Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 27


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 27




   Tapi semakin panjang cerita itu semakin banyak pula kerut-merut di dahi Keh-sim Siauwhiap! Dan akhirnya ketika ceritera itu selesai, pendekar yang amat disegani dan dihormati orang itu justru terlongong-longong mengawasi Chin Yang Kun, seperti seorang murid bodoh yang kebingungan karena belum bisa menangkap keterangan atau mata pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Sebaliknya pemuda yang baru saja selesai menceritakan riwayat kematian ayah dan pamannya itu kelihatan sulit mengendalikan emosinya. Dengan mata merah dan jari-jari tangan terkepal pemuda itu membalas tatapan mata Keh-sim Siauwhiap. Suaranya terdengar gemetar ketika mulutnya berbicara."Nah, Keh-sim Siauwhiap...bagaimana dengan ceritera itu? kau tentu sudah menangkap apa yang kumaksudkan, bukan?"

   "Menangkap? Menangkap yang mana yang kau maksudkan? Eh, maaf...aku benar benar belum tahu apa yang kau maksudkan dalam cerita itu. Sebenarnya...sebenarnya aku juga sudah dapat menebak arah dan tujuan dari ceritamu itu, tapi karena ada sebagian yang tak kumengerti, maka aku jadi bingung menangkap maksud dari ceritamu itu."

   "Jangan berbelit-belit! Lekas katakan pendapatmu!" Chin Yang Kun menggeram.

   "Baiklah...!" pendekar yang bernama besar itu menghela napas panjang. Lalu sambil melipat tangannya di depan dada pendekar itu memutar tubuhnya membelakangi Chin Yang Kun, agaknya hatinya mulai tersentuh dan tidak tega melihat ketegangan dan kesedihan yang terpancar dalam sinar mata pemuda itu. Seraya melihat anak buahnya yang sedang bertempur dengan Pendekar Li, Keh-sim Siauwhiap berkata,

   "Aku dapat menduga siapa yang kau maksudkan dengan"orang tak dikenal, yang datang pada waktu lewat tengah malam di rumah Pendekar Li, untuk meminta benda pusaka yang berwujud sebuah potongan emas itu...! Hmm...orang itu...aku, bukan? Benar! Orang itu memang aku, aku masih ingat itu! Dan aku tidak akan ingkar! Tapi kalau dikatakan bahwa saat kedatanganku itu bertepatan dengan sedang berlangsungnya pertempuran antara lima orang bersenjata golok melawan Pendekar Li...itu tidak benar! Aku yakin betul hal itu. Ketika aku datang ke rumah itu, yang kutemukan hanyalah mayat-mayat yang bergelimpangan dimana-mana. Aku tak melihat siapapun disana selain mayat-mayat itu. Jangankan melihat lima orang bersenjata golok, sedangkan Pendekar Li dan kawan-kawannya pun tak kutemui dalam rumah tersebut."

   "Bohong!" tiba-tiba Chin Yang Kun berteriak tinggi, memotong ucapan Keh-sim Siauwhiap. "Kau sengaja berbohong! kau tidak berani mengakui perbuatanmu! kau takut menerima pembalasan dari orang-orang yang telah kau bunuh! Pengecut...!" Tiba-tiba Keh-sim Siauwhiap berputar dengan cepat. Cepat sekali malah! Sehingga Chin Yang Kun menjadi terkejut sekali dan segera bersiap-siap penuh. Apalagi ketika pemuda itu melihat mata lawannya telah berkilat-kilat menunjukkan kemarahannya.

   "Anak muda! kau benar-benar anak kurang ajar dan tak tahu diuntung! Coba, lihat...siapakah aku ini? kau sudah mengenalnya, bukan? Kalau kau belum pernah melihatku, setidak-tidaknya telingamu tentu sudah pernah mendengar nama dan sepak terjangku, bukan? Nah, kini perbandingkanlah sendiri dengan dirimu! Siapakah engkau dan siapakah Keh-sim Siauwhiap itu? Apakah yang pernah kau perbuat di dunia persilatan dan...apakah yang sudah kau sumbangkan pada dunia ini? Lalu kau cobalah memperbandingkan dengan apa yang pernah diperbuat dan disumbangkan oleh Keh-sim Siauwhiap itu? Maaf...jauh sekali, bukan? Nah, sekarang cobalah pergunakan otakmu, mengapa orang seperti Keh-sim Siauwhiap itu mau melayani engkau seperti sekarang ini? Menuruti segala kemauanmu, kau bentak-bentak seenakmu sendiri, padahal dimana-mana setiap orang sangat menghargai dan menghormati Keh-sim Siauwhiap?"

   Keh-sim Siauwhiap yang sedang marah itu menghentikan kata-katanya sebentar. Melihat lawannya yang masih muda itu tertegun dan berdiam diri saja di tempatnya, Keh-sim Siauwhiap menghela napas berulang-ulang. Tapi apabila teringat kembali, betapa anak muda itu memaki-maki dan mengumpat dia, hatinya menjadi panas lagi.

   "Apakah kau menganggap Keh-sim Siauwhiap takut kepadamu? Takut pada kehebatan lweekangmu yang dahsyat itu? Hmmm...kau benar-benar sangat keliru kalau mempunyai anggapan demikian." Pendekar itu menghentikan lagi kata katanya.

   "Mungkin lweekangmu memang lebih tinggi dari pada lweekangku! Meskipun aku percaya bahwa selisihnya juga tidak banyak...dan itu satu-satunya kelebihanmu dari pada saya. Tapi, apakah kemenangan dalam pertarungan itu Cuma ditentukan oleh lweekang saja? Itu hanya bisa terjadi pada zaman purbakala dahulu, dimana dalam setiap pertandingan orang-orang yang sedang bertarung bergantian memukul lawannya untuk menunjukkan kekuatan tubuhnya. Sekarang zamannya sudah berbeda. Apa gunanya kekuatan lweekangmu itu kalau aku bisa mengelakkannya? Paling paling kau hanya bisa menghancurkan benda-benda yang berada disekitarku saja seperti tadi...dan sementara itu dengan ginkangku aku bisa leluasa menyerangmu dengan pedangku. Mau kutusukkan matamu atau kuhunjamkan pada ubun-ubun kepalamu atau...dimana saja yang tak bisa kau lindungi dengan kekuatan lweekangmu."

   "Yang Siauwhiap...! Mengapa kau diam saja? Ayolah...!" dari jauh Pendekar Li berteriak-teriak kembali.

   "Jangan hiraukan orang itu! Pikirkan saja perkataanku tadi!" Keh-sim Siauwhiap menggeram.

   "Nah, coba sekarang kau pikirkan...apa sebabnya Keh-sim Siauwhiap sampai mau melayani engkau, menuruti kemauanmu di tempat ini?"

   "Kau ingin mengetahui tempat dimana harta karun itu disimpan!" Chin Yang Kun menjawab kaku.

   "Benar. Itulah alasannya. Jadi bukan karena takut seperti dugaanmu tadi. Aku justru berjudi dengan maut serta menyabung nyawa untuk mendapatkan harta karun itu. Padahal seperti yang selalu kulakukan selama ini, harta itu hendak kubagi-bagikan kepada rakyat miskin. Belum pernah selama ini aku mengambil barang sedikitpun dari harta yang kubagikan kepada orang-orang miskin itu."

   Bagaikan terbuka hati Chin Yang Kun sekarang setelah mendengar uraian yang panjang lebar dari Keh-sim Siauwhiap. Pemuda itu dapat merasakan kebenaran kata-kata yang diucapkan oleh pendekar itu kepadanya. Dan kini Chin Yang Kun percaya bahwa apa yang diceritakan oleh Keh-sim Siauwhiap di rumah Pendekar Li itu tentu benar. Cerita dari Pendekar Li itulah yang kini harus diusutnya. Jangan-jangan orang yang telah mengganti namanya menjadi Tan Hok itulah yang membohongi dia.

   "Jadi...tuan tidak membunuh mereka?" akhirnya Chin Yang Kun bertanya, sekedar untuk mengusir kecanggungan yang terjadi diantara mereka.

   "Tidak!"

   "Lalu siapa yang membunuh mereka itu?" kali lagi Chin Yang Kun bertanya seolah-olah pada dirinya sendiri. Suaranya terdengar sedih juga sangat penasaran. Sambil menengadahkan kepalanya ke langit Keh sim Siauwhiap menyilangkan kembali kedua belah tangannya di atas dada. Beberapa kali terdengar suara elahan napasnya, seakan-akan ikut memikirkan dan merasakan apa yang berkecamuk di dalam dada Chin Yang Kun.

   "Maaf, anak muda. Sudah sekian lamanya kita berbicara, tapi aku belum sempat menanyakan namamu. Eh, bolehkah aku mengetahui namamu? Apakah kau salah seorang keluarga dari Pendekar Li itu? Atau kau...ah, benar...apakah kau salah seorang keluarga dari...dari lima orang bersenjata golok yang kesasar ke rumah Pendekar Li itu?" Tanpa terasa Chin Yang Kun mengangguk.

   "Aku...aku memang putera dari salah seorang yang bersenjatakan golok itu. Namaku adalah Yang Kun...Chin Yang Kun!"

   "Chin Yang Kun...! Lalu mengapa engkau tadi menuduh aku yang membunuh ayahmu? Apakah kau juga berada di tempat itu ketika peristiwa tersebut terjadi?"

   "Tidak!"

   "Ehmm...lalu siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?"

   "Tan Hok..., eh. Pendekar Li."

   "Ohh...dia rupanya. Kalau begitu tanyakan kepadanya, mengapa dia membohongimu? Aku yakin dia mengetahui peristiwa yang sesungguhnya, karena dialah pemilih rumah itu."

   "Tapi mengapa dia menyatakan bahwa tuanlah pembunuh ayahku?"

   "Orang itu sangat takut kepadaku. Berbulan-bulan dia bersembunyi di dusun ini untuk menghindari aku dan para pembantuku. Kukira engkau hanya diperalat oleh mereka untuk menghadapi aku, sebab mereka melihat kepandaianmu sangat tinggi."

   "Kalau begitu aku akan meminta pertanggungan jawab Pendekar Li..." Chin Yang Kun segera beranjak dari tempatnya. Tapi Keh-sim Siauwhiap segera menahannya.

   "Eit, nanti dulu! kau belum mengatakan tempat di mana harta karun itu berada."

   "Ah, benar...kau pergilah ke Pantai Karang di dekat Teluk Po hai! Tepat di waktu tengah malam besok akan ada suatu pertemuan di sana."

   "Hei, tempat itu adalah tempat penyeberangan menuju ke pulau tempat tinggalku. Tapi mana mungkin besok? Tempat itu sangat berbahaya dalam enam tujuh hari ini, karena saat ini adalah musim pasang besar dan badai laut. Tiap nelayan tahu hal itu. Akupun tak bisa pulang dalam saat saat begini..."

   "Tapi menurut penuturan Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee, Hek-eng-cu dan anak buahnya akan datang ke sana besok malam,"

   "Ohh...kau memperoleh berita ini dari Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee rupanya. Tapi percayalah kepadaku. Pantai itu sangat berbahaya dalam beberapa hari ini. Mungkin Hek-eng-cu tidak tahu tentang hal itu."

   "Lalu?" Chin Yang Kun menatap Keh-sim Siauwhiap dengan tajam.

   "Biarlah! Aku tidak perlu tergesa-gesa ke sana. Semuanya tentu akan menanti sampai badai itu berhenti dan laut menjadi surut kembali. Dan menurut pengalaman hal itu baru akan terjadi enam atau tujuh hari lagi. Sekarang aku akan melihat dulu caramu mengadili Pendekar Li. Siapa tahu aku dan para pembantuku masih diperlukan sebagai saksi? Kalau aku pergi, orang itu mungkin masih akan bisa mengarang cerita yang bukan-bukan untuk mengadu domba kita lagi. Biarlah aku berada disini dahulu. Siapa tahu aku diperlukan pula nanti?"

   "Terima kasih! Tapi kumohon kau jangan ikut campur apabila terjadi apa-apa nanti." Pemuda itu semakin yakin ketulusan hati Keh-sim Siauwhiap.

   "Baik!" Keh-sim Siauwhiap menyetujui. Kemudian teriaknya," Hong-kai! Lokai! Siang In! Siang Yen...! Kalian harap mundur semua...!" Dengan patuh Tiat-tung Hong kai, Tiat-tung Lokai, dua orang gadis berbaju putih-putih yang dipanggil dengan sebutan Siang In (Sepasang Awan) dan dua orang gadis berpakaian serba hitam yang disebut Siang Yen (Sepasang Asap), menghentikan serangan mereka.

   Berturut-turut mereka melompat mundur menjauhi lawan-lawannya. Pertempuran berhenti. Pendekar Li dan dua orang pembantunya saling memandang dan mengawasi lawan-lawan mereka yang mundur meninggalkan pertempuran dengan perasaan tak mengerti. Dengan perasaan curiga mereka menoleh ke tempat Keh-sim Siauwhiap, tapi betapa terkejutnya mereka serentak melihat Chin Yang Kun sedang melangkahkan kakinya ke tempat mereka bersama-sama dengan Keh-sim Siauwhiap! Mereka segera mengenal bahaya, tapi untuk lari terang tidak mungkin lagi. Mereka Cuma bertiga dan berada di tempat yang lapang pula. Dan disana ada Keh-sim Siauwhiap yang dapat bergerak seperti siluman.

   "Bagaimana, Li-Taihiap?" hampir berbareng Jai hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi bertanya, suaranya bergetar tanda hati mereka benar-benar merasa khawatir sekali. Sebenarnya hati Pendekar Li pada saat itu juga tidak kalah khawatirnya dengan mereka. Tapi orang tua itu masih dapat menyembunyikan perasaannya. Malah dengan tenang ia masih bisa tersenyum dan membesarkan hati para pembantunya.

   "Tenanglah...! Biarlah aku yang menyelesaikannya." Mereka berdiri berhadap-hadapan. Chin Yang Kun dan Pendekar Li! Jai hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi tampak dengan tegang berdiri di belakang Pendekar Li.Sedangkan Keh-sim Siauwhiap dan para pembantunya yang lain lain berada agak jauh dari mereka.

   "Siauwhiap, apa yang telah terjadi sebenarnya? Mengapa Siauwhiap urung bertanding dengan anak muda itu? Mengapa sekarang mereka malah mau saling cakar-cakaran sendiri?" Tiat-tung Lokai yang berada di sisi Keh-sim Siauwhiap itu berbisik keheranan.

   "Heheh...benar! ada apa sih sebenarnya?" Tiat-tung Hongkai menyambung pula. Keh-sim Siauwhiap memandang kedua orang tua itu dengan wajah murung. Ciri khas dari pendekar muda yang bertempat tinggal di Pulau Meng-to itu.

   "Pemuda itu telah diperalat oleh Pendekar Li untuk menghadapi aku. Sekarang pemuda itu hendak meminta pertanggungan jawab Pendekar Li karena telah berani memperalatnya..."

   "Lalu bagaimana urusan pemuda itu dengan kita?" Tiat tung Lokai mengerutkan keningnya.

   "Urusan...? Urusan apakah itu?" Keh-sim Siauwhiap menatap bingung.

   
"Siauwhiap, pemuda itu telah membunuh tiga orang anggota Tiat-tung Kai pang beberapa hari yang lalu." salah seorang gadis berbaju hitam memberi keterangan.

   "Hahh?" sekarang ganti Keh-sim Siauwhiap yang kaget.

   "Benarkah?"

   "Benar, Siauwhiap. Kebetulan aku berada di tempat itu pula saat itu. Mereka berkelahi di tempat penampungan para pengungsi. Mula-mula tiga orang anak buah Tiat tung Lokai berselisih dengan rombongan Kim-liong Piauwkiok. Lalu pemuda itu membantu anggota Kim-liong Piauw-kiok tersebut." Gadis itu menerangkan terlebih jelas lagi. Pendekar itu terdiam sesaat, lalu sambil menghela napas panjang ia berkata kepada Tiat-tung Lokai.

   "Lokai...! Biarlah urusan itu kita tunda dahulu untuk sementara. Sekarang biarlah pemuda itu menyelesaikan urusannya dengan Pendekar Li."

   "Baik!" Tiat-tung Lokai mengiyakan. Sementara itu pembicaraan antara Chin Yang Kun dan Pendekar Li kelihatan semakin bertambah panas. Berulang kali Chin Yang Kun mendesak lawannya agar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah bergenting merah malam itu. Tapi Pendekar Li selalu mengatakan seperti apa yang telah dia ceriterakan kepada Chin Yang Kun di dalam kamar sore tadi, sehingga akhirnya justru Chin Yang Kun sendirilah yang menjadi bingung dan tak bisa memutuskan siapa sebenarnya yang telah berbohong kepadanya. Selain menjadi bingung, pemuda itu juga menjadi mendongkol dan penasaran bukan main! Tapi kepada siapa dia harus menumpahkan rasa kemendongkolannya itu ia tidak tahu.

   "Kau berani bersumpah bahwa yang datang pada malam itu dan membunuh semua orang yang ada disana adalah benar-benar Keh-sim Siauwhiap? kau yakin benar akan hal itu?" akhirnya pemuda itu menjerit jengkel.

   "Siapa lagi selain dia? Hanya Keh-sim Siauwhiap yang selalu mencari aku! Memburu aku! Dan hanya dialah satu-satunya jago silat di dunia yang mampu membunuh sekian banyak tokoh-tokoh dunia persilatan tanpa mengalami kesukaran. Kawan-kawanku adalah jago-jago silat kelas satu dan lima orang pendatang yang bersenjatakan golok itu juga bukan tokoh-tokoh sembarangan pula. Tapi dalam jangka waktu pendek, mereka telah dibunuh semua tanpa mereka sempat menyaksikan siapa yang telah membunuhnya. Nah, siapakah di dunia ini yang mampu bergerak seperti siluman selain Keh-sim Siauwhiap?" pendekar Li menjawab dengan tidak kalah kerasnya.

   "Jangan banyak omong! Yang kumaksudkan dan kutanyakan adalah keyakinanmu! Apakah kau melihat dengan jelas wajah atau rupa Keh-sim Siauwhiap saat itu?" Chin Yang Kun membentak saking mendongkolnya.

   "Siapa yang dapat melihat dengan jelas pada waktu malam seperti itu? Apalagi gerakannya demikian cepat seperti setan?" Pendekar Li ikut-ikutan menjawab dengan suara tinggi.

   "Oooo...jadi kau pun juga belum yakin sekali, bukan? Tepatnya...kau hanya menduga saja, biarpun dugaanmu itu memang sangat masuk akal dan beralasan sekali!" suara Chin Yang Kun menurun dengan nada kesal.

   "Yaa!" Pendekar Li menyahut dengan nada yang tetap keras. "Tapi...dugaan itu benar, bukan? Nah, sekarang tak usah kita ribut dan bertengkar yang tidak karuan! Tanyakan saja kepadanya, benar tidak dia pergi kerumahku malam itu?" Chin Yang Kun terdiam tak bisa menjawab. Meskipun hati pemuda itu sangat kesal dan mendongkol setengah mati, tapi kata-kata yang diucapkan oleh orang itu memang sangat beralasan dan tidak dapat dipersalahkan.

   "Aku memang pergi ke rumahmu malam itu!" tiba-tiba Keh sim Siauwhiap tak dapat menahan mulutnya lagi. Pendekar itu memang telah berjanji untuk tidak mencampuri urusan mereka. Tetapi melihat Chin Yang Kun menjadi kebingungan dan tak bisa memutuskan sendiri perkara itu, maka Keh-sim Siauwhiap menjadi tak tega untuk berdiam diri terus menerus.

   "Nah, kau dengar itu?" Pendekar Li hampir bersorak.

   "Tapi...aku tak membunuh mereka!" pendekar dari Pulau Meng-to itu lekas-lekas memberi keterangan. "Ketika aku datang, mayat-mayat itu sudah bergelimpangan di sana."

   "Aaa...itu alasan kuno! Anak kecilpun berkata begitu." Pendekar Li mencemooh.

   "Bangsat! Jagalah mulutmu"!" kini Keh-sim Siauwhiap yang tidak dapat mengendalikan diri malah. Tangannya diangkat, siap untuk menghajar Pendekar Li. Otomatis Tiat tung Lokai dan yang lain-lain menyebar, mengepung Pendekar Li dan kedua orang pembantunya!

   "Tahaan...!" tiba-tiba Chin Yang Kun berseru. Tubuhnya yang jangkung itu melesat dengan cepat dan berdiri di antara mereka.

   "Keh-sim Siauwhiap, biarkan mereka tetap hidup! Kematian mereka tidak akan menjernihkan suasana, tetapi justru akan lebih menggelapkan persoalan ini. Kalau engkau membunuh mereka, hal itu sama saja engkau telah membunuh saksi-saksi terpenting dalam perkara ini. Setiap orang justru akan mencurigai engkau, karena engkau salah seorang terdakwa yang telah membunuh beberapa orang saksi..."

   "Lalu...apa maumu?"

   "Biarlah mereka kita tinggalkan dulu di sini. Aku akan berusaha menyelidiki perkara ini sampai selesai dan menangkap para pelakunya."

   "Baiklah, aku takkan membunuh mereka. Tapi tunggu dulu, kau jangan tergesa-gesa pergi dari tempat ini!"

   "Ada apa...?" Chin Yang Kun mengerutkan dahinya.

   "Aku telah mengenal orang-orang ini untuk beberapa waktu lamanya. Aku telah mengetahui benar sifat dan watak mereka. Oleh karena itu aku berani bertaruh bahwa sepeninggal kita nanti mereka akan segera angkat kaki dan lari terbirit birit dari tempat ini, sehingga untuk selanjutnya kau akan mengalami kesukaran untuk menemukannya kembali."

   "Kurang ajar! kau benar-benar menghina kami! kau sama saja mengatakan bahwa kami cuma sekumpulan orang-orang pengecut! Huh, benar-benar tak mau bercermin diri. kau lah sebenarnya yang pengecut! Berani berbuat tapi tak berani bertanggung jawab! Beraninya cuma dengan orang-orang yang lebih lemah!" Pendekar Li naik pitam.

   "Tutup mulutmu!" Chin Yang Kun menghardik. Lalu pemuda itu menoleh ke arah Keh-sim Siauwhiap dan berkata,

   "Lalu bagaimana maksudmu?"

   "Hmm, apakah kau tak mempunyai barang bukti sedikitpun? Sebenarnya apa yang diceriterakan oleh orang itu banyak sekali kelemahannya. Asal kau mempunyai tanda atau barang bukti, kukira amat mudah untuk mendesaknya agar mau berceritera tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dalam rumahnya itu."

   "Aku sudah menceriterakan apa yang telah terjadi di rumahku malam itu! Dan aku tidak bohong! kau lah yang berbohong!"

   "Diam!" Chin Yang Kun membentak, lalu, "Di mana segi kelemahannya? Coba sebutkan!"

   "Dia mengatakan dengan yakin bahwa aku telah membunuh semua orang yang ada di dalam rumahnya itu. Tapi coba kau pikir...kalau orang-orang yang tak kukenal seperti lima orang bergolok itu saja telah aku bunuh semuanya, mengapa justru orang-orang yang kucari-cari seperti mereka ini malah kudiamkan saja? Bukankah hal itu tidak tidak masuk akal?"

   "Siapa bilang tidak masuk akal? Mereka kau bunuh karena engkau tidak ingin ada orang luar yang tahu tentang masalah harta karun itu. Dan kau tidak membunuh aku dan kawan-kawanku karena akulah yang menyimpan potongan emas itu! Kalau aku mati, kau akan kehilangan jejak harta karun tersebut! Nah, apa katamu...?" Pendekar Li cepat memotong ucapan Keh-sim Siauwhiap. Pendekar dari Pulau Meng-to itu menjadi merah padam mukanya, tapi Chin Yang Kun yang sudah percaya seratus persen kepala kejujuran Keh-sim Siauwhiap segera menyabarkannya.

   "Sudahlah! Biarkan saja dia mengoceh tidak keruan! Lalu apa kecurigaanmu yang lain?" Keh-sim Siauwhiap menghela napas panjang.

   "Aku tidak mencurigainya sebenarnya. Aku Cuma heran kenapa orang itu seolah-olah yakin benar bahwa akulah yang membunuh semua orang itu. Sekarang aku malah menjadi khawatir, jangan-jangan memang ada orang yang menyaru sebagai aku malam itu! Ah, andaikata kedatanganku di rumah tersebut bisa lebih awal lagi, mungkin aku dapat menyaksikan semuanya..."

   "Janganlah engkau berpikir yang bukan-bukan! Marilah kita sekarang mengurus orang-orang ini saja! Nah, apa lagi segi kelemahan dari ceritera Pendekar Li tadi yang dapat kita pakai untuk mengusut kebenarannya?" Chin Yang Kun mendesak.

   "Banyak sekali sebenarnya. Tapi tanpa barang bukti maupun saksi juga tidak ada gunanya. Semuanya hanya akan berhenti pada kecurigaan-kecurigaan saja."

   "Lalu...?" Chin Yang Kun menyahut dengan kecewa.

   "Sudahlah! Marilah kita tinggalkan tempat ini dahulu! Nanti kita rundingkan cara dan jalan keluar yang paling baik untuk mengusut persoalanmu ini." Keh-sim Siauwhiap berkata perlahan, lalu dia mengajak semua pembantunya agar pergi meninggalkan orang-orang yang mereka kepung tersebut. Dengan wajah penasaran Chin Yang Kun meninggalkan pula tempat itu.

   "Wah, hampir saja aku menghadap Gia-lo-ong hari ini...!" Pek-pi Siau-kwi menghela napas lega setelah semuanya pergi meninggalkan
halaman itu.

   "Benar, akupun juga demikian..." Jai-hwa Toat beng-kwi berdesah keras seakan-akan melepaskan semua ketegangan hatinya. Lalu dengan tersenyum Hantu Cabul itu memandang pada Pendekar Li.

   "Li-Taihiap, kau memang benar-benar hebat! kau dengan ketabahan hati itu benar-benar telah membuat pemuda itu menjadi bingung dan tak tahu siapa yang harus dipersalahkan. Sampai-sampai seorang pendekar besar seperti Keh-sim Siauwhiap ikut-ikutan menjadi salah tingkah dan tak tahu apa yang mesti ia kerjakan, hahaha..." Tapi Pendekar Li tetap diam saja di tempatnya. Orang itu seperti tak mengacuhkan pada sanjungan-sanjungan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Malah seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu, mulutnya tampak berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak didengar oleh kedua orang pembantunya.

   "Heran! Sungguh heran...!" akhirnya keluar juga perkataan yang jelas dari mulutnya.

   "Heran? Apakah yang heran?" hampir berbareng Jai hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi bertanya. Kedua orang ini memandang Pendekar Li dengan wajah tak mengerti.

   "Hei, mengapa kalian tidak melihat sesuatu yang aneh dalam peristiwa ini?" Pendekar Li balik bertanya kepada dua orang pembantunya tersebut.

   "Apanya yang aneh...?" Jai-hwa Toat-beng-kwi memandang bingung. Pendekar Li menarik lengan kedua orang itu agar datang lebih dekat.

   "Eh, bukankah sejak semula yang kita khawatirkan adalah kesaksian dari Keh-sim Siauwhiap itu? Kita tidak bisa mengelak lagi bila orang itu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu. Tapi ternyata dia mengingkarinya...! Hehe, apakah Keh-sim Siauwhiap itu takut kepada bocah itu pula?"

   "Oh ho...benar juga. Padahal dia ikut membunuh pula dua orang diantaranya. Malahan kalau aku tak salah dengar, kedua orang yang dibunuhnya itu justru orang she Chin sendiri!" Jai-hwa Toat-beng-kwi akhirnya sadar juga pada keanehan dari peristiwa tersebut.

   "Tapi keadaan itu justru amat menguntungkan kita. Biar saja, yang penting kita sudah selamat." Pendekar Li tertawa gembira.

   "Biarpun tanpa harta karun itu?" Jai-hwa Toat-beng-kwi menatap Pendekar Li dengan tajamnya.

   "Ah, biarkan saja harta karun itu. Disinipun kita sudah makmur dan kaya raya, mau apa lagi? Kita pikirkan harta yang belum keruan macamnya itu dengan enteng saja. Kita nikmati dulu apa yang telah kita peroleh ini dengan baik."

   "Tapi...bagaimana kalau pemuda itu mendapatkan bukti atau saksi yang lain?" Pek-pi Siau-kwi tiba-tiba menyela.

   "Hah? Maksudmu..." Pendekar Li tersentak kaget.

   "Masih ada seorang lagi yang lolos dari kebuasan Keh-sim Siauwhiap pada malam itu!"

   "Siapa?"

   "Thio Lung! Pemilik Kim-liong Piauw-kiok. Sahabat kita itu ikut pula di antara kita pada malam mengerikan tersebut." Pek-pi Siau-kwi menerangkan.

   "Heh, betul...! Kita harus lekas lekas memberitahukan hal ini kepadanya." Jai-hwa Toat-beng-kwi berteriak kaget.

   "Ya, kalian benar! Mari kita berangkat ke Sin-yang untuk menemui saudara Thio!" Pendekar Li menyetujui gagasan itu.

   Jilid 20
Demiklanlah, setelah mempersiapkan segala sesuatunya, mereka berangkat ke kota Sin-yang malam itu juga. Mereka ingin Iekas-lekas menemui sahabat mereka itu untuk memberi tahu agar berhati-hati bila menghadapi Chin Yang Kun. Sementara itu Keh-sim Siauwhiap telah membawa Chin Yang Kun agak jauh dari rumah Pendekar Li itu. Di tempat yang agak lapang, di tepian sungai mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sedangkan Tiat-tung Hong kai dan yang lain lainnya mengambil tempat agak jauh dari kedua orang itu. Mereka berdiri tenang mengawasi Keh-sim Siauwhiap serta siap apabila diperlukan.

   
"Nah, apa yang hendak kau katakan kepadaku lagi?" Chin Yang Kun bertanya.

   
"Saudara Chin, apakah kau masih menduga bahwa akulah pembunuh ayah dan pamanmu?"
Chin Yang Kun mengerutkan dahinya sebentar, lalu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak!" katanya tegas.

   "Untuk sementara kecurigaanku tidak kutujukan kepadamu. Aku percaya pada kata-katamu. Aku sudah lama mendengar tentang kau dan sepak terjangmu, dan aku berpendapat bahwa orang seperti engkau tidak mungkin membunuh wanita, apalagi anak-anak yang tak berdosa seperti anak dan isteri Pendekar Li itu."

   "Terima kasih." Keh-sim Siauwhiap menghembuskan napas lega dari dadanya

   "Sekarang marilah kita pikirkan, apa yang harus kau lakukan agar persoalanmu ini menjadi terang! Terus terang aku sendiri juga ikut menjadi penasaran, karena dalam hal ini ternyata justru sayalah yang menjadi terdakwa pertamanya. Padahal demi langit dan bumi aku tak pernah melakukannya sama sekali!"

   "Coba kau katakan, apa yang harus aku lakukan agar persoalan ini menjadi terungkap dengan jelas?" Chin Yang Kun yang tak ingin berbicara dengan panjang lebar lagi itu cepat memotong perkataan Keh-sim Siauwhiap. Pendekar dari Pulau Meng-to itu menatap mata Chin Yang Kun sambil mengusap-usap dagunya yang licin.

   "Jadi kau benar-benar tidak mempunyai barang bukti atau saksi yang dapat digunakan untuk menangkap si pembunuh itu?" Chin Yang Kun menggeleng.

   "Kalau begitu yang harus kau lakukan sekarang adalah mencari barang bukti atau saksi mata dalam peristiwa itu! Terutama yang harus kau dapatkan ialah seorang saksi mata, sebab untuk mendapatkan barang bukti terang sudah tidak mungkin lagi. Peristiwa tersebut sudah berlangsung satu tahun yang lalu, semua benda atau barang bukti yang berkaitan dengan peristiwa itu tentu sudah rusak atau hilang." Keh-sim Siauwhiap memberi nasehat.

   "Saksi mata yang melihat sendiri peristiwa itu? Hmm, bagaimana aku bisa mendapatkan orang semacam itu? Semuanya telah mati..." dengan tubuh lemah Chin Yang Kun berbisik perlahan.

   "Apakah tidak ada seorangpun dari keluargamu atau sahabatmu, yang ikut dalam rombongan ayahmu itu, yang kira-kira masih hidup atau bisa dimintai keterangan?"

   "Keluargaku...? Ahh, mereka sudah mati semua...ibuku...adikku...para pengawal dan pemikul tandu...Siang-hui-houw dan Hek...hei! Benar! Masih...masih ada! Namanya Hek-mou-sai, pengawal ayahku! Tapi" hmm, orang itu tak berada disana malam itu..." Chin Yang Kun yang hampir bersorak itu kembali tertunduk lagi dengan lemah.

   "Bagaimana?"

   "Ada sebenarnya...tapi orang itu tidak ada disana pada waktu peristiwa tersebut terjadi. Orang itu mendapat tugas untuk menyelidiki jalan yang menuju ke kota Tie-kwan sejak sore hari..." Keh-sim Siauwhiap tertunduk lesu pula.

   "Kalau begitu kau terpaksa harus mencari saksi mata dari pihak lawan!"

   "Pihak lawan...?"

   "Ya! kau harus mencari salah seorang kawan dari Pendekar Li yang ikut berada di rumah itu ketika peristiwa tersebut terjadi! Tentu saja jalan ini akan lebih sukar, tapi kau dapat mencobanya. Ehm, apakah kau sudah tahu siapa-siapa saja kawan dari Pendekar Li yang ikut dalam pertempuran itu?"

   "Menurut ceritera Pendekar Li...orang-orang itu adalah Jaihwa Toat-beng-kwi, Pek-pi Siau-kwi, Hui-chio Tu Seng, Thio Lung dan lain-lainnya. Pendekar Li tidak menyebutnya satu persatu..."

   "Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi terang sudah tidak mungkin. Kedua orang tersebut sudah tahu masalah ini. Hui-chio Tu Seng sudah mati. Hai! Tinggal Thio Lung sekarang...! Orang itu tidak terlihat di rumah Pendekar Li tadi. Benar! Sekarang kau harus lekas-lekas menghubungi orang itu di kota Sin-yang! Dia menjadi pengurus dari Kim-liong Piauwkiok di sana."

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Thio Lung? Baiklah, aku malah sudah mengenal beberapa orang dari para anggota Kim-liong Piauw-kiok itu. Bagus...! Aku akan pergi kesana sekarang juga." Chin Yang Kun berkata dengan bersemangat.

   "Silahkan...! Kami akan selalu membantumu!" Keh-sim Siauwhiap mengangguk.

   "Nanti dulu!" tiba-tiba Tiat-tung Lokai mencegat langkah Chin Yang Kun.

   "Lokai...? Jangan!" Keh-sim Siauwhiap berteriak.

   "Siauwhiap, bagaimana...bagaimana dengan ketiga orang anak buahku yang mati itu?" pengemis tua itu seolah-olah meratap di depan Keh-sim Siauwhiap.

   "Biarkanlah dia menuntut balas dahulu atas kematian seluruh keluarganya! Setelah itu kau boleh berhitungan dengan dia. Jadi semuanya biar memperoleh kesempatan!"

   "Keh-sim Siauwhiap, ada apa"?" Chin Yang Kun menoleh ke arah pendekar dari Pulau Meng-to dengan wajah tak mengerti. Muka yang pucat dan tak bergairah itu melirik kepada Chin Yang Kun sekejap, lalu sambil bergumam sedih ia melangkah pergi.

   "Balas membalas karena dendam...ohh, kapan semuanya itu akan berakhir? saudara Chin pergi untuk mencari musuhnya. Setelah bertemu musuh itu tentu akan kau bunuh juga. Tapi di dalam perjalananmu ketika mencari musuh itu kau telah kesalahan tangan membunuh orang pula.Kini sahabat dari orang yang kau bunuh itu datang pula untuk membalas dendam. Nah...lalu apa gunanya membalas dendam itu? Setiap manusia tentu mempunyai kesalahan, maka bukan kewajibannyalah untuk menghukum orang lain. Sudah ada sendiri. Kekuasaan tertinggi yang mengurus dan berhak menindaknya. Manusia tak perlu campur tangan..."

   Suara itu makin lama makin perlahan, dan akhirnya lenyap terbawa angin. Bagaikan orang yang lagi terbius oleh sesuatu yang tak dimengertinya, para pembantu Keh-Sim Siauwhiap melangkah pergi satu persatu meninggalkan tempat tersebut. Dengan wajah tertunduk mereka mengikuti arah suara Keh sim Siauwhiap yang telah pergi jauh. Sekarang tinggal Chin Yang Kun sendiri yang berdiri mematung di tempat itu.

   Kata-kata yang keluar dari mulut pendekar ternama itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Balas-membalas karena dendam? Apakah gunanya semua itu? Paling-paling hanya untuk kepuasan hati saja, entah itu demi kehormatan dirinya, keluarganya, golongannya atau lainnya. Nah, kalau jutaan manusia yang berada di dunia ini lalu bertindak sendiri sendiri hanya demi kepuasannya masing masing tanpa menghiraukan manusia lainnya, apakah jadinya kehidupan ini nantinya? Dunia akan hilang peradabannya, manusia akan hilang kepribadiannya. Manusia tak ubahnya dengan seekor binatang. Siapa kuat, dialah yang menang...dialah yang benar! Betulkah itu? Chin Yang Kun menghela napas panjang sekali lalu dengan langkah gontai ia berjalan pula meninggalkan tempat itu. Dan hatinya telah mulai goyah.

   "Uhh, andaikata Liu toa-ko ada di sini..." pemuda itu bergumam sambil membayangkan wajah sahabatnya, Liu Twako. Sahabatnya itu juga paling tidak suka akan kekerasan dan kemunafikan, meski dia sendiri hidup sebagai perwira yang selalu bergulat dengan peperangan. Chin Yang Kun berjalan sambil menunduk, tiba-tiba telinganya mendengar desir angin lembut di mukanya dan ketika wajahnya tengadah ia menjadi kaget. Keh-sim Siauwhiap yang tadi telah pergi meninggalkannya, kini telah berada di hadapannya lagi. Dengan wajah masih tetap tampak murung pendekar itu memandang kepadanya.

   "Saudara Chin, maaf aku telah mengganggumu lagi. Kata Tiat-tung Lokai, engkau kemarin berjalan bersama-sama dengan Souw Lian Cu. Betulkah? Lalu kemana gadis itu sekarang?" Sesaat pipi Chin Yang Kun menjadi merah. Untuk sekejap pemuda itu merasa seperti rahasia pribadinya telah diketahui orang. Tapi setelah melihat wajah di depannya itu tidak menunjukkan sesuatu yang aneh, apalagi wajah yang murung itu justru tampak serius sekali, maka Chin Yang Kun segera sadar bahwa Keh-sim Siauwhiap tidak bermaksud untuk berolok-olok dengannya.

   "Apa...apakah maksudmu menanyakan dia kepadaku?" Agak bergetar juga suara Chin Yang Kun ketika menjawab pertanyaan itu, sehingga Keh-sim Siauwhiap malah merasa heran atas sikap itu.

   "Begini...dia telah beberapa bulan meninggalkan Pulau Meng-to, dan sampai sekarang belum pulang. Padahal gadis itu agak merasa tidak senang hati ketika meninggalkan rumah."

   "Ohh...dia telah lebih dahulu meninggalkan dusun ini tadi pagi. Mungkin...mungkin dia telah berangkat pulang malah. Apakah dia...adikmu?"

   "Bukan! Dia puteri sahabatku...Saudara Chin, terima kasih! Aku berangkat dulu!" Sekali menjejak tanah tubuh pendekar itu lenyap seperti tertiup angin! Kecepatan bergeraknya benar benar tiada taranya, sehingga Chin Yang Kun yang baru saja berbicara dengan pendekar itu hampir-hampir tak mempercayai penglihatannya sendiri.

   "Gadis itu bukan adiknya, tapi puteri dari sahabatnya. Lalu apa hubungannya gadis itu dengan Keh-sim Siauwhiap? Tunangannya"? Pemuda itu membatin. Lalu tiba-tiba seperti timbul perasaan tidak senang di dalam hati Chin Yang Kun terhadap Keh-sim Siauwhiap. Tapi apa yang menyebabkan perasaan tak senang itu, Ching Yang Kun sungguh tidak mengerti.

   "Persetan dengan gadis itu!" tak terasa bibirnya mengumpat, sehingga ketika sadar pemuda itu menjadi malu sendiri. Untunglah tak ada orang lain yang mendengarnya.

   Dengan tergesa-gesa Souw Lian Cu pergi meninggalkan rumah bekas tempat tinggal kakek Piao Liang atau yang lebih terkenal dengan sebutan Kim-mou-sai-ong itu. Gadis itu bermaksud mengejar orang-orang yang pergi ke Pantai Karang sekalian mau pulang ke Meng-to. Ada sesuatu hal yang membuat Souw Lian Cu ingin lekas-lekas tiba di tempat penyeberangan ke Pulau Meng-to tersebut. Selain ingin lekas-lekas bertemu dengan Keh-sim Siauwhiap dan mengatakan tentang harta karun itu, dia juga ingin bertemu dengan wanita ayu dari Bing-kauw yang menuduh Hong-lui-kun memperkosa Put-sia Niocu itu.

   Souw Lian Cu sama sekali tidak mengira kalau pada saat itu Keh-sim Siauwhiap justru sedang berada di dusun tersebut. Dia hanya mengira bahwa Keh-sim Siauwhiap cuma mengirim orang-orangnya seperti biasa untuk berurusan dengan pihak Tan-Wangwe. Urusan tentang harta yang akan dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin! Souw Lian Cu memang tidak ingin menemui Tiat-tung Lokai atau yang lain-lainnya, apalagi harus membantu mereka dalam menghadapi Tan-Wangwe. Sejak gadis itu berada di Pulau Meng-to, dia memang belum pernah ikut campur dalam urusan Keh-sim Siauwhiap. Di tempat itu Souw Lian Cu hanya sekedar menumpang atau bersembunyi, karena dia belum mau pulang ke rumahnya sendiri.

   Sampai di jalan raya Souw Lian Cu segera membuat rencana, apa yang mesti ia kerjakan agar dia dapat cepat tiba di Pantai Karang itu. Waktunya tidak banyak lagi. Besok malam ia sudah harus sampai disana. Padahal orang orang itu telah lebih dahulu satu malam daripada dirinya. Kalau mengambil jalan darat, dia harus melalui dusun dusun dan kota-kota kecil yang memutar. Sebab untuk mengambil jalan memintas memang sukar sekali, selain harus menyusup hutan belukar yang sulit dilalui orang, dia harus melintasi bukit dan jurang yang belum pernah dikenal orang. Padahal waktunya tinggal besok malam saja. Maka apabila harus melalui jalan darat, terang dia akan terlambat dan jerih payahnya akan sia-sia. Satu-satunya jalan yang tak banyak mempunyai resiko hanyalah melalui air.

   Jika dari sungai yang mengalir di tepi dusun itu dia naik perahu yang pergi menuju ke Sungai Huang ho, disana dia dengan mudah bisa menumpang perahu yang berlayar ke arah pantai. Dan kalau semuanya berjalan lancer, dia akan sudah tiba di Pantai Karang itu sebelum waktu tengah malam. Hanya persoalannya sekarang adalah mencari perahu yang hari itu mau berangkat ke sungai Huang ho. Adakah perahu dagang atau perahu muatan yang membawa segala macam hasil bumi dari dusun-dusun di lembah itu yang kebetulan mau berangkat ke sungai Huang ho? Souw Lian Cu langsung menuju ke bandar yang berada tak jauh dari tempat tinggal Kim mouw-sai-ong. Di sana banyak sekali perahu-perahu nelayan ataupun perahu-perahu dagang yang memuat segala macam hasil bumi dan kerajinan dari berbagai daerah, termasuk juga dari daerah itu sendiri.

   Perahu-perahu dagang itu selain membeli hasil-hasil daerah setempat, juga sekalian menjual barang-barang yang dibawanya dari daerah lain. Oleh karena itu selain sebagai bandar perahu, tepian sungai tersebut juga berfungsi sebagai pasar yang sangat ramai. Maka kedatangan Souw Lian Cu di antara mereka benar-benar tidak menarik perhatian sama sekali. Kalau ada satu dua orang yang memandangnya, hal itu cuma karena kecantikannya yang memang sangat mempesonakan atau karena tangannya yang bunting. Souw Lian Cu masuk ke sebuah rumah makan yang cukup sederhana untuk mengisi perut sekalian mencari keterangan tentang perahu-perahu yang akan ditumpanginya.

   Meskipun peralatannya kelihatan sangat sederhana, tetapi rumah makan itu ternyata sangat luas dan banyak langganannya. Selain beberapa buah meja yang berderet-deret di empernya yang luas, ternyata di dalam masih banyak pula meja kursi yang saat itu telah dipenuhi oleh tamu. Mereka terdiri dari orang-orang kota yang bekerja sebagai tukang dayung, nelayan, pedagang dan lain sebagainya. Souw Lian Cu berdiri di dekat pintu masuk lalu melongok longokkan kepalanya untuk mencari meja yang kosong. Beberapa orang pelayan yang sangat sibuk itu tak sempat lagi menyambutnya apalagi membawanya ke meja yang kosong.Karena agak lama belum juga dapat melihat tempat yang kosong, maka beberapa orang laki-laki mulai menggoda dirinya. Tapi semuanya itu tidak dipedulikan oleh Souw Lian Cu.

   "Disini masih ada satu tempat yang kosong, nona..."

   "Atau duduk saja di kursiku ini. Biarlah, aku duduk di lantaipun tidak apa, hahah...!"

   "Ah, tidak enak kalau harus begitu...bila yang lain duduk di kursi, kamu malah duduk di lantai. Mana ada aturan demikian?" kawannya menyahut.

   "Lantas bagaimana kalau memang tidak ada tempat duduk yang lain?" yang lain menyambung.

   "Biarlah dia duduk di...pangkuanku saja," dengan tenangnya orang itu tadi menjawab.

   "Hahahah...enakmu!" kawan-kawannya tertawa terbahakbahak.

   "Hehehe...hihihi!" Mata yang bersinar-sinar lembut itu tiba-tiba berkilat tajam. Tapi sejenak kemudian mata itu kembali redup. Agaknya gadis itu tak mau berselisih hanya karena tukang-tukang dayung yang kasar seperti mereka. Sambil menghela napas Souw Lian Cu membalikkan badannya, mau keluar mencari rumah makan yang lain. Tapi kalau memang sudah ditakdirkan untuk marah, tiba-tiba dari luar pintu muncul empat orang kasar lagi yang menghalangi jalannya. Dengan lagak yang menjemukan empat orang itu pringas-pringis di depan Souw Lian Cu, memperlihatkan gigi-giginya yang besar dan kuning.

   "Eeiit, nanti dulu...! Jangan buru-buru kabur dari sini, oh, burung hong-ku yang cantik!" Keempat orang yang bertampang kasar itu melangkah maju bersama-sama dan mendesak Souw Lian Cu masuk ke dalam ruangan lagi. Empat pasang tangan mereka yang kasar dan berjari-jari besar itu teracung ke depan, seolah-olah mau berebut dulu menggerayangi tubuh Souw Lian Cu.

   "Diamlah, anak manis...! Jangan takut, kami tak akan menyakitimu...haha!"

   "Hahaheheh...harap semua berhenti makan dulu! Sekarang acara kita diselingi sebentar dengan pertunjukan empat kucing besar memburu tikus kecil, hahahahehehihih...!" Salah seorang laki-laki yang mula-mula menggoda Souw Lian Cu tadi berteriak sambil berdiri di atas kursinya. Suasana dalam rumah makan itu menjadi ribut. Orang orang kasar yang terdiri dari para tukang dayung, nelayan dan pekerja-pekerja pengangkut barang itu bukannya kasihan melihat gadis itu diganggu oleh rekan mereka, sebaliknya mereka bersorak gembira, seolah-olah mereka mendapat hiburan yang menyenangkan malah! Semua orang berdiri dari tempat duduk mereka dan bertepuk tangan memberi semangat kepada empat orang kawan mereka yang mengepung Souw Lian Cu itu. Langkah Souw Lian Cu terhenti ketika tiba-tiba punggungnya telah terantuk tiang rumah.

   Otomatis gadis itu tak bisa mundur lagi. Sebenarnya tak ada minat dalam hati Souw Lian Cu untuk melayani kekurangajaran mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang telah terbiasa berbuat kasar, padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang polos yang tidak tahu apa-apa. Mereka hanya sekedar mengandalkan otot-otot mereka yang kokoh dan kekar! Oleh karena itu dia tidak ingin melawan mereka, apalagi sampai harus menyentuh tubuh orang-orang itu. Dia hanya mau menunjukkan sesuatu kepada orang-orang itu, bahwa ia bukanlah seorang gadis biasa yang mudah diganggu atau dipermainkan oleh orang orang kasar semacam mereka. Tapi sebelum gadis itu mempertunjukkan kepandaiannya, dari ruangan yang sebelah dalam lagi muncul seorang pemuda tampan berpakaian mentereng indah!

   Pemuda itu masih berusia amat muda, mungkin Cuma berselisih dua tiga tahun dengan Souw Lian Cu. Pada pinggangnya yang sebelah kiri tergantung sebuah golok, dimana sarung goloknya dihiasi emas permata yang gemerlapan. Dari dalam ikut muncul pula di belakang pemuda itu seorang gadis cantik molek yang pakaiannya tidak kalah mewahnya dengan pemuda yang lebih dulu muncul. Berbeda dengan pemuda di depannya yang membawa golok pada pinggangnya, gadis itu hanya membawa sebuah kipas yang selalu digenggam di tangan kanannya. Hanya saja kalau diperhatikan dengan lebih cermat, orang akan segera melihat bahwa kipas itu bukanlah sebuah kipas biasa yang terbuat dari kertas atau kayu, tetapi sebuah kipas khusus yang terbuat dari lempengan baja yang sangat kuat dan tajam!

   "Jangan kurang ajar!" pemuda itu membentak orang-orang yang mengganggu Souw Lian Cu. Seketika suara yang riuh itu berhenti! Dengan wajah heran orang-orang kasar itu memandang ke dalam, ke arah sepasang muda-mudi yang berwajah elok tersebut. Mulut mereka ternganga seperti melihat dewa yang turun ke bumi. Orang-orang kasar itu memang tidak biasa melihat orang-orang kota yang berpakaian indah dan anggun seperti kedua muda-mudi itu, apalagi pakaian yang dihiasi dengan emas permata seperti itu!

   "Ooohho...ada seorang dewa yang turun ke bumi untuk mempersunting seorang gadis dusun rupanya, haha-hehe...!" salah seorang dari empat orang kasar yang mengganggu Souw Lian Cu tertawa mengejek.

   "Hahaheheh...kali ini kau terpaksa harus mengalah, Lo Houw (Macan Tua)!" kawannya menepuk punggung orang itu dengan tertawa pula.

   "Lihat! Sebuah gelangnya saja bisa untuk membeli nyawa orang seisi warung ini, hohoho...!"

   "Benar!" pemuda itu tiba-tiba berkata sambil melepaskan sebuah gelang dari tangannya, sebuah gelang emas yang harganya tentu sangat mahal sekali. Mungkin bisa untuk membeli rumah makan itu beserta seluruh isinya.

   "Gelang ini memang bisa untuk membeli kepala kalian semua! Oleh karena itu gelang ini akan kuberikan kepada kalian agar kalian tidak mengganggu gadis itu!"

   "Koko, jangan...! kenapa gelang pemberian ayah itu kau berikan pada orang-orang kasar seperti mereka?" mendadak gadis cantik yang tidak lain adalah Tiau Li Ing itu berteriak mencegah maksud kakaknya.

   "Biarlah, di rumah masih banyak yang lain," pemuda itu berkata sambil tetap melemparkan gelang tersebut ke arah kerumunan orang-orang kasar itu. "Nona! kau kemarilah...!" pemuda tampan itu berteriak ke arah Souw Lian Cu.

   "Huraaa...!" seluruh orang yang berada di dalam rumah makan itu bersorak.

   Tanpa memikirkan apa akibatnya, semua berloncatan dari kursinya dan berlari menerjang ke arah jatuhnya gelang emas tadi. Bagaikan kerumunan semut yang merubung sebutir sisa makanan orang-orang itu tumpang tindih tak beraturan! Mereka saling mencakar, menggigit, memukul, menendang orang yang terdekat, sehingga suasana rumah makan itu benar-benar kacau balau tidak karuan. Mereka menghancurkan meja, kursi, barang pecah belah dan lain-lainnya. Pemilik rumah makan itu beserta pelayannya juga sudah lupa kepada miliknya sendiri, mereka ikut tunggang-langgang berebut dengan orang-orang itu.Sementara itu Souw Lian Cu cepat-cepat menghindar dari kebuasan orang-orang kasar itu. Dengan tenang gadis itu menyusup ke dalam, menemui dua orang kakak beradik yang kaya raya tersebut.

   "Marilah, nona, silahkan masuk! Marilah duduk bersama di meja kami!" pemuda tampan itu menyapa dan mempersilahkan masuk. Tapi Souw Lian Cu menjadi terkejut ketika berhadapan dengan gadis cantik yang berdiri di belakang pemuda itu.

   Pikirannya segera melayang ke kuil Im-yang-kauw yang berada di lereng Bukit Delapan Dewa. Kemudian wajah Chin Yang Kun yang sangat menyebalkan itupun melintas dalam ingatannya, tapi wajah yang terbayang dalam ingatannya itu tampak sedang kesakitan karena baru saja dilukai oleh paman gadis cantik yang kini berada di depannya ini. Tung-hai Nungjin! Souw Lian Cu segera mengenali gadis itu sebagai gadis cantik yang dahulu pernah datang bersama Tung-hai Nung-jin ke kuil di Bukit Delapan Dewa itu, karena pada waktu itu dia turut pula menyaksikan pertempuran antara Tung-hai Nung-jin tersebut dengan Tong Ciak Cu-si. Tapi karena pada saat itu Souw Lian Cu menonton pertempuran tersebut bersama-sama dengan para anggota Im-yang-kauw yang lain, maka gadis cantik itu tak sempat melihatnya.

   "Hei, kenapa...?" pemuda itu bertanya ketika melihat Souw Lian Cu agak tertegun melihat adiknya.

   "Ini adikku..." pemuda itu memperkenalkan kepada gadis itu.

   "Tidak apa-apa, Terima kasih...! terima kasih!" Souw Lian Cu mengangguk-angguk. Pemuda itu bersama dengan adiknya mengajak Souw Lian Cu masuk ke dalam. Tapi baru saja mereka melangkah, dari dalam telah keluar seorang kakek kurus berpakaian mewah pula seperti kedua orang kakak beradik itu. Dibelakang kakek kurus tersebut mengikuti tiga orang laki-laki berwajah kasar dan keras seperti penjahat.

   "Eh, paman Phang Kui..." pemuda tampan itu tersenyum menyambut orang tua tersebut.

   "Heh! Ada apa ramai-ramai ini? Mengapa orang-orang di luar itu pada ribut benar?"

   "Paman, lihat tuh di luar...! Kiat Su koko baru saja mengobral perhiasannya lagi." Tiau Li Ing mengadu kepada orang tua itu, yang tidak lain adalah Tung-hai Nung-jin. Sedangkan tiga orang yang berdiri di belakang orang tua itu tidak lain adalah Tung-hai Sam-mo!

   "Ah, cuma sebuah gelang emas saja, paman..." kakak si gadis yang bernama Tiau Kiat Su itu membela diri.

   "Memang harta seperti itu tidak berarti banyak bagi kita. Tapi apakah kau tidak memikirkan akibatnya? Apakah kau tidak membayangkan bahwa orang-orang itu akan menyusahkanmu nantinya?"

   "Bagaimana bisa orang-orang kasar seperti itu dapat menyusahkan aku, paman?"

   "Kau ini memang belum dapat berpikir matang, Kiat Su. Sudahlah...sekarang marilah kita lekas-lekas pergi dari tempat ini sebelum orang-orang itu mengerumuni kita! Li Ing, Sam-mo...ayoh! kita kembali ke perahu!"

   "Baik, susiok! sute, sumoi...mari kita pergi! Jangan membikin marah susiok!" orang tertua dari Tung-hai Sam-mo menoleh sebentar kepada Kiat Su dan Li Ing, lalu melangkah pergi diikuti oleh dua orang adik seperguruannya yang lain. Kiat Su memandang Souw Lian Cu, kemudian tersenyum dan mengangkat pundaknya.

   "Mereka adalah paman dan suhengku. Yang tua tadi pamanku, sedang tiga orang yang serem-serem itu murid ayahku. Mereka memang suka marah marah dan terlalu berhati-hati sekali. Marilah kau turut kami saja! Kalau ada disini terus, kau akan diganggu oleh orang-orang itu lagi. Marilah, nona...eh, maaf...bolehkah aku tahu namamu?"

   "Terima kasih, namaku Souw Lian Cu. Biarlah aku meneruskan perjalananku sendiri saja. Silahkan saudara cepat-cepat meninggalkan rumah makan ini! Perkataan pamanmu tadi memang benar, orang-orang kasar itu akan menyusahkanmu nantinya."

   "Koko, ayolah...! Paman tentu akan marah kalau kita terlalu lama disini nanti." Li Ing ikut mendesak kakaknya.

   "Ah, kalian ini sama saja dengan orang tua itu. Menyusahkan? Apanya yang menyusahkan? Apa berbahayanya orang-orang kasar seperti mereka?" Souw Lian Cu saling pandang dengan Tiau Li Ing. "Berbahaya memang tidak! Aku percaya saudara tidak akan membutuhkan banyak waktu untuk membasmi mereka. Sekali cabut saja golok yang berada di pinggang saudara itu, mereka akan bergelimpangan tak bisa bangun lagi!

   Tetapi apa akibatnya setelah itu? saudara akan dikejar-kejar dan dicari-cari oleh para petugas kerajaan, lalu para pendekar dan para jago silatpun kemungkinan besar juga akan menguber-uber saudara. Nah, apakah enaknya hidup demikian? Mungkin saudara memang tidak takut, tapi bukankah kehidupan saudara tidak akan bebas seperti burung di udara lagi? Setiap saat dan setiap waktu saudara harus selalu waspada, hati selalu waswas dan curiga, karena setiap saat orang yang menguber-uber saudara bisa datang. Padahal saudara belum mengenal para petugas kerajaan, pendekar atau yang lain, yang memburu saudara itu,,.." tiba-tiba saja Souw Lian Cu berkhotbah seperti pendeta di hadapan para muridnya, sehingga Kiat Su dan Li Ing menjadi terheran-heran.

   "Nona Souw, kau...?" Kiat Su ternganga mulutnya. Kedua kakak beradik itu memang tidak menyangka sama sekali kalau gadis buntung yang baru saja mereka tolong, yang tadi kelihatan ketakutan ketika dikerumuni orang-orang kasar itu, dapat mengeluarkan kotbah seperti itu.

   Memang setelah mendengarkan ucapan-ucapan gadis itu tadi, hati mereka menjadi sadar, tetapi yang masih sangat mengherankan mereka adalah ucapan-ucapan tersebut. Mereka tak mengira bahwa ucapan-ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang gadis dusun yang masih muda belia dan kelihatan sangat lemah ini. Pantasnya ucapan-ucapan seperti itu tentu dikeluarkan oleh seorang dewasa, yang telah matang baik jiwa maupun pengalamannya. Souw Lian Cu mengangguk sambil sekali lagi menyatakan rasa terima kasihnya, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu pula. Tinggallah kini kedua kakak beradik itu yang masih saling memandang dengan dahi berkerut.

   "Koko, agaknya perbuatanmu kali ini benar-benar salah alamat! Aku berani bertaruh gadis itu tadi tentu bukan gadis sembarangan. Kelihatannya saja amat lemah, tapi kukira kepandaiannya tidak kalah dengan kepandaianmu."

   "Tapi mengapa dia diam saja ketika diganggu oleh orang orang kasar itu?"

   "Apakah kau sudah lupa pada perkataannya tadi? Ia tak ingin dikejar-kejar dan dimusuhi oleh banyak orang. Gadis itu ingin hidup bebas seperti burung di udara." Kiat Su tercenung dan menundukkan kepalanya. Dalam hati pemuda itu membenarkan ucapan gadis aneh tersebut. Tapi begitu ia mau membuka mulut untuk mengajak adiknya meninggalkan tempat itu pula, tiba-tiba dari luar terdengar suara ribut-ribut orang-orang kasar tadi yang hendak memasuki ruangan itu.

   "Ayo kita meminta lagi kepada pemuda itu. Ayoh...!"

   "Yaa, kita minta saja kepadanya...!"

   "Kalau tidak boleb kita sikat saja semuanya...!" Kiat Su saling memandang dengan Li Ing. Seperti mendapat aba-aba mereka berdua segera meloncat melalui jendela dan kabur dari tempat itu. Keduanya segera berlari menuju perahu mereka yang berlabuh tidak jauh dari tempat itu.

   "Nah, benar juga kata-kata gadis buntung itu." Li Ing tertawa diantara langkah kakinya. "Belum juga membunuh kita sudah berlari-lari dikejar orang, hi-hi...apalagi kalau kita sudah membasmi mereka tadi."

   "Sudahlah, jangan banyak omong! Apakah kau sendiri juga tidak suka membunuh orang? Coba kau hitung, berapa banyak manusia tak berdosa yang telah menjadi korban kipasmu itu?"

   Ternyata mereka berdua telah lama dinantikan oleh ketiga orang suhengnya itu. Maka, setelah keduanya naik ke atas perahu, perahu itupun segera berangkat. Beberapa orang kasar yang sudah berlarian sampai di pinggir sungai tampak mengacung-acungkan kepalan mereka sambil berteriak-teriak marah. Sementara rombongan keluarga bajak laut dari Laut Timur itu berangkat meninggalkan dusun Ho-ma cun, Souw Lian Cu juga telah jauh meninggalkan tempat tersebut. Gadis itu tak mau lagi berurusan dengan tukang tukang perahu yang kasar, oleh karena itu dengan nekad dia berlari menyusuri sungai tersebut ke arah hilir. Dalam hati Souw Lian Cu berharap, siapa tahu malah ada perahu nelayan yang dapat ia tumpangi nanti.

   Toh mesti banyak perahu yang berlayar di atas sungai itu. Ternyata harapan Souw Lian Cu untuk memperoleh tumpangan perahu itu tak pernah terlaksana. Memang banyak perahu yang lewat, tapi semuanya tentu sudah sarat dengan muatannya sendiri. Atau kalau ada perahu nelayan yang Iewat mereka tak mau membawa Souw Lian Cu sampai ke muaranya, yaitu Sungai Huang ho! Tujuan itu terlalu jauh bagi mereka, sehingga gadis itu terpaksa tidak jadi menumpang perahu-perahu nelayan tersebut. Sungai itu mengalir menembus tengah-tengah hutan sekarang, maka Souw Lian Cu semakin sukar untuk mengikutinya. Meskipun begitu ada keuntungannya juga. Matahari yang telah mencapai puncaknya itu tak mampu membakar kepalanya sebab pohon-pohon besar yang tumbuh rindang di kanan kiri sungai itu telah memayunginya.

   

Darah Pendekar Eps 33 Darah Pendekar Eps 24 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 14

Cari Blog Ini