Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 27


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 27




   "Suhu... Lihat! Aku menemukan bekas tangkai obor di sini! Bahkan tidak cuma satu. tapi... lima buah ah!"

   "Benarkah...? Coba kau selidiki, obor itu baru saja dipakai ataukah sudah lama dibuang? Dan apakah ada tanda tanda yang bisa kita pakai untuk mengenali pemiliknya?" Tiauw Li Ing membungkuk dan mengambil tangkai-tangkai obor-obor itu. Dua diantaranya ia berikan kepada Liu Yang Kun.

   "Tolong kau lihat pula...!" pintanya. Liu Yang Kun menerima tangkai obor itu, kemudian mencoba untuk menelitinya. Tangkai obor itu masih hangat, suatu tanda bahwa obor itu memang baru saja dipergunakan. Namun selain itu tiada lagi yang istimewa, karena tangkai obor tersebut juga hanya terbuat dari bambu hijau biasa. Bahkan obor itu agaknya juga dibuat secara darurat dan sembarangan saja. Buktinya garapannya tampak sangat kasar dan satu sama lain tidak sama panjangnya.

   "Ini hanya obor biasa. Tidak ada istimewanya. Memang ada apa? Mengapa tiba-tiba kau tertarik pada benda ini?" Liu Yang Kun bertanya. Tiauw Li Ing tersenyum, kemudian bercerita tentang sinar lampu yang mereka lihat tadi malam.

   "Kami mengira kalau sinar lampu itu datang dari perkampungan penduduk, tapi ternyata bukan. Namun demikian hal ini juga berarti bahwa kita telah dekat dengan tempat tinggal atau perkampungan penduduk. Benar-benar suatu hal yang amat melegakan setelah berjalan semalam suntuk di hutan saja." "Bagaimana, Li Ing?" Lo-sin-ong mendesak.

   "Hanya tangkai obor biasa, suhu. Tidak ada keistimewaannya."

   "Hmmh, masa...? Coba kau lihat di sekitar tempat ini! Adakah bekas-bekas jejak manusia di sana?"

   Tiauw Li Ing merengut. Matanya yang bulat bening itu menatap ke sekelilingnya.

   "Kenapa suhu menanyakan yang lain? Bukankah suhu tadi... eh, benar suhu! Di sini ada bekas-bekas tapak kaki orang! Tumpukan daun cemara kering ini sampai melesak ke dalam tanah diinjak orang!" tiba-tiba gadis itu berseru nyaring. Liu Yang Kun mendekati isterinya. Dia ikut mengawasi bekas-bekas telapak kaki itu.

   "Benar. Ini memang bekas kaki orang. Tampaknya tempat ini memang telah dekat dengan tempat tinggal manusia."

   "Bagus! Kalau begitu marilah kita ikuti jejak itu! Li Ing, ayoh... kau duluan," Lo-sin-ong berseru gembira. Mereka lalu bergegas mengikuti bekas-bekas telapak kaki itu. Dan sungguh beruntung bagi mereka, karena jejak-jejak kaki itu tampaknya memang masih sangat baru, sehingga amat jelas dan mudah dilihat oleh mata mereka. Kalaupun ada yang kurang jelas, mereka segera mencari tanda-tanda lain di sekitarnya. Beberapa kali mereka melingkari lereng lereng bukit yang banyak terdapat di daerah itu. Untung pula bagi mereka, tanah yang mereka lewati sedikit berair dan agak becek, sehingga mereka tak pernah kehilangan jejak-jejak tersebut.

   "Suhu! Kita telah sampai di jalan besar...!" akhirnya Tiauw Li Ing bersorak gembira.

   "Betul...? Apa kau melihat rumah penduduk juga?" Lo-sin-ong menyahut gembira pula.

   "Belum! Tapi aku melihat debu mengepul di ujung jalan besar itu. Hmm, tampaknya ada pasukan berkuda yang hendak lewat."

   "Pasukan berkuda? Mengapa ada pasukan berkuda lewat pagi hari begini?" Lo-sin-ong terhenyak kaget. Dahinya yang berlipat-lipat itu semakin berkeriput pula.

   "Siapa tahu ada gerombolan perampok atau ada pemberontakan di daerah ini?" tiba-tiba Liu Yang Kun ikut berbicara. Tiauw Li Ing tersenyum.

   "Mungkin kau benar, koko. Tapi... sudahlah! Kita tak perlu main tebak-tebakan. Sekarang marilah kita mendekat saja ke jalan itu! Kita lihat... apa sebenarnya yang menyebabkan debu mengepul itu?" Mereka lalu menuruni lereng bukit itu, kemudian naik lagi ke bukit di depan mereka. Karena ingin lekas sampai di jalan itu, maka masing-masing tanpa terasa lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Tiauw Li Ing berada di depan, sementara gurunya yang buta itu mengikutinya dari belakang. Keduanya berloncatan dengan amat lincah dan ringan luar biasa. Ujung sepatu mereka seakan-akan tidak pernah menyentuh tanah. Bahkan kadang-kadang mereka melenting tinggi ke atas, kemudian berjumpalitan melompati semak-semak belukar yang banyak terdapat di lereng itu. Tampaknya gadis itu sengaja memamerkan kepandaiannya kepada 'suaminya'.

   Dan Tiauw Li Ing benar-benar amat puas ketika menginjakkan kakinya di pinggir jalan itu. Wajahnya atau pipinya tampak memerah, tanda bahwa ia sungguh-sungguh telah mengerahkan tenaganya beberapa saat tadi. Ketika melirik ke arah gurunya, gadis itu sempat menyaksikan bagaimana gurunya yang amat sakti itu menarik napas panjang. Suatu tanda juga bahwa gurunya tersebut diam-diam juga telah mengerahkan sedikit tenaganya pula. Tapi ketika ia menoleh ke belakang, dimana Liu Yang Kun berada, tiba-tiba matanya terbelalak! Ternyata sikap dan keadaan suaminya itu sama sekali tidak mengalami perubahan. Air mukanya tetap biasa. Bahkan pernapasannyapun juga masih tetap teratur pula seperti semula. Sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu baru saja berlari menuruni lereng bukit tersebut.

   "Ada apa...? Mengapa matamu terbelalak memandangku? Ada yang salah?" Liu Yang Kun bertanya kepada Tiauw Li Ing.

   "Oh, tidak... tidak!" Tiauw Li Ing berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kekagetan dan kekagumannya.

   "Lalu... kenapa kau memandangku seperti itu?" Liu Yang Kun mendesak. Masih dengan menatap kagum kepada 'suaminya" itu Tiauw Li Ing tersenyum. Senyum bangga dan bahagia.

   "Koko, ilmu meringankan tubuhmu sungguh luar biasa sekali. Aku sungguh kagum sekali, siapakah sebenarnya gurumu itu? Apa nama ilmu itu?" gadis itu bertanya. Air mukanya tampak berbinar-binar dan bersemangat sekali. Tiba-tiba wajah Liu Yang Kun tampak keruh dan lesu. Matanya menerawang jauh tinggi ke angkasa. Lalu perlahan-lahan kepalanya menggeleng.

   "Entahlah, aku sudah lupa pula. Aku tak ingat lagi siapa guruku. Dan... aku juga tak ingat lagi nama ilmu itu. Bahkan aku juga sudah tak ingat lagi bagian-bagiannya. Aku hanya bergerak menurut naluriku saja," jawabnya sedih. Lo-sin-ong mendekati Tiauw Li Ing dan kemudian menyikut lengan muridnya itu.

   "Hmmh... Jangan kau usik dia dengan masa lalunya! Semua itu hanya akan membuatnya sedih. Sebab dia sudah takkan bisa mengingatnya lagi. Kalau ia sekarang masih bisa bersilat, itu hanya karena nalurinya saja. Seperti halnya kalau kita berjalan, berbicara atau bernapas. Kalau kau suruh dia mengingat-ingat, hmm... semuanya justru akan menjadi kalut dan kacau malah!" orang tua itu berbisik perlahan di telinga Tiauw Li Ing.

   "Oooh...!"

   "Nah, sudahlah...kalian jangan berisik lagi! Aku sudah mendengar suara gemuruh di balik hutan itu. Marilah kita bersembunyi...!" Lo-sin-ong kemudian menambahkan dengan suara keras. Mereka bertiga lalu bergegas menyembunyikan diri. Mereka berlindung di balik batu-batu karang besar yang banyak terdapat di kanan kiri jalan itu. Dan mereka tidak usah menunggu lama, karena sebentar kemudian suara gemuruh dan debu yang mengepul tinggi itu telah muncul di balik tikungan jalan. Suara sepatu kuda segera menghentak-hentak ke telinga mereka. Dan sesaat kemudian mereka telah melihat serombongan pasukan berkuda yang terdiri dari lima puluhan perajurit lewat di depan mereka.

   Sebuah bendera besar berwarna hijau gemerlapan tampak berkibar di depan pasukan itu. Tiga buah pedati besar yang masing masing ditarik oleh enam ekor kuda beban tampak meluncur pula di belakang pasukan itu. Dan kemudian agak jauh dari barisan pedati tersebut masih berbaris pula sekelompok pasukan bertombak dan berpedang berjalan kaki. Kedua buah pasukan ini berjumlah kira-kira se ratusan orang perajurit. Semuanya masih tampak segar dan bergembira-ria, mungkin mereka semua itu baru saja meninggalkan barak mereka. Diam-diam dengan wajah tegang Tiauw Li Ing me lirik ke arah 'suaminya'.Tapi ketika ia tidak melihat perubahan di wajah suaminya itu, hatinya menjadi lega. Apalagi ketika 'suaminya' itu tersenyum kepadanya.

   "Nah, apa kataku? Sepasukan prajurit berkuda, bukan?" pemuda itu berkata. Tiauw Li Ing mengerling.

   "Kau tidak mengenal mereka?" tanyanya menguji. Liu Yang Kun mengerutkan keningnya.

   "Mengenal mereka? Apa maksudmu?"

   "Aku mengenal mereka," gadis itu menjawab.

   "Mereka adalah prajurit-prajurit kerajaan. Kau lihat bendera itu? Dan kau lihat pula panglima yang berkuda di deretan paling depan tadi?"

   "Kau maksudkan orang yang berpakaian gemerlapan dan selalu dikawal oleh seorang lelaki yang berseragam tadi?" Liu Yang Kun menegaskan.

   "Ya! Dia itu adalah Panglima Besar Kerajaan. Namanya Yap Khim, tapi orang biasa menyebutnya Yap Tai-Ciangkun. Sedangkan pengawalnya itu bernama Yap Kiong Lee, kakak kandung panglima itu sendiri. Orang kang-ouw biasa menyebutnya Hong-Lui-Kun (si Tinju Petir Dan Badai). Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaan Hongsiang. Kepandaian mereka sangat tinggi, terutama Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee itu. Dialah jago silat nomer satu di istana. Eh... masakan kau telah melupakan mereka?" Tiauw Li Ing masih tetap mencoba juga daya ingatan Liu Yang Kun. Ternyata Liu Yang Kun menjadi tidak senang oleh pertanyaan itu.

   "Huh... jadi kau masih menganggap aku ini seorang Pangeran?" pemuda itu berkata kesal. Tiauw Li Ing cepat menyambar lengan 'suaminya" itu.

   "Eeee... jangan lekas menjadi marah! Aku bertanya baik-baik, dan guruku itu memang tidak berbohong ketika mengatakan bahwa kau adalah putera Kaisar Han. Kalau kau memang tidak menyukai pertanyaanku tadi, baiklah... aku takkan mengulanginya lagi. Aku tadi hanya berpikir, kalau-kalau kau ingin menemui mereka, karena mereka itu memang prajurit-prajurit ayahandamu..." katanya cepat pula untuk membujuk dan meredakan kemarahan kekasihnya itu. Liu Yang Kun menatap wajah 'isterinya', kemudian menghela napas panjang.

   "Sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah merasa menjadi seorang Pangeran. Oleh karena itu aku juga tak ingin menemui mereka atau menemui siapa saja yang berbau istana. Bahkan sekarang aku menjadi takut malah. Jangan-jangan cerita kalian itu memang benar, sehingga aku harus... harus kembali ke istana. Hmh... aku benci kehidupan yang berbau gemerlapan dan banyak aturan. Semua itu tidak cocok dengan jiwaku. Aku lebih suka hidup bebas merdeka di alam terbuka, tanpa terikat oleh segala macam aturan dan adat-istiadat." Pemuda itu berkata dengan berapi-api. Dan Tiauw Li Ing menyambutnya dengan rasa gembira dan lega. Karena memang ucapan seperti itu pulalah yang ingin ia dengar dari mulut 'suaminya' itu. Rasa cintanya yang amat besar membuat gadis cantik itu takut kehilangan Liu Yang Kun. Maka betapa bahagia hatinya tatkala mendengar kata-kata tersebut.

   "Nah... mereka telah lewat. Bagaimana sekarang menurut pendapatmu, Li Ing? Kemanakah kita harus pergi? Mengikuti pasukan itu ataukah mencari jalan yang lain...?" tiba-tiba Lo-sin ong menengahi percakapan mereka. Tiauw Li Ing tersentak kaget. Untuk sekejap wajahnya menjadi merah. Tapi sekejap kemudian ia menoleh ke arah 'suaminya'. Matanya yang bening seolah-olah memancarkan sinar pertanyaan atau meminta pertimbangan kepada Liu Yang Kun. Tapi Liu Yang Kun diam saja. Bahkan pemuda itu balas memandangnya dengan tajam, sehingga Tiauw Li Ing terpaksa mengalihkan pandangannya kembali kepada gurunya.

   "Bagaimanakah menurut pendapat suhu sendiri? Jalan mana yang sebaiknya harus kita pilih?" la lalu balas bertanya kepada gurunya. Lo-sin-ong menengadahkan kepalanya sebentar. Setelah menarik napas berulang-kali orang tua itu lalu berkata,

   "Pasukan itu tampaknya baru saja berangkat meninggalkan perkemahan tempat mereka melepaskan lelah malam tadi. Hal itu berarti tempat ini jauh dari kota maupun perkampungan penduduk. Oleh karena itu menurut pendapatku kita sebaiknya mengikuti saja pasukan itu dari jauh. Dengan begitu paling tidak kita telah mendapatkan teman seperjalanan. Siapa tahu kita kelaparan atau bertemu dengan perampok di jalan nanti?"

   "Ah, suhu...? Masakan kita takut kelaparan dan takut kepada segala macam perampok?" Tiauw Li Ing cemberut.

   "Aha, aku cuma bergurau saja. Bagaimana pendapatmu?"

   "Terserah suhu saja..." Lo-sin-ong mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu ajaklah suamimu berangkat! Kita ikuti pasukan berkuda itu!" Tiauw Li Ing menatap Liu Yang Kun.

   "Bagaimana pendapatmu, koko? Apakah kau setuju kalau kita berjalan di belakang pasukan berkuda itu?" Liu Yang Kun mengangkat pundaknya.

   "Terserah kepadamu. Asal saja kita tidak sampai ketahuan oleh mereka." Tiauw Li Ing mengangguk dan tersenyum manis sekali.

   Dengan mesra tangannya lalu merangkul dan menggandeng lengan pemuda itu. Kemudian perlahan-lahan mereka melangkah di belakang Lo-sin-ong. Belum juga ada lima lie mereka berjalan, di depan mereka telah tampak membentang sebuah tembok kota yang dibangun di kaki bukit. Bahkan rumah-rumah pendudukpun sudah banyak pula yang dibangun di sekitar tembok kota tersebut. Sementara sawah dan ladang juga telah mulai bertebaran pula dikerjakan orang di sekitar jalan yang mereka lalui. Ketika rombongan pasukan berkuda yang ada di depan mereka itu berhenti dan membuat kemah di luar tembok kota tersebut, Lo-sin-ong juga berhenti puIa. Orang tua itu memanggil Tiauw Li Ing.

   "Li Ing, kudengar suara derap di depan itu telah berhenti. Apakah yang telah terjadi pada mereka?"

   "Suhu, kita telah sampai di sebuah kota. Pasukan itu berhenti di luar tembok dan membuat kemah di sana. Apa yang harus kita lakukan?"

   "Oh... begitu cepatnya kita sampai di sebuah kota? Kota mana itu?"

   "Entahlah, suhu. Tembok kota itu masih jauh dari s ini. Aku belum bisa membaca huruf yang tertulis di atas Pintu Gerbangnya." Lo-sin-ong berdiam diri sebentar. Lalu katanya lagi,

   "Baiklah. Marilah kita sekarang mencari jalan lain dengan menjauhi perkemahan para prajurit itu. Lalu secara diam-diam kita menyelinap memasuki pintu gerbang kota." Demikianlah, dengan jalan melingkar mereka memasuki pintu gerbang kota itu. Mereka lewat di ladang-ladang dan perkampungan penduduk sehingga mereka tidak bertemu dengan para prajurit itu.

   "Kota Cia-souw...! Ah, ternyata kita berada di kota Cia-souw di semenanjung Syan-tung, suhu!" Tiauw Li Ing bergumam sedikit keras ketika membaca huruf yang tertera di atas pintu gerbang yang mereka lalui itu.

   "Kota Cia-souw? Ah, kalau begitu kita berada agak jauh di sebelah timur kota Cin-an." Lo-sin-ong menyahut dengan kening berkerut. Sama sekali tak disangkanya kalau mereka sampai melenceng sedemikian jauhnya dari kota An-lei.

   "Benar, suhu. Ternyata malam tadi kita telah menempuh perjalanan yang jauh sekali. Tapi sungguh kebetulan malah, karena ayahku justru banyak mempunyai kaki tangan di daerah ini. Nanti kita bisa menghubungi mereka."

   "Cin-an... Cin-an... Cin-an...?" tiba-tiba Liu Yang Kun turut bergumam pula ketika Lo-sin-ong menyebut-nyebut kota Cin-an. Dahinya berkerut seakan-akan sedang mengerahkan semua ingatannya.

   "Koko, ada apa...?" Tiauw Li Ing berdesah khawatir.

   "Kau teringat sesuatu?"

   "Tidak... tidak. Aku tidak teringat apa-apa. Cuma kota itu rasa-rasanya sudah kukenal. Malahan kota itu seperti... seperti penting bagiku. Hmmm... jangan-jangan aku memang berasal dari kota itu. Ah...! Li Ing, aku harus ke sana! Aku ingin ke kota itu! Siapa tahu ingatanku akan kembali lagi setelah melihat kota Cin-an?"

   Liu Yang Kun menatap mata Tiauw Li Ing. Wajahnya tegang, seolah-olah keinginannya untuk pergi ke kota Cin-an itu sudah tak bisa diganggu-gugat lagi. Bahkan seandainya dicegah oleh Tiauw Li Ing sekalipun.Tentu saja Tiauw Li Ing menjadi khawatir dan bingung. Kota itu adalah kota yang sangat besar. Kota yang dihuni oleh banyak perwira dan prajurit kerajaan. Bahkan di kota itu juga banyak tinggal tokoh-tokoh persilatan yang terkenal. Malah diantara mereka itu adalah Hek-pian-hok Ui Bun Ting, Ketua Tiam-jong-pai yang dua atau tiga hari lagi akan melangsungkan perkawinannya. Tentu akan banyak lagi tokoh-tokoh persilatan yang akan berkunjung ke kota itu. Lalu bagaimana kalau nanti pemuda itu dikenal orang dan dibawa pergi oleh prajurit-prajurit istana?

   "Koko, bukankah kau tidak ingin bertemu dengan... dengan punggawa punggawa ayahmu? Di kota itu banyak berkeliaran perwira dan prajurit kerajaan. Bagaimana kalau kau dikenali mereka nanti?"

   "Tapi... tapi aku harus ke sana. Kita... kita bisa menyamar atau pergi secara diam-diam. Tetapi kalau kau takut, biarlah aku pergi ke sana sendirian." Liu Yang Kun tetap bersikeras untuk melaksanakan keinginannya. Hampir saja Tiauw Li Ing tak bisa menguasai dirinya. Kalau saja saat itu mereka tidak sedang berjalan di jalan umum yang penuh orang, mungkin Tiauw Li Ing sudah menangis dan merengek-rengek kepada Liu Yang Kun agar supaya pemuda itu mau membatalkan niatnya.

   "Suhu, bagaimana ini? Dia ingin pergi ke kota Cin-an yang banyak prajuritnya itu. Bagaimana nanti kalau ada yang mengenalinya? Ooooh...!" gadis itu mengeluh ketakutan.

   "Ah, kalian ini seperti anak kecil saja. Berdebat dan bertengkar di muka umum. Ayoh, kita cari dulu tempat untuk beristirahat, baru kemudian kita rundingkan semua persoalan kalian itu!" Lo-sin-ong membentak perlahan.
(Lanjut ke Jilid 27)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 27
Liu Yang Kun menghela napas sambil memandang ke sekelilingnya. Ia sedikit tersipu ketika menyadari dirinya telah menjadi perhatian beberapa orang yang lewat. Oleh karena itu ia tidak membantah ketika tangan Tiauw Li Ing menggandengnya dan cepat-cepat mengajak pergi mencari rumah penginapan.

   Hampir saja Tiauw Li Ing meminta kamar sendiri ketika berada di rumah penginapan. Untunglah gurunya cepat-cepat menyikut lengannya, sehingga ia menjadi ingat kembali akan sandiwara yang telah mereka lakukan. Namun demikian pipinya menjadi merah juga, sebab bagaimanapun juga ia belum pernah tidur sekamar dengan seorang lelaki. Bahkan setelah berada di dalam kamar, tiba-tiba saja keringat dinginnya membanjir tanpa terasa. Dan gadis itu semakin menjadi kikuk dan ngeri menyaksikan mata 'suaminya' itu selalu tertuju kepadanya. Bahkan semakin lama gadis itu merasa seperti seekor tikus yang berada di dalam cengkeraman seekor kucing liar. Sehingga niatnya untuk mandi dan berganti pakaian pun menjadi urung pula.

   "Koko, kau jangan... jangan memandangku terus-menerus begitu! Aku takut," akhirnya Tiauw Li Ing berkata gemetar.

   "Ahhh...!" Liu Yang Kun tunduk malu. Tiba-tiba hatinya ikut bergetar juga. Gadis yang mengaku sebagai isterinya itu benar-benar cantik bukan main. Entah mengapa tiba-tiba ia ingin memeluknya.

   "Tapi... tapi... bukankah kau ini isteriku? Me-mengapa aku tak boleh memandangmu?" pemuda itu mencoba membantah.

   "Ya... ya! Tapi aku menjadi ngeri melihatmu! Kau... kau keluarlah sebentar! Aku ingin mandi dan berganti pakaian..."

   "Hei... mengapa begitu? Masakan suami-isteri masih pakai malu-malu segala?" tiba-tiba timbul kembali keberanian Liu Yang Kun. Bukannya keluar, tapi sebaliknya dia malah menyambar tubuh Tiauw Li Ing dan menciumnya. Gadis itu segera meronta-ronta dan mendorong tubuh Liu Yang Kun ke belakang.

   "Ini... ini... aauph! Lepaskan! Lepaskan...!" jeritnya ketakutan sehingga Liu Yang Kun terpaksa melepaskannya.

   "Ssssst! Jangan berisik! Memalukan...!" Liu Yang Kun berbisik kesal seraya menoleh ke arah pintu. Takut kalau ada penghuni kamar lain yang mendengar jeritan gadis itu.

   "Habis... kau gila sih! Nekad saja!" Tiauw Li Ing merengut. Kemudian dengusnya lagi,

   "Nah, sekarang kau mau keluar atau tidak? Kalau tidak mau, aku akan menjerit lagi." Liu Yang Kun yang telah mulai panas itu terpaksa mengalah.

   "Baiklah! Baiklah... aku akan keluar," katanya mendongkol, lalu me langkah ke pintu dan keluar dari kamar itu. Di luar kamar pemuda itu menoleh ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada tamu lain yang mendengar jeritan 'isterinya' tadi. Tapi ternyata tak seorang pun yang mendengarnya. Semua tamu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya seorang pelayan saja yang tampaknya bercuriga kepadanya. Tapi pemuda itu tak peduli. Dia melangkah ke pendapa, yang dipergunakan juga sebagai restoran atau tempat makan.

   "Silakan duduk, Siauwya. Siauwya ingin memesan makanan apa?" seorang pelayan cepat mempersilakan dia duduk dan menanyakan makanan yang ia kehendaki. Liu Yang Kun merogoh sakunya dulu, untuk melihat apakah dia membawa uang atau tidak. Ketika jari-jarinya menyentuh kantung kecil penuh uang di dalam sakunya, hatinya menjadi lega. Ia lalu memesan makanan dan minuman yang ia inginkan. Sekaligus untuk tiga orang. Dia sendiri, isterinya dan guru isterinya itu.

   "Heran. Di sakuku tersimpan uang yang amat banyak. Tampaknya aku memang seorang yang kaya raya. Hmm... jangan-jangan aku ini memang seorang Pangeran," gumamnya sendirian ketika pelayan itu sudah pergi meninggalkannya. Kemudian sambil menantikan kedatangan Tiauw Li Ing dan Lo-sin-ong, Liu Yang Kun melamun dan merenungkan nasibnya sendiri.

   Ia benar-benar merasa sedih dan tak habis mengerti, bagaimana dia sampai bisa menderita sakit "lupa pada masa lalunya' itu. Padahal ia merasakan tubuhnya dalam keadaan sehat dan kuat. Otak dan pikirannyapun juga masih terasa terang dan bersih. Dan sama sekali ia juga tidak merasa kehilangan akal pula. Bahkan sampai sekarangpun ia juga masih merasa dapat berpikir dengan baik. Ia tidak gila atau hilang ingatan. Ia cuma lupa pada masa lalunya. Itu saja. Begitu berat tampaknya sakit yang dideritanya itu sehingga ia sampai lupa akan asalnya, keluarganya dan namanya sendiri. Bahkan iapun sampai lupa pada isterinya pula. Padahal semuanya itu menurut Lo-sin-ong hanya karena luka-luka yang dideritanya ketika melawan Bok Siang Ki dan Giok-bin Tok-ong, yaitu dua orang tokoh sakti dari dunia persilatan.

   "Aku harus mengembalikan semua ingatanku yang hilang. Akan kucari seorang tabib yang pandai, atau akan aku kunjungi tempat-tempat yang sekiranya telah kukenal. Siapa tahu dengan begitu ingatanku bisa kembali normal seperti sediakala?" pemuda itu menutup lamunannya.

   "Krengkeittt! Brug! Brug!"

   Tiba-tiba pemuda itu dikagetkan oleh suara kursi ditarik dan orang duduk dengan kasar di pojok ruangan itu. Dan ketika pemuda itu melirik ia melihat enam orang lelaki bersenjata duduk di sana. Mereka tampak lelah dan lesu. Bahkan empat orang di antaranya seperti sedang menderita sakit. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi Liu Yang Kun segera mengetahui kalau orang-orang itu telah menderita luka dalam. Bahkan seorang di antaranya benar-benar menderita luka dalam yang amat berat. Hanya karena semangat dan kekuatannya saja orang itu bisa bertahan. Belum juga mereka itu sempat membereskan tempat duduk mereka, mendadak dari luar pendapa masuk lagi beberapa lelaki. Begitu masuk orang-orang itu segera menghampiri enam orang yang datang lebih dahulu itu.

   "Bagaimanakah perjalananmu, Ouw Twako? Dapatkah kalian menangkap kuntilanak pemakan bayi itu?" salah seorang dari orang-orang yang datang belakangan itu bertanya kepada orang yang datang lebih dulu tadi. Laki-laki yang menderita luka dalam paling berat itu menengadahkan kepalanya. Dipandangnya orang yang bertanya kepadanya itu beberapa saat lamanya, baru kemudian kepalanya mengangguk.

   "Silakan duduk dulu, Ci Sute! nanti akan kuceritakan semuanya..." orang itu menjawab dengan suara agak tersengal-sengal.

   Orang-orang itu lalu menarik sebuah meja lagi, kemudian mereka duduk menjadi satu. Orang-orang yang datang belakangan itu tampak kaget dan heran begitu menyadari kawan-kawan mereka yang datang duluan itu banyak yang menderita luka dalam. Bahkan mereka semakin menjadi heran ketika mengetahui orang yang mereka sebut Ouw Twako justru menderita luka yang paling berat. Beberapa orang tamu yang saat itu berada di dalam pendapa pun juga sangat menaruh perhatian pada mereka. Diam-diam semuanya kelihatan menunggu keterangan yang hendak diberikan oleh orang yang disebut Ouw Twako itu. Oleh karena itu tanpa terasa Liu Yang Kun juga ikut menunggu pula. Sebagai jago silat pemuda itu ikut tergelitik juga hatinya untuk mengetahui permasalahannya, mengapa orang-orang itu sampai terluka dalam.

   "Makanan dan minuman sudah siap semua, tuan muda. Silahkan...!" tiba-tiba Liu Yang Kun dikagetkan lagi oleh suara pelayan yang telah menyiapkan pesanannya tadi.

   "Eh-oh... b-baik, terima kasih!" Liu Yang Kun mengangguk gugup. Lalu sambil lalu pemuda itu berkata lagi,

   "Eh, sebentar dulu! Siapakah mereka itu? Dari mana mereka datang? Tampaknya ada sesuatu hal yang amat penting telah terjadi di kota ini..." pelayan itu tak jadi melangkah pergi. Sambil mengawasi wajah Liu Yang Kun pelayan itu mengangguk.

   "Memang ada sesuatu yang telah terjadi di kota ini, tuan muda. Sesuatu yang aneh, namun juga sangat menakutkan hati penduduk kota ini. Ehmm, tampaknya tuan muda bukan penduduk daerah ini, sehingga Tuan belum mendengarnya."

   "Aku memang bukan orang sini. Aku seorang petualang yang baru saja datang dari daerah lain. Nah... bolehkah aku mengetahui peristiwa yang kalian takutkan itu?" Pelayan itu menoleh ke kanan ke kiri, seakan-akan ada yang dia takutkan. Tapi melihat semua perhatian tertuju ke arah orang-orang yang baru datang tadi, pelayan itu menjadi lega. Keberaniannya timbul kembali. Dengan suara perlahan ia bercerita. Telah sepekan ini kota Cia-souw digemparkan oleh munculnya hantu kuntilanak di malam hari. Hantu yang berwujud sebagai wanita cantik itu selalu gentayangan mencari mangsa di rumah-rumah penduduk yang memiliki anak kecil atau bayi.

   Setiap kali hantu cantik itu singgah atau lewat di rumah penduduk yang mempunyai bayi, niscaya bayi itu akan meninggal keesokan harinya. Dan selama sepekan itu telah ada empat bayi yang menjadi korban. Jadi setiap malam tentu ada satu bayi yang menjadi korban. Semuanya mati tanpa diketahui sebab-sebabnya. Tentu saja penduduk kota Cia-souw menjadi gelisah dan ketakutan. Terutama bagi keluarga yang memiliki bayi atau anak kecil. Hati mereka menjadi kecut apabila malam datang. Mereka berjaga semalam suntuk untuk melindungi anak mereka. Peristiwa yang sangat menggemparkan itu akhirnya sampai juga di telinga para pembesar di kota Cia-souw itu. Mereka lalu mengerahkan pasukan keamanan kota untuk mencari dan menangkap "kuntilanak" tersebut.

   "Menangkap kuntilanak? Eh... mana bisa orang menangkap hantu? Bukankah hantu itu bisa menghilang?" Liu Yang Kun memotong cerita pelayan itu. Pelayan itu menyeringai kecut.

   "Memang tidak... tidak bisa. Jangankan hendak menangkap, sedang melihat bayangannyapun mereka tidak bisa. Oleh sebab itu pulalah Un Taijin lalu minta pertolongan para jago silat di kota ini untuk ikut menyingkirkan hantu itu. Un Taijin berharap, dengan kepandaian mereka yang tinggi para pendekar itu akan mampu mengusir kuntilanak tersebut dari kota ini."

   "Ehmmmm...?" Liu Yang Kun berdesah.

   "Siapakah Un Taijin itu?"

   "Un Taijin (Pembesar Un) adalah pejabat kota yang menguasai pasukan keamanan. Beliau adalah tangan kanan Liong Taijin (Pembesar Liong), penguasa kota Cia-souw ini."

   "Oooo... lalu bagaimana kelanjutannya? Adakah para pendekar silat yang mampu menangkap hantu itu?" Pelayan itu tidak menjawab. Sebaliknya ia melayangkan pandangannya ke pojok ruangan, dimana rombongan lelaki kasar tadi duduk.

   "Tuan lihat orang-orang itu? Mereka adalah sebagian dari jago-jago silat yang diundang oleh Un Taijin itu. Telah dua malam mereka berputar-putar di kota ini. Dan baru tadi malam mereka bisa bertemu dengan hantu itu. Mereka bersama-sama dengan para pendekar silat yang lain mengejar hantu itu semalam suntuk. Dan baru sekarang mereka pulang. Silahkan tuan mendengarkan sendiri pembicaraan mereka...!" kata pelayan itu kemudian sambil pergi meninggalkan Liu Yang Kun.

   "Terima kasih..." ucap pemuda itu. Tanpa menunggu lagi kedatangan isterinya, Liu Yang Kun mulai menyantap pesanannya. Sambil menyuapkan makanan itu ke mulutnya ia mendengarkan percakapan orang-orang di pojok ruangan itu.

   "Ci Sute...! Untunglah kau dan rombonganmu tidak berjumpa dengan 'hantu wanita" itu. Kalau kalian juga bertemu dengan hantu itu, niscaya kalian pun juga akan bernasib sama pula seperti kami. Hantu wanita itu benar-benar lihai bukan main!" terdengar suara lelaki yang dipanggil Ouw Twa-ko tadi.

   "Lihai...? Jadi kuntilanak itu bukan hantu sungguhan?" orang yang disebut dengan sebutan Ci Sute itu bertanya kaget. Orang yang dipanggil Ouw Twako itu mengangguk. Matanya menerawang jauh.

   "Mula-mula kami mendapat laporan kalau di dekat kuil Liong-tee-bio ada sesosok bayangan yang mencurigakan. Bayangan itu selalu berputar-putar mengitari rumah pande besi (tukang membuat peralatan dari besi), yang mempunyai anak kecil di rumahnya." Orang itu menghentikan ceritanya sebentar, seakan-akan ingin mengumpulkan kembali semua ingatan tentang kejadian yang dia alami semalam.

   "Karena tempat kami meronda berada paling dekat dengan tempat itu, maka kami pula yang datang paling dulu disana. Namun demikian kami juga hanya bisa melihat bayangannya saja. Hantu wanita itu keburu me larikan diri dari tempat si pande besi."

   "Keburu lari...?" orang yang dipanggil dengan sebutan Ci Sute itu memotong.

   "Benar. Tapi karena hantu itu mengenakan pakaian putih-putih, maka kami dapat melihatnya dengan jelas. Apalagi ketika dia berlari-lari di lereng bukit Cemara yang jarang pepohonannya itu."

   "Wah... kalau begitu Ouw Twako berhasil menangkapnya?" Orang yang disebut dengan sebutan Ouw Twako itu menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang.

   "Tampaknya memang mudah, serombongan lelaki kasar mengejar satu hantu wanita. Tapi dalam pelaksanaannya ternyata sungguh berat dan sulit. Bayangan putih yang selama ini kita anggap sebagai hantu kuntilanak itu ternyata juga manusia biasa seperti kita. Bahkan kesaktiannya benar-benar di luar dugaan kami yang mengejarnya. Hanya dengan sebuah saputangan dan... hanya dalam satu jurus pula, kami semua telah dibuatnya bergelimpangan terluka parah."

   "Cuma... satu Jurus?" orang yang dipanggil dengan sebutan Ci Sute itu berdesah tak percaya.

   "Ya! Untunglah pada saat itu pula dari bawah bukit terdengar langkah kaki orang mendatangi tempat tersebut, sehingga nyawa kami selamat. Wanita itu segera pergi meninggalkan kami, karena dia menyangka kami membawa bala-bantuan yang banyak. Tapi...?"

   "Rombongan siapa yang datang menolong Ouw Twako itu?" orang yang disebut dengan panggilan Ci Sute tadi mendesak tak sabar.

   "Kami tak tahu. Tiba-tiba saja suara langkah kaki itu menghilang kembali. Kami menunggu sampai lama, tapi suara itu tak kunjung datang juga. Akhirnya kami pulang dengan tangan hampa. Dan baru sekarang kami tiba di sini karena kami harus mengobati luka-luka kami..." orang yang disebut dengan sebutan Ouw Twako itu mengakhiri ceritanya. Liu Yang Kun mengerutkan dahinya. Mendengar kisah orang-orang itu, ingatannya segera melayang ke bekas-bekas tangkai obor dan bekas-bekas jejak yang ia temukan tadi malam.

   "Ah, ternyata tangkai obor dan jejak-jejak kaki itu milik mereka..." tiba-tiba terdengar suara Tiauw Li Ing di sampingnya. Liu Yang Kun memalingkan mukanya dengan terperanjat. Dilihatnya isterinya dan orang tua buta itu telah berdiri di belakangnya.

   "Ah! Sudah selesai kau mandi? Mari silakan duduk! Aku telah memesan makanan dan minuman untuk tiga orang sekaligus. Tapi aku sudah makan lebih dulu karena kau tak kunjung datang juga." Sambil duduk di kursinya Tiauw Li Ing berkata kepada gurunya,

   "Suhu...! Ternyata bekas-bekas obor dan jejak-jejak kaki itu milik macan-macan kampung kota ini. Tuh... mereka sedang duduk-duduk di pojok ruangan!"

   "Hmmh! Kalau begitu kita tak usah melibatkan diri dengan urusan mereka. Marilah kita sekarang makan dan minum, lalu istirahat sepuasnya. Besok kita berangkat ke Cin-an untuk mengantarkan suamimu. Nah, Li Ing... mana makanan dan minuman yang harus kumakan? Tolong letakkan di depanku!" Lo-sin-ong menyahut pelan.

   Demikianlah mereka bertiga lalu sibuk menghabiskan masakan dan minuman yang telah dipesan oleh Liu Yang Kun. Setelah itu mereka kembali lagi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Lo-sin-ong sendirian di kamarnya, sedangkan Tiauw Li Ing menjadi satu dengan Liu Yang Kun di kamar yang lain. Hari belumlah terlalu siang. Matahari baru sepenggalan tingginya. Namun demikian kota itu telah menjadi sepi. Satu-satunya pasar yang ada di dalam kota itu pun telah bubar pula. Para pedagang dan pembelinya telah pulang ke rumah masing-masing.

   Dan jalan raya yang membelah di tengah-tengah kota itu pun tampak sepi pula. Hanya ada satu dua orang yang berjalan melintasinya. Sementara di kanan-kiri jalan itu banyak pedati, kereta atau kuda yang ditambat dan ditinggalkan pergi oleh pemiliknya. Suasana memang tampak lesu dan lengang. Orang lebih suka menghangatkan tubuh di dalam rumah. Selain udara di daerah mereka itu telah mulai mendingin, angin kencangpun kadang-kadang meniup pula dengan mendadak. Oleh karena itu penduduk kota tersebut lebih suka berdiam di rumah daripada berada di luar. Tiauw Li Ing telah merebahkan dirinya di pembaringan. Gadis itu masih merasa takut dan ngeri kepada "suaminya" sehingga tidurnya sengaja terlentang memenuhi seluruh tempat tidur, agar dengan demikian suaminya tidak mendapat tempat di dekatnya.

   "Tempat tidur ini tidak cukup untuk dua orang. Lebih baik kita tidur bergantian saja. Atau... kau tidur di meja itu!" ujarnya sebelum memejamkan mata. Liu Yang Kun melirik dan mendengus kesal. Perlahan-lahan kakinya melangkah ke pintu.

   "Koko, kau mau kemana...?" Tiba-tiba Tiauw Li Ing berseru.

   "Aku tak biasa tidur siang. Dan aku juga tidak merasa lelah. Biarlah aku keluar saja untuk melihat-lihat suasana kota ini. Nanti aku kembali." Tiba-tiba Tiauw Li Ing meloncat dan menghadang di depan Liu Yang Kun. Kedua tangannya mencengkeram lengan pemuda itu. Matanya memandang gelisah dan serba salah.

   "Koko, kau...kau marah kepadaku?" Liu Yang Kun menggelengkan kepalanya. Lalu tangannya melepaskan cengkeraman isterinya. Kakinya melangkah ke samping.

   "Jangan menduga yang bukan-bukan. Aku sama sekali tidak marah kepadamu. Aku cuma merasa kesal di ruangan yang sempit ini. Bahkan aku bisa menjadi gila kalau tidak lekas-lekas keluar mencari hawa segar." Namun dengan cepat Tiauw Li Ing menghadang kembali.

   "Tapi... tapi di luar banyak prajurit kerajaan. Kau akan segera dikenali oleh mereka. Dan kau tentu akan dibawa oleh mereka." Liu Yang Kun tersenyum kecut.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak mudah untuk menangkap aku. Kalau pun mesti tertangkap juga, kukira juga tidak menjadi soal pula. Ayahmu tentu bisa membebaskan aku," jawabnya enak.

   "Tapi... tapi... bagaimana dengan maksudmu ke kota Cin-an itu? Kau tidak akan bebas lagi kalau telah ditangkap oleh mereka." Liu Yang Kun mengibaskan lengan bajunya.

   "Sudahlah! Kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Berikanlah aku kesempatan untuk mendinginkan hati dan kepalaku di luar sana. Aku bisa gila kalau berdekatan terus denganmu. Nah... aku pergi sebentar." Tanpa menunggu jawaban lagi pemuda itu bergerak ke samping. Otomatis Bu-eng Hwe-tengnya keluar. Tubuhnya menggeliat dua kali kemudian melesat ke pintu, dan sekejap saja dia telah berada di luar kamar. Tiauw Li Ing hanya bisa terpaku di tempatnya. Gadis itu benar-benar seperti orang linglung, tak tahu apa yang harus dia lakukan. Gadis itu baru menangis setelah Liu Yang Kun lenyap dari pandangannya! Liu Yang Kun bergegas keluar dari rumah penginapan itu. Tapi ketika kakinya melangkah di halaman, tiba-tiba terdengar suara memanggilnya.

   "Tuan muda, tunggu...!" Liu Yang Kun cepat membalikkan tubuhnya. Pelayan ruang makan yang melayaninya tadi tampak mengejarnya.

   "Bukankah tuan muda yang bernama Liu Yang Kun? Ini ada surat titipan untuk tuan muda!" pelayan itu berkata terengah-engah sambil menyerahkan sebuah surat kepada Liu Yang Kun.

   "Surat...? Dari siapa?" pemuda itu berdesah kaget, lalu menerima surat itu.

   "Entahlah, tuan muda. Gadis cantik itu tidak mengatakan namanya." pelayan itu menjawab, kemudian kembali lagi ke dalam rumah.

   "Gadis cantik...? Siapa dia?" Liu Yang Kun bergumam seraya merenung. Liu Yang Kun lalu membalik surat itu. Tapi di sana juga tidak dicantumkan nama si pengirimnya. Hanya dua huruf tertulis di situ, yaitu TEMAN LAMA.

   "Teman lama...? Ah... siapa dia?" Akhirnya Liu Yang Kun menjadi tak sabar lagi. Dibukanya surat itu, kemudian dibacanya pelan-pelan.

   Saudara Liu Yang Kun,
Bagaimana kau sampai di kota ini? Bukankah kemarin kau masih di kota An-lei, dan bermaksud pergi ke kota Cin-an? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Tolong kau pergi ke hutan di sebelah barat kota Cia-souw malam ini. Aku ingin berbicara kepadamu.
Teman lama.

   "Teman lama... teman lama... teman lama...?" pemuda itu bergumam dan mengulang kata-kata itu beberapa kali. Kemudian untuk beberapa saat pula Liu Yang Kun mencoba untuk memeras ingatannya, kalau-kalau ia bisa menduga siapa 'teman lama' yang telah mengirim surat kepadanya itu. Tapi lagi-lagi dia tak mampu mengingatnya. Semua masa lalunya benar-benar gelap gulita dan tak bisa dikorek sama sekali. Akhirnya Liu Yang Kun menyerah.

   "Baiklah, akan kutemui dia nanti. Siapa tahu kedatangannya akan bisa menyembuhkan penyakit lupaku ini? Hmm...!" Liu Yang Kun melangkah kembali ke kamarnya. Dia tak jadi mendinginkan pikirannya di luar. Ia ingin beristirahat saja agar nanti malam bisa menemui wanita yang mengaku sebagai teman lamanya itu.

   "Eehmm, bagaimana sebaiknya nanti? Apakah aku harus membawa serta Li Ing? Tapi... bagaimana kalau dia cemburu? Atau... atau biarlah aku pergi sendirian saja," sambil melamun pemuda itu mengetuk pintu kamarnya.

   "Siapa...?" terdengar suara isak Tiauw Li Ing di dalam kamar.

   "Aku. Bukalah...!" Liu Yang Kun menjawab singkat. Tiba-tiba pintu itu dibuka dengan cepat. Dan di lain saat Tiauw Li Ing telah menghambur ke dalam pelukan Liu Yang Kun.

   "Koko, maafkan aku... Marilah, kini aku tidak akan menolak lagi! Maafkanlah aku!" gadis itu merintih dan mengeluh di dalam tangisnya. Tentu saja Liu Yang Kun menjadi kaget setengah mati. Otomatis pemuda itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Untunglah tak seorangpun yang melihat adegan itu. Tampaknya semua tamu sedang beristirahat di dalam kamar masing-masing. Bergegas Liu Yang Kun menggendong tubuh Tiauw Li Ing yang menggelendot lemas di dadanya itu ke dalam kamar. Kemudian dibaringkannya tubuh yang molek itu di atas pembaringan. Namun ketika pemuda itu hendak turun, gadis itu merangkulnya erat-erat.

   "Koko, jangan tinggalkan aku! Kau... kau tidurlah di sini! Peluklah aku erat-erat!" gadis itu meminta dengan sangat. Liu Yang Kun menjadi gelagapan. Wajahnya yang putih itu menjadi merah padam. Badannya tiba-tiba juga menjadi panas. Apalagi ketika kulit tangannya yang kasar itu menyentuh kulit Tiauw Li Ing yang halus dan licin. Sekejap api yang selama ini telah padam menjadi menyala kembali dengan hebatnya.

   "Li Ing... oh, Li Ing... kau? Oh, kau...? Ah!" pemuda itu ikut merintih pula. Demikianlah mereka berdua tidak jadi istirahat siang itu. Mereka justru bermain cinta sampai malam hari. Mereka juga lupa makan dan minum. Bahkan Liu Yang Kun juga lupa pula pada rencananya untuk pergi ke hutan di sebelah barat kota itu. Dan tampaknya Lo-sin-ong juga memakluminya, terbukti orang tua itu juga tidak mengusik mereka sama sekali. Keduanya baru terjaga dari dunia impian mereka ketika tiba-tiba di luar terdengar suara riuhnya jeritan dan teriakan orang. Liu Yang Kun cepat berpakaian kembali. Dengan tergesa-gesa pemuda itu meloncat ke pintu, meninggalkan Tiauw Li Ing yang masih tergolek kelelahan di tempat tidur.

   "Koko, kau mau kemana...?" gadis itu berseru lemah sambil membetulkan selimut yang menutupi tubuhnya. Pakaiannya masih tampak berserakan dibawah kakinya.

   "Akan kulihat dulu keributan di luar itu. Sebentar saja. Aku akan cepat kembali lagi." Liu Yang Kun menjawab pendek, kemudian menghilang keluar pintu.

   "Hati-hati...!" Tiauw Li Ing berpesan. Ternyata hari belum terlalu malam. Bulan yang sudah tidak bulat lagi itu juga baru saja muncul dan kini masih berada diatas pucuk-pucuk pepohonan yang tinggi. Liu Yang Kun cepat berlari ke jalan raya, dimana keributan itu berasal. Disana telah tampak orang-orang yang berkumpul di tepi-tepi jalan. Semuanya ribut membicarakan sesuatu. Liu Yang Kun mendekati salah sebuah dari kerumunan orang itu. Pelan-pelan dia bertanya kepada seorang diantara mereka.

   "Apakah yang telah terjadi?" Orang itu menoleh sekejap, kemudian menjawab,

   "Kuntilanak itu muncul lagi. Ia benar-benar semakin nekat.Tempat kediaman Liong Taijin pun berani ia injak pula. Huh...!"

   "Tempat kediaman Liong Taijin? Lalu...?" Liu Yang Kun mencoba mengorek keterangan yang lebih lengkap lagi.

   "Tentu saja Liong Taijin menjadi marah bukan main! Semua pasukan keamanan lalu dikerahkan untuk mengejar hantu itu. Itulah sebabnya seluruh kota menjadi gempar!"

   "Oooh...!" Liu Yang Kun berdesah dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambungnya lagi,

   "Lalu... Kemana larinya hantu wanita itu?"

   "Kata orang dia berlari ke hutan di sebelah barat kota ini..."

   "Ke hutan di sebelah barat kota ini?" tiba-tiba Liu Yang Kun terpekik dan terperanjat bukan kepalang. Seketika ia teringat akan undangan si teman lama itu. Tanpa meminta diri lagi Liu Yang Kun berkelebat pergi dari tempat itu. Begitu cepatnya pemuda itu bergerak sehingga orang-orang tersebut menjadi kaget. Mereka seperti melihat hantu pula, karena secara tiba-tiba pemuda tersebut menghilang dari depan mereka.

   "Dia... dia... h-han-hantu pula...?"mereka berdesah ketakutan. Sementara itu dengan mengerahkan Bu-eng Hwe-tengnya Liu Yang Kun berlari ke hutan itu. Pikirannya sibuk menduga-duga, jangan-jangan si teman lama itulah yang menjadi kuntilanak selama ini.

   "Gila! Aku benar-benar menjadi penasaran. Siapakah sebenarnya orang itu? Benarkah dia teman lamaku?" dan pemuda itu menjadi bingung ketika memasuki hutan lebat tersebut. Dimanakah ia harus menemui "teman lamanya" itu? Apakah ia sudah terlambat datang? Dan dimana pula pasukan-pasukan keamanan kota yang katanya sedang mengejar hantu kuntilanak itu? Karena ragu-ragu maka Liu Yang Kun tidak berusaha untuk memasuki hutan itu lebih dalam lagi. Ia hanya termangu-mangu saja dipinggirnya.

   "Tampaknya kuntilanak itu berlari memasuki hutan ini dan para pengejarnya juga ikut membuntutinya pula.Hmmm... bagaimana ini? Apakah aku harus ikut masuk kedalam hutan ini juga?" pemuda itu berpikir di dalam hati.

   Liu Yang Kun menyandarkan punggungnya pada batang pohon siong tua. Dan angin ma lam pun tiba-tiba bertiup menggoyangkan daun-daun di sekitarnya. Beberapa lembar daun yang sudah menguning tampak melayang jatuh dari tangkainya. Pemuda itu tiba-tiba tersentak kaget. Selembar daun yang masih hijau jatuh menimpa pundaknya. Terasa ada getaran tenaga yang menyertai gerakan daun itu, sehingga sekejap pemuda itu merasa kesemutan pada lengannya. Dan tatkala pemuda itu menghentakkan kekuatannya untuk bersiap siaga, hidungnya mendadak mencium bau wangi atau harum khas wanita.Otomatis Liu Yang Kun menengadahkan mukanya.

   "Selamat bertemu, Pangeran..." dari atas pohon tiba-tiba terdengar suara lembut menyapa. Liu Yang Kun tertegun. Hatinya berdesir keras. Seperti ada sesuatu yang menjamah jantungnya ketika ia memandang seorang gadis ayu seperti bidadari menatap kepadanya. Gadis ayu itu duduk di atas dahan yang paling rendah, sehingga jaraknya hanya satu setengah tombak saja dari tempatnya berdiri. Di bawah sinar bulan yang terang wajah gadis itu benar-benar kelihatan cantik bukan main. Lebih cantik dari pada wajah Tiauw Li Ing yang juga sudah amat cantik itu. Gadis itu tersenyum manis sekali. Kedua bola matanya yang bersinar cemerlang bagaikan bintang kejora itu tampak bergetar indah seperti permukaan telaga di bulan purnama. Sementara pipinya yang halus licin itu tampak kemerah-merahan seperti buah tomat yang mulai masak.

   "Kau... kau siapa? Mengapa... mengapa kau menyamar sebagai... kuntilanak?" dalam gugup dan kekagetannya Liu Yang Kun menyapa. Tiba-tiba senyum manis itu menghilang. Gadis itu memandang heran, seolah-olah tak percaya apa yang didengarnya.

   "Pangeran...? Pangeran bertanya apa?" gadis itu berdesah.

   
"Kau ini siapa? Mengapa kau berada di sini malam begini? Engkaukah yang menyamar sebagai kuntilanak itu? Dan... ehm... jangan panggil aku Pangeran! Aku bukan seorang Pangeran. Mungkin kau telah salah mengenali orang..." Liu Yang Kun mengulang pertanyaannya tadi. Sekali lagi mata yang indah itu terbelalak. Namun kini wajah itu tampak sangat menderita dan terpukul hatinya. Bahkan seperti terpancar pula perasaan malu dan tersinggung.

   "Kau... kau l-l-lupa... Padaku? Oouugh!" tiba-tiba gadis ayu itu mengeluh, kemudian meloncat turun dan berlari meninggalkan tempat itu. Lapat-lapat terdengar suara isaknya yang tertahan. Liu Yang Kun terperanjat. Dia baru sadar kalau gadis ayu itu ternyata buntung lengan kirinya. Lengan baju gadis itu yang sebelah kiri tampak melambai lambai ketika berlari.

   "Nona, tunggu...!" Liu Yang Kun berseru dan mengejarnya. Tapi gadis berlengan satu itu tak mau berhenti. Ia berlari terus sambil terisak-isak, sehingga Liu Yang Kun terpaksa mengerahkan Bu-eng Hwe-tengnya untuk mengejar. Mereka berlari dan berkejaran di pinggiran hutan itu ke arah selatan. Ternyata gadis itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Akhirnya mereka sampai ke perkemahan para prajurit yang dilihat oleh Tiauw Li Ing pagi tadi. Gadis ayu itu kelihatan terkejut, begitu pula Liu Yang Kun. Namun ketika mereka hendak menghindar, dari kanan kiri mereka mendadak muncul sepasukan prajurit yang sedang meronda.

   "Berhenti!" para prajurit itu membentak. Liu Yang Kun berhenti, tapi gadis itu tidak, sehingga para prajurit itu menyerang dan mengepungnya. Liu Yang Kun tak tega melihat hal itu, maka lalu membantunya. Begitulah, mereka lalu bertempur dengan prajurit-prajurit tersebut. Keributan itu memancing perhatian prajurit-prajurit lainnya.

   Semuanya berbondong-bondong keluar, sehingga pertempuranpun menjadi semakin ribut dan ramai. Namun gadis bertangan buntung itu tampaknya tak berminat untuk melayani mereka. Begitu pula dengan Liu Yang Kun. Keduanya hanya mengelak dan menghindar dari serangan mereka. Keduanya hanya berusaha mencari jalan untuk lolos dari kepungan mereka. Tapi sungguh tidak mudah untuk meloloskan diri dari kepungan prajurit-prajurit terlatih itu tanpa melukai atau membunuh mereka. Maka tidak mengherankan kalau keduanya Cuma berputar-putar saja di dalam kepungan itu. Pada saat itu Liu Yang Kun memang menjadi kesal dan tidak sabar. Tapi melihat gadis ayu itu juga tidak mau bermain keras dan tetap bermain kucing-kucingan saja dengan pengepungnya, maka ia juga terpaksa mengikutinya.

   "Munduuuuuuur...! Tai Ciangkun dataaaaaang...!" Tiba-tiba terdengar suara aba-aba. Benar saja. Bagaikan gelombang pasang yang tiba-tiba kembali menyurut ke laut, para prajurit terlatih itu mundur menjauhi Liu Yang Kun dan gadis ayu itu.

   Namun dalam jarak sepuluh langkah mereka berhenti dan membentuk sebuah lingkaran untuk mengelilingi kedua muda-mudi tersebut. Seorang panglima yang masih muda tampak berjalan memasuki lingkaran. Ia dikawal oleh seorang lelaki gagah yang agak lebih tua dari padanya. Para prajurit tampak segan dan memberi jalan kepada mereka berdua. Panglima muda itu tidak lain memang Yap Tai Ciangkun atau panglima besar Yap Khim. Sedangkan pengawalnya itu tidak lain juga Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee, yang selama ini selalu mengawal adiknya itu bila bepergian atau mendapat tugas ke daerah. Keduanya hanya mengenakan pakaian ringkas dan sederhana saja, karena mereka tadi sebenarnya sudah beristirahat di tenda masing-masing.

   "Lam Ciangkun! Apa yang telah terjadi di tempat ini?" Panglima itu menoleh dan bertanya kepada seorang perwira bertubuh pendek kekar, yang memiliki pangkat paling tinggi diantara prajurit-prajurit itu. Perwira itu maju ke depan, kemudian memberi hormat.

   "Tai Ciangkun, kedua orang anak muda ini telah berani memasuki daerah perkemahan kita. Ketika para pasukan peronda memerintahkan berhenti, mereka justru berusaha melarikan diri. Oleh karena itu para prajurit terpaksa turun tangan untuk menangkap mereka. Tapi ternyata kepandaian mereka sangat tinggi, sehingga kami kewalahan menghadapi mereka." Yap Tai-Ciangkun mengangguk kaku, kemudian menatap Liu Yang Kun dan gadis ayu yang berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Tiba-tiba dahinya berkerut. Meskipun suasana agak gelap oleh temaramnya sinar rembulan, tapi dia seperti mengenal potongan dan wajah kedua orang itu. Ketika ia ingin meminta pendapat Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee, ternyata kakaknya itu sudah keburu melangkah ke depan.

   "Eh... bukankah kau nona Souw Lian Cu?" kakaknya itu menyapa dengan kaget.

   "Siok-hu (paman)..." Gadis ayu itu menjawab lirih. Kepalanya tertunduk.

   "Oh, benar...! Kau memang Souw Lian Cu! Aaaah!" Hong-Lui-Kun berseru gembira, kemudian melesat menghampiri gadis itu. Telapak tangannya segera menepuk-nepuk pundak Souw Lian Cu.

   "Hmmm... Dimana ayahmu? Sudah lama aku tak berjumpa dengan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Beliau baik-baik saja, bukan?" Tap Tai Ciangkun segera menghampiri gadis itu pula. Wajahnya kelihatan cerah dan gembira pula.

   "Hai... benar juga perasaanku! Sejak tadi aku sudah merasa bahwa aku telah mengenalmu. Hmm, ternyata memang benar-benar kau! Apakah kau datang bersama ayahmu?" sapanya ramah, namun matanya melirik ke arah Liu Yang Kun dengan curiga. Yap Khim dan Yap Kiong Lee memang sahabat baik Souw Thian Hai sejak muda dulu. Mereka mengenal baik pula keluarga Souw Thian Hai, sehingga mereka kenal juga pada Souw Lian Cu. Bahkan mereka berdua juga tahu pula semua masalah yang terjadi dalam keluarga itu termasuk masalah Souw Lian Cu sendiri. Apalagi gadis ayu berlengan buntung itu pernah mempunyai hubungan cinta dengan Liu Yang Kun, putera Kaisar Han junjungan mereka.

   "Saya... datang sendirian saja, Tai Ciangkun." Souw Lian Cu menjawab singkat. Kepalanya tetap tertunduk. Panglima Besar Yap Khim saling berpandangan dengan kakaknya. Keduanya segera merasakan adanya rahasia atau sesuatu yang berat untuk diutarakan gadis itu. Sehingga mereka berduapun segera menghela napas panjang pula.

   "Tampaknya masalah di dalam keluarga Souw itu masih berkelanjutan dan belum juga selesai sampai sekarang." Keduanya berpikir dan menduga-duga di dalam hati. Sementara itu Liu Yang Kun menjadi serba salah pula. Ia sama sekali tidak mendapat perhatian dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Tapi untuk meninggalkan tempat tersebut ia juga tak bisa. Selain ia masih mempunyai urusan dengan gadis ayu itu, ia tentu juga tidak gampang pula untuk pergi dari tempat itu. Tampaknya saja mereka tidak mengacuhkannya, tapi kalau ia bergerak mereka tentu akan segera menyerangnya.

   "Lalu... siapakah temanmu ini, Lian Cu?" Yap Tai Ciangkun lalu mengalihkan pembicaraan mereka. Yap Kiong Lee yang sejak tadi masih memegangi pundak Souw Lian Cu ikut tersenyum pula dengan sikap yang masih tetap ramah dan simpatik ia juga mendesak,

   "Siapakah temanmu itu, nona Souw?" Bisa dimengerti kalau kedua panglima Kaisar Han itu sampai lupa dan tidak mengenal Liu Yang Kun lagi. Selain suasana memang agak gelap, pemuda itu sendiri memang telah bertahun-tahun meninggalkan istana. Apalagi dengan penyakit lupa ingatan yang kini diderita oleh Liu Yang Kun, membuat sikap dan gerak-gerik pemuda itu menjadi berubah pula. Berbeda dengan Souw Lian Cu. Selain sikap dan dandanan gadis ayu itu masih tetap seperti dulu, keadaan lengannya yang buntung itu benar-benar sangat memudahkan orang untuk segera mengenalinya. Maka tidaklah mengherankan bila Yap Khim bersaudara itu cepat mengenalinya. Tiba-tiba wajah Souw Lian Cu menjadi gelap kembali. Dengan suara lirih dan agak tersendat gadis itu menjawab.

   "Entahlah, paman... aku ber-berjumpa... dengan dia di pinggir hutan. Aku... eh... dia lalu mengejarku... sampai di sini."

   "Hah...?" Yap Tai Ciangkun dan Yap Kiong Lee berdesah berbareng. Otomatis mereka memandang dengan tajam ke arah Liu Yang Kun. Liu Yang Kun sendiri tidak sadar akan bahaya yang bisa menimpanya. Pemuda itu benar-benar telah lupa kepada Souw Lian Cu maupun para perwira bawahan ayahnya itu.

   "Nona...?" pemuda itu mengeluh dan memandang Souw Lian Cu dengan pandangan tak bersalah. Sebaliknya Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee yang lihai itu telah melangkah ke samping adiknya dan menggeram curiga.

   "Kau siapa? Lekas jawab!" Liu Yang Kun tiba-tiba tersentak pula dari kebengongannya. Matanya mendadak mencorong pula mengawasi Yap Kiong Lee. Hatinya sedikit tersinggung mendengar bentakan itu.

   "Maaf, Ciangkun. Walau kukatakan namaku takkan Ciangkun kenal. Biarlah saya berurusan saja dengan nona Souw itu. Maaf...!" pemuda itu menyahut dengan suara dingin pula, lalu bergerak mendekati Souw Lian Cu. Tapi dengan cepat pula Yap Kiong Lee mencegatnya.Dengan tangkas jago nomer satu dari istana itu mengebutkan lengan bajunya yang lebar. Wuut! Serangkum angin yang sangat kuat terasa menyambar ke arah dada Liu Yang Kun. Begitu kuatnya hembusan angin tersebut sehingga Souw Lian Cu yang ada di dekat pendekar istana itu pun ikut bergoyang-goyang pula karenanya.

   "Siok-hu, dia...?" gadis ayu itu mencoba untuk mencegah perkelahian itu. Tapi dengan cepat Yap Tai Ciangkun memotong ucapan Souw Lian Cu itu.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 50 Darah Pendekar Eps 36 Pendekar Penyebar Maut Eps 27

Cari Blog Ini