Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 35


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 35




   "Tampaknya kedua buah benda itu adalah pusaka-pusaka yang tak ternilai harganya. Ehmm... bolehkah saya mengetahui namanya...?"

   "Ah...!" Tiba-tiba Liu Yang Kun berdesah murung. Kepalanya tertunduk. Matanya memandang Mustika Inti Racun dan baju kulit ular yang ada pada dirinya itu lama sekali. Souw Thian Hai menjadi heran. Ia tak tahu mengapa tiba-tiba Liu Yang Kun itu menjadi murung. Otomatis ia menoleh kepada Yap Kiong Lee. Dan pendekar dari istana itu segera maju pula untuk memberi keterangan.

   "Maaf, Saudara Souw. Sudah kuceritakan dengan singkat tadi, bahwa Pangeran Liu Yang Kun telah kehilangan masa lampaunya. Itulah sebabnya kenapa kami buru-buru hendak menemui Nyonya Souw." Souw Thian Hai mengerutkan keningnya. Seperti tidak percaya ia memandang kepada Liu Yang Kun.

   "Sungguh mengherankan sekali! Mengapa ada juga orang lain yang terkena musibah seperti aku dulu? Aneh!"

   "Benar, Saudara Souw. Itu pula sebabnya kenapa kami ingin meminta pertolongan Nyonya Souw. Dahulu Saudara Souw juga bisa disembuhkan oleh Nyonya Souw..."

   "Souw Taihiap, tolonglah aku! Bantulah aku agar Souw Hujin (Nyonya Souw) mau mengobati penyakitku ini..." Liu Yang Kun meminta pula. Souw Thian Hai tersenyum.

   "Tentu! Tentu! Pangeran telah menolong aku, maka sudah sewajarnyalah kalau aku juga menolong Pangeran pula. Nah! Marilah kita berangkat sekarang! Mumpung hari telah terang..."

   "Tapi..., apakah kesehatanmu sudah pulih kembali. Saudara Souw?" Yap Kiong Lee bertanya. Lagi-lagi Souw Thian Hai tersenyum.

   "Jangan takut. Aku benar-benar sudah sehat kembali, Paling-paling tinggal melemaskan otot-ototku saja," jawabnya kemudian seraya beranjak mendahului Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun. Liu Yang Kun saling pandang dengan Yap kiong Lee. Mereka berdua segera melangkah pula mengikuti Souw Thian Hai.

   "Tapi kita harus segera mencari baju baru untuk mengganti pakaian Pangeran itu. Pangeran tak layak mengenakan pakaian seperti itu," sambil berjalan Yap Kiong Lee berkata kepada Liu Yang Kun.

   "Ah... itu mudah nanti. Tanpa bajupun aku tak merasa risi atau dingin." Liu Yang Kun cepat menjawab.

   "Ya, tapi...?" Yap Kiong Lee tetap pada pendiriannya. Demikianlah mereka bertiga berjalan terus ke arah barat. Mereka melewati jalan besar yang semakin lama semakin sering menerobos hutan belukar yang sunyi dan jarang dilalui orang. Dan tanah yang mereka pijakpun semakin ke barat kelihatan semakin kekuning-kuningan pula warnanya.

   "Kita sudah tidak jauh lagi dari aliran sungai Huang-ho." Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai berkata.

   "Ya. Dan kitapun akan segera lewat pula di perkampungan penduduk yang padat kembali...," Yap Kiong Lee mengiyakan.

   "Dan... sebenarnya aku ingin makan dan... beristirahat! Sudah sehari semalam mataku tak terpicingkan sama sekali." Liu Yang Kun berkata pula. Yap Kiong Lee menoleh dengan cepat.

   "Tapi kita tidak mempunyai banyak waktu lagi, Pangeran. Kita sudah harus tiba di Cin-an sebelum tengah hari nanti. Selewatnya waktu itu, Nyonya Souw sudah tidak mempunyai banyak kesempatan lagi. Apalagi kalau rombongan Ui Bun Ting sudah tiba pula dari kota Lai-yin," sergahnya. Souw Thian Hai tertawa.

   "Ah! Mengapa Saudara Yap berpikiran demikian? Kita tak perlu tergesa-gesa. Biarlah Pangeran Liu Yang Kun beristirahat bila dia memang menginginkannya. Tentang isteriku nanti, biarlah aku yang mengaturnya."

   "Ah, terima kasih... Terima kasih...!" pendekar dari istana itu bernapas lega. Demikian pula dengan Liu Yang Kun. Semakin lama mereka semakin banyak melihat lahan-lahan pertanian. Dan merekapun semakin sering pula melihat atau berpapasan dengan para petani yang hendak mengerjakan sawahnya.

   "Nah... Pangeran sudah melihatnya sendiri, bukan? Setiap orang yang berpapasan dengan kita tentu memandang kepada Pangeran dengan pandangan heran. Pangeran memang harus cepat-cepat mengenakan pakaian yang pantas." Yap Kiong Lee bergurau.

   "Ya. Kelihatannya semua orang menganggapku gila." Liu Yang Kun tertawa. Ketika mereka memasuki dusun yang pertama, yang mula-mula mereka cari adalah pasar. Yap Kiong Lee segera berputar-putar mencari pakaian yang cocok untuk Liu Yang Kun. Dipilihnya baju yang berpotongan longgar, yang mempunyai kancing berderet-deret di bagian depannya. Baju itu sangat cocok dan serasi untuk potongan tubuh Liu Yang Kun. Apalagi ketika Yap Kiong Lee menambahkan topi atau tutup kepala di kepala Liu Yang Kun. Pemuda itu semakin tampak tampan berwibawa.

   "Nah! Sekarang Pangeran tidak usah merasa malu lagi pergi ke sebuah pesta pernikahan," pendekar dari istana itu memberi komentar. Souw Thian Hai tersenyum pula. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada Pangeran muda itu. Sakti, tampan dan rendah hati. Padahal ia seorang Pangeran yang berkedudukan tinggi serta kaya raya. Tak mengherankan bila Souw Lian Cu sampai jatuh cinta kepadanya.

   "Tapi Lian-ji sudah mengenalnya sejak ia masih berkelana sebagai orang biasa. Sebelum Pangeran ini diakui sebagai putera Hongsiang..." katanya kemudian di dalam hati. Demikianlah, setelah makan pagi sekedarnya mereka lalu melanjutkan lagi perjalanan mereka. Mereka tidak jadi beristirahat di tempat itu karena Pangeran Liu Yang Kun tidak ingin mengecewakan hati Yap Kiong Lee. Jalan yang mereka lalui bukan ma in ramainya. Kuda, kereta, gerobak dorong ataupun pejalan kaki tampak hilir-mudik di jalan itu.

   "Heran. Bukankah tempat ini cuma sebuah kampung kecil saja? Kenapa ramainya bukan main?" Pangeran Liu Yang Kun bertanya heran, Souw Thian Hai dan Yap Kiong Lee menoleh sambil tersenyum.

   "Apakah Pangeran belum pernah lewat di tempat ini?" Souw Thian Hai bertanya.

   "Belum." Liu Yang Kun menjawab cepat.

   "Kampung ini sudah dekat dengan tempat penyeberangan. Dan tempat penyeberangan di sini adalah tempat penyeberangan yang paling baik dan aman untuk daerah-daerah di sekitar tempat ini. Maka tidaklah mengherankan bila semua pedagang dan pejalan kaki yang hendak pergi ke barat berkumpul di tempat ini. Sebentar lagi akan dapat kita lihat betapa ramainya tempat penyeberangan itu." Yap Kiong Lee kemudian memberi keterangan.

   "Oooh...!" Liu Yang Kun mengerti. Memang benar. Semakin dekat dengan sungai, jalan itu semakin ramai pula. Rumah-rumah pendudukpun semakin berdesak-desak pula. Berpuluh-puluh gerobak maupun kereta tampak berderet-deret di pinggir jalan, menunggu giliran untuk diseberangkan. Souw Thian Hai dan Yap Kiong Lee kelihatan mengerutkan dahinya juga.

   "Tempat penyeberangan ini memang selalu ramai. Namun hari ini rasa-rasanya memang berbeda. Belum pernah kulihat antrian kereta dan gerobak sepanjang ini. Malam tadi ketika aku lewat di sini suasana juga belum seperti ini. hmm... ada apa sebenarnya hari ini?" Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai bergumam perlahan.

   "'Baiklah kita tanyakan saja kepada pemilik gerobak dan kereta itu. Kita tentu akan mendapatkan jawaban." Yap Kiong Lee menyahut. Yap Kiong Lee lalu mendekati salah seorang pengendara kereta itu. Seorang lelaki setengah tua yang rambutnya sudah banyak ubannya.

   "Lopek...! Sungguh mengherankan sekali, mengapa hari ini banyak sekali orang yang hendak menyeberang ke arah barat? Apakah ada sesuatu di sebelah barat sana?" Pengendara kereta itu tersentak bangun dari lamunannya. Dengan gugup ia mengawasi rombongan Yap Kiong Lee. Paras mukanya kelihatan mendongkol karena merasa terganggu istirahatnya.

   "Kalian orang mana? Mengapa sampai tak tahu kalau hari ini ada pesta perkawinan di kota Cin-an?" katanya kaku.

   "Perkawinan...? Oh, benar! Ya-ya... tentu saja kami sudah mengetahuinya. Tapi... apakah semua kereta dan gerobak ini hendak ke sana?" Yap Kiong Lee bertanya lagi.

   "Tentu saja. Mereka semua adalah tamu-tamu yang diundang oleh ketua Tiam-jong-pai itu." Pengendara kereta itu menjawab semakin kesal.

   "Oh? Kalau begitu...?"

   "Ah! Sudahlah...! Aku mau beristirahat!" pengendara kereta yang semalaman kurang tidur itu mendengus marah seraya merebahkan punggungnya di sandaran kereta. Matanya tertutup dan tak mempedulikan Yap Kiong Lee lagi. Pendekar dari istana itu menarik napas panjang. Hampir saja harga dirinya tersinggung, untunglah pada saat yang sama dari belakang kereta tiba-tiba muncul seorang lelaki gagah berpakaian rapi dan bagus. Di belakang lelaki gagah itu muncul pula dua orang pengawal berpakaian ringkas-ringkas. Semuanya membawa tombak panjang. Begitu datang lelaki gagah itu segera menegur pengendara kereta tersebut.

   "A Siang! Kenapa kau berteriak-teriak? Ada persoalan apa?" Pengendara kereta tua itu segera meloncat turun dengan kagetnya. Wajahnya kelihatan kecut dan ketakutan.

   "Maaf...! Maaf, Siauwya! Saya... saya tidak bermaksud mengganggu istirahat nyonya..." katanya gugup sambil melirik ke dalam kereta.

   "Orang-orang inilah yang mengganggu saya dengan pertanyaan-pertanyaannya..." lanjutnya kemudian seraya menuding Yap Kiong Lee beserta Souw Thian Hai dan Liu Yang Kun.

   "Hmmh!" lelaki gagah itu mendengus, lalu berpaling mengawasi Yap Kiong Lee. Matanya kelihatan galak ketika menentang mata pendekar dari istana itu. Diam-diam Yap Kiong Lee merasa lega karena tidak dikenali orang. Namun demikian hatinya merasa khawatir juga ketika orang itu tiba-tiba mengalihkan pandangannya kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Pendekar Souw itu terlalu dikenal di dunia persilatan. Jangan-jangan orang itu mengenal Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai sehingga perjalanan mereka menjadi terhambat karenanya.

   "Hemm... cuwi datang dari mana? Dan ada keperluan apakah sehingga cuwi harus berselisih kata dengan pengendara keretaku?" tanya lelaki gagah itu seperti tidak mengenal kepada Souw Thian Hai pula. Sekali lagi Yap Kiong Lee menghela napas lega.

   "Maaf, Sebenarnya kami tak bermaksud mengganggu pengendara kereta tuan. Kami cuma ingin bertanya saja tentang sesuatu hal kepadanya, yaitu tentang kereta dan gerobak yang berderet-deret panjang ini. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Tidak biasanya terjadi hal-hal seperti ini sebelumnya."

   "Hmm... cuma itu saja?" lelaki gagah itu menegaskan. Wajahnya seperti kurang percaya.

   "Ya! Memang hanya itu!" akhirnya Yap Kiong Lee merasa kesal pula. Lelaki gagah itu mengerutkan dahinya. Agaknya ia juga kurang senang dengan jawaban Yap kiong Lee itu.

   "Nah, kalau begitu Cuwi tak usah mengganggu dia lagi. Bukankah cuwi sudah memperoleh jawabannya? Kini biarlah orangku itu beristirahat," katanya kemudian dengan nada dingin. Hampir saja Liu Yang Kun melompat menghajar mulut lelaki gagah itu. Untunglah Hong gi-hiap Souw Thian Hai yang berada di sampingnya cepat menahannya. Yap kiong Lee cepat membalikkan tubuhnya. Matanya menatap Liu Yang kun. Mulutnya tersenyum.

   "Marilah kita meneruskan perjalanan...!" ajaknya kemudian seolah-olah tak ada kejadian apa-apa. Souw Thian Hai tersenyum pula. Senyum kagum menyaksikan ketenangan kawannya.

   "Marilah, Pangeran...!" pendekar sakti itu berbisik ke telinga Liu Yang Kun. kemudian menarik lengan pemuda itu dan mengajaknya pergi dan tempat itu. Liu Yang Kun terpaksa menurut. Walaupun hatinya masih terasa panas, namun ia tak bisa ikut campur. Ternyata Yap Kiong Lee sendiri tak merasa tersinggung atas perlakuan orang itu. Tapi belum juga ada sepuluh langkah mereka berjalan, mendadak terdengar suara jerit lelaki gagah tadi di belakang mereka.

   Sebuah jerit yang mengungkapkan perasaan kaget dan kemarahan. Otomatis mereka bertiga menoleh. Dan mereka terbelalak kaget ketika menyaksikan lelaki gagah itu memeluk dan mengeluarkan mayat seorang wanita dari dalam keretanya. Mayat seorang wanita muda yang hampir tidak tertutup pakaian sama sekali. Liu Yang Kun bertiga cepat berbalik kembali. Bahkan Yap Kiong Lee cepat melemparkan baju-luarnya untuk menutupi tubuh molek itu. Sementara itu orang-orang yang berada di sekitar tempat tersebut telah berlarian datang pula mendengar jeritan lelaki gagah tadi. Namun orang-orang itu segera bubar kembali ketika lelaki gagah itu tiba-tiba berdiri dan berteriak keras sekali.

   "Pergiiiii...!!!!!" Liu Yang Kun bertiga terpaksa melangkah mundur pula.Namun langkah mereka segera terhenti tatkala lelaki gagah itu menuding ke arah mereka.

   "Hei, kalian bertiga jangan lari...! Kalian harus mengganti nyawa isteriku! Pengawal! tangkap mereka!" teriak lelaki gagah itu. Kedua orang pengawal bersenjatakan tombak panjang itu segera meloncat menghadapi Liu Yang Kun bertiga. Gerakan mereka cukup gesit, menandakan bahwa mereka berdua memiliki cukup kepandaian pula.Tapi dengan sikapnya yang masih tetap tenang Yap Kiong Lee mengawasi teman-temannya.

   "Hmm, tampaknya kita bertiga dituduh sebagai pembunuh dan pemerkosa isteri orang. Sungguh jelek sekali nasib kita..." katanya bergurau.

   "Pembunuh dan pemerkosa...?" Souw Thian Hai dan Liu Yang Kun berdesah hampir berbareng. Keduanya memandang Yap Kiong Lee dengan kening berkerut.

   "Benar. Menurut keadaan mayat wanita itu ia tentu telah diperkosa sebelum dibunuh. Dan karena kita tadi berada di tempat ini, bahkan telah bertengkar dengan pengendara kereta itu pula, maka kitalah yang dicurigai oleh suaminya!"

   "Tapi kita baru saja datang! Dan kita bertiga tidak pernah berbuat apa-apa di sini!" Liu Yang Kun menggeram penasaran. Yap Kiong Lee mengangguk hormat.

   "Ya! Tapi tak seorang pun mau percaya kepada kita. Apalagi... orang itu!" katanya sambil menuding lelaki gagah beserta pengawalnya.

   "Jangan banyak cakap! Menyerah sajalah kepada kami! Kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa di depan Siauw Cungcu kami!" salah seorang pengawal bertombak itu mengancam seraya menyabetkan ujung tombaknya kepada Yap Kiong Lee. Sementara pengawal yang seorang lagi segera menerjang Souw Thian Hai pula.

   Tampaknya mereka berdua sangat memandang enteng kepada Liu Yang Kun, karena Pangeran itu berusia paling muda diantara lawan-lawan mereka. Tapi tentu saja Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai dapat mengelakkan serangan tersebut dengan mudahnya. Bahkan kalau mau, kedua pendekar sakti itu bisa saja membunuh kedua pengawal tersebut dalam sekali pukulan. Namun mereka tidak ingin melakukannya, karena mereka justru ingin mengetahui masalahnya terlebih dahulu. Yang kemudian dilakukan oleh kedua pendekar itu hanyalah mengelak dan menghindar saja dari serangan kedua orang pengawal itu. Bahkan Hong gi-hiap Souw Thian Hai yang mengenakan mantel pusaka warisan Bit-bo-ong itu sama sekali juga tak ingin memamerkan keampuhan mantel pusakanya tersebut. Sambil berloncatan Yap Kiong Lee berusaha menyelidiki asal-usul lawannya.

   "Siauw Cungcu...,.? Eh, apakah tuanmu itu seorang Kepala Kampung?" Tanya pendekar dari istana itu kepada lawannya. Pengawal yang belum sadar akan kelemahannya itu semakin ganas mempermainkan tombaknya. Bahkan pengawal itu mengira kalau Yap Kiong Lee mulai jerih terhadap majikannya.

   "Hahaha... kau mulai takut rupanya. Ketahuilah...! Majikan kami itu adalah Siauw Tong Jin, yang mendapat julukan Sin Tung (Si Tongkat Sakti) penguasa tigabelas kampung nelayan di pantai Syan-tung Timur!" serunya sombong.

   "Oooh...?" Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai pura-pura berdesah kagum.

   "Dan harap kau ketahui pula bahwa majikanku itu ikut tertulis pula namanya di dalam Buku Rahasia yang menghebohkan itu...!" pengawal itu semakin tinggi menyombongkan majikannya.

   "Heh? Ikut termasuk di dalam Buku Rahasia?" Yap Kiong Lee betul-betul kaget. Otomatis matanya mengerling kepada Hong-Gi-Hiap, Souw Thian Hai.

   "Ya! Majikanku itu tertulis pada urutan yang ke enam puluh empat!"

   "Enam puluh empat...?" sekali lagi Yap Kiong Lee berdesah, namun kali ini sambil mengulum senyum. Tentu saja pendekar dari istana itu tahu pula tentang daftar di dalam Buku Rahasia itu. Bahkan khabarnya namanya sendiri juga ikut tertulis pula di urutan yang ke empatbelas. Namun demikian baru kali ini dia mendengar bahwa urut-urutan nomer tersebut mencapai lebih dari lima puluh.

   "Saudara Souw...? Betulkah urut-urutannya sampai sekian banyaknya?" akhirnya pendekar dari istana itu bertanya kepada sahabatnya. Tak terduga pendekar sakti yang menempati urutan kelima itu tertawa keras.

   "Wah... mana aku tahu? Aku belum pernah melihat buku itu..." Demikianlah sambil bercakap dan bergurau kedua sahabat itu me layani serangan tombak lawannya. Mereka tetap tidak mau membalas dan hanya menghindar saja kesana-kemari, sehingga lambat-laun lawan mereka menjadi sadar sendiri akan kelemahannya. Tapi untuk melangkah mundur dari arena kedua orang pengawal itu merasa takut. Takut kepada majikannya, Siauw Cungcu. Sementara itu Siauw Cungcu sendiri telah menempatkan mayat isterinya ke dalam kereta kembali. Dengan wajah beringas penuh dendam ia melangkah mendekati arena pertempuran.

   "Minggir... Biar aku sendiri yang menghadapi mereka!" serunya lantang kepada pengawalnya. Kedua pengawal yang sudah mandi keringat itu cepat-cepat mundur meninggalkan arena. Mereka benar-benar kehabisan napas. Panggilan untuk keluar dari arena itu sungguh sangat melegakan mereka.

   "Cungcu, hati-hati...! Mereka lihai sekali!" kedua orang pengawal itu memberi peringatan.

   "Diam! Jaga kereta itu!" hardik Siauw Tong Jin. Kepala kampung yang masih muda itu lalu menghampiri Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai. Tangan kanannya telah memegang sebuah tongkat besi sepanjang satu depa. Warnanya hitam mengkilat. Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai terkejut melihat tongkat itu. Mereka mengenal ciri-ciri tongkat tersebut.

   "Siauw Cungcu, tahan dulu...!" tiba-tiba Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai berseru.

   "Huh, ada apa? Kalian mau menyangkal lagi?" Siauw Tong Jin menggeram. Souw Thian Hai menghela napas. Tiba-tiba sikap pendekar sakti itu berubah keras. Matanya mencorong berwibawa.

   "Siauw Cungcu! Coba jawab...! Apa hubunganmu dengan Tiat-tung Kai-pang...?" pendekar itu tiba-tiba pula membentak. Sungguh mengherankan Begitu nama perkumpulan pengemis itu disebutkan oleh Souw Thian Hai, maka Siauw Tong Jin tampak kaget sekali. Matanya terbeliak lebar, seolah menentang mata Souw Thian Hai dengan tegangnya.

   "Kau... mengenal ciri perguruanku? Siapakah... kalian?" serunya sedikit gugup, sehingga kesan kegarangan dan kebengisannya menjadi berkurang. Souw Thian Hai tersenyum.

   "Siauw Cungcu tak perlu kaget. Ciri tongkatmu itu sangat mudah dikenali. Bahkan melihat panjangnya, aku bisa menduga bahwa kau bukan murid Tiat-tung Lo-kai, tetapi murid Tiat-tung Hong-kai." Siauw Tong Jin semakin terperanjat.

   "Kau... kau siapa?" geramnya kemudian dengan mata melotot. Souw Thian Hai terdiam dan tak segera menjawab pertanyaan itu. Sekilas matanya melirik kepada Yap Kiong Lee, kemudian menarik napas panjang sekali. Baru sesaat kemudian setelah tidak ada reaksi dari sahabatnya itu, ia menjawab.

   "Namaku... Souw Thian Hai! Aku sudah kenal baik dengan gurumu. Bahkan aku juga sudah bersahabat erat dengan Keh-sim Siauw-hiap, orang yang sangat dihormati Tiat-tung Kai-pang."

   "Souw... Thian... Hai? Kau... Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang tersohor di dunia persilatan itu?" Siauw Tong Jin berseru tak percaya. Lagi-lagi Souw Thian Hai hanya tersenyum tanpa menjawab. Pendekar sakti itu hanya menggerakkan jari telunjuknya yang sebelah kanan untuk menuding tongkat Siauw Tong Jin.

   "Cuss... thaas!" Serangkum angin tajam menerjang tongkat itu! Tongkat besi itu terlempar dari tangan Siauw Tong Jin. Sementara kepala kampung yang masih muda itu tampak terbelalak kesakitan. Demikianlah, selagi kedua temannya menghadapi Siauw Tong Jin dan pengawalnya, maka Liu Yang Kun sendiri tampak sibuk bercakap-cakap dengan seorang penonton di pinggir arena. Pemuda itu bergabung dengan para penonton karena ia merasa bahwa kedua temannya itu akan dapat mengatasi persoalan mereka dengan baik.

   "Eh, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa mereka berkelahi?" Pangeran muda itu pura-pura bertanya. Seorang nelayan tua yang baru saja datang di samping Liu Yang Kun menjawab,

   "Entahlah. Aku juga tidak tahu. Aku baru saja datang. Kata orang di sini baru saja terjadi pembunuhan dan perkosaan."

   "Pembunuhan dan perkosaan?"

   "Begitulah. Sungguh memprihatinkan sekali. Aku baru saja datang dari pinggir sungai. Disana juga ada peristiwa seperti ini."

   "Di pinggir sungai...? Di sana juga ada peristiwa perkosaan dan pembunuhan?" Liu Yang Kun tersentak kaget.

   "Ya! Hmmh! Entahlah, akhir-akhir ini memang banyak sekali tindak kejahatan di kampung ini. Dalam waktu dua hari saja telah terjadi empat kali peristiwa pembunuhan dan perkosaan. Bahkan malah menjadi lima kali bila ditambah dengan peristiwa di tempat ini..."

   "Gila! Mengapa demikian? Apakah tidak ada petugas keamanan yang menangani masalah ini?"

   "Petugas keamanan?" nelayan tua itu menyeringai kecut.

   "Di kampung ini tidak ada petugas keamanan. Kalaupun ada, mereka juga takkan bisa mengatasinya. Pelaku-pelaku kejahatan itu adalah orang orang persilatan yang mampu terbang seperti burung..."

   "Maksud Lopek?" Nelayan tua itu memandang Liu Yang Kun sekejap.

   "Anak muda. kau tentu bukan orang sini..." Liu Yang Kun mengangguk.

   "Nah, ketahuilah...! Sudah beberapa hari ini banyak orang berbondong-bondong lewat di kampung ini. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang persilatan. Khabarnya mereka hendak menghadiri pesta perkawinan besar di Kota Cin-an. Kedatangan mereka di kampung kecil ini ternyata juga membawa bencana pula. Diantara mereka terdapat penjahat-penjahat yang suka mernperkosa dan membunuh orang, seperti yang kau lihat di tengah arena itu. Siapa yang akan menyangka kalau mereka itu penjahat?"

   "Lopek maksudkan kedua orang gagah yang sedang berhadapan dengan si pemilik kereta itu?" Nelayan tua itu mengangguk.

   "Ya. Tidak kita sangka bukan?"

   "Kurang ajar...,! Mereka bukan penjahat! Mereka kawanku!" tiba-tiba Liu Yang Kun menggeram.

   "A-a-apa...? Ooh!" nelayan tua itu berdesah ketakutan dan tiba-tiba saja ia lari meninggalkan tempat itu. Akibatnya orang-orang di sekeliling merekapun juga ikut-ikutan lari pula, sehingga Liu Yang Kun tertinggal sendirian di tempat tersebut.

   "Gila!" pemuda itu tersenyum. Sementara itu perkelahian di dalam arena benar-benar telah berhenti. Siauw Tong Jin sudah yakin benar bahwa yang ia hadapi adalah Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai, tokoh nomer lima di dalam Buku Rahasia itu dan karena itu ia sudah tidak berani berkutik lagi.

   "Nah, Siauw Cungcu... Apakah kau masih menyangka bahwa kami yang mencelakakan isterimu?" akhirnya Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai mendesak kepala kampung itu.

   "Oh, tidak... tidak! Kami tidak berani, Taihiap. aku..aku mengaku salah. Aku dan orang-orangku mohon maaf kepadamu..." Kedua orang pengawal Siauw Tong Jin itu mendekati majikannya dengan wajah ketakutan. Mereka berdua hampir tidak berani memandang kepada Souw Thian Hai maupun Yap Kiong Lee.

   "Dia... dia itu... Hong-Gi-Hiap Souw thian Hai yang amat tersohor itu, Cungcu?" bisik mereka kepada Siauw Tong Jin.

   "Kalian memang goblok! Untung saja kalian masih hidup sekarang!" kepala kampung itu menggeram pendek. Yap Kiong Lee maju ke depan.

   "Sudahlah... Cungcu! Mari kita rawat mayat isterimu! Nanti kita selidiki, siapa yang telah menganiayanya. Ehm, nanti..." Pendekar dari istana itu menghentikan ucapannya, karena beberapa orang laki-laki tampak mendekati mereka. Seorang diantaranya kelihatan lebih berwibawa dari pada yang lainnya.

   "Cungcu datang! Cungcu datang...!" tiba-tiba terdengar beberapa orang penonton berseru perlahan. Yap Kiong Lee saling bertukar pandang dengan Souw Thian Hai. Sementara itu Liu Yang Kun juga telah berada bersama mereka kembali. Pemuda itu segera membisiki mereka tentang apa yang telah didengarnya dari nelayan tua tadi.

   "Maaf, saya adalah kepala kampung di sini. Bolehkah saya bertanya, apa yang telah terjadi di tempat ini?" begitu datang orang yang tampak lebih berwibawa tadi bertanya kepada Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai. Yap Kiong Lee menarik napas panjang, Kemudian diceritakannya serba sedikit apa yang telah terjadi di tempat itu tadi, sehingga dia dan kawan-kawannya berselisih dengan Siauw Tong Jin.

   "Nah. Apa kataku...?" Selesai mendengar cerita Yap Kiong Lee kepala kampung itu berdesah.

   "Kampung ini benar-benar telah dikotori oleh ulah para penjahat yang datang bersama-sama para penyeberang sungai. Belum juga selesai aku mengurus peristiwa di tepian sungai tadi, kini telah timbul pula peristiwa yang serupa. Oh, rusak... rusak! Rusak kampungku ini..."

   "Cungcu... Cungcu harap bersabar hati menerimanya..." para pengikutnya segera membujuk dan menenangkan hatinya.

   "Souw Taihiap...!" tiba-tiba Liu Yang Kun berkata kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai.

   "Aku percaya pembunuh itu belum pergi dari kampung ini. Dia tentu masih berkeliaran di sekitar tempat penyeberangan itu. Hmm, bagaimana kalau kita mencarinya ke sana?"

   "Tapi tak seorangpun mengetahui wajah pembunuh itu. Bagaimana kita dapat mencarinya?" Yap Kiong Lee menyahut.

   "Siapa bilang tak ada yang melihat wajahnya?" tiba-tiba kepala Kampung itu memotong pula. Namun perkataannya segera terhenti. Bahkan air mukanya menjadi pucat ketakutan.

   "Siapa? Bagaimana wajah pembunuh itu?" Siauw Tong Jin yang telah kehilangan isterinya itu mendadak menerkam lengan kepala kampung itu.

   "Aduh...!" kepala kampung yang tak mengerti silat itu berteriak kesakitan.

   "Sabar! Sabar, Siauw Cungcu...!" Yap Kiong Lee cepat melerai. Siauw Tong Jin melepaskan tangannya. Namun sikapnya masih tampak beringas.

   "Siapakah dia? Ayoh, lekas katakan!" teriaknya. Tersinggung juga pengiring kepala kampung itu mendengar dan melihat kekasaran Siauw Tong Jin. Mereka segera mengepung Siauw Tong Jin dengan sikap mengancam.Tapi dengan cepat Yap Kiong Lee menengahinya. Pendekar dan istana itu segera menegang lengan kepala kampung itu dan membujuknya.

   "Cungcu, kau jangan tersinggung. Siauw-heng ini juga seorang kepala kampung di daerah pantai timur. Dia baru saja kehilangan isterinya sehingga dia tak bisa mengendalikan dirinya. Harap Cungcu bisa memakluminya..." Kepala kampung itu menghela napas panjang, kemudian mengangguk kepada pengiring-pengiringnya.

   "Baiklah, aku memakluminya..." desahnya kemudian dengan perlahan.

   "Terima kasih, Cungcu. Nah! Sekarang kami harap Cungcu mau mengatakan! Siapakah pembunuh itu? Atau kalau Cungcu belum mengenalnya, katakan bagaimana bentuk dan ciri-ciri wajahnya?" Tiba-tiba kepala kampung itu menjadi pucat kembali. Matanya melirik ke arah penonton yang mulai berjubel mengelilingi mereka. Souw Thian Hai mendekat pula. Tangannya menepuk pundak kepala kampung itu.

   "Cungcu tidak perlu takut. Kami bertigalah yang akan bertanggung-jawab apabila penjahat itu nanti marah. Kami memang sudah lama mendengar khabar tentang penjahat yang suka memperkosa wanita itu. Di daerah Kiang-su banyak wanita korbannya yang diketemukan orang di aliran sungai."

   "Ya, akupun pernah mendengarnya pula. Oleh karena itu kita harus mencegahnya. Penjahat itu tidak boleh meraja-lela dengan kekejamannya. Nah Cungcu...! Lekaslah katakan kepada kami ciri-cirinya!" Yap Kiong Lee menyambung.

   "Ba-baiklah...!" kepala kampung itu berkata dengan gemetar,

   "Menurut keluarga korban yang diketemukan di pinggir sungai itu, mereka... mereka itu terdiri dari dua orang."

   "Dua orang?" Souw Thian Hai dan Yap Kiong Lee berseru hampir berbareng.

   "Benar, Penjahat itu terdiri dari dua orang. Yang seorang berperawakan gagah. Sedang yang seorang lagi bertubuh kecil biasa. Namun yang menakutkan ialah kedua-duanya berwajah putih pucat seperti tidak berdarah. Sinar mata mereka juga liar mengerikan."

   "Cuma itu saja? Tak ada tanda tanda atau ciri-ciri yang lainnya? Wah... sulit kalau begitu! Bagaimana kita bisa mencarinya? Sangat banyak orang yang memiliki ciri seperti itu..." Yap Kiong Lee mengeluh.

   "Dia tidak menyebutkan namanya?" Siauw Tong Jin ikut menggeram penasaran. Kepala kampung itu menggelengkan kepalanya.

   "Ooooooh...!" semuanya mengeluh pendek.

   "Untung-untungan kita cari ke pinggir sungai itu. Bagaimana...?" Liu Yang Kun akhirnya mengajukan usul.

   "Ya. Aku juga sependapat. Siapa tahu penjahat itu masih berada di sana?" Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai menyetujui usul itu.

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baiklah! Kalau begitu...???" Belum juga Yap Kiong Lee menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba dari arah sungai muncul beberapa orang penduduk berlari-lari mendatangi. Mereka berteriak-teriak mencari kepala kampungnya.

   "Cungcu...! Cungcu...! Cepatlah ke sungai lagi? Pembunuh itu telah beraksi kembali. Dia..., dia..." mereka berseru dan berteriak bersaut-sautan. Kepala kampung itu dengan diikuti oleh Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai segera menyongsong mereka.

   "Penjahat itu telah beraksi kembali? Siapakah korbannya? Apakah korbannya juga dibunuh?" dengan suara gemetar kepala kampung itu bertanya. Salah seorang dari mereka segera melapor dengan suara terputus-putus karena hampir kehabisan napas.

   "Kali ini... kali ini yang diculik... put-put...puteri Cungcu sendiri! Dia... dia... dibawa menyeberang..."

   "Apa...??? Ouugh...?" kepala kampung itu menjerit lalu pingsan. Souw Thian Hai saling bertukar pandang dengan Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun. Dan sekejap kemudian mereka bertiga telah 'terbang' meninggalkan tempat itu. Begitu cepatnya mereka bergerak sehingga orang-orang yang ada di sekeliling mereka tidak menyadari bahwa mereka bertiga telah pergi. Baru beberapa saat kemudian orang-orang itu menjadi sadar bahwa mereka telah kehilangan Yap Kiong Lee.

   "Bukan main! Sekarang aku makin percaya bahwa pendekar sakti itu benar-benar Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang tersohor itu! Hei! Marilah kita menyusul ke sungai! Souw Taihiap tentu kesana!" Siauw Tong Jin berseru kepada pengawalnya.

   "Ba-bagaimana dengan jenasah Siauw Hujin...?' pengawalnya bertanya ragu.

   "Ooouoh... benar! Aku... aku... oooooh!" tiba-tiba Siauw Tong Jin mengeluh pendek, kemudian berlari menuju keretanya.

   Demikianlah ketika orang-orang di tempat itu sibuk merawat kepala kampungnya yang pingsan dan Siauw Tong Jin bersama para pengawalnya juga sedang sibuk mengurusi jenasah Siauw Hujin, maka Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai bersama dengan Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun telah berada di tepian sungai Huang-ho, atau tempat penyeberangan yang ramai itu. Yang sampai lebih dahulu adalah Liu Yang Kun. Kemudian Souw Thian Hai. Dan yang terakhir, agak jauh beberapa langkah di belakang mereka, adalah Yap Kiong Lee. Dan merekapun tidak perlu bersusah payah pula untuk bertanya tentang penjahat yang mereka cari? Karena semua orang telah mengarahkan pandangan mereka ke tengah sungai.

   Ke arah perahu besar yang bergoyang-goyang diterjang gelombang air. Sungai Huang-ho memang lebar dan luas bukan main, sehingga perahu besar setinggi hampir tiga meter itu bagaikan potongan kayu kecil saja di tengah-tengahnya. Namun bukan keganasan ombak yang mempermainkan perahu itu yang membuat semua orang memperhatikannya, akan tetapi keributan yang terjadi di atas perahu itulah yang menjadi pokok perhatian mereka. Keributan itu sendiri memang tidak begitu jelas terlihat dari tepian sungai. Semua orang hanya bisa melihat bahwa diatas perahu besar itu terjadi perkelahian hebat yang melibatkan beberapa orang, Dan pertempuran itu menjadi semakin ribut dan seru ketika beberapa perahu kecil mulai menempel, serta melibatkan para penumpangnya dalam pertikaian tersebut.

   "Tampaknya penjahat itu telah dikepung ramai-ramai di atas perahu itu." Souw Thian Hai berkata kepada Liu Yang Kun.

   "Hemm... bagaimana kita bisa ke sana?"

   "Di dekat dermaga itu banyak ditambatkan sampan-sampan kecil. Kita pinjam saja sebuah. Bagaimana"?" Yap Kiong Lee mengajukan usul. Tapi sampan-sampan itu hanya dipergunakan orang di pinggiran sungai yang tidak begitu dalam.

   "Bagaimana mungkin ia bisa menerjang gelombang besar yang ada di tengah sana?" Liu Yang Kun menyatakan keraguannya. Souw Thian Hai saling pandang dengan Yap Kiong Lee, kemudian tertawa bersama-sama. Mereka salah terima. Mereka berdua menyangka bahwa perkataannya tadi Liu Yang Kun menyangsikan kemampuan mereka di atas air.

   "Pangeran...,! Meskipun ginkang dan Iwee kang kami belum setinggi Pangeran, namun kalau hanya menyeberangi sungai ini saja kami berdua masih mampu," akhirnya Yap Kiong Lee menjawab hati-hati. Liu Yang Kun terkejut sekali.

   "Eh-oh... ja-jangan salah paham! Aku tak bermaksud demikian. Sungguh. Aku tak bermaksud seperti itu. Ini... ini... eh mengapa jadi begini?" Sekali lagi Souw Thian Hai saling bertatap mata dengan Yap Kiong Lee. Senyum di bibir mereka menghilang. Sadarlah mereka kini bahwa Pangeran Liu Yang Kun yang kadang-kadang memang berpikiran sangat sederhana itu tak bermaksud meragukan ilmu mereka. Dengan penyakitnya itu Liu Yang Kun kadang-kadang memang kurang menyadari akan kehebatan ilmunya sendiri. Oleh karena itu dengan sabar dan berwibawa Souw Thian Hai melangkah ke depan.

   "Sudahlah, Pangeran. Kami berdua hanya bergurau. Pangeran tak usah memasukkannya ke dalam hati. Marilah...! Kita pinjam salah sebuah dari sampan-sampan itu, kemudian kita bawa bersama-sama ke tengah. Dan kita bertiga memang harus berjuang dengan segala kemampuan ilmu kita agar sampan kecil itu tidak terbalik dihantam gelombang," katanya kemudian dengan hati-hati.

   "Ya-ya, marilah...!" Liu Yang Kun menyahut dengan gembira pula. Dengan uangnya Yap Kiong Lee lalu menyewa sebuah sampan yang agak besar. Mula-mula pemiliknya memang berkeberatan. Namun setelah Yap Kiong Lee mau membayar lebih banyak, serta berjanji akan menggantinya kelak apabila sampan itu sampai rusak atau hilang, maka si pem ilik sampan tersebut lalu melepaskannya. Tapi sementara itu perahu-perahu kecil yang datang dan menempel pada perahu besar tadi sudah bertambah menjadi semakin banyak pula.

   Bahkan yang mempergunakan sampan pun tidak cuma mereka sendiri. Ternyata jauh agak ke tengah sungai telah ada pula sampan-sampan kecil yang ditumpangi oleh pendekar-pendekar persilatan yang kebetulan berada di tempat penyeberangan tersebut. Semakin ke tengah maka ombak pun semakin terasa menggelora. Sampan kecil yang mereka tumpangi terasa sulit mereka kendalikan. Hanya karena kesaktian mereka saja sampan kecil itu tidak tergulung di dalam pusaran gelombang air. Tiba-tiba Liu Yang Kun tersentak kaget. Diantara amukan gelombang sungai yang ganas itu, dan juga di antara tebaran perahu lain yang terombang-ambing di sekitar tempat itu matanya melihat sebuah sampan besar yang dinaiki oleh seorang kakek tua. Dan pemuda itu segera mengenalnya sebagai Lo-sin-ong, guru Tiauw Li Ing.

   "Lo-sin-ong...? Oh, mengapa kakek itu berada di sini pula? Lalu dimana Tiauw Li Ing berada? Mengapa dia tidak berada bersama dengan kakek itu?"

   "Pangeran! Ada apa?" Yap Kiong Lee yang melihat kekagetan Liu Yang Kun itu cepat bertanya. Liu Yang Kun terbatuk-batuk. Jari telunjuknya menuding ke tempat dimana Lo-sin-ong tadi berada.

   "Aku melihat Lo-sin-ong di sana..." Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai mencoba untuk mencari arah yang ditunjukkan oleh pemuda itu, tapi sebuah perahu besar melintas menghalang-halangi pandangan mereka. Bahkan ombak yang diciptakan oleh perahu besar tersebut hampir saja menenggelamkan sampan kecil mereka. Dan ketika akhirnya mereka bisa menguasai sampan mereka kembali, mereka sudah tidak dapat menemukan sampan Lo sin-ong lagi.

   "Sudahlah. Pangeran. Kalau memang jodoh kita tentu akan bertemu dengan dia lagi nanti," Yap Kiong Lee membujuk.

   "Tapi... tapi aku justru tak ingin bertemu dengan mereka lagi!" tiba-tiba Liu Yang Kun berdesah.

   "Eh, mengapa? Bukankah isteri Pangeran itu...?"
(Lanjut ke Jilid 35)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 35
"Ya-ya! Tapi... ah! Biarlah semuanya itu kita pikirkan saja nanti setelah penyakitku ini sembuh." Liu Yang Kun cepat menjawab dengan suara berat. Wajahnya kelihatan pucat seperti sedang menahan beban perasaan yang amat berat. Tentu saja Souw Thian Hai menjadi bertanya-tanya di dalam hatinya. Tapi pendekar sakti itu tak mau ikut campur dalam percakapan itu. Ia pura-pura sibuk mengendalikan sampan mereka.

   "Ada sesuatu yang aneh pada Pangeran muda ini..." katanya di dalam hati. Kemudian pendekar sakti itu teringat akan Souw Lian Cu, puterinya. Diam-diam hatinya menjadi sedih.

   "Rasanya aku seperti melihat getaran cinta diantara mereka berdua. Tapi kenapa nasib seakan-akan selalu memisahkan mereka? Apakah mereka itu memang benar-benar tidak berjodoh?" Demikianlah, selagi pendekar sakti itu memikirkan hubungan Souw Lian Cu dengan Pangeran Liu Yang Kun, maka di tempat lain Souw Lian Cu sendiri juga sedang berpikir pula tentang hubungannya dengan Liu Yang Kun.

   Saat itu Souw Lian Cu juga sedang dalam perjalanan ke kota Cin-an pula bersama rombongan Ui Bun Ting. Mereka belum begitu jauh dari kota Lai y ing karena keberangkatan mereka memang jauh tertunda akibat kegemparan semalam. Dan kuda serta kereta yang mereka pergunakan juga tidak dapat mereka kendarai dengan cepat pula, karena kesehatan Ui Bun Ting yang belum baik. Souw Lian Cu berkuda sendirian di depan. Sedang kereta yang ditumpangi Ui Bun Ting, Han Sui Nio dan Tui Lan beserta bayinya, berada di belakangnya. Dan sebagai pengawal dari rombongan tersebut adalah orang-orang Tiam jong-pai yang menyusul Ui Bun Ting tadi malam. Mereka berkuda di belakang kereta.

   Tak ada sinar kegembiraan di wajah Souw Lian Cu. Gadis ayu itu lebih banyak merenung di atas punggung kudanya. Hanya sesekali ia tampak melirik atau memandang dengan sudut matanya ke arah kereta, dimana Tui Lan bersama bayinya berada. Gadis ayu itu merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tui Lan terhadapnya, namun ia tak tahu apa yang disembunyikan oleh sahabatnya itu. Gadis itu hanya bisa mengingat bahwa sejak siuman dari pingsannya, sahabatnya itu bersikap amat aneh. Y aitu seperti orang yang kaget, bingung dan sedih luar biasa. Dan celakanya, sahabatnya itu tak mau mengatakannya apa yang sedang dideritanya. Bahkan kepada ibunya, Han Sui Nio, Tui Lan juga tak mau berterus terang pula.

   "Heran. Dengan akupun Cici Tui Lan juga bersikap aneh. Cici Tui Lan seperti selalu menghindari aku. Apa sebenarnya yang dipikirkannya? Apakah Cici Tui Lan tak menyukai ibunya kawin dengan Ui Bun Ting?" Souw Lian Cu menerka-nerka di dalam hatinya.

   Sebenarnyalah bahwa pada waktu itu Tui Lan sedang mengalami goncangan pikiran yang hebat sekali. Pertemuannya yang tak terduga dengan Liu Yang Kun, yang selama ini telah ia anggap mati, benar-benar sangat menggoncangkan jiwanya. Dia seperti mendapatkan sebuah mukjijat Namun di lain pihak, ketika ia sadar bahwa kemunculan suaminya itu bersama dengan Tiauw Li Ing dan Souw Lian Cu, kegembiraan itu tiba-tiba seperti hilang kembali. Bahkan kehilangan tersebut seperti meninggalkan bekas-luka yang menyakitkan di dadanya. Tiba-tiba ia merasa semua kesedihan dan kesengsaraan di dunia ini tertimbun di pundaknya.

   Apalagi ketika diketahuinya, suaminya itu pergi ke Cin-an tanpa sedikitpun mempedulikannya. Semalam, begitu siuman dari pingsannya, yang dicari Tui Lan adalah Liu Yang Kun. Ia segera bangkit dari pembaringannya. Matanya nanar melihat kesana-kemari. Bahkan ketika di dalam kamar itu hanya ada ibunya dan keluarga Ui Bun Ting yang lain ia berlari keluar. Ke ruang-tengah, dimana terdengar suara orang banyak bercakap-cakap. Namun di ruang tengah itupun Tui Lan juga tidak dapat melihat wajah Liu Yang Kun. Yang ada hanya Ui Bun Ting dan beberapa orang saudaranya. Mereka sedang berbincang ramai dengan Souw Lian Cu, yang tampaknya baru saja masuk ke rumah itu. Sedang di luar rumah, di jalan raya, terdengar suara ribut para penduduk yang berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit.

   "Hei, Lan-ji...? Ada apa?" Ui Bun Ting yang belum sembuh dari pengaruh racun Giok-bin Tok-ong itu cepat menyapa Tui Lan. Sementara Han Sui Nio yang mengejar Tui Lan dari dalam kamarpun telah berada di belakangnya pula. Dengan perasaan khawatir wanita tua itu memeluk Tui Lan dari belakang.

   "Tui Lan? Apa yang kaucari, nak? Kau mencari bayimu...? Jangan khawatir! Dia ada di kamar belakang. Dia sedang tidur," wanita tua itu membujuk. Namun dengan tegas Tui Lan menggelengkan kepalanya. Matanya tetap nanar mencari kesana kemari. Ui Bun Ting saling pandang dengan Han Sui Nio.

   "Lan-ji...! Apakah engkau mencari Giok-bin Tok-ong?" dengan hati-hati ketua Tiam-jong-pai itu bertanya. Tui Lan tidak menjawab. Tiba-tiba saja gadis itu berlari ke pintu dan melesat ke jalan raya dengan cepatnya. Dan gadis itu menjadi kaget sekali menyaksikan penduduk yang berlarian di depan rumah itu. Dan kekagetannya itu semakin menjadi-jadi pula tatkala melihat tembok depan yang roboh serta kubangan yang dalam di depan rumah tersebut. Ketika Tui Lan hendak berbalik untuk menanyakan semuanya itu, ternyata mereka telah datang kepadanya.

   "Ibu...! Oh, ibu! Apa yang telah terjadi? Apa artinya semua ini...?" akhirnya Tui Lan menjerit dan menubruk ibunya.

   Han Sui Nio cepat memeluk dan mengusap rambut Tui Lan. Dengan lembut dibawanya gadis itu ke dalam rumah kembali. Diambilnya sebuah kursi, kemudian Tui Lan disuruhnya duduk dengan baik. Sedangkan yang lain-lain segera mencari tempat duduk sendiri-sendiri, sambil menunggu di sekitar kursi Tui Lan. Tak seorangpun yang menyangka kalau gadis itu sedang mencari Liu Yang Kun. Semuanya mengira kalau Tui Lan sedang mencari Giok-bin Tok-ong, yang pada saat-saat terakhir tadi baru diketahui oleh gadis itu sebagai ayahnya. Oleh karena itu dengan perlahan-lahan dan hati-hati Ui Bun Ting mencoba untuk menerangkannya. Namun sebelumnya ketua Tiam-jong-pai itu mengerling dahulu ke arah Souw Lian Cu, karena orang tua itu juga baru saja mendengar nasib Giok bin Tok-ong dari gadis ayu itu.

   Ketika gadis ayu berlengan tunggal itu juga menganggukkan kepalanya, maka Ui Bun Ting pun menjadi semakin mantap untuk bercerita. Mula-mula dia nasehatkan agar Tui Lan tidak berkecil hati ataupun bersedih karena memiliki ayah seperti Giok-bin Tok-ong itu. Setelah itu dengan hati-hati Ui Bun Ting bercerita pula tentang sepak terjang ayah Tui Lan pada malam itu. Bagaimanakah kakek jahat itu ketika menculik Han Sui Nio dan membunuhi anggauta keluarga Ui. Dan bagaimana pula ketika kakek jahat itu melukai dirinya dan hampir membunuh Han Sui Nio, ibu Tui Lan. Untunglah mereka semua diselamatkan oleh Pangeran Liu Yang kun dan pengawalnya, Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee. Sehingga akhirnya terjadilah peristiwa mengerikan di depan rumah itu, Giok-bin Tok-ong mati oleh ledakan peluru pek-lek-tannya sendiri!

   "'Oooh...?!?!" Tui Lan mengeluh pendek seraya menutupi mukanya.

   "Kau sendiri juga hampir dibunuhnya pula, Lan-ji! Ayahmu memang bersumpah akan membasmi semua anak keturunannya sendiri." Han Sui Nio ikut menyambung cerita Ui Bun Ting.

   "Benar. Untunglah Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai ayah Nona Souw ini, bersama-sama dengan Pangeran Liu Yang Kun segera menolongmu." Ui Bun Ting menambahkan. Dengan cepat Tui Lan tengadahkan kepalanya.

   "Hong gi-hiap Souw Thian Hai dan Pangeran Liu Yang Kun...?" desisnya.

   "Lalu...lalu kemanakah mereka itu sekarang?"

   "Ayah dan Pangeran Liu Yang Kun telah pergi mendahului ke kota Cin-an, Cici...?" Souw Lian Cu yang sejak tadi hanya berdiam diri tiba-tiba menyahut. Tui Lan menoleh dengan kaget sekali. Gadis itu seperti baru menyadari bahwa Souw Lian Cu juga berada di tempat itu.

   Dan tiba-tiba gadis itu menjerit sambil menutup wajahnya. Selanjutnya tangisnya meledak dan tak bisa dihibur atau dihentikan lagi. Terpaksa Han Sui Nio memapahnya memasuki kamar. Demikianlah pagi harinya sikap Tui Lan benar-benar berubah sama sekali. Gadis itu tak mau berbicara sedikitpun. Dia hanya merenung dan meneteskan air mata. Ia segera berlari ke kamar bila ada orang yang mendekatinya. la benar-benar tak mau berbicara dengan siapapun juga. Hanya tangis bayinya saja yang mampu menggugah minatnya. Namun demikian gadis itu tak menolak ketika diajak berkereta ke kota Cin-an. Hanya saja gadis itu tetap tak mau berbicara dengan siapapun juga. Dan anehnya gadis itu selalu menghindar bila bertatap muka dengan Souw Lian Cu, orang yang pernah menyelamatkan nyawanya.

   Satu-satunya yang dilakukan oleh gadis itu hanyalah menggendong serta membujuk bayinya supaya tidak menangis. Tentu saja hal itu membuat Ui Bun Ting dan Han Sui Nio sedih sekali. Mereka tetap menyangka bahwa Giok-bin Tok-ong lah yang menjadi sebab dari kesedihan Tui Lan itu. Gadis itu tak tahan menerima kenyataan bahwa ia adalah puteri seorang iblis jahat. Namun demikian kedua orang tua itu juga percaya bahwa kesedihan puteri mereka itu tentu hanya sementara pula. Besok pagi atau lusa tentu telah sembuh lagi. Begitulah, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, mereka semua berangkat ke kota Cin-an dengan kereta dan kuda. Ui Bun Ting dan Han Sui Nio yang tak ingin mendapatkan gangguan ataupun kesulitan lagi di dalam perjalanannya sengaja menutup diri di dalam kereta bersama Tui Lan.

   Sedangkan Souw Lian Cu dan kedua pengawal Ui Bun Ting yang datang dari Tiam-jong-pai itu penunggang kuda di belakang mereka. Rombongan itu melaju dengan cepatnya ke arah barat, menyusuri jalan yang sama dengan jalan yang ditempuh oleh rombongan Yap Kiong Lee semalam. Mereka memacu kuda dan kereta mereka seolah-olah mereka sedang berpacu dengan matahari yang merangkak di atas punggung mereka. Bahkan Souw Lian Cu memacu kudanya lebih cepat lagi, sehingga gadis itu seperti terlepas dari rombongan itu. Dan sementara itu di tempat lain, jauh di depan mereka, yaitu di tempat penyeberangan sungai Huang-ho, rombongan Yap Kiong Lee justru sedang terlibat dalam keributan yang kacau balau, sebuah keributan yang berlangsung di tengah-tengah sungai, yang melibatkan belasan atau puluhan jago-jago silat dari dunia persilatan.

   Dan telah diceritakan pula di bagian depan bahwa rombongan Yap Kiong Lee itu telah kehilangan jejak Lo-sin-ong, yang semua mereka lihat lewat dekat sampan mereka. Dan karena mereka tidak bisa menemukan buruan mereka tersebut maka merekapun lalu meneruskan kembali arah tujuan mereka semula, yaitu ke perahu besar di tengah-tengah sungai, dimana keributan itu terjadi. Namun untuk mencapai ke perahu besar tersebut sungguh tidak mudah. Gelombang dan arus air di bagian tengah sungai itu segera menyambut mereka. Sampan mereka segera meliuk-liuk, berputar putar dan timbul-tenggelam ditelan ombak. Begitu ganasnya arus sungai tersebut sehingga mereka bertiga benar-benar harus mengerahkan segala kemampuan dan kesaktian mereka.

   Demikianlah, berkali-kali sampan kecil itu harus jungkir balik dan timbul tenggelam dihantam gelombang yang ganas. Namun pada waktu gelombang itu tiba-tiba agak mereda ternyata sampan itu telah berada di samping perahu besar tersebut. Lega benar hati Yap Kiong Lee bertiga. Dengan pakaian yang basah oleh percikan air sungai, mereka bertiga segera melambung ke atas geladak perahu besar itu. Tapi belum juga kaki mereka menginjak lantai perahu, segulung asap tebal yang disertai taburan jarum beracun telah menyongsong kedatangan mereka. Mereka bertiga cepat menghindar dengan cara masing-masing. Dan otomatis ketiganya berpencar. Yap Kiong Lee yang berada di sebelah kiri cepat melejit ke kiri sambil mengebutkan lengan bajunya ke arah gumpalan asap itu.

   Sedangkan Souw Thian Hai yang berada di sebelah kanan juga melompat pula ke kanan, sambil tak lupa menyelimutkan mantel pusakanya ke tubuhnya. Yang agak sulit adalah posisi Liu Yang Kun. Karena pemuda itu berada di tengah-tengah temannya, maka hanya ada dua jalan untuk menghindar gumpalan asap itu. Kembali meloncat ke belakang yang berarti harus mencebur ke dalam sungai, atau melenting ke atas melewati gulungan asap tebal tersebut. Ternyata Liu Yang Kun memilih jalan yang terakhir. Dengan ginkang warisan Si Raja Kelelawar pemuda itu menjejakkan kakinya, sehingga tubuhnya melayang ke atas seperti burung garuda yang terbang ke angkasa. Kemudian sambil berjumpalitan beberapa kali pemuda itu mendaratkan kakinya di atas atap perahu.

   Semua gerakan pemuda itu dilakukan dengan amat gesit dan cepat luar biasa, serta tidak menimbulkan suara atau desir angin yang berarti, sehingga sepintas lalu tubuh yang jangkung itu seperti bayangan hantu yang berpindah tempat begitu saja. Dan sungguh kebetulan bagi Liu Yang Kun, karena dari atas atap perahu itu dia bisa melihat dengan jelas seluruh keributan yang terjadi di atas perahu besar tersebut. Di ujung haluan perahu yang luasnya hampir mencapai dua belas tombak persegi itu tampak tiga orang berseragam hitam-hitam, kuning-kuning dan putih-putih, dikeroyok oleh sembilan atau sepuluh orang berpakaian macam-macam, sehingga tempat yang luas tersebut terasa sempit oleh gerakan mereka, ketiga orang berseragam itu sama sekali tidak memegang senjata, sementara para pengeroyoknya mengepung mereka dengan senjata di tangan.

   Namun demikian Liu Yang Kun melihat bahwa ketiga orang berseragam itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan setelah beberapa saat melihat pertempuran itu Liu Yang Kun dapat memastikan bahwa ketiga orang berseragam tersebut akan bisa mengatasi lawan-lawannya. Sedangkan di bagian lain, yaitu di buritan perahu, Liu Yang Kun melihat sebuah pertempuran yang lain, yang justru lebih seru malah. Bahkan belasan sosok mayat telah tampak berserakan di sekitar pertempuran itu. Semuanya mati dalam keadaan yang sangat mengerikan. Ada yang tubuhnya seperti terbakar dan mengeluarkan bau busuk. Ada yang lukanya menganga dan mengalirkan cairan kuning seperti bubur cair yang banyak sekali. Bahkan ada yang kulit tubuhnya berubah menjadi putih meletak seperti kapur dinding, sementara seluruh rambutnya rontok ke bawah.

   "Hmm... tampaknya kepulan asap yang disertai taburan jarum beracun tadi datang dari tempat itu." Liu Yang Kun bergumam perlahan. Ketika Liu Yang Kun mencoba untuk melihat lebih teliti lagi, maka ia melihat dua orang Ielaki gagah, yang masing-masing telah berusia lebih dari empat puluh tahun, dikeroyok oleh belasan tokoh persilatan yang rata-rata kepandaiannya juga sangat tinggi. Namun demikian kedua orang gagah yang bersenjatakan ular hidup itu ternyata dapat melayani para pengeroyoknya dengan mudah. Bahkan ternyata korban yang berjatuhan di sekeliling pertempuran tersebut adalah hasil amukan mereka pula.

   "Heran, ilmu silat kedua orang itu mirip sekali dengan ilmu silat Giok-bin Tok-ong..." sekali lagi Liu Yang Kun bergumam. Ternyata Liu Yang Kun sama sekali sudah tak ingat lagi bahwa ia sebenarnya pernah bertemu dengan kedua orang itu. Bahkan pernah berkelahi malah. Kedua orang itu memang murid Giok bin Tok ong, Kim Hong San dan Tang Hu. Mereka tinggal berdua saja sekarang, karena Nyo Kin Ong telah mati dalam pertempuran melawan anak buah Siang Ki dahulu.

   "Grobyaaaaag!" tiba-tiba terdengar suara keras di bawah atap yang diinjak Liu Yang Kun. Liu Yang Kun cepat mendekap di atas seraya bersiap-siaga menghadapi segala kemungkinan. Apa lagi ketika kemudian terdengar suara angin pukulan yang berderak-derak menerjang dinding perahu.

   "Ada orang berkelahi di dalam...

   " pemuda itu berkata di dalam hati. Sementara itu kedua orang murid Giok-bin Tok-ong semakin tampak beringas mendesak lawan-lawannya. Tangan mereka semakin latah mengobral racun-racun pembunuh, sehingga korbanpun menjadi semakin bertambah banyak pula. Souw Thian Hai yang berada lebih dekat dengan pertempuran tersebut segera mendekati. la menghampiri dua orang lelaki kurus yang juga menonton pertempuran itu. Dua orang itu berdiri di pinggiran perahu, berlindung di dekat tumpukan barang. Dan mereka segera memegang hulu pedang yang terikat di belakang punggung mereka ketika mendengar langkah kaki Souw Thian Hai.

   "Souw Thian hai..." desah mereka kemudian ketika mereka melihat siapa yang datang! Otomatis mereka melepaskan kembali gagang pedang mereka. Bahkan dengan cepat mereka membungkukkah tubuh mereka untuk memberi hormat.Souw Thian Hai tidak mengenal mereka. Namun sebagai seorang pendekar besar yang namanya sangat tersohor dan dikenal orang ia dapat memahami hal itu. Oleh karena itu dengan sopan pula pendekar itu mengangguk.

   "Maaf. Semakin tua ingatanku ini menjadi semakin lemah pula. Bolehkah saya bertanya, siapakah sebenarnya tuan berdua ini," Souw Thian Hai bertanya perlahan. Dengan tersipu-sipu kedua orang lelaki kurus itu membungkukkan tubuhnya lagi.

   "Ah! Bukannya Tai hiap yang telah lupa kepada kami, tapi kami berdualah yang terlalu kecil sehingga tak mungkin orang seperti kami ini dapat berkenalan dengan Taihiap. Kami hanyalah dua orang murid rendahan dari Tiam-jong-pai," salah seorang dari mereka cepat menjawab. Souw Thian Hai menjadi kikuk pula,

   "Ah... jangan berkata seperti itu. Aku menjadi malu terhadap diriku sendiri. Aku memang sering berkunjung ke Tiam-jong-pai, tapi ingatanku yang terbatas ini tentunya tak bisa mengenal cuwi satu persatu. Oleh karena itu... maafkanlah keterbatasanku ini."

   "Kami mengerti, Taihiap. Kami berdua memahaminya. Namaku Ong Su, dan ini adikku Ong Kak. Eh... mengapa Taihiap sampai berada disini pula? Bukankah Taihiap kemarin sudah berada di Cin-an untuk menghadiri pernikahan Ciang-bun-jin kami?" Souw Thian Hai tersenyum, kemudian memalingkan pandangannya ke pertempuran yang tampak semakin seru itu.

   "Aku juga heran melihat jiwi berada disini. Padahal malam nanti perhelatan itu sudah akan dilaksanakan. Apakah jiwi sebagai orang Tiam-jong pai tidak ingin menghadiri perkawinan ketuanya?" Souw Thian Hai balik bertanya.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 25 Pendekar Penyebar Maut Eps 16 Pendekar Penyebar Maut Eps 56

Cari Blog Ini