Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 16


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 16




   Meskipun demikian dalam isyarat tersebut juga ditunjukkan bahwa pemuda itu juga pada hari tuanya mempunyai "peruntungan baik" dalam dunia keagamaan. Isyarat-isyarat tersebut oleh Toat-beng-jin dikatakan kepada para pimpinan Im-yang-kauw, termasuk pula kepada Tong Ciak Cu-si. Dan oleh para pimpinan itu diputuskan untuk sedapat-dapatnya mencari pemuda tersebut, dan kalau bisa agar membujuknya sekalian supaya menjadi penganut Im yang kauw. Tujuannya adalah agar supaya hari depan aliran mereka menjadi besar dan terpandang karena ikut terangkat oleh "nasib peruntungan baik" (hok-kie) pemuda itu. Dengan keyakinan seperti itulah akhirnya satu bulan yang lalu Toat-beng-jin mulai berkelana di dunia kang-ouw untuk mencari pemuda yang tersirat dalam isyarat yang diterimanya itu.

   Karena kepandaiannya dalam membaca isyarat dan ramalan yang ia terima setiap waktu, maka dengan mudah Toat-beng-jin menemukan Yang Kun, yaitu pemuda yang dimaksudkan dalam isyarat tersebut. Oleh karena itu, pada pertemuan mereka yang pertama, ketika Toat-beng-jin tahu bahwa pemuda tersebut memakai atau menyaru sebagai Toat-beng-jin, dia tidak menjadi marah ataupun tersinggung sama sekali. Orang tua itu justru merasa senang bukan main dan setiap saat malah berusaha sekuat tenaga agar pemuda tersebut menyukai dan memakai terus nama dan gelar itu. Orang tua itu rela dan ikhlas nama serta gelarnya dipakai oleh pemuda tersebut, sebab ia yakin dengan jalan itu Yang Kun akan menjadi tertarik dan kemungkinan besar akan terus menyukai Im-yang-kauw.

   Demikianlah, orang tua itu berceritera dengan terus terang dan apa adanya. Kakek itu tak ingin ada ganjalan barang secuilpun diantara mereka, yang mungkin dapat menjadi bibit pertentangan di kemudian hari. Sementara itu bagi Yang Kun cerita yang diuraikan oleh Toat-beng-jin tersebut ternyata dapat mendinginkan hatinya yang terbakar. Sebagian besar dari perasaan dongkolnya telah larut oleh kenyataan bahwa semua tingkah laku kakek itu bukan disebabkan oleh maksud-maksud jahatnya, tapi oleh karena besarnya rasa pengabdian kakek itu terhadap agamanya. Oleh karena itu ketika melihat kakek itu memandang kepadanya seakan minta pertimbangan, Yang Kun mengangguk sambil menarik napas panjang.

   "Baiklah, Lo-Cianpwe... Kukira semuanya telah terjadi dan kita tak perlu menarik panjang urusan itu sehingga menjadi berlarut-larut. Sudahlah, kita putus sekian saja!" katanya menegaskan. Kemudian sambil beranjak dari kursinya pemuda itu meneruskan,

   "Sekarang siauwte benar-benar mau memohon diri..."

   "Eeeee... nanti dulu! Yang-hiante, kau..." Kakek itu segera menahan lengan Yang Kun dan mendudukkan kembali di kursinya. Kemudian katanya dengan nada yang dalam, "Yan hiante, lohu percaya kalau engkau sudah memaafkan perbuatanku yang keterlaluan itu. Tapi... lohu juga masih melihat bahwa hatimu masih juga merasa terluka oleh peristiwa tersebut, sehingga meskipun engkau sudah tidak akan menarik panjang urusan ini, tapi engkaupun sudah tak ingin berhubungan lagi dengan kami..."

   Yang Kun menatap Toat-beng-jin beberapa saat. Tampak betapa menyesalnya orang tua itu terhadap peristiwa yang telah terjadi. Tapi memang sebenarnyalah bahwa Yang Kun sudah tidak ingin lagi berada di antara para penganut Im-yang-kauw itu. Bukannya ia masih mendendam terhadap mereka, tetapi karena ia ingin lekas-lekas menyelesaikan urusannya sendiri. Ia tidak ingin terlibat secara berkepanjangan dengan urusan-urusan mereka. Oleh karena itu untuk menenangkan hati Toat-beng-jin, Yang Kun menjura sambil berusaha menampilkan sebuah senyuman di bibirnya.

   "Lo-Cianpwe, janganlah berpikir yang bukan-bukan. Sesungguhnyalah bahwa semuanya telah siauwte lupakan. Sungguh! Hanya karena siauwte mempunyai urusan yang tidak boleh ditunda-tunda lagi maka siauwte terpaksa harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini."

   "Tapi engkau masih terluka..."

   "Jangan khawatir! Aku sudah tidak merasakannya lagi sekarang..." pemuda itu menukas dengan cepat, biarpun rasa pedih itu masih terasa juga. Dengan langkah yang tegap Yang Kun keluar dari tempat itu, meninggalkan Toat-beng-jin termangu-mangu sendiri. Kakek yang telah kenyang memakan garam kehidupan itu masih melihat betapa pemuda itu meringis menahan sakit, biarpun hanya sekilas saja.

   "Pemuda yang keras hati!" orang tua itu berkata di dalam hatinya.

   "Dia... aku telah gagal menarik dirinya."

   Matahari benar-benar telah menumpahkan seluruh sinarnya ke halaman kuil yang luas itu. Beberapa orang tampak menyiapkan sesuatu untuk upacara keagamaan yang hendak dilakukan setiap pagi hari. Sementara di ruangan samping tampak belasan penganut Im-yang-kauw bersembahyang bersama di depan peti jenasah. Yang Kun tidak ingin menarik perhatian orang-orang itu, maka ia melangkah menyusuri lorong di depan kamarnya ke arah kiri untuk mencapai pintu yang menuju ke halaman samping. Dari sana Yang Kun berjalan ke halaman depan melalui jalan setapak yang dibuat di antara tanaman bunga, yang semalam telah ia lalui ketika menikmati keindahan alam itu. Tapi ketika melalui jalan dimana patung orang tua bersuling itu didirikan, Yang Kun dikagetkan oleh suara orang yang menghardik dirinya dengan keras.

   "Berhenti!" Yang Kun segera mempersiapkan diri. Ia benar-benar terkejut, sebab sebelumnya ia telah meningkatkan kewaspadaannya, namun demikian ternyata ia tak mendengar kehadiran orang itu sama sekali. Dan ketika ia menoleh ke atas, tampak di dekat patung perunggu itu berdiri seorang gadis cantik molek memegang sebuah kipas besi di tangan kanannya. Sementara disampingnya juga berdiri seorang lelaki kurus berusia kira-kira lima puluhan tahun, dengan dandanan yang tidak kalah mewahnya dengan gadis tersebut. Orang itu memandang ke langit dengan acuh tak acuh.

   "Paman, inilah pemuda yang dimaksudkan oleh ketiga suhengku itu. Aku sudah mengenalnya, karena aku pernah bertempur dengannya. Paman...hati-hatilah, pemuda ini mempunyai kepandaian yang sangat aneh!" gadis cantik itu memperingatkan orang tua yang berada di sampingnya.

   "Cuh!" laki-laki kurus itu berludah, sehingga serta merta muka Yang Kun menjadi merah padam. Otomatis Liong-cu-ikang bekerja dengan sendirinya. Tapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke samping dan hampir saja pemuda itu terjungkal ke atas tanah. Dadanya bagai dihantam dengan palu yang ribuan kali beratnya!

   "Aduhh... lukaku!" pemuda itu berdesis menahan sakit.

   Gadis cantik dan lelaki kurus itu saling memandang dengan perasaan heran. Mereka malah menjadi curiga, jangan-jangan pemuda dihadapan mereka itu memasang sebuah perangkap buat mereka. Oleh karena itu mereka justru melangkah mundur setindak dan bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kedua orang itu datang dari lingkungan orang-orang yang telah terbiasa hidup di alam kekerasan dan kemunafikan. Maka tak mengherankan kalau mereka selalu merasa takut dan bercuriga terhadap siapa saja. Jangankan terhadap lawan atau orang yang belum mereka kenal, sedang terhadap kawan atau saudara mereka sendiripun mereka selalu waspada dan tidak percaya. Karena dalam kamus mereka, tiada seorang makhlukpun di dunia ini yang dapat menolong atau menjaga kelangsungan hidup mereka selain diri mereka sendiri.

   Kalau toh mereka itu saling berkawan atau hidup bersama dalam satu kelompok, hal itu bukan didasarkan pada azas hidup yang suci bersih berdasarkan cinta kasih antar sesama, tetapi langkah mereka itu lebih dititikberatkan pada pamrih pribadi yang telah mereka hitung segala untung ruginya bagi kepentingan diri mereka masing masing. Memang, betapa menyedihkan sebenarnya hidup dalam dunia seperti itu. Mereka takkan pernah merasakan ketenteraman hidup dan kedamaian hati dalam arti yang sesungguhnya. Hidup mereka hanya dipenuhi oleh perasaan takut, khawatir terhadap keselamatan diri mereka, sehingga mereka selalu curiga dan tidak percaya pada segala hal yang berada di sekeliling mereka. Kalau toh orang seperti mereka kadang kala tampak gembira dan senang,

   Hal itu hanya sebuah kegembiraan palsu belaka, sebab dalam lubuk hati mereka yang paling dalam tentu masih terselip rasa takut atau khawatir, betapa kecil sekalipun. Seperti juga halnya kedua orang yang mencegat Yang Kun di dekat patung perunggu itu. Mereka cepat menjadi curiga dan takut kalau kalau ulah Yang Kun itu hanya sebuah jebakan yang akan membahayakan keselamatan mereka, padahal ulah pemuda yang demikian itu benar benar karena disebabkan oleh rasa sakit yang tiba-tiba mengentak dadanya akibat penyaluran Liong-cui kang itu. Yang Kun bersandar pada dinding taman sambiI mendekap dadanya. Beberapa saat lamanya ia berbuat demikian sehingga kedua orang itu menjadi tidak sabaran lagi. Lelaki kurus itu segera melangkah ke depan, tangannya menuding ke arah muka Yang Kun.

   "Engkau jangan berbuat yang aneh aneh untuk mengelabuhi kami! Lekas kau serahkan benda itu kepada kami!" bentaknya.

   "Benda apa?" Yang Kun berdesah diantara rasa sakit yang masih menyengat-nyengat dadanya. Pemuda itu benar-benar tak mengerti dan menjadi bingung oleh pertanyaan tersebut.

   "Hmm, kurang ajar! Lekas berikan! Jangan paksa aku Tung-hai Nung-jin (Petani dari Lautan Timur) berlaku keras kepadamu!" lelaki kurus itu membentak lagi.

   "Kurang ajar!" Yang Kun mengutuk di dalam hati. Hampir saja pemuda itu tidak bisa mengendalikan diri. Untung ia segera teringat akan lukanya. Meskipun demikian matanya telah berubah menjadi merah dan beringas. Orang yang bergelar Tung-hai Nung-jin agaknya tahu kalau lawannya tersinggung. Tapi ia tidak perduli dari mula ia memang telah menduga kalau pemuda tersebut tentu tidak akan memberikan benda itu.

   "Cepat keluarkan!" serunya keras. Telapak tangannya telah siap di depan dada dengan jari-jari terbuka.

   "Bangsat! Benda apa yang kau maksudkan?" Yang Kun membentak pula saking marahnya.

   "Huh! Masih berpura-pura pula..." gadis cantik itu ikut membentak. Ah! Yang Kun menjadi ingat sekarang. Benda yang dimaksud itu tentu mutiara ya-Bengcu, yang dahulu oleh gadis itu telah diberikan kepadanya. Wah, bila demikian, iapun telah berbuat suatu keteledoran pula. Seharusnya ia menyerahkan benda berharga itu kepada pemiliknya, mumpung tokoh-tokoh tingkat atas Im-yang-kauw seperti Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si berada di tempat ini. Pemuda itu segera merogoh saku bajunya dan mengeluarkan benda bersinar biru cemerlang itu, kemudian mengamat-amatinya di atas telapak tangannya.

   "Hmm, kau ingin mengambil kembali mutiara ini?" tanyanya kepada gadis cantik itu. Sejenak kedua orang lawannya terbelalak, lalu saling memandang satu sama lain. Tampak mata Tung-hai Nung-jin yang sipit itu berkelap-kelip seperti orang yang baru bangun dari tidur.

   "Gila! Bukan benda itu yang kami maksudkan, biarpun mutiara itu juga akan kami minta kembali sekarang! Keluarkan potongan emas itu!" gadis itu menghardik dengan kerasnya. Kelihatannya mereka tidak perduli sama sekali kalau suara mereka akan didengar oleh para penghuni kuil yang lain.

   "Potongan emas...?"

   "Benar! Potongan emas yang kau peroleh di rumah Pendekar Li itu?!"

   "Potongan emas?" Yang Kun mengingat ingat di dalam hati.

   "Ya, potongan emas seperti ini...!" Tung-hai Nung-jin mengeluarkan sebuah potongan emas sebesar jari tangan.

   "Ohh... itu!" pemuda itu teringat kembali. Tapi sesaat kemudian Yang Kun menjadi termangu-mangu. Ternyata ia telah melupakan sama sekali benda tersebut, sehingga iapun telah lupa dimana ia telah menyimpan benda yang ia peroleh secara tak sengaja itu selama ini. Yang Kun menyimpan benda itu asal menaruh saja di dalam buntalannya, karena ia memang tidak mengetahui kegunaannya selain sebagai emas saja. Padahal buntalan itu telah hilang sejak ia tertangkap oleh tabib palsu yang menjebak dia dan Hek-mou sai di kota Tie-kwan setahun yang lalu.

   "Benda itu telah kalian bawa sendiri, mengapa masih menanyakan padaku?" pemuda itu menjadi curiga pula, jangan jangan kedua orang ini termasuk kelompok orang yang telah menahan dia di ruang bawah tanah itu.

   "Anak babi, engkau jangan berputar-putar seperti orang gendeng! Benda ini adalah merupakan potongannya yang lain, jadi bukan benda yang telah berada di tanganmu itu! Nah, cepat...babi kotor!"

   Jilid 12
Yang Kun sudah tak bisa mengekang lagi kemarahannya, orang itu benar benar bermulut kotor, memaki orang seenaknya. Tanpa menghiraukan lagi rasa sakit pada lukanya, Yang Kun meloncat menerjang Tung-hai Nung-jin. Kedua telapak tangannya yang terbuka itu menabas ke arah pundak lawan dalam jurus Menatap Lantai Menyembah Raja, jurus ke sebelas dari Hok te To hoat. Oleh karena tidak membawa golok maka kedua belah sisi telapak tangan itu dia ayun sebagai golok.

   Itulah salah satu keistimewaan Hok te To hoat! Ada beberapa jurus yang dapat dimainkan dengan tangan kosong pula seperti halnya Hok-te Ciang hoat, meskipun perbawanya tentu saja tidak sehebat aslinya. Melihat pemuda itu telah menyerang dirinya, Tung-hai Nung-jin segera mengelak. Tubuhnya yang kurus itu menggeliat ke belakang seakan mau jatuh terlentang! Tapi bersamaan dengan gerakannya itu kaki kanannya tidak tinggal diam begitu saja. Dengan secara mendadak kaki itu diangkatnya ke atas, ke arah perut lawan yang berayun di depannya. Sekejap Yang Kun tergagap oleh serangan lawannya. Ternyata kemarahannya tadi membuat dia kurang berhati-hati, sehingga dia kurang memperhitungkan gerakan lawan.

   Terpaksa dengan mengerahkan sedikit tenaga pemuda itu menjejakkan kakinya ke tanah, hingga tubuhnya melayang ke samping dengan manis. Yang Kun terhindar dari kaki Tung-hai Nung-jin, tapi pengerahan tenaga itu membuat lukanya semakin terasa pedih. Dengan sedikit terbatuk-batuk pemuda itu bersiap kembali menghadapi lawannya. Sementara itu tampaknya Tung-hai Nung-jin juga sudah tidak sabar pula. Meskipun mereka tidak takut kepada para penghuni kuil itu, tapi kalau mereka itu maju beramai ramai, bagaimanapun juga akan mengganggu urusannya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi ujung bajunya yang longgar itu meluncur menghantam ke arah Yang Kun. Terdengar suara angin bersiutan menyertai gerakannya tersebut.

   Terpaksa Yang Kun mengelak pula ke samping, karena untuk mengerahkan tenaganya lagi ia tidak berani. Kemudian dari arah samping ia mencengkeram ujung baju lawan yang berkibaran seperti kupu-kupu, maksudnya kalau dia dapat meraihnya, lengan itu akan segera diputarnya ke belakang, sehingga dengan mudah dia dapat menghantam tengkuk lawan dengan sisi telapak tangannya. Tapi lawannya ternyata juga bukan orang sembarangan. Tung-hai Nung-jin adalah tokoh kedua di antara kawanan bajak laut di Lautan Timur setelah Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur). Enam-tujuh tahun yang lalu, ketika mendiang Bit-bo ong palsu mengajak San hek houw dan Sin go Mo Kui Ci menyerbu kedudukan Tung-hai-tiauw, Tung-hai Nung-jin mampu membuat kedua pembantu Bit-bo ong tersebut merasa kewalahan.

   Seperti sudah dapat membaca apa yang akan dimaksudkan oleh Yang Kun, Tung-hai Nung-jin membiarkan ujung lengan bajunya dicengkeram oleh lawan. Tapi bertepatan dengan terpegangnya lengan baju tersebut, ia menekuk sikunya secepat kilat ke arah dada Yang Kun. Sementara kakinyapun tidak tinggal diam. Dengan gerakan memutar kaki kanannya menyapu kaki lawan. Gerakan ini dilakukan sambil mendesak maju. Tak ada jalan lain bagi Yang Kun selain menangkis siku lawan. Serangan itu cepat sekali datangnya, dan untuk mengelak sapuan kaki dengan meloncat mundur juga percuma, sebab orang itu menyapu sambil mendesak maju. Maka tiada jalan lain terpaksa harus mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan itu.

   "Desssss!"

   "Huaakk...!" Tenaga Yang Kun membalik dihantam oleh arus tenaga sakti Tung-hai Nung-jin! Bagaimanapun juga luka dalam itu sangat mengganggu Yang Kun dalam mengerahkan tenaga dalamnya, hingga tidak saja luka itu menjadi bertambah parah, tetapi tenaga dalam yang hanya setengah setengah itu justru menambah kekuatan lawan yang menghantam tubuhnya. Oleh karena itu bagai layangan putus, Yang Kun terlempar ke belakang dengan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tung-hai Nung-jin mengebutkan lengan bajunya untuk menghalau semburan darah yang memercik ke tubuhnya, meskipun begitu toh masih tetap ada juga setetes darah yang memercik mengenai lengannya.

   "Kurang ajar!" umpatnya sambil mengambil sapu-tangan untuk membersihkan noda darah tersebut. Tapi laki-laki itu menjadi terkejut sekali ketika bekas noda darah itu menjadi hitam dan terasa gatal bukan main. Dan rasa kaget itu semakin menjadi jadi begitu melihat noda hitam tersebut berkembang semakin besar. Tanpa ayal lagi laki-laki itu segera mengambil pisau dan secepat kilat mengorek noda hitam yang mengerikan itu.

   "Bangsat, iblis setan...!" umpatnya lagi tapi dengan nada lega begitu dagingnya yang bernoda hitam itu telah terkorek keluar semua, rasa gatal pun juga hilang seketika. Dengan mata menyala tetapi juga ada sedikit rasa ngeri, Tung-hai Nung-jin menatap korbannya yang terkapar pingsan di atas tanah. Dipandangnya darah yang menetes keluar dari mulut pemuda itu. Darah itu berwarna kehitam-hitaman, sama sekali berbeda dengan warna darah biasa.

   "Gila! Bocah ini benar benar penjelmaan iblis, setan dan demit...!" katanya sambil membungkuk. Kemudian dengan hati-hati agar tidak sampai menyentuh darah maut itu, Tung-hai Nung-jin memeriksa saku Yang Kun. Tapi biarpun telah mencari kesana kemari, ia tetap tidak bisa mendapatkan potongan emas yang dicarinya itu.

   "Hmm, bocah ini berani benar mempermainkan aku..." orang itu mengangkat tangannya ke atas, siap untuk menghabisi nyawa Yang Kun.

   "Tahaaan...!" Tiba-tiba dari arah kuil terdengar suara nyaring menghentikan gerakan itu. Dan sekejap kemudian di depan mereka telah berdiri dua orang laki-laki. Yang seorang sudah tua dengan kumis dan jenggot panjang yang telah memutih, sedangkan yang seorang lagi agak lebih muda dengan perawakan pendek kekar.

   "Hmm, kalian siapa? Mengapa menghentikan gerakanku?" Tung-hai Nung-jin menoleh dengan perasaan tak senang.

   "Hei, lucu benar tuan ini...! Kami adalah penghuni kuil ini, seharusnya kamilah yang bertanya pada tuan..." lelaki pendek yang tidak lain adalah Tong Ciak Cu-si itu mengerutkan dahinya.

   "Benar, siapakah sebenarnya tuan ini...?" orang tua berjenggot putih yang tidak lain adalah Toat-beng-jin itu ikut bertanya. Matanya yang sipit dan hampir tertutup oleh alis mata itu melirik ke arah gadis cantik yang berdiri agak ke belakang.

   "Persetan! Aku tidak perduli kalian siapa, pokoknya cepat sebutkan nama kalian!" Tung-hai Nung-jin membentak lagi. Toat-beng-jin saling pandang dengan Tong Ciak Cu-si, lalu sambil tersenyum Tong Ciak Cu-si menjawab,

   "Lohu adalah Tong Ciak! Lohu menjabat sebagai Kouw Cu-si dalam lm yang kauw. Sedang orang tua yang berada di sebelahku ini adalah Toat-beng-jin, algojo dari aliran kami..."

   "Bohoooong...!" tiba-tiba gadis cantik itu berseru. "Paman, orang ini berbohong. Yang bernama Toat-beng-jin bukan dia, tapi pemuda yang pingsan itulah...!"

   "Biar saja!" Tung-hai Nung-jin mendengus. "Siapapun dia aku tidak peduli! Aku juga belum pernah mendengar nama itu dan aku juga tidak ingin mengenalnya lebih lanjut...!" sambungnya dengan nada angkuh.

   "Yaa, paman memang benar. Tidak ada gunanya paman mengenal nama-nama seperti itu, terlalu merepotkan paman saja..." gadis cantik itu mengangguk-angguk. Toat-beng-jin menatap Tong Ciak Cu-si dengan mulut meringis.

   "Nah, Tong-hiante, tahu rasa kau sekarang..! Apa hiante kira nama kita ini sudah cukup berharga untuk diperkenalkan pada orang lain? Hihi... benar benar celaka!"

   "Wah... ini... ini., ah, sesungguhnya bukan maksudku untuk menyombongkan nama." Tong Ciak Cu-si menjadi tersipu sipu.

   "Yaah, sudahlah..." Toat-beng-jin berdesah.

   "Anggap saja kita ini memang orang yang tak tahu diri... tapi... kini perbolehkan kami bertanya kepada tuan," lanjutnya sambil menghadap ke arah Tung-hai Nung-Jin kembali.

   "'Siapakah nama besar tuan, dan apakah maksud tuan ke tempat kami sehingga tuan melukai tamu kami itu?"

   "Hmm, aku adalah Tung-hai Nung-jin dan gadis ini adalah keponakanku. Kalian tidak perlu tahu maksud kedatanganku kemari, karena aku hanya butuh bertemu dengan bocah ini!" orang itu berkata kaku.

   "Tapi pemuda itu adalah tamu kami, dan karena dia masih berada di lingkungan kami maka kami wajib bertanggung jawab terhadap keselamatannya." Tong Ciak segera menukas dengan keras pula. Tung-hai Nung-jin maju melangkah dengan mata melotot.

   "Telah berkali-kali kukatakan, aku tidak peduli siapapun juga! Nah, pergilah! Jangan membuang nyawa di hadapanku..." Tong Ciak menggeram dengan dahsyat. Kemarahannya sudah tak bisa dibendung lagi.

   "Tong-hiante, kau bersabarlah...!" Toat-beng-jin menarik lengan kawannya. Tapi Tong Ciak sudah tidak bisa ditahan lagi, tangan Toat-beng-jin yang memegangnya segera dilepaskannya.

   "Lojin-ong, sekali ini kuminta jangan halang-halangi aku. Sungguh! Akan kulabrak mulutnya yang tak
sopan itu!" teriaknya keras.

   "Cuhh!" Tung-hai Nung-jin meludah lagi, "Congkaknya...huh, seperti biasa menaklukkan langit saja!"

   "Bangsat! Lihat serangan..." Tong Ciak melangkah dengan cepat ke depan, sehingga saking cepatnya kaki itu seperti mengambang saja di atas permukaan tanah. Sedangkan lengannya yang pendek-pendek itu berputar-putar tidak kalah cepatnya di atas kepala, sehingga sepintas lalu lengan itu seperti berubah menjadi berpuluh-puluh pula jumlahnya. Dan berhareng dengan gerakannya itu tiba-tiba berhembuslah angin dingin yang sangat kuat ke sekitarnya.

   "Membasahi Badan di Antara Ilalang!" Toat-beng-jin bergumam dengan takjub begitu melihat jurus yang dikeluarkan oleh temannya itu.

   "Jurus kedua dari lembar pertama kuIit domba, tapi gerakan kakinya telah diubah...hmm, ini tentulah Soa hu-lian-ciang ciptaan Kim-mou Sai-ong itu!" Jika Toat-beng-jin saja demikian takjubnya, apalagi orang lain seperti Tung-hai Nung-jin! Orang berperawakan kurus itu benar benar terperanjat setengah mati! Dia sungguh tak menyangka sama sekali bila di atas daratan ia akan menjumpai ilmu silat yang demikian hebatnya. Sejak muda ia memang jarang sekali menginjakkan kakinya di daratan Tiongkok. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau dia tidak mengenal Toat-beng-jin maupun Tong Ciak Cu-si. Meskipun, demikian dia juga bukan tokoh sembarangan pula.

   Di antara ribuan bahkan mungkin laksaan anggota bajak laut, yang tersebar di Lautan Timur yang maha luas, antara daratan Tiongkok, pulau pulau es di utara dan Kepulauan Jepang serta pulau-pulau kecil lainnya di daerah selatan, tidak seorangpun yang tidak mengenal nama Tung-hai Nung-jin atau Si Petani Lautan Timur. Sebutan itu saja sudah merupakan papan nama yang menakutkan dan menggiriskan setiap penghuni lautan dan pantai-pantai di sekitarnya. Oleh karena itu keterkejutannya tadi hanya berlangsung sebentar saja, karena di lain saat ia telah melejit dengan tangkasnya ke arah samping, lalu secepat kilat berputar ke belakang lawan malah. Langkah kakinya benar-benar aneh dan cepat bukan main, seperti main petak saja, sehingga seorang tokoh sakti seperti Toat-beng-jin sampai melongo dan menggeleng-gelengkan kepala dibuatnya.

   "Pantas orang ini demikian sombongnya, ilmunya memang sungguh hebat! Hehe..., tapi sekarang dia mendapatkan lawan yang cocok," Tokoh sakti itu berkata di dalam hatinya. Memang benar ucapan yang dikeluarkan oleh Toat-beng-jin itu. Kedua orang yang kini sedang bertempur itu agaknya sama-sama mengandalkan cepatnya gerakan sebagai inti dari ilmu silat mereka. Dan hal itu memang tidak aneh! Mereka berdua sama-sama berasal dari daerah yang sejenis. Tung-hai Nung-jin berasal dari daerah yang setiap harinya selalu bergaul dengan air, sehingga ilmu yang ia pelajari harus pula sesuai dengan tempat di mana ia selalu berada.

   Badan atau tubuhnya haruslah seenteng kapas agar supaya ia tetap bisa bergerak lincah di atas permukaan air. Oleh karena itu tidaklah heran kalau gerakannya cepat bukan main, karena lambat sedikit saja niscaya tubuhnya akan kelelap dan tenggelam ke dalam air. Begitu pula Tong Ciak Cu-si! Meskipun dalam bentuk yang berbeda tetapi sifat dari tempat tinggal mereka adalah sama. Sebelum terjun ke dunia persilatan, Tong Ciak Cu-si bertempat tinggal di sebuah danau atau rawa pasir yang ganas. Dikatakan ganas, karena pasir lembut bercampur air itu sangat panas dan selalu bergerak tak menentu. Benda betapapun kecilnya akan terhisap masuk dan tak mungkin dapat dicari kembali, sebab selain amat luas, danau pasir itupun mempunyai kedalaman yang tak mungkin dijajagi!

   Oleh karena itu, seperti halnya Tung-hai Nung-jin, Tong Ciak Cu-si juga mendapatkan ilmu yang sesuai dengan sifat tempat tinggalnya. Gerak kaki Tong Ciak Cu-si haruslah sigap dan cepat agar supaya kaki itu tidak terlanjur amblas dan terhisap oleh putaran pasir yang ganas. Sebab sekali kaki itu terbenam sampai di lutut jangan harap orang itu bisa mencabutnya dari daya hisap pasir panas tersebut. Maka pertempuran yang terjadi kaIi ini sungguh suatu pertempuran yang amat menarik untuk dilihat. Gerakan gerakan mereka cepat seperti kilat, sehingga sukar sekali diikuti oleh pandang mata biasa. Keduanya berkelebat berputar-putar saling membelit dan berpencar dalam kecepatan tinggi, hingga orang tidak bisa melihat jelas yang mana Tung-hai Nung-jin dan yang mana Tong Ciak Cu-si!

   Keduanya berubah menjadi bayang-bayang hitam yang bergulat dengan seru. Toat-beng-jin dan gadis cantik itu terpaksa mundur beberapa langkah ke belakang. Angin pukulan kedua orang itu begitu dahsyatnya sehingga dalam radius beberapa meter di sekeliling mereka seperti sedang terjadi serangan angin puting-beliung yang bergemuruh mengerikan. Tiga puluh jurus telah berlalu dan belum juga salah seorang di antara mereka kelihatan kalah, sehingga badai angin yang mereka timbulkan juga semakin menjadi-jadi. Keadaan taman bunga itu menjadi rusak dan porak poranda, sementara para penghuni kuil yang sudah berkumpul di tempat itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala saja.

   Tiba-tiba terdengar suara benturan yang amat keras, dan sesosok tubuh terlempar keluar dari arena pertempuran. Otomatis pertempuran itu menjadi berhenti dan badai anginpun segera lenyap pula. Toat-beng-jin melangkah ke depan dengan tergesa gesa, diikuti oleh para penghuni kuil yang lain. Dengan hati tegang mereka bergegas untuk segera ingin tahu siapa yang terlempar dari arena tersebut. Orang yang terlempar itu tampak berjungkir balik di udara sebelum menginjakkan kakinya di tanah. Meskipun begitu ketika kaki itu mendarat di atas tanah, tubuhnya masih tetap terhuyung sedikit, suatu tanda bahwa benturan tadi benar-benar menggoncangkan tubuhnya. Dan begitu muka itu menengadah kembali, semua orang menjadi lega, termasuk pula Si Kakek Tua Pencabut Nyawa Toat-beng-jin! Karena orang tersebut adalah Tung-hai Nung-jin!

   "Penyu kotor bau busuk...!" umpat orang itu tak habis-habisnya. Memang tidaklah mengherankan kalau orang itu mengumpat tak habis-habisnya. la sebagai tokoh sakti yang selama ini hampir tak pernah terkalahkan, selain oleh Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur), benar-benar merasa terpukul oleh kenyataan yang ia hadapi sekarang. Dia sungguh tidak mengira sama sekali bahwa dalam penampilannya yang pertama di atas daratan Tiongkok, ia telah menemukan seorang lawan yang amat tangguh. Lebih tangguh dari yang ia duga sebelumnya sehingga ia harus menelan pil pahit karenanya! Ternyata dalam pertempurannya selama lebih dari tiga puluh jurus tadi, ia sungguh-sungguh dapat diibaratkan sebagai anak burung yang sedang belajar terbang, tapi sudah berani mengarungi samudra bersama kawanan burung yang lain.

   Memang, bagi para penonton yang tidak dapat melihat dengan jelas jalannya pertempuran itu akan menganggap bahwa pertempuran tersebut adalah pertempuran yang seimbang. Tapi bagi dirinya sendiri yang langsung menghadapi tokoh Im-yang-kauw itu benar-benar merasa betapa ilmunya yang dibangga-banggakan itu tak mampu mengimbangi kehebatan ilmu lawan. Dari mula mereka bergerak sudah dapat ia rasakan bahwa gerakan kaki tangannya yang selama ini ia bangga-banggakan sebagai gerak kilat yang tidak mungkin dapat dilampaui kecepatannya oleh siapapun juga, ternyata menemukan lawan yang jauh lebih cepat malah. Tenaga saktinya yang sejak dahulu juga sangat dibangga-banggakan sebagai tenaga sakti yang jarang menemukan lawan seimbang,

   Kini ternyata harus mengakui pula keunggulan tenaga lawannya sehingga dalam benturan yang melibatkan seluruh tenaga sakti mereka, tubuhnya terlempar keluar arena tanpa dapat dicegah Iagi. Oleh karena itu Tung-hai Nung-jin tidak lekas-lekas menerjang lawannya kembali. Lebih dahulu ia membenahi diri serta mempersiapkan segala kemampuannya. Setelah siap barulah ia melangkah maju mendekati Tong Ciak Cu-si kembali. Sementara itu melihat ada kesempatan untuk menolong Yang Kun, Toat-beng-jin segera beranjak mendekati tempat di mana pemuda itu tergeletak lalu menggotongnya ke pinggir. Dengan pertolongan beberapa orang anak buahnya, Toat-beng-jin menotok dan mengurut tubuh Yang Kun di beberapa tempat, sehingga luka tersebut tidak menjadi semakin parah atau membahayakan.

   "Nah, gotonglah pemuda ini ke kamarnya...!" orang tua itu memberi perintah kepada anak buahnya, kemudian ia sendiri kembali menonton ke arah pertempuran yang telah siap meletus lagi.

   "Berhenti! Jangan kalian bawa anak itu ke mana-mana! Dia adalah tawananku! Tak seorang pun boleh membawa pergi dia." Tung-hai Nung-jin berteriak memperingatkan. Orang-orang yang menggotong Yang Kun saling pandang dengan bingung, tak tahu apa yang mesti mereka kerjakan.Mereka memang benar-benar tidak tahu persoalan apa yang sedang mereka hadapi sebenarnya.

   "Jangan hiraukan orang itu! Laksanakan perintah Lojin-ong! Biarkanlah aku yang akan menghadapinya!" tiba-tiba Tong Ciak berteriak pula tak kalah kerasnya. Dengan langkah tegap dan dada membusung tokoh sakti dari Im-yang-kauw itu melangkah di antara anak buahnya dan Tung-hai Nung-jin!

   "Penyu busuk berkaki pendek!" Tung-hai Nung-jin menggeretakkan giginya.

   "Jangan buru buru berbesar hati dan besar kepala karena dapat melemparkan aku keluar arena. Pertempuran yang sesungguhnya baru akan dimulai. Bersiaplah!"

   Dengan muka merah karena menahan berang, tokoh bajak laut berbadan kurus itu melepas jubah dan baju atasnya yang gemerlapan, sehingga dada yang ceking tapi terbalut oleh otot otot kenyal itu menjadi terbuka dan dapat dilihat oleh semua orang. Gulungan bajunya ia lemparkan kepada keponakannya, lalu tangannya mencabut senjata yang tadi tertutup oleh jubahnya yang lebar. Senjata yang menyerupai mata pacul itu besarnya hanya selebar telapak tangan, gagangnyapun tampak pendek sekali. Tapi ketika Tung-hai Nung-jin menarik gagang itu ke atas maka terciptalah sebuah pacul kecil bergagang panjang, karena gagang yang pendek tersebut ternyata dapat diperpanjang dan diperpendek.

   "Nah penyu berkaki pendek... keluarkanlah senjatamu!" tantangnya sambil memasang kuda-kuda.

   Sejak lawannya itu melepas jubah dan baju, Tong Ciak beserta para penganut Im-yang-kauw yang lain telah terbelalak keheranan. Mereka tercengang-cengang memandang ulah Tung-hai Nung-jin yang aneh tersebut, mereka seolah-olah melihat seekor banteng aduan yang sedang bersiap untuk turun ke gelanggang, dimana segala macam hiasan dan penutup badan ditanggalkan dulu sebelum masuk gelanggang aduan. Tapi Tung-hai Nung-jin tampak serius dan tidak terlihat sama sekali kalau ia mau berolok olok. Oleh karena itu Tong Ciak Cu-si juga meningkatkan kewaspadaannya. Tokoh Im-yang-kauw ini tak ingin terjebak karena kelalaiannya sendiri. Maka perlahan-lahan tangannya diangkat dan disilangkan di depan dadanya, sementara kedua kakinya tertekuk ke depan, sehingga tubuhnya yang pendek itu hampir-hampir seperti sedang berjongkok.

   "Hmm! Seranglah aku, jangan sungkan-sungkan, karena selama ini lohu tak pernah memegang senjata! Seperti yang kau katakan, seekor penyu hanya mengandalkan kekerasan tubuhnya, ia tak pernah membawa senjata untuk melawan musuhnya "

   "Penyuuu...," bajak laut itu tidak meneruskan makiannya.

   "Betul! Penyu itu sekarang sedang bersiap-siap untuk menghajar seekor belut kurus yang tidak tahu diri," Tong Ciak melanjutkan. Kini keadaan menjadi berbalik. Kalau tadi adalah si pendek Tong Ciak yang tidak bisa mengekang kemarahannya, kini ganti Tung-hai Nung-jin yang terbakar oleh sikap yang ditunjukkan lawannya. Dengan suara menggeledek pimpinan bajak itu mengayunkan paculnya ke arah kepala Tong Ciak!

   "Lihat serangan!" Pacul kecil itu terayun deras dengan disertai hembusan angin tajam, membuat rambut dan ujung pakaian Tong Ciak berkibar-kibar saking kuatnya. Tapi dengan cepat pula kuda-kuda separuh jongkok itu bergeser ke belakang tanpa menggerakkan atau merubah posisi badan sama sekali. Baru setelah mata pacul yang tajam itu menghantam tanah di depannya, tangan yang semula bersilang itu dengan cepat mematuk ke arah tangan lawan yang memegang tangkai pacul! Gerakan tangan itu bukan main cepatnya sehingga dipandang sepintas lalu justru seperti tidak bergerak malah.

   Cuma anginnya saja yang bersiut keras, menandakan kalau gerakan itu ditopang oleh tenaga dalam yang tinggi. Tentu saja Tung-hai Nung-jin tak ingin lengannya dipatuk oleh jari-jari lawan, tapi untuk menarik tangannya yang memegang pacul itu terang tidak mungkin. Sebab gerakan yang demikian terang akan kalah cepat dengan gerakan lawan, kecuali kalau tangannya melepaskan tangkai pacul itu terlebih dahulu. Tapi jika ia berbuat demikian, berarti ia akan kehilangan senjatanya. Dan hal itu sungguh sangat memalukan, masa dalam satu jurus ia harus melepaskan senjata itu. Maka, jalan satu-satunya hanyalah menangkis jari jari itu dengan tangan kirinya yang bebas. Dan hal itu benar benar dilakukan oleh Tung-hai Nung-jin. Begitulah, dengan suara keras tangan kirinya memotong ke depan, ke arah lengan Tong Ciak yang terjulur ke ujung gagang paculnya.

   "Tasssss!" Dua buah lengan yang sama-sama penuh berisi tenaga sakti berbenturan dengan amat kuatnya dan keduanya sama sama tergetar mundur beberapa tindak. Tapi sekali lagi tampak kalau tenaga Tung-hai Nung-jin masih belum dapat mengimbangi Soa-hu-sinkang Tong Ciak Cu-si.

   "Setan...!" Tung-hai Nung-jin menggeram marah. Kemudian pacul itu ia lintangkan di depan dada dan sambil memasang kuda-kuda yang amat rendah ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

   "Hah!" Dan tiba-tiba" brol! Dari seluruh pori-pori kulitnya menetes air keringat yang amat banyak. Semakin lama semakin banyak sehingga akhirnya air keringat itu mengucur menetes-netes bagai air hujan yang mengalir dari atas genting!

   Dan begitu orang itu bergerak, maka air keringat yang berbau kecut itu berhamburan memercik ke mana-mana. Sungguh menjijikkan! Tapi justru itulah salah satu dari keistimewaan ilmu Silat Ban-seng-kun, andalan Tung-hai Nung-jin! Jangan dikira butiran-butiran air keringat itu tidak ada gunanya. Malah butiran-butiran air keringat itulah yang sering membuat pusing lawan. Selain baunya yang kecut menjijikkan, butiran air keringat itu terlepas dari badan karena terdorong oleh sinkang yang tinggi. Maka tidaklah mengherankan apabila tetesan air keringat itu mampu melobangi baju dan kulit musuh. Tong Ciak Cu-si yang baru sekali ini melihat keanehan seperti itu segera melangkah ke samping untuk mengambil jarak, agar supaya ia punya kesempatan untuk menilai gerakan lawan apabila lawan menyerang dengan mendadak.

   "Hmm, jadi inilah sebabnya, mengapa ia melepas bajunya... Tapi kalau cuma soal keringat itu, aku tak perlu merasa khawatir. Toh aku punya Soa-hu-sinkang yang mempunyai sifat menolak. Asal aku mengerahkan sinkang itu sekuat tenaga niscaya tetesan keringat itu takkan sampai mengenai tubuhku. Yang harus aku perhatikan justru senjatanya yang aneh itu, siapa tahu ada rahasia tersembunyi di dalamnya." Tong Ciak Cu-si berkata di dalam hati.

   Demikianlah, kedua-duanya telah menyadari kehebatan masing-masing. Oleh karena itu masing-masing tidak mau bertindak ceroboh. Masing-masing terlalu hati-hati sekali, sehingga pertempuran mereka kali ini tentulah merupakan sebuah pertempuran yang alot dan lama. Benarlah! Begitu mereka saling gebrak, maka cara mereka menyerang maupun mengelak sedemikian hati-hatinya sehingga meskipun beberapa jurus telah berlalu, mereka tetap belum dapat melepaskan serangan yang berarti. Baru setelah pertempuran mereka menginjak pada jurus ke Sepuluh, masing-masing sudah sedikit mengenal gaya pertempuran lawan, sehingga pada jurus-jurus selanjutnya pertempuran itu menjadi semakin hidup dan berbahaya.

   Luncuran luncuran mata pacul yang berkelebat kesana kemari mengejar nyawa itu tampak semakin cepat dan mengerikan. Dilihat dari luar arena seperti bayangan bianglala yang saling berbelit di atas permukaan air laut. Sementara tetesan air keringat yang berhamburan dari badannya tampak gemerlapan ditimpa sinar mentari pagi. Tapi gerakan Tong Ciak juga tidak kalah hebatnya. Meskipun tidak memakai senjata, tapi kedua pasang lengan dan kakinya yang pendek-pendek itu bergerak seperti baling-baling cepatnya sehingga sambaran pacul Tung-hai Nung-jin yang berkelebatan di kanan kirinya itu tak pernah bisa menyentuh ujung bajunya. Begitu pula dengan percikan air keringat yang mengucur tak henti-hentinya itu, tak tetetespun yang dapat mengenai kulit maupun pakaiannya.

   Semuanya tersapu buyar dihembus Soa-hu-sinkang sebelum butiran butiran air menjijikkan itu mampu mendekati tubuhnya. Dua puluh juruspun telah berlalu lagi dan biarpun sudah memegang senjata ternyata Tung-hai Nung-jin tetap tak bisa merebut kemenangan. Semakin lama justru semakin tampak permainan paculnya banyak mengalami hambatan. Beberapa kali gerakan paculnya terputus dan terhambat oleh cegatan cegatan tangan Tong Ciak yang menerobos cepat bagai kilat. Bagaimanapun juga Soa-hu-sinkang yang diciptakan oleh Kim-mou Sai-ong berdasarkan lembaran kulit domba itu masih jauh lebih tinggi mutunya dari pada Ban-seng-kun (Pukulan Selaksa Bintang) Tung-hai Nung-jin. Toat-beng-jin dan para pengikut Im-yang-kauw yang lain melihat pula keadaan yang menguntungkan bagi Kauwcu-si mereka itu.

   Dengan hati tegang tapi gembira mereka menonton pertempuran tingkat tinggi yang jarang bisa mereka saksikan selama hidup. Diam-diam mereka juga semakin mantap dan bangga terhadap Im-yang-kun yang mereka pelajari, biarpun yang mereka ketahui dan mereka terima sekarang baru bagian kulitnya saja. Sedang Toat-beng-jin yang selama ini juga telah berusaha mendalami ilmu itu menurut keyakinannya sendiri, sesekali tampak mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Orang tua itu mengagumi gerakan-gerakan Tong Ciak dalam memainkan Soa-hu lian ciang. Biarpun belum pernah melihat gerakan gerakan itu tetapi orang tua itu seakan-akan sudah sangat mengenalnya, sebab bagaimana pun juga ilmu itu tercipta dari sumber yang sama dengan ilmunya, yaitu lagu yang tertulis padu gulungan kulit domba itu!

   Begitulah, beberapa saat kemudian pertempuran itu semakin tampak berat sebelah. Meskipun bertangan kosong, ternyata sepasang tangan Tong Ciak yang gesit itu secara pasti dapat mengurung gerak pacul lawan yang ganas. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi gerakan gerakan pacul itu semakin lama semakin ngawur dan tidak terkontrol lagi. Pada suatu saat, ketika Tong Ciak meloncat keatas untuk menghindari serangan pacul yang menghantam ke arah kakinya, Tung-hai Nung-jin memburunya dengan sabetan yang berbahaya ke arah perut. Sementara itu butiran-butiran keringat orang itu juga melesat bagai peluru-peluru kecil yang mengikuti lajunya mata pacul tersebut. Para penonton menahan napas, begitu pula Toat-beng-jin!

   Serangan itu benar-benar sangat berbahaya! Sungguh tak mereka sangka, dalam keadaan terdesak orang bertubuh kurus itu mampu membalas dengan serangan yang begitu bagus. Maka dengan hati berdebar dan mata melotot mereka memandang ke arah Tong Ciak Cu-si, mereka ingin menyaksikan cara bagaimana jago mereka itu menghindarinya. Tapi semuanya menjadi pucat ketika Tong Ciak sama sekali tidak berusaha menghindar dari sambaran pacul yang tinggal sejengkal lagi dari perutnya itu. Seolah-olah tidak sadar akan bahaya yang mengancamnya, Tong Ciak justru mengayunkan sisi telapak tangannya ke arah kepala lawan. Sekejap orang menjadi bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud tokoh bertubuh pendek tersebut. Benarkah dia tidak menyadari bahaya itu? Ataukah dia memang ingin mengadu jiwa? Atau ada maksud lain yang tersembunyi?

   Tapi sungguh janggal rasanya kalau tokoh sakti seperti dia sampai tidak tahu kalau ada bahaya yang mengancamnya. Dan semakin janggal lagi rasanya kalau tokoh itu mempunyai kehendak untuk mengadu jiwa, toh dia sudah berada di atas angin saat itu. Oleh karena itu satu satunya kemungkinan terakhir, yaitu memang ada sesuatu maksud tersembunyi di balik segala keanehan yang dia lakukan itu. Agaknya Tung-hai Nung-jin juga berpikir demikian. Nalurinya yang telah ditempa oleh berbagai macam pengalaman merasakan pula adanya keanehan itu, sehingga mata pacul yang telah menembus pakaian lawan itu cepat cepat ia lepaskan begitu saja. Lalu dengan tergesa ia membuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari pukulan yang tertuju ke arah kepalanya. Kemudian dengan gerak tipu Trenggiling Turun Gunung ia menjauhi lawannya.

   "Brett..." Mata pacul yang tajam itu benar-benar membabat perut Tong Ciak dengan dahsyatnya. Apalagi ketika tangan Tung-hai Nung-jin telah melepaskan pegangannya, daya luncur dari senjata itu semakin tampak menggiriskan. Dengan disertai suara kain robek senjata itu melayang jauh keluar halaman kuil, meninggalkan serpihan-serpihan kain yang berhamburan di udara. Sementara itu, Tong Ciak Cu-si yang ternyata tidak mengalami luka sedikitpun tampak menggeliat di udara, kemudian tubuhnya meluncur turun mengejar ke arah larinya Tung-hai Nung-jin. Semua gerakan yang ia perlihatkan itu ia lakukan selama berada di udara, sedikitpun tak menyentuh tanah, sehingga Toat-beng-jin yang sedari tadi selalu mengikuti semua gerakannya menjadi melongo.

   "Ohh... sungguh-sungguh hebat! Ini...ini tentulah jurus yang tertera pada lembar kedua belas atau ketiga belas! Aku... aku sama sekali tak mengenalnya!" kakek itu bergumam dengan terbata bata.

   Sesungguhnyalah, karena ingin lekas-lekas mengakhiri pertempuran itu, Tong Ciak telah mengeluarkan jurus Berasa Mabuk di Atas Awan yaitu jurus yang dipetik dari syair lagu pada lembar yang kedua belas. Itulah sebabnya Toatbeng jin yang baru sampai pada lembar kesebelas sama sekali tidak mengenalnya. Tung-hai Nung-jin yang berguling-guling menjauh untuk menghindari serangan lawan tampaknya semakin terpojok. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperbaiki kedudukannya. Kedua tangan Tong Ciak seperti berubah menjadi ribuan banyaknya dan semuanya tampak mengurung dan memburu dia. Sehingga sekejap kemudian salah satu dari bayangan tangan itu dapat memasuki pertahanannya dan menghajar dadanya.

   "Dukkkk!"

   "Huaaaak!" Tung-hai Nung-jin terpental dan roboh di samping keponakannya. Dari mulutnya mengalir darah segar.

   "Pamannn..." gadis cantik itu lekas-lekas berjongkok di sampingnya dengan wajah pucat.

   "Jangan khawatir, lukaku tidak parah! Berdirilah!" Tung-hai Nung-jin membesarkan hati keponakannya, lalu dengan tertatih tatih ia juga bangkit sambil menyeka darah yang menempel di sudul bibirnya. Kemudian dengan berpegangan pada lengan gadis itu, Tung-hai Nung-jin menghadapi Tong Ciak.

   "Baiklah, kali ini aku mengaku kalah. Biarlah, pada lain kesempatan aku akan menemui tuan kembali..." katanya dengan meringis karena menahan sakit.

   "Nona Li Ing, marilah kita pergi...!"

   "Bagaimana dengan potongan emas itu, paman? Nanti ayah marah..."

   "Biarlah! Lain kali saja kita kembali..." Tung-hai Nung-jin membalikkan tubuhnya, lalu dengan diikuti oleh keponakannya ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Toat-beng-jin segera meloncat menghampiri Tong Ciak Cusi.

   "Hebat! Tong-hiante, kau benar-benar hebat! Eh, apakah jurusmu yang terakhir tadi adalah jurus yang kau ambil dari kulit domba itu juga?" Tong Ciak tersenyum kemalu-maluan.

   "Ah, Lojin-ong terlalu memuji. Jurus tadi memang berasal dari lembar yang ke dua belas, yaitu dari syair lagu bait pertama baris kedua yang berbunyi Berasa mabuk di atas awan...Tapi aku sebenarnya belum merasa puas pada gerakanku tadi. Seharusnya aku benar benar mematikan perasaan tatkala menggeliat di udara, sehingga bagaikan orang yang sedang mabuk aku benar-benar tidak mengacuhkan segala sesuatu yang berada di sekitarku. Tapi saat itu ternyata aku masih merasa takut pada ayunan cangkul Tung-hai Nung-jin, menyebabkan gerakan selanjutnya menjadi tersendat. Akibatnya, hampir saja orang itu lolos dari tanganku...,"

   Demikianlah, kedua tokoh Im-yang-kauw itu segera memerintahkan anak buahnya untuk membenahi tempat yang rusak akibat pertempuran tadi. Kemudian sementara Toat-beng-jin ikut bekerja, Tong Ciak menaiki tangga yang menuju ke tempat patung perunggu. Dengan hormat sekali tokoh bertubuh pendek itu berlutut di depan patung.

   "Kim mou Sai-ong Sucouw, terimalah hormat dari cucu muridmu...Moga moga semua jurus Soa-hu lian-ciang yang kubawakan tadi tidak mengecewakan Sucouw...," katanya menunduk.

   "Tong-hiante, marilah kita masuk kembali kedalam kuil!" terdengar suara Toat-beng-jin dari bawah. Matahari merangkak semakin tinggi, sehingga panas yang dimuntahkan juga terasa semakin menyengat. Toat-beng-jin bersama-sama Tong Ciak Cu-si memasuki kamar yang dipergunakan untuk merawat Yang Kun.

   "Lojin-ong, luka dalam pemuda ini benar benar parah sekarang... Eh, kenapa dia tadi sampai berada di halaman samping itu? Apakah ia bermaksud melarikan diri dari kuil ini?" Tong Ciak berbisik ketika telah berada di depan pembaringan Yang Kun. Toat-beng-jin menghela napas dan mengangguk.

   "Ya... dia merasa tersinggung oleh perbuatan aku, sehingga dia bermaksud meninggalkan kuil kita. Sebenarnya aku telah meminta maaf padanya, tapi ia telah berketetapan hati untuk pergi dari sini. Dan... aku tak bisa lagi menahannya! Akhirnya terjadilah peristiwa itu..." Kedua orang tokoh Im-yang-kauw itu mengawasi Yang Kun yang masih belum siuman dari pingsannya. Tampak oleh mereka wajah pemuda itu amat pucat, pernapasannyapun tidak teratur, malah terkadang kelihatan tersengal-sengal.

   "Tong-hiante, pemuda ini mempunyai watak yang keras hati. Jika kita menunggu dia siuman, kemungkinan besar kita justru tidak akan dapat mengobatinya. Dia tentu akan menolak maksud kita untuk mengobatinya. Oleh karena itu lebih baik kita berusaha mengobatinya sekarang juga. Dengan tenaga kita berdua kukira hasilnya akan lebih baik, tapi..." Toat-beng-jin menghentikan perkataannya sebentar, lalu,

   "...Tapi kita harus berhati-hati terhadap darahnya yang mengandung racun mematikan!"

   "Hah...!" Tong Ciak Cu-si terlonjak. Toat-beng-jin tersenyum.

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tong-hiante... ketahuilah...! Pemuda yang kita cari ini mempunyai banyak keanehan pada tubuhnya. Pertama, pemuda ini mempunyai lweekang yang sangat tinggi, melebihi Iweekang seorang ahli silat yang telah belajar selama seratus tahun. Kedua, tanpa ia sadari ia hapal akan isi gulungan kulit domba kita di luar kepala. Ketiga, darah yang mengalir dalam tubuhnya ternyata mengandung racun ganas. Tapi anehnya, sedikitpun ia tak terpengaruh oleh keadaan itu. Seakan-akan ia telah kebal terhadap racun, atau... agaknya ia memang beracun sejak lahir seperti halnya binatang ular dan kelabang!"

   "Bagaimana Lojin-ong mengetahui semua itu...? Oh, maaf! Pikun benar aku ini...! Tentu saja dengan Lin cui Sui hoat (ilmu Tidur di Atas Permukaan Air), Lojin-ong akan mengetahui segalanya..."

   "Tong-hiante, engkau jangan beranggapan seperti itu, karena anggapan seperti itu benar benar salah sama sekali! Mahir Lin cui Sui-hoat itu bukan berarti mengetahui segalanya. Di kemudian hari Tong-hiante akan kecewa apabila masih mempunyai anggapan demikian, apalagi jika Tong-hiante juga berniat mempelajarinya." Tong Ciak berdiri diam tak bersuara, hanya kepalanya saja yang mengangguk-angguk mendengar keterangan Toat-beng-jin itu.

   "Sudahlah, Tong-hiante... lohu mengetahui semuanya tentang pemuda ini bukan karena lohu mahir Lin-cui Sui hoat, tapi karena lohu sudah mengikutinya sejak tiga hari yang lalu, yakni dari tempat pengungsian orang-orang Hisan-cung. Di dusun itu pemuda ini telah membunuh tiga orang pengikut Tiat-tung Kai-pang dan melukai dua orang gadis pembantu Keh sim Siauwhiap dari Pulau Meng-to. Kemudian di dekat mata air baru yang muncul di seberang dusun Hok-cung ia melukai Hek-eng-cu pula. Sehingga ketika pemuda ini menyelinap ke tengah-tengah para perampok yang menduduki dusun Hok-cung, Iohu mendahului langkahnya, menotok pingsan para penjaga yang akan dilaluinya, agar supaya tidak banyak kurban yang jatuh akibat pukulan beracunnya. Tapi tak kusangka ketika berhadapan dengan pemimpin perampok, pemuda ini justru mendapat luka yang parah malah!"

   "Ohh.!" Tong Ciak terlongong-longong. Tokoh Im-yang-kauw bertubuh pendek ini memang tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu sedemikian hebatnya. Membunuh pengikut Tiat-tung Kai-pang, lalu melukai pembantu Keh-sim Siauwhiap terus melukai lagi Hek-eng-cu! Sungguh menakjubkan, padahal semuanya adalah orang-orang kuat dan telah punya nama di dunia persilatan. Terutama Keh-sim Siauwhiap dan Hek-eng-cu! Kedua buah nama yang terakhir itu adalah dua di antara tiga nama yang sangat populer dan menjadi buah bibir kaum persilatan selama lima tahun terakhir ini. Seperti telah diketahui, sejak selesainya perang besar yang menumbangkan kekuasaan Kaisar Chin lima tahun yang lalu, di dunia persilatan muncul tiga orang jago muda yang kepandaiannya benar benar amat menakjubkan.

   Ketiganya malang melintang di dunia kang-ouw seperti malaikat saja karena kesaktiannya yang hebat seperti dewa, sehingga selama ini belum pernah terdengar mereka menemukan tanding. Mereka itu adalah Hong gi hiap Souw Thian Hai, Keh-sim Siauwhiap dan Hekeng cu. Ketiga buah nama ini selalu menjadi pembicaraan orang dan sangat ditakuti dimanapun mereka. Ketenaran nama mereka benar benar menghapus dan mengungguli ketenaran jago-jago tua yang selama ini hanya terdengar namanya saja, karena jago-jago tua itu tak pernah menampakkan diri mereka di dunia kang-ouw. Mereka Iebih suka menyepi di tempat pertapaannya atau mengurung diri di tempat tinggaInya yang terpencil.

   "Pemuda ini telah melabrak para pembantu Keh-sim Siauwhiap dan melukai Hek-eng-cu, tapi kenapa pemimpin perampok yang menduduki desa Hok cung bisa melukainya? Apakah pemimpin perampok itu lebih lihai dari pada Hek-eng-cu?" Tong Ciak akhirnya bertanya kepada Toat-beng-jin.

   "Sebab pemimpin perampok itu mempunyai seorang pengawal yang hebat!"

   "Heh? Siapakah dia...?"

   "Hong-gi-hiap Souw Thian Hai!"

   "Hah...?!?" Tong Ciak terperanjat.

   "Entahlah, aku pun tak tahu, apakah sebabnya pendekar muda itu sampai menjadi anggota perampok." Toat-beng-jin menerangkan.

   "Apakah mungkin ingatannya terganggu kembali?"

   "Terganggu? Eh, Tong-hiante... apakah Tong-hiante pernah bertemu atau mengenal dia sebelumnya?" Tong Ciak bangkit dari kursinya. Sambil memeluk dada ia melangkah berputar putar di dalam kamar. Matanya menatap langit-langit sementara ingatannya tampak melayang layang ke masa lalu.

   "Lojin-ong... Lojin-ong tentu belum lupa akan cerita masa laluku sebelum aku kembali diterima sebagai warga Im-yang-kauw," katanya dengan menghela napas panjang sekali. "Dahulu aku adalah seorang Kepala Pengawal Istana yang mendapat kepercayaan penuh dari Kaisar Chin Si Hong-te untuk menjaga keamanan seluruh kompleks istana beserta semua isi dan keluarga kerajaan yang berada di dalamnya. Bersama Beng Tian Goanswe (Jendral Beng Tian) sebagai panglima bala tentara kerajaan, aku dikenal sebagai Sepasang Singa dan Harimau Kerajaan," tokoh bertubuh pendek itu menghentikan lagi ceritanya, seakan-akan ingin mengenang kembali masa kejayaannya dahulu.

   "Suatu saat aku mendapat perintah yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, yaitu perintah untuk mengawal seorang tawanan penting keluar Kotaraja. Sebelum berangkat Baginda Kaisar memesan dengan sangat agar aku melindungi tawanan itu baik-baik, karena Baginda telah memperoleh khabar bahwa Barisan Para Pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang (Kaisar Han sekarang) akan berusaha membebaskan tawanan itu..."

   "Bukankah tawanan itu adalah Menteri Ho Ki Liong?" Toat-beng-jin menyela. Tong Ciak terbelalak sebentar lalu mengangguk.

   "Benar!... Nah, ternyata peringatan yang diberikan oleh Baginda itu benar benar terjadi di tengah perjalanan. Barisan kami dicegat oleh sekawanan pendekar yang dipimpin oleh murid wanita Liu Pang yang bernama Ho Pek Lian. Tapi dengan mudah para perajuritku mengalahkan mereka. Hampir saja kawanan pencegat itu tertangkap semua ketika secara tak terduga kusir kereta yang membawa tawanan kami itu memberontak dan mengamuk. Bagai orang gila kusir itu menghajar siapa saja yang berada di depannya, termasuk aku sendiri..." Tong Ciak tidak meneruskan ceritanya, lalu matanya yang lebar itu memandang ke arah Toat-beng-jin.

   

Darah Pendekar Eps 28 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 13 Darah Pendekar Eps 3

Cari Blog Ini