Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 18


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 18




   "Kau boleh memilih, tinggal bersama kami atau pulang ke Tai-bong-pai?" Souw Lian Cu bertanya dengan suara perlahan. Yok Ting Ting menundukkan mukanya. Beberapa kali dia mengusap matanya yang basah.

   "Aku... aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Semua orang Tai-bong-pai juga memusuhi aku. Maka... Kalau diperbolehkan aku akan tinggal di sini saja. Aku bisa membantu apa saja. Memasak, menyediakan teh, mencuci pakaian..." Ucapan itu benar-benar menyentuh lubuk hati Souw Lian Cu dan Han Tui Lan. Mereka jadi ingat akan anak-anak mereka sendiri, yang tidak dapat mereka asuh karena musibah itu. Mereka tentu telah tumbuh sebesar Yok Ting Ting atau Tio Siau In ini apabila masih hidup. Dengan penuh kelembutan Han Tui Lan lalu mengelus rambut Yok Ting Ting. Bahkan matanya tampak berkaca-kaca ketika berkata.

   "Anak manis, jangan khawatir! kau boleh tinggal bersama kami sesukamu. Sampai kau bosan. Lihatlah, kau akan mempunyai banyak teman di sini. Gadis ayu yang ada di depanmu ini bukan bidadari, tapi adik Bibi Lian Cu. Namanya... souw Giok Hong. Dan gadis di dekatku ini bernama Tio Siau In, dari Aliran Im-yang-kauw. Dia akan lama berada di sini, karena luka dalamnya sangat parah. Mudah-mudahan aku dan Bibi Lian Cu bisa menyembuhkan lukanya." Yok Ting Ting melelehkan air mata saking gembiranya. Ia segera berlutut di depan Han Tui Lian dan Souw Lian Cu. Han Tui Lan dan Souw Lian Cu saling pandang dengan tersenyum. Mereka berdua benar-benar merasa bahagia, seolah-olah kehilangan mereka akan keluarga selama ini sedikit terhibur dengan kedatangan mereka.

   Gua yang sepi itu tiba-tiba terasa semarak. Mereka lalu saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Souw Lian Cu bercerita tentang penderitaannya bersama Han Tui Lan pada waktu menyelamatkan diri dari Istana dua belas tahun lalu. Mereka berdua berlari tanpa mengenakan sepotong pakaianpun di tubuh mereka. Baju yang mereka pakai telah habis dimakan api. Bahkan hampir semua kulit tubuh mereka melepuh, sementara rambut di kepala mereka juga tidak ada tersisa sama sekali. Oleh karena itu selain merasa kesakitan, mereka juga malu bertemu orang. Keadaan mereka pada waktu itu lebih pantas disebut mayat daripada manusia hidup. Begitulah, mereka lalu mencari tempat sunyi untuk bersembunyi dan mengobati luka-luka mereka.

   "Mengapa Cici tidak pulang saja ke rumah? Ayah dan Ibu tentu akan mengobati luka-luka itu." Souw Giok Hong menyela keputusan kakaknya untuk menyendiri. Han Tui Lan tersenyum.

   "Ah, saat itu kami benar-benar sudah putus asa. Suami hilang, anak mati terbakar, sementara kami sendiri juga lebih pantas disebut kuntilanak daripada manusia."

   "Ya... Mana ada keinginan untuk kembali lagi?" Souw Lian Cu menambahkan sambil tersenyum.

   "Tapi sekarang Cici berdua telah pulih menjadi cantik lagi." Souw Giok Hong memuji.

   "Ah, kami telah menjadi tua sekarang. Dan kami berdua merasa betah di tempat ini, sehingga kami tidak ingin kemana-mana lagi."

   "Cici, kau...?" Souw Giok Hong tiba-tiba cemberut.

   "Sudahlah! Sekarang ganti kau yang bercerita. Bagaimana kau dapat menemukan kami di sini?" Souw Lian Cu cepat mengalihkan pembicaraan lagi. Merasa belum puas bicara tentang kakaknya, Souw Giok Hong hampir saja tidak mau bercerita tentang dirinya. Tapi dengan nada halus dan lembut akhirnya Han Tui Lan bisa juga membujuknya, sehingga gadis itu lalu menceritakan pengalamannya.

   "Ayah sering mengajak aku dan Ibu berkeliling ke seluruh pelosok negeri untuk mencari jejak dan berita Cici. Walaupun semua orang menganggap kami gila, tapi kami tak peduli. Dan bertahun-tahun kemudian, setelah aku selesai mempelajari ilmu silat Keluarga Souw, aku berusaha mencari Cici sendiri. Setiap kali mendengar berita tentang pendekar wanita yang muncul di dunia kang-ouw, aku segera mencarinya."

   "Giok Hong, kau memang gila... Mencari orang yang sudah dianggap mati!" Souw Lian Cu menyela.

   "Tetapi... bukankah jerih payahku tidak sia-sia? Akhirnya aku juga dapat menemukan Cici berdua."
Souw Lian Cu menatap adik tirinya dengan perasaan haru.

   "Baiklah, teruskan ceritamu!" Souw Giok Hong tersenyum, lalu melanjutkan ceritanya.

   "Sebulan yang lalu aku mendengar dongeng tentang Dewi Bulan yang sering muncul di daerah pantai timur ini. Malah selain Dewi Bulan aku juga mendengar cerita tentang Perempuan Bongkok pula. Demikianlah, hampir sebulan lamanya aku berkeliaran di daerah ini untuk menemui Dewi Bulan atau Perempuan Bongkok itu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka adalah Cici?"

   "Benar. Aku malah melihat sendiri penduduk kampung di tepi sungai itu mengadakan upacara memanggil Dewi Bulan di atas tebing. Ketika aku membuntuti mereka, tiba-tiba datang Perempuan Bongkok menculik salah seorang di antara mereka. Eh...??" Tak terasa Siau In menyela. Tapi mulutnya segera terdiam manakala menyebut si Perempuan Bongkok. Dia segera sadar bahwa perempuan bongkok itu adalah pengasuh Yok Ting Ting. Untunglah Yok Ting Ting tidak merasa tersinggung oleh ucapan Siau In. Bahkan. gadis itu mau memberi penjelasan kepada mereka.

   "Maaf, Cici. Orang-orang Tai-bongpai memang memiliki sifat dan adat istiadat aneh yang lain dari orang kebanyakan. Kami sering dianggap jahat dan disebut sebagai pengikut ajaran ilmu hitam. Bahkan untuk mempelajari ilmu silat Tai-bong-pai, sering dilakukan dengan cara-cara yang aneh. Dengan upacara-upacara mistik serta menggunakan benda-benda yang dianggap bertuah. Dan salah satu di antara benda bertuah yang dapat menambah kekuatan kami adalah... Memanfaatkan zat yang keluar dari mayat manusia."

   "Mayat manusia...?" Siau In bergidik ngeri.

   "Ya! Itulah yang dilakukan Tai-bong-Kui-bo selama ini. Untuk menambah kekuatan Ilmu Perampas Ingatan yang sedang dia pelajari, dia harus banyak menyadap dari bangkai manusia. Karena sudah kehabisan bangkai manusia, maka Tai-bong Kui-bo mulai menculik orang kampung. Ah, kasihan dia. Dia melakukan hal itu karena ingin membalaskan dendam kami kepada Ketua Tai-bong-pai."

   "Hei! Bukankah mereka masih satu perguruan?" Souw Giok Hong bertanya keheranan. Wajah Yok Ting Ting tiba-tiba berubah. Mulutnya terdiam, tapi sinar matanya menyimpulkan kesedihan, kegeraman, sekaligus juga keputusasaan yang dalam. Souw Lian Cu cepat menepuk pundak Yok Ting Ting.

   "Sudahlah! kau tak usah menceritakannya kalau keberatan."

   Sekonyong-konyong Yok Ting Ting memeluk Souw Lian Cu dan menangis sekeras-kerasnya. Tentu saja kelakuannya itu mengagetkan yang lain. Namun dengan sabar dan telaten Han Tui Lan dan Souw Lian Cu membujuk dan membesarkan hatinya. Akhirnya Yok Ting Ting mau juga menceritakan siapa sebenarnya dia dan ibunya. Siapa pula sesungguhnya Tai-bong Kui-bo itu. Dia juga bercerita tentang aib yang disandang ibunya. Bagaimana penderitaan ibunya selama ini. Mereka sangat membenci Yok si Ki. Benci sekali. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. karena bagaimanapun juga orang itu adalah ayahnya. Semuanya berdesah dan menggeram, seolah-olah ikut terbuai dalam kekalutan pikiran Yok Ting Ting. Terutama Tio Siau In. Gadis yang biasanya acuh tak acuh dan suka berbuat sekehendak hatinya itu, seperti bisa merasakan penderitaan Yok Ting Ting dan ibunya.

   "Sudahlah, kau benar. kau memang tidak boleh memusuhi Ayahmu sendiri. Perbuatannya yang tak terpuji itu tentu akan mendapatkan balasan nanti. Biarkan saja orang lain yang melakukannya. Sekarang tenangkanlah hatimu di sini. Anggaplah kami semua ini sebagai pengganti keluargamu." Souw Lian Cu menghibur.

   "Te-terima kasih! Terima kasih...!" Yok Ting Ting sekali lagi memberi hormat sambil meneteskan air mata. Untuk beberapa saat mereka hanyut dalam keharuan. Tapi Siau In segera mengganggu keheningan itu dengan pertanyaannya.

   "Cici Hong, kau belum selesai dengan cerita Dewi Bulanmu tadi. Selesaikan dulu, dong!" Souw Giok Hong tidak menjawab. Justru Souw Lian Cu yang meneruskan kisah adiknya itu.

   "Ternyata daya cium Giok Hong kali ini memang benar. Meskipun sempat dikacaukan oleh keberadaan Tai-bong Kui-bo di sini, tapi tokoh yang dianggap sebagai Dewi Bulan itu memang kami berdua adanya. Dan anggapan penduduk itu berawal dari seringnya kami berdua membantu segala macam kesulitan mereka secara diam-diam. Oleh karena kami hanya berani keluar di malam hari, maka mereka menganggap kami sebagai seorang dewi. Dan sebagai imbalan atas bantuan itu mereka mengadakan persembahan makanan kepada kami. Ah, mereka memang terlalu bodoh dan sederhana..."

   "Untunglah pada saat-saat terakhir aku bisa melihat Cici. Kalau tidak, ah... aku tentu akan segera pergi begitu melihat perempuan bongkok itu bukan Cici. Dalam benakku perempuan bongkok itu juga... dewi Bulan." Souw Lian Cu memeluk adiknya.

   "Thian memang telah mentakdirkan kita bersua kembali." Demikianlah, mulai hari itu Tio Siau In tinggal bersama mereka untuk memulihkan kembali luka-lukanya. Dia memang selalu teringat kepada kakaknya. Tapi dengan keadaannya sekarang, tidak mungkin dia bisa meninggalkan tempat itu.

   * * *

   Sementara itu jauh di luar Kota Hang-ciu, di sebuah pondok kecil yang terpencil di tengah-tengah rawa, Tio Ciu In benar-benar berada dalam keadaan putus asa. Dengan badan lumpuh akibat totokan dan dada terbuka akibat kekasaran Ho Bing, gadis itu meratapi nasibnya.

   Tiada aib yang lebih menyakitkan dan memilukan hati seorang gadis selain diperkosa oleh laki-laki yang dibencinya. Dan kini Tio Ciu In akan mengalami hal seperti itu, diperkosa oleh seorang pengemis yang belum pernah dikenalnya. Demikianlah, dalam keadaan putus asa segala macam usaha segera dicoba oleh Tio Ciu In. Ketika tiba-tiba muncul bayangan Pendekar Buta di benaknya, maka gadis itu segera ingat akan pesannya. Apabila ingin berjumpa dengan orang tua itu dia harus menyanyikan lagu "Menanti Kekasih." Dan harapan itulah yang sekarang dicoba oleh Tio Ciu In. Dia menyanyikan lagu itu dengan penuh perasaan. Dia tak peduli lagi apakah lagu itu dapat didengar atau tidak.

   Apabila di malam gelap gulita,
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama.
Malampun bagai tersentak dari tidurnya,
Menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku?
Aku selalu mengharap kedatanganmu!

   Karena merasa tak berpengharapan lagi, maka suara itu bebar-benar bergetar dari lubuk hati. Suaranya mengalun pedih penuh dengan dorongan perasaan. Maka getaran suara yang terciptapun mampu menggetarkan udara di sekitarnya. Sementara itu si Tongkat Bocor Ho Bing meninggalkan ruangan tersebut dengan hati mendongkol. Ketika menyanggupi perintah Mo Goat, dia sudah berpesan bahwa dia akan bekerja sendiri dan tidak mau diganggu sebelum selesai menunaikan tugasnya. Maka kedatangan seseorang di saat seperti itu benar-benar tidak disukainya.

   "Bangsat kurang ajar! Kalau urusan yang dibawa cuma sepele, akan kubunuh orang itu!" Ho Bing agak terkejut juga ketika sampai di ruang tengah. Ruangan berukuran tiga tombak persegi itu penuh dengan bangkai serigala. Begitu pula halnya dengan ruangan depan. Bau darah terasa anyir memuakkan. Ruangan depan itu tampak sepi. Halaman depan yang terlihat dari pintunya yang terbuka juga kelihatan sunyi. Yang tampak hanya tumpukan bangkai serigala di mana-mana. Ho Bing mulai curiga.

   "Bbrrrrrrh!" Tiba-tiba seekor elang putih menukik dari atas dan terbang masuk ke dalam rumah. Ho Bing meloncat mundur. Namun sebelum kakinya mendarat, matanya terbelalak kaget! Entah dari mana datangnya, tiba-tiba di depan pintu telah berdiri seorang lelaki berambut panjang. Wajahnya putih pucat, seputih warna pakaian yang dipakainya.

   "Kau... Kau siapa? Mengapa kau masuk rumah orang seenaknya? kau kah yang membunyikan lonceng?" Di dalam kegugupannya Ho Bing membentak garang.

   "Benar. Akulah yang menarik loncengmu. Tapi kau tak perlu tahu namaku, karena aku hanya ingin mengambil gadis yang datang bersamamu tadi." Orang yang berpenampilan aneh dan menakutkan itu menjawab dengan suara dingin. Ho Bing menggeram. Jawaban orang itu benar-benar memuakkan hatinya, sehingga hasratnya untuk membunuh orang benar-benar timbul sekarang.

   "Kurang ajar! Enak saja kau bicara! kau kira mudah mengambil sesuatu dari tangan si Tongkat Bocor Ho Bing?" Tak terduga orang itu meludah.

   "Aku! tidak peduli! Untuk menyingkirkan kau tak perlu waktu lama. Paling-paling cuma dua jurus saja! Itupun nyawamu sudah melayang!" Saking marahnya Ho Bing malah tak bisa bicara lagi. Tongkatnya segera terayun ke depan dengan derasnya. Kekuatannya sungguh hebat luar biasa, sehingga tongkat berlubang itu mengeluarkan suara melengking seperti suling. Namun pada saat yang hampir bersamaan, orang itu juga melesat ke depan untuk menyongsong tongkat Ho Bing.

   Tubuhnya berputar cepat di udara, sementara telapak tangannya menyambar ke arah kepala Ho Bing. Kecepatannya benar-benar sulit diikuti dengan pandang mata biasa. Ho Bing hanya bisa melihat lawannya menerjang ke arah dirinya dengan cara berputar seperti gasing di udara. Tapi akibatnya sungguh di luar dugaan! Rambut Ho Bing yang digelung ke atas itu tiba-tiba jatuh ke tanah! Rambut itu seolah-olah dipangkas dengan pisau cukur! Wajah Ho Bing seolah-olah tak berdarah lagi! Putih pucat seperti mayat! Apalagi ketika menyadari bahwa rambut itu hanya ditabas dengan sisi telapak tangan saja! Oh, kalau saja tebasan tangan itu sejengkal lebih ke bawah, pikirnya. Ho Bing benar-benar menjadi lemas. Dia yang selama ini sangat ditakuti orang, ternyata ditaklukkan orang dalam satu gerakan saja. Sungguh suatu kepandaian yang amat mentakjubkan!

   "Tu-tuan... si-siapa?" Ho Bing bertanya dengan suara gemetaran. Untunglah pada saat itu juga terdengar suara nyanyian Tio Ciu In, mengalun perlahan melintasi ruangan tersebut. Hawa pembunuhan yang memenuhi ruangan itu mendadak surut kembali.

   "Hmmh... sedang apa dia? Mengapa bernyanyi-nyanyi begitu? Apa dia sedang mandi, heh?" Orang berambut panjang itu menurunkan tangannya, lalu melangkah ke ruang dalam. Ho Bing mencoba menggerakkan kakinya untuk menghadang, tetapi tidak bisa. Kekuatannya seperti tidak ada lagi. Dan pada saat itu pula sekonyong-konyong dari ruang dalam menyambar burung elang putih, yang tadi masuk ke dalam rumah. Burung itu terus melesat keluar dan terbang tinggi ke udara.

   "Hehehe...! Tampaknya kau ingin memanggil bantuan dengan burungmu itu?" Orang berambut panjang itu berhenti melangkah dan berpaling sambil tertawa menghina. Ho Bing terkejut. Dia juga mengira burung itu milik lawannya.

   "Jadi... burung itu... burung itu juga bukan milik Tuan?"

   "Apa...? Jangan mengada-ada! Huh!" Wajah Ho Bing menjadi merah! Hatinya sungguh amat sakit. Biarpun berpakaian pengemis, tapi selama ini tak seorangpun berani membentak-bentak dirinya seperti itu! Bahkan setiap orang cenderung segan dan takut kepadanya! Namun apa boleh buat, sekali ini lawannya memang benar-benar bukan tandingannya. Sedikit saja ia salah ngomong, nyawanya bisa melayang. Oleh karena itu dia tidak boleh bermain kasar. Dia harus pandai-pandai melihat keadaan, dia harus menghadapinya dengan kecerdikan.

   "Baiklah! Tuan boleh mengambil gadis itu. Tapi sebelumnya perkenankanlah aku mengetahui nama besarmu agar hatiku merasa puas karenanya." Ho Bing memberi hormat. Wajah pucat itu tampak sangat puas.

   "Apakah kau benar-benar ingin tahu namaku? Hehehe, dengarlah! Namaku... yok si Ki! kau pernah mendengarnya?"

   "Yok... si... Ki? Tuan ini... Ketua Tai-bong-pai?" Suara Ho Bing menjadi gemetaran lagi.

   "Nah... Kau mulai ketakutan, bukan?" Ho Bing menggeretakkan giginya. Nama itu memang sangat mengerikan baginya. Meskipun baru sekarang melihat orangnya, tapi nama itu telah didengarnya sejak dulu. Nama itu sangat terkenal di dunia persilatan. Setiap orang tentu tahu, siapa Ketua Partai Tai-bong-pai yang ganas itu.

   "Tidak! Aku hanya ingin bertanya sedikit..."

   "Bertanya...? Apa yang hendak kau tanyakan?"

   "Tuan tadi mengatakan... bahwa Tuan ingin bertemu dengan gadis itu. Hem mm, apakah Tuan mempunyai hubungan keluarga dengan dia?" Tak terduga orang itu berkata kasar.

   "Kau gila! kau kira rupaku mirip dengan dia, hah? Aku ingin bertemu dia karena dia seorang gadis yang cantik menggairahkan! Tahu? Sudah berbulan-bulan aku tidak menjumpai gadis secantik dia. Hahaha... aku akan menyesal sekali kalau kesempatan ini tak kupergunakan!" Bukan main kagetnya Ho Bing. Ternyata orang itu mempunyai keinginan yang sama dengan dirinya. Sama-sama ingin menikmati tubuh cantik itu. Tiba-tiba timbul akalnya yang cerdik.

   "Bagus! Kalau begitu... Maksud Tuan tidak berbeda dengan tugas yang diberikan kepadaku. Tidak ada bedanya, siapa yang harus menikmati gadis itu." Yok si Ki bukan orang bodoh. Bahkan sebagai ketua sebuah partai persilatan besar, yang terkenal tak disukai orang, maka otaknya juga penuh dengan akal dan kelicikan pula. Namun demikian sekali ini Yok si Ki tidak dapat menebak, apa yang ada di belakang ucapan Ho Bing itu.

   "Apa maksudmu? Katakan lekas!"

   "Seseorang telah mengupah aku untuk memperkosa gadis itu sampai mati. Nah, bukankah tidak menjadi soal bagiku... siapa yang harus memperkosanya? Pokoknya gadis itu mati dalam keadaan sudah diperkosa. Habis perkara" Yok si Ki mengerutkan keningnya. Masa ada tugas seaneh dan seenak itu? Dibayar pula?

   "Hei! Siapa yang mengupahmu itu? Apakah dia telah ditolak lamarannya oleh gadis itu?" Ho Bing meringis.

   "Ditolak? Wah, bukan-bukan! Dia juga seorang perempuan! Bukan karena itu...!"

   "Perempuan? Oh, kalau begitu... tentu bersaing dalam kecantikan. Mereka tentu bersaing dalam hal kecantikan. Karena cantik, maka perempuan itu ingin menghabisi saingannya. Lalu dia mengupahmu untuk membunuh gadis itu. Begitukah?"

   "Tidak. Bukan begitu. Gadis yang mengupah aku itu juga cantik sekali. Bahkan menurut pendapatku dia justru lebih menarik dan lebih bergaya." Yok si Ki mengerutkan dahinya.

   "Jadi, mengapa dia mengupahmu? Ooooh... apakah mereka saling berebut lelaki?" Ho Bing menatap lawannya. Melihat wajah lawannya tidak sekeruh dan seganas tadi, hatinya menjadi lega.

   "Aku juga tidak tahu persis sebabnya, Menurut keterangan beberapa orang pelayan tadi di kota mereka memang pernah berkelahi, malah pada waktu berkelahi masing-masing membawa teman sehingga pertempuran menjadi semakin seru, pertempuran baru berhenti setelah dilerai oleh seorang lelaki buta datang memisah mereka."

   "Kalau begitu mereka mengupahmu karena... dendam? Lalu... berapa dia memberi uang kepadamu?" Ho Bing menatap lawannya sambil menghela napas. Tidak mungkin dia membohongi orang itu.

   "Sepuluh tail emas! Dan akan ditambah lagi bila tugas itu bisa kuselesaikan dengan baik." jawabnya singkat.

   "Wah... begitu murahkah harga gadis secantik itu? Tapi, baiklah... sekarang serahkan saja uang itu kepadaku! Biarlah aku yang melakukan tugasmu! Dan kau boleh mengambil uang tambahannya nanti. Bagaimana...?" Ho Bing tak bisa mengelak lagi. Terhadap Yok si Ki ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena orang itu dapat berbuat apa saja. Termasuk hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa Jangankan harus menolak atau memilih, dapat lepas dari keganasannya saja sudah untung bagi Ho Bing. Maka tiada jalan lain baginya selain harus memenuhi perintahnya. Yok si Ki menerima uang itu dengan sorot mata dingin.

   "Nah, sekarang tunjukkan tempat gadis itu! Awas, kau jangan bertingkah macam-macam di depanku." Ho Bing terpaksa membawa Yok si Ki ke ruang bawah tanah. Mereka berjalan beriringan. Ho Bing di depan dan Yok si Ki mengikuti di belakangnya. Sayup-sayup masih terdengar alunan suara Tio Ciu In menyanyikan lagu "Menanti Kekasih." Semakin lama suara itu semakin jelas.

   "Dia menggunakan Coan-im-jib-bit. Tampaknya dia ingin menghubungi seseorang..." Yok si Ki bergumam perlahan.

   "Menghubungi teman-temannya? Ah, mana mungkin! Temannya hanya Tabib Ciok ketika datang ke mari tadi. Dan orang tua itu sudah pergi bersama pembantunya."

   "Hanya Tabib Ciok? Bukankah kau tadi mengatakan bahwa temannya sangat banyak?"

   "Yah... tapi mereka tidak ada gunanya dibandingkan Tuan. Hanya dengan sebelah tangan saja Tuan mampu mengalahkan mereka."

   "Jangan terlalu meremehkan kekuatan orang lain. Satu persatu mereka mungkin tidak bisa melawanku. Tapi kalau mereka maju bersama? Huh... bisa merepotkan juga!"

   "Kalau begitu... apa yang hendak Tuan lakukan? Membawa gadis itu pergi dari tempat ini?" Yok si Ki tersenyum. Senyum pertama sejak kemunculannya tadi.

   "Kau memang pandai menebak hati orang. Aku memang baru saja memikirkannya." Ho Bing juga tersenyum. Senyum lega karena jalan untuk mengambil hati orang itu terasa kian licin. Namun senyumnya segera hilang begitu lawannya meneruskan ucapannya.

   "Tapi... aku juga harus lebih berhati-hati terhadapmu! Orang seperti engkau tentu sangat berbahaya! Dan... aku tidak ingin terkecoh olehmu. Ingatlah itu! Sedikit saja aku curiga, jangan harap kepalamu masih bertengger di situ!" Ho Bing terkesiap. Ketua Tai-bong-pai itu ternyata lebih cerdik dan lebih berbahaya dari yang ia duga.

   "Lihat, Tuan! Itulah kamarnya!" ucapnya keras untuk menghilangkan rasa kecut di hati.

   "Bagus! Masuklah! Aku ikut di belakangmu! Ingat, jangan berbuat yang mencurigakan!" Tapi ketika Ho Bing meraih daun pintu, Yok si ki membentak kembali.

   "Tahan! Ada orang datang...!"

   "Siapa? Aku tidak mendengarnya..." Ho Bing berbisik.

   "Mereka masih satu lie dari sini. Ah banyak sekali..."

   "Satu lie? Ah, masih jauh! mungkin mereka hanya lewat saja. Walaupun terpencil, kadang-kadang tempat ini juga dilewati orang. Mungkin..."

   "Diam! Mereka menuju ke tempat ini. Ada kira-kira sepuluh atau lima belas orang banyaknya. Ah, lebih baik gadis itu kita bawa keluar dulu. Ayoh, cepat!" Mereka bergegas masuk. Dan Tio Ciu In hampir saja bersorak begitu melihat bayangan Yok si Ki. Namun kegembiraan itu segera hilang begitu menyadari siapa yang datang. Sepintas lalu penampilan Ketua Partai Tai-bong-pai itu memang mirip dengan Pendekar Buta. Keduanya sama-sama jangkung dan berambut panjang. Begitu datang mata Yok si Ki dan Ho Bing tak pernah lepas dari dada Tio Ciu In yang terbuka. Gadis itu benar-benar memiliki dada yang mulus dan indah. Bahkan kulitnya yang bersih itu seperti mengeluarkan cahaya di dalam gelap.

   "Gila! Sungguh sempurna! Ayoh, kita bawa dulu gadis ini keluar! Kita sembunyikan agar tidak diketahui orang! Ah, sungguh beruntung sekali aku hari ini...!" Yok si Ki berkata sambil menyambar tubuh Tio Ciu In dan dibawa keluar.

   "Ouuuugh! Lepaskan aku! Lepaskan...!" Tio Ciu In menjerit-jerit, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Yok si Ki melompat dan berlari ke luar, diikuti oleh Ho Bing. Tapi langkah mereka segera terhenti di halaman depan. Sekelompok pengemis tampak berdiri bergerombol menantikan mereka. Dua pengemis tua tampak memimpin rombongan itu. Mereka adalah Jeng-bin Lokai dan Pek-bi-kai. Yok si Ki terkejut. Ternyata ia salah perhitungan. Tak disangka mereka datang begitu cepat. Yok si Ki tidak tahu bahwa kaum pengemis, terutama anggota Tiat-tung Kai-pang, mengenal daerah itu seperti mengenal diri mereka sendiri. Mereka mengenal jalan pintas dan jalan setapak yang biasa dilalui binatang-binatang buruan. Ketika Yok si Ki berusaha menghindar, Jeng-bin Lokai buru-buru menghadang.

   "Maaf, Tuan! Ijinkanlah kami berbicara sebentar..." Orang tua itu cepat menganggukkan kepalanya dan memberi hormat.

   "Kalian siapa?" Yok si Ki menggeram penuh kewaspadaan.

   "Mereka anggota Tiat-tung Kai-pang..." Ho Bing buru-buru membisiki Yok si Ki. Suaranya sedikit gemetar. Sementara itu di dalam gendongan Yok si Ki, Tio Ciu In seperti mengenal suara, orang-orang yang baru saja datang itu. Tapi karena dipanggul secara terbalik di atas pundak Yok si Ki, maka pandangannya terhalang oleh punggung orang itu.

   "Kami adalah pengemis-pengemis hina dari Tiat-tung Kai-pang. Aku adalah Jeng-bin Lokai dan di sebelahku ini... pek-bi-kai. Dan kalau tidak salah lihat kami sedang berhadapan dengan Ketua Tai-bong-pai. Benarkah?" Yok si Ki mengerutkan keningnya. Dia juga pernah mendengar nama-nama itu. Mereka adalah orang-orang yang memiliki nama besar di dunia persilatan. Walaupun demikian ia tidak peduli. Yang perlu diwaspadai adalah sahabat-sahabat mereka, karena para pengemis itu bersahabat dengan tokoh-tokoh persilatan ternama.

   "Benar, Lokai. kau memang tidak salah lihat. Aku memang Yok si Ki dari Tai-bong-pai. Lalu... apa kehendak Lokai menghentikan aku?" Tiba-tiba Jeng-bin Lokai mengalihkan pandangannya ke arah Ho Bing.

   "Maaf Yok Ciangbun. Kami mempunyai urusan penting dengan kawan Yok Ciangbun ini. Salah seorang anggota kami melihat dan mendengar bahwa kawan Yok Ciangbun ini mengaku sebagai anggota Tiat-tung Kai-pang, bahkan mengaku sebagai tangan kananku. Padahal setiap orang tahu, bahwa Ho Bing si Tongkat Bocor bukan anggota kami lagi. Dia kami keluarkan dari Tiat-tung Kai-pang karena telah berbuat kesalahan besar terhadap perkumpulan... Nah, Yok Ciangbun, ijinkanlah kami bertanya kepadanya. Apakah yang ia inginkan dengan kebohongannya itu? Apakah karena soal wanita lagi seperti dulu?" Yok si Ki menghela napas lega.

   "Oh! Jadi Lokai ingin berurusan dengan dia? Aha, silakan kalau begitu. Sebenarnya kami bukan sahabat atau kawan. Kebetulan saja kami punya urusan kecil di sini. Nah, silakan! Aku akan pergi dulu...!"

   "Jeng-bin Lokai...! Jehg-bin Lokai, tolong...!" Tiba-tiba Tio Ciu In berteriak begitu tahu siapa yang mencegat mereka. Yok si Ki dan Ho Bing terkejut. Mereka lupa bahwa tawanan mereka sudah terlepas dari totokan gagunya. Namun hal itu justru sangat menggembirakan hati Ho Bing, karena tidak mungkin para pengemis itu membiarkan Yok si Ki pergi.

   "Hei, Nona Tio Ciu In rupanya! Ah, Yok Ciangbun... jangan pergi dulu!" Benar juga. Pengemis tua itu buru-buru menghentikan Yok si Ki.

   "Kurang ajar! Apa sebenarnya kemauanmu, Pengemis Tua? Bukankah kau ingin berurusan dengan Ho Bing? Mengapa tiba-tiba berubah pikiran? Apakah kau ingin melihat darah anak buahmu berceceran di tempat ini?"

   "Ah, ternyata benar juga dugaanku. Tidak ada masalah lain bagi Ho Bing selain masalah wanita. Bahkan kali ini masalahnya menjadi besar dengan ikut campurnya ketua Tai-bong-pai. Nah, Yok Ciangbun, kami semua memang bukan lawan yang setimpal bagimu. Tapi mengingat gadis itu adalah kawan kami, kami memberanikan diri memohon kepadamu. Lepaskanlah dia...!" Tak terduga Yok si Ki tertawa panjang.

   "Ah-ah-ah... tampaknya kalian lebih menyukai kawan daripada nyawa kalian sendiri. Baiklah, kalian boleh mengeroyokku untuk merebut gadis ini. Aku siap melayani. Tapi jangan salahkan aku kalau nama-namamu nanti akan tinggal kenangan bagi sahabat-sahabatmu yang lain, ho-ho-hoh-ha-ha."

   "Jadi Yok Ciangbun tetap tidak mau melepaskan gadis itu?" Jeng-bin Lokai berdesah.

   "Jangan banyak bicara! Majulah!" Jeng-bin Lokai tahu, Yok si Ki merupakan tokoh paling terkemuka dari golongan ilmu hitam. Selain ilmu silatnya yang berbau ilmu hitam itu sangat tinggi, dia juga seorang ketua partai persilatan besar yang mempunyai banyak anggota di dunia kang-ouw. Walau ilmu silatnya tidak seganas dan sekeji ilmu silat orang-orang dari Lembah Tak Berwarna, tapi Yok si Ki sangat ditakuti orang. Namun demi menyelamatkan teman Kwe Tek Hun, putera sahabat mereka, Jeng-bin Lokai rela menyabung nyawa. Sebelum maju ke depan pengemis tua itu memberi isyarat kepada Pek-bi-kai.

   "Baiklah, Yok Ciangbun. Aku si Pengemis Tua ini minta pelajaran darimu." Katanya kemudian sambil melangkah ke depan. Jeng-bin Lokai lalu mengangkat tongkatnya. Tongkat besi sepanjang satu setengah depa, yang selama ini telah mengangkat namanya di dunia persilatan. Setelah memberi peringatan, orang tua itu lalu memancing reaksi lawan dengan menyodokkan tongkat itu ke arah ulu hati. Sambil menyodok kakinya siap bergeser ke kiri apabila lawannya menghindar. Sebaliknya ia juga siap dengan jurus berikutnya apabila lawan menangkis serangan itu. Tapi apa yang dilakukan oleh Yok si Ki sungguh di luar perkiraan Jeng-bin Lokai. Tokoh ilmu hitam itu ternyata tidak menangkis atau menghindari sodokannya. Pada saat yang paling kritis, orang itu justru balas menyerang dengan cengkeraman jari-jarinya.

   "Wus!" Jeng-bin Lokai segera mengendus bau bangkai dari hembusan tangan itu! Dan pada saat yang bersamaan pula, Pek-bi-kai tiba-tiba bersiul keras sekali! Suara siulan itu segera disambut dengan suara suara siulan yang lain di kejauhan. Bahkan di beberapa tempat kemudian tampak panah berasap meluncur ke udara. Yok si Ki dan Ho Bing terkejut. Otomatis jari tangan Yok si Ki yang telah mencengkeram ujung tongkat Jeng-bin Lokai itu dilepaskan kembali. Tokoh ilmu hitam itu mundur selangkah sambil mengamati tongkatnya yang telah melengkung dan penyot di ujungnya. Ujung tongkat itu bagaikan meleleh dibakar api.

   "Bukan main! Besi saja menjadi penyok begini, apalagi kulit dan daging manusia!" Jeng-bin Lokai berkata di dalam hati. Yok si Ki mendengus dengan suara di hidung.

   "Huh! kau mau mengundang seluruh anggota Tiat-tung Kai-pang ke tempat ini? Silakan kalau memang itu keinginanmu. Tempat ini akan menjadi kuburan masal bagi Tiat-tung Kai-pang!" Ho Bing yang dari tadi hanya diam di tempatnya, tiba-tiba melangkah maju.

   "Tuan, mereka memberikan isyarat tanda bahaya kepada semua orang, kepada semua sahabat-sahabat mereka yang kebetulan berada di sekitar tempat ini. Lebih baik kita segera pergi, karena sebentar lagi mereka akan datang. Mungkin sepuluh, dua puluh, atau lebih banyak lagi. Kita berdua tak mungkin melawan mereka." Bisiknya dengan suara khawatir. Sekali lagi Yok si Ki mendengus.

   "Bagus! Biarlah mereka datang! Biar mereka saksikan di sini, suatu kejadian yang takkan mereka lupakan seumur hidup mereka. Musnahnya sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal sejak dulu!"

   "Tapi kalau hal itu benar-benar terjadi, justru Tuanlah yang tak bisa tidur nyenyak setiap hari. Harap Tuan memikirkannya juga." Ho Bing yang tidak ingin mendapat kesulitan di kemudian hari, mencoba membujuk Yok si Ki.

   "Apa katamu? Aku tak bisa tidur nyenyak? Mengapa?"

   "Tuan memang dapat membantai mereka. Tapi selanjutnya seluruh kaum persilatan akan memusuhi Tuan, bahkan memusuhi Tai-bong-pai. Semua orang akan datang mencari Tuan..." Ho Bing berhenti sebentar, lalu lanjutnya pula.

   "Mungkin Tuan tidak takut menghadapi mereka. Tapi tak mungkin Tuan melayani mereka terus menerus. Satu kalah, tentu yang lain akan datang. Dua kalah maka berpuluh-puluh yang lain akan datang pula. Belum lagi kalau mereka bersatu, beramai-ramai menghadapi Tuan. Apakah Tuan tidak akan menjadi kewalahan nanti?"

   "Apa...?" Ketua Tai-bong-pai itu mendelik, namun kata-kata itu termakan juga di hatinya.

   "Ingatlah, Tuan. Tuan tentu tahu juga, bahwa Tiat-tung Kai-pang selalu bersahabat dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Keh-sim Taihiap Kwe Tiong Li. Bagaimana kalau salah seorang di antara mereka juga mencari Tuan? Apakah Tuan juga sudah siap menghadapi mereka?"

   "Aku tidak takut! Mereka tidak akan bisa mengalahkan aku." Yok si Ki berteriak, tapi tampak sekali perubahan wajahnya ketika Ho Bing menyebutkan nama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Ho Bing menarik napas panjang. Matanya menatap para pengemis yang mengepung tempat itu.

   "Baiklah! Kalau begitu, silakan Tuan bertempur dengan mereka! Lebih baik aku pergi menyelamatkan diri! Nah, selamat tinggal...!" Sekonyong-konyong Ho Bing membalikkan tubuhnya, kemudian melesat masuk kembali ke dalam rumah. Gerakannya cepat sekali dan tak dapat terduga oleh siapapun juga.

   "Hei! Mau kemana kau? Tunggu...!" Yok si Ki berteriak, lalu menjejakkan kakinya mengejar. Gerakannya juga tidak kalah cepat pula. Bahkan tampak lebih ringan dan lebih lincah meskipun di pundaknya ada Tio Ciu In!

   "Lepaskan aku! Lepaskan...!" Tio Ciu ln menjerit.

   "Yok Ciangbun jangan lari! Lepaskan Nona Tio...!" Jeng-bin Lokai berseru keras seraya melompat ke depan. Namun Pek-bin Lokai segera menahannya.

   "Jangan masuk, Lo-heng! Kedua orang itu sangat licik! Kita jangan sampai terperangkap oleh akal bulus mereka. Biarlah mereka di dalam. Rumah ini sudah kita kepung. Kita tunggu dulu bantuan yang datang. Nanti kita gempur bersama-sama." Pengemis beralis putih itu menasehati Jeng-bin Lokai.

   "Benar. Hampir saja aku terkecoh oleh kelicikan Ho Bing." Sementara itu Ho Bing melesat ke ruang bawah tanah kembali. Yok si Ki yang tak ingin kehilangan Ho Bing cepat menyusup ke dalam pula sebelum pintu itu tertutup kembali. Sambil berlari menuruni tangga Ho Bing menoleh.

   "Tuan beruntung mau menerima saranku. Sebentar lagi tempat ini akan terkepung oleh puluhan, bahkan mungkin malah ratusan pendekar persilatan. Tuan tentu tahu, bahwa peristiwa pembantaian prajurit dan para pemenang sayembara itu membuat pendekar-pendekar persilatan datang ke daerah ini."

   "Lalu... Mau kemana kita? Bersembunyi di ruang ini?" Ho Bing berdiri di tengah ruangan. Air mukanya yang kelimis, walaupun rambutnya terpotong pendek, tampak berseri-seri. Pandang matanya menunjukkan kegembiraan.

   "Lepaskan aku! Lepaskan aku...!" Tio Ciu In yang menjadi ketakutan karena dibawa kembali ke dalam ruangan itu, berteriak dan menjerit-jerit. Gadis itu benar-benar ketakutan.

   "He-he-he, Yok Ciangbun. Tentu saja kita bersembunyi di tempat ini. Mau kemana lagi?" Pengemis licik itu tertawa senang. Tampak sekali kalau dia amat yakin akan keselamatannya.

   "Apa maumu, heh?" Yok si Ki membentak berang. Tiba-tiba saja Ketua Tai-bong-pai itu menyambar dada Ho Bing. Cepat bagai kilat. Ho Bing yang sudah bersiaga itu mengelak dan berteriak mengancam lawannya. Di tangannya tergenggam botol berisi cairan berwarna merah.

   "Berhenti, Yok Ciangbun! Atau... Kau dan gadis itu akan mati di ruangan ini!"

   Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa maksudmu...?" Yok si Ki menggeram sambil membuang sobekan kain baju Ho Bing yang tersambar oleh tangannya tadi. Diam-diam hati Ho Bing menjadi kecut juga. Dalam puncak kesiagaannya, ternyata tetap saja ia hampir mati disambar tangan Yok si Ki. Gerakan orang itu benar-benar seperti setan cepatnya.
(Lanjut ke Jilid 18)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 18
Tapi keadaan itu justru membuat hati Ho Bing semakin mantap. Dia sudah siap untuk mati bersama kalau perlu.

   "Yok Ciangbun, kau tidak punya kesempatan untuk lari lagi sekarang. Di atas tentu sudah berkumpul ratusan pendekar yang hendak menangkapmu. Di sinipun kau juga tidak mempunyai pilihan lain. kau memang gampang membunuh aku. Tapi kalau botol yang kubawa ini jatuh dan pecah, hehehe... ruangan ini akan penuh asap beracun yang mematikan!" Ho Bing mengancam. Yok si Ki mendengus.

   "Huh! kau kira aku takut menghadapi mereka? Hehe, sekarangpun aku juga siap untuk kembali ke atas lagi. Aku mengejarmu karena aku tak ingin kehilangan kau. kau harus mati dulu sebelum aku bertempur dengan mereka." Keringat dingin mengalir membasahi punggung Ho Bing. Tampaknya Yok si Ki benar-benar ingin membunuh semua lawannya.

   "Baiklah, kalau memang itu yang Tuan inginkan..." Ho Bing berdesah sambil mengangkat botol itu ke atas kepalanya.

   "He! Tunggu!" Yok si Ki tiba-tiba berteriak khawatir.

   "Tidak peduli! Lebih baik kita mati bersama!"

   "Jangan! Jangan! Aku... aku...? Baiklah, aku menyerah! Katakan apa maumu, nanti kita rundingkan lagi." Ternyata Yok si Ki menjadi takut juga. Ruangan itu kedap udara, sementara pintu keluarnya juga terbuat dari besi yang hanya bisa digerakkan dengan kunci rahasia pula. Kalau asap beracun itu benar-benar ditebarkan oleh Ho Bing, maka dalam waktu singkat dia tak mungkin bisa mendobrak pintu tersebut. Ho Bing menahan tangannya. Matanya memandang Yok si Ki.

   "Baiklah, Yok Ciangbun. Aku tak akan membanting botol ini asal kau memberikan gadis itu dan mengembalikan uang tadi kepadaku." Wajah Yok si Ki menjadi merah.

   "Kau memang patut mati!" Ia menggeram dengan suara tertahan. Tapi Ho Bing seperti tak mempeduli-kan lawannya. Botol racun itu segera diangkat kembali ke atas kepalanya.

   "Silakan! Kita mati bersama-sama." Ucapnya sambil mengayunkan tangannya ke bawah.

   "Baik! Baik! Bangsat! Terimalah ini! Aku kembalikan semuanya kepadamu!" Saking khawatirnya Yok si Ki melemparkan tubuh Tio Ciu In begitu saja, sehingga gadis itu jatuh berdebam di atas lantai. Kemudian dengan tergesa-gesa pula tangannya mengeluarkan uang pemberian Ho Bing tadi dan melemparkannya kepada pengemis itu.

   "Aduh...! Kalian semua manusia jahat dan keji! Lepaskan aku!" Tio Ciu In melengking kesakitan. Ho Bing tidak jadi membanting botolnya.

   "Bagus. Ternyata Yok Ciangbun masih dapat berpikir jernih juga. Sekarang silakan Yok Ciangbun keluar! Aku akan membuka pintunya dari sini." Tapi Yok si Ki tidak beranjak dari tempatnya. Ketua Tai-bong-pai itu justru melipat lengannya di depan dada. Sikapnya menjadi tak acuh.

   "Huh!" Dia berdesah melalui hidungnya.

   "Jangan dikira hanya kau yang cerdik dan tidak takut mati. Kini keadaanku sama dengan keadaanmu tadi. Tidak ada pilihan lain selain tergantung pada keinginan lawan. Dan... aku juga siap pula menghadapinya seperti engkau tadi. Terserah kepadamu, kau pilih yang mana. Kalau pilih mati, yah... banting saja botolmu itu! Dan aku segera akan membunuhmu sebelum racun itu menghentikan detak jantungku! Tapi kalau kau ingin tetap hidup, hehehe... terpaksa kita harus saling bahu-membahu keluar dari tempat ini! Nah, bagaimana? Pikirkanlah dengan baik, karena nyawa kita saling bergantung satu sama lain. Kalau salah satu ingin mati, yah... Matilah semuanya! Keputusan kuserahkan kepadamu!"

   "Maksud Yok Ciangbun...?" Keringat dingin semakin deras mengalir dari punggung Ho Bing. Yok si Ki tertawa dingin.

   "Aku tahu bahwa sebenarnya kau masih ingin tetap hidup kalau diberi kesempatan. Begitu pula dengan aku saat ini. Sebenarnya aku ingin sekali membunuhmu. Tapi kalau aku membunuhmu, maka kau tentu akan segera meledakkan botol racunmu itu sehingga akupun tidak akan dapat menyelamatkan diri. Maka aku memilih tidak membunuhmu agar aku juga tetap hidup pula. Bahkan aku rela menyerahkan kembali gadis dan uangmu. Tapi..."

   "Tapi... apa?" Yok si Ki tertawa dingin.

   "Tapi... jangan kau anggap aku ini bodoh dan mudah ditipu. Hehehe, kulihat kau sangat yakin bisa menyelamatkan diri di ruangan ini, padahal pintunya cuma terbuat dari besi yang mudah dirusakkan. Para pengemis itu akan mudah sekali menjebolnya. Aku curiga kau mempunyai jalan rahasia lain di ruangan ini, hehehe." Ho Bing benar-benar kaget melihat kecerdikan lawannya.

   "Yok Ciangbun, aku..." Serunya gugup.

   "Nah, melihat roman mukamu dan suaramu yang gemetar, aku semakin yakin bahwa kau memang menyembunyikan pintu rahasia itu!" Ho Bing semakin pucat.

   "Yok Ciangbun, ini... Ini..." Yok si Ki menggeram.

   "Ayoh, cepatlah! Orang-orang itu sudah berada di ruang tengah. Sebentar lagi mereka akan tiba di depan pintu. kau tidak ingin mati, bukan?"

   "Tapi... tapi... Maukah Yok Ciangbun berjanji? Berjanji tidak akan... Membunuh aku dan mengambil gadis itu?" Dalam keadaan tegang dan terburu-buru Ho Bing masih mencoba untuk menekan lawannya. Yok si Ki memandang geram.

   "Bodoh! Tentu saja aku takkan membunuhmu! Kalau aku memang ingin membunuhmu, buat apa harus bertele-tele begini? Bunuh saja dan habis perkara! Masa aku tak bisa mencari sendiri pintu rahasiamu itu? Kalaupun tidak bisa, masa aku juga tidak dapat meloloskan diri dari kepungan mereka?"

   "Dok! Dok!" Tiba-tiba pintu ruangan itu digedor dari luar! Ho Bing terkejut. Pintu itu memang kuat, tapi tak mungkin bertahan kalau digedor terus menerus dengan benda yang kuat.

   "Ayoh cepat! Sebentar lagi pintu itu akan jebol!" Yok si Ki menghardik. Akhirnya Ho Bing menurut juga.

   "Baiklah, Yok Ciangbun... aku percaya ucapanmu!" Katanya menyerah sambil menyambar tubuh Tio Ciu In, lalu melompat ke pojok ruangan. Yok si Ki tak mau lepas dari Ho Bing. Melihat pengemis kelimis itu meloncat, ia segera menempel di belakangnya. Pengemis itu menyodokkan ujung tongkatnya ke susunan batu-bata paling bawah dan dinding itu sekonyong-konyong bergeser dengan suara gemuruh. Lalu beberapa saat kemudian diantara dua dinding itu terbuka sebuah celah sempit selebar tubuh manusia.

   "Yok Ciang-bun, marilah...Waktunya tidak banyak! Celah ini akan segera tertutup kembali." Benar juga. Begitu Yok si Ki masuk ke dalam celah, dinding itu berderak keras menutup lagu Lorong rahasia itu benar-benar gelap sekali. Jangankan melihat lawan, memandang tangan sendiripun tak bisa. Tapi, bagi jago silat seperti mereka, hal itu bukanlah halangan. Apalagi bagi Yok si Ki, dengan naluri dan perasaannya yang terlatih, ketua Partai Tai-bong-pai itu mampu membaca keadaan di sekitarnya dengan baik. Dan Ho Bing tahu benar akan hal itu. Sementara itu untuk menghilangkan rasa takutnya Tio Ciu In mulai menyanyi lagi. Meskipun suaranya menjadi kacau karena tubuhnya terguncang dalam pondongan Ho Bing, namun ia tidak peduli. Dia terus menyanyi sebisanya.

   "Diam kau!" Yok si Ki membentak.

   "Biar saja Yok Ciangbun! Lorong ini berada di bawah tanah dan sudah jauh dari pondok itu, tak seorangpun dapat mendengar suaranya. Biarkan saja...! Hitung-hitung dapat hiburan."

   "Huh!" Yok si Ki mendengus, lalu diam kembali. Sepeminuman teh kemudian, setelah berbelak-belok kesana-kemari, akhirnya lorong itu mulai terasa lembab dan agak basah. Lapat-lapat mulai terdengar suara air.

   "Nah, sekarang berhentilah bernyanyi! Kalau tidak... Hmm, akan kucium bibirmu sampai tak bisa bernapas!" Tiba-tiba Ho Bing mengancam Tio Ciu In. Ancaman itu lebih menakutkan daripada ancaman mati. Kontan saja Tio Ciu menghentikan nyanyiannya. Ketika Yok si Ki melihat cahaya samar-samar di ujung terowongan, wajahnya tampak lega dan gembira.

   "Kita hampir sampai di atas tanah lagi?"

   "Belum, Yok Ciangbun. Itu hanya cahaya kunang-kunang..."

   "Kunang-kunang?" Sama saja! Kunang-kunang juga hidup di udara terbuka."

   "Bukan, maksudku bukan kunang-kunang, tapi... serangga lain yang tubuhnya bersinar seperti kunang-kunang." Ho Bing buru-buru menerangkan. Benar juga. Keluar dari lorong itu, mereka belum juga sampai di atas. Mereka justru masuk ke dalam lorong yang lebih luas dan lebih lebar lagi. Dan Yok si Ki menjadi kaget ketika kakinya mengijak air yang mengalir.

   "Hati-hati, Yok Ciangbun! Jangan terlalu ke tengah! Kita berada di sungai bawah tanah! Berpeganglah terus pada dinding gua ini!" Ho Bing memperingatkan.

   "Gila! Akan sampai di mana lubang gua ini?" Ternyata timbul juga perasaan khawatir di hati Yok si Ki. Walaupun bangunan partai Tai-bong-pai juga didirikan di sebuah kuburan kuno, di mana di dalamnya juga memiliki lorong-lorong rahasia seperti liang tikus, tapi lorong gua yang diinjaknya sekarang tetap saja membuatnya ngeri dan kecut. Apalagi jika melihat cahaya-cahaya kebiruan yang bertebaran di sekelilingnya. Cahaya yang timbul dari tubuh serangga-serangga kecil di dalam gua itu bagaikan mata kawanan iblis yang sedang mengintai mereka.

   "Sungai ini akan bermuara di laut, di Pantai Sarang Lebah." Ho Bing menjawab tanpa menghentikan langkahnya.

   "Kau maksudkan Gua Seribu Jalan itu...?" Ho Bing berhenti sehingga Yok si Ki hampir saja menabraknya.

   "Oh, Yok Ciangbun juga sudah pernah ke sana... ? Memang benar, pantai itu banyak dikenal orang karena keanehannya. Selain memiliki tebing yang curam dan batu karang besar-besar, pantai itu juga memiliki ratusan lubang gua, sehingga orang menyebutnya... pantai Sarang Lebah... gua Seribu Jalan dan sebagainya. Dan lorong ini memang bermuara di sana. Yok Ciangbun dapat melihatnya nanti. Tapi sebelum itu, lorong gua ini akan terpecah dan bercabang-cabang seperti liang semut..." Apa yang dikatakan Ho Bing memang benar. Di dalam keremangan cahaya ratusan atau ribuan serangga tadi, Yok si Ki melihat bahwa sungai itu beberapa kali berbelok dan berpecah menjadi beberapa jurusan. Begitu seringnya aliran sungai itu bercabang menjadi beberapa jurusan, sehingga Yok si Ki tak bisa mengingat lagi, berapa kali mereka telah berbelok dan berganti arah.

   "Gila! Jangan-jangan kita terjebak di lorong ini, berputar-putar sampai tua! Ho Bing...! Bagaimana kau dapat memilih arah yang benar? Apakah kau pernah melewatinya?" Yok si Ki menggeram. Suaranya sedikit bergetar oleh rasa ngeri.

   "Jangan khawatir, Yok Ciangbun! Aku sudah dua kali melewati terowongan ini. Kelihatannya memang membingungkan, tapi sebenarnya sangat mudah. Asalkan kita selalu mengikuti arus air ini, kita tentu akan sampai juga di laut. Pokoknya jangan sekali-kali melawan arus."

   "Benar juga..." Yok si Ki membatin. Namun demikian suara gemuruh di terowongan itu tetap saja mengejutkan hati Yok si Ki. Apalagi ketika dasar sungai itu menjadi semakin dalam, sehingga air itu rasanya merambat naik dan hendak menelan mereka. Ternyata rasa ngeri tersebut juga dirasakan pula oleh Tio Ciu In. Dalam keadaan tertotok lemas seperti sekarang, gadis itu merasa seperti burung tak bersayap, yang tak mampu berbuat apa-apa bila bahaya datang. Beberapa kali terlintas di benak gadis-itu... Kalau tiba-tiba mereka terperosok ke dalam air dan dia terlepas dari gendongan Ho Bing! Kalau hal itu sungguh-sungguh terjadi, maka tiada lain nasibnya selain tenggelam secara mengenaskan!

   "Lepaskan aku...! Biarlah aku berjalan sendiri!"

   "Benar, Ho Bing. Biarlah dia berjalan sendiri agar langkahmu menjadi lebih cepat." Yok si Ki berkata pula. Ho Bing yang merasa lelah juga menggendong Tio Ciu In, akhirnya mau juga menurunkan gadis itu dan memunahkan totokannya.

   "Tapi ingat..., Nona! kau jangan terlalu jauh dariku! Sekali kakimu salah menginjak lubang sumur, maka arus air akan menyeretmu ke dalam sumur-sumur gelap tak berujung! Ketahuilah, di tengah-tengah sungai ini banyak lubang sumur yang dihuni ular berbisa." Suasana di gua itu tetap gelap gulita. Namun demikian Tio Ciu In tetap saja menutup dadanya yang terbuka itu dengan wajan merah padam.

   "Oo-ouh...!" Gadis itu menjerit kecil ketika tiba-tiba kakinya menginjak bagian yang agak dalam. Bayangan lubang sumur berisi ular berbisa segera membuat Tio Ciu In menjadi ketakutan, sehingga air yang mengalir di sela-sela kakinya terasa seperti gesekan tubuh ular yang hendak membelit tubuhnya.

   "Bagaimana kalau seandainya... permukaan air sungai ini menutupi seluruh lubang gua...?" Yok si Ki tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ho Bing tersenyum, meskipun senyum itu tak bisa terlihat oleh lawan-lawannya.

   "Yah, apa boleh buat, kita terpaksa kembali lagi ke tempat semula untuk mencari lubang yang lain."

   "Huh...!?" Yok si Ki menggerutu. Sebenarnya menyesal juga Yok si Ki mengikuti Ho Bing ke dalam lubang neraka itu. Rasanya lebih mudah baginya menghadapi keroyokan para pengemis tadi daripada harus melewati bahaya seperti itu. Paling tidak, di dalam pertempuran, kesempatannya untuk tetap hidup akan lebih banyak daripada mengadu nasib di tempat itu. Waktu rasanya berjalan terlalu lambat dan mereka merasa seperti berputar-putar di tempat yang sama. Begitu banyaknya lubang yang mereka hadapi, sehingga mereka tak tahu lagi berapa banyak mereka berganti arah. Tentu saja semuanya menjadi tegang dan takut. Takut salah jalan dan mati sia-sia di tempat yang mengerikan itu.

   "A-aku... ta-takut! Bo-bolehkah aku menyanyi lagi... agar rasa takutku berkurang?" Tiba-tiba Tio Ciu In yang melangkah di samping Ho Bing berdesah pelan. Pelan sekali, namun sudah cukup untuk mengejutkan Yok si Ki yang sedang kalut pikirannya.

   "Apa katamu?" Yok si Ki membentak, sehingga Tio Ciu In tersentak ketakutan.

   "Aaaah, mengapa berteriak-teriak begitu, Ciangbun? Suaramu justru akan membangunkan Hantu Penunggu Gua ini..." Ho Bing cepat menengahi.

   "Biarlah gadis ini menyanyi. Dalam saat begini, rasanya kita memang membutuhkan hiburan untuk mengurangi ketegangan." Yok si Ki tak menjawab dan untuk beberapa saat mereka tak berbicara. Mereka berjalan sambil berpegangan nada dinding gua.

   "Baiklah! Menyanyilah sesukamu...!" Akhirnya Yok si Ki berkata dengan suara rendah.

   "B-benarkah...?" Tio Ciu In bertanya Wajahnya berseri penuh harapan.

   "Menyanyilah...!" Ho Bing tertawa.

   "Jangan khawatir, aku takkan mencium bibirmu! Hohohoho!" Entah mengapa, Tio Ciu In masih tetap berharap akan datangnya pertolongan dari Pendekar Buta itu. Bahkan Tio Ciu In juga percaya bahwa pendekar sakti itu akan menepati janjinya, menolong dia dari tangan penjahat-penjahat tersebut. Oleh karena itu dengan sangat bersemangat dia bernyanyi lagi.

   Apabila di malam gelap gulita
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama,
Malampun bagai tersentak dari tidurnya
Menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku...?
Aku selalu mengharap kedatanganmu!

   Selesai menyanyikan bait pertama, Tio Ciu In lalu meneruskan lagi dengan bait selanjutnya.

   Semalam penuh aku duduk sendiri,
Mengenang wajahmu dalam bayangan,
Kutanya Sang Bulan bila ada pesanmu,
Jatuhkan saja ke dalam pangkuanku!
Kekasihku.
Aku selalu mengharapkan kedatanganmu.

   Suara Tio Ciu In memang lembut. Meskipun gemetaran, namun nada suara-ya benar-benar cocok untuk lagu itu ramanya terdengar sendu dan menyedihan, sehingga Yok si Ki dan Ho Bing seperti terhanyut dalam kesepian pula.

   "Wah, kau pandai benar menyanyi." Yok si Ki memuji.

   "Benar. Dan rasanya... suasana juga tidak menjadi tegang lagi." Ho Bing meambahkan sambil tertawa. Tio Ciu In mengambil napas dalam-dalam, siap untuk mengulang kembali lagunya. Tapi ketika lagu itu hampir terepas dari bibirnya, sekonyong-konyong dari arah depan terdengar suara suling melengking menyayat hati! Suaranya mengalun tinggi dalam lagu yang sama, lagu "Menanti Kekasih!" Yok si Ki dan Ho Bing tersentak kaget! Di dalam gua bawah tanah seperti itu ada orang meniup suling? Siapakah dia? Hantu? Tiba-tiba Yok si Ki menyambar leher Ho Bing.

   "Wuuuuut!" Dan Ho Bing sama sekali tak bisa menghindar! Jalan darah Hong-to-hiat di leher pengemis itu telah dicengkeramnya.

   "Kau punya teman di sini? Huh!" Mata Ho Bing mendelik ketakutan, Jangan! Ja-jangan lakukan! Ciangbun... Kau keliru! kau salah sangka! Aku tidak tahu siapa dia!" Pekiknya dengan suara. parau.

   "Bohong...! Siapa orang yang mau berada di tempat ini selain orang sendiri?" menambahkan sambil tertawa. Ho Bing terbatuk-batuk hampir kehabisan napas. Keringat dingin segera membanjir membasahi dahinya,

   "Nanti dulu...! Tempat ini sudah dekat dengan pantai sarang lebah! Si-siapa t-t-tahu... suara itu terbawa angin darisana dan masuk ke dalam gua ini?," Sambil berbicara Ho Bing mencoba melepaskan diri, tapi tak bisa. Cengkeraman itu seperti menyumbat seluruh saIuran tenaga saktinya, membuat kekuatannya hilang entah ke mana. Cengkeraman itu mengendor sedikit.

   "Apa? Sudah dekat dengan pantai?" Yok si Ki menggeram.

   "Be-benar! Satu tikungan lagi kita akan tiba di Gua Besar! Dari tempat ini sudah kelihatan lubang keluarnya...!"

   "Benarkah...?" Yok si Ki melepaskan tangannya.

   "Awas kalau kau berbohong!"

   "Oough...!" Ho Bing berdesah sambil mengusap lehernya yang kemerah-merahan bekas jari. Di pihak lain suara suling itu bagaikan air kehidupan yang menetes ke dalam jiwa Tio Ciu In. Begitu lega rasanya. Begitu gembira hatinya. Siapa lagi yang meniup suling itu selain si Pendekar Buta? Tapi untuk menghindari kecurigaan lawannya, Tio Ciu In sengaja berpura-pura tidak tahu. Dia tetap menyanyi, seolah-olah tidak mendengar suara suling tersebut.

   "Diam... Kau!" Yok si Ki membentak.

   "Ho Bing, mari kita lihat siapa orang itu. Mereka lalu bergegas menyusuri lorong gua itu lagi. Dan beberapa saat kemudian lorong itu benar-benar menikung ke kiri.

   "Yok Ciangbun, lihat! Bau air laut sudah terasa, bukan? Tuh, di depan...! Kita sudah sampai di Gua Besar!" Ho Bing yang berada di depan berseru lega. Yok si Ki menyusul. Pandangannya segera terbentur pada sebuah gua besar bercahaya remang-remang, di mana pada dinding-dindingnya terdapat banyak lubang besar yang mengalirkan air dari dalamnya. Dan jauh di ujung sana, beberapa buah lubang kosong tampak menyorotkan sinar yang menyilaukan.

   "Itu dia lubang keluarnya!" Ho Bing bersorak gembira. Jarinya menunjuk ke arah lubang yang menyilaukan itu. Aliran sungai itu ternyata tidak memenuhi permukaan lantai di Gua Besar. Airnya hanya mengalir di tengah-tengah gua, di antara bongkahan batu-batu besar yang berserakan di tempat itu. Suaranya gemericik menyejukkan hati. Sementara di bagian atas gua itu banyak sekali kelelawar bergelantungan. Binatang-binatang malam itu mengeluarkan suara mencicit tak henti-hentinya.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 51 Memburu Iblis Eps 25 Memburu Iblis Eps 35

Cari Blog Ini