Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 36


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 36




   "Kami... kami eh?!?" dengan gugup kedua orang lelaki itu mengawasi Souw Thian Hai. Tapi dengan mulut masih tetap tersenyum Souw Thian Hai kembali memandang kedua orang itu.

   "Jangan gugup, Saudara Ong. Aku tidak mencurigai Jiwi. Aku justru ingin mengatakan kepada Jiwi bahwa kedatanganku kemari kemungkinan besar justru sama dengan kepentingan Jiwi." Ong Cu dan Ong Kak terkejut.

   "Apakah...apakah Taihiap juga bermaksud untuk menjemput Ciang-bun-jin kami?" Ong Su berdesah.

   "Ya. Dan Jiwi tak perlu gelisah lagi. Ui Ciang-bun sudah diketemukan. Mungkin sekarang sudah hampir sampai di tempat ini pula."

   "Oooh...!" kedua saudara Ong itu berseru gembira.

   "Tapi... eh, apakah yang sebenarnya yang terjadi di perahu ini? Mengapa mereka saling berkelahi?" tiba-tiba Souw Thian Hai mengalihkan pembicaraannya.

   "Oh, Tai hiap. Masalahnya cuma orang orang dari Lembah Tak Berwarna itu. Mereka menculik seorang gadis dari kampung itu dan hendak membawanya ke seberang. Karena perahu mereka kecil, maka ketika hendak melewati perahu ini mereka lalu berpindah tempat. Tapi di dalam perahu besar ini ternyata mereka ketemu batunya. Seorang pendekar silat berkepandaian tinggi telah merebut gadis itu dari tangan mereka," Ong Su bercerita sambil menunjuk kesana-kemari. Souw Thian Hai mengerutkan dahinya.

   "Lalu bagaimana?" desaknya. Ong Su lalu menunjuk ke arah korban yang bergelimpangan di sekitar pertempuran.

   "Tapi... orang-orang yang mengejar para penculik itu telah sampai pula kemari. Termasuk kami juga. Kami lalu mengeroyok mereka."

   "Lalu... di manakah gadis itu?" Souw Thian hai bertanya.

   "Disembunyikan oleh pendekar yang merebutnya dari tangan orang-orang Lembah Tak Berwarna itu. Ternyata pendekar tersebut juga bukan orang baik baik pula. Tiga orang anak buahnya segera melabrak kami. Terpaksa kami berpencar untuk melawan mereka..."

   "Begitukah? Hmmh?" Souw Thian Hai menggeram.

   "Benar, Souw Taihiap. Ternyata mereka semua berkepandaian sangat tinggi. Korban segera berjatuhan di tangan mereka. Baik di tangan anak-buah pendekar itu maupun di tangan orang-orang Lembah Tak Berwarna," Ong Kak meneruskan cerita kakaknya. Tiba-tiba Ong Su menjatuhkan diri berlutut di depan Souw Thian Hai.

   "Souw Taihiap! Kalau Souw Taihiap tidak lekas-lekas membantu kami, orang-orang jahat itu tentu akan membasmi kita semua." Serunya bersemangat. Souw Thian Hai memandang ke arah pertempuran.

   "Kalian memang terlalu gegabah melawan mereka. Mereka semua adalah orang-orang dari perguruan ternama. Saya sendiri belum tentu menang melawan mereka. Apalagi kalau majikan dari ketiga orang berseragam itu juga ada disini."

   "Ketiga orang berseragam itu? Siapakah mereka, Taihiap?"

   "Mereka itu orang-orang Ui-soa-pai dari Gurun Gobi. Dan pendekar yang Jiwi sebutkan tadi kemungkinan besar adalah pemimpin mereka, yaitu Bok Siang K i."

   "Ui-soa-pai? Bok Siang Ki?" Kedua orang saudara Ong itu menjerit kaget. Dan wajah merekapun segera berubah menjadi pucat. Souw Thian Hai menarik napas. Katanya kemudian,

   "Mengapa? Ehm, jangan takut! Mereka justru tidak seberbahaya orang-orang dari Lembah Tak Berwarna itu. Kalaupun Bok Siang Ki itu memang benar-benar berada di sini, kita juga tak perlu takut kepadanya. Aku membawa seorang jago yang bisa menghadapinya."

   "Menghadapi Bok Siang Ki? Apakah Taihiap datang bersama Bun-hoat Sian-su...?"

   "Bukan! Tanpa Bun-hoat Sian-su pun pemuda itu bisa menghadapi Bok Siang Ki...!" Souw Thian Hai berkata mantap seraya menunjuk ke arah Liu Yang Kun yang bertengger di atas atap perahu.

   "Pemuda... itu...?" Ong Su dan Ong Kak berdesah tak percaya. Souw Thian Hai tersenyum. Sambil me langkah mendekati pertempuran ia berkata,

   "Jangan remehkan dia. Meski masih muda tapi kesaktiannya tidak kalah dengan Bok Siang K i. Lihat saja nanti. Nah, sekarang biarlah aku menolong teman-teman Jiwi dahulu. Kasihan mereka." Dan kedatangan Souw Thian Hai pun segera tercium pula oleh Kim Hong San dan Tang Hu. Kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu segera menyongsongnya dengan taburan pasir beracun. Namun hanya dengan mengebutkan mantel pusakanya Souw Thian Hai bisa merontokkannya ke bawah. Sebaliknya pendekar sakti itu lalu membalasnya dengan pukulan jarak-jauhnya.

   "Siuut! Siiiut! Taas! Duk!" Sambaran-sambaran angin tajam segera melanda jago dari Lembah Tak Berwarna itu. Dan ketika mereka mencoba untuk menangkisnya, maka hati merekapun menjadi kaget setengah mati. Kedua ujung lengan baju Kim Hong San terputus bagian ujungnya, seolah-olah dipotong dengan pisau tajam. Sementara keadaan Tang Hu lebih parah lagi. Bagian punggung tangannya yang ia pakai untuk menangkis pukulan angin tajam itu tampak terluka dan berdarah, seperti tergores oleh ujung pedang.

   "Gila! Kau siapa...!" Kim Hong San berteriak. Souw Thian Hai hendak menjawab. Namun sebelum mulutnya terbuka, orang-orang yang baru saja bertempur dengan Kim Hong San itu telah menyebut namanya.

   "Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai...???" mereka berdesah gembira.

   "Huh! Jadi kaukah pendekar yang sangat disohorkan orang itu! Pantas! Pantas! ilmu silatmu sedemikian hebatnya..." Kim Hong San menggeram.

   "Kita harus berhati hati, suheng," Tang Hu bergumam pula seraya mengobati lukanya. Souw Thian Hai mengedikkan kepalanya. Dengan nada marah ia membentak,

   "Jadi kaliankah penjahat yang suka memperkosa dan membunuh wanita di daerah pantai timur selama beberapa bulan ini?"

   "Tak salah. Memang kamilah yang melakukannya! Kami berbuat seperti itu untuk melengkapi kesempurnaan ilmu kami. Kau mau apa? Mau menghukum kami? Ha-he-hehaa! Kau jangan menjadi besar kepala hanya karena namamu tertulis di dalam Buku Rahasia! Kami berdua tidak silau melihatmu! Ha-he-hehaaa...!" Kim Hong San tertawa terbahak-bahak.

   "Gila...! Kalian guru dan murid memang pantas untuk dibunuh! Orang-orang seperti kalian ini sangat berbahaya dan mengotori dunia saja."

   "Ha-he-hehaaaa...! Jangan sebut-sebut nama guru kami! Kau akan semakin ketakutan menghadapi kami nanti! Nama Giok-bin Tok-ong lebih tersohor dan lebih tinggi daripada namamu, he-ha-hehaaa...!"Wajah Souw Thian Hai yanq gagah berwibawa itu tiba-tiba menjadi gelap. Dengan nada dalam ia menggeram,

   "Kalianlah yang seharusnya tidak menyebut-nyebut nama Giok-bin Tok-ong lagi! Gurumu itu telah tewas berkeping-keping akibat ledakan pek-lek-tannya sendiri tadi malam! Hmmh!" Seketika suara tawa kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu terputus. Dengan pandang mata marah serta tak percaya mereka menghardik,

   "Tutup mulutmu, kau telah berani menghina guru...!" Ternyata Souw Thian Hai pun sudah tidak bisa menahan kemarahannya pula. Dengan geram telapak tangannya digosok-gosokkannya ke depan dada, dan sekejap kemudian dari ubun ubun kepalanya, mengepul asap berwarna merah dan putih bergantian.

   "Ang-pek Sinkang...?!" Kim Hong San berdesah kaget. Kemudian bisiknya kepada Tang Hu.

   "Sute! Hati-hati! Orang ini tampaknya memang benar-benar berbahaya..."

   "Ah, persetan! Aku tidak takut!" Tak terduga Tang Hu menjawab sambil berteriak. Tampaknya berita tentang kematian gurunya itu sedikit mempengaruhi perasaannya juga. Hatinya menjadi bimbang. Oleh karena itu justru Tang Hu lah yang kemudian memulai pertempuran itu. Tangan kanannya terayun ke depan, dari bawah ke atas seperti orang menabur benih. Dan dari telapak tangan itu memang benar-benar berloncatan belasan paku beracun ke arah kepala dan dada Souw Thian Hai. Dan gerakan ini segera diikuti pula oleh gerak tangan kirinya, dari belakang ke depan, seakan-akan mendorong lajunya paku-paku tersebut.

   Sementara itu melihat adik seperguruannya telah memulai serangannya, Kim Hong San juga tidak mau ketinggalan juga. Dengan tangkas ia melompat ke samping kiri Souw Thian Hai. Tak lupa te lapak tangan kanannya menebas ke arah pinggang lawannya. Dan tiupan angin dingin berbau amis segera tercium pula dengan kerasnya. Melihat kedua orang lawannya mendahului menyerang, apalagi serangan mereka itu betul-betul ganas dan keji, Souw Thian Hai semakin menjadi marah sekali. Namun demikian pendekar sakti juga tak bisa mengabaikan kedahsyatan serangan tersebut. Kedua murid Lembah Tak Berwarna itu tentu juga mewarisi kelicikan gurunya, sehingga ia juga harus berhati-hati dan waspada terhadap jebakan-jebakan tersembunyi yang ada di dalam serangan tersebut.

   Oleh karena itu demi amannya Souw Thian Hai segera menghindari saja serangan itu. Kaki kanannya bergeser ke samping dengan cepat, sehingga tubuhnya seolah-olah rebah ke samping. Kemudian sete lah itu dengan cepat pula tubuh atasnya terayun ke belakang seperti layaknya orang terjengkang ke belakang. Seluruh gerakan itu dilakukan dengan tangkas dan manis, serta kuda-kuda yang tetap kokoh kuat menghujam bumi, sehingga ketika kedua serangan lawannya dapat ia elakkan, Souw Thian Hai cepat bisa tegak kembali dengan baik. Lalu sebelum kedua orang lawannya itu menyusuli serangannya lagi, Souw Thian Hai cepat-cepat memotong dan mendahului mereka dengan Tai-lek Pek-khong-ciangnya.

   "Cuuus! Cus! Cusss!" Dan loncatan-loncatan angin tajam segera melesat dari ujung ujung jari tangannya! Kini ganti Kim Hong San dan Tang Hu yang kelabakan menghadapi tusukan-tusukan angin tajam yang mampu menghunjam melukai kulit daging itu. Sehingga untuk melindungi diri mereka dari kejaran angin tajam tersebut, Kim Hong San dan Tang Hu terpaksa meledakkan tabir asap tebal di sekeliling mereka. Souw Thian Hai terpaksa menahan serangannya karena ia tak ingin salah sasaran dan melukai orang-orang yang ada di sekitar pertempuran tersebut.

   "Sungguh licik!" pendekar sakti itu mengumpat marah. Kemudian teriaknya kepada orang-orang yang ada di buritan tersebut.

   "Saudara-saudara, awas...! Jauhkan diri dari arena pertempuran!" Benar juga peringatan Souw Thian Hai itu. Sambil masih tetap berlindung di dalam pekatnya asap, kedua murid Giok-bin Tok-ong itu balas menyerang Souw Thian Hai dengan lontaran-lontaran senjata rahasianya. Dan tentu saja lontaran senjata rahasia yang membabi-buta itu juga akan membahayakan orang lain pula. Namun ternyata kali ini Souw Thian Hai juga tak ingin menghindari serangan-serangan itu pula. Selain tak ingin membahayakan keselamatan orang lain, pendekar sakti itu juga ingin lekas-lekas menyelesaikan pertempuran tersebut.

   Demikianlah dengan perlindungan mantel pusakanya Souw Thian Hai nekad menerobos tabir asap yang menyelimuti arena pertempuran itu. Beberapa kali terdengar suara denting senjata rahasia yang menghantam mantel pusakanya, tapi pada saat itu pula Souw Thian Hai me lepaskan tusukan-tusukan angin tajamnya ke arah dari mana senjata rahasia itu datang. Ternyata siasat Souw Thian Hai tersebut berhasil. Kim Hong San dan Tang Hu benar-benar kelabakan menghadapi serangan itu. Selain mereka bingung bagaimana harus menghadapi lawannya yang tak bisa dilukai dengan senjata itu Kim Hong San dan Tang Hu harus menghindari tusukan-tusukan angin tajam yang tak dapat dilihat oleh mata tersebut. Tapi ternyata Kim Hong San juga tidak kekurangan akal. la tahu bahwa lawannya dapat mengetahui tempatnya karena ia melepaskan senjata rahasia.

   "Sute! Hentikan serangan! Bunuh saja ia dengan racun!Masa dia...eh!" Kim Hong San berseru namun terpotong karena pundaknya terserempet oleh tusukan angin tajam yang dilepaskan Souw Thian Hai.

   "Suheng, kau tidak apa-apa... hei?! bangsat!" Tang Hu berteriak kaget. Namun suaranya segera berganti dengan makian pula karena teriakannya itu membuat Souw Thian Hai mengetahui dimana dia berada.

   Akibatnya dadanya hampir saja termakan oleh tusukan jari tangan pendekar sakti itu. Begitulah kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu segera menyadari kesalahan mereka. Maka untuk selanjutnya mereka berdua lalu berdiam diri di tempat masing-masing dan tetap berlindung di dalam pekatnya asap tebal yang mereka ciptakan. Kemudian dengan hati-hati mereka meniupkan asap beracun ke sekeliling mereka. Tapi Souw Thian Hai juga mengenal bahaya pula. Melihat lawannya berdiam diri, ia cepat-cepat meloncat keluar dari dalam gulungan asap itu. Ternyata pendekar itu masih ingat akan pertempurannya melawan Giok-bin Tok-ong tadi malam, dimana ia terkena jenis racun yang tidak berwarna maupun berbau, sehingga ia hampir saja celaka di tangan iblis tua itu.

   "Pengecut! Ayoh! Kenapa kau melarikan diri dari arena...?" Tang Hu berteriak dari dalam gulungan asap.

   "Hmm... buat apa aku takut bermain-main dengan asapmu? Mending aku melihat dan menunggu kalian di sini. Toh asapmu juga akan sirna ditiup angin..." Souw Thian Hai menjawab seenaknya.

   "Bangsat...!" sekali lagi Tang Hu mengumpat kasar. Tiba-tiba dari dalam kepulan asap itu meluncur dua buah bola api yang melesat ke arah Souw Thian Hai! Dan serangan yang tak terduga itu sungguh sangat mengejutkan pendekar sakti itu. Tapi dari mula pendekar itu memang telah bersiap siaga pula. Oleh karena itu meskipun terkejut pendekar itu tetap tidak kehilangan pengamatannya. Bahkan sambil menghindar pendekar sakti itu sempat membalas menyerang pula dengan tidak kalah cepatnya. Dan serangan itu ditujukan ke arah bola api tersebut berasal.

   "Cuuuus! Cuuuuuus! Cus!"

   "Aduh!" terdengar suara Tang Hu mengeluh pendek. Sementara itu sebuah tiupan angin yang agak kencang telah menghalau tabir asap yang dibuat oleh Kim Hong San itu. Dan sejalan dengan hilangnya tabir asap itu maka tampaklah tubuh Kim Hong San dan Tang Hu yang sempoyongan terkena pukulan jarak jauh Souw Thian Hai tadi.

   "Sute... kau terluka?" Kim Hong San cepat memegang tubuh adik seperguruannya.

   "Bangsat gila! Monyet itu memang lihai sekali! Tanpa melihatpun dia bisa menyerang aku..." Tang Hu mengeluh dan mengumpat tiada hentinya.

   "Tidak aneh! Namanya memang tertulis hanya satu tingkat di bawah nama suhu. Tidak mengherankan bila kepandaiannya sangat tinggi. Kitalah yang terlalu memandang rendah dia. Hmm...lalu bagaimana denganmu? Kau masih bisa meneruskan pertempuran ini?" Tiba-tiba Tang Hu mengibaskan tangan kakak seperguruannya. Dengan menggeretakkan giginya iam menggeram.

   "Mengapa tidak? Aku hanya kaget saja. Aku tidak apa-apa. Aku justru hendak membunuh bangsat itu sekarang! Apalagi ia telah menghina suhu..." Kim Hong San mendengus pula. Sambil menoleh ke arah Souw Thian Hai ia berkata.

   "Aku juga tidak percaya pada omongannya. Masakan suhu sampai bisa mati oleh senjatanya sendiri. Huh! Dia memang patut dibunuh!" Souw Thian Hai mengangkat bahunya.

   "Terserah kalau kalian tidak percaya. Tapi apa yang kukatakan itu memang benar. Kalian akan mengetahuinya pula besok."

   "Kurang ajar...!" Tang Hu mengumpat keras, kemudian menerjang Souw Thian Hai. Dari kedua tangannya meluncur dua ekor ular kecil yang amat ganas. Souw Thian Hai segera bergeser ke samping. Tak lupa telunjuk kanannya yang penuh sinkang itu ia kibaskan ke arah ular itu.

   "Cuus...!" Serangkum angin tajam segera menusuk ke arah ular tersebut. Tapi sungguh sangat mentakjubkan. Kedua ekor ular itu seperti bersayap saja pada tubuhnya.

   Dengan gesit dan ringan tubuhnya yang pipih panjang itu meliuk dan menggeliat beberapa kali di udara, sehingga angin tajam itu melesat lewat tanpa mengenainya. Sebaliknya dengan kecepatan yang berlipat ganda ular tersebut meneruskan serangannya ke arah Souw Thian Hai. Walaupun merasa heran dan takjub, namun kehebatan ular-ular kecil itu tak sampai menggoyahkan ketenangan Souw Thian Hai. Bahkan dengan kematangannya sebagai seorang pendekar silat besar, Souw Thian Hai justru menyongsong kedatangan dua ekor ular itu. Bagian atas tubuhnya berputar setengah lingkaran, sehingga mantel pusakanya terayun ke depan menutupi dadanya. Sementara dari balik mantel pusaka tersebut jari-jari tangannya memuntahkan kembali serangan-serangan angin tajamnya yang menggiriskan itu.

   "Whuuuuus...! Cuuus! Cuus!" Ular-ular itu masih mencoba berkelit beberapa kali di udara. Namun pada serangan Souw Thian Hai yang terakhir, kesempatan untuk menghindar sudah tidak ada lagi. Sebuah hentakan yang amat kuat membuat kedua ekor ular kecil itu terpental ke udara. Tubuh mereka yang pipih panjang itu terpotong menjadi beberapa bagian!

   "Gila!" sekali lagi Tang Hu mengumpat. Namun kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu tak punya kesempatan untuk mengobral makiannya lagi, karena di lain saat berondongan angin tajam yang meluncur dari tangan Souw Thian Hai telah membikinnya jungkir-balik untuk mengelakkannya.

   Dan saat-saat selanjutnya mereka harus memeras keringat dan memeras tenaga untuk menghadapi Tai-lek Pet-khong-ciang Souw Thian Hai yang dahsyat dan mengerikan itu. Belasan jurus pun telah berlalu. Penonton yang berada di buritan perahu itu telah menyingkir jauh-jauh pula. Serangan angin tajam yang dilontarkan oleh Souw Thian Hai berkelebatan kesana-kemari dan merusakkan dinding-dinding perahu yang dilewatinya. Sementara Kim Hong San dan Tang Hu pun juga mengobral racun mereka pula untuk menandingi kedahsyatan ilmu Souw Thian Hai tersebut. Namun semakin lama semakin terlihat bahwa ilmu silat Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai lebih unggul dari pada ilmu kedua murid Giok-bin Tok-ong itu.

   Walaupun kedua orang murid lembah Tak Berwarna itu menguras segala kemampuan mereka, tetapi dengan perisai mantel pusakanya Souw Thian Hai mampu bertahan sekaligus mendesak mereka. Semua macam racun telah dikeluarkan oleh Kim Hong San dan Tang Hu. Segala macam binatang berbahaya, seperti ular, kala-jengking, kelabang, ulat berbisa juga telah dipergunakan pula oleh kedua orang itu. Namun semuanya dapat diatasi oleh Souw Thian Hai. Dengan benteng mantel pusakanya pendekar sakti itu benar benar tak bisa disentuh oleh siapapun juga. Sehingga akhirnya kedua orang murid Giok-bin Tok-ong tak dapat mengelakkan lagi tusukan-tusukan angin tajam yang dilontarkan oleh Souw Thian Hai. Darahpun mulai menetes membasahi lantai perahu. Semakin lama semakin banyak sehingga akhirnya mereka tak kuasa melawan lagi.

   "Sute... kita... kita lari saja! Kita... terjun ke air!" di dalam kesulitannya Kim Hong San masih bisa berseru kepada Tang Hu. Lalu tanpa menanti jawaban adiknya ia melompat dalam air yang menggelegak di bawahnya. Tang Hu yang keadaannya lebih parah segera berlari ke pagar perahu. Tapi beberapa orang penonton yang berada di dekatnya cepat menyongsongnya dengan taburan senjata rahasia.

   "Aduuuh...!" Tang Hu menjerit keras, kemudian terjungkal ke dalam air pula. Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai menghela napas panjang. Dikebut-kebutkannya lengan bajunya, serta dirapikannya pula kembali pakaiannya yang kedodoran, baru kemudian menemui orang-orang yang ada di buritan perahu tersebut. Sementara itu pertempuran antara murid-murid Bok Siang Ki melawan para pengeroyok mereka di haluan perahu ternyata juga tidak kalah serunya dibandingkan dengan pertempuran Souw Thian Hai tadi. Meskipun tidak mempergunakan senjata-senjata beracun, namun pertempuran mereka ternyata tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan pertempuran murid-murid Lembah Tak Berwarna.

   Bahkan dipandang dari segi ilmu silat pertempuran di haluan perahu tersebut tampak lebih bermutu, dan lebih mengasyikkan. Ternyata Yap Kiong Lee telah ikut pula bertempur di antara para pengeroyok itu. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi pendekar dari istana itu segera menjadi lawan yang paling berbahaya bagi ketiga orang murid perguruan Ui-soa-pai itu. Bahkan orang termuda dari Sam-eng yang dipanggil dengan nama Pek-eng atau Garuda Putih itu tak mampu beradu dada, satu lawan satu, melawan Yap Kiong Lee. Sehingga murid termuda dan Ui-soa-pai itu terpaksa berkelebatan kesana-kemari mempergunakan kelebihan ginkangnya untuk mengimbangi desakan Yap Kiong Lee.

   "Hmmh... kepandaianmu sungguh hebat sekali. Siapakah sebenarnya engkau ini? Apakah kamu masih mempunyai hubungan perguruan dengan Yap Tai Ciangkun dari Kota raja itu?" di dalam kesibukannya Pek-eng masih dapat juga bertanya kepada Yap Kiong Lee. Yap Kiong Lee terperanjat,

   "Kau pernah berjumpa dengan adikku?" sergahnya cepat. Mendadak Pek-eng tertawa,

   "Hahaha... jadi dia itu adikmu? Untunglah aku tidak jadi membunuhnya. Kalau pada waktu itu kami jadi membunuh dia, kau tentu tidak akan punya adik lagi, hahaa..."

   "Kurang-ajar...! Apa yang telah kau lakukan terhadap adikku?" Yap Kiong Lee membentak penasaran. Sekali lagi Pek-eng tertawa semakin keras.

   "Hahaha...! Kau tidak perlu khawatir. Kami benar-benar tidak mengganggu adikmu. Bun-hoat Sian-seng telah menolongnya dari cengkeraman kami bertiga."

   "Bun-hoat Sian-seng...?" Yap Kiong Lee bernapas lega. Lega karena adiknya selamat.

   "Tapi... apa sebabnya kalian berselisih dengan adikku? Apakah kalian telah berlaku jahat terhadap dia?"

   "Bukan kami yang memulainya. Adikmu yang merasa menjadi pembesar kerajaan itulah yang terlalu usil mencampuri urusan kami," Pek-eng menggeram.

   "Kurang ajar! Adikku tak pernah mengganggu orang lain. Kalaupun adikku memusuhi kalian, tentu haI itu karena kalian telah terbuat jahat kepada orang lain. Adikku tentu hanya bermaksud menghalang-halangi kejahatan kalian..." Bukan main marahnya Pek-eng.

   "Monyet busuk! Kau memang tidak berbeda dengan adikmu! Sama-sama sombongnya. Huh, kaukira aku takut padamu, lihat pukulan...!!!" bentaknya keras. Tiba-tiba Pek eng bergerak semakin cepat. Dan serangannyapun juga semakin kuat pula. Bahkan gerakan-gerakannya terasa berubah. Semakin lama kedua buah lengannya bergerak semakin cepat, sehingga lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Begitu pula dengan kedua buah kakinya. Yap Kiong Lee tertegun. Matanya terbeliak. Ia seperti sedang melawan seorang lelaki bertangan dan berkaki seribu.

   "Gila...!" Yap Kiong Lee mengumpat dan kakinya terus saja mundur.

   Dan keadaan pun segera berbalik. Kini Yap Kiong Lee ganti terdesak dan hanya bisa mengelak dan bertahan saja. Pendekar dari istana itu seperti terkepung oleh ribuan tangan dan kaki lawannya. Dan kepungan tersebut semakin lama semakin rapat sehingga akhirnya Yap Kiong Lee merasa seperti berada di dalam kurungan. Tapi Yap Kiong Lee adalah jago nomer satu di kota raja. Kakak kandung Yap Kim atau Yap Tai Ciangkun. Panglima Besar dari seluruh pasukan kerajaan, dan juga keturunan langsung dari Datuk Utara, pada zaman Lima Datuk Persilatan dulu. Oleh karena itu kepandaian silatnya tentu juga tidak hanya sampai sekian itu saja. Merasa dirinya dalam bahaya, otomatis ilmu simpanannya keluarganya keluar. Hong-Lui-Kun-hoat atau Tinju petir dan Badai segera dimainkannya.

   Demikianlah di dalam arena itu segera terdengar suara gemuruh disertai hembusan angin berputar yang semakin lama semakin kuat, sehingga orang-orang yang ada di dalamnya seperti tergulung oleh badai! Dan diantara kurungan angin berputar itu kadang kadang terdengar pula suara letupan keras seperti petir menyambar yang ternyata adalah suara pukulan jarak jauh yang terlepas dari telapak tangan Yap Kiong Lee! Ternyata Yap Kiong Lee benar-benar telah mengeluarkan ilmu warisan ayahnya yang membuat dirinya dijuluki Hong-Lui-Kun atau Si Tinju Petir dan Badai! Dan pengaruhnya memang amat hebat. Ilmu silat Ui-soa-pai yang baru saja dikeluarkan oIeh Pek-eng, yang membuat murid Bok Siang Ki itu seperti memiliki kaki dan lengan seribu, segera tertahan oleh pusaran angin yang keluar dari tangan Yap Kiong Lee.

   Bahkan beberapa waktu kemudian murid Bok Siang Ki itu kembali dibikin repot oleh letupan-letupan petir yang melesat dari telapak tangan Yap Kiong Lee. Untunglah semua orang Ui-soa-pai sudah dibekali dengan ginkang yang tiada duanya di dunia ini. Sehingga biarpun terdesak, namun Pek-eng masih tetap bisa menyelamatkan diri dari lubang kesulitan. Melihat adik seperguruannya masih juga dilanda kesulitan, maka Ui-eng segera datang membantu. Mula-mula diputarnya kedua belah lengannya kuat-kuat, sehingga pengeroyoknya terpaksa berloncatan mundur menjauhinya. Setelah itu dengan ginkangnya yang sangat tinggi ia melayang mendekati Pek-eng. Tak ketinggalan kedua belah telapak tangannya mendorong ke arah Yap Kiong Lee. Sebuah dorongan yang mengandung sinkang maha besar, mengalahkan tiupan topan dan badai yang ditimbulkan Yap Kiong Lee.

   "Buuuuuum!" Dua macam kekuatan yang amat besar saling berbenturan dan menimbulkan suara berdentam keras sekali. Tubuh Ui-eng sedikit tertahan di udara. sementara tubuh Yap Kiong Lee tampak terpental menabrak pagar perahu. ui-eng kemudian mendarat dengan manis di samping Pek-eng, sedang Yap Kiong Lee sambil meringis kesakitan terpaksa berpegangan pada pagar perahu. Sementara itu dari atap kamar perahu Liu Yang Kun bisa menyaksikan pula kejadian itu. Namun pemuda itu merasa bimbang untuk memberi pertolongan karena pada saat yang sama suara berderak yang terdengar di bawah atap itu juga semakin keras pula.

   "Tampaknya di dalam kamar ini betul-betul ada orang berkelahi. Hmmh... Biarlah aku lihat dulu siapa mereka," pemuda itu berkata di dalam hatinya. Sekali lagi Liu Yang Kun menoleh ke arah Yap Kiong Lee. Melihat pendekar dari istana masih punya kemungkinan untuk bertahan beberapa saat lamanya, hatinya menjadi lega. Dibukanya sedikit atap perahu yang diinjaknya, sehingga di celah-celahnya ia bisa mengintip ke dalam.

   "Ah...!" tiba-tiba bibir Liu Yang Kun berdesah kaget. Di dalam ruangan itu ia menyaksikan Bok Siang Ki sedang beradu tangan dengan Lo-sin-ong! Masing-masing tampak sedang mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, sehingga tubuh mereka tampak mengeluarkan kabut tipis. Sementara itu di pojok ruangan terlihat tubuh Tiauw Li Ing tergolek pingsan di atas bangku kecil.Otomatis Liu Yang Kun menjadi tegang dan berdebar-debar. Apalagi ketika dilihatnya badan Lo-sin-ong yang tua itu bergetar hebat seakan-akan sedang menahan beban yang amat berat. Liu Yang Kun menjadi bimbang. Menolong atau tidak? Ketika sekali lagi Liu Yang Kun melongok ke bawah, dilihatnya kakek buta itu telah menekuk kedua lututnya.

   Dan wajah kakek tua itu tampak kesakitan, sementara keringatnya mengalir deras membasahi jubahnya. Sebentar lagi kakek buta itu tentu takkan kuat bertahan lagi. Akhirnya Liu Yang Kun tak tega menyaksikannya. Tapi bagaimana ia harus menolongnya? Lu Yang Kun merasa bahwa Iweekangnya tidak kuat atau lebih tinggi dari pada Bok Siang Ki biarpun di dalam pertempuran mereka kemarin ia bisa mengalahkan orang itu. Oleh sebab itu ia tak yakin bisa berhasil membantu Lo-sin-ong apa bila ia lalu menyalurkan sinkangnya kepada kakek buta itu. Salah-salah dia malah dapat mencelakakan orang tua tersebut bila gagal. Tapi jalan lain tidak ada. Memisahkan telapak-tangan mereka justru lebih berbahaya bagi Lo-sin ong. Bok Siang Ki justru akan dapat memanfaatkan tambahan tenaga dalamnya untuk menggencet Lo-sin-ong.

   "Oooouugh...!?!"

   Tiba-tiba terdengar Lo-sin-ong mengeluh pendek. Liu Yang Kun terperanjat. Tanpa berpikir panjang lagi Liu Yang Kun segera menggempur ambrol atap yang diinjaknya. Dan tubuh pemuda itu segera melayang turun bersama dengan serpihan atap yang dirusakkannya. Duuug! Liu Yang kun jatuh persis di belakang Lo-sin-ong. Begitu menginjakkan kakinya di lantai, pemuda itu segera mengambil kesempatan selagi Bok Siang Ki merasa kaget atas kedatangannya itu dengan menghantam punggung Lo-sin-ong. Liong-cu i-kang atau tenaga Sakti mustika naga milik Liu Yang Kun yang selama ini telah disempurnakan dan diperhebat kedahsyatannya oleh darah Ceng liong-ong itu cepat mengalir melalui tubuh Lo-sin-ong, kemudian dengan kuat membentur tenaga sakti yang keluar dari tangan Bok Siang Ki.

   "Dieeeees...!" Liu Yang Kun terpental mundur bersama dengan tubuh Lo-sin-ong. Tapi sebaliknya tubuh Bok Siang Ki pun juga terlempar pula menabrak dinding! Grobyag! Dinding kamar yang terbuat dari kayu tebal itu pecah berantakan sehingga tubuh Bok Siang Ki melayang keluar dan tercebur ke dalam sungai.

   "Ongya...??" Ui-eng dan Pek-eng yang sedang mendesak Yap Kiong Lee itu tiba-tiba berteriak ketika menyaksikan tubuh ketuanya tersebut tercebur ke dalam sungai. Lalu seperti mendapatkan komando saja mereka berdua meloncat meninggalkan Yap kiong Lee. Keduanya turut terjun ke dalam air.

   "Hei...? Kenapa? Ada apa ini?" Hek-eng yang dari tadi tidak bisa melihat keadaan di sekelilingnya karena disibukkan oleh para pengeroyoknya itu, tiba-tiba menjadi bingung menyaksikan kedua adiknya terjun ke dalam sungai. Apalagi ketika dilihatnya bangunan di atas geIadak, dimana majikannya tadi membawa Tiauw Li Ing telah jebol dan hampir roboh. Namun sulit bagi tokoh Ui-soa-pai itu untuk meninggalkan para pengeroyoknya. Selain pengeroyoknya berjumlah banyak, mereka pun memiliki ilmu yang tinggi pula.

   "'Kurang ajar! Kalian memang sudah bosan hidup!" akhirnya ia berteriak kesal. Tiba-tiba Hek-eng meningkatkan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya berkelebat semakin cepat, melenting dan berputar mengelilingi pengeroyoknya. Semakin Iama semakin cepat, sehingga di mata para pengeroyoknya tiba-tiba tubuh Hek-eng seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan setiap bagian dari bayangan itu seperti hidup dan bernyawa pula, yang di dalam gerakannya juga mampu melayani pengeroyoknya.

   "Ilmu iblis! Ilmu setan...?" beberapa orang pengeroyoknya berdesah ngeri. Bahkan beberapa orang diantaranya segera jatuh bergelimpangan terkena serangan bayangan-bayangan itu. Tentu saja Yap Kiong Lee tak mau membiarkan hal itu. Setelah bisa mengatur pernapasannya kembali, ia beranjak dari pagar perahu. Tubuhnya meluncur ke dalam arena dan menerjang bayangan Hek-eng yang berkelebatan menguasai arena itu.

   "Plaaaak! Plaaaak! Dug...!" Yap Kiong Lee terpelanting keluar arena kembali. Tapi sebaliknya lebih dari separuh jumlah bayangan Hek-eng itu juga hilang musnah pula. Bahkan beberapa saat kemudian sisanya juga melenyapkan diri, sehingga akhirnya tinggal sebuah saja, yaitu tubuh Hek-eng yang asli. Wajah tokoh Ui-soa-pai itu tampah pucat.

   "Gila! Tenaga dalammu sungguh hebat sekali! Siapakah kau...?" tokoh Ui-soa-pai itu menggeram marah. Tubuhnya berhenti berkelebat dan berdiri di depan Yap Kiong Lee. Sementara itu Liu Yang Kun dan lo-sin ong yang tadi juga terpental oleh hentakan tenaga dalam Bok Siang Ki, cepat bangkit pula kembali. Liu Yang Kun segera bersiap-siaga menghadapi Bok Siang Ki lagi. Tapi pemuda itu cepat mengendorkan kembali ototnya ketika melihat lawannya tercebur ke dalam sungai.

   "Ooough...?!?!" Lo-sin-ong yang belum dapat berdiri tegak itu kembali terhuyung-huyung dan mau jatuh.

   "Lo-Cianpwe...? Kau terluka?" Liu Yang Kun berdesis kaget.

   "Pangeran? Oh... kaukah yang menolong? Ooouh...!" tiba-tiba Lo-sin ong juga menjerit kaget pula begitu mendengar suara Liu Yang Kun. Hatinya serasa terpukul. Liu Yang Kun cepat menyambar tubuh kakek tua itu dan menolongnya duduk di tempat yang baik. Tapi ketika pemuda itu hendak menyalurkan sinkang untuk mengobati luka dalamnya, Lo-sin-ong cepat-cepat menolak.

   "Terima kasih. Pangeran, sudah tidak ada gunanya lagi. Jalan darah Boh-ki-hiat dan Koan-ki-hiat di rongga dadaku telah terputus. Sebentar lagi darah akan membanjiri paru-paruku. Aku akan mati. Tapi... tapi aku sungguh sangat berbahagia sekali... karena... karena sebelum mati dapat bertemu denganmu. Oouh... kalau tidak, aku benar-benar akan mati penasaran..." kakek buta itu merintih sambil mendekap dadanya. Liu Yang Kun tertegun. Matanya menatap kakek buta itu dengan bingung serta penuh tanda tanya.

   "A-apa maksud Lo-Cianpwe...?" pemuda itu berbisik.

   "Pangeran... Kau benar-benar pemuda yang baik. Tidak selayaknya bila aku sampai berbuat jahat terhadapmu. Aku sungguh sungguh berdosa besar, hanya karena kasihan serta untuk memanjakan muridku, aku telah sampai hati mencelakakanmu.Ouugh... hukk... hukk!" Lo-sin-ong terbatuk-batuk seperti seorang yang sedang menahan sakit. Liu Yang Kun cepat mencengkeram pundak kakek buta itu.

   "Lo-Cianpwe, kau... kau...? Apa yang kau katakan? Aku tak mengerti." Lo-sin-ong menengadahkan kepalanya. Matanya yang kosong itu seolah-olah hendak memandang wajah Liu Yang Kun. Tapi karena bola matanya tidak ada maka lobang itu tampak mengerikan sekali.Tapi Liu Yang Kun sama sekali tak mempedulikan hal itu. Pemuda itu lebih tertarik pada ucapan yang baru keluar dari mulut kakek itu.

   "Lo-Cianpwe! Lo-Cianpwe...! Tampaknya kau menyimpan sebuah rahasia yang hendak kau katakan kepadaku..." desak pemuda itu kemudian dengan hati berdebar-debar. Tangan kakek buta itu cepat mencengkeram tangan Liu Yang Kun. Kemudian dengan suara terputus-putus ia bertanya.

   "Pangeran? Apakah Pangeran tahu dimana... dimana... isterimu eh, anu... anu... Tiauw Li Ing disembunyikan oleh Bok Siang Ki?"

   "Dia... dia berbaring di bangku kecil di pojok ruangan. Ada apa...? Apakah Lo-Cianpwe menginginkan aku untuk membawanya kemari? Dia tampaknya terluka atau pingsan..." Lo-sin-ong tampak bernapas lega.

   "Gadis sengsara... Ah!" Lo-sin-ong berdesah sedih. Kemudian ujarnya kepada Liu Yang Kun.

   "Pangeran, gadis itu tidak bersalah sama sekali. Jangan kau benci atau kau sia-siakan dia. Akulah yang bersalah dan berdosa besar terhadapmu." Liu Yang Kun semakin tegang dan tidak sabar.

   "Lo-Cianpwe! Apa yang hendak kau katakan? cepatlah!" Namun dengan suara yang semakin lemah dan gemetar seperti lampu kehabisan minyak, Lo-sin-ong memohon,

   "Tapi... tapi... maukah Pangeran berjanji... untuk tidak menyakiti atau menyia-nyiakan Tiauw Li Ing?" Liu Yang Kun yang semakin tidak sabar itu tiba-tiba terdiam. Matanya yang tajam bagai pisau sembilu itu menatap kakek buta itu dengan ragu. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar yang disembunyikan kakek itu. Sementara itu wajah Lo-sin-ong tampak semakin membiru. Daya tahannya makin habis. Beberapa kali kakek buta itu menahan batuk, agar darah segar yang mulai mengisi paru-parunya tidak melonjak ke atas menutupi tenggorokannya. Liu Yang Kun tak ingin kehilangan waktu lagi. la harus berterus terang kepada orang-tua itu, supaya semuanya menjadi jelas. Siapa tahu kakek buta itu tahu asal-usul dan sejarah hidupnya sehingga ia menderita penyakit 'lupa ingatan" ini.

   "Lo-Cianpwe, mengapa kau berkata demikian. Kalau Tiauw Li Ing itu memang benar-benar isteriku, aku tentu tidak akan menyia-nyiakannya. Biarpun... biarpun... sebenarnya aku merasa sangsi apakah dia benar-benar isteriku. Aku seperti... seperti tidak mempunyai perasaan mesra atau dekat dengan dia. Bahkan di dalam hatiku, aku... aku seperti tidak... tidak menyukainya. Ah, maafkan aku. Lo-Cianpwe," akhirnya Liu Yang Kun berterus terang, wajah yang membiru itu semakin pias dan gemetar. Walau sudah menduga, namun apa yang dikatakan oleh Liu Yang Kun itu benar-benar sangat memukul hatinya. Kakek itu semakin merasa sedih atas nasib yang menimpa muridnya.

   "Huuk! Huuk! Oouugh...!" Lo-sin-ong tak bisa menahan batuknya lagi dan darah segar-pun segera membanjir keluar dari mulutnya.

   "Lo-Cianpwe! Lo-Cianpwe!" Liu Yang Kun berseru kaget. Dengan tangkas Liu Yang Kun menotok dan mengurut beberapa jalan darah di dada dan di leher Lo-sin-ong, sehingga darah yang berdesakan di tenggorokan kakek buta itu surut kembali, dan Lo-sin-ong pun dapat bernapas pula lagi, meski tersengal-sengal.

   "Lo-Cianpwe! Lo-Cianpwe...!" kemudian pemuda itu mencoba menyadarkannya.

   "Oough, Pangeran...? Maaf... maafkanlah aku. A-a-akulah... yang sebenarnya... membuatmu kehilangan ingatan... Aku... aku merasa kasihan... kepada Tiauw Li Ing. Dia... dia... sangat ingin menjadi isterimu, sehingga... sehingga aku terpaksa... terpaksa mencelakaimu. Aku telah menanamkan beberapa buah jarum... di...di kepalamu, agar... agar kau... kehilangan ingatanmu...! Oooooooouuugh...!!" Tiba-tiba mulut kakek buta itu kembali menyemburkan darah segar. Kali ini benar-benar sangat banyak, sehingga kakek itu tidak bisa bernapas lagi.

   Apa yang diucapkan oleh Lo-sin-ong itu benar-benar mengejutkan Liu Yang Kun. Begitu kagetnya Liu Yang Kun sehingga pemuda itu tidak bereaksi apa-apa tatkala darah kakek buta itu menyemprot dada serta membasahi pakaiannya. Bahkan pemuda itu seperti tak peduli pula ketika kakek buta itu melepaskan nyawanya. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam hati Liu Yang Kun. Perasaan kecewa, marah dan penasaran. Tapi di lain pihak pemuda itu juga merasa bingung pula, kepada siapa atau bagaimana dia harus menumpahkan segala kekecewaan dan kekesalannya itu. Orang yang telah membuatnya sengsara, yang telah mencelakakan dirinya kini telah mati. Bahkan di dalam lubuk hatinya pemuda itu seperti tidak dapat menyalahkan perbuatan orang tua itu. Kakek buta itu berbuat demikian karena terdorong oleh keinginannya untuk membahagiakan muridnya.

   "Kelihatannya memang akulah yang bernasib buruk, harus menjadi korban dari maksud baik orang tua itu..." akhirnya Liu Yang Kun menyesali nasibnya. Kemudian dipandanglah oleh pemuda itu mayat Lo-sin-ong yang tergolek di depannya. Wajah yang dingin pucat itu seolah-olah tidak menampilkan perasaan bersalah kepadanya. Bahkan mata dan mulut yang kosong itu seakan-akan masih tetap menuntut kepadanya, agar dia tetap menjadi suami Tiauw Li Ing. Liu Yang Kun bangkit berdiri sambil menghela napas panjang. Kesepuluh jari tangannya meraba-raba kulit kepalanya. Dia mencoba untuk mencari jarum-jarum yang ditanamkan oleh Lo-sin-ong itu.

   "Sulit sekali. Bagaimana aku harus mencarinya? Kepalaku seperti biasa-biasa saja. Semua terasa wajar, seperti tidak ada kelainan apa-apa. Sakitpun juga tidak. Hemm.." Liu Yang Kun berdesah kesal karena tak bisa mendapati jarum-jarum itu. Sekali lagi Liu Yang Kun menarik napas panjang. Air mukanya tampak semakin kesal. Apalagi ketika terpandang oleh matanya tubuh Tiauw Li Ing yang tergolek di pojok ruangan. Oleh karena itu dengan cepat pandangannya beralih ke tempat lain, yaitu ke dinding kayu dimana Bok Siang Ki tadi terlempar keluar. Dari lobang kayu yang jebol itu Liu Yang Kun dapat menyaksikan pertempuran Yap Kiong Lee melawan Hek-eng, tokoh tertua dari Sam-eng atau Tiga Garuda itu. Bahkan Liu Yang Kun juga bisa melihat Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai pula. Pendekar sakti itu sudah bergeser pula ke arena pertempuran tersebut dan berdiri di tepi arena.

   "Ah! Tampaknya nasibku masih tetap bergantung kepada pendekar itu atau kepada isterinya..." Di lain pihak Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai seperti merasa pula diperhatikan oleh Liu Yang Kun. Tiba-tiba kepalanya menoleh dan menatap ke arah lobang tersebut.

   "Pangeran...?" pendekar sakti itu berdesis perlahan, lalu melangkah menghampiri Liu Yang Kun. Pendekar sakti itu tampak meningkatkan kewaspadaannya sebelum masuk ke dalam lobang dinding tersebut. Dan dahinya segera berkerut ketika menyaksikan pemandangan di dalam ruangan sempit itu. Apalagi ketika terpandang oleh matanya mayat Lo-sin-ong!

   "Eh? Apakah yang telah terjadi di ruangan ini? Pangeran tidak apa-apa, bukan?" pendekar itu bertanya kaget.

   "Ternyata Bok Siang Ki lah yang menculik gadis itu. Dan gadis yang menjadi korbannya itu kebetulan adalah murid dari LoCianpwe ini, sehingga mereka lalu berkelahi. Lo-Cianpwe ini dibantu oleh orang-orang kang-ouw yang kebetulan berada di tempat penyeberangan ini. Tapi karena lawan mereka adalah Bok Siang Ki, maka mereka kalah. Untunglah kita segera datang menolong. Meskipun demikian orang tua ini sudah terlanjur dilukai oleh Bok Siang Ki dengan sangat parahnya. Saya tidak bisa menolong jiwanya..." Liu Yang Kun mencoba menerangkan kepada Souw Thian Hai tentang apa yang kira-kira telah terjadi di tempat itu.
(Lanjut ke Jilid 36)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 36
"Lalu... Kemanakah Bok Siang Ki sekarang? Apakah..."

   "Dia terlempar keluar menerobos dinding kayu itu."

   "Jadi... Pangeran telah melemparkan dia ke dalam sungai? Ah... tak kusangka sama sekali, Aku memang melihatnya. Tapi aku tak menduga kalau dia yang terlempar itu," ujar Souw Thian Hai kagum. Souw Thian Hai memandang Liu Yang Kun lekat-lekat. Ia benar-benar sangat kagum pada Pangeran itu. Tapi tiba-tiba hatinya menjadi heran ketika menyaksikan kemurungan di wajah Pangeran yang masih muda itu. Pangeran itu seperti sedang merasa kesal dan tidak gembira atas kemenangannya.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pangeran...? Ada sesuatu yang kaupikirkan?" Souw Thian Hai mendesak. Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya.

   "Eh-Oh! Benar, Souw Taihiap. Aku sedang memikirkan penyakitku. Aku telah menemukan penyebabnya. Ternyata kakek buta inilah yang telah membuatku menderita penyakit "lupa ingatan"..."

   "Hei? Lo-sin-ong...? Apa yang telah diperbuat oleh orang tua ini kepada Pangeran?" Souw Thian Hai berseru kaget pula.

   "Dia telah mengakui sendiri perbuatannya sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Katanya dia telah menanamkan beberapa batang jarum kecil ke dalam kepalaku." Liu Yang Kun menjawab. Kemudian juga diceritakannya pula kenapa orang tua tersebut berlaku demikian. Souw Thian Hai tertegun. Wajahnya menjadi tegang luar biasa. Ingatannya segera melayang pada peristiwa yang menimpa dirinya sendiri pula beberapa tahun berselang. Waktu itu dirinya juga mengalami nasib yang sama pula dengan yang dialami oleh pemuda itu. Dia juga menderita penyakit "lupa ingatan" seperti itu. Bedanya dia dahulu menjadi lupa-diri disebabkan oleh adanya benjolan daging yang menekan syaraf dan jalan darah di kepalanya, sedangkan Liu Yang Kun disebabkan oleh tusukan jarum yang ditanamkan pada urat-urat penting di kulit kepalanya.

   "Pangeran...! Kukira aku tahu dimana jarum-jarum itu ditanam. Aku dulu juga menderita penyakit "lupa ingatan" pula. Kukira urat syaraf atau jalan darah yang terganggu di kepalamu tidak jauh berbeda dengan aku dahulu. Marilah kubantu mencarinya..." Souw Thian Hai kemudian mencoba menawarkan bantuannya.Liu Yang Kun tertegun. Tapi hatinya menjadi gembira. Harapannya timbul.

   "Souw Taihiap juga pernah menderita penyakit seperti aku pula?" Liu Yang Kun pura-pura kaget.

   "Ah! Kalau begitu... kalau begitu Souw Taihiap tentu bisa menolong aku. Silahkan...!" Dengan cepat Liu Yang Kun lalu bersila di lantai perahu.

   "Souw Taihiap. silahkan...!" Katanya pasrah.

   "Maaf, Pangeran. Aku akan mencobanya melihatnya. Siapa tahu aku bisa menolong Pangeran sekarang? Namun demikian apabila aku tak sanggup Pangeran jangan marah kepadaku. Aku Hanya mencoba..." Souw Thian Hai merendahkan diri.

   "Ah, Souw Taihiap tak perlu berkata demikian. Souw Taihiap dapat mencobanya. Semakin cepat aku sembuh dari penyakitku ini akan semakin baik bagiku. Tapi kalaupun Souw Taihiap tak sanggup menemukan jarum-jarum itu juga tak apa-apa. Kita bisa meminta tolong kepada Souw Hujin nanti..."

   "Baiklah, Pangeran. Maaf..." Souw Thian Hai lalu membungkuk di belakang Liu Yang Kun.

   "Pangeran jangan melawan bila kutotok nanti! Kendorkan seluruh urat-urat di kepala! Jangan mengerahkan tenaga! Aku ingin menyelidiki, apakah jarum-jarum tersebut betul-betul ditanam di tempat yang sama dengan gangguan yang ada padaku dahulu..." Kemudian pendekar sakti itu juga duduk bersila pula dibelakang Liu Yang Kun. Ia bersemadi sebentar untuk mengerahkan sinkangnya. Setelah itu dengan hati-hati ia meraba pelipis Liu Yang Kun. Persis dimana dia dahulu mengalami gangguan jari telunjuknya menotok. Perlahan saja. Hanya ingin mengetahui apakah dugaannya benar.

   "Aaaah!" tiba-tiba Liu Yang Kun menjerit kaget dan tiba-tiba saja tubuh pemuda itu terhuyung ke samping seperti akan roboh.Memang, pemuda itu sendiri merasakan kesadarannya seperti hilang dalam sekejap tadi. Totokan dari Souw Thian Hai yang sebenarnya amat sangat perlahan itu ternyata telah membuatnya hampir pingsan. Namun hal ini justru amat menggembirakan hati Souw Thian Hai. Pendekar itu hampir bersorak saking gembiranya.

   "Bagus, Pangeran! Dugaan saya ternyata benar!"

   "Tapi... tapi aku hampir pingsan tadi. Sakit benar rasanya." Liu Yang Kun mengeluh. Namun suaranya juga terdengar gembira pula.

   "Nah, kalau begitu saya akan mencoba menyedotnya keluar. Sekali lagi kuharapkan agar Pangeran tidak melawan bila aku mengerahkan tenaga nanti. Lemaskan saja seluruh urat-urat Pangeran."

   "Silahkan, Taihiap." Demikianlah ternyata apa yang diduga oleh Souw Thian Hai itu memang benar. Jarum-jarum itu benar-benar ditanam persis di bagian-bagian dimana Souw Thian Hai dulu mengalami gangguan. Sehingga ketika pendekar sakti itu menyedotnya dengan tenaga saktinya, maka ujung jarum tersebut segera tersembul keluar pula.

   Namun untuk mencabut jarum-jarum tersebut, Souw Thian Hai harus benar-benar berhati-hati. Salah sedikit saja akibatnya akan sangat besar terhadap jiwa Liu Yang Kun. Dimisalkan sebuah saluran air, urat darah dimana jarum itu ditanam telah mengering akibat tersumbat oleh jarum tersebut. Oleh karena itu setiap kali jarum-jarum itu diambil, maka saluran-saluran yang telah lama mengering itu akan dibanjiri lagi dengan darah. Dan hal ini benar-benar sangat menyakitkan bagi Liu Yang Kun! Aliran darah yang membasahi urat-urat kering itu terasa sangat pedih. Bahkan juga menggetarkan syaraf-syaraf yang dilaluinya. Sehingga setiap kali pula tubuh pemuda itu tampak bergetar dengan hebat seperti terserang oleh demam yang amat parah.

   "Aaaaaaaan-uuuuuuh...!" setiap kali pula pemuda itu berdesis dan menyeringai menahan sakit dan nyeri yang menyerangnya. Tapi di lain pihak sejalan dengan diambilnya jarum-jarum tersebut dari kepalanya, maka sedikit demi sedikit daya ingat Liu Yang Kun pun juga pulih pula seperti sedia-kala. Meskipun ingatan yang kembali tersebut juga masih terasa samar-samar pula. Sementara itu di luar kamar, pertempuran antara Yap Kiong Lee melawan Hek-eng juga telah sampai ke puncaknya pula. Yap Kiong Lee benar-benar telah mengamuk dengan Hong-Lui-Kun-hoatnya sehingga di atas geladak perahu yang tak begitu luas tersebut seperti bertiup angin puting-beliung yang maha dahsyat.

   Bahkan diantara ributnya badai yang menerjang tubuh Hek-eng, sesekali juga terdengar pula suara ledakan-ledakan kecil dari telapak tangan Yap Kiong Lee. Walaupun Hek-eng juga telah melawannya dengan ilmu andalan Ui-soa-pai yang berbau sihir itu, tetapi karena ilmu tersebut memang belum sempurna ia pelajari maka pengaruhnyapun juga belum sehebat yang dimiliki Bok Siang Ki, ketuanya. Bahkan kalau diperbandingkan, ilmu andalan Ui-soa-pai yang dikeluarkan oleh Hek-eng tersebut masih belum mencapai sepertiga dari yang dimiliki Bok Siang Ki. Oleh karena itu sungguh tidak mengherankan bila akhirnya dia terdesak oleh ilmu pukulan Petir dan Badai Yap Kiong Lee. Dheees! Dheeek!

   "Ouuuugh...!" Dua buah pukulan Yap Kiong Lee tidak bisa dielakkan oleh Hek-eng. Pukulan itu menyambar paha dan lengan kirinya, seperti kilatan petir yang meledak, persis di kedua tempat tersebut. Hek-eng menjerit kesakitan dan tubuhnya terdorong mundur dua langkah. Tapi Yap Kiong Lee tak mau melepaskannya lagi. Sekali lagi telapak tangannya mendorong ke depan.

   "Wuuuus!" Sebuah letupan kecil kembali menyambar tubuh Hek-eng. Kali ini terarah ke bagian dada.

   "Ah...!" Hek-eng berdesah seraya melompat ke kiri untuk mengelakkannya. Tapi bukan main kagetnya dia! Tangan Yap Kiong Lee yang masih bebas itu tiba-tiba juga melepaskan pukulan pula untuk mencegat gerakannya! Suaranya menderu bagaikan suara angin ribut!

   "Whuuuus! Dhiesssssss!" Sekali lagi Hek-eng tak kuasa mengelakkannya. Bahkan sekarang betul-betul teIah mengenai tubuhnya, sehingga tubuhnya yang tegap itu sampai terlempar menghantam pagar perahu. Demikian kerasnya sehingga pagar perahu itu berderak patah dan roboh ke dalam air bersama-sama dengan tubuhnya. Yap Kiong Lee bernapas lega. Begitu pula dengan tokoh-tokoh persilatan yang tadi mengeroyok Tiga Garuda atau Sam-eng itu.

   "Terima kasih. Yap Taihiap...!" orang-orang itu menyatakan rasa terima kasihnya. Pendekar dari istana itu mengangguk, kemudian bergegas mencari kedua orang temannya. Tapi belum juga lima langkah ia terjalan, tiba-tiba telinganya mendengar suara kecipak air yang amat keras. Dan tiba-tiba pula matanya melihat berkelebatnya beberapa sosok bayangan melenting ke atas perahu tersebut. Yap Kiong Lee terbelalak. Wajahnya menjadi pucat. Hatinya berdebar-debar. Beberapa sosok bayangan itu kini berdiri tegak di depannya. Dan Yap Kiong Lee tidak akan lupa pada wajah-wajah itu. Bok Siang Ki dan ketiga orang pengikutnya, Sam-eng! Meskipun salah seorang dari ketiga pengikut Bok Siang Ki tersebut yaitu si Garuda Hitam, tampak pucat dan kesakitan akibat luka-lukanya.

   "Hek-eng! Kau kalah melawan orang ini?" dengan suara dalam Bok Siang Ki bertanya kepada Hek-eng. Hek-eng tampak menahan geram dan malu. Namun demikian sambil meringis ia menjawab pertanyaan majikannya itu:

   "Benar, Ongya. Orang inilah yang telah melukai hamba. Kepandaiannya sangat tinggi..."

   "Huh!" Bok Siang Ki mendengus melalui hidungnya, seolah dia tak memandang sebelah mata kepada kepandaian Yap Kiong Lee.

   "Kalau begitu biar kedua saudaramu saja yang melawannya. Kau menjaga disini kalau-kalau ada lagi orang-orang yang hendak membantu dia!"

   "Ba-baik, Ongya. Tapi... tapi Ongya sendiri hendak kemana?"

   "Aku hendak melanjutkan pertempuranku sendiri yang terputus tadi...," lalu tanpa mempedulikan pandangan orang terhadap dirinya, Bok Siang Ki berjalan ke kamar perahu dimana Souw Thian Hai sedang mengobati Liu Yang Kun. Kedua belah telapak tangannya terkepal erat siap untuk melontarkan serangan. Tapi langkahnya segera tertegun diambang pintu kamar itu. Kedua buah matanya yang mencorong tajam itu menatap seorang lelaki gagah tinggi besar yang berdiri tegar menghadapinya. Dari sepasang mata lelaki tinggi besar itu juga keluar sinar tajam dan berwibawa pula. Tidak kalah dengan dirinya. Bok Siang Ki menarik napas pendek. Matanya segera beralih ke segala penjuru kamar itu. Tapi orang yang dicarinya tidak ada. Ia memang melihat mayat Lo-sin-ong. Tetapi dia tak melihat pemuda yang tadi telah melemparkan dirinya ke dalam sungai.

   "Kau siapa? Dan... dimanakah pemuda yang ada di sini tadi?" akhirnya Bok Siang Ki bertanya dengan suara dingin. Lelaki tinggi besar yang tiada lain adalah Souw Thian Hai itu mendengus pula dengan tidak kalah dinginnya. Meskipun demikian pendekar sakti itu juga semakin meningkatkan kesiap-siagaannya pula, karena ia tahu bahwa yang dihadapinya adalah Bok Siang Ki, jago silat nomer dua di dunia.

   "Tidak ada siapa siapa di sini. Yang kuketahui hanyalah mayat kakek-buta itu. Lo-Cianpwe, kau Bok Siang Ki, bukan?" Souw Thian Hal menjawab kaku. Bok Siang Ki tertawa dingin.

   "Hmm... ternyata kau telah mengenalku. Dan kelihatannya kau tidak merasa gentar menghadapi aku. Kau tampak sangat percaya pada kemampuanmu. Huh, kalau tak salah, melihat dandanan dan perawakanmu... kau tentu Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang disohorkan orang itu. Benarkah...?"

   "Tak salah. Aku yang rendah dan bodoh ini memang Souw Thian Hai. Walaupun kepandaianku tidak setinggi kepandaianmu namun aku takkan membiarkan kau berbuat seenakmu sendiri terhadap gadis itu." Souw Thian hai kemudian menjawab pula sambiI melirik ke arah Tiauw Li Ing yang masih tetap terbaring di tempatnya. Tiba-tiba Bok Siang Ki menggeretakkan giginya. Karena Liu Yang Kun tidak ada maka kemarahannya beralih kepada Souw Thian Hai.

   "Huh... kau tahu apa tentang gadis itu? Aku justru yang menyelamatkan dia dari cengkeraman murid-murid Giok-bin Tok-ong itu! Kini datang-datang kau malah menuduhku yang tidak-tidak! Huh! Kau anggap apa aku ini? Bangsat!" teriaknya lantang. Souw Thian Hai tersenyum dingin. Dengan nada mengejek ia menyahut,

   "Ternyata kau juga pandai bersilat lidah pula. Kalau kau memang mau menyelamatkan gadis itu, mengapa kau kemudian justru membunuh gurunya?" Wajah Bok Siang Ki menjadi merah padam.

   "Tutup mulutmu...!" bentaknya. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi kakinya menerjang ke arah perut Souw Thian Hai. Demikian cepat dan hebat tenaganya, sehingga hembusan anginnya saja sampai menggetarkan dinding kamar itu. Souw Thian Hai terperanjat. Walaupun sudah bersiap-siaga, namun serangan Bok Siang Ki yang dahsyat tersebut tetap saja mengejutkannya. Belum juga serangan itu menyentuh tubuhnya, tiupan anginnya sudah lebih dulu menyambar dan menyakiti kulitnya. Bahkan kulit tersebut seolah-olah hampir terkelupas dari dagingnya. Dengan hati berdebar-debar Souw Thian Hai mengelak. Pendekar sakti itu benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan ginkangnya, namun demikian hampir saja gerakannya itu terlambat. Kaki Bok Siang Ki itu tetap saja menyerempet mantel pusakanya.

   "Bheek!" Mantel pusaka itu tersibak. Tapi berbareng dengan itu Bok Siang Ki pun juga tertegun pula, sehingga serangan berikutnya menjadi tertunda.

   "Gila! Rupanya mantelmu itu sangat istimewa. Hampir saja tenagaku membalik ketika mengenainya tadi." pemimpin Ui-soa-pai itu menggeram kaget. Souw Thian Hai tidak menjawab. Dengan tenang kakinya melangkah keluar dari dalam ruangan itu, seolah-olah ia mau mencari tempat yang lebih lapang untuk arena mereka. Di atas geladak perahu tidak jauh dari pertempuran Yap Kiong Lee melawan anak buah Bok Siang Ki, kakinya berhenti. Dan Bok Siang Ki pun mengikutinya pula.

   "Di sini lebih lapang, sehingga aku bisa leluasa membuktikan, apakah kau benar-benar nomer dua di dunia Ini..." Souw Thian hai menantang. Tak terduga Bok Siang Ki tertawa. Tokoh puncak Ui-soa-pai itu seakan-akan telah melupakan kemarahannya.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 57 Pendekar Penyebar Maut Eps 35 Pendekar Penyebar Maut Eps 53

Cari Blog Ini