Memburu Iblis 37
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 37
"Ketahuilah...! Yang membuat urut-urutan itu adalah saya. Semula hal itu kumaksudkan untuk mengail di air keruh. Agar dunia persilatan menjadi ribut. Sehingga Bun-hoat Sian-seng mau keluar dari persembunyiannya. Dan kemudian aku bisa mengakali Buku Rahasianya yang asli. heh heh-heh..., Tetapi biarpun begitu, dalam menyusun urut-urutan tersebut aku juga tidak asal menulis pula. Aku telah menyebarkan orang-orangku untuk menyelidikinya. Termasuk kau juga. Heh-heh-heh...Dan kau memang berada di urutan yang kelima." Souw Thian Hai mengerutkan keningnya. Namun demikian sesaat kemudian ia telah tidak mempedulikan kata-kata Bok Siang Ki lagi.
"Aku tidak peduli apakah aku nomer lima atau nomer se ratus. Yang jelas aku sekarang hendak membuktikan apakah kau bisa mengalahkan aku atau tidak, Nah... lihat pukulan!" Souw Thian Hai menyadari bahwa lawannya memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Mungkin setingkat atau dua tingkat di atasnya. Oleh karena itu ia tak ingin mengulur-ulur waktu lagi. Begitu bergerak la telah mengeluarkan segala kemampuannya.Dalam sekejap saja kulit tubuhnya telah berubah. Bagian sebelah kiri berwarna kemerahan, sedangkan bagian sebelah kanan berwarna putih pucat, sehingga wajahnya yang gagah tampan itu tampak aneh dan mengerikan. Bok Siang Ki menjadi kaget juga melihatnya. Selama ini dia memang baru mendengar saja dari penuturan orang bahwa ilmu kepandaian Keluarga Souw sangat hebat dan aneh. Bahkan menurut khabar burung ilmu kepandaian keluarga tersebut masih satu Sumber dengan ilmu kepandaian Bun-hoat Sian-eng. Kini setelah berhadapan sendiri dengan ilmu silat Souw Thian hai, Bok Siang Ki benar-benar sependapat dengan khabar tersebut.
Ilmu silat yang dikeluarkan oleh Souw Thian Hai memang mirip bahkan boleh dikatakan sama dengan ilmu silat Bun-hoat Sian-seng. Kalaupun ada sedikit perbedaan, perbedaan itu tidaklah banyak. Mungkin hanya soal kematangan dan tingkat kesempurnaannya saja. Semakin lama pertempuran itu berlangsung, Bok Siang Ki semakin banyak melihat kemiripan maupun kesamaan ilmu silat Souw Thian Hai dengan Bun-hoat Sian-seng. Keduanya sama-sama mempergunakan dua macam tenaga yang satu sama lain diungkapkan secara terpisah. Bagian anggauta tubuh sebelah kiri mempergunakan dasar tenaga yang bersifat panas. Gerakan-gerakan yang dikeluarkan oleh Souw Thian Hai ketika menyerangpun juga mirip pula dengan gerakan-gerakan Bun-hoat Sian-seng.
Lontaran lontaran angin tajam yang melesat dari ujung-ujung jari Souw Thian Hai persis dengan sambaran sambaran angin tajam yang keluar dari telapak tangan Bun-hoat Sian-seng. Keduanya sama-sama bisa merusak atau melukai benda-benda yang dilewatinya, bagaikan tajamnya mata-pedang siluman yang menyambar tanpa terlihat ujudnya. Untunglah dengan ginkangnya yang tiada bandingnya itu Bok Siang Ki bisa mengelak kesana-kemari. Tubuhnya berkelebatan dan melayang-layang seperti bayangan hantu yang berputaran di atas geladak itu. Sehingga akhirnya yang menjadi korban adalah benda-benda disekitarnya. Setiap kali ia menghindar, maka peralatan perahu yang ada di belakangnya secara berderak patah atau berlubang terlanggar sambaran angin tajam itu.
"Gila! Ilmu silatmu itu benar-benar mirip dengan ilmu silat Bun-hoat Sian-seng! Hmmh! Apakah kau mempunyai hubungan keluarga atau hubungan perguruan dengan orang-tua itu?"
"Aku belum pernah mengenal ataupun bertemu dengan Bun-hoat Sian-seng. Apabila ilmu silatku ini kau anggap mirip dengan ilmu silatnya, kukira hal itu cuma kebetulan saja. Yang jelas kita tak perlu mempersoalkannya. Marilah kita selesaikan dulu pertempuran kita ini!"
"Kurang ajar! Kau kira kau dapat mengalahkan aku, heh? Jangan sombong! Lihatlah ilmuku yang sebenarnya!" Bok Siang Ki tiba-tiba menggertak marah, dan mendadak pula gerakannya berubah. Kedua kaki Bok Siang Ki bergerak semakin cepat. Demikian cepatnya sehingga kedua kaki itu hampir tidak pernah menyentuh lantai. Tapi sebaliknya, kedua buah lengan Bok Siang Ki justru bergerak semakin lambat malah, lambat namun penuh tenaga. Dan tenaga yang tersebar dari telapak tangan tersebut seakan-akan selalu bertambah tiada habisnya, sehingga udara di dalam arena itu lambat-laun bertambah sesak dan padat. Souw Thian Hai terkejut. Paru-parunya terasa semakin berat untuk mengambil napas. Bahkan beberapa saat kemudian dia juga semakin sulit menggerakkan anggauta tubuhnya.
Udara yang padat itu bagaikan kolam lumpur yang menyulitkan gerakannya.Otomatis Souw Thian Hai harus mengerahkan sebagian tenaga saktinya untuk melawan serangan udara padat itu. Sehingga dengan demikian ia tak bisa lagi mencurahkan seluruh kemampuannya untuk melepaskan angin-angin tajam itu. Namun demikian setiap kali ia bisa meloloskan diri dari himpitan udara padat itu, tangannya segera melepaskan serangan angin tajamnya. Akan tetapi karena terlalu sering membagi tenaga, maka daya tahan Souw Thian Hai pun juga cepat sekali surut. Bahkan kelincahan tubuhnya pun akhirnya juga menjadi berkurang pula. Akibatnya serangan-serangan angin tajam yang dilepaskannyapun juga semakin jarang pula. Dan akhirnya pendekar sakti itu cuma bisa bertahan saja dari serangan lawannya.
Demikianlah, tiga puluh jurus telah berlalu. Souw Thian Hai semakin repot menghadapi desakan Bok Siang Ki. Ilmunya yang selama ini hampir tidak pernah memperoleh tandingan, kini ternyata menjadi seperti tidak berguna melawan ilmu s ilat Bok Siang Ki. Selain kalah dalam segala-galanya, baik lweekang maupun ginkangnya, ternyata ia juga kalah pula dalam pengalaman. Pemimpin perguruan Ui-soa-pai itu seakan-akan selalu bisa meramal dan menduga apa yang hendak ia lakukan. Maka sungguh tidak mengherankan bila beberapa waktu kemudian pendekar sakti itu benar-benar jatuh dalam kesulitan. Beruntunglah pendekar sakti itu karena ia mengenakan mantel pusaka sebagai perisai, sehingga pukulan ataupun tendangan lawan yang lolos dari pengamatannya dapat tertahan oleh kekuatan mantel pusaka tersebut.
"Huh, kau benar-benar beruntung mengenakan mantel itu. Tampaknya mantel itu memang sebuah mantel pusaka. Eh..., apakah mantel itu mantel kepunyaan mendiang Bit-bo-ong dulu?" Souw Thian Hai tidak menjawab. Pendekar sakti itu sedang mencari kesempatan untuk menjebak lawannya. Diam-diam tangannya telah mempersiapkan belati panjang warisan Bit-bo-ong. Di dalam kerepotannya pendekar sakti itu hendak mencoba mengecoh Bok Siang Ki.
"Hei? Apa kau tuli? Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kau ingin dipukul dulu baru mau menjawab? Huh, baiklah! Lihat pukulan!" Bok Siang Ki berteriak marah.
Tangannya yang penuh tenaga itu tiba-tiba menyambar ke wajah Souw Thian Hai. Souw Thian Hai cepat menggeliat ke belakang. Tapi berbareng dengan itu tangannya yang memegang belati tiba-tiba juga menyambar ke depan. Cepat bukan main! Dan disertai hentakan tenaga dalam sepenuhnya pula! Bok Siang Ki terkejut setengah mati! Namun demikian ketangkasan dan kelincahannya ternyata benar-benar telah mencapai kesempurnaannya. Bagai kilat tubuhnya bergeser ke samping. Tangannya yang terulur ke depan itu ditarik pula dengan cepatnya. Satu setengah kali lebih cepat dari pada gerakan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Benar-benar suatu kelincahan dan kegesitan yang tiada duanya di dunia. Namun demikian ketua perguruan Ui-soa-pai itu tiba-tiba menjerit!
"Kurang ajar! Kau telah melukai aku! Kau licik! Kau membokong aku...!" ketua Ui-soa-pai itu mengumpat-umpat. Tangan kanannya memegang dua buah jari kirinya yang terputus separuh.
Untuk beberapa saat lamanya Souw Thian Hai tertegun diam memandang lawannya. Di dalam waktu yang hanya sekejap tadi ternyata telah terjadi hal-hal yang amat mengejutkan. Sangat mengejutkan namun juga menimbulkan perasaan amat kagum pula.Ternyata di dalam keadaan yang amat sulit dan tak berdaya tadi, yang bagi orang lain tentu tak mungkin bisa berbuat apa-apa lagi, Bok Siang Ki masih dapat menghindar dari tikaman pisau itu. Sehingga di samping perasaan kaget Souw Thian Hai diam-diam juga merasa kagum pula atas kesaktian lawannya. Meskipun perasaan kagum tersebut juga dibarengi dengan perasaan kecewa pula. Tapi rasa kecewa itu segera berganti dengan rasa gembira pula ketika ternyata Souw Thian Hai menyaksikan lawannya tidak sepenuhnya dapat menghindari serangan pisaunya.
Ketua Ui-soa-pai itu putus dua buah jari tangannya terkena sambaran angin tajam yang terpancar dari mata pisaunya. Mata pisau itu memang tidak bisa menjangkau tubuh Bok Siang Ki. Tapi ilmu Tai-lek Pek-khong-ciang yang tersalur pada pisau itu ternyata telah memancar keluar mengenai jari tangan ketua Ui-soa-pai tersebut. Dan jari tangan itu terbabat putus bagaikan diiris oleh pisau tajam. Tentu saja keadaan itu benar-benar sangat menggembirakan hati dan menimbulkan harapan di hati Souw Thian Hai. Dan sekaligus juga telah membukakan hatinya pula. Ternyata Tai-lek Pek-khong-ciangnya tidak hanya bisa tersalur melalui ujung jarinya saja, tetapi juga bisa disalurkan melalui senjatanya. Dengan Tai-lek Pek-khong-ciangnya ternyata ketajaman pisau itu dapat menjangkau jarak yang lebih jauh lagi. Lebih panjang dan pada ukuran pisau itu sendiri.
"Kau licik! Kau membokong aku!" sekali lagi Bok Siang Ki mengumpat. Souw Thian Hai tertawa, meskipun hatinya tetap tegang dan gelisah. Pendekar sakti itu menyadari bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dengan ketua Ui-soa-pai tersebut. Jadi semakin hebat lawannya itu marah, maka akan semakin hebat pula sepak terjangnya. Dan hal itu berarti dirinya semakin berada dalam bahaya pula.
"Siapa yang membokong? Apakah aku tidak boleh mempergunakan senjata untuk mempertahankan diri? Apakah aku harus menyerahkan nyawaku begitu saja bila aku dalam keadaan bahaya?" dengan tenang Souw Thian Hai membela diri.
"Persetan! Kubunuh kau...!" Bok Siang Ki benar benar marah. Kedua tangannya terulur ke depan kemudian menubruk Souw Thian Hai. Dan Souw Thian Hai segera menyongsongnya pula dengan sabetan pisaunya. Dari atas ke bawah, seolah-olah hendak membelah tubuh ketua Ui-soa-pai itu. Tapi tiba-tiba mata Souw Thian Hai terbeliak lebar. Pisaunya seakan-akan benar-benar mengenai sasaran. Tubuh Bok Siang Ki benar-benar seperti terbelah menjadi dua bagian. Namun yang mengejutkan, tubuh yang terbelah itu tiba-tiba dapat bergerak sendiri-sendiri. Bahkan setiap bagian yang terbelah itu menjelma menjadi Bok Siang Ki pula secara utuh. Sehingga kini Souw Thian Hai melawan dua orang Bok Siang Ki yang wajah maupun gerak-geriknya persis satu sama lain.
"Llmu sihir...???" Souw Thian Hai berdesah seraya mengejap-ngejapkan matanya dengan bingung. Tapi pendekar sakti itu tak punya kesempatan untuk berpikir lagi. Dua sosok bayangan Bok Siang Ki itu menyerangnya bergantian. Mereka berdua seperti saudara kembar yang mempunyai satu hati. Setiap kali Souw Thian Hai menyerang atau menghadapi salah satu dari mereka, maka yang lain akan segera membantu. Keduanya dapat bekerja sama dan saling mengisi dengan baiknya. Dan hal tersebut tentu saja semakin membuat Souw Thian Hai terdesak dan kewalahan.
"Oh, sungguh gila! Ini tentu hanya tipuan! Ini tentu ilmu sihir! Tidak mungkin semuanya asli! Aaagh!" Di dalam kerepotannya Souw Thian Hai mengeluh. Namun sudah beberapa kali pendekar sakti itu mencoba untuk memusatkan pikiran dan ilmunya tetap saja lawannya tak berubah. Bok Siang Ki tetap berjumlah dua orang.
Dan mereka tetap mencecarnya terus seolah-olah mereka itu tak ingin memberinya kesempatan lebih lama lagi. Beberapa buah pukulan Bok Siang Ki mulai mengenai tubuh Souw Thian Hai. Meskipun pukulan tersebut tidak mengena dengan telak, apalagi tubuh Souw Thian Hai juga terlindung oleh kekebalan mantel pusaka, namun hentakan dan kekuatan yang tersalur ke dalam pukulan tersebut tetap membuat pendekar sakti itu kesakitan. Dan ketika pukulan dan tendangan itu juga semakin sering melanda tubuh Souw Thian Hai, maka daya tahan dari pendekar sakti itupun juga menjadi semakin lemah dan kendor pula. Celakanya, keampuhan Tai-lek Pek-khong-ciang yang selama ini selalu diandalkan Souw Thian Hai, kini seperti melempem menghadapi kedahsyatan ilmu silat Bok Siang Ki.
Loncatan-loncatan angin tajam yang meluncur dari ujung jari maupun dari mata pisaunya seakan-akan tak berpengaruh apa-apa terhadap bayangan Bok Siang Ki. Angin tajam itu seperti menusuk udara kosong saja. Tentu saja keadaan Souw Thian Hai semakin payah. Selain pukulan dan sabetan pisaunya selalu mengenai angin, pukulan dan tendangan Bok Siang Ki juga semakin sering menyentuh kulitnya. Bahkan pada suatu saat sebuah pukulan Bok Siang Ki tepat mengenai dadanya. Sehingga biarpun sudah terlindung oleh mantel pusaka, tetap saja pukulan tersebut menyengat kulitnya dan menggetarkan isi dadanya. Tubuh Souw Thian Hai terbanting ke lantai perahu. Demikian kerasnya sehingga papan perahu tersebut berderak patah dan tubuh Souw Thian Hai terjeblos ke dalam lunas perahu.
"Ooouugh...!" Souw Thian Hai mengeluh panjang kemudian suaranya hilang di balik lobang tersebut. Bok Siang Ki tidak mengejar ke dalam lobang, ketua Ui-soa-pai itu justru melangkah kembali ke dalam perahu. Dengan penasaran dicarinya Liu Yang Kun yang telah melemparkan dirinya ke dalam sungai tadi. Tapi pemuda itu tidak ada di sana.
Bahkan di sekitar kamar itupun juga tidak ada pula. Tentu saja Bok Siang Ki sangat heran. Kemanakah sebenarnya pemuda itu? Ketika kemudian Bok Siang Ki menoleh ke haluan perahu, maka dilihatnya ketiga orang pembantunya telah terjun semua mengeroyok Yap Kiong Lee. Dan jagoan dari istana itu tampak kewalahan sekarang. Ilmu silatnya yang dahsyat, yang dapat menimbulkan pusaran angin itu memang masih menderu-deru dengan hebatnya. Namun kerja sama di antara Hek-eng, Ui-eng dan Pek-eng itu seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng yang kokoh kuat, yang mampu menahan serta mengurung amukan badai ganas tersebut. Bahkan ledakan ledakan pukulan petir yang beberapa kali dilepaskan oleh Yap Kiong Lee pun tak bisa menggoyahkan benteng tersebut.
Beberapa kali memang terlihat Hek-eng yang telah terluka dalam itu meringis menahan sakit, dan Pek-eng yang belum begitu sembuh dari patah tulang kakinya itu terpincang-pincang ketika melangkahkan kakinya, namun dengan bantuan Ui-eng mereka berdua dapat bekerja sama dengan baiknya. Lambat-laun Yap Kiong Lee menyadari pula keadaannya.Apalagi ketika dilihatnya Souw Thian Hai juga sudah kalah dan terjeblos ke dalam lobang perahu, sementara Pangeran Liu Yang Kun juga tidak tampak pula di atas perahu itu. Kekhawatiran dan kegelisahan atas keselamatan Liu Yang Kun membuat pendekar dari istana itu menjadi nekad dan tak mempedulikan nasibnya lagi. Tiba-tiba kedua tangannya telah mencabut sepasang pedang pendeknya.
Dan pedang itu segera berkelebatan menyambarnyambar dengan ganasnya. Yap Kiong Lee memang sengaja mengerahkan seluruh kemampuannya, dan tak begitu memikirkan lagi kese lamatannya. Sepasang pedang pendeknya menerjang terus tiada hentinya. Terutama kepada Hek-eng dan Pek-eng yang tampak lebih lemah karena luka-lukanya. Secara perorangan Hek-eng memang kalah melawan Yap Kiong Lee.Begitu pula dengan saudara-saudara seperguruannya yang lain. Tapi dengan bekerja sama dalam formasi segitiga, kekuatan mereka benar-benar menjadi berlipat-ganda, bagaikan kekuatan tiga orang dijadikan satu. Namun demikian kekuatan tersebut sebenarnya juga hanya dititikberatkan pada kecepatan dan penyatuan tenaga mereka saja, sehingga kekuatan itu segera mengalami kesulitan begitu Yap Kiong Lee mempergunakan senjata tajam.
Ketajaman pedang pendek itu tidak dapat mereka lawan hanya dengan persatuan tenaga mereka saja. Sebenarnya dalam hal seperti ini mereka harus menghadapinya dengan kecepatan mereka. Tapi celakanya saat ini dua orang diantara mereka telah terluka, Hek-eng dan Pek-eng kurang leluasa untuk bergerak cepat. Oleh karena itu beberapa jurus kemudian perimbangan kekuatanpun menjadi bergeser pula. Sepasang pedang pendek Yap Kiong Lee dengan mudah memotong kerja-sama mereka, sehingga formasi atau barisan merekapun menjadi buyar pula. Bok Siang Ki menggertakkan giginya. Setindak demi setindak kakinya melangkah mendekati pertempuran.Tangannya sudah bergetaran siap untuk turun tangan. Namun maksud tersebut segera ditundanya ketika tiba-tiba terdengar suara aba-aba Hek-eng.
"Keluarkan Hwee-coa...! Lemparkan kepadanya!" Yap Kiong Lee terkejut bukan main. Wajahnya menjadi pucat. Kedahsyatan ular-ular kecil itu pernah didengarnya pula. Bahkan ia seperti tak percaya kalau lawan-lawannya itu benar-benar memiliki ular langka tersebut. Tapi Yap Kiong Lee benar-benar harus menahan napas. Ketiga orang lawannya itu memang betul-betul mengeluarkan Hwee-coa. Malahan di lain saat ular-ular tersebut telah dipergunakan pula untuk menyerangnya.
"Wuuut! Sinnng! Siiiing! Uuuut!" Ular ular pemakan jantung itu mulai berkelebatan seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Mereka melayang dan berloncatan menyambarnyambar. Semuanya mencari lobang di dalam tubuh Yap Kiong Lee. Tapi dengan gesit pula Yap Kiong Lee mengelak dan berlindung di balik ayunan pedangnya. Namun dengan demikian Yap Kiong Lee harus tetap membagi perhatiannya. Selain harus tetap menghadapi keroyokan Sam Eng, ia juga harus selalu waspada terhadap serangan hwee-coa. Dan semua itu tentu saja sangat menyulitkan permainan pedangnya. Otomatis dia tidak bisa melepaskan ilmu pedangnya dengan baik lagi.
"Gila!" Yap Kiong Lee mengumpat di dalam hatinya. Dia mulai kewalahan. Permainan pedangnya mulai terdesak. Dan ular-ular kecil itu sulit sekali diserang. Gerakan mereka amat gesit sekali. Bok Siang Ki menjadi lega sekali melihatnya. Namun demikian hatinya tetap penasaran. Liu Yang Kun tetap tak diketemukannya.
"Apakah pemuda itu juga ikut terjun ke dalam sungai pula ketika aku tercebur tadi? Ataukah...? Hei!" Tiba-tiba ketua Ui-soa-pai itu tersentak kaget. Pikirannya segera tertuju ke lobang di bawah geladak itu. Sampai sekarang Souw Thian Hai yang telah dikalahkannya itu belum keluar juga dari lobang tersebut. Hal itu berarti ruangan di bawah lantai geladak tersebut cukup luas dan bisa untuk bersembunyi pula.
"Jangan-jangan pemuda itu juga bersembunyi di bawah geladak ini pula," sambil menggeram Bok Siang Ki berkelebat kembali ke kamar perahu itu. Di tempat itu masih ia dapati tubuh Tiauw Li Ing yang tergeletak di pojok ruangan. Namun ia tak menyentuhnya. Sebaliknya dengan kasar ia membongkar semua barang yang tertumpuk di dalam ruangan tersebut dan melemparkannya keluar.
"Nah!" Bok Siang Ki memekik kecil ketika akhirnya ia menemukan sebuah lobang di bawah tumpukan papan. Bahkan ia juga memperoleh sobekan kecil baju Liu Yang Kun yang terselip di tepian lobang. Bok Siang Ki segera berdiri di depan lobang tersebut dengan sikap siaga.
"Keluarlah! Kau tidak usah bersembunyi lagi! Cepat!" bentaknya kemudian.
"Baiklah, Bok Siang Ki... aku akan keluar! Kau tak perlu berteriak teriak lagi," tiba-tiba terdengar jawaban dari dalam lobang tersebut.
"Whuuuuuus!" Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan keluar dari dalam lobang itu. Dan otomatis dengan sigap pula Bok Siang Ki me langkah mundur dua tindak. Matanya mencorong tajam. Sementara kedua tangannya juga sudah siap untuk melontarkan serangan. Bayangan itu segera berdiri tegak di depan Bok Siang Ki. Sementara dari dalam lobang tersebut tiba-tiba masih muncul pula sesosok bayangan yang lain, yang segera berdiri pula di belakang bayangan pertama. Dan ternyata bayangan yang kedua itu tidak datang sendirian. Bayangan tersebut tampak menggendong seorang wanita yang sedang pingsan.
"Aku tidak akan lari darimu, Bok Siang Ki! Inilah aku...!" bayangan pertama yang tidak lain adalah Liu Yang Kun itu berkata dengan suara keren.
"Hati-hati, Pangeran! Dia lihai sekali! Aku baru saja dikalahkannya...!" bayangan kedua yang tidak lain adalah Souw Thian Hai itu berbisik. Wajahnya kelihatan amat pucat, sementara di sudut bibirnya masih tersisa tetesan darah akibat pukulan Bok Siang Ki tadi. Liu Yang Kun berdesah pendek. Sekejap matanya melirik ke belakang. Sikapnya sekarang benar benar sangat berubah. Kini tampak garang dan berwibawa. Sikapnya yang semula sering kelihatan ragu dan kurang yakin pada diri sendiri, sekarang sudah hilang.
"Terima kasih Souw Taihiap. Silakan Souw Taihiap beristirahat saja sekalian mengurus gadis itu. Biarlah aku saja yang menghadapi orang ini," dengan tegas Liu Yang Kun berkata. Souw Thian Hai memandang gadis yang ada di dalam gendongannya, kemudian menatap ke arah Liu Yang Kun kembali.
"Baiklah. Tapi ehm, apakah Pangeran benar-benar telah menjadi baik? Maksud saya... maksud saya apakah Pangeran benar-benar telah sembuh dan sehat kembali?" Liu Yang Kun menghela napas pendek. Sekilas tampak air matanya berlinang.
"Terima kasih, Souw Taihiap. Budimu benar-benar takkan kulupakan. Penyakitku sudah hilang. Aku sudah sembuh. Aku sudah bisa mengingat-ingat lagi siapa diriku..." dengan suara bergetar Liu Yang Kun menjawab.
Sementara itu Bok Siang Ki menjadi tidak sabar mendengarkan percakapan mareka. Dengan tangannya terayun ke depan mengarah ke pinggang Liu Yang Kun. Suara angin pukulannya berdesir lembut seperti tidak bertenaga. Namun ketika Liu Yang Kun bergerak agak sedikit terlambat karena terlalu meremehkan kekuatannya, maka tiba-tiba tubuh pemuda itu terguncang dengan hebatnya. Hampir saja pemuda itu terlempar ke belakang kalau tidak segera mengerahkan tenaga untuk mengatasinya. Lain halnya dengan Souw Thian Hai yang berdiri di belakang Liu Yang Kun. Pendekar sakti itu jauh-jauh sudah menyadari betapa dahsyatnya ilmu Bok Siang Ki, sehingga ketika ia melihat tangan ketua Ui-soa-pai itu bergerak dia sudah lebih dulu me loncat ke samping dengan cepatnya.
Meskipun demikian hembusan angin yang lewat masih juga dapat menerbangkan pita rambut yang dikenakan gadis didalam gendongannya itu. Tak urung Souw Thian Hai berdecak kagum pula. Ternyata lweekang ketua aliran Ui-soa-pai itu benar-benar hebat bukan main. oleh sebab itu pula kemudian Souw Thian Hai membawa gadis yang digendongnya itu ke tempat yang aman. Dibawanya gadis tersebut ke kamar perahu yang rusak itu. Souw Thian Hai melihat beberapa orang jago silat yang tadi mengeroyok murid-murid Giok-bin Tok-ong Sam-eng tadi. Mereka semua datang mendekat dengan wajah lega dimukanya. Walaupun air-muka mereka rata-rata masih tampak pucat menyaksikan pertempuran mengerikan tadi.Sebagian dari orang-orang itu segera menolong Souw Thian Hai, sementara yang lainnya menjenguk keadaan Tiauw Li Ing.
"Souw Thian Hai..." salah seorang yang ikut membantu Souw Thian Hai menyapa pelan.
"Gadis yang Taihiap bawa ini adalah cucu kepala kampung di sini. Karena dialah pertempuran di tengah sungai ini berlangsung."
"Hemmmm..." Souw Thian Hai mengangguk-angguk. Kemudian pendekar sakti itu memandang ke tempat Tiauw Li Ing terbaring.
"Lalu... bagaimana dengan gadis yang seorang itu? Apakah dia juga korban penculikan pula?" Orang yang berbicara dengan SouwThian Hai itu menghela napas panjang. Matanya juga terarah kepada Tiauw Li Ing.
"Sebenarnya gadis itu juga bermaksud seperti kita pula. Dia juga bermaksud untuk menolong gadis ini. Namun ketika maksudnya itu hampir berhasil tiba-tiba muncul rombongan Bok Siang Ki itu. Mereka dengan mudah menangkap gadis itu. Bahkan kemudian merebut pula gadis itu dari tangan para penculik itu..." Souw Thian Hai bangkit berdiri. Dipandangnya pertempuran yang terjadi antara Liu Yang Kun dan Bok Siang Ki. Juga pertempuran yang seru antara Yap Kiong Lee dengan anak buah Bok Siang Ki. Tapi ketika pandangannya terarah keluar perahu. Hatinya menjadi kaget.
"Eh... dimana perahu-perahu yang lain?" desahnya sedikit keras begitu menyaksikan perairan yang kosong di sekitar perahu tersebut. Orang yang berada di dekat Souw Thian Hai segera menyahut.
"Perahu ini sudah sejak tadi terputus tali jangkarnya. Kita telah jauh meninggalkan tempat penyeberangan itu. Perahu ini telah hanyut ke hilir..."
"Oooooh! Makanya sepi benar keadaannya""
"Eh, Taihiap...? Apakah..., apakah kita tidak perlu membantu Yap Tai hiap itu...?" tiba-tiba orang itu berkata pula ketika dilihatnya Yap Kiong Lee mulai kewalahan menghadapi ular-ular Hwee-coa itu.
"Benar!" Souw Thian Hai tersentak kaget puIa begitu melihat berkelebatnya ular-ular kecil itu.
"Silakan cuwi mengurus gadis-gadis ini, aku akan menolongnya!"
Souw Thian Hai bergegas mendekati pertempuran Yap Kiong Lee dan lawan-lawannya. Hatinya segera menjadi tegang dan berdebar ketika mengenali ular-ular kecil yang sangat berbahaya itu. Apa lagi ketika menyaksikan temannya itu mengalami kesulitan untuk menghadapinya. Ular-ular yang hanya sejengkal panjangnya itu tampak sangat lincah sekali, dan sulit sekali untuk ditabas dengan pedang. Sebenarnya agar lebih mudah bagi Yap Kiong Lee untuk mengenyahkan mereka dengan pukulan Petir dan Badainya. Tapi setiap kali pendekar dari istana itu mempergunakan ilmunya itu, maka ketiga orang lawannya segera bergabung pula untuk menanggulanginya. Sehingga dengan demikian kerja-sama antara ketiga ekor ular tersebut dengan tuan-tuannya benar-benar sangat sukar ditembus.
"Maaf, Saudara Yap. Ijinkanlah aku membantumu mengenyahkan ular-ular kecil itu. Kau layani saja ketiga orang lawanmu itu baik-baik!" Souw Thian Hai kemudian menggeram seraya melepaskan serangan Angin tajamnya.
"Cuuuus! Cuuus!" Meskipun luka dalamnya sedikit mempengaruhi pengerahan tenaganya, namun hentakan 'angin tajam" yang dilepaskan oleh Souw Thian Hai tetap saja berdesing dengan kuatnya!
Dan angin tajam itu meluncur dari ujung-jarinya bagaikan tajamnya ujung-pedang yang menghunjam ke sasaran yang ditujunya! Bahkan kecepatannya justru lebih berlipat ganda dari pada ujung pedang yang sesungguhnya! Seekor ular yang belum menyadari kedahsyatan ilmu Tai-lek Pek-Khong ciang itu segera terpental menjadi dua bagian, tertabas oleh hentakan angin tajam itu. Tapi kedua ekor Hwee-coa yang lain cepat menyadari bahaya tersebut. Sebelum Souw Thian Hai melepaskan ilmunya lagi, mereka telah lebih dulu menghilang di sela-sela lantai geladak itu. Tampaknya mereka sangat ketakutan menghadapi ilmu Tai-lek Pek-khong-ciang itu, sehingga suara panggilan yang dilontarkan oleh tuan-tuan mereka tidak mereka hiraukan.
"Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai...??" ketiga orang pembantu Bok Siang Ki itu berdesah gemetar. Otomatis mereka juga menghentikan serangan mereka. Sebenarnya Sam-eng tidak takut menghadapi Souw Thian Hai. Tapi dengan adanya Yap Kiong Lee di situ, mereka harus berpikir juga dengan seksama.
Apalagi ketika mereka memandang ke arah majikan mereka, mereka mendapatkan majikan mereka itu juga sedang menghadapi lawan yang setimpal pula. Walaupun sedang sibuk menghadapi Liu Yang Kun, ternyata Bok Siang Ki masih tetap jeli dan tidak melupakan anak buahnya. Keadaan para pembantunya tersebut segera diketahui pula. Dan perbandingan kekuatan yang tidak seimbang itu segera memaksanya untuk berpikir kembali. Apalagi lawannya yang masih amat muda itu terasa semakin sulit ia hadapi. Oleh karena itu Bok Siang Ki segera mengambil keputusan. Ia memberi isyarat rahasia kepada pembantu-pembantunya itu untuk mengalah dan meloloskan diri dari tempat itu. Tapi sementara itu di dalam bilik perahu telah terjadi keributan. Begitu siuman dari pingsannya tiba-tiba Tiauw Li Ing mengamuk.
Gadis itu masih merasa bahwa dirinya berada dalam cengkeraman para penjahat, sehingga amukannyapun benar-benar menggiriskan hati. Dasar gadis itu memang memiliki watak yang kejam serta sadis, maka serangannyapun juga tidak tanggung-tanggung pula. Segenggam paku beracun ia tebarkan ke sekelilingnya.Tentu saja para pendekar kang-ouw itu menjadi kaget setengah mati. Mereka benar-benar tidak menduga akan hal itu, sehingga tentu saja mereka tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindarinya. Mereka segera berteriak ngeri dan terjungkal menemui ajalnya. Hanya ada dua orang yang selamat dari pembantaian tersebut, yaitu dua orang pendekar yang kebetulan sedang merawat putri kepala kampung tadi. Kedua orang itu segera menyambar tubuh gadis itu dan membawanya menghindari dari kamar tersebut.
"Jangan lari! Lepaskan gadis itu!" Tiauw Li Ing yang melihat mereka segera berteriak dan mengejar.
"Tiauw Li Ing...?" Pangeran Liu Yang Kun yang sedang bertempur seru melawan Bok Siang Ki itu memekik marah menyaksikan ulah Tiauw Li Ing.
"Hah? Koko, kau...?" Tiauw Li Ing yang tidak menyangka dapat bertemu dengan "suaminya' di tempat itu mendadak berteriak kegirangan. Lalu tanpa mempedulikan orang lain lagi gadis itu berlari mendekati Liu Yang Kun. Tapi sebaliknya dengan cekatan pula pemuda itu melompat menghindarinya. Dan kesempatan tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh Bok Siang Ki untuk lolos dari tempat itu. Ketua partai Ui-soa-pai itu segera menjejakkan kakinya, sehingga tubuhnya melesat ke arah pertempuran anak buahnya. Sambil melayang ia mengerahkan ilmu sihirnya. Tiba-tiba dari kedua belah telapak tangannya seperti menyemburkan lidah api. Dan lidah api itu seperti memancar dengan dahsyatnya menerjang Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai!
"Awas, Saudara Souw...!" Jagoan dari Istana itu berteriak memperingatkan sahabatnya. Dan kedua orang sahabat itu buru-buru menghindar dengan melompat sejauh-jauhnya. Tapi dengan demikian kesempatan tersebut segera dipergunakan oleh Bok Siang Ki dan anak buahnya untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Mereka meloncat ke dalam air dan pergi dari tempat tersebut. Demikianlah, semuanya itu berlangsung dengan cepat sekali. Sehingga ketika Liu Yang Kun menyadari hal itu, semuanya telah berlalu. Bok Siang Ki dan anak buahnya telah lenyap ditelan gelombang sungai. Namun sementara itu di atas geladak perahu, Tiauw Li Ing tampak sangat terpukul hatinya melihat sikap Liu Yang Kun. Wajah puteri bajak laut itu kelihatan pucat sekali. Matanya menatap kosong ke depan, sementara air matanya mulai mengumpul di sudut matanya. Dan bibirnya yang kering itu tampak bergetaran, seolah menahan jerit yang tak kunjung keluar. Di lain pihak, Liu Yang Kun sudah demikian marahnya terhadap Tiauw Li Ing yang kejam dan telah mencelakakan dirinya, sehingga ia benar-benar mengambil sikap yang sangat bermusuhan dengan bekas isterinya itu.
"Huh! Perbuatanmu sungguh kelewatan dan... tak tahu diri. Membujuk seorang tua renta untuk mencelakakan aku! Kini membunuhi orang yang sebenarnya hendak menolong engkau Ooo... gadis macam apa sebenarnya engkau ini?" sergah pemuda itu dengan berangnya. Tiauw Li Ing benar-benar tak mampu bicara lagi. Begitu dahsyat pukulan batin yang diterimanya sehingga tiba-tiba tubuhnya sempoyongan ke pagar perahu. Dan ketika badannya tersandar di atas pagar pendek tersebut, tangannya sama sekali tak berusaha untuk mencari pegangan. Akibatnya tubuhnya segera terhuyung keluar pagar dan kemudian terjungkal ke bawah, ke dalam air. Dan anehnya, gadis itu sama sekali tak mau mengerahkan kepandaiannya untuk menyelamatkan diri. Bahkan dilihat sepintas lalu gadis itu seperti sengaja mau bunuh diri!
"Nona...??" Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai lah yang kemudian berteriak kaget. Kedua pendekar itu segera mencari apa saja yang bisa mereka pergunakan sebagai pelampung, Yap Kiong Lee mendapat segulung tali panjang yang kemudian ia ikatkan di pagar perahu dan di pinggangnya, sementara Souw Thian Hai yang memiliki ginkang tinggi itu mengikatkan sebilah papan panjang di bawah telapak sepatunya. Mereka bergegas meloncat ke dalam air untuk menolong Tiauw Li Ing. Tapi maksud baik kedua sahabat tersebut sia-sia belaka. Mereka tak dapat menemukan tubuh Tiauw Li Ing. Gadis itu bagaikan sudah terhisap oleh arus air yang menggila.
"Aduuuuh...!" tiba-tiba Souw Thian Hai berseru kesakitan. Baik Liu Yang Kun yang ada di atas perahu maupun Yap Kiong Lee yang berada di dalam air di dekat Souw Thian Hai, menoleh dengan kaget! Tiba-tiba saja mereka menyaksikan sebuah tangan tersembul dari dalam air dan menghantam ke arah Souw Thian Hai!
"Awasss, Saudara Souw... di sebelah kirimu!" dalam gugupnya Yap Kiong Lee menjerit.
"Byuuur!" Souw Thian-Hai menjejakkan kakinya yang mengenakan papan itu ke arah tangan yang tersembul dari dalam air tersebut. Dan bentrokan yang terjadi membuat papan yang terikat di kaki Souw Thian Hai itu pecah berantakan kemana-mana sementara pendekar itu sendiri terlempar kembali ke dalam air.
"Saudara Souw...?" Yap Kiong Lee berseru kaget, lalu meluncur mendekati sahabatnya itu dan memegangi lengannya agar tidak tenggelam.
"Terima kasih, Saudara Yap." Souw Thian Hai berbisik seraya menatap kesana kemari untuk mencari lawannya tadi.
"Saudara Souw, marilah kita naik saja ke atas perahu! Sungguh berbahaya di tempat ini. Kita tak bisa melihat lawan kita."
"Marilah...!" Kedua pendekar sakti itu lalu bergegas naik ke atas perahu kembali. Di atas daratan mereka berdua memang seorang pendekar yang sulit dicari tandingannya. Tapi di dalam air ternyata kesaktian mereka benar-benar tidak bisa berbuat banyak terhadap lawan. Sementara itu kedatangan mereka di atas perahu segera disongsong oleh Pangeran Liu Yang Kun,
"Siapakah yang menyerang Jiwi Taihiap di dalam air tadi?" pemuda itu bertanya.
"Kami juga tidak mengetahuinya, Pangeran." Souw Thian Hai cepat menjawab.
"Orang itu selalu bersembunyi di dalam air. Kami hanya bisa... hei... Hei...?? Lihat itu!" Tiba-tiba pendekar sakti itu mengangkat jari telunjuknya ke seberang. Dan mata Liu Yang Kun maupun Yap Kiong Lee segera terbelalak! Mereka melihat Bok Siang Ki melenggang di atas pemukaan air dengan entengnya. Padahal di atas pundaknya tergantung tubuh Tiauw Li Ing yang tadi tercebur ke dalam sungai. Tokoh Ui-soa pai itu mendarat di seberang sungai, dimana para pembantunya ternyata telah lebih dulu menunggunya.
"Ah, ternyata Bok Siang Ki lah yang menyerangku di dalam air tadi. Pantas!" Souw Thian Hai bergumam seraya memegangi pahanya yang pegal akibat benturan tenaga di dalam air tadi.
"Untunglah kita lekas-lekas naik ke perahu tadi. Kalau tidak, hmm... kita benar-benar telah menjadi bangkai." Yap Kiong Lee bersungut-sungut lega. Demikianlah, karena tak mungkin bisa mengejar Bok Siang Ki lagi, maka mereka lalu membawa perahu tersebut ke tepian. Mereka segera menguburkan mayat-mayat yang ada di dalam perahu itu. Oleh karena perahu tersebut sudah terlalu jauh dan kampung tempat penyeberangan itu maka Yap Kiong Lee meminta kepada dua orang pendekar kang ouw yang masih tersisa, untuk membawa kembali perahu tersebut ke asalnya beserta cucu kepala kampung yang dapat mereka selamatkan itu sekalian.
Sedangkan Liu Yang Kun, Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai, lalu mengambil jalan darat ke tujuan mereka semula, yaitu kota Cin-an. Karena sudah pulih kembali kesehatannya, maka Liu Yang Kun benar-benar kelihatan sangat gembira di dalam perjalanannya. Dia bercerita tentang pengalamannya di masa lalu, ketika ia bersama Tui Lan di dalam lorong-lorong gua itu. Bahkan pemuda itu juga berterus terang pula tentang hubungannya dengan Tui Lan. Bahkan ia juga tidak menyembunyikan pula kealpaannya, bagaimana ia mempelajari ilmu warisan Bit-bo-ong yang secara kebetulan diketemukan oleh Tui Lan di dalam gua tersebut. Dan akhirnya pemuda itu juga menceritakan pula perjuangannya untuk keluar dari neraka di bawah tanah itu.
"Akhirnya aku bisa keluar juga dari lorong gelap itu. Namun sayang, aku terpisah dengan isteriku. Aku khawatir dia menjadi korban dari arus air di bawah tanah itu..." Liu Yang Kun mengakhiri ceritanya.
"Oh!" Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai mengangguk-angguk. Keduanya benar-benar tertarik dengan cerita itu. Terutama Souw Thian Hai yang merasa memiliki buku warisan Bit-bo-ong itu. Tapi pendekar itu tetap berdiam diri saja. Demikianlah bersamaan dengan terbenamnya matahari di balik cakrawala, mereka pun tiba pula di pintu gerbang kota Cin-an. Orang telah mulai menyalakan lampu-lampu mereka, sehingga kota itu tampak hidup dan terang benderang. Sementara di jalan-jalan yang membelah kota itu kelihatan sebagian dari penduduk kota itu berjalan hilir-mudik dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Gedung di mana pusat perguruan Tiam-jong-pai itu berdiri ada di tengah-tengah kota. Halamannya amat luas, dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Gedung itu sendiri terdiri dari sebuah bangunan induk yang besar, dengan bangunan-bangunan samping dan belakang yang banyak serta indah-indah. Dan di bagian tengah dari bangunan-bangunan itu terdapat sebuah lapangan yang luas untuk berlatih silat. Dan pada malam itu ratusan buah lampu teng tampak bergantungan di segala sudut bangunan tersebut. Ditambah dengan Hiasan kertas berwarna-warni, maka gedung itu benar-benar kelihatan semarak dan meriah sekali. Kursi dan mejapun tampak ditata dengan rapi, berderet-deret memenuhi pendapa. Bahkan sampai meluber pula ke halaman.
Beberapa orang pekerja masih kelihatan sibuk merapikan hiasan-hiasan yang ada di dalam pendapa itu. Sementara beberapa orang gadis dan perempuan setengah-baya juga kelihatan sibuk pula memasang bunga-bunga di kursi pengantin dan di atas meja-meja tamu. Dan di halaman yang kosong kelihatan pula anak-anak berlarian dengan gembiranya. Namun demikian ketika Pangeran Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee memasuki gapura halaman itu, beberapa orang tua tampak bergegas menyambut mereka dengan wajah tegang dan khawatir. Bahkan salah seorang diantara mereka tampak sekali mengungkapkan perasaan kecewanya begitu melihat siapa yang datang. Tampaknya mereka kecewa karena bukan rombongan Liu Yang Kun yang mereka nantikan.
"Tampaknya rombongan Ui Bun Ting belum sampai di sini." Souw Thian Hai berbisik kepada Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee. Namun demikian orang-orang itu segera menyambut pula dengan ramahnya. Apalagi setelah mengetahui wajah Hong-Gi-Hiap Souw Thian hai dan Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee yang sangat tersohor itu.
"Ah, marilah jiwi Taihiap...! Silakan masuk! Silakan...!" Souw Thian Hai dan Yap Kiong Lee membalas pula penghormatan mereka, kemudian melangkah masuk.
"Apakah Ui Ciang-bun belum pulang?" sambil berjalan Souw Thian Hai bertanya pelan.
"Belum. Apakah Taihiap juga tidak bertemu dengan beliau?" dengan suara seret orang yang tertua diantara para penyambut itu menjawab. Wajahnya kelihatan sedih dan bingung.
"Kami telah mengutus beberapa orang ke kota Lai-yin. kalau-kalau Ciang-bun-jin ada di rumah keluarganya di sana. Tapi sampai sekarang mereka belum kembali juga. Bahkan kami semua mengira, kepergian Taihiap kemarin malam juga karena hal ini..." yang lain ikut menyambung pula perkataan orang itu. Tiba-tiba Souw Thian Hai menepuk bahu orang itu.
"Jangan bersedih! kami memang telah menemukan Ui Ciang-bun. Beliau sedang dalam perjalanan kemari. Kami memang sengaja mendahului mereka untuk memberi khabar lebih dahulu..."
"Hhha...???" orang-orang Tiam-jong-pai itu bersorak kaget.
"Taihiap telah menemukan Ciang-bun-jin kami? Oh!"
"Wah, kalau begitu kita harus lekas-lekas memberitahukannya kepada susiok...! Kita harus segera mengirimkan rombongan untuk menjemput Ciang-bun-jin."
"Maaf Taihiap... Silakan Taihiap dan rombongan duduk di pendapa dulu! Kami akan me lapor kepada susiok! Oh, Thian... Ciang-bun-jin sudah pulang!" Murid-murid Tiam-Jong-pai itu segera berlarian memasuki halaman samping untuk menemui susiok mereka. Souw Thian Hai dan Yap Kiong Lee saling pandang dengan Liu Yang Kun. Mereka bertiga dapat memaklumi perasaan orang-orang itu, sehingga mereka tidak merasa tersinggung ditinggalkan begitu saja di halaman. Dengan langkah biasa mereka naik ke pendapa. Tampaknya keributan kecil itu telah menarik perhatian orang orang yang berada di dalam gedung itu. Beberapa orang lelaki dan wanita tampak keluar menjenguk mereka bertiga. Dan salah seorang diantara mereka terdapat seorang wanita yang sangat cantik sekali, menggendong seorang anak kecil.
"Hai-ko. kaukah itu...?" wanita itu tiba-tiba menyapa Souw Thian Hai dengan suara merdu. Wajahnya yang gilang-gemilang seperti bidadari itu tampak berseri-seri menyambut kedatangan Souw Thian Hai.
"Ya! Akulah yang datang, Hong moi, Aku datang bersama Saudara Yap dan Pangeran...?" Souw Thian Hai tidak meneruskan perkataannya karena pinggangnya keburu disodok oleh Yap Kiong Lee.
"Ah...? betulkah itu Saudara Yap? Rasa-rasanya aku sudah tidak mengenalnya lagi. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa..." wanita cantik itu yang tidak lain adalah Chu Bwee Hong, isteri Souw Thian Hai, menyambut pula kedatangan Yap Kiong Lee dengan ramahnya.
"Ah... tentu saja Souw Hujin sudah tidak mengenalku lagi. Aku sudah semakin tua sekarang. Tidak sekuat dan segesit dulu lagi, hahaha..." Yap Kiong Lee yang usianya sejajar dengan Hong-hiap Souw Thian Hai dan tubuhnya masih tegap dan gagah itu cepat-cepat menyahut pula dengan kelakarnya. Di kala mereka masih amat muda memang merupakan sahabat-sahabat yang baik. Chu Bwee Hong yang ayu itu bersenyum manis sekali.
"Ah, Saudara Yap ini ada-ada saja. Eh, kenapa sendirian saja? Bagaimana dengan Cici Pek Lian?" Pek Lian adalah adik seperguruan Yap Kiong Lee sendiri, yang kemudian diperisterikannya. Wanita itu juga merupakan sahabat kental Chu Bwe Hong pula.
"Ah... dia baik-baik saja di rumah. Sayang dia tidak sebahagia Souw Hujin karena dia selalu kutinggalkan bertugas kemana-mana." Merekapun lalu duduk di pendapa. Chu Bwee Hong tampak ragu-ragu ketika bertatap muka dengan Liu Yang Kun. Wanita ayu itu merasa sudah pernah mengenalnya.
"Beliau adalah Pangeran Liu Yang Kun yang selama ini kami cari-cari. Apakah Souw Hujin sudah lupa kepada beliau?" Yap Kiong Lee cepat-cepat berbisik kepada Chu Bwee Hong.
"Oooh!" wanita ayu itu tersentak kemudian cepat-cepat menganggukkan kepalanya. Ternyata Liu Yang Kun ikut menjadi gugup pula. Wajah Souw Hujin yang amat cantik itu mengingatkannya kepada Souw Lian Cu.
Mereka benar-benar mirip, padahal Souw Hujin itu bukanlah ibu kandung Souw Lian Cu. Sementara itu dari halaman samping tiba-tiba berderap belasan ekor kuda yang melesat keluar melalui pintu depan. Sebagian dari para penunggangnya adalah orang-orang yang tadi menyambut kedatangan rombongan Liu Yang Kun di pintu halaman. Tampaknya orang-orang itu hendak menyongsong kedatangan Ui Bun Ting. Yap Kiong Lee saling bertukar pandang dengan Souw Thian Hai. Namun sebelum mulut mereka berbicara, tiba-tiba dari ruang dalam muncul seorang lelaki bertubuh jangkung menghampiri mereka. Dengan langkahnya yang mantap lelaki itu diiringkan oleh beberapa orang muridnya. Rambutnya telah mulai memutih di kedua pelipisnya.
"Yap Tai-Ciangkun! Souw Taihiap! Selamat datang...! Wah, kami terlambat keluar untuk menyambut kedatangan Jiwi! Maaf! Maafkanlah kami! Mari silakan duduk...!" lelaki tua itu yang tidak lain adalah adik seperguruan Ui Bun Ting segera menyapa dan memberi hormat.
"Ah! Kamilah yang terlalu tergesa-gesa. Upacara belum juga mulai, kami sudah terburu-buru datang. Kamilah yang seharusnya meminta maaf..." Yap Kiong Lee cepat menyahut pula.
(Lanjut ke Jilid 37)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 37 (Tamat)
Tidak lama kemudian tamupun mulai berdatangan. Selain para pejabat di kota itu, datang pula kawan-kawan akrab Ui Bun Ting dari dunia persilatan. Mereka berbondong-bondong datang untuk ikut memeriahkan perkawinan ketua Tiam-jong-pai itu. Sama sekali mereka semua tidak tahu bahwa orang yang hendak mereka elu-elukan malam ini belum datang. Yang sangat repot menyambut dan melayani pertanyaan para tamu adalah Sute Ui Bun Ting tadi. Sebagai wakil tuan rumah orang-tua itu harus dapat bersikap bijaksana terhadap tamu-tamu kakak seperguruannya. Demikianlah semakin ma lam tamu yang datang-pun menjadi semakin banyak pula. Kursi di tengah pendapa telah penuh tamu. Bahkan deretan kursi yang ditempatkan di ruangan samping pendapa pun juga telah penuh pula.
Terpaksa para murid Tiam-jong-pai memasang kursi lagi di halaman. Namun demikian rombongan Ui Bun Ting belum juga tiba dari kota Lai-yin. Tentu saja pihak tuan rumah menjadi gelisah sekali. Terutama adik seperguruan Ui Bun Ting. Dengan peluh bercucuran orang tua itu mondar-mandir kesana-kemari, sambil sesekali menatapkan pandangannya keluar halaman, kalau-kalau melihat kedatangan kakaknya. Oleh karena itu ketika di jalan besar terdengar suara gemuruh dan riuhnya derap kaki kuda, wajahnya seketika menjadi cerah dan berseri-seri. Ia segera bangkit dari kursinya dan bergegas turun ke halaman. Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai pun segera mengikutinya pula. Kedua pendekar itu tersenyum dan mengangguk kepada Liu Yang Kun sehingga Pangeran itu terpaksa bangkit pula mengikuti mereka.
"Maaf, Souw Hujin. Aku akan melihat suasana di jalan itu pula..." pemuda itu minta diri kepada Chu Bwee Hong yang duduk di dekatnya.
"Silakan, Pangeran. Biarlah aku menunggu di sini bersama anakku."
Suara gemuruh itu juga menarik perhatian para tamu yang duduk di tempat tersebut. Namun mereka juga tidak begitu mempedulikannya, karena mereka menyangka bahwa suara itu adalah suara kedatangan para tamu pula. Mereka baru menjadi kaget ketika puluhan pasukan berkuda yang bersenjata lengkap memasuki halaman itu. Namun demikian mereka tetap mengira bahwa salah seorang tamu yang berpangkat tinggi datang dengan diiringkan oleh para pengawalnya. Semua tamu baru merasa kaget setengah mati ketika di belakang pasukan berkuda itu tiba-tiba muncul sebuah kereta kerajaan yang di kanan-kirinya dihiasi panji-panji kekaisaran. Malahan di kanan-kiri kereta tersebut juga berbaris pula prajurit-prajurit Kim-i-wi dan Gin-i-wi (pengawal Kaisar berbaju emas dan perak) yang sangat terkenal itu.
"Hong Siang...???" hampir semua tamu berbisik kaget. Sementara itu Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai yang melangkah di halaman ikut tertegun pula melihat kejadian yang tidak disangka-sangka tersebut. Bergegas mereka menyongsong ke depan mendahului adik seperguruan Ui Bun Ting yang berdiri termangu-mangu di tengah halaman.
"Hongsiang...! Benar-benar Hongsiang datang! Eh, Saudara Souw...! Sungguh mengherankan sekali! Mengapa pula Hongsiang yang sudah bertahun-tahun tak mau meninggalkan istananya itu kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh ini? Apakah yang telah terjadi?" Yap Kiong Lee berseru heran.
"Ehh, mana aku tahu? Lebih baik Saudara Yap menanyakannya saja secara langsung kepada prajurit-prajuritmu itu..."
Tapi ternyata Yap Kiong Lee tak perlu bertanya lagi. Pendekar dari istana itu segera bisa menebaknya sendiri tatkala melihat kehadiran adiknya diantara para prajurit pengawal itu. Tentu adiknyalah yang membawa Hongsiang itu kemari. Para prajurit itu segera menebar dan bersiaga di halaman rumah tersebut. Namun karena jumlah mereka memang sangat banyak, maka sebagian besar juga masih tetap bertebaran di jalan-raya. Kereta yang ditumpangi kaisar Han berhenti di tengah-tengah halaman. Para prajurit Kim-i-wi dan Gin-i-wi yang gagah-gagah itu segera berbaris rapat mengelilinginya. Yap Tai Ciangkun turun dari atas kudanya dan bergegas menghampiri kereta. Tapi panglima besar tentara Kerajaan itu segera berhenti ketika melihat Yap Kiong Lee dan Souw Thian Hai mendatangi.
"Twako...? Souw Taihiap...?" sapanya gembira. Souw Thian Hai mengangguk pula dengan hormat. Sedangkan Yap Kiong Lee segera merangkul Yap Tai-Ciangkun. Liu Yang Kun berdiri saja di kejauhan.
"Kau bawa Hongsiang kemari?" Yap Kiong Lee bertanya pendek. Yap Khim menarik napas panjang. Matanya nanar mencari Liu Yang Kun.
"Aku tak bisa menghalangi kehendak Hongsiang untuk segera melihat puteranya. Hm... dimanakah Pangeran Liu Yang Kun?" Yap Kiong Lee membalikkan tubuhnya,
"Itu dia...!" katanya seraya mengarahkan pandangannya kepada Liu Yang Kun. Yap Khim tertegun sebentar, lalu menganggukkan kepalanya kepada pemuda itu.
"Pangeran...!" sapanya hormat.
"Yap Tai-Ciangkun, dimanakah anak itu...?" tiba-tiba terdengar suara lantang dari dalam kereta. Yap Khim cepat memberi hormat ke arah kereta.
"Pangeran ada disini, Hongsiang..." Jawabnya tegas pula.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana dia...?" Tiba-tiba pintu kereta terbuka lebar dan Kaisar Han Kou-Cou atau Kaisar Liu Pang itu melangkah keluar. Tubuhnya yang tinggi besar itu masih tampak kokoh kuat meskipun rambut dan cambangnya yang lebat itu sudah hampir putih semuanya. Kecuali para pengawal, semua orang yang berada di tempat itu segera berlutut. Demikian pula dengan Yap Kiong Lee, Souw Thian Hai dan para undangan yang menghadiri pesta pernikahan itu. Walaupun sedikit gugup dan ragu-ragu Liu Yang Kun juga menekuk lututnya pula.
"Yang Kun, dimanakah dia...?" karena tidak segera bisa melihat Liu Yang Kun, Hongsiang itu menggeram marah.
Baik Yap Khim, Yap Kiong Lee, maupun Souw Thian Hai cepat-cepat berpaling kepada Liu Yang Kun. Mereka bertiga memandang pemuda itu dengan tajam, seperti menuntut agar pemuda itu segera memperlihatkan diri kepada Hongsiang. Liu Yang Kun yang untuk beberapa saat lamanya memang seperti orang bingung itu akhirnya menyadari keadaannya. Ia segera bangkit berdiri. Kemudian dengan wajah tertunduk ia melangkah menghampiri ayahnya. Para pengawal Kim-i-wi dan Gin-i-wi cepat menggerakkan ujung tombaknya ke depan. Siap untuk menerjang Liu Yang Kun apabila pemuda itu berani mengganggu junjungan mereka. Liu Yang Kun lalu berdiri hanya beberapa langkah di hadapan Kaisar Han. Pemuda itu lalu menengadahkan kepalanya, dan untuk beberapa waktu lamanya dua pasang mata mereka saling menatap dengan tegangnya.
"Ayahanda...!" tiba tiba Liu Yang Kun berdesah pendek serta menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar Han.
"Anakku...!" Kaisar Han cepat mengelus pula kepala Liu Yang Kun. Air matanya tampak menetes ke atas pipinya. Hongsiang yang terkenal sangat keras hati itu ternyata dapat juga meneteskan air mata. Tapi suasana haru itu segera terputus pula oleh suara derap kaki kuda yang berdentangan di jalan raya. Bahkan diantara dencingnya suara tapal kaki kuda itu terdengar pula suara derit roda kereta, yang dipacu dengan sekuat tenaga.
"Siapa itu...?" Hongsiang menoleh ke arah Yap Khin dan berdesis pendek. Dan suara gemuruh itu berhenti tepat di depan rumah Ui Bun Ting. Bagaikan kijang Yap Khim dan kakaknya melompat menyibakkan prajurit-prajuritnya, kedua jagoan Kerajaan itu saling berlomba menuju ke jalan raya.
"Siapa...?" Yap Khim bertanya kepada salah seorang perwiranya yang berada di luar pintu gerbang halaman. Perwira itu menunjuk ke arah Kereta yang berhenti di tepi Jalan.
"Rombongan dari kota Lai yin, Tai-Ciangkun. Ketua Partai Tiam-jong-pai dan anak muridnya," jawabnya hormat.
"Ooh!" Yap Kiong Lee berdesah lega, kemudian cepat-cepat menyongsong kedatangan pengantin tua itu.
"Nona Souw...!" pendekar dari istana itu menyapa halus ketika berpapasan dengan puteri Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Beberapa langkah dari kereta yang berhenti itu Yap Kiong Lee berhadapan dengan Ui Bun Ting dan Han Sui Nio, calon isteri ketua Partai Tiam-jong-pai itu. Orang tua itu tampak terheran-heran menyaksikan para prajurit kerajaan yang bertebaran di segala tempat tersebut.
"Yap Taihiap? Ada apa? Mengapa Taihiap membawa prajurit sedemikian banyaknya? Apakah kami mempunyai kesalahan terhadap Hongsiang?" Ui Bun Ting berseru kaget.
"Tidak! Tidak ada apa-apa, Ui Ciangkun! Jangan salah duga! Kami memang sengaja datang untuk mengiringkan Hongsiang kemari. Hongsiang berkenan untuk menghadiri pesta perkawinanmu..." dengan sedikit berbohong Yap Kiong Lee cepat-cepat memberi keterangan untuk meredakan kekhawatiran Ui Bun Ting.
"Hah? Hongsiang berkunjung kemari? Yap Taihiap, mana... mana aku berani menerima kunjungan Hongsiang?" Ui bun Ting berdesah gugup. Dan ketua partai Tiam-jong-pai itu semakin menjadi gugup lagi ketika Yap Khim atau Yap Tai-Ciangkun datang pula mendekatinya.
"Yap Tai-Ciangkun. selamat datang...!" sapanya pelan.
"Selamat berjumpa, Ui Ciang-bun. Bagaimanakah khabar Tiam-jong-pai selama ini? Maaf, Kami terpaksa membuat kaget Tiam-jong-pai dan Ui Ciang-bun hari ini. Hongsiang berkenan datang ke sini untuk menemui puteranya, Pangeran Liu Yang Kun. Dan tentu saja... sekalian menghadiri perkawinan Ui Ciang-bun!" Yap Khim berkata pula sambiI mengangguk hormat.
"Pangeran Liu Yang Kun...? Pemuda... yang menolong aku itu? Beliau itu putera Hongsiang?" Ui Bun Ting berseru kaget seraya memandang ke arah Yap Kiong Lee.
"Benar, Ui Ciang-bun. Pemuda itu memang putera Hongsiang. Karena menderita penyakit lupa ingatan, maka beliau pergi meninggalkan istana untuk mencari obatnya, kini beliau sudah sembuh dan berada di sini bersama aku. Dan berita kesembuhan Pangeran ini telah didengar pula oleh Hongsiang. Itulah sebabnya junjungan kita itu berkunjung kemari..." pendekar istana itu menjelaskan. Akhirnya Ui Bun Ting seperti tersadar dari mimpinya. Bergegas ketua partai Tiam-jong-pai itu menggandeng lengan Han Sui Nio.
"Kalau begitu antarkanlah kami menemui Hong Siang...! Oh, jangan-jangan beliau tidak mendapatkan pelayanan yang layak!" katanya tergesa-gesa. Yap Kiong Lee dan Yap Tai-Ciangkun cepat mengiringkannya.
Sambil berjalan kedua kakak-beradik itu berkata bahwa Ui Bun Ting tak perlu bersusah-payah melayani kedatangan Hongsiang, karena kehadiran Hongsiang kali ini memang mendadak serta di luar pengetahuan Ui Bun Ting sendiri, apalagi Hongsiang sendiri juga tak suka disanjung-sanjung secara berlebihan pula. Demikian gugup dan bingungnya Ui Bun Ting dan Han Sui Nio sehingga mereka lupa kepada Tui Lan dan bayinya yang masih berada di dalam kereta. Apalagi Tui Lan juga tak mau keluar dari kereta itu, wanita muda itu tetap asyik menimang-nimang puterinya. Bahkan dia juga tetap diam pula ketika kereta itu diparkir di seberang jalan. Sementara itu dengan sikap yang masih sangat gugup Ui Bun Ting berlutut di depan Hongsiang yang masih merangkul kepala Liu Yang Kun.
Darah Pendekar Eps 36 Pendekar Penyebar Maut Eps 12 Pendekar Penyebar Maut Eps 57