Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 30


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 30




   "Racun!" geramnya.

   "Sungguh keji sekali orang yang melukainya. Hampir saja racun itu membalik ketika aku tadi mengerahkan tenaga..." Sambil berbicara Yap Kiong Lee memperlihatkan telapak tangannya yang terbakar. Liu Yang Kun mengerutkan keningnya.

   "Biarlah aku yang mengobatinya...," katanya kemudian sambil menggenggam Po-tok-cu di tangan kanannya.

   "Ah, tapi...?" Yap Kiong Lee yang sangat mengkhawatirkan keselamatan Liu Yang Kun itu mencoba mencegahnya. Namun Liu Yang Kun tetap melangkah maju.

   "Twako tak usah cemas! Aku dapat menjaga diri. Percayalah..." ucapnya seraya memegang urat nadi Ui Bun Ting. Lelaki setengah baya yang diperkenalkan sebagai adik Ui Bun Ting tadi tiba-tiba juga mendesak maju pula. Ia tampak sangat mengkhawatirkan keselamatan kakaknya. Di satu pihak ia ingin agar kakaknya ada yang bisa mengobati tapi di lain pihak ia juga agak ragu terhadap orang-orang yang belum dikenalnya itu. O leh karena itu ia kelihatan bingung dan salah tingkah di depan Yap Kiong Lee.

   "Sudahlah...! tuan tak perlu khawatir. Kami berdua akan berusaha menolong Ui Ciang-bun. Kami berdua adalah sahabat-sahabatnya..." Yap Kiong Lee yang bisa menduga dan memaklumi hati dan perasaan orang itu cepat menghiburnya.

   "Tuan, maafkanlah saya..." lelaki setengah baya itu tersipu-sipu. Sementara itu Liu Yang Kun telah menggores urat nadi Ui Bun Ting dengan kukunya, kemudian menutupi luka kecil itu dengan Po-tok-cu atau Mustika Inti Racunnya. Lalu dengan perlahan-lahan ia menyalurkan tenaga saktinya melalui mustika itu.

   Hawa hangat perlahan-lahan merambat melalui lengan Ui Bun Ting, kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan mengusir racun yang mengeram di dalamnya. Uap seolah-olah keluar dari dalam tubuh ketua Tiam-jong-pai itu. Uap berwarna kekuningan yang diikuti pula oleh merembesnya keringat berbau amis yang luar biasa banyaknya. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu terbelalak matanya. Semuanya merasa kaget dan ngeri. Apalagi ketika menyaksikan keringat yang mengalir itu berwarna kehitaman dan mengotori pakaian Ui Bun Ting. Dan beberapa waktu kemudian semuanya menjadi lega ketika Ui Bun Ting membuka matanya. Wajah orang tua itu telah berubah menjadi kemerah-merahan kembali. Liu Yang Kun melepaskan tangannya lalu sambil berpura-pura mengusap peluhnya ia menyimpan kembali Po-tok-cunya.

   "Sekarang biarlah Ui Ciang-bun beristirahat sebentar sambil memulihkan tenaganya. Racun yang ada di dalam tubuhnya telah hilang..." katanya perlahan sambil memandangi keluarga ketua Tiam-jong-pai itu satu-persatu.

   "Terima kasih, Taihiap... terima kasih!" lelaki separuh baya itu tiba-tiba berlutut di depan Liu Yang Kun seraya menyatakan terima kasihnya yang kemudian diikuti pula oleh seluruh keluarga Ui yang ada di dalam kamar tersebut. Repot juga hati Liu Yang Kun menerima penghormatan itu. Sambil menyeringai kikuk pemuda itu menoleh ke arah Yap Kiong Lee.

   "Sudahlah...! Marilah kita duduk di ruang depan! Kami berdua ingin mendengar kisahnya, bagaimana asal-mulanya semua kejadian ini..." Yap Kiong Lee cepat menengahi dan menarik tubuh lelaki setengah baya itu ke atas, kemudian mengajaknya ke ruang depan. Otomatis yang lain lalu berdiri puIa dan mengikuti langkah lelaki setengah baya tersebut. Dan Liu Yang Kun pun kemudian me langkah pula mengikuti mereka. Namun sebelum beranjak dari tempatnya pemuda itu masih mendengar desis ucapan Ui Bun Ting yang ditujukan kepadanya.

   "Terima kasih, Taihiap..." Demikianlah di ruang depan lelaki setengah-baya itu lalu bercerita tentang kakaknya. Ui Bun Ting sejak kecil memang mempunyai watak dan perangai yang berbeda dengan saudara-saudaranya.

   Dia lebih suka ngeluyur dan bermain-main di luar rumah dari pada belajar dan berkumpul dengan saudara-saudaranya. Ui Bun Ting gemar berkelahi dan sering membuat onar. Bahkan di dalam usianya yang masih kecil itu ia sudah kerap-kali kabur meninggalkan rumah. Dan kelakuannya tersebut semakin bertambah menjadi-jadi pula ketika usianya mulai menginjak remaja.Dan puncak dari semua kebengalannya itu adalah ketika ia membunuh orang didalam suatu perkelahian. Ui Bun Ting yang bengal itu menjadi ketakutan. Takut kepada ayah ibunya dan juga takut kepada para petugas keamanan yang tentu akan menangkapnya. Dalam ketakutannya Ui Bung Ting lalu minggat melarikan diri. Lari meninggalkan kampung-haIamannya. Kali ini Ui Bun Ting sungguh tidak tanggung-tanggung di dalam minggatnya.

   Sepuluh tahun kemudian ia baru pulang ke kampungnya, ke tengah-tengah keluarganya. Dan saat itu pula Ui Bun Ting telah tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Bahkan Ui Bun Ting juga telah memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Selain dari pada itu ternyata sifat dan kelakuannya juga telah berubah. Ui Bun Ting telah menjadi pemuda yang baik, sopan dan lihai. Tapi ternyata Ui Bun Ting tidak betah tinggal terlalu lama di rumahnya. Dia lebih suka berada di tempat perguruannya, yaitu perguruan Tiam-jong-pai, Cin-an. Dia lebih suka berdekatan dan melayani gurunya, ketua Partai Tiam-Jong-pai yang terkenal pada waktu itu. Hanya kadang-kadang saja Ui Bun Ting pulang untuk menengok ayah ibunya. Suatu saat Ui Bun Ting pulang membawa seorang wanita, pendekar dari Aliran Im-Yang-kauw. Namanya adalah Han Sui Nio.

   Belakangan dikatakan kepada ayahnya bahwa wanita itu adalah calon isterinya. Tapi beberapa tahun kemudian ternyata Ui Bun Ting membawa pulang wanita lain. Bahkan wanita yang bernama Siauw Hong Li itu katanya telah dikawininya. Tentu saja ayahnya menjadi heran dan menanyakan keadaan Han Sui Nio. Namun dengan enaknya Ui Bun Ting menjawab bahwa mereka tak jadi menikah. Setelah itu Ui Bun Ting jarang sekali pulang. Ui Bun Ting hanya pulang ketika ayahnya meninggal dunia. Dan saat itu pula seluruh keluarganya tahu bahwa Ui Bun Ting telah berpisah pula dengan Siauw Hong Li, dan kini Ui Bun Ting telah diangkat sebagai Ciang-bun-jin (ketua perguruan) Tiam-jong-pai. Begitulah, setelah belasan tahun Ui Bun Ting tak pernah menampakkan batang hidungnya pula, tiba-tiba tadi siang telah muncul kembali di rumah itu.

   Dan kedatangannya kali ini ternyata juga amat mengejutkan seluruh keluarganya, karena Ui Bun Ting yang kini telah berumur lima puluhan tahun itu datang bersama Han Sui Nio, wanita yang batal ia nikahi dulu. Dan maksud kedatangannya itu adalah untuk memohon doa dan perkenan dari ibunya untuk menikah dengan kekasih lamanya itu. Namun belum juga mereka itu selesai berbicara, ternyata datang pula beberapa orang tamu yang tak dikenal. Begitu datang tamu-tamu yang berperangai jahat itu lalu berselisih dengan Han Sui Nio. Mereka segera berkelahi. Tetapi salah seorang dari tamu itu ternyata lihai sekali. Meskipun Ui Bun Ting datang membantu kekasihnya, keduanya tak mampu mengalahkannya. Bahkan Ui Bun Ting dapat dilukainya dan Han Sui Nio dibawa pergi.

   "Kami sekeluarga tak ada yang berani keluar untuk membantu, karena tak seorangpun diantara kami semua yang dapat bermain silat. Jangankan hendak menolong, sedangkan untuk melihat atau mengikuti gerakan merekapun kami tak bisa. Mereka bergerak seperti baying-bayang yang saling membelit dan berputar cepat sekali..." lelaki setengah baya itu menutup ceritanya dengan menghela napas panjang.

   "Ah, lihai benar tamu itu, sehingga Ui Ciang-bun pun tak kuasa mengatasinya. Sungguh mengherankan sekali. Siapa sebenarnya mereka itu...?" Yap Kiong Lee menatap Liu Yang Kun dan bergumam perlahan.

   "Dia adalah... Giok-bin Tok-ong!" tiba-tiba terdengar suara Ui Bun Ting di belakang mereka.

   "Giok-bin Tok-ong...? Eh, Ui Ciang-bun... mengapa kau turun dari pembaringanmu?" Yap Kiong Lee tersentak kaget. Benar-benar kaget sekali. Ternyata semuanyapun menjadi kaget pula melihat kedatangan Ui Bun Ting. Mereka bergegas menyambutnya dan membawanya duduk diantara mereka. Dan semuanya memandanginya dengan heran karena saudara mereka itu telah bisa berjalan kembali, walaupun masih lemah.

   "Maaf, aku tak tahan untuk berbaring terus. Aku ingin cepat-cepat berkenalan dengan orang yang menolongku. Aku belum sempat mengingat-ingat namanya tadi..." Ui Bun Ting cepat memberi keterangan. Kemudian ketua Partai Tiam-jong-pai itu berdiri pula kembali. Ia menjura dengan hormat kepada Liu Yang Kun. Ucapnya perlahan namun jelas dan terang.

   "Taihiap...? bolehkah aku yang tua ini mengetahui nama dan gelarmu?" Sekejap Liu Yang Kun menjadi bingung. Pemuda itu tak tahu harus menjawab bagaimana. Oleh karena itu matanya segera mengawasi Yap Kiong Lee untuk meminta pertimbangan. Yap Kiong Lee cepat berdiri di depan Ui Bun Ting. Dengan sikap yang halus dan cerdik ia menjawab pertanyaan orang tua itu.

   "Maaf, Ui Ciang-bun... sahabatku ini menderita penyakit "lupa ingatan". Dia sama sekali sudah lupa masa lalunya. Dia sudah tak bisa mengingat lagi siapa dirinya, ayah ibunya, keluarganya dan semua handai-taulannya. Bahkan ia juga sudah lupa pula akan namanya sendiri. Oleh karena itu... maafkanlah apabila dia tak bisa menjawab pertanyaanmu."

   "Haaah...? dia sakit "lupa ingatan"...?" Semuanya menjadi kaget, ragu dan tak percaya. Bahkan Ui Bun Ting sendiri juga tertegun pula ditempatnya. Semuanya baru sekali ini mendengar ada penyakit seaneh itu. Yap Kiong Lee menarik napas panjang. Dia bisa memaklumi perasaan mereka, karena dia sendiripun juga berperasaan seperti mereka itu pula ketika mendengar yang pertama kali. Oleh karena itu dia lalu menjelaskannya dengan hati-hati semua yang terjadi pada sahabatnya itu, tanpa sedikitpun menyebutkan bahwa pemuda itu adalah Pangeran Liu Yang Kun.

   "Jadi... Jadi Taihiap itu juga pernah bertarung dengan Giok-bin Tok-ong pula? Aaah...!" Ui Bun Ting berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya semakin memancarkan sinar kekaguman.

   "Sudahlah, Ui Ciang-bun... aku pun tak mengetahui yang lebih banyak lagi tentang dia, karena aku sendiri juga baru mengenalnya kemarin."

   "Hah? Jadi...?"

   "Sudahlah. Sekarang lebih baik Ciang-bun saja yang ganti bercerita kepada kami, kenapa Ui Ciang-bun sampai bermusuhan dengan Giok-bin Tok-ong..." Yap Kiong Lee cepat-cepat memotong agar Ui Bun Ting tidak banyak bertanya lagi. Tiba-tiba ketua Partai Tiam-jong-pai itu terdiam sedih. Wajahnya tertunduk lesu. Matanyapun tampak berkaca kaca. Agaknya bayangan Han Sui Nio yang diculik oleh Giok-bin Tok-ong itu kembali menggoda hatinya.

   "Hal ini sebenarnya adalah persoalan pribadi kami. Malu rasanya kalau harus diceritakan kepada orang lain. Tapi... tak apalah kalau harus kuceritakan juga kepada Jiwi Taihiap. Bagaimanapun juga aku sudah berhutang budi kepada Taihiap berdua. Rasanya jiwaku ini sudah tidak tertolong lagi kalau tidak ada jiwi Taihiap..." Ui Bun Ting berhenti sebentar untuk mengambil napas. Wajahnya terangkat dan matanya menatap Liu Yang Kun maupun Yap Kiong Lee berganti-ganti. Kemudian dengan jelas dan tidak tergesa-gesa ia bercerita tentang dirinya, tentang hubungannya yang kurang lancar dengan Han Sui Nio atau Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu. Ui Bun Ting berkenalan dengan Han Sui Nio ketika ia ikut gurunya berkunjung ke Gedung Pusat Aliran Im-Yang-kauw di Sian-yang.

   Dan perkenalan itu ternyata berkembang menjadi hubungan cinta yang mendalam. Mereka berdua bercita-cita untuk melanjutkan hubungan mereka itu ke dalam jenjang perkawinan. Apalagi para orang tua maupun guru dalam perkumpulan masing-masing juga merestui hubungan mereka tersebut. Tapi memang dasar belum jodoh mereka. Hubungan batin yang telah mereka pupuk dengan baik itu tiba-tiba seperti dihempas oleh gelombang pasang dengan kedatangan pihak ketiga. Seorang gadis cantik murid ketua perguruan Ngo bie-pai tiba-tiba muncul di dalam kehidupan Ui Bun Ting. Gadis yang di dalam segala hal melebihi Han Sui Nio ternyata mampu menjerat dan mengalihkan perhatian Ui Bun Ting. Segala macam petuah dan nasehat yang diberikan oleh orang-orang tua tidak juga bisa menyadarkan keduanya.

   Ui Bun Ting nekad meninggalkan Han Sui Nio dan mengawini Siauw Hong Li, murid NGobie-pai itu. Di dalam 'kelupaannya' itu Ui Bun Ting sama sekali sudah tak ingat lagi akan nasib Han Sui Nio yang telah dia sia-siakan itu. Namun mahligai perkawinan yang dibangun di atas puing-puing penderitaan orang lain itu ternyata tidak bisa bertahan lama. Ternyata Siauw Hong Li memiliki sifat yang liar terhadap lelaki. Wanita cantik itu mempunyai nafsu yang sangat besar dan tidak puas hanya dengan satu lelaki. Beberapa bulan saja sejak perkawinannya, ia sudah berani main gila dengan lelaki lain. Tentu saja Ui Bun Ting menjadi marah sekali. Lelaki yang berani main gila dengan isterinya itu dibunuhnya dan Siauw Hong Li pun lalu diceraikannya pula. Di dalam kemarahan dan kesedihannya Ui Bung Ting lalu bertapa mengasingkan diri.

   Ia benar-benar malu dan terpukul hatinya, hingga ia menjadi malu pula bertemu dengan orang lain. Dan ia baru mau keluar dari pertapaannya ketika belasan tahun kemudian disusul oleh adik-adik seperguruannya. Dia bersedia pulang kembali ke Tiam-jong pai, karena gurunya yang tercinta telah meninggal dunia. Dan gurunya itu menunjuk dirinya sebagai pewaris kursi ketua Partai Tiam-jong-pai. Sementara itu karena malu, marah dan dendam, Han Sui Nio juga minggat pula dari Im-Yang-kauw. Gadis itu berjalan terlunta-lunta seorang diri di dunia persilatan yang kejam dan ganas. Yang membara di dalam hati gadis itu hanyalah perasaan dendam dan sakit hati karena ditinggalkan kekasihnya itu. Hanya satu yang menjadi cita-cita gadis itu, yaitu membalas dendam kepada Ui Bun Ting dan Siauw Hong Li.

   Api dendam membuat rusak jiwa Han Sui Nio. la mulai bergaul dengan orang jahat yang sekiranya bisa memberi bekal ilmu kepadanya. Dan pada saat yang seperti itulah ia berkenalan dengan Ang-leng Kok-jin, dari perguruan Lembah Tak Berwarna. Dengan hati yang telah berubah menjadi kelam karena dendam itu, maka Han Sui Nio dengan mudah jatuh ke dalam pelukan Ang-leng Kok-jin. Keduanya menjadi suami-isteri. Selain ingin berguru, Han Sui Nio memang memiliki maksud tertentu di dalam perkawinannya itu. Ia ingin mempergunakan kedahsyatan ilmu silat Ang-leng Kok-jin untuk menghadapi Tiam-jong-pai dan NGobie-pai. Pokoknya ia harus membunuh mati Ui Bun Ting dan Siauw Hong Li, serta membumihanguskan pula seluruh perguruan Tiam-jong-pai dan NGobie-pai.

   Namun cita-citanya itu ternyata tak pernah terlaksana. Ketika pada suatu hari ia dan Ang-leng Kok-jin datang ke Tiam-jong-pai untuk menuntut balas, ternyata Ui Bun Ting sudah tidak ada disana. Begitu pula halnya ketika mereka mencari Siauw Hong Li di NGobie-pai. Wanita genit itupun sudah tidak ada pula di tempatnya. Dan satu-satunya yang dapat mereka lakukan untuk melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan mereka hanyalah mengamuk dan menimbulkan kerusakan yang sebesar-besarnya di kedua perguruan itu. Dan di dalam bidang rusak-merusak ini memang Ang-leng Kok-jin lah jagonya. Dengan kekejamannya yang tiada tara, serta dengan kemahirannya dalam mempergunakan racun, Ang-leng Kok-jin benar-benar seperti iblis yang haus darah dan mengerikan. Apalagi di dalam partai persilatan itu tiada seorangpun yang mampu mengungguli ilmu silatnya.

   Maka sungguh tidak mengherankan bila korban yang jatuhpun menjadi tidak terhitung pula jumlahnya. Tapi tindak kebrutalan itu sendiri ternyata menimbulkan gelombang kemarahan di kalangan para pendekar persilatan. Seperti ada yang memberi komando, maka para pendekar persilatan pun lantas berbondong-bondong mencari An leng Kok-jin dan Han Sui Nio. Dan dunia kang-ouw pun lalu terjadi peristiwa-peristiwa yang menarik karena ulah mereka. Han Sui Nio dan Ang-leng Kok-jin tetap mencari dan memburu Ui Bun Ting serta Siauw Hong Li. Tapi sementara itu setiap saat merekapun harus berlari dan menghindarkan diri pula dari gempuran para pendekar, sebab bagaimanapun juga lihainya Ang-leng Kok-jin, mereka berdua tak bisa terus-menerus melayani serbuan para pendekar itu.

   Demikianlah setelah bertahun-tahun mereka mencari, akhirnya Siauw Hong Li dapat mereka ketemukan juga. Tapi di luar dugaan Han Sui Nio, kali ini jagonya tiba-tiba melempem di hadapan musuh besarnya itu. Ang-leng Kok-jin yang kejam dan garang itu tiba-tiba tak berkutik ketika berhadapan dengan "jago' Siauw Hong Li! Ternyata Siauw Hong Li telah mendapatkan seorang pelindung pula, yaitu Giok-bin Tok-ong, guru dari Ang-leng Kok-jin sendiri, sehingga ketika mereka berdua, guru dan murid itu bertarung, maka Ang-leng Kok jinlah yang menderita kekalahan. Jago Han Sui Nio itu terluka parah di tangan gurunya sendiri! Terpaksa dengan perasaan sedih dan kecewa Han Sui Nio membawa suaminya menyingkir dari depan lawannya. Mereka berdua bersembunyi sambil berusaha mencari akal untuk menghadapi lawannya itu.

   Ang-leng Kok-jin memang tidak mungkin menang melawan gurunya sendiri, sebab bagaimanapun juga semua ilmunya itu adalah pemberian gurunya. Tentu saja Giok-bin Tok-ong memiliki ilmu yang lebih lengkap dan lebih banyak dari pada dia. Satu-satunya jalan untuk memenangkannya hanyalah apabila dia bisa belajar selengkap dan sebanyak gurunya itu. Oleh karena itu lalu diputuskan oleh Han Sui Nio dan Ang-leng Kok-jin bahwa mereka harus bisa mendapatkan Im-Yang Tok-keng dan Po-tok-cu, pusaka warisan leluhur perguruan Lembah Tak Berwarna. Namun karena barang itu berada di tangan Giok-bin Tok-ong, maka mereka harus bisa mencari jalan dan siasat untuk mengelabuhinya. Mereka berdua harus bisa mendekati Giok-bin Tok-ong. Sukur bisa memperoleh kepercayaannya kembali.

   Kalau berdua tidak dapat, maka Han Sui Nio bersedia melakukannya sendirian. Sebab Han Sui Nio tahu bahwa kelemahan Giok-bin Tok-ong adalah perempuan. Namun demikian mereka harus menunggu apabila Giok-bin Tok-ong sudah tidak mempunyai kawan wanita lagi. Dan kesempatan tersebut akhirnya datang juga. Siauw Hong Li itu akhirnya pergi juga meninggalkan Giok-bin Tok-ong. Maka Han Sui Nio pun lalu pura-pura datang sendirian mencari Siauw Hong Li. Kemudian dengan berbagai macam siasat serta bujuk rayu, berhasillah Han Sui Nio mendekati Giok-bin Tok-ong. Bahkan saking pintarnya melayani kakek iblis itu, maka Han Sui Nio pun segera memperoleh kepercayaannya pula. Begitulah, dengan segala macam siasat dan tipu-dayanya, akhirnya setahun kemudian Han Sui Nio bisa membawa lari kedua buah pusaka itu.

   Betapa marahnya Giok-bin Tok-ong tak bisa dilukiskan lagi. Dicari dan diburunya terus wanita yang telah memperdayakannya itu, kemanapun juga wanita itu bersembunyi. Sementara itu Han Sui Nio pun sudah bergabung pula kembali dengan Ang-leng Kok-jin. Mereka berlari dan selalu berpindah-pindah tempat untuk menghindarkan diri dari kejaran Giok-bin Tok-ong. Sambil berlari dan bersembunyi Ang-leng Kok-jin mencoba mempelajari buku warisan leluhurnya itu. Tapi ilmu yang tercatat di dalam buku Im-Yang Tok-keng itu ternyata sukar sekali dipelajari. Ilmu tersebut harus dipelajari dengan tenang, sabar serta dengan ketekunan yang luar biasa. Maka dari itu untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, harus dibutuhkan tempat yang sunyi serta jauh dari keramaian dunia.

   Oleh karena itu sungguh tidak mungkin sekali bila ilmu tersebut dipelajari sambil berlari-lari seperti Ang-leng Kok-jin itu. Dan hal ini sebenarnya disadari pula oleh Ang-leng Kok-jin. Bahkan murid Giok-bin Tok-ong itu sudah mengetahuinya sejak dulu. Dia memang mempunyai sebuah rencana rahasia di dalam hal ini. Sebagai murid Giok-bin Tok-ong yang culas dan jahat, wataknyapun memang tidak jauh berbeda pula. Kalau tidak demikian, masakan ia tega mengumpankan isterinya sendiri ke tangan gurunya? Demikianlah, setelah waktunya dirasa tepat, maka pada suatu hari Ang-leng Kok-jin kabur meninggalkan Han Sui Nio. Dan wanita yang selama beberapa tahun menjadi isterinya itu dibiarkannya terlunta-lunta sendirian menghadapi Giok-bin Tok-ong.

   Dapat dibayangkan, betapa marah, sakit hati dan sengsara keadaan Han Sui Nio pada waktu itu. Semua pengorbanan yang telah ia lakukan selama ini ternyata sia-sia belaka. Akhirnya ia tetap tak bisa membalaskan api dendam yang menyala di dalam hatinya. Bahkan nasib telah menyeretnya ke dalam lembah kesengsaraan dan penderitaan yang semakin dalam lagi. Dan semua kepedihan itu menjadi semakin lengkap pula ketika ia ketahui dirinya sedang hamil. Ternyata ketegangan demi ketegangan yang ia alami selama dalam pengejaran Giok-bin Tok-ong itu telah membuatnya 'lupa' atau kurang perhatian terhadap keadaan tubuhnya sendiri. Begitulah, semua cobaan itu tampaknya sudah tidak tertahankan lagi bagi Han Sui Nio. Demikian beratnya sehingga ia memutuskan untuk mati saja dari pada terus-terusan hidup di dalam penderitaan.
(Lanjut ke Jilid 30)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 30
Tapi ketika Han Sui Nio dalam keadaan sekarat setelah minum racun, tiba tiba Giok-bin Tok-ong muncul dan menolongnya. Han Sui Nio tidak jadi mati. Bahkan wanita malang itu dirawat dengan baik oleh Giok-bin Tok-ong, walau pun dibalik semua kebaikan kakek iblis juga terkandung maksud yang tersembunyi pula. Tapi Han Sui Nio pun sudah tahu dan bisa meraba pula maksud kakek iblis tersebut. la takkan dibiarkan mati dahulu sebelum memberikan keterangan tentang kedua buah pusaka yang dicurinya itu. Ia baru akan dibunuh apabila pusaka-pusaka itu telah kembali ke tangan kakek tersebut. Namun apa lagi yang ditakutkan oleh wanita yang telah berputus asa seperti Han Sui Nio itu?

   Bahkan yang amat diingininya pada waktu itu hanyalah kematian. Lain tidak. Oleh karena itu ketika kemudian Giok-bin Tok-ong bertanya tentang pusaka itu, iapun segera mengatakan saja apa adanya, dengan demikian Han Sui Nio berharap agar nyawanya segera dikirim ke akherat sehingga maksudnya untuk mati pun segera terlaksana pula. Tapi ketenangan dan kenekadan wanita itu justru menarik perhatian Giok bin Tok-ong malah. Tiba-tiba saja kakek iblis itu mengurungkan maksudnya untuk membunuh Han Sui Nio. Bahkan dengan gencar kakek itu lalu mendesak dan berusaha mengetahui latar belakang kenekadan serta ketenangan Han Sui Nio tersebut. Namun serentak tahu bahwa Han Sui Nio hamil, Giok-bin Tok-ong menjadi kaget sekali! Seperti orang yang bingung dan ketakutan kakek iblis itu menanyakan ayah bayi itu.

   Sebaliknya dengan tenang dan acuh Han Sui Nio menjawab bahwa dia tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya itu. Dari semula memang tidak tahu, sejak kapan ia mulai mengandung bayi itu. Dari bingung dan ketakutan tiba-tiba Giok-bin Tok-ong menjadi berang. Hampir saja Han Sui Nio dibunuhnya. Untunglah pada saat itu pula datang pertolongan yang tak disangka-sangka. Tiga orang tokoh puncak Aliran Im-Yang kauw tiba-tiba datang di tempat itu. Mereka adalah Lo-sin-ong, Lojin-ong atau Toat-beng-jin, dan Pang Cu-si (Pengurus Perkumpulan) Song Kang. Lo-sin-ong pada waktu itu belum buta dan masih menjabat sebagai Ketua atau Kepala Kuil Agung Aliran Im-Yang Kauw. Dan kedatangan Lo-sin ong itu ternyata membuat Giok-bin Tok-ong mengurungkan niatnya untuk membunuh Han Sui Nio.

   Bahkan kedatangan Lo-sin-ong dan kawan-kawannya itu membuat Giok bin Tok ong menjadi malu dan salah tingkah, sehingga tanpa banyak bicara lagi ia melesat pergi meninggalkan tempat itu. Kemudian Lo-sin-ong membawa Han Sui Nio, yang memang bekas murid Im-Yang-kauw itu kembali ke kuil mereka. Mereka bertiga lalu berusaha membenahi kembali jiwa Han Sui Nio yang telah rusak itu. Setiap hari mereka bertiga secara bergantian menggojlog Han Sui Nio dengan ajaran-ajaran agama mereka, hingga akhirnya wanita itu menjadi sadar kembali akan dirinya. Namun ketika wanita itu hendak melahirkan, Lo-sin-ong terpaksa menyembunyikannya di tempat yang terpencil, yaitu di dekat Teluk Po-hai untuk menjaga agar aib yang menimpa Han Sui Nio tersebut tidak menimbulkan citra buruk pada Aliran Im-Yang-kauw.

   Begitulah, akhirnya Han Sui Nio yang telah kenyang mereguk pahit-getirnya kehidupan itu lalu mendalami agamanya. Dia berusaha menjadi pengikut aliran Im-Yang-kauw yang tekun, sehingga akhirnya ia bisa menjadi pendeta dan bahkan mampu menjadi ketua cabang Im-Yang-kauw di teluk Po-hai. Demikianlah selama hampir dua puluhan tahun kemudian, tak seorangpun dari mereka yang terlibat di dalam urusan "cinta dan dendam' itu saling mengunjungi atau bertemu satu sama lain. Hubungan antara NGobie-pai dan Tiam-jong-pai pun menjadi retak. Apalagi sete lah Siauw Hong Li menggantikan gurunya menjadi ketua NGobie-pai. Pertemuan diantara mereka bertiga baru terjadi satu setengah tahun yang lalu yaitu ketika para pendekar persilatan berkumpul di kota Soh-ciu untuk memburu Iblis Penyebar Maut, yang merajalela menyebar kematian di dunia persilatan.

   Tapi di dalam pertempuran sengit di Lembah Dalam, Siauw Hong Li menjadi korban. Bahkan Ui Bun Ting pun juga terluka parah pula. Akan tetapi justru karena itu pulalah benang cinta yang dahulu pernah terputus antara Ui Bun Ting dan Han Sui Nio dapat tersambung kembali. Meskipun mereka telah tua, namun perasaan cinta mereka ternyata tak pernah pudar. Mereka berdua lalu berniat untuk mengukuhkan kembali hubungan mereka itu ke jenjang perkawinan. Tiada istilah terlambat bagi mereka berdua. Tapi hanya sehari sebelum pernikahan itu mereka laksanakan, ternyata siang tadi telah mendapat cobaan kembali. Secara tak terduga mereka berdua berjumpa dengan Giok-bin Tok-ong di kota Lai-yin ini. Entah apa maksudnya tiba-tiba saja kakek iblis itu menyerang Ui Bun Ting dan melarikan Han Sui Nio.

   "Demikianlah ceritanya, Taihiap..." Ui Bun Ting menutup kisahnya sambil menarik napas panjang berulang ulang.

   "Tampaknya Thian memang tak pernah mengijinkan aku kawin dengan Sui Nio..." Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee ikut berdesah pula mendengar kisah yang amat menyedihkan itu. Mereka tak menyangka bahwa Ui Bun Ting yang terkenal di dunia persilatan itu memiliki rahasia cinta yang begitu mengharukan.

   "Dan... semua cerita tentang Han Sui Nio itu juga baru kuketahui setahun yang lalu, yaitu ketika hatiku telah dipautkan kembali satu sama lain. Aku sangat menyesal dan merasa berdosa kepada Han Sui Hio, sehingga aku bersumpah akan membahagiakannya di dalam sisa hidupku ini. Tapi tampaknya Thian tetap tak mengijinkan..." Ui Bun Ting menyesali dirinya.

   "Ui Ciang-bun, kau jangan terlalu cepat berputus asa...Kita masih dapat berusaha untuk menemukan kembali Han Lihiap. Aku mempunyai dugaan bahwa Han Lihiap masih tetap sehat dan segar bugar. Giok-bin Tok-ong takkan tega mencelakakannya..." tiba-tiba Yap Kiong Lee membujuk dan membesarkan hati Ui Bun Ting.

   "Giok-bin Tok-ong tak tega mencelakakannya...? Mengapa...mengapa Yap Taihiap berpendapat demikian?" Yap Kiong Lee tersenyum. Dipandangnya wajah ketua partai Tiam jong-pai itu dalam-dalam. Lalu ucapnya yakin,

   "Kalau Giok-bin Tok-ong bermaksud membunuh Han Lihiap, dia tentu takkan berpayah-payah membawanya dari sini. Dia tentu mempunyai maksud-maksud tertentu kepada Han Lihiap. Bukankah Ui Ciang-bun tadi telah menceritakannya pula, bahwa mereka mempunyai hubungan tertentu di masa silam?"

   "Oooh," Ui Bun Ting berdesah, lalu mengangguk-angguk. Matanya tertunduk mengawasi lantai
di depannya.

   "Yaa... mereka memang mempunyai hubungan yang amat akrab di masa silam. Bahkan... bahkan..."

   "Nah, itulah Ui Ciang-bun...!" Yap Kiong Lee cepat memotong, untuk mencegah orang-tua itu berkata lebih lanjut.

   "Paling-paling Giok-bin Tok-ong ingin mendapatkan sesuatu keterangan dari mulut Han Lihiap, yang tak ingin didengar oleh siapapun juga""

   "Keterangan...? Keterangan tentang apa kira-kira, Taihiap?" Ketua partai Tiam-jong-pai itu tiba-tiba tersentak. Dahinya berkerut. Yap Kiong Lee menghela napas pendek.

   "Bukankah Ui Ciang-bun tadi menceritakan bahwa pada waktu itu Han Lihiap mengandung? Lalu bagaimana dengan bayi yang ada di dalam kandungannya itu? Inilah yang tentu akan ditanyakan oleh Giok-bin Tok-ong itu! Sebab... saya pernah mendapat keterangan bahwa Giok-bin Tok-ong sangat takut mempunyai anak."

   "Takut mempunyai anak...? Eh, aneh sekali? Tapi kenapa ia justru senang 'main perempuan"?" Yap Kiong Lee tertawa.

   "Itu memang sudah wataknya. Tapi karena takut mempunyai anak, maka ia selalu membunuh mati wanita-wanita yang pernah digaulinya!"

   "Kecuali... Han Lo-Cianpwe!" Liu Yang Kun ikut berbicara.

   "Benar. Tapi Han Lihiap pun sebenarnya juga hendak dibunuhnya pula. Namun maksud tersebut menjadi urung karena kedatangan tokoh-tokoh Im-Yang-kauw itu."

   "Apakah kakek iblis itu takut kepada tokoh-tokoh Im-Yang-kauw?" Liu Yang Kun menyahut lagi. Yap Kiong Lee tersenyum dan memandang ke arah Liu Yang Kun.

   "Bukan karena itu yang menyebabkan Giok-bin Tok-ong urung membunuh Han Lihiap. Giok-bin Tok-ong sendiri tak pernah takut kepada siapapun juga, apalagi mereka. Meskipun mereka berjumlah tiga orang tak seorangpun yang kepandaiannya melebihi Giok-bin Tok-ong. Bahkan kalau mereka bertiga itu mengeroyokpun juga belum tentu menang. Giok-bin Tok ong merasa segan dan malu terhadap mereka itu..."

   "Segan dan malu...? Eh, tampaknya Yap Taihiap justru lebih banyak tahu dari pada saya di dalam urusan ini." Ui Bun Ting cepat-cepat menukas.

   "Kalau begitu... ayolah, Taihiap" lekaslah kau ceritakan kepada kami!" Sekali lagi Yap Kiong Lee tersenyum. Matanya memandang ketua partai Tiam-jong-pai itu dengan gembira. Ui Bun Ting kelihatan bersemangat dan tidak loyo lagi.

   "Ui Ciang-bun...! Aku pernah bertemu dengan Toat-beng-jin yang pandai meramal itu. Dia bercerita kepadaku bahwa dia pernah berselisih dengan seorang kakek tampan yang mahir menggunakan racun. Kakek tampan itu sangat lihai, sehingga Toat beng-jin tak bisa menandinginya. Satu-satunya jalan bagi Toat-beng-jin untuk menyelamatkan diri hanyalah dengan cara menunjukkan kelebihannya dibidang ramal-meramal itu kepada musuhnya..." Semua orang yang ada di dalam ruangan itu memandang dengan heran kepada Yap Kiong Lee. Mereka semua menjadi heran, bagaimana ilmu meramal bisa untuk menyelamatkan diri dari kebengisan Giok-bin Tok-ong? Yap Kiong Lee mengetahui keragu-raguan mereka. Oleh karena itu lanjutnya kemudian.

   "Memang demikianlah yang diceritakan oleh Toat-beng-jin kepadaku. Beliau juga tidak menceritakannya sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, sehingga sayapun juga tidak mengetahuinya pula, bagaimana ia bisa menyelamatkan dirinya dengan iImu ramalnya itu. Namun yang jelas Giok-bin Tok-ong tidak jadi membunuh Toat-beng jin. Bahkan akhirnya kakek iblis itu menjadi begitu percaya pada ilmu ramal Toat-beng-jin, sehingga ia minta diramalkan nasibnya di kemudian hari..."

   "Lalu...?" Ui Bun Ting mendesak tak sabar.

   "Toat-beng-jin meramalkan bahwa Giok-bin Tok-ong besuk akan mati ditangan... menantunya sendiri! itukah sebabnya dia menjadi ketakutan ketika mengetahui Han Lihiap mengandung. Namun ketika ia hendak membinasakan Han Lihiap, tiba-tiba datang Toat beng-jin bersama tokoh Im-Yang-kauw yang lain. Giok-bin Tok-ong menjadi segan dan malu, apalagi ketika diejek Toat-beng-jin bahwa kakek iblis itu takut kepada ramalannya..."

   "Oh, jadi itukah sebabnya,"orang-orang yang mendengarkan di dalam ruangan itu berdesah. Tiba-tiba Ui Bun Ting tersentak kaget.

   "Eh, kalau begitu...kalau begitu...Sui Nio sekarang berada dalam bahaya! Kini dia tentu benar-benar akan dibunuh oleh iblis itu!" serunya gugup.

   "Tidak!" dengan cepat Yap Kiong Lee menyanggah.

   "Sudah kukatakan bahwa Giok-bin Tok-ong takkan segera membunuh Han Lihiap sebelum ia memperoleh keterangan yang dimaksudkan. Nyawa Han Lihiap justru tidak diinginkan lagi oleh iblis itu. Yang diinginkan oleh Giok-bin Tok-ong itu sekarang adalah...anak yang dulu dikandung oleh Han Lihiap itu. Nah... anak itulah yang kini hendak dicari oleh Giok-bin Tok-ong melalui Han Lihiap!"

   "Ooooooooh...??" semuanya berdesah lagi.

   "Nah, Ui Ciang-bun... pernahkah Han Lihiap bercerita tentang anak itu kepadamu? Sebab kalau ia masih hidup, usianya tentu telah menjelang delapanbelas tahun sekarang...," Yap Kiong Lee bertanya hati-hati. Tapi Ui Bun Ting tidak segera menjawab. Ketua Partai Tiam-jong-pai itu tiba-tiba terpekur diam memandangi lantai rumahnya.

   "Maaf, Yap Taihiap..., aku tak bisa mengatakannya. Sui Nio memang sudah memberitahukannya kepadaku. Tapi juga memintaku untuk tidak mengatakannya kepada orang lain" akhirnya ia berkata lirih.

   "Ah, maafkanlah aku kalau begitu..." Yap Kiong Lee cepat-cepat meminta maaf. Sementara itu udara di luar rumah ternyata sudah menjadi gelap. Tirai ma lam sudah mulai membungkus bumi. Para pelayan di rumah itu juga sudah memasang lampu di pojok ruangan. Bahkan dua orang pelayan tampak membawa tempat lilin besar yang hendak mereka taruh di tengah-tengah ruangan itu.

   "Ah... tampaknya hari telah mulai malam," tiba-tiba Yap Kiong Lee berdesis sambil menoleh ke arah Liu Yang Kun. Kemudian lanjutnya lagi, yang ditujukan kepada Ui Bun Ting dan pula tuan rumah.

   "Ui Ciang-bun, perbolehkanlah kami berdua meminta diri lebih dulu. Kami akan ikut berusaha mencari Han Lihiap sampai ketemu."

   "Ah, Taihiap...! Saya justru hanya mengandalkan ji wi Taihiap untuk mendapatkan Sui Nio kembali. Aku sendiri sudah tidak bisa apa-apa lagi, padahal besok lusa hari perkawinan kami telah tiba. Dan...celakanya, aku sendiri tidak membawa pembantu atau pengawal dari Tiam-jong-pai!" Selesai berkata Ui Bun Ting lalu turun dari kursinya dan berlutut di depan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee. Begitu pula dengan keluarga Ui Bun Ting yang lain. Merekapun lalu ikut-ikutan berlutut pula di depan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee. Tak enak juga perasaan Yap Kiong Lee diberi hormat sedemikian rupa oleh seorang ketua partai persilatan besar seperti Ui Bun Ting itu. Oleh karena itu diapun lalu berlutut pula di depan Ui Bun Ting dan kemudian mengajaknya berdiri kembali.

   "Aaah... jangan bersikap begitu, Ui Ciang-bun. Diantara kita sudah bukan orang lain lagi. Tanpa kau minta pun kami berdua tentu akan berusaha dengan sekuat tenaga pula. Kau tinggallah baik-baik di sini kami berdua akan mendapatkan kembali Han Lihiap untukmu! Nah... kami mohon diri dulu!" Setelah memberi hormat kepada tuan rumah, Yap Kiong Lee lalu menarik lengan Liu Yang Kun dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Mereka melesat secepat angin, menerobos daun jendela yang masih terbuka di belakang mereka. Demikian cepatnya gerakan mereka sehingga seorang ketua persilatan besar seperti Ui Bun Ting pun masih tetap menggeleng-gelengkan kepalanya karena kagum.

   "Mereka masih muda-muda, tapi kepandaiannya sudah demikian jauh melampaui aku..."

   "Tapi kau pun juga sudah melebihi orang kebanyakan, Twako. Padahal datang dari keluarga yang tak pernah mempelajari ilmu silat, seperti aku adik-adikmu yang lain itu," adik Bun Ting yang berusia setengah baya itu menyahut.Sekali lagi Ui Bun Ting mengangguk-angguk. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah perlahan-lahan ke ruang dalam, diikuti oleh ibu dan adik-adiknya. Sementara itu di luar rumah Liu Yang Kun bertanya kepada Yap Kiong Lee.

   "Kemana kita pergi...?"

   "Pangeran...! Giok-bin Tok-ong tidak pernah menyukai tempat-tempat yang ramai. Maka dari itu kita lebih baik pergi keluar tembok kota dan melihat-lihat di tempat yang sepi. Sekalian singgah di bangunan kuno itu. bukankah Pangeran masih berkeinginan untuk pergi ke sana?" Liu Yang Kun tersenyum.

   "Tentu saja. Bukankah sejak semula kita ingin pergi ke sana?"

   "Nah! Kalau begitu mau tunggu apalagi? Marilah Pangeran...!" Yap Kiong Lee berkata, kemudian mendahului melangkahkan kakinya.

   "Tapi...ehm, apakah kita tidak singgah dulu di penginapan untuk melihat kalau-kalau nona Souw sudah kembali?" Liu Yang Kun bertanya ragu.

   "Ah... kukira tak perlu, Pangeran. Bukankah dia sudah mengatakan bahwa dia akan pulang agak malam?" Yap Kiong Lee menjawab tanpa mengendorkan langkahnya. Liu Yang Kun terpaksa mengejar langkah jagoan istana itu.

   Mereka mengambil jalan yang sepi sehingga sebentar saja mereka telah keluar pintu gerbang kota. Kemudian mereka berjalan menyusuri pinggiran parit yang mengelilingi tembok kota itu. Bulan belum lagi muncul. Langit masih tampak geIap. Hanya bintang-bintang saja yang tampak di sana. Sedangkan di sekeliling mereka hanya terdengar suara nyanyian binatang malam yang bersautan tiada hentinya. Mereka berjalan cepat. Meskipun demikian mereka selalu waspada dan siaga penuh. Bahkan mereka selalu memperlambat langkah mereka apabila merobos hutan atau melalui tempat-tempat yang gelap dan mencurigakan. Beberapa kali mereka dibuat kaget oleh munculnya binatang-binatang hutan yang berkeliaran mencari mangsa. Namun sampai mereka itu berpisah kembali ke pintu gerbang semula, Giok-bin Tok-ong tetap tidak dapat mereka temukan.

   "Hmm... kemanakah kita mencari lagi?" Liu Yang Kun berbisik lesu. Kakinya melangkah ke pintu gerbang, untuk masuk ke dalam kota kembali.

   "Maaf, Pangeran... Memang sulit mencari seseorang tanpa mengetahui jejak-jejaknya. Apalagi mencari seorang tokoh sakti seperti Giok-bin Tok-ong itu. Lebih baik kita ke... heiii... Pangeran! lihat!" Tiba-tiba Yap Kiong Lee berseru tertahan. Sebuah kereta kecil tampak berpacu keluar dari dalam kota. Kuda penghelanya yang tidak begitu besar namun tampak kokoh kuat menghelanya di jalan yang berdebu. Sekilas tampak wajah seorang kakek tua berambut panjang duduk melenggut di dalamnya. Dan Yap Kiong Lee takkan melupakan wajah kakek tua dan Kereta itu!

   "Siapa...???" Liu Yang Kun berdesah sambil mengerutkan keningnya.

   "Bu-tek Sin-tong! Dialah tokoh yang kita cari siang tadi! Mari kita ikuti dia!"

   "Bagaimana dengan Giok-bin Tok ong?"

   "Sudahlah! Nanti kita cari lagi dia! Yang perlu kita ikuti dulu Jago Silat Nomer Tiga Di Dunia ini! Tapi kita harus hati... eh? Pangeran, lihat...!" sekali lagi Yap Kiong Lee berseru tertahan. Jari telunjuknya menuding ke arah pintu gerbang lagi. Seorang wanita dengan wajah yang hampir tertutup oleh rambut panjangnya sendiri kelihatan melesat keluar dari dalam pintu gerbang tersebut. Begitu cepatnya bayangan itu melintas di bawah lampu yang tergantung di atas pintu gerbang, sehingga apabila mereka tidak sedang kebetulan melihat ke sana tak mungkin mereka bisa mengetahuinya.

   "Si-siapa... dia...??" Liu Yang Kun berseru tertahan pula.

   "Entahlah! Saya tidak tahu. Tapi yang jelas dia sedang mengejar kereta Bu-tek Sin-tong tadi. Pangeran, marilah kita buntuti mereka...!" jawab Yap Kiong Lee tegang. Kemudian dengan cepat jagoan dari Istana itu meloncat ke dalam gelap mengejar bayangan wanita tadi. Dan Liu Yang Kun pun tak ada pilihan lagi selain mengikutinya. Keduanya mengerahkan seluruh kemampuan mereka, sehingga tubuh mereka bagaikan bayangan yang melesat di dalam kegelapan. Empat atau lima langkah yang pertama Yap Kiong Lee memang dapat membarengi langkah Liu Yang Kun, tapi pada langkah-langkah selanjutnya jagoan dari istana itu menjadi semakin jauh tertinggal di belakang.

   Itupun Liu Yang Kun telah sedikit mengendorkan langkahnya, karena bagaimanapun juga pemuda itu masih menghormati perasaan Yap Kiong Lee, Namun setelah jarak itu semakin menjadi jauh dan Yap Kiong Lee sudah tidak dapat menyaksikan lagi gerakan kakinya, Liu Yang Kun lalu betul-betul mengerahkan Bu-eng Hwee-tengnya. Dan sekejap saja tubuhnya telah lenyap di dalam gelap. Demikianlah, selagi Yap Kiong Lee menjadi kebingungan karena telah kehilangan jejaknya, Liu Yang Kun sendiri telah berada jauh di tengah-tengah hutan pohon cemara. Seperti halnya Yap Kiong Lee ternyata pemuda itu juga telah kehilangan jejak kereta Bu-tek sintong dan wanita pengejarnya itu.

   "Sungguh mengherankan sekali! Masakan di dunia ini ada seekor kuda yang memiliki ginkang seperti halnya manusia berilmu tinggi? Baru saja kereta itu lewat. Bahkan suara gesekan roda besinyapun juga masih dapat kutangkap dengan telingaku pula. Tapi mengapa tiba-tiba saja aku telah kehilangan jejaknya? Masakan kereta itu bisa menghilang begitu saja bersama penumpangnya? Aneh...?" Liu Yang Kun lalu melangkah dengan hati-hati di bawah bayang bayang pohon cemara itu. Dikerahkannya seluruh lwee kangnya untuk mempertajam kemampuan mata dan telinganya, agar ia mampu menangkap suara-suara ataupun benda-benda yang paling lemah sekalipun.

   "Krreek! Kresek...!" tiba-tiba terdengar suara benda berat bergeser. Liu Yang Kun cepat melompat dan menyeberangi jalan itu. Kemudian ia melongok ke dalam jurang dimana suara tersebut terdengar. Dan betapa terkejutnya hatinya tatkala menyaksikan kereta Bu-tek Sin-tong itu di sana. Ternyata kereta itu terguling di dasar jurang yang menganga di pinggir jalan tersebut.

   Bagaikan seekor kera Liu Yang Kun berloncatan turun dengan tangkasnya. Walaupun gelap pemuda itu mampu melihat dan memilih tempat berpijak dengan baik. Bahkan dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna pemuda itu boleh dikatakan 'melayang' dari pada 'berloncatan". Tapi sampai di dasar jurang pemuda itu tertegun. Kereta itu memang kereta yang dilihatnya di pintu-gerbang kota tadi. Dan keadaannya sudah berantakan, sementara kuda penghelanya juga sudah mati pula. Namun anehnya... tak seorangpun yang ia jumpai di tempat itu, baik Bu-tek Sin-tong maupun wanita yang mengejarnya itu. Bahkan kusir atau pengemudi kereta itupun juga tak djumpainya pula.

   "Hmm... aneh benar! Dimana orang-orang itu? Apakah Bu-tek tong telah meloncat menyelamatkan dirinya sebelum kereta itu hancur di jurang? Tapi...bagaimana dengan kusirnya? Apakah kusir kereta itu pandai ilmu silat pula?" Karena penasaran Liu Yang Kun mencoba meneliti keadaan di sekitar. Ditengoknya tempat-tempat yang mencurigakan yang sekiranya dapat dipergunakan untuk bersembunyi.

   Bahkan ia melangkah menyusuri dasar jurang sampai beberapa puluh tombak jauhnya. Benar juga dugaannya. Dua puluh tombak jauhnya dari bangkai kereta ia menemukan tubuh kusir kereta tersebut. Tubuhnya tergolek di atas bebatuan menantikan datangnya ajal yang akan menjemputnya.Liu Yang Kun bergegas memeriksanya. Namun orang itu memang tidak bisa diselamatkan lagi. Tubuhnya telah terluka parah. Bahkan kaki-tangannya juga telah patah pula. Tampaknya orang itu tidak bisa silat sama sekali, sebab ketika keretanya jatuh dari bibir jurang, ia tidak bisa menyelamatkan dirinya. Namun sebelum menghembuskan napasnya yang penghabisan, Liu Yang Kun masih sempat memperoleh keterangan tentang Bu tek Sin-tong dan wanita pengejarnya.

   "Kakek Iblis... kakek iblis itu... lari ke dalam gua di... didekat pohon Siong itu! Dan... dan" kun...kunti-la-nak itu... mengejarnya!"

   "Kuntilanak...???" Liu Yang Kun berseru kaget seraya mengguncang tubuh kusir kereta tersebut, namun nyawa orang itu telah terlanjur pergi meninggalkan jasadnya. Otomatis Liu Yang Kun memandang ke tempat yang ditunjuk oleh kusir kereta itu.

   Dan kebetulan pula bulan yang hanya seiris kecil itu muncul dari balik awan, sehingga jurang yang gelap itu menjadi sedikit terang karenanya. Liu Yang Kun melihat sebuah lobang tampak di lereng jurang. Tempatnya tidak jauh dari sebatang pohon Siong tua yang lebat daunnya. Ada sebuah aliran mata air yang keluar dari lobang itu. Sebenarnya ada perasaan khawatir juga di hati Liu Yang Kun untuk memasuki lobang gua tersebut, Namun ketika lapat-lapat telinganya mendengar suara pertempuran di dalamnya, hatinya tidak bisa ia kendalikan lagi. Bergegas ia melompat masuk, setelah tentu saja menyiapkan seluruh kemampuannya. Semuanya kelihatan gelap gulita. Tapi dengan tenaga sakti Liong-cu i-kangnya Liu Yang Kun mampu melihat dan menembus kegelapan itu dengan matanya.

   Bahkan dengan tenaga saktinya yang dahsyat itu pula mata Liu Yang Kun menjadi mencorong seperti naga di dalam kegelapan. Sekilas pandang saja Liu Yang Kun telah melihat dengan jelas semua yang ada di dalam gua tersebut. Seorang kakek cebol berambut panjang tampak sedang bertarung seru melawan seorang kakek berwajah tampan. Sementara di pinggir gua itu tampak seorang nenek, masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya, sedang menangisi seorang wanita muda yang terkapar pingsan di lantai gua. Dan juga hanya dalam sekilas pandang pula Liu Yang Kun segera mengenal bahwa wanita yang pingsan tersebut adalah wanita yang tadi mengejar kereta Bu-tek Sin-tong itu. Liu Yang Kun menggeram. Ia segera mengenal kakek tampan yang sedang bertempur melawan kakek cebol itu.

   "Hmmm... Giok-bin Tok-ong! Jadi kakek inilah yang menurut Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing telah ikut mengeroyok serta melukai aku! Dan... kakek cebol itu tentulah Bu-tek Sin-tong kakek yang ada di dalam kereta itu." Hanya kedua wanita itu saja yang belum diketahui oleh Liu Yang Kun.

   "Kusir kereta tadi menyebut wanita muda itu dengan sebutan... kuntilanak! Hmm... benarkah dia itu kuntilanak yang dikejar-kejar orang selama ini? Lalu siapa pula wanita tua yang menangisinya itu? Eh, jangan-jangan dia adalah Han Sui Nio yang diculik oleh Giok-bin Tok-ong itu? Ah, benar...! Jangan-jangan memang dia. Menilik pakaiannya dia memang seperti seorang pendeta wanita..." Dengan mengendap-endap Liu Yang Kun lalu bergeser mendekati kedua wanita itu. Tak seorangpun tahu kedatangannya karena semuanya tercekam oleh kesibukan mereka masing-masing.

   "Oueek... oouek... ouuuuoeek!" tiba-tiba terdengar suara tangis bayi. Liu Yang Kun terkejut. Ternyata wanita muda yang pingsan itu mendekap bayi di dadanya. Dan bayi tersebut ternyata masih hidup pula.

   "Ouh... wanita muda itu membawa bayi?" pemuda itu berdesah dan otomatis pikirannya teringat pada khabar burung tentang hantu kuntilanak pengganggu anak kecil itu. Liu Yang Kun lalu mendekat lagi. Dengan bersembunyi di belakang batu besar yang menjorok keluar dari dinding gua, pemuda itu hanya beberapa langkah saja jaraknya dari kedua orang wanita itu. Dan dari tempat tersebut Liu Yang Kun benar-benar bisa melihat dengan jelas kedua orang itu.

   "Tui Lan... Tui Lan... oough!" tiba-tiba terdengar wanita tua itu merintih lemah.

   "Kau... kau jangan mati, nak! Lihatlah, ibumu datang!" Liu Yang Kun mengerutkan dahinya. Tiba-tiba saja hatinya bergetar dengan keras. Nama yang disebutkan oleh wanita tua itu bagaikan palu besi yang tiba-tiba menghantam dinding ingatannya, sehingga ingatannya yang tertutup oleh jarum-jarum yang ditanam oleh Lo-sin-ong itu seperti bergetar dengan hebatnya.

   "Tui Lan...?! Oh, rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu..." pemuda itu tiba-tiba menjambak rambutnya seraya berbisik lemah sekali.

   "Oueek... Ouuueek... Oueeeeoek!" bayi yang ada di dalam pelukan wanita muda itu menangis lagi.

   "Nah, Tui Lan... lihatlah! Anak yang kau perebutkan dengan Bu-tek Sin-tong itu menangis. Sadarlah...Kau bujuklah dia! Aku..., aku tak tahan mendengar tangisnya..." wanita tua itu meratap lagi. Liu Yang Kun tertegun.

   "Anak yang diperebutkan dengan Bu-tek Sin-tong. Oh, apa artinya ini?" desahnya semakin bingung.

   "Heii...? Siapa di situ? Ayoh, keluar!!" tiba-tiba wanita tua itu menoleh ke tempat persembunyian Liu Yang Kun dan membentak keras. Ternyata desah napas Liu Yang Kun tadi telah didengar oleh wanita tua itu. Padahal hanya sekejap saja pemuda itu tadi terguncang perasaannya. Namun hal itu ternyata telah mempengaruhi pemusatan ilmunya sehingga desah napasnyapun lalu menjadi berat dan akibatnya didengar oleh telinga perempuan tua tersebut. Karena telah diketahui lawannya maka Liu Yang Kun tak bisa terus bertahan di tempat persembunyiannya. Pemuda itu terpaksa keluar dari belakang batu besar tersebut.

   "Siapakah yang datang itu, Sui Nio?" Giok-bin Tok-ong tiba-tiba berteriak.

   "Alaaa... kau tak perlu mencari-cari alasan untuk menghentikan pertarungan kita! Siapapun yang datang kita tak perlu mempedulikannya! Yang penting kita selesaikan dulu urusan kita! Kaulah tadi yang memulainya. Kaulah tadi yang tiba tiba mencampuri urusanku! Oleh karena itu pula kau tidak boleh menghentikannya begitu saja! Kau harus memikul tanggung jawabnya! Huh!" Kakek kerdil yang tidak lain memang Bu-tek Sin-tong itu memaki-maki Giok-bin Tok-ong.

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Manusia Kerdil! Manusia Kura-kura...!" Giok-bin Tok-ong balas mengumpat tak kalah kerasnya.

   "Siapa yang hendak mencari-cari alasan, heh? Ou, Monyet Busuk! Kau kira aku takut menghadapi monyet kerdil macam kau ini, heh? Kurang ajar...!"

   "Ha-ha... kau menjadi marah, bukan? Nah... itu tandanya kata-kataku tadi benar! Hehehehe...!" Bu-tek Sin-tong terus saja mengejek dan sama sekali tidak tersinggung oleh sumpah serapah lawannya.

   "Keparat! Lihat Cit-hoam-tok-ciamku (Jarum Tujuh Langkahku)...!" Bu-tek Sin-tong terkejut.

   "Apa? Kau mulai mempergunakan senjata-senjata racunmu? Apakah engkau tidak takut kalau racun ganas itu mengenai kekasihmu sendiri, heh?" Sambil mengolok-olok Bu-tek Sin-tong melayang ke samping, sehingga jarum itu luput mengenai tubuhnya. Bahkan kemudian dalam waktu yang bersamaan kakek kerdil itu balas menyerang pula dengan lemparan paku-pakunya.

   "Gila! Bocah sinting...!" dalam kagetnya Giok-bin Tok-ong mengumpat lagi. Kemudian dengan cepat iblis dari Lembah Tak Berwarna itu mengebutkan lengan bajunya. Whuuuus! Serangkum angin yang sangat kuat menghembus ke arah paku-paku itu!

   "Ting! Ting! Ting!" Paku-paku itu seperti tertahan oleh sebuah tirai besi yang tak kelihatan, kemudian jatuh berdentangan di lantai gua. Tapi ketika Giok-bin Tok-ong bermaksud melangkahinya, tiba-tiba paku-paku tersebut meledak dan menyemburkan serbuk besi ke kakinya. Dan serbuk besi tersebut ternyata juga mengandung racun pula.

   "Bangsat...!" Giok-bin Tok-ong yang tak menduga akan hal itu menjerit kaget dan bergegas menghindarkan diri. Sementara itu di luar arena tersebut Han Sui Nio sedang berdiri terbelalak mengawasi Liu Yang Kun. Walaupun suasana amat gelap, tapi tokoh dari Aliran Im-Yang-kauw itu mampu melihat lawannya dengan jelas. Apalagi jarak mereka cuma empat atau lima langkah saja jauhnya.

   "Kau... kau siapa? Le-lekas jawab!" pendeta wanita itu membentak lagi. Namun kini suaranya sudah tidak segarang tadi dan bahkan agak gugup. Sinar mata lawannya yang mencorong seperti mata naga itu benar-benar mengejutkan hatinya. Diam-diam Liu Yang Kun menelan ludahnya. Perasaannya juga tidak kalah tegangnya. Secara tak sengaja ia justru dapat menemukan persembunyian Giok bin Tok-ong.

   "Jadi... Lo-Cianpwe ini benar-benar Han Sui Nio dari Aliran Im-Yang-kauw itu? Aah... sungguh kebetulan sekali. Kedatanganku kemari memang untuk mencari Lo-Cianpwe. Sungguh-sungguh tak terduga..." Wajah Han Sui Nio menjadi pucat! Bibirnya bergetar. Dan sekilas ia menoleh ke arena, seolah-olah takut kalau kata-kata Liu Yang Kun itu akan didengar oleh Giok-bin Tok ong.

   "Le-lekas katakan! Mengapa kau tak mau menjawab juga? Sia-siapa kau... Apakah kau teman Ui Bun Ting? Bagaimanakah keadaannya? Apakah ia masih hidup?" desahnya kemudian dengan tegang dan gelisah.

   "Benar, saya adalah teman Ui Ciang bun. Beliau selamat. Kini sedang menunggu Lo-Cianpwe di dalam kota. Marilah kita pergi dari tempat ini. Tapi ehm, siapakah wanita muda yang membawa bayi ini? Apakah dia...?" Liu Yang Kun menunjuk ke arah tubuh Tui Lan yang terbaring diam di lantai gua. Ada semacam perasaan aneh yang bergejolak di dalam dada pemuda itu. Namun karena 'ingatan masa lalunya' telah hilang, maka ia tetap tak dapat mengenali wajah Tui Lan. Cuma nalurinya saja yang tiba-tiba merasa sangat dekat dan ingin sekali mendekati wanita muda itu. Tapi ketika Liu Yang Kun hendak melangkah mendekatinya, tiba-tiba Han Sui Nio melejit menghalanginya.

   "Jangan! Biarlah aku sendiri yang membawanya! Dia terluka dalam oleh pukulan Bu-tek Sin-tong." pendeta wanita itu mencegah. Kemudian dengan tangannya sendiri ia mengangkat tubuh Tui Lan beserta bayinya dan membawanya keluar dari dalam gua itu.

   "Hei, Sui Nio...! Mau ke mana kau, heh?" terdengar suara teriakan Giok bin Tok ong. Han Sui Nio tertegun. Otomatis langkahnya berhenti. Dengan bibir gemetar dia menatap Liu Yang Kun.

   "Teruslah! Lo-Cianpwe tak usah takut! Biarlah aku yang menghadapinya nanti. Aku sudah biasa berhadapan dengan kakek iblis itu dan...aku masih tetap segar bugar sampai sekarang!" Liu Yang Kun membesarkan hati Han Sui Nio.

   "Sui Nio...!!! Siapa orang itu?" sekali lagi Giok-bin Tok-ong berteriak keras sekali,

   "Lo-Cianpwe, lekas...! Engkau sudah ditunggu-tunggu oleh Ui Ciang-bun. Cepat!" Liu Yang Kun menggeram, dan tiba-tiba saja matanya semakin tampak mencorong menakutkan.

   "Ya..., yaa, aku akan keluar..." seperti terkena oleh daya magis Han Sui Nio mengangguk dan bergegas keluar.

   "Heeii...!!! Mau kemana kau?" untuk yang ketiga kalinya Giok-bin Tok ong membentak. Kali ini suaranya benar benar menggeledek memekakkan telinga. Pasir dan kotoranpun sampai berhamburan ke bawah menimpa mereka bertiga.

   "Hei... bayi itu jangan dibawa pergi!" Bu-tek Sin-tong juga berseru pula. Kemudian seperti berlomba kedua kakek sakti itu saling menahan pukulan mereka lalu bersama-sama menerjang ke pintu gua untuk mengejar Han Sui Nio. Dengan ginkangnya yang hebat, yang mampu membuat tubuhnya menjadi seringan kapas Bu-tek Sin-tong tampak melayang lebih cepat dari pada Giok-bin Tok-ong.

   Namun pada saat yang hampir bersamaan, tubuh Liu Yang Kun juga melesat dengan cepat menghadang mereka. Dan sedetik kemudian mereka sudah siap untuk saling bertubrukan di dekat pintu gua. Tapi sebelum saat yang berbahaya itu terjadi, masing-masing secepat kilat telah mengerahkan tenaga dalamnya dan kemudian menghentakkannya ke depan untuk menyingkirkan lawan-lawannya terlebih dahulu. Dan karena Liu Yang Kun berada di arah yang berlawanan dengan kedua orang lawannya, maka otomatis ia seperti menerima hentakan dua gelombang tenaga sekaligus. Dan sesaat kemudian Liu Yang Kun seperti diterpa oleh hembusan angin yang maha dahsyat. Bahkan diantara tiupan angin yang hendak menggulung tubuhnya itu, Liu Yang Kun mencium bau busuk yang memuakkan pula.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 20 Pendekar Penyebar Maut Eps 12 Pendekar Penyebar Maut Eps 46

Cari Blog Ini