cahaya obor. Mereka seolah-olah telah berubah menjadi bayang-bayang hitam, yang kadang kadang saling membelit dan saling berpencar di dalam arena. Dan semakin lama kecepatan mereka pun semakin bertambah pula. sepuluh jurus telah berlalu. Sebelas juruspun juga telah berlangsung pula. Akhirnya lima belas jurus pun juga sudah mereka lampaui. Tung-hai-tiauw mulai tersengal-sengal, sementara Liu Yang Kun masih tetap segar dan terus mengikuti perkembangan ilmu s ilat lawannya dengan sabar.

   "Hanya sampai sekiankah ilmu mengentengkan tubuhmu? Kau sudah tidak bisa menambahnya lagi?" pemuda itu bertanya tenang. Sebenarnya tidak ada maksud di hati Liu Yang Kun untuk mengolok-olok atau mengejek lawannya. Namun karena hati Tung-hai-tiauw telah diliputi oleh rasa marah dan penasaran, maka ucapan itu ditangkap sebagai suatu penghinaan bagi Raja Bajak Laut itu. Dengan teriakannya yang keras dan kasar Tung-hai-tiauw memerintahkan para pembantunya untuk ikut membereskan lawannya.

   Dan tanpa diperintah untuk yang kedua kalinya, Tung-hai Nung-jin, Tiauw Kiat Su, serta seluruh anak-buahnya segera meloncat berhamburan menyerang orang-orang Mo-kauw. Dan dalam pertempuran yang kacau balau itu Tung-hai-tiauw bisa sedikit berlindung dan bersembunyi di antara anak buahnya. Sebab di antara orang-orang yang bertempur secara semrawut itu Liu Yang Kun tak bisa seenaknya menggunakan kesaktiannya. Salah-salah bisa mengenai orang yang tak bersalah nanti. Tentu saja Liu Yang Kun menjadi gemas melihat kelicikan lawannya. Namun pemuda itu juga tidak kekurangan akal pula. Karena takut pukulannya yang beracun itu dapat mencelakakan orang-orang yang tak berdosa, maka pemuda itu sengaja mengerahkan ginkangnya saja untuk mengungguli lawannya.

   Dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang telah mencapai puncak kesempurnaan, mudah saja bagi Liu Yang Kun untuk mengejar Tung-hai-tiauw, biarpun raja bajak laut itu berusaha berlindung dan memanfaatkan suasana yang kisruh dan semrawut itu. Tubuh Liu Yang Kun yang seringan kapas itu 'terbang melayang' meliuk-liuk, menerobos kesana-kemari di antara ributnya manusia yang berseliweran di arena itu. Bahkan dengan kehebatan ginkangnya itu Liu Yang Kun mampu mendahului, mencegat dan menyongsong semua gerakan Tung-hai-tiauw! Untunglah bagi raja bajak laut itu, bahwa ia mengenakan baju Kim-pouw-san dan senjata mustika golok Toat-beng-to, sehingga beberapa kali ia bisa menyelamatkan diri dengan perlindungan kedua buah mustika itu.

   "Gila! Bocah ini manusia atau setan, huh!" Tung-hai-tiauw mengumpat-umpat di dalam hatinya. Sementara itu dengan masuknya Liu Yang Kun ke dalam arena, membuat perimbangan kekuatan di dalam arena itu menjadi berubah. Otomatis Pek-i Liong-ong menghadapi Tiauw Kiat Su, orang terlihai di antara kawanan bajak laut itu. Leng Siauw langsung mengurung Tung-hai Nung jin dengan cambuk geriginya. Sementara Bhong Kim Cu membantu anak buahnya melawan keroyokan para touw-bak yang masih hidup. Mula-mula Tung-hai Nung-jin lah yang mengalami kesulitan. Menghadapi cambuk Leng Siauw paculnya benar-benar tak berkutik. Beberapa kali senjata itu hampir terlepas disambut cambuk lawannya.

   "Bangsat! Keparat! Aduuh...I" orang tua itu menjerit-jerit gusar. Dan jeritan Tung-hai Nung-jin itu lalu diikuti pula oleh pekikan-pekikan Tung-hai-tiauw. Raja Bajak Laut itu mulai merasa kesakitan pula oleh pukulan pukulan Liu Yang Kun. Sungguh beruntung baginya karena Liu Yang Kun belum mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, sehingga ia masih bisa bertahan, meski pun untuk itu ia harus jatuh bangun mempertahankan diri. Dan umpatan-umpatan ayahnya itu juga didengar pula Tiauw Kiat Su. Tapi karena ia sendiri sedang menghadapi desakan Peki Liong-ong yang semakin lama terasa semakin berat, maka terpaksa tidak bisa berbuat apa-apa.

   Bahkan ia sendiri merasa semakin repot menghadapi serangan-serangan Pek-i Liong-ong, yang di dalam Buku Rahasia tercantum pada nomer delapan itu. Yang benar-benar sangat payah adalah para touw-bak itu. Menghadapi Bhong Kim Cu yang dibantu oleh tokoh-tokoh Mo-kauw bekas tawanan itu, mereka benar-benar tak berkutik. Satu persatu mereka terbabat roboh oleh cambuk Bhong Kim Cu yang lihai itu. Demikianlah, perlahan tapi pasti kawanan bajak laut itu mulai terdesak. Meskipun mereka berjumlah banyak, tapi sebagian besar cuma tenaga-tenaga kasar yang hanya tahu sedikit dalam ilmu silat, sehingga menghadapi tokoh seperti Bhong Kim Cu yang berkepandaian sangat tinggi itu mereka benar-benar kepayahan. Mereka betul-betul seperti batang ilalang yang mudah saja dibabat. Sebentar saja arena itu telah dipenuhi tubuh-tubuh mereka yang bergelimpangan.

   "Aduuuuuh... b-b-be-bangsat!" tiba-tiba Tung-hai-tiauw berteriak kesakitan, kemudian terhuyung-huyung jatuh. Sebuah totokan jari tangan Liu Yang Kun telah mengenal jalan darah teng-go-hiat di lehernya. Belum juga hilang rasa kaget dari kawanan bajak laut itu, mendadak mereka dikejutkan lagi oleh suara pekikan panjang Tung-hai Nung-jin. Tangan kanan Tung-hai-tiauw yang lihai itu tampak terpelanting ke udara bagai layang layang putus.

   Kaki kanannya terbelit ujung cambuk Leng Siauw, sementara paculnya telah terlempar pula entah kemana. Sekejap Tiauw Kiat Su tertegun, sehingga tendangan kaki Pek-i Liong ong yang keras itu nyaris meremukkan tulang tempurung kepalanya. Untunglah dia cepat menjatuhkan diri dan berguling-guling menjauh. Wajahnya tampak putih pucat, sedangkan bibirnya tampak bergetar, namun matanya bagaikan menyala di dalam kegelapan! Beberapa orang Mo-kauw yang ada di dekatnya segera menjadi korban kemarahannya. Mereka jatuh bergelimpangan akibat pukulan dan tendangannya. Di lain saat pemuda itu telah berdiri kembali. Di dalam tangannya telah tergenggam kembali senjata mautnya itu! Pemuda itu benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya lagi! Namun sebelum senjata peledak itu dilemparkan, Liu Yang Kun lebih dahulu mencegahnya!

   "Tahaaaaaaan!!!" Lalu tampak bayangan Liu Yang Kun berkelebat ke depan pemuda itu. Begitu cepatnya, seperti kilat menyambar, padahal kedua tangannya menjinjing tubuh... Tung-hai-tiauw dan Tung-hai Nung-jin!

   "Tahan! Apakah kau ingin melumatkan ayah dan pamanmu pula?" Liu Yang Kun menggertak.

   "Persetan! Aku...?"

   "Kiat Su, jangan...!" Tung-hai-tiauw yang sudah tidak berdaya itu tiba-tiba ikut berteriak pula. Wajahnya tampak ketakutan.

   "Kiat Su...! Si-sim-simpan kembali pelurumu itu! Jangan...jangan membunuh diri. Jangan kau bunuh ke-keluarga kita! Anak buah kita! Kau...kau akan menyesal nanti. Gunakan otakmu! Biarlah kita mengalah sekali ini." Tung-hai Nung-jin turut mencegah pula. Suaranya terdengar gugup dan gemetaran saking tegang dan cemasnya. Mata yang merah menyala itu tiba-tiba meredup kembali. Urat-urat yang menegang itu juga tampak mengendor lagi. Lalu perlahan-lahan pemuda itu menarik napas panjang. Tapi pada saat itu juga tiba-tiba muncul Tiauw Li Ing menubruknya!

   "Kokooooo... jangan!" gadis itu memekik kuat-kuat. Tiauw Kiat Su berusaha mengelak, namun terlambat. Gerakan adiknya itu juga cepat bukan main, dan mendadak pula! Akibatnya Tiauw Li Ing persis menubruk pinggangnya, sehingga ia terpelanting ke depan. Tepat ke arah di mana Liu Yang Kun berada! Semua orang menjerit! Peluru pek-lek tan yang sangat menakutkan itu terlepas dari genggaman Tiauw Kiat Su! Dan meluncur atau terbanting ke tanah dengan cepat sekali!

   "Kiat Suuu...?!" Tung-hai-tiauw melolong ketakutan. Tapi secepat itu pek-lek-tan terlepas dari tangan Tiauw Kiat Su, secepat itu pula Liu Yang Kun menyambarnya! Begitu cepatnya pemuda itu bergerak, yaitu melepaskan kedua orang yang dijinjingnya dan menyambar benda maut yang hampir menyentuh tanah itu, sehingga tak seorangpun di dekatnya yang tahu bagaimana pemuda itu tadi bergerak. Tahu-tahu pemuda itu telah berdiri memegang pek-lek-tan yang sangat menakutkan itu.

   "Ooooooooh...!" semuanya menghembuskan napas lega. Termasuk juga Tung-hai-tiauw dan Tung-hai Nung-jin, meski pun mereka harus meringis kesakitan karena dilepas begitu saja oleh Liu Yang Kun.

   Dan yang tidak kalah leganya adalah Tiauw Kiat Su sendiri. Pemuda yang pada saat-saat terakhir telah menjadi sadar untuk tidak menggunakan pek-lek-tan untuk melawan musuhnya itu, semula sangat kaget dan cemas bukan main ketika menyadari pek-lek-tan terlepas dari tangannya. Semula pemuda itu sudah membayangkan bahwa dirinya bersama orang-orang yang berada di sekitarnya itu akan lumat menjadi bubur. Termasuk ayah, paman dan adiknya. Maka begitu menyaksikan benda maut itu berhasil ditangkap orang, dan tidak jadi me letus, hatinya benar-benar menjadi lega sekaIi. Namun kelegaan itu segera sirna begitu menyadari siapa yang telah menangkap senjata mautnya itu! Dan kelegaan itu segera berubah menjadi kecemasan dan kegelisahan lagi! Pemuda itu cepat mendorong adiknya.

   "Kembalikan pek-lek-tan itu kepadaku!" serunya kepada Liu Yang Kun. Namun dengan tenangnya Liu Yang Kun melangkah mundur.

   "Aha... nanti dulu! Jangan tergesa-gesa!" serunya pula sambil menggoyang-goyangkan peluru maut di tangannya.

   "Haii...! Jangan main-main dengan pek lek tan itu! Meskipun belum kutarik sumbunya, tapi kuncinya sudah kulepaskan. Dia bisa meledak bila terjatuh ke tanah!" Tiauw Kiat Su berteriak semakin ketakutan. Liu Yang Kun cepat menggelengkan kepalanya. Bibirnya tersenyum.

   "Jangan khawatir! Peluru ini tidak akan kujatuhkan ke tanah apabila kau mau... melepaskan orang-orang Mo-kauw itu. Bagaimana...?" Tiauw Kiat Su tertegun. Beberapa kali matanya melirik ke arah ayahnya.

   "Koko...! Biarkan mereka pergi," Tiauw Li Ing yang belum bisa menghilangkan kekalutan hatinya itu memohon kepada kakaknya. Ternyata selain mengkhawatirkan nasib ayah dan dirinya sendiri, gadis itu juga mengkhawatirkan keselamatan Liu Yang Kun, pemuda yang dicintainya. Gadis itu benar-benar takut kalau kakaknya menjadi nekad.

   "Nona Tiauw, biarkan kakakmu berpikir dulu..." Liu Yang Kun berkata.

   "Pangeran...?" Tiauw Li Ing berbisik dengan air mata bercucuran.

   "Kiat Su! Biarkan mereka pergi!" Tung-hai-tiauw yang masih menggeletak di atas tanah itu tiba-tiba berteriak. Tiauw Kiat Su menundukkan kepalanya.

   "Baiklah, mereka boleh pergi. Tapi peluru harus kau kembalikan kepadaku," katanya lemah. Sekarang ganti Liu Yang Kun yang menjadi ragu-ragu untuk memenuhi syarat lawannya. Sebenarnya ia bermaksud untuk memusnahkan saja benda berbahaya itu. Tampaknya Tiauw Kiat Su dapat membaca pikiran Liu Yang Kun. Matanya yang telah meredup itu tiba-tiba tampak menyala kembali. Tangannya bergegas merogoh kantongnya dan mengeluarkan satu satunya pek-lek-tan yang tertinggal.

   "Hmmh! Kalau kau tidak mau mengembalikan pek-lek-tan itu, aku juga tidak mau hidup lagi! Lebih baik kita bunuh diri saja secara massal di sini!" geramnya sambil menimang-nimang senjata peledaknya. Suasana menjadi tegang kembali! Kedua pemuda lihai yang saling berhadapan itu sama-sama memegang pek-lek tan! Diam-diam Liu Yang Kun menjadi kaget juga.

   "Mengapa kau memilih mati cuma karena satu pek-lek-tan ini? Bukankah kau masih mempunyai banyak lagi?" tanya pemuda itu berhati-hati. Tiauw Kiat Su mendengus.

   "Huh? Apa gunanya aku hidup kalau pek-lek-tan itu sampai jatuh ke tangan orang lain. Suhu tentu akan membunuh aku pula. Nah, dari pada kalian semua masih tetap hidup sementara aku nanti dibunuh guruku, lebih baik aku mati saja sekarang bersama-sama kalian semua.Hatiku puas."

   "Koko...?" Tiauw Li Ing berbisik.

   "Kiat Su...!" Tung-hai-tiauw berdesah pula dengan bingungnya. Tiba-tiba Liu Yang Kun menghela napas panjang.

   "Baiklah! Baiklah... Aku setuju pada syaratmu. Biarlah mereka pergi, aku akan mengembalikan pek lek-tan ini kepadamu," katanya mantap. Tiauw Kiat Su mengatupkan bibirnya.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagaimana aku dapat mempercayai kata-katamu?" ucapnya curiga.

   "Kurang ajar! Jangan samakan aku dengan perompak-lanun seperti kau! Apa yang sudah kujanjikan tentu aku tepati apapun rintangannya!" Liu Yang Kun naik pitam.

   "Bagus! Nah, silahkan mereka pergi, aku percaya kepadamu...!" Tiauw Kiat Su berkata lega. Bukan main mendongkolnya hati Liu Yang Kun. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk menahannya. Sambil menggigit bibirnya ia menoleh kepada Pek-I Liong-ong.

   "Lo-Cianpwe. Silahkan Lo-Cianpwe membawa teman-temanmu pergi," katanya pendek.

   "Terima kasih, Chin Siauw heng. Tapi... bagaimana dengan kau sendiri?"

   "Lo-Cianpwe tak usah merasa khawatir. Siauwte bisa menjaga diri. Nah, silahkan berangkat...!" Tak enak sebetulnya hati Ketua Mo-Kauw itu meninggalkan Liu Yang Kun sendirian. Namun orang tua itu sangat percaya kepada kemampuan pemuda sakti itu. Ia telah menyaksikan tadi. Dan ia pun juga sangat percaya bahwa pemuda itu takkan kalah, walaupun harus menghadapi keroyokan bajak-laut itu.

   "Baiklah...!" akhirnya orang tua itu berkata. Kemudian sambungnya kepada anak buahnya.

   "Kim Cu! Leng Siauw...! Urus teman-temanmu! Utamakan bagi yang sakit atau terluka! Kita pergi dari sini!" Demikianlah untuk beberapa saat terjadi kesibukan di tempat itu. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw mengumpulkan anak buahnya, baik yang sakit atau terluka maupun yang masih sehat. Yang masih sehat segera membantu kawan-kawannya yang terluka, kemudian secara bersama-sama mereka pergi meninggalkan halaman rumah itu. Mereka melewati kawanan bajak laut yang tadi bertempur dengan mereka. Mereka saling melotot dan saling menatap dengan sinar mata dendam. Tapi karena masing-masing merasa takut kepada pimpinan mereka, maka semuanya tak berani bertindak lebih lanjut.

   "Terima kasih, Chin Siauw-heng. Kami dari Aliran Mo-kauw takkan pernah melupakan pertolonganmu ini. Bersama ini pula kami mengundangmu. Kapan saja Chin Siauw-heng ada waktu, datanglah ke Gedung Pusat kami. Kami akan menyambutmu seperti menyambut seorang kawan atau sahabat-karib." setelah seluruh anak buahnya pergi Pek-i Liong-ong memberi hormat kepada Liu Yang Kun. Pemuda itu cepat membalas penghormatan Pek-i Liong-ong kemudian mengawasi ketua Mo-kauw itu sampai hilang dari pandangannya.

   "Nah... mereka sudah pergi. Kini cepat kau serahkan pek-lek-tan itu kepadaku!" tiba-tiba terdengar suara bentakan Tiauw Kiat Su. Liu Yang Kun membalikkan tubuhnya.

   "Baik! Nih, ambillah...!" pemuda itu berseru. Kemudian secara tiba-tiba pemuda itu melemparkan pek-lek-tan itu tinggi-tinggi ke udara. Dan bersamaan dengan waktu itu pula ia melesat pergi meninggalkan tempat itu.

   "Nah, selamat berjumpa pula...!" dari jauh ia masih mengucapkan kata-kata perpisahan.

   "Yang Kuuuuuun...!" Tiauw Li Ing tersentak kaget, kemudian meloncat mengejar seraya berteriak.

   "Li Ing...!" Tung-hai-tiauw memanggil puterinya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya masih lumpuh ditotok Liu Yang Kun tadi. Demikian pula halnya dengan Tung-hai Nung-jin, tangan kanannya.

   "Bangsat pengecut...!" Tiauw Kiat Su, satu-satunya orang yang dapat bergerak bebas, juga tak bisa berbuat apa-apa, karena ia harus menangkap dan mengamankan senjata peledak yang dilemparkan Liu Yang Kun itu.

   "Kiat Su! Cepat kau bebaskan kami! Kita kejar adikmu dan orang-orang Mo-kauw itu! Mereka tentu belum berapa jauh dari s ini..." Tung-hai-tiauw berkata kepada anaknya. Tapi sampai berkeringat Tiauw Kiat Su tak mampu membebaskan totokan Liu Yang Kun. Biarpun telah ia urut dan ia totok disana-sini, Tung-hai-tiauw dan Tung-hai Nung-jin tetap lumpuh.

   "Gila! Anak muda itu benar-benar bukan manusia! Ilmunya seperti setan! Bangsat keparat...!" Tung-hai-tiauw mengumpat tiada habisnya.

   "Wah... kita terpaksa menunggu sampai totokan ini punah dengan sendirinya, Hai-ong." Tung-hai Nung-jin menggeram pula.

   "Biarlah aku mengejar sendiri ayah." Tiauw K iat Su berkata penasaran.

   "Jangan! Mereka terlalu kuat untuk kau hadapi sendiri!"

   "Aku tidak takut!"

   "Tentu! Tapi itu bunuh diri namanya. Sudahlah... lebih baik kau bawa aku ke rumah, kemudian kau beri perintah kepada anak buah kita untuk mengurusi kawan-kawannya yang terluka!" Tung-hai-tiauw menasehati anaknya.

   "Tapi... bagaimana dengan Si Bengal Li Ing itu?" Tiauw Kiat Su bertanya kesal. Tung-hai-tiauw menggeram dengan kesal pula.

   "Bocah ini memang bandel dan sukar diurus. Baru saja pulang sudah pergi lagi. Biarkan saja dia. Aku juga sudah bosan menasehatinya." Begitulah, dengan tetap bersungut sungut Tiauw Kiat Su lalu melakukan semua perintah ayahnya. Pemuda itu benar benar kesal terhadap adiknya, sementara rasa bencinya kepada Liu Yang Kun juga semakin menjadi-jadi pula. Sementara itu dengan perasaan puas Liu Yang Kun berlari kembali ke dalam kota. Cuma hatinya agak sedikit berdebar ketika mendengar suara panggilan Tiauw Li Ing tadi. Oleh karena itu ia terpaksa mengerahkan seluruh kemampuan Bu-eng Hwe-tengnya untuk cepat cepat pergi dari tempat itu. Dia benar benar takut berurusan dengan gadis cantik itu. Demikian terburu-burunya pemuda itu sehingga hampir saja ia menabrak seorang kakek buta di depan rumah penginapannya.

   "Eh-oh... maaf, kek. Aku terburu-buru. Aku tak sengaja. Nih., tongkat kakek!" pemuda itu meminta maaf seraya mengembalikan tongkat yang tersangkut di bajunya.

   "Eh-eh... k-kau? Anu... ya-ya... terima kasih!" Sekilas kakek tua itu seperti kaget mendengar suara Liu Yang Kun. Tapi karena pemuda yang menabraknya itu segera meninggalkannya setelah memberikan tongkatnya, kakek buta itu tak mempunyai kesempatan untuk berkata-kata selain mengucapkan terima kasihnya. Namun beberapa saat kemudian kakek buta, yang tidak lain adalah Lo-sin-ong itu, merasa menyesal bukan main.

   "Dia... dia itu... eh, bukankah dia tadi Pangeran Chin... eh. Pangeran Liu Yang Kun? Oh... kemana dia?" Tiba-tiba kakek Lo-sin-ong itu terbang ke arah mana Liu Yang Kun tadi pergi. Gerakannya benar-benar sangat mengagumkan. Cepat luar biasa. Sungguh tidak sesuai dengan tubuhnya yang sudah reyot seperti orang berpenyakitan itu. Apalagi dengan matanya yang buta itu. Tapi kakek itu segera mengeluh dan menyesali dirinya kembali. Ia benar-benar telah kehilangan jejak Liu Yang Kun, pemuda yang dicarinya selama ini.

   "Ah... kemana dia tadi? Rasa-rasanya ia cuma masuk ke halaman ini. Hmmmm..." kakek buta itu berdesah. Waktu memang telah larut, sehingga tempat itu telah menjadi sepi dan tak seorang pun melihat gerak-gerik kakek buta tersebut. Selangkah demi selangkah kakek itu lalu berjalan kembali keluar halaman. Dan sambil melangkah tak habis-habisnya kakek itu menyesali dirinya sendiri.

   "Tempat apa sebetulnya rumah ini? Mengapa tiada seorangpun di luar rumah?" ujarnya perlahan seraya melangkah tersaruk-saruk di tepi jalan raya kembali. Pada saat yang sama, dari ujung jalan itu melangkah pula Tiauw Li Ing dengan terhuyung-huyung. Gadis itu telah kehilangan jejak Liu Yang Kun. Wajahnya kelihatan sangat pucat dan pilu.

   Sementara pelupuk matanya juga kelihatan membengkak penuh air mata. Sebentar-sebentar langkahnya terhenti, dan kepalanya yang awut-awutan itu menoleh kesana-kemari. Beberapa kali tangannya yang menggenggam saputangan itu mengusap pipinya, sementara dadanya yang montok itu selalu tersentak oleh desah sedu-sedannya. Namun malam memang telah sangat larut, sehingga jalan itu benar-benar sangat sepi. Tak sesosok bayangan manusiapun yang tampak berada di luar rumah. Satu-satunya tempat yang masih kelihatan hidup hanyalah sebuah warung arak di pinggir jalan itu. Itupun pintunya juga tertutup pula. Cuma suara senda gurau dan kelakar para tamunya saja yang terdengar dari luar. Tampaknya selain minum arak orang-orang di dalam warung itu juga sedang bermain judi. Ketika berada di depan warung itu Tiauw Li Ing kelihatan ragu-ragu.

   Langkahnya terhenti. Berkali-kali ia menoleh ke warung itu, seakan-akan matanya ingin mengintip atau menjenguk ke dalamnya. Tiba-tiba terdengar suara ribut di dalam warung itu. Beberapa buah suara terdengar saling bertengkar dan maki. Selanjutnya terdengar juga suara gedubrakan seolah-olah ada yang sedang berkelahi. Kemudian terdengar pula dentang suara senjata beradu. Dan akhirnya pintu yang tertutup itu tampak terbuka dengan paksa. Grobyag! Belasan orang lelaki tampak berloncatan keluar dari pintu itu. Mereka saling menyerang dan bertebaran di jalan raya di depan warung tersebut. Tapi mereka semua segera tertegun ketika menyaksikan Tiauw Li Ing yang cantik molek itu. Otomatis keributan mereka menjadi terhenti. Semuanya memandang Tiauw Li Ing seolah tak percaya.

   "Gila! Ini... ini... oh, siapakah dia?"

   "Ya, ampun... cantiknya. Ma manusia a-a-atau bukan.?"

   "Wadhuuuh... dapat rejeki nomplok, nih!"

   Belasan orang lelaki itu masih tampak muda-muda, diantara dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Dan tampaknya mereka juga hanya terdiri dari satu golongan saja. Tegasnya mereka semua adalah kawan atau sahabat sendiri, yang bertengkar karena terlalu banyak minum arak dan berjudi. Hal itu dapat dilihat pada kulit muka dan mata mereka yang kemerah-merahan. Tiauw Li Ing yang sedang berduka dan putus-asa itu tidak mempedulikan sikap mereka. Dengan wajah penuh harap gadis itu meneliti belasan lelaki itu satu persatu. Dan semangatnya segera terkulai begitu tidak mendapatkan wajah kekasihnya diantara mereka. Gadis itu lalu beranjak pergi, langkahnya semakin terhuyung-huyung. Dan ia benar-benar tak peduli pada belasan pemuda yang mengelilinginya itu. Ia baru menaruh perhatian ketika lelaki yang berdiri di depannya tidak mau menyingkir.

   "Mau kemana, nona manis...?" lelaki itu menyeringai kurang ajar. Tangannya terjulur ke depan untuk mencubit dagu Tiauw Li Ing. Tapi gadis itu segera menghindar. Dan tidak seperti biasanya gadis itu tidak menjadi marah karenanya. Padahal dalam keadaan biasa, jangankan berbuat demikian kurang ajar terhadapnya, baru melotot atau berkata jelek saja sudah menjadi alasan bagi gadis itu untuk membunuh orang. Ternyata derita asmara yang sedang menghinggapi gadis itu telah membuatnya berubah.

   "Hehehe... apakah kau penghuni baru di rumah hiburan Hui Hiang itu? Kapan kau datang? Mengapa...?" lelaki muda yang tak tahu diri itu mendesak terus.

   "Mungkin baru siang tadi dia datang. Dan ia langsung dipesan orang saking cantiknya, hi-hihi..." temannya menyahut sambil tertawa jorok.

   "Ya! Tampaknya memang begitu. Dan akibatnya dia kini... pulang kemalaman, ho-ho ha-haaaaa!" yang lain menambahkan pula.

   "Wah, kalau begitu... sebaiknya sekalian tak pulang saja. Lebih baik menghibur dan menemani kita semua sampai pagi. Bagaimana kawan-kawan?"

   "Setuju! Setujuuuuuuu!" belasan pemuda iseng itu bersorak gembira. Tampaknya sikap Tiauw Li Ing yang acuh, diam dan selalu menghindar itu semakin mengobarkan nafsu mereka. Tanpa menyelidiki lebih lanjut siapa sebenarnya gadis cantik yang mereka ketemukan itu, mereka lalu saling berlomba untuk meraih dan memeluknya. Pada waktu itulah sebenarnya kakek buta itu datang. Namun karena ia tak dapat dengan segera mengetahui apa yang terjadi, maka ia juga tidak dapat dengan segera mengambil keputusan untuk mencegah tindakan para pemuda yang sangat berbahaya itu. Bahkan kakek buta itu juga tidak mengetahui kalau yang menjadi pusat keributan tersebut adalah Tiauw Li Ing, muridnya. Barulah kakek itu menjadi kaget dan terkejut bukan main ketika secara mendadak terdengar suara keluhan dan jeritan ngeri di dalam arena keributan itu.

   "Ah...? A-ap-apa... yang terjadi?" desahnya kebingungan. Namun semuanya memang sudah terlambat. Tiauw Li Ing yang semula kelihatan mengalah serta takut-takut itu mendadak berubah menjadi buas begitu terpojok. Wajahnya yang pucat itu berubah menjadi beringas. Dan tangannya yang gemetaran itu tiba-tiba juga telah memegang kipas besinya pula. Dan apa yang terjadi selanjutnya benar-benar merupakan bencana bagi kawanan lelaki muda itu. Demikianlah, ketika Lo-sin-ong atau kakek buta itu bergegas memasuki arena, ternyata semuanya telah selesai. Belasan anak muda itu telah bergelimpangan di jalan raya dengan keadaan yang sangat mengerikan. Separuh di antara mereka telah tewas, sementara yang separuhnya lagi dalam keadaan terluka parah.

   "Oh, siapa... siapakah yang main bunuh di tempat ini?" serunya tertahan. Tapi jawaban dari pertanyaannya itu benar-benar sangat mengejutkan Lo-sin-ong sendiri!

   "Suhu...!" Tiauw Li Ing menjerit kaget begitu menyaksikan kedatangan gurunya.

   "Hei? Li Ing... kau? Oooohh!" kakek buta itu mengeluh pula dengan suara gemetar. Tiauw Li Ing lalu menubruk kaki Lo-sin-ong dan menangis seperti anak kecil. Gadis itu bagaikan memperoleh tempat untuk menumpahkan seluruh kepepatan hatinya.

   "Suhu, oh... uh-huuuu...!"

   "Li Ing! Mengapa sifatmu belum juga berubah? Mengapa kau bunuh mereka? Oh... apa sebenarnya yang terjadi padamu?" Ada nada sedih, kesal dan rasa amat bersalah pada suara orang tua itu. Sebab bagaimanapun juga Lo-sin-ong amat sayang serta sangat kasihan kepada Tiauw Li Ing. Dikarenakan olah sebab itu pulalah dahulu ia mengambil Tiauw Li Ing sebagai murid. Selain untuk mengembalikan semangat hidup gadis itu, Lo sin-ong juga bermaksud menghibur dan mengusir rasa putus asa di hati Tiauw Li Ing akibat cintanya yang bertepuk sebelah tangan dengan Pangeran Liu Yang Kun.

   Lo-sin-ong menemukan Tiauw Li Ing ketika gadis itu ditinggalkan oleh Liu Yang Kun. Di dalam kesedihan dan keputus-asaannya Tiauw Li Ing mencoba untuk bunuh diri. Untunglah kakek buta itu segera mencegahnya, sehingga niat gadis itu menjadi gagal. Lo-sin-ong itu menghiburnya, dan kemudian mengambilnya menjadi murid, dengan harapan bisa mengobati luka dan kesedihan di hati gadis itu. Dan tampaknya usaha Lo-sin-ong itu memperoleh hasil. Sedikit demi sedikit awan mendung yang menyelimuti batin Tiauw Li Ing bisa hilang. Dan selanjutnya kegembiraan gadis itu seperti telah pulih kembali. Namun yang kemudian menjadi sangat menyusahkan hati Lo sin ong adalah... watak gadis itu!

   Semula Lo-sin-ong tak menyangka kalau Tiauw Li Ing adalah puteri Tung-hai-tiauw, raja bajak laut yang kejam dan buas itu. Baru setelah ia menyaksikan watak dan perangai Tiauw Li Ing yang buruk, kejam dan suka membunuh orang itu, Lo-sin-ong menjadi sedih dan menyesal bukan main. Tapi apa boleh buat, Lo-sin-ong juga sudah terlanjur merasa kasihan dan menyayangi gadis itu. Oleh karena itu diam-diam Lo-sin-ong berusaha dengan berbagai macam cara untuk memperbaiki perangai dan kelakuan muridnya yang buruk itu. Tapi hal itu ternyata tidak mudah. Dimisalkan sebatang pohon, watak gadis itu sudah tumbuh subur dan berakar di dalam dirinya. Sulit untuk mencabutnya. Sehingga sampai gadis itu menamatkan pelajaran silatnya, Lo-sin-ong belum bisa mengubah wataknya. Malahan gadis itu tampak semakin berbahaya dengan ilmunya yang tinggi.

   "Li Ing, kau benar-benar membuatku sedih. Ah, Li Ing... Li Ing! Mengapa watakmu yang buruk itu belum juga berubah? Mengapa kau masih suka bunuh orang juga? Oooooooh!"

   "Maafkan teecu, suhu. Sebenarnya... sebenarnya teecu tidak bermaksud membunuh mereka. Merekalah yang terlalu menghina dan mendesak aku. Mereka bermaksud...bermaksud memperkosa aku. Oh, suhu... terpaksa teecu membunuh mereka!" Tiauw Li Ing membela diri sambil menangis. Lo-sin ong menarik napas panjang seraya mengusap-usap jenggotnya yang putih.

   "Ya... ya, tapi tidak seharusnya kau membunuh mereka. Itu terlalu kejam namanya. Bukankah kau bisa membuat jera mereka, tanpa harus menghilangkan nyawa mereka?" Tiauw Li Ing menangis semakin sedih. Kepalanya mengangguk-angguk, sementara pelukannya di kaki orang itu juga semakin bertambah erat pula.

   "Teecu bersalah, suhu... teecu bersalah... uh-huuuuuuuu...! bunuh saja muridmu ini! Teecu... teecu juga tak ingin hidup lagi! Teecu ingin mati saja... uhuuuu... teecu ingin mati saja!"

   "Ah...!" Orang tua itu terdiam seketika. Pikirannya segera melayang kepada Liu Yang Kun yang baru saja menabraknya tadi.

   "Ah... tampaknya peristiwa lama telah terulang kembali di tempat ini. Li Ing tentu telah berjumpa kembali dengan Pangeran Liu Yang Kun itu, dan akibatnya luka di hatinya menjadi kambuh lagi. Hmmh... kapan semua ini bisa berakhir?" Sementara itu keributan tadi ternyata telah membangunkan penduduk di sekitar itu. Mereka berbondong-bondong keluar rumah dan berkumpul di tepi jalan tersebut. Yang berhati kecil tidak berani mendekat, sedangkan yang bernyali besar segera melihat bangkai atau mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Malah sebagian ada pula yang langsung menghampiri Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 53 Pendekar Penyebar Maut Eps 20 Pendekar Penyebar Maut Eps 25

Cari Blog Ini