Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 23


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 23




   "Taihiap...?" Si Bongkok berdesah parau. Matanya memandang Liu Yang Kun, kemudian berpaling ke arah kawan-kawannya. Sekali lagi Liu Yang Kun mendengus.

   "Aku takkan menolong kawan-kawanmu itu. Biarlah mereka terbebas dengan sendirinya. Kau tunggulah saja mereka sampai tengah malam nanti. Tapi kau harus ingat janjimu tadi. Kalau kelak aku masih menjumpaimu melakukan kejahatan lagi, hmm... aku benar-benar tidak akan memberi ampun!" Setelah merasa cukup memberi peringatan kepada Si Bongkok, Liu Yang Kun segera melesat pergi dari tempat itu. Pemuda itu sengaja mengerahkan Bu-eng Hwe-teng sepenuhnya, untuk memberi kesan bahwa ia pun sanggup 'menghilang' pula seperti sastrawan itu. Memang benar. Si Bongkok itu tiba-tiba melongo ketakutan tatkala melihat Liu Yang Kun lenyap begitu saja dari depannya!

   "Oh! Han... hantu...?" bibirnya berbisik parau. Demikianlah, setelah batal bertemu dengan orang yang mengundangnya, Liu Yang Kun lalu kembali ke perahu si nelayan miskin lagi. Dari jauh pemuda itu telah melihat si nelayan miskin berdiri menantikannya.

   "Tuan...? Tuan telah kembali? Oh, betapa gembiranya hatiku...! Bagaimana dengan kawanan Si Bongkok itu?" hampir bersorak si nelayan itu menyambut kedatangan Liu Yang Kun.

   "Paman...?" pemuda itu berseru pula. Tiba-tiba pemuda itu menghentikan kata-kata yang hendak diucapkannya ketika mendadak matanya melihat dua orang asing di atas perahu si nelayan miskin itu. Dua orang lelaki, yang satu sudah tua bermata buta, sedang yang lain masih muda namun buruk rupa. Begitu buruk wajah si anak muda itu sehingga Liu Yang Kun cepat-cepat melengos dan tak tahan untuk menatapnya berlama lama. Tampaknya si nelayan miskin itu memaklumi kecanggungan hati Liu Yang Kun. Bergegas ia memperkenalkan kedua orang asing itu kepada Liu Yang Kun.

   "Tuan, perkenalkan kedua orang tamu kita ini. Mereka juga akan ikut kita ke kota Cin-an. Mereka adalah kakek dan cucu dari Keluarga Lo di kota Cin-an..." Liu Yang Kun terpaksa mengangguk untuk membalas penghormatan kedua orang itu, namun di dalam hatinya pemuda itu sudah merasa curiga kepada mereka. Perasaannya mengatakan bahwa mereka itu tidak beres dan sedang melakukan sesuatu yang tersembunyi. Tapi tentu saja Liu Yang Kun tidak mau memperlihatkan kecurigaannya tersebut. Pemuda itu cuma diam saja dan pura-pura tidak menaruh perhatian kepada mereka.

   Bulan telah berada hampir di atas kepala mereka. Angin bertiup perlahan, mengusap layar perahu yang telah dipasang oleh si nelayan miskin, sehingga perahu itu melaju pula dengan perlahan. Suara kecipak air yang menghantam dinding perahu terasa lembut pula di telinga, membuat Liu Yang Kun tak tahan untuk tidak memejamkan matanya. Perahu itu tidak begitu besar, sehingga ruangannyapun juga tidak seberapa luas pula. Lebarnya tidak lebih dari dua meter, sementara panjangnya juga tidak lebih dari pada tujuh atau delapan meter. Namun demikian perahu itu tampak ramping dan gesit bila dibandingkan dengan perahu-perahu lain yang rata-rata berbentuk besar dan gemuk. Si nelayan miskin kelihatan sibuk mempersiapkan jaring-jaringnya di haluan, sementara Liu Yang Kun yang ingin beristirahat itu tampak merebahkan dirinya di atas tumpukan kain layar yang belum terkembang.

   Pemuda itu sama sekali tak peduli kepada kakek Lo dan cucunya yang duduk di belakang kemudi. Dibiarkannya kedua orang itu mengemudikan jalannya perahu itu. Hanya kadang-kadang saja pemuda itu melirik ke arah mereka. Namun lirikan itupun hanya sekejap pula, karena pemuda itu benar-benar tak tahan menyaksikan 'wajah yang rusak" dari cucu kakek Lo itu. Di dalam keremangan malam yang sunyi seperti saat itu, wajah anak muda tersebut benar-benar lebih menyeramkan dari pada hantu sendiri. Bukan cuma gigi-giginya yang besar dan mencuat lebih panjang dari pada bibirnya itu saja yang sangat menakutkan, tapi juga separuh wajahnya yang menghitam seperti jamur bangkai itu pula yang membuat hati Liu Yang Kun menjadi seram.

   Oleh karena itu Liu Yang Kun lebih suka memandang ke sekitar perahu, dimana beberapa buah perahu yang lain tampak melaju pula ke arah utara, seakan-akan perahu-perahu itu saling berlomba untuk lebih dahulu tiba di kota Cin-an. Sedangkan para penumpangnya, yang semuanya juga nelayan pencari ikan, tampak sibuk pula mempersiapkan alat-alat penangkap ikan mereka. Liu Yang Kun menarik napas panjang, kemudian memejamkan matanya. Pemuda itu merasa mengantuk dan ingin tidur barang sebentar, udara basah yang tertiup disela-sela pakaiannya membuat pemuda itu segera terlena ke dalam mimpi, sehingga si nelayan miskin yang hendak memasang layarnya itu terpaksa mengurungkan niatnya. Orang tua itu tak ingin mengusik tamunya yang baik hati itu. Ketika angin bertiup agak kencang, maka perahu-perahu yang lainpun segera melaju meninggalkan perahu si nelayan miskin.

   "Paman...! Mengapa kau tidak memasang layar seperti mereka?" tiba-tiba cucu kakek Lo yang buruk rupa itu menegur.

   "Ah... nanti saja! Biarlah mereka itu berangkat lebih dulu. Lebih baik kita mengambil jarak dengan mereka. Peralatan mereka lebih baik dari peralatanku. Aku tidak akan memperoleh hasil seekor ikanpun bila menjala ikan di dekat mereka. Lagi pula...ehm...aku tak tega membangunkan tuan pendekar yang baik hati itu." si nelayan miskin itu menjawab seraya melirik Liu Yang Kun. Si buruk muka itu mendengus tak senang.

   "Siapa bilang engkau tak akan mendapatkan hasil yang banyak bila berdekatan dengan mereka? Peralatanmu tidak terlalu kalah dengan mereka. Asalkan kau lebih pandai menebarkan dan menarik jalamu, kutanggung hasilmu justru akan lebih banyak dari pada mereka. Ayoh, jangan takut! Aku akan membantumu. Bangunkan saja tuan pendekar itu! Suruh dia tidur di tempat lain!" geramnya bersemangat sehingga air ludahnya menyembur kesana kemari.

   "Wah... mana aku berani? Tuan itu sangat baik kepadaku. Lagi pula keberangkatanku ke kota Cin-an ini juga atas kehendak dan jasa baik tuan pendekar itu pula. Bagaimana aku berani mengusik dia?" Si nelayan miskin membantah tak senang.

   "Huh! Apakah karena dia telah membayarmu? Bukankah sejak semula aku juga bersedia membayarmu berapa saja? Mengapa...?" Si buruk rupa itu menggeram lagi.

   "A Hek... sudahlah! Mengapa kau selalu tidak bisa menyabarkan hatimu?" tiba-tiba kakek Lo menegur cucunya. Si nelayan miskin itupun lalu mendengus pula. Hatinya semakin tidak suka kepada Si Buruk Rupa yang ingin memaksakan kehendaknya itu. Padahal sejak semula ia tidak mau ditumpangi mereka. Tapi Si Buruk Rupa itu tetap memaksanya juga, sehingga akhirnya ia terpaksa memperbolehkan mereka menumpang perahunya. Dan ia menolak pemberian mereka. Bahkan ia mengajukan syarat kepada mereka, yaitu mereka tidak boleh menganggu pekerjaannya. Tapi sekarang Si Buruk Rupa itu mulai mengganggunya!

   "Bukankah tuan telah berjanji untuk tidak menggangguku?" Si Nelayan Miskin mencoba mengingatkan janji mereka.

   "Persetan dengan janjimu! Bangunkan orang itu dan pasanglah layarnya! Apakah engkau ingin melihat aku menyeret dia dari tempatnya itu?" si Buruk rupa itu membentak dengan suaranya yang parau.

   "A Hek...! Mengapa kau tidak mau bersabar juga?" Kakek Lo memperingatkan cucunya lagi. Kali ini suaranya agak sedikit keras.

   "Kakek...?" Si Buruk Rupa itu mencoba membantah kata-kata kakeknya.

   "Hmh!" tiba-tiba Liu Yang Kun terbatuk.

   "Tuan...?" Si Nelayan Miskin berdesah kaget lalu bergegas menghampiri pemuda itu. Liu Yang Kun menggeliatkan tubuhnya, kemudian bangkit berdiri.

   "Pasanglah layarmu, paman! Aku sudah cukup beristirahat. Biarlah aku ke haluan untuk membantu kau memasang jaring."

   "Tuan...! Kau... kau... beristirahatlah! Aku... aku... tidak..."

   "Sudahlah! Tidak baik berbantah di atas perahu ini.Memang benar sekali apa yang dikatakan oleh kakek itu. Kita harus bisa menyabarkan hati kita sendiri." Liu Yang Kun bergumam seperti kepada dirinya sendiri.

   "Huh... lagaknya! Mentang-mentang bernama besar, lalu bersikap acuh dan meremehkan orang lain." Si Buruk Rupa bersungut-sungut mendengar sindiran itu. Liu Yang Kun tertegun. Kakinya berhenti melangkah. Namun demikian pemuda itu tidak menjawab atau menoleh sama sekali. Pemuda itu cuma menghela napas berat seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya pemuda itu memahami situasi yang dihadapinya.

   "Benar juga dugaanku tadi. Orang itu sedang melakukan sesuatu yang tersembunyi. Mungkin mereka sedang memata matai aku. Mereka tahu siapa aku. Sebaliknya... aku tidak tahu siapa mereka. Hmmh! Aku harus meningkatkan kewaspadaanku." Sementara itu kakek Lo telah menarik lengan cucunya. Orang tua itu tampak menjadi marah sekali karena peringatannya tidak diindahkan oleh Si Buruk Rupa.

   "A Hek! Kau masih mau mendengarkan kata-kataku tidak? Kalau tidak... hmmhh, aku akan pergi! Kita berpisah saja sampai disini!" dampratnya gusar. Di dalam kemarahannya kakek Lo tampak membuka kelopak matanya, sehingga kedua lobang matanya yang kosong melompong itu kelihatan sangat mengerikan.

   "Kakek...!" tiba-tiba Si Buruk Rupa itu menjerit dan menghambur ke dalam pelukan kakeknya. Untuk sesaat Liu Yang Kun menjadi kaget mendengar jeritan A Hek. Mengapa suara Si Buruk Rupa itu menjadi sangat nyaring? Demikian hebat dan tinggikah Iweekangnya? Otomatis pemuda itu membalikkan tubuhnya. Dipandangnya kedua orang cacat itu baik-baik. Terutama Si Buruk Rupa yang bernama A Hek itu. Tapi pemuda itu tidak menemukan keanehan pada diri mereka. Selain cacat muka pada diri A Hek dan cacat mata pada kakek Lo, semuanya tampak biasa-biasa saja. Oleh karena itu Liu Yang Kun lalu membalikkan badannya lagi dan meneruskan langkahnya ke haluan. Pemuda itu lalu membantu si nelayan miskin memasang jalanya.

   "Tuan...?" nelayan itu mencoba mencegahnya.

   "Sudahlah, paman. Kau pasanglah layarnya! Biarlah aku yang mengerjakan jala-jala ini..." Demikianlah, malam semakin larut. Tengah malam pun telah berlalu pula. Angin semakin kencang bertiup, sehingga perahu kecil itu pun juga semakin cepat pula menyibakkan gelombang air sungai tersebut. Akibatnya jaring mereka juga mengembang dengan baik, sehingga ikan pun juga mulai banyak yang terjaring dan terperangkap di dalam jala mereka. Si nelayan miskin menjadi heran, tapi juga sangat bergembira pula. Belum pernah selama ini ia memperoleh hasil sedemikian cepat dan mudahnya seperti sekarang. Kali ini seolah-olah ia ditolong oleh Dewa Keberuntungan dengan menggiring semua ikan-ikan di sungai itu ke dalam jaringnya.

   "Bukan main... oh... bukan main! Tuan, lihatlah! Banyak benar ikan yang kita peroleh malam ini, hehehe!" Si nelayan miskin bersorak gembira seraya menumpahkan isi jalanya ke dalam lantai perahu. Ikanpun segera berserakan, menggelepar dan berloncatan di lantai perahu. Ada yang kecil, tapi ada juga yang besar.Semuanya tampak segar-segar, sehingga menimbulkan selera untuk memakannya.

   "Paman...! Aku menjadi lapar melihatnya. Bagaimana kalau kita menyiapkan makan dengan lauk ikan itu?" Liu Yang Kun mengajukan usul sambil menelan ludahnya.
(Lanjut ke Jilid 23)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 23
"Setuju!" mendadak A Hek berseru tak terasa, sehingga semuanya tersenyum di dalam hati.

   "Baik tuan. Kalau begitu aku akan memasaknya. Tapi tolonglah awasi jaringku! Angkat saja kalau sudah banyak isinya!" Si nelayan miskin berseru pula. Demikianlah, malam itu mereka makan bersama dengan lauk ikan hasil tangkapan mereka sendiri. Rasa-rasanya perut Liu Yang Kun menjadi lapar sekali sehingga ia dan si Nelayan Miskin seperti berlomba menghabiskan hasil masakan sederhana itu. Sedangkan Si Buruk Rupa yang semula juga kelihatan bernafsu itu ternyata hanya makan sedikit saja. Bahkan lebih sedikit dari pada kakeknya malah. Keesokan harinya perahu mereka tiba di sebuah dusun besar yang sangat ramai, yang kesibukannya hampir menyamai kota kecil.

   Dusun itu disebut orang dusun He-cung atau Dusun Ikan, karena dusun itu menjadi pusat penjualan ikan di daerah itu. Dan sepagi itu pula pasar ikan yang berada di tepian sungai tersebut telah ramai dengan pedagang-pedagang yang datang dari luar daerah. Mereka memang telah biasa datang sepagi mungkin. Bahkan mereka kadang-kadang telah bermalam di pasar ikan tersebut, agar dengan demikian mereka bisa memperoleh hasil ikan dari tangan pertama. Sebab kedatangan para nelayan pencari ikan itu juga tidak bersamaan. Mereka bisa singgah atau datang ke pasar itu setelah merasa cukup mendapatkan hasil. Ada yang datang setelah matahari terbit, tapi ada yang datang juga pada hari menjelang fajar. Bahkan yang memiliki nasib baik kadang-kadang malah sudah kembali di tengah malam.

   Beberapa buah perahu yang tadi malam berlayar di dekat perahu Si Nelayan Miskin juga sudah tampak berlabuh di pasar ikan tersebut. Perahu-perahu itu juga sudah dikerumuni para tengkulak ikan. Seperti halnya perahu Si Nelayan Miskin, tampaknya mereka juga mendapatkan hasil yang melimpah pula malam tadi. Dan kedatangan perahu Si Nelayan Miskin pun segera disongsong pula oleh para tengkulak itu. Bahkan seorang diantaranya malah telah mengayuh sampannya yang kecil, mendahului yang lain, merapat di sisi perahu Si Nelayan Miskin. Seorang lelaki kurus kecil namun berperut buncit segera menggapai pinggiran perahu Si Nelayan Miskin dan meloncat naik. Sedangkan temannya yang bertugas sebagai pengayuh sampan, segera mengambil tali pengikat sampannya dan menambatkannya pada perahu Si Nelayan Miskin.

   "Ah, Tuan Coa...?" Si Nelayan Miskin menyambut kedatangan lelaki kurus itu dengan suara kurang senang sehingga Liu Yang Kun yang sedang tiduran di bangku perahu tertarik untuk melihatnya.

   "Oho... apa kabar Ciok Kwan? Lama benar kau tak muncul? Kukira kau sudah tidak berani lagi datang kesini. Apakah kau sudah menyiapkan uang untuk melunasi hutangmu? Heheheh..." lelaki kurus berperut buncit itu menyahut. Suaranya terdengar acuh dan menjengkelkan.

   "Hutang? Siapakah yang masih berhutang kepadamu?" Si Nelayan Miskin yang ternyata bernama Ciok Kwan itu tersentak marah.

   "Bukankah Tuan Coa sudah mengambil seluruh hasil penangkapan ikanku yang terakhir itu? Tuan pun tahu bahwa hasil itu sebenarnya terlalu banyak untuk melunasi hutangku kepada Tuan..." Tengkulak kurus berperut buncit itu tertawa dingin.

   "Sudah lunas? Kau anggap hasil penangkapan ikanmu dulu sudah cukup untuk membayar hutangmu? Hihihi... enak benar! Apa kau lupa bahwa hutang itu harus membayar bunga? Kau sangka hasil penangkapan ikanmu dulu itu sudah cukup untuk melunasi hutangmu kepadaku?" Si nelayan miskin atau Ciok Kwan terbelalak matanya. Tampak benar kalau hatinya sangat penasaran mendengar perkataan tengkulak ikan itu.

   "Bukankah Tuan dulu bilang kalau uang itu bukan hutang, tapi... uang muka? Dan uang muka itu Tuan berikan kepadaku, sebagai ikatan bahwa aku harus menjual semua hasil penangkapan ikanku kepada Tuan? Mengapa uang muka itu tiba-tiba berubah menjadi hutang? Bahkan kemudian... berbunga pula? Dimana ada peraturan seperti itu?"

   "Hihi-hihi..." tengkulak itu tertawa semakin menyakitkan.

   "Apa bedanya uang muka dan hutang? Pokoknya hasil penangkapan ikanmu dulu itu belum cukup untuk membayar hutangmu. Kau baru membayar pokok hutang dan... separuh bunganya. Sedang separuh bunganya yang lain kini telah beranak-pinak pula dalam beberapa bulan ini. Dan... hmmm... kelihatannya hasil ikanmu sekarang juga belum cukup untuk melunasinya, hi-hi-hiiii..." Wajah Ciok Kwan menjadi pucat seketika. Air matanya mulai menggenang dan hampir menangis.

   "Kau... kau memang bangsat! K-kau memang bukan manusia!" jeritnya serak.

   "Jangan merajuk! Aku akan memberikan keringanan kepadamu. Biarlah semua hutang itu kuanggap lunas dengan hasil ikanmu kali ini. Lain kali kita bisa mengadakan perhitungan lagi."

   "Oh... jangan!" Ciok Kwan berteriak seraya meloncat menghalang-halangi tengkulak itu. Tapi dengan sekali hentakan saja Ciok Kwan telah terpelanting menabrak pagar perahunya. Dan tengkulak itu lalu menoleh kepada tukang dayung atau pengawalnya.

   "Ambil semua ikan Ciok Kwan ini. Masukkan ke dalam sampan kita!" serunya.

   "Jangan! Oh, jangan ambil ikanku...!" Ciok Kwan merintih sambil memegangi kepalanya yang berdarah akibat membentur lantai perahu. Dengan terhuyung-huyung Ciok Kwan berdiri dan berusaha mencegah pembantu tengkulak yang bertubuh kokoh kekar itu mengambil ikan-ikannya. Tapi tentu saja usahanya itu sia-sia saja. Baru dengan si tengkulak yang berperut buncit saja ia sudah kalah tenaga, apalagi berhadapan dengan si pengawal yang berotot kekar itu. Dengan mudah si pengawal itu mengangkat tubuhnya dan membantingnya di lantai perahu.

   "Aouuuugh...!" Ciok Kwan menjerit, kemudian pingsan. Darah semakin banyak mengalir dari kepalanya. Bahkan dari lobang hidungnya pula. Peristiwa yang berlangsung dengan cepat di atas perahu itu dapat dilihat dengan jelas oleh setiap orang. Tapi apa daya mereka?

   Setiap orang di tempat itu tahu belaka, siapakah tengkulak ikan she Coa itu? Meskipun mereka merasa kasihan kepada Ciok Kwan, namun mereka juga tidak berani menghalang-halangi tindakan orang she Coa itu. Orang she Coa itu bernama Coa In Lok. Dia merupakan seorang tengkulak kaya yang licik dan sering menjerumuskan nelayan ke dalam perangkapnya. Pengawalnya sangat banyak, terdiri dari orang-orang kasar yang suka membuat onar dan kerusuhan. Hampir semua nelayan di daerah itu telah berada di dalam cengkeraman tangannya, sehingga boleh dikatakan bahwa para nelayan di daerah itu hanya merupakan orang-orang yang pekerjaannya mencari ikan, sementara hasilnya adalah Coa In Lok yang berkuasa. Nelayan-nelayan itu hanya sekedar memperoleh upah atau imbalan, padahal mereka itu mempergunakan peralatan dan perahu mereka sendiri.

   "Hi-hihi-hi... orang lemah seperti kau masih berani melawan aku. Huh!" Coa In Lok mencemooh seraya menendang punggung Ciok Kwan yang tak berdaya itu. Lalu serunya kembali kepada pengawalnya,

   "Cepat kuras ikan-ikan ini...!"

   "Baik, Tai-ya (Tuan Besar)...!" Tapi tiba-tiba terdengar suara nyaring yang mencegah mereka.

   "Tunggu!" Coa In Lok dan pengawalnya terperanjat. Mereka menoleh ke arah suara itu berasal. Seorang pemuda bertubuh tinggi namun agak kurus tampak berdiri bertolak pinggang di haluan perahu. Matanya yang mencorong dingin itu seolah-olah menyaingi sorot matahari yang baru saja terbit di ufuk timur. Tajam menyilaukan!

   Sekejap bergetar juga perasaan Coa In Lok dan pengawalnya. Namun ketika tampak belasan orang kawan mereka di atas sampan di sekitar perahu itu, hati mereka menjadi besar kembali. Dengan perasaan ditenang-tenangkan Coa In Lok balas memandang Liu Yang Kun dan kemudian juga... kakek Lo serta A Hek yang berwajah mengerikan itu! Liu Yang Kun memang tidak tahan menyaksikan kekejaman dan keserakahan Coa In Lok. Dialah yang mengeluarkan suara tadi. Ia memang terlambat tampil ke depan, karena di dalam hatinya ia berharap agar supaya kakek Lo dan cucunya itulah yang tampil ke depan menolong Ciok Kwan. Namun ternyata harapannya itu sia-sia belaka. Kedua orang itu ternyata Cuma diam saja di tempatnya. Mereka juga menunggu dan melirik saja kepadanya.

   "Hi-hihi-hi... kau siapa? Mengapa kau mencegah maksud kami untuk mengambil ikan-ikan ini? Apakah kau keluarga dari Ciok Kwan?" Coa In Lok bertanya dengan suara yang dibesar-besarkan agar tidak kentara rasa ketakutannya.

   "Aku bukan apa-apanya orang itu, tapi aku muak melihat kelakuanmu. Tampaknya kamu dan kawan-kawanmu memang telah biasa bertindak sewenang-wenang begitu. Hmmmh... awas kalau nelayan itu sampai mati karena ulah kalian!" Liu Yang Kun menggeram seraya melangkah ke tempat Ciok Kwan menggeletak.

   "Hi-hihi-hi... lagaknya! Lalu... apa maumu?" Liu Yang Kun yang hendak lewat di depan Coa In Lok dan pengawalnya itu mendelik.

   "Minggir!" bentaknya. Coa In Lok melirik pengawalnya. Meskipun sedikit gemetar tapi ia tak beranjak dari tempatnya.

   "Jangan berlagak di depanku...!" katanya.

   "Bangsat!" Liu Yang Kun mengumpat marah. Lalu tiba-tiba saja tangan Liu Yang Kun menyambar ke depan dan setengah detik kemudian pengawal yang hendak berlagak melindungi Coa In Lok itu telah terangkat tinggi-tinggi di udara. Selanjutnya sekali tangan Liu Yang Kun dikibaskan, tubuh pengawal itu terlempar jauh keluar perahu. Byuuur! Pengawal itu tercebur ke dalam air.

   "Ooh...???" Coa In Lok terpekik ketakutan. Otomatis ia melangkah mundur untuk memberi jalan kepada Liu Yang Kun. Pada saat yang sama di pinggir sungai terdengar tepukan riuh para penonton yang menyaksikan peristiwa tersebut. Rata-rata para penonton itu sangat bergembira melihat orang yang mereka benci itu dihajar orang. Tapi tepuk tangan itu segera terhenti pula ketika tiba-tiba muncul beberapa orang kaki-tangan Coa In Lok di tepi sungai itu.

   Orang-orang itu mendelik ke arah penonton, lalu bergegas mengambil sampan dan bergabung dengan teman-teman mereka di sekitar perahu Ciok Kwan. Dua orang diantara mereka lalu meloncat ke atas perahu Ciok Kwan dan menolong majikan mereka turun ke sampan, setelah itu mereka memberi aba-aba untuk mengepung perahu Si Nelayan Miskin itu. Sekarang para penonton menjadi cemas memikirkan keselamatan Liu Yang Kun. Semuanya terdiam sambil berdoa agar supaya orang yang belum mereka kenal itu dapat menyelamatkan diri dari kekejaman anak-buah Coa In Lok. Kalau semua orang pada mencemaskan dirinya, sebaliknya Liu Yang Kun sendiri justru bersikap acuh tak acuh malah. Sama sekali pemuda itu tak mempedulikan keadaan sekitarnya. Perhatiannya hanya tercurah kepada Ciok Kwan yang pingsan.

   "Paman...! Paman...! Sadarlah! Ikanmu ada di sini..." Pemuda itu berbisik sambil memijit dan mengurut beberapa jalan darah di dada dan di leher Ciok Kwan.

   "Oooooooh...?" Ciok Kwan mengeluh dan tersadar dari pingsannya.

   "Paman...? Apakah yang kau rasakan? Katakan! Jangan takut! Aku ada di dekatmu. Aku siap membantu paman..." Ciok Kwan membuka matanya. Begitu tahu Liu Yang Kun ada di sampingnya, tangannya segera mencengkeram lengan pemuda itu. Matanya memandang dengan penuh harapan.

   "Tuan... oh... Jangan biarkan bangsat itu merampas ikanku! Aku tak merasa berhutang kepadanya. Manusia serakah itu hanya ingin menguasai hasil ikanku," Ciok Kwan merintih.

   "Jangan khawatir, paman. Aku akan membantumu. Aku takkan membiarkan mereka mengambil ikanmu. Akan kubunuh siapa saja yang berani menyentuhnya."

   "Te-terima kasih, tuan. Bangsat itu... bangsat itu memang sudah selayaknya mati. Sudah banyak orang yang dibunuhnya. Sudah banyak orang yang dibuatnya menderita. Sudah banyak keluarga nelayan yang menjadi korbannya. Dia... dia memang patut mati." Liu Yang Kun menggeretakkan giginya. Wajahnya terangkat dan matanya yang mencorong mengerikan itu mencari Coa In Lok. Namun keningnya segera berkerut. Ia tidak mendapatkan si tengkulak busuk itu di tempatnya. Sebaliknya pemuda itu malah melihat belasan manusia kasar mengepungnya. Mereka berada di atas sampan sampan kecil di sekeliling perahunya. Sekali lagi Liu Yang Kun menggeretakkan giginya.

   "Benar, paman. Tampaknya orang itu memang sudah ingin mati. Dia mengerahkan orang-orangnya untuk membakar perahu kita. Tapi paman tak usah khawatir. Mereka takkan bisa berbuat apa-apa kepadamu. Di atas perahu ini banyak orang yang mampu mengusir dan... bahkan memusnahkan mereka itu," katanya sambil melayangkan pandangannya ke arah kakek Lo dan cucunya yang diam saja sejak tadi. Ciok Kwan membelalakkan matanya ketika menyaksikan belasan lelaki kasar mengepung perahunya dengan obor yang siap untuk dilontarkan.

   "To-tolonglah, tuan..." bisiknya ketakutan.

   "Heii... Ciok Kwan! Suruh kawanmu itu menyerahkan diri, lalu tinggalkan perahumu! Kau akan memperoleh pengampunan dari Tuan Coa!" tiba-tiba terdengar salah seorang diantara lelaki kasar itu berseru. Dan ketika Liu Yang Kun memandang, dilihatnya pengawal yang ia lemparkan ke sungai tadi telah ditolong kawan-kawannya. Tampaknya dia adalah kepala dari kawanan lelaki kasar itu. Meskipun pakaiannya basah kuyup, namun wajahnya tampak merah padam menahan marah.

   "Ba-ba bagaimana ini... tuan? Me-mere-mereka... hendak membakar kita semua." Ciok Kwan semakin pucat dan gugup. Bibirnya gemetaran. Liu Yang Kun menghela napas panjang, lalu bangkit berdiri. Otaknya sibuk mencari jalan yang baik untuk mengatasi keadaan yang dihadapinya.

   "Aku memang bisa saja menghabisi mereka. Tapi kalau mereka benar-benar mau membakar perahu ini memang sulit bagiku untuk menyelamatkannya. Kecuali kalau kakek Lo serta cucunya itu mau turun tangan membantuku," pikir pemuda itu seraya melirik teman seperahunya yang cacat itu.

   "Ciok Kwan...! Ayo cepat! Apa kau ingin melihat berkobarnya api dulu di perahumu, heh?" pengawal Coa In Lok itu mengancam lagi. Liu Yang Kun menggeram kemudian dengan sangat terpaksa ia menoleh ke arah kakek Lo dan A Hek.

   "Nah... kita tak mempunyai banyak waktu lagi. Mereka akan segera membakar perahu kita ini. Terserah kepada jiwi (tuan berdua) untuk mengambil sikap. Jiwi akan tetap berdiam diri saja, atau... ikut membantu aku menyelamatkan perahu ini," katanya dingin. A hek tetap berdiam diri. Cuma matanya saja yang melirik ke arah kakeknya. Tampaknya hatinya tetap tak tergoyahkan juga menyaksikan kekejaman Coa In Lok terhadap Ciok Kwan tadi. Tampaknya perasaannya juga sekejam wajahnya yang buruk itu.

   "Baiklah, siauw-hiap. Kami berdua akan membantumu menyelamatkan perahu ini. Bagaimanapun juga kami masih membutuhkan perahu ini sampai di Cin-an nanti," akhirnya kakek Lo yang menjawab.

   "Bagus. Kalau begitu kuserahkan keselamatan perahu ini kepada jiwi. Aku akan menghadapi orang-orang itu," sahut Liu Yang Kun lega.

   "Bagaimana, Ciok Kwan...? Kuhitung sampai lima, kalau kau tetap berdiam diri... aku akan memerintahkan untuk membakar perahumu. Nah, satu... dua... tiga...?" Pengawal itu mulai menghitung.

   "Bangsat! Pergi kalian dari sini!" Liu Yang Kun memotong dengan suara menggeledek. Lalu kakinya menjajal lantai dan tiba-tiba saja tubuhnya 'terbang' menyerang.

   "Aaaaah...??" Untuk sekejap semua orang tertegun dan berdesah kaget menyaksikan kehebatan ginkang Liu Yang Kun itu. Namun bagi orang-orang Coa In Lok rasa kaget itu segera berubah menjadi rasa cemas yang luar biasa pula. Dalam sekejap itu juga mereka segera menyadari bahaya yang hendak mengancam mereka. Terutama si pimpinan pengawal Coa In Lok yang secara langsung mendapat serangan Liu Yang Kun tersebut.

   "Cepat menghindar...!!" tangan kanan Coa ln Lok itu berteriak parau seraya bergegas melompat ke sampan yang lain. Orang-orang yang satu sampan dengan dia pun cepat melompat pula ke sampan yang lain. Meskipun demikian sambil melompat tidak lupa mereka menyambut kedatangan Liu Yang Kun dengan melemparkan obor yang ada di tangan mereka pula.

   "Wuuuut! Wuuuut! Braaaak!" Dengan mudah obor-obor itu ditepiskan Liu Yang Kun sehingga obor tersebut pecah dan apipun bertebaran kemana mana membakar minyak yang tertumpah dari dalamnya! Sebaliknya di dalam kemarahannya Liu Yang Kun segera mengerahkan lweekang ke kakinya, sehingga ketika ia mendarat di atas sampan si pengawal yang kosong itu, maka tiada ampun lagi sampan tersebut hancur berantakan! Belasan anak buah Coa In Lok itu semakin merasa kaget dan cemas menyaksikan kelihaian Liu Yang Kun. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu sedemikian hebat kepandaiannya.

   "Lemparkan obor...!" dalam ketakutannya pemimpin pengawal Coa In Lok itu berteriak. Sesaat kemudian, bersamaan dengan melentingnya kembali tubuh Liu Yang Kun dari sampan yang pecah itu, maka belasan atau bahkan puluhan buah obor pun segera berterbangan di atas permukaan sungai yang amat lebar tersebut. Sebagian diantaranya tampak melayang ke perahu Ciok Kwan, sementara yang sebagian lagi tampak menyerang tubuh Liu Yang Kun. Tapi baik Liu Yang Kun maupun kakek Lo segera beraksi pula. Mati-matian mereka menghalau obor itu.

   Dengan kaki dan tangannya, atau kadang-kadang dengan pukulan jarak jauhnya Liu Yang Kun meruntuhkan obor-obor itu, sementara kakek Lo mengayunkan tongkatnya kesana-kemari menghalau obor-obor yang hendak menimpa perahunya. Meskipun buta ternyata kakek tua itu hampir bisa menangkis semua obor yang datang. Sementara obor yang dapat lolos dari tongkatnya segera dipungut oleh A Hek untuk dilempar kembali kepada pemiliknya. Alhasil di atas sungai itupun segera berlangsung perang obor yang sangat mengasyikkan! Para penonton yang memadati pinggiran sungai itu segera bersorak-sorak riuh. Apalagi ketika mereka menyaksikan orang-orang Coa In Lok yang tak mereka sukai itu tampak kewalahan menghadapi Liu Yang Kun yang "beterbangan" seperti burung walet diatas sampan-sampan itu.

   Bahkan sambil menyambarnyambar Liu Yang Kun dapat melumpuhkan lawannya satu persatu. Beberapa buah sampan tampak pecah atau terbalik ketika dilewati pemuda itu.Namun kegembiraan para penonton segera berubah menjadi ketegangan yang luar biasa ketika "perang api" itu berubah menjadi "pesta kebakaran" diatas sampan-sampan tersebut, yang kemudian bahkan ke sampan-sampan dan perahu-perahu yang sedang berlabuh di tepi sungai tersebut. Penonton pun segera bubar berlarian menyelamatkan diri. Penonton yang merasa memiliki perahu atau sampan di tepian sungai itu pun bergegas pula dengan sekuat tenaga untuk menyelamatkan miliknya tersebut dari kobaran api. Tak seorang pun lagi yang memperhatikan atau menonton pertempuran diatas sungai. Semua perhatian hanya tertuju kepada api yang mengamuk di tepian sungai tersebut.

   "Gila! Tak kusangka semuanya akan jadi begini! Tak kusangka tumpahan dan percikan minyak obor itu bisa menimbuIkan kebakaran besar seperti ini." Liu Yang Kun mengeluh kesal sambil berloncatan menyelamatkan dirinya. Tangan kanannya tampak menjinjing tubuh Ciok Kwan yang juga telah berhasil ia selamatkan dari kobaran api itu pula. Namun pemuda itu tak tahu bagaimana nasib kakek Lo dan A Hek. Demikianlah, sepagi itu penduduk dusun tersebut telah disuguhi "pesta api" yang sangat menggemparkan. Ternyata tak seorangpun yang mampu menjinakkannya, meskipun kebakaran itu berlangsung diatas sungai yang berlimpah airnya. Hanya beberapa buah perahu saja yang selamat. Itupun karena mereka ditambatkan agak jauh dari tempat kebakaran, sehingga lidah api yang berkobar-kobar itu tak kuasa menjilatnya.

   Dari belasan anak buah Coa In Lok itu ternyata hanya empat orang yang bisa menyelamatkan diri. Itupun dengan luka-luka bakar yang hampir menghancurkan seluruh kulit tubuh mereka. Sedangkan pengawal-pengawal yang lain telah tewas dan tenggelam bersama sampan-sampan mereka. Dan kini diatas sungai tersebut tinggallah bekas-bekas rongsokan perahu dan sampan, yang terapung berserakan diantara genangan minyak yang belum terbakar. Perlahan-lahan mereka hanyut didorong aliran air sungai. Di beberapa tempat masih tampak asap mengepul dari kayu-kayu yang belum sepenuhnya padam dari cengkeraman api. Liu Yang Kun membawa Ciok Kwan ke pinggir. Diletakkannya tubuh nelayan yang pingsan itu di bawah sebuah pohon yang rindang. Pemuda itu sengaja mencari tempat yang agak jauh dari tempat kebakaran tadi.

   "Tuan...? Apakah tuan yang bernama Tuan Chin atau Tuan Liu?" Tiba-tiba seorang nelayan setengah baya muncul dari balik semak-semak dan menegur Liu Yang Kun. Dengan agak takut-takut nelayan itu mendekat. Otomatis Liu Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya. Matanya menatap nelayan itu dengan tajamnya.

   "Benar. Lopek siapa...? Mengapa mengetahui namaku?" Liu Yang Kun menjawab hati hati.

   "Ooh...!" nelayan yang baru datang itu berdesah lega.

   "Aku sudah menduganya sejak tadi. Sejak tuan mulai datang dan berselisih paham dengan tuan Coa itu. Apalagi seseorang telah mengatakan ciri-ciri tuan..." Nelayan itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya.

   "Tuan Chin... Seseorang telah menitipkan surat kepadaku. Dia minta agar aku mau menyerahkan surat itu kepada tuan. Dan... inilah surat itu!" katanya sambil menyerahkan kertas surat itu kepada Liu Yang Kun. Dengan agak ragu-ragu Liu Yang Kun menerima kertas itu, kemudian membukanya. Hatinya segera berdesir keras ketika terbaca tulisan 'Teman Lama' di akhir surat itu.

   "Ah... si sastrawan itu lagi!" Liu Yang Kun berdesah seraya membaca isi surat tersebut.

   Saudara Chin,
Berhati-hatilah di dusun yang tampaknya kecil ini! Jangan sekali-kali berurusan dengan Coa In Lok, seorang tengkulak kaya yang amat berpengaruh di daerah ini! Maaf, terus terang aku belum bisa menjelaskan alasan-alasannya, karena aku sendiri juga belum sempat menyelidikinya. Namun yang terang orang itu sangatlah berbahaya. Dia sendiri tidak bisa silat, tapi dia mempunyai hubungan dengan seorang tokoh yang sangat berbahaya dari dunia persilatan!
Teman Lama

   "Hmm... sudah terlambat! Aku sudah terlanjur berurusan dengan tengkulak kaya itu. Bahkan aku sudah mengobrak-abrik para pengawalnya." Liu Yang Kun bergumam begitu selesai membaca surat itu. Lalu katanya kepada nelayan yang membawa surat itu,"Lopek! Kapan surat ini dititipkan kepadamu? Kau kenal siapa nama orang itu?" Nelayan setengah baya itu menggelengkan kepalanya.

   "Saya belum pernah melihat atau mengenalnya, tuan. Saya baru melihatnya ketika dia datang menitipkan surat itu di pagi-pagi buta tadi," jawabnya perlahan.

   "Di pagi buta? Apakah dia juga naik perahu?"

   "Ya. Tapi perahu itu hanya singgah sebentar. Cuma menambah perbekalan dan menjual hasil ikannya yang tidak begitu banyak. Tampaknya pemilik perahu itu sangat tergesa-gesa. Dan sementara para pekerja menurunkan ikan dari perahu, nona itu datang mendekati aku dan... menitipkan surat itu."

   "Nona...?" Liu Yang Kun tersentak kaget.

   "Dia... seorang gadis? Dia bukan seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan?" Saking kagetnya mendengar penuturan nelayan itu, Liu Yang Kun sampai lupa diri. Tangannya mencengkeram pundak nelayan tersebut, sehingga orang itu sampai menjerit kesakitan. Untunglah pemuda itu tidak mengerahkan tenaga saktinya.

   "Eh-oh... maaf, Lopek... aku tak sengaja. Aku betul-betul kaget ketika kau katakan bahwa orang yang menitipkan surat itu adalah seorang gadis. Aku benar-benar tak menyangkanya." Sambil mengusap-usap pundaknya yang masih terasa sakit, nelayan itu mengangguk-angguk.

   "Tak apa, tuan, tampaknya tuan memang betul-betul terkejut mendengar keteranganku tadi. Dan agaknya tuan juga belum mengenal nona cantik itu."

   "Nona cantik...?" Liu Yang Kun menegaskan.

   "Benar. Nona itu memang cantik sekali..."

   "Oooooh...!" Liu Yang Kun berdesah. Pemuda itu lalu duduk lemas di tanah. Pikirannya menjadi kacau. Benar-benar kacau. Manakah sebenarnya keterangan yang betul? Keterangan yang diberikan oleh pelayan rumah penginapan itu atau keterangan nelayan separuh baya ini? Mengapa keterangan mereka tentang 'teman lama' itu sangat berbeda? Manakah yang benar, seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan ataukah seorang gadis muda yang cantik sekali? Si nelayan pembawa surat itu menjadi kikuk juga menyaksikan Liu Yang Kun hanya terdiam dan termenung saja setelah membaca surat yang dibawanya itu. Oleh karena itu diam-diam ia melangkah mundur dan pergi dari tempat tersebut.

   "Uuuuuuh...?!" tiba-tiba Ciok Kwan yang pingsan itu mengeluh sadar. Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya. Matanya nyalang mencari nelayan yang membawakan surat untuknya itu. Tapi ia tak menemukannya. Orang itu telah pergi. Sebaliknya ia melihat Ciok Kwan telah siuman dari pingsannya. Nelayan miskin yang kini juga telah kehilangan perahunya pula itu tampak bangkit dari tidurnya. Dan begitu sadar orang itu segera teringat perahunya.

   "Oh... oh... perahuku? Perahuku...? di-di-dimana... dia?" jeritnya parau dengan wajah pucat pasi. Matanya tampak melotot memandang Liu Yang Kun dengan sinar mata putus-asa. Liu Yang Kun tak kuasa menatap wajah itu lama-lama. Ia mengerti perasaan nelayan miskin itu. Hatinya ikut menyesal pula. Dan ia merasa turut bertanggung-jawab atas hilangnya harta-benda satu-satunya dari keluarga miskin itu.

   "A-a-apa... apakah ia turut terbakar...?" orang tua itu berkata pula hampir menangis. Liu Yang Kun terdiam bingung serta tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tak ingin melihat sinar penderitaan dan keputus-asaan di wajah orang yang telah kenyang dengan kesengsaraan hidup itu.Tapi bagaimana ia harus mengembalikan perahu yang sudah musnah terbakar itu? Tak terasa pemuda itu menggeram.

   "Aku harus mendapatkan gantinya! Persetan dengan peringatan 'Teman Lama' itu. Aku akan menuntut Coa In Lok! Dialah biang keladi semua kejadian ini! Huh!"

   "Tu-tuan bilang a-a-apa...?" Ciok Kwan tergagap meminta penjelasan. Sekali lagi Liu Yang Kun menggeram. Kini lebih keras.

   "Paman, kau tak usah khawatir karena...kehilangan perahumu. Aku akan mencarikan gantinya! Kau tunggulah disini, aku akan ke rumah tengkulak busuk itu!" Bukan main terkejutnya Ciok Kwan!

   "Ja-ja-jangan... tuan! Dia... dia...?" Tapi sambil mendengus dingin Liu Yang Kun telah berkelebat pergi dari tempat itu. Lapat-lapat masih terdengar suara ancamannya!

   "Paman tak usah takut! Lihat saja! Kalau bangsat busuk itu tak mau mengganti semua kerugianmu, hmmh... seluruh harta bendanya juga akan terbakar musnah seperti perahumu itu!"

   "Ooooh!" Ciok Kwan berdesah ngeri. Sekejap saja Liu Yang Kun telah berada di tepian sungai itu kembali. Dan dilihatnya orang-orang masih ribut mengurusi bekas-bekas kebakaran tadi. Sebagian dari mereka tampak mengangkuti barang-barang yang masih dapat diselamatkan dari amukan api. Sementara yang lain lagi tampak sibuk mengumpulkan dan merawat mayat-mayat yang terapung di atas sungai. Mereka kelihatan sibuk dan bekerja tanpa pamrih, seakan-akan mereka semua telah melupakan kebencian mereka kepada orang-orang yang sering berlaku kejam terhadap mereka itu. Dan semuanya segera terperanjat serta berdebar-debar hatinya begitu melihat Liu Yang Kun! Sama sekali mereka tak menyangka kalau pemuda itu kembali lagi. Mereka mengira kalau pemuda itu telah jauh meninggalkan dusun mereka.

   "Tuan...? Eh... mengapa tuan kembali lagi ke sini?" seorang nelayan tua segera menegurnya. Wajahnya tampak cemas.

   "Benar! Mengapa tuan kembali lagi! Pergilah cepat! Sebelum Tuan Coa datang lagi dengan se luruh kekuatannya!" yang lain datang pula memperingatkan.

   "Betul, tuan. Tuan jangan membahayakan diri tuan sendiri. Kami seluruh penduduk desa ini sudah sangat berterima kasih sekali melihat sepak terjang tuan tadi. Sekarang tuan harus lekas-lekas meninggalkan dusun ini! Tuan tak usah menentang seluruh kekuatan Tuan Coa yang amat kuat itu. Tengkulak busuk itu sudah cukup mendapat pengajaran..." seorang nelayan berambut putih ikut pula memberi peringatan. Liu Yang Kun tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengucapkan rasa terima kasih atas perhatian mereka. Namun demikian ia juga menyatakan bahwa dirinya tak berniat untuk pergi meninggalkan desa itu sebelum semuanya menjadi beres. Bahkan dengan suara tegas ia menanyakan tempat tinggal Coa ln Lok.

   "Biarlah kuselesaikan sekalian urusanku dengan dia itu agar dia tak membalas dendam kepada penduduk yang tak bersalah! Kalau perlu akan kubasmi habis semua kaki-tangannya, sehingga dusun yang ramai ini menjadi aman...!" katanya menambahkan. Ucapan pemuda itu segera disambut dengan gembira oleh orang-orang itu.

   Mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan dan kesaktian pemuda itu. Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang merasa sangsi atas keberhasilannya, karena bagaimanapun juga mereka telah menyaksikan kekuatan Coa In Lok dan anak-buahnya yang banyak itu. Setelah puluhan tahun keluarga tengkulak kaya itu berkuasa di daerah mereka. Tapi sorak-sorai gembira itu segera terdiam ketika belasan orang lelaki kasar mendatangi tempat itu. Bahkan beberapa orang yang berhati kecil telah berlari lintang-pukang menyelamatkan diri. Sementara yang lain, yang tak sempat lari, tampak gemetaran kakinya. Mereka memandang kedatangan lelaki-lelaki kasar itu dengan wajah pucat seperti mayat. Liu Yang Kun membalikkan tubuhnya. Dipandangnya belasan lelaki yang datang itu, dan ia segera bisa menebak siapa yang telah datang. Otomatis tangannya terkepal. Matanya menyala.

   Seorang diantara kawanan lelaki kasar itu maju ke depan. Wajahnya yang tinggi besar, dengan cambang dan jenggotnya yang lebat itu sungguh membuat orang menjadi segan dan takut. Dan perhatian orang itu segera tertuju kepada Liu Yang Kun, karena sikap dan penampilan pemuda itu sama sekali lain dengan orang-orang yang ada di tempat itu. Kalau semua orang tampak pucat ketakutan, sebaliknya pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan pada raut mukanya menampakkan wibawa atau perbawa yang menggetarkan hati siapapun yang menghadapinya. Tak terkecuali si tinggi besar yang berjenggot lebat itu! Sementara itu hari telah semakin siang. Matahari telah merangkak semakin tinggi. Perahu pun semakin banyak yang berdatangan pula. Dan rata-rata semuanya menjadi kaget dan heran menyaksikan bekas-bekas kebakaran di tempat itu.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Apalagi ketika melihat mayat mayat yang bertebaran di segala tempat. Diantara perahu-perahu yang datang tampak pula sebuah perahu penumpang yang tiba dari arah hilir atau dari kota Cin-an. Kelihatannya perahu penumpang itu hendak singgah dulu sebelum melanjutkan perjalanannya ke kota An-lei. Seorang lelaki gagah berusia empatputuh lima tahunan ikut turun dari atas perahu tersebut. Di belakangnya berjalan juga dua orang pengawal yang umurnya juga sebaya dengan lelaki itu. Yang agak mengherankan pada orang-orang itu adalah kulit mereka. Ketiga-tiganya memiliki kulit yang amat pucat seolah-olah tak berdarah. Sementara sinar mata mereka tampak ganjil dan mengerikan. Seperti halnya para penumpang yang turun dari perahu itu, maka ketiga orang itu pun juga berjalan mendekati Liu Yang Kun yang sedang menantikan kedatangan lelaki-lelaki kasar tersebut.

   "Hmmh... kaukah yang telah membikin onar dan membunuh beberapa orang teman kami?" si tinggi besar bercambang lebat itu menghardik Liu Yang Kun. Liu Yang Kun menyeringai dan menganggukkan kepalanya.

   "Benar! Dan sungguh kebetulan sekali kalian datang kesini, sehingga tak perlu berpayah-payah mencari rumah majikanmu," jawab pemuda itu tak kalah kakunya.

   "Maksudmu...?" si tinggi besar itu tersentak kaget dengan suara bergetar.

   "Maksudku? Hmmh! Antarkan aku ke rumah Coa In Lok keparat itu! Aku hendak membuat perhitungan dengan dia!" Liu Yang Kun menggeram dengan suara menggeledek.

   "Bangsat...!!" si tinggi besar itu mengumpat. Tiba-tiba kawanan lelaki kasar itu menebar dan masing-masing juga telah mencabut senjatanya. Mereka mengepung Liu Yang Kun. Dan orang-orang yang berada di tempat itupun segera berlarian menyingkir. Begitu pula dengan tiga orang lelaki pucat itu. Mereka juga menyingkir, meskipun tidak berlarian seperti yang lain. Mereka melangkah dengan tenang. Bahkan di wajah mereka tersungging senyuman gembira melihat tontonan kekerasan yang hendak berlangsung di depan mereka itu.

   "Minggir...!" beberapa orang diantara lelaki kasar itu menggertak melihat langkah mereka yang pelan itu.

   "Kurang..." salah seorang dari kedua pengawal lelaki gagah itu hendak mengumpat, tapi cepat dicegah oleh lelaki gagah tersebut.

   "Ssssst... biarkan saja! Kita lihat dulu keramaian ini!" lelaki gagah itu berkata, lalu menarik lengan kedua pengawalnya ke pinggir.

   "Maaf, suheng... dia...?" pengawal itu mencoba membela diri. Tapi belum juga pengawal itu menyelesaikan kata-katanya, beberapa orang lelaki kasar yang membentaknya itu tiba-tiba mendelik dan kemudian jatuh tertelungkup diatas tanah. Kulit tubuh mereka tiba-tiba juga berubah menjadi putih pucat seperti kapur, sementara dari lobang mulut, hidung dan telinga mereka mengalir darah segar. Mereka tewas dengan mengerikan! Tentu saja lelaki gagah itu menjadi kaget. Sambil menggamit lengan pengawalnya ia berbisik.

   "Hei, Nyo-Sute...? Kenapa orang itu? Diam-diam kau telah melepaskan Jarum Cit-hoan tok-ciam (Jarum Beracun Tujuh Langkah) ya?"

   "Maaf, Kim suheng... aku tak sengaja," bisik orang yang disebut Nyo-sute itu sambil menundukkan kepalanya. Orang yang ketiga dari mereka itu segera menengahi.

   "Sudahlah, Kim suheng...Nyo suheng telah terlanjur berbuat dan ia sudah mengakui kesalahannya. Maafkanlah dia," katanya dengan berbisik pula. Kemudian sambungnya lagi.

   "Dan...kukira orang-orang itu juga tidak tahu kalau yang membunuh kawan-kawan mereka adalah Nyo suheng."

   "Hmmmh...kuharap memang demikian. Tapi siapa tahu ada orang yang bisa melihatnya? Misalnya pemuda jangkung itu?" lelaki gagah itu menggeram tertahan seraya melirik Liu Yang Kun.

   "Dan sebenarnya aku juga tidak peduli kalau Nyo sute itu suka membunuh orang. Kukira selama ini aku juga tak pernah melarang atau menghalang-halanginya. Tapi saat ini kita sedang bertugas mencari dan melacak tempat tinggal suhu. Kalau belum-belum kita sudah membikin onar di daerah yang kita tuju, bagaimana kita bisa menemukan orang tua itu?" Sebenarnyalah bahwa orang-orang Coa In Lok itu tiada yang tahu persis siapa yang membunuh teman-teman mereka itu. Bahkan mereka itu, terutama si tinggi besar bercambang lebat itu cenderung untuk menuduh bahwa Liu Yang Kun lah yang telah menewaskan kawan-kawan mereka tersebut.

   "Bangsat pembunuh! Kau memang licik dan kejam luar biasa!" teriaknya seraya menyerang Liu Yang Kun dengan golok besarnya. Tetapi Liu Yang Kun yang tahu siapa sebenarnya pembunuh orang-orang Coa In Lok itu juga tidak mempedulikan tuduhan tersebut. Bahkan tiba-tiba pemuda itu juga tidak berselera untuk melayani orang-orang kasar itu. Perhatiannya tiba-tiba terpusat pada tiga orang misterius itu! Namun karena ia diserang oleh si tinggi besar, bahkan kemudian juga diikuti pula oleh kaki tangan Coa In Lok yang lain, maka pemuda itu terpaksa harus bergerak pula untuk melayani serbuan mereka.

   Untunglah kawanan lelaki kasar pimpinan si tinggi besar tersebut tidak banyak bedanya dengan kawanan pengawal yang dibawa oleh Coa In Lok tadi pagi. Mereka hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuatan otot belaka. Jikalau mereka memiliki ilmu-silat, itupun juga hanya sekedar ilmu siLat biasa pula, yang tidak mempunyai keistimewaan atau kehebatan yang pantas untuk ditakuti. Apalagi oleh Liu Yang Kun yang telah mencapai tingkat hampir sempurna itu. Sebenarnya tanpa menghindarpun senjata orang-orang itu takkan mampu menggores atau melukai kulit daging Liu Yang Kun. Hanya saja pemuda itu memang tak ingin pakaiannya menjadi rusak oleh sabetan-sabetan senjata mereka. Demikianlah, sambil melayani keroyokan orang-orang Coa In Lok, diam-diam Liu Yang Kun tak pernah melepaskan perhatiannya kepada tiga orang yang mencurigakan itu.

   "Ketiga orang itu tentu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Dan yang jelas orang itu suka menggunakan racun pula. Aku harus berhati-hati bila berhadapan dengan mereka. Apalagi kelihatannya mereka bertiga juga bukan orang baik-baik," pemuda itu berkata di dalam hatinya. Akhirnya pemuda itu menjadi bosan juga melayani orang-orang Coa In Lok itu. Ketika kemudian ia meningkatkan ginkangnya, maka kawanan manusia kasar itupun segera menjadi bingung dan kehilangan lawan.

   Mereka lalu menyerang dengan ngawur sehingga yang terjadi kemudian adalah saling gebuk diantara mereka sendiri. Korbanpun segera berjatuhan. Dan pertempuran itupun segera berhenti pula dengan sendirinya. Ternyata mereka menjadi sadar bahwa mereka telah terhanyut dalam pertempuran diantara mereka sendiri, sementara lawan yang harus mereka hadapi justru telah tiada diantara mereka. Pemuda yang mereka keroyok itu sudah berdiri tenang di pinggir arena. Tentu saja kenyataan itu telah membuka pikiran mereka. Sekarang mereka menyadari bahwa pemuda yang hendak mereka tangkap itu sebenarnya memiliki ilmu s ilat yang sangat tinggi, yang tidak mungkin dapat mereka lawan. Satu-satunya jalan hanyalah meninggalkan tempat itu dan melaporkannya kepada Coa In Lok, majikan mereka.

   "Nah... bagaimana sekarang? Mau tidak mengantarkan aku ke rumah majikanmu? Atau... kalian ingin melanjutkan lagi permainan ini?" dari pinggir arena Liu Yang Kun berseru kepada mereka.

   "Ba-baiklah...! Marilah tuan kami antar ke sana...!" akhirnya si lelaki tinggi besar bercambang lebat itu menjawab lemah.

   Segores luka tapak memerah di atas punggungnya, akibat senjata temannya sendiri yang tak sengaja. Si tinggi besar itu lalu memerintahkan anak-buahnya untuk merawat dan membawa teman-temannya yang mati ataupun terluka beserta mereka. Kemudian ia berjalan mendahului, setelah lebih dahulu mempersilakan Liu Yang Kun untuk mengikutinya. Liu Yang Kun melirik sekejap ke arah tiga orang asing yang dicuriganya itu, kemudian melangkah mengikuti rombongan kaki tangan Coa In Lok tersebut. Dan penduduk yang berada di tepian sungai itupun lantas bubaran pula, sementara yang belum menyelesaikan pekerjaannya segera melanjutkan lagi. Cuma sekarang mereka tinggal membersihkan bekas-bekas kebakaran itu saja, karena mayat-mayat kaki tangan Coa In Lok sudah dibawa serta kawanan manusia kasar anak-buah tengkulak kaya itu.

   "Hei... lalu bagaimana dengan kita bertiga, Kim suheng?" salah seorang diantara tiga orang asing itu tiba-tiba berbisik kepada yang lain. Dan orang yang diajak berbicara itu tampak mengerutkan keningnya.

   "Hmm... bagaimana, ya? Bagaimanakah kalau menurut pendapatmu, Tang Sute?" lelaki gagah itu balik bertanya. Saudara termuda yang dipanggil dengan sebutan 'Tang Sute' itu juga mengerutkan dahinya pula.

   "Wah, kalau aku... menurut saja semua keputusan Kim suheng dan Nyo suheng. Uh, bagaimana pendapatmu, Nyo suheng?" Orang yang tadi telah membunuh beberapa orang kaki-tangan Coa In Lok dengan jarum Ci-hoan-tok-ciam itu juga mengangkat pundaknya.

   "Akupun terserah kepada Kim suheng. Dialah yang tertua diantara kita bertiga. Dan dia pula yang menjadi wakil suhu selama beliau pergi." jawabnya pelan.

   "Baiklah... baiklah! Kalau begitu kita ikuti saja rombongan orang-orang itu tadi. Sambil melihat-lihat keramaian, kita menyelidiki daerah ini. Kata suhu ia berada di sekitar dusun ini," lelaki gagah Itu akhirnya memutuskan.

   "Kalau begitu... marilah kita cepat berangkat! Mereka keburu hilang dari pandangan kita," orang yang disebut Tang Sute itu menyahut dengan cepat. Bergegas ketiga orang asing itu mengejar rombongan Liu Yang Kun. Seperti yang mereka ucapkan tadi, mereka berjalan sambil me lihat-lihat suasana di sekeliling mereka. Sungguh sangat kebetulan bagi mereka, karena rombongan Liu Yang Kun itu berjalan dengan lambat.

   "Heran benar aku. Mengapa suhu harus pergi jauh-jauh ke sini kalau cuma untuk mengobati luka-lukanya? Mengapa beliau tidak tinggal di rumah saja bersama kita? Bukankah dengan demikian beliau akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik?" orang yang dipanggil dengan sebutan "Tang Sute" itu berkata kepada saudara-saudaranya.

   "Benar. Aku sendiri diam-diam juga merasa heran pula di dalam hati. Tidak hanya sekali ini suhu mendapat luka di dalam pertempuran. Tapi baru kali ini aku melihat suhu sampai harus bersembunyi dan merahasiakan tempat tinggalnya hanya untuk mengobati lukanya. Demikian parahkah lukanya?" orang kedua yang dipanggil dengan nama Nyo suheng atau Nyo Sute tadi menambahkan pula. Orang yang tertua, namun justru yang memiliki perawakan paling gagah itu, berpaling ke arah adik-adiknya. Terdengar tarikan napasnya yang panjang ketika ia menyahut ucapan adik-adik seperguruannya itu.

   "Entahlah, Sute... akupun juga tidak bisa menebak maksud suhu. Sejak perselisihan dengan Toa-suheng, sehingga akhirnya Toa-suheng meninggal, watak suhu semakin bertambah aneh. Seakan-akan suhu tidak bisa percaya lagi kepada orang lain. Termasuk kepada kita pula."

   "Ya, benar. Seperti yang terjadi sekarang ini. Selama setahun suhu menghilang. Dan selama itu pula beliau hanya mengirim pesan dua kali. Pertama pada setengah tahun yang lalu, ia memberitahukan keadaannya yang gawat dan keinginannya untuk mengobati luka-lukanya. Kedua, pada sebulan yang lalu, dimana beliau memerintahkan kepada kita untuk datang ke dusun ini," orang kedua, yang disebut dengan nama "Nyo Sute" itu menyambung perkataan suhengnya.

   Demikianlah, sambil menjaga jarak mereka dengan rombongan Liu Yang Kun ketiga orang asing itu berbincang-bincang tentang maksud tujuan mereka ke tempat itu. Dan sementara itu rombongan yang membawa Liu Yang Kun terus saja menyusuri aliran sungai tersebut ke arah utara. Mereka melewati perkampungan penduduk yang rumah-rumahnya berderet memanjang di tepian sungai itu. Ketika aliran sungai itu kemudian menikung dan membuat belokan tajam karena membentur tembok tebing yang agak tinggi, maka kawanan kaki-tangan Coa In Lok itu lalu berhenti persis di atas tebing itu tampak sebuah bangunan gedung yang tinggi dan megah.

   Beberapa orang penjaga tampak berdiri di pintu halamannya. Itulah rumah keluarga Coa In Lok! Seorang dari penjaga itu segera berlari ke dalam begitu melihat rombongan tersebut, sementara yang lain segera turun ke tepian sungai untuk menyongsong mereka. Namun para penjaga itu tampak kaget dan tertegun begitu melihat keadaan rombongan itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam menyaksikan mayat teman-teman yang telah meninggal dunia. Rasa-rasanya hati mereka tidak mempercayainya karena baru beberapa waktu yang lalu mereka berkumpul dan bersenda-gurau. Dari kaget para penjaga itu menjadi heran pula melihat pemuda yang hendak mereka tangkap itu kini justru berdiri bebas diantara rombongan tersebut. Bahkan kalau ditilik dari sikap pemuda itu dan sikap teman-teman sendiri, jelas kalau pemuda tersebut telah menguasai kawan-kawannya malah.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 16 Pendekar Penyebar Maut Eps 13 Darah Pendekar Eps 41

Cari Blog Ini