Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 27


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 27




   "Memang itu pun termasuk rencanaku Lihiap. Selain tugasmu yang tadi, aku pun minta dengan hormat kepadamu, sudilah kiranya kau minta bantuan Ayah-bundamu agar ikut membantu negara menghalau para pengkhianat dan penjahat yang hendak mengacaukan negara." Mendengar ini, Hui Lian mengerutkan kening. Ia maklum betapa ayah-bundanya membenci pemerintah Kin. Hal ini pun diketallui baik oleh Pangeran Wanyen Ci Lun yang segera berkata.

   "Harap kausampaikan hormatku kepada Ayah-bundamu, Nona, dan sesungguhnya sudah lama sekali aku merasa kagum sekali mendengar nama Hwa l Enghiong Go Ciang Le dan ibumu Lian Bi Lan yang namanya terkenal di seluruh kolong langit. Hendaknya kau mengingatkan sedikit kepada Ayah-bundamu bahwa bantuan mereka bukan berarti bantuan kepada pemerintah Kin semata, melainkan bantuan untuk mencegah datangnya bahaya serangan musuh lain bangsa yang akan datang menjajah dan mencekik bangsa kita!"

   Diam-diam Hui Lain harus mengaku bahwa pangeran ini selain pandai bicara juga amat cerdik dan dapat membaca gerak-gerak dan isi hati orang lain. Karena kata-kata pangeran ini semua tepat dan beralasan, bagi Hui Lian tidak ada lain jawaban selain menyatakan kesanggupannya. Setelah membuat persiapan, berangkatlah Hui Lian dan Hong Ki pada keesokan harinva, keduanya menunggang kuda yang bagus dan kuat pemberian Pangeran Wanyen Ci Lun.

   Hui Lian dan Hong Kin melakukan perjalanan dengan cepat dan gembira. Setelah bersama menghadapi peristiwa di dalam istana, hubungan mereka makin akrab, sungguhpun di pihak Hui Lian tidak terkandung perasaan sesuatu kecuali persahabatan yang tutus ikhlas karena ia maklum bahwa pemuda baju hijau ini benar-benar seorang muda yang baik sekali dijadikan sahabat. Adapun di pihak Hong Kin, biarpun harus ia akui bahwa ia makin dalam terjatuh di jurang asmara, makin dalam ia mencinta nona itu, akan tetapi ia tidak berani sembarangan menyatakan perasaannya. Kalau ia teringat akan sikap Pangeran Wanyen Ci Lun yang juga cinta kepada Hui Lian, ia menjadi "mundur teratur" dan tidak berani bersikap sembrono.

   Dua hari mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang sunyi senyap. Tanah gundul membentang luas di depan mereka.

   "Saudara Coa, alangkah sunyi jalan ini dan alangkah panasnya kiranya kalau tengah hari." kata Hui Lian yang belum mengenal daerah ini.

   "Tidak jauh daerah kering ini, di sana. Hanya kurang lebih tiga puluh li. Sekarang masih pagi lebih baik kita mempercepat perjalanan agar jangan sampai dikejar matahari di waktu kita masih berada di jalan gundul ini. Selewatnya tiga puluh lie, kita akan menemui daerah yang dingin dan subur," jawab Hong Kin.

   Keduanya lalu menggebrak kuda binatang tunggangan mereka segera lompat dan lari cepat sekali, meninggalkan debu yang mengepul tinggi sepanjang jalan di belakang ekor mereka. Akan tetapi, baru saja lima lie mereka tempuh, tiba-tiba mereka melihat bayangan enam orang di tengah jalan.

   "Hati hatilah, Nona. Daerah ini paling tidak aman. Siapa tahu kalau-kalau mereka yang di depan itu bukan orang-orang balk."

   Hui Lian meraba gagang pedangnya dan bersikap waspada. Hatinya berdebar tegang dan gembira karena gadis ini memang selalu bergembira apabila menghadapi pengalaman hebat terutama pertempuran. Darah pendekar mengalir sepenuhnya dalam tubuh nona ini.

   "Kau lihat saja, Saudara Coa. kalau mereka itu penjahat, kita akan basmi sampai ke akar-akarnya!"

   Akan tetapi Coa Hong Kin tidak segembira Hui Lian karena pemuda ini maklum bahwa penjahat-penjahat yang berani beroperasi dekat kota raja, bukanlah penjahat-penjahat kecil yang mudah dibasmi. Karena daerah itu gundul, maka biarpun jauh enam orang itu sudah kelihatan dan kini jarak mereka sudah makin mendekat. Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan seruan kaget.

   "Ada apa, Nona?"

   "Dia itu Liok Kong Ji...!"

   "Siapa itu Liok Kong Ji?"

   "Dia masih Suhengku, akan tetapi dia jahat, aku benci padanya!" kata Hui Lian akan tetapi hatinya berdebar tidak enak sekali. Ia tahu betapa jahatnya pemuda itu dan juga tahu betul betapa lihainya. Kalau muncul orang ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.

   "Yang manakah dia? Apakah yang hitam tinggi besar itu?" tanya Hong Ki kaget mendengar bahwa seorang di antara enam orang itu adalah suheng dari Hui Lian dan tentu saja amat lihai.

   "Bukan, yang tengah itulah, yang membawa hudtim (kebutan pertapa)."

   "Dia...?" Hong Kin memandang ke arah seorang pemuda yang tampan gagah, yang membawa kebutan sebagai mana biasa dipegang oleh seorang pendeta sehingga nampak lucu berada di tangan pemuda. Akan tetapi ia harus akui bahwa pemuda itu bertubuh tinggi tegap bersikap halus dan berwajah tampan.

   Sementara itu, kuda mereka sudah tiba di tempat itu dan kini mereka telah berhadapan dengan enam orang yang menghadang di jalan. Hui Lian menyapa mereka itu dengan pandang matanya. Ia melihat Kong Ji kini bersikap angkuh lagaknya congkak seperti seorang bangsawan tinggi. Lima orang yang lain adalah orang laki-laki berusia empat paluh tahunan dan yang tiga berusia enam puluh tahun lebih. Mereka rata-rata nampak berkepandalan tinggi. Memang lima orang ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah ketua-ketua partai besar yang berpengaruh yang sudah takluk kepada Kong Ji dan yang beramai-ramai mengangkat Kong ji sebagai pemimpin atau bengcu mereka!

   Di antara lima orang itu, terdapat seorang kakek tua berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat kepala harimau, yakni gagang tongkat diukir seperti kepala harimau. Melihat kakek ini, Coa Hong Kin menegur.

   "Eh, kiranya Shansi Kai-pangcu, Lo Bong Lo-enghiong yang berada di suni" Hong Kin melompat turun dari kudanya, diturut oleh Hui Lian dan pemuda itu menjura kepada kakek itu. Memang kakek itu adalah Sin-houw (Harimau Sakti) Lo Bong yang menjadi kai-pangcu (Ketua perkumpulan pengemis) dari Shansi Kaipang, yakni perkumpulan pengemis di Shansi. Ketika Lo Bong memandang kepada pemuda tampan berbaju hijau yang menegurnya, ia pun lalu membalas dengan salam.

   "Hm, Coa Sicu, apakah Suhumu Cam kauw Sin-kai sehat-sehat saja? Harap kausampaikan hormatku kepada orang tua gagah perkasa itu!"

   "Terima kasih, Pangcu." Sebelum Hong Kin melanjutkan kata-katanya, terdengar suara Liok Kong Ji nyaring.

   "Ah, Sumoiku yang manis. Kau berada di sini? Kebetulan sekali, sudah lama aku mencari-carimu. Bukankah kau datang dari istana bersama pemuda she Coa ini dan menerima tugas dari Pangeran Wanyen Ci Lun untuk menghadiri pemilihan Bengcu di Ngo-heng-san?" Hui Lian terkejut. Juga Hong Ki memandang dengan mata terbelalak. bagaimana setan ini bisa mengetahui hal itu? Sebelum Hui Lian menjawab, Kong Ji sudah bicara lagi, kini ditujukan kepada Hong Kin.

   "Jadi kau ini murid Cam kauw Sin-kai? Bagus sekali, tentu kau lihai seperti Gurumu. Di antara orang sendiri, tak usah kita berlaku sungkan. Mari kalian berdua bersama dengan kami pergi ke Ngo-heng-san, karena ketahuilah bahwa bengcu atau calon bengcu terutama sudah terpilih."

   Hui Lian masih benci kepada Kong Ji, maka dengan ketus ia menjawab.

   "Aku tidak sudi melakukan perjalanan bersamamu. Minggir dan jangan ganggu aku!" Kong Ji tertawa bergelak dan terlihat deretan gigi yang putih.

   "Ha, ha, ha, kau masih galak saja, Sumoi. Akan tetapi makin galak makin manis. Benar benar kau gagah dan berani sekali, berani bersikap seperti itu di depanku."

   "Orang lain boleh takut kepadamu, Akan tetapi aku tidak!" Hui Lian meraba gagang pedangnya. Kong Ji hanya menggerak-gerakkan kebutan di tangannya sambil tertawa mengejek.

   "Jangan kurang ajar"" seorang di antara kakek yang usianya sudah lanjut melompat dengan gerakan ringan di depan Hui Lian. Gadis ini melihat gerakan kakek rambut panjang yang wajahnya menyeramkan sepertI lblis ini maklum bahwa ia menghadapi orang yang tinggi kepandaiannya. Ia pernah mellhat kakek ini dahulu ketika mereka bersama mengeroyok dan mengejar-ngejar Wan Sin Hong.

   Memang kakek ini bukan lain adalah Giok Seng Cu. Mendengar bahwa Hui Lian adalah puttri Go Ciang Le, siang siang Giok Seng Cu sudah merasa gemas dan kalau mungkin dan diperbolehkan oleh Kong ji, tentu ia akan mengganggu atau membunuh gadis puteri musuh besar yang dibencinya itu.

   "Kau mau apa?" Hui Lian juga menantang dengan sikap tenang tak kenal takut. Akan tetapi Hong Kin yang bermata tajam dan tahu bahwa enam orang lawan ini tak boleh dipandang ringan, berkata,

   "Go-siocia, harap bersabar." Kemudian ia bertanya kepada Lo Bong.

   "Shansi Kai pangcu, siapakah bengcu yang kau sebutkan tadi?" Lo Bong tanpa ragu-ragu menuding ke arah Kong Ji sambil berkata,

   "Dialah bengcu kami, juga calon bengcu besar yang akan dipilih. Oleh karena itu, daripada ribut mulut tidak karuan, lebih baik kau dan kawanmu ini menggabungkan diri dengan kami dan kelak memillh bengcu kami. Merupakan kehormatan besar melakukan perjalanan dengan bengcu." Hui Lian mengeluarkan suara mengejek, lalu melompat ke atas kudanya dan berkata kepada Hong Kin.

   "Saudara Coa, untuk apa melayani orang-orang yang miring otaknya? Mari kita lanjutkan perjalanan!"

   "Sumoi, aku melarangmu melakukan perjalanan memisahkan dengan kami. Kau harus ikut dengan kami"" kata Kong Ji, suaranya berpengaruh.

   "Aku bukan Sumoimu dan kau tidak berhak melarang. Pergilah""

   "Bengcu, tangkap saja dua orang bocah ini!" seru Giok Seng Cu yang sudah marah sekali, kemudian tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan menubruk Hui Lian. Memang di antara semua orang yang sudah menjadi kaki tangan Liok Kong Ji, hanya Giok Seng Cu yang agak berani sikapnya terhadap pemuda luar biasa itu. Hal ini karena Giok Seng Cu mengingat bahwa anak muda itu pernah menjadi muridnya.

   Hui Lian terkejut sekali melihat tubrukan kakek rambut panjang yang amat berbahaya. Desir angin serangannya menyatakan betapa besar tenaga kakek ini, maka Hui Lian tidak berani menangkis melainkan melompat dari atas kudanya berjungkir balik dan turun dua tombak dari kudanya. Terdengar suara kuda meringkik dan kuda tunggangan yang tinggalkan Hui Lian itu kena ditampar oleh Giok Seng Cu terguling roboh!

   "Kau kejam!" seru Hong Kin yang cepat maju menghadang melihat kakek itu hendak mengejar Hui Lian. Akan tetapi Giok Seng Cu mengibaskan tangannya ke arah dada Hong Kin sambil membentak.

   "Roboh kau!" Giok Seng Cu sudah memperhitungkan bahwa kibasan lengan bajunya yang disertai tenaga Tin-san-kang ini tentu akan dapat merobohkan Hong Kin yang kelihatannya tidak begitu kuat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kibasannva yang cepat sekali itu mengenai angin kosong karena Hong Kin talah mengelak dan bahkan balas menyerang dengan pukulan yang jitu sekali mengenai pundak Giok Seng Cu.

   "Plak!" Giok Seng Cu terhuyung dua tindak akan tetapi Hong Kin tiba-tiba merasa tanganya panas, tanda bahwa ia terserang oleh tenaga pukulannya sendiri yang membalik ketika bertemu dengan pundak kakek itu. Hal ini menjadi bukti bahwa tenaganya jauh kalah besar, maka dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati Hong Kin. Seorang kakek ini saja merupakan lawan yang amat berat, apalagi kalau enam orang itu semua maju.

   "Bocah kurang ajar, apakah kau sudah bosan hidup?" Giok Seng Cu membentak marah kepada Hong Kin. Tadinya ia terkejut sekali melihat keanehan pukulan pemuda ini yang selain dapat mengelak dari serangannya, juga secara otomatis dapat membalas kontan dan memukul pundaknya. Tak disangkanya bahwa Ilmu Silat Cam-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Pemukul Anjing) dari Cam-kauw Sin-kai sedemikian lihatnya. Akan tetapi setelah merasa betapa pukulan pemuda ini tidak begitu kuat, hatinya lega dan amarahnya timbul. Dengan cepat ia lalu mendesak Hong Kin dengan pukulan-pukulan Tin-san-kang yang dahsyat.

   "Giok Sengcu Suhu jangan bunuh utusan Pangeran Wanyen," seru Kong Ji.

   Seruan ini menolong nyawa Hong Kin karena kalau Giok Seng Cu tidak ditahan oleh Kong Ji, kiranya Hong Kin takka kuat menerima pukulan-pukulan Tin-san kang yang luar biasa hebatnya itu. Sebaliknya, ketika mendengar larangan dari Kong Ji, Giok Seng Cu tidak berani melanggar, ia lalu mengurangi tenaga akan tetapi memperhebat serangan sehingga beberapa jurus kemudian Hong Kin roboh terkena totokan yang lihai pada jalan darah Kong-goan-kiat membuatnya lemah dan lumpuh.

   Sementara itu, ketika Hui Lian mendengar Kong Ji menyebut nama Giok Seng Cu, gadis ini terkejut sekali. Sebetulnya kakek berambut panjang yang lihai itu masih terhitung supeknya (uak gurunya) karena ia mendengar dari ayahnya bahwa kakek ini adalah murid dari Pak Hong Siansu. Diam-diam gadis ini terheran-heran bagaimana tokoh besar seperti Giok Seng Cu demikian tunduk terhadap Liok Kong Ji. Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan hal ini karena ia sudah marah sekali melihat Hong Kin dirobohkan oleh Giok Seng Cu. Sekali melompat ia telah menghadapi kakek itu dengan pedang di tangan dan tanpa banyak cakap ia menyerang dengan tikaman berantai.

   Melihat berkelebatnya ujung pedang ke arah tenggorokan, Giok Seng Cu cepat miringkan kepalanya dan hendak menyampok pedang dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi pedangnya itu telah dibalik gerakannya dan kini secara langsung melanjutkan serangannya dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah dada. Giok Seng Cu kaget sekali melihat kelincahan kecepatan gerakan ini. Namun ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah kawakan, tidak mudah gugup oleh desakan lawan. Sambil mengerahkan tenaga Tin-san-kang, ia menyampok pedang itu dengan lengannya. Pedang terpental akan tetapi lengan baju kakek itu robek!

   Dan hebatnya, biarpun pedangnya sudah terpental karena ditangkis oleh Giok Seng Cu, masih saja pedang itu menyerang terus dengan tusukan lain pada lambung. Menghadapi serangan bertubi-tubi yang kesemuanya merupakan cengkeraman maut ini. Giok Seng Cu agak gentar dan sambil berseru keras ia melompat ke belakang.

   "Hebat ilmu pedangmu, bocah!" serunya kagum.

   "Akan tetapi jangan kau kurang ajar. Bapakmu adalah Suteku (Adik Seperguruan), maka kau sekarang berhadapan dengan Supekmu. Hayo lekas lepaskan pedang dan berlutut!" Hui Lian tertawa menyindir dan menudingkan pedangnya kepada Kong Ji katanya,

   "Kau kakek siluman yang terhadap dia itu bersikap seperti anjing penjilat, mau suruh aku berlutut? Hm, aku tidak pernah mempunyai Supek macam kau!" kata-kata ini ditutup oleh berkelebatnya tubuh Hui Lian yang sudah menyerang lagi dengan pedangnya.

   Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian adalah ilmu pedang warisan ayahnya yang menerima dart Pak Kek Siansu, maka Ilmu Pak-kek-sin kiam-hoat ini bukan main lihainya. Giok Seng Cu sudah mendapat perintah agar supaya tidak membunuh atau melukai gadis ini maka kalau ia melawan tanpa kebebasan melukai, kiranya ia takkan menang. Hal ini diketahui baik-baik. Tanpa mempergunakan Tin-san-kang, tak mungkin ia dapat menang melawan gadis kosen ini, sebaliknva kalau ia mempergunakan Tin-sankang, ia takut kalau-kalau ia menjatuhkan tangan maut dan membunuh Hut Lian sehingga ia akan mendapat marah besar dari Kong ji. Oleh karena itu, ketika gadis itu menyerangnya, Giok Seng Cu hanya mengelak ke sana ke mari sambil menyampok pedang mempergunakan tenaga yang besar. Namun ia kalah gesit oleh Hui Lian sehingga pada jurus ke sebelas pangkal lengannya tergores pedang dan mengeluarkan darah.

   "Giok Seng Cu Suhu, mundurlah seru Kong Ji dengan suara berpengaruh ia merasa malu terhadap yang lain kalau ia tidak turun tangan sendiri memperlihatkan kelihaiannya. Sudah diceritakan tadi bahwa lima orang kawan Kong Ji adalah orang-orang penting. Selain Giok Seng Cu dan Sin-houw Lo Bong ketua dari Shan-si Kai-pang, yang tiga orang lagi adalah ketua darit Bu-cin-pang, Kwan ci pai, dan Twa-to-bu-pai. Mereka ini inilah yang mengangkat Kong-Ji sebagai bengcu dan mereka bersama anak buah atau anggauta partai mereka yang banyak jumlahnya yang akan menyokong Kong Ji dalam segala usaha dan cita-citanya. Kini dengan tenang Kong it menghadapi Hui Lian, hudtim atau kebutan panjang masih terpegang di tangan kanannya.

   "Sumoi...."

   "Aku bukan Sumoimu," bentak Hui Lian, pedangnya sudah gemetar di tangan, siap untuk menyerang. Ia sekarang benci sekali kepada pemuda ini dan sudah gatal-gatal tangannya untuk melakukan pertempuran mati-matian.

   "Hui Lian, kau benar tidak adil. Marilah kita bicara baik-baik. Kalau kau ikut dengan aku dan memberi sokongan suara dan kelak aku menjadi bengcu untuk seluruh dunia kang-ouw, bukankah berarti aku menjunjung tinggi nama Suhu? Bukankah kau sebagai Sumoi juga akan terbawa naik namamu? Pikirlah baik-baik, kau tahu bahwa aku selalu sayang kepadamu."

   "Tutup mulutmu yang palsu dan ingatlah akan kepalsuanmu di Mongolia dahulu" bentak Hui Lian yang terus saja menyerang dengan pedangnya.

   Kong Ji maklum betapa lihainya gadis ini bermain pedang, maka ia melompat mundur sambil berkata dengan nada menyesal.

   "Terpaksa aku harus menggunakan kekerasan, Sumoi. Kau keras hati dan kepala batu."

   Hudtim pindah ke tangan kiri dan diputar menangkis serangan pedang dari Hui Lian. Terdengar suara gemerincing dan Hui Lian merasa telapak tangannya tergetar. Kagetlah hati gadis ini karena ia tahu bahwa Kong Ji benar-benar telah memperoleh kemajuan yang hebat. Sudah dapat menyalurkan tenaga sehingga bulu- bulu hudtim itu menjadi sekeras baja benar-benar membuktikan bahwa pemuda itu telah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi Hui Lian tidak pernah mengenal apa artinya takut. Bagaikan seekor singa betina gadis ini menyerang terus, mengerahkan tenaga mengandalkan kegesitan tubuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus yang terhebat dari ilmunya.

   Kong Ji merasa kewalahan juga. Pemuda ini sesungguhnya jauh kalau dibandingkan dengan dahulu ketika baru meninggalkan Kim bun-tho bersama Hui Lian. Sekarang ilmu kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu dan kalau saja ia bermaksud membunuh atau melukai Hui Lian, kiranya dengan hudtimnya saja ia akan dapat merobohkan gadis itu. Akan tetapi ia tidak mau melukai Hui Lian, apalagi membunuhnya, karena ia mempunyai niat dan cita-cita yang lebih tinggi. Mengalahkan gadis ini tanpa melukainya memang bukan hal yang mudah dan biarpun seorang lihai seperti Kong Ji merasa kewalahan juga. Setelah dua puluh jurus lewat, Kong Ji menggerakkan tangan kanan dan sinar terang menyilaukan mata Hui Lian.

   "Bangsat rendah, kembalikan Pak-kek Sin-kiam!" Hui Lian makin gemas melihat pedang pusaka sucouwnya kini berada di tangan kanan pemuda itu. Dengan nekat ia menyerang dan berusaha merobohkan Kong ji untuk merampas kembali pedang itu. Akan tetapi, sambil tertawa mengejek Kong Ji menggunakan Pak-kek Sinkiam membabat pedang di tangan Hui Lian sambil mengerahkan tenaganya.

   "Krek!" Pedang di tangan Hui Lian terbabat patah menjadi dua dengan amat mudah oleh pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam. Dan di lain saat, selagi Hui Lian marah dan kaget, beberapa lembar bulu hudtim yang sudah mengeras karena tenaga lweekang menyambar dan menotok beberapa bagian jalan darah. Hui Lian mencoba mengelak, akan tetapi kekagetannya karena pedang patah tadi membuatnya kurang cepat dan Thian-hu-hiat tubuhnya terkena totokan bulu hudtim, gadis ini terhuyung dan roboh tak berdaya lagi!

   Kong Ji tertawa puas dan menyimpan pedang Pak-kek Sin-kiam di balik jubah luarnya yang lebar dan panjang. Kemudian dengan hudtimnya ia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang berusia empat puluh tahun lebih untuk melucuti senjata-senjata yang masih ada pada pakaian dua orang muda itu, lalu Hong Kin dan Hui Lian diikat pergelangan tangannya dengan sebuah belenggu baja yang amat kuat!

   "Bawa mereka ini menyingkir dari sini dan jaga baik-baik agar jangan sampai mereka terlepas. Juga tak boleh apapun juga mengganggu mereka, perlakukan baik-baik sebagai tamu agung. Dalam perjalanan ke Ngo-heng san, nona ini dimasukkan saja ke dalam joli dan diusung agar jangan menimbulkan keheranan di tengah perjalanan."

   Hong Kin dan Hui Lian yang sudah tak berdaya lagi itu dibawa pergi oleh dua orang itu. Kemudian Kong Ji menyuruh Lo Bong untuk mengumpulkan dan mempersiapkan barisan dari semua partai agar berkumpul di situ. Lo Bong berkelebat pergi dengan kecepatan yang mengagumkan. Kini di tempat itu tinggal Kong Ji, Giok Seng Cu, dan seorang kakek tua sebaya dengan Giok Seng Cu. Kakek ini bukan orang biasa. Tubuhnya sudah tua dan bungkuk kurus, kepalanya besar dan bundar, rambutnya jarang dan sudah banyak rontok, berwarna putih, kulit mukanya kerut merut seperti jeruk layu. Gagang pedang tergantung di pundak kanannya dan sebatang tongkat bambu selalu membantunya berjalan.

   Biarpun kelihatan begini lemah dan tua, akan tetapi orang ini adalah jago nomor satu di seluruh Prowinsi An-hwei, bernama Siangkoan Bu berjuluk Mo-kiam (Pedang Iblis). Dia adalah ketua dari perkumpulan Kwan-cin-pai di Provinsi An-hwei, sebuah perkumpulan yang sudah terkenal dan berpengaruh sekali. Kakek ini pernah didatangi oleh Kong Ji yang mengajak pibu dan dalam sebuah pertempuran seru hampir seratus jurus, barulah pedang Pak-kek Sin-kiam dapat menundukkan pedangnya dan kakek ini menerima kalah, takluk dan amat kagum kepada Kong Ji. Selanjutnya ia dengan suka-rela membantu pelaksanaan cita-cita pemuda aneh yang luar biasa ini.

   Kong Ji belum mau meninggalkan tempat itu dan ia selalu memandang ke timur, seakan-akan menanti datangnya sesuatu. Memang, dia sedang menanti rombongan kedua dari kota raja yang tahu pasti akan lewat di situ tak lama lagi. Pemuda ini benar-benar luar biasa dalam waktu pendek sudah dapat mempengaruhi banyak orang, bahkan ia telah banyak menyebar mata-mata. Di kota raja sendiri, bahkan sampai di dalam istana, banyak terdapat pembantu-pembantunya. Para pembantu ini semua menganggap bahwa Kong Ji adalah seorang pemuda perkasa ahli waris Pak Kek Siansu, seorang pemuda yang berjiwa patriotik dan yang hendak menggulingkan pemerintah Kin yang dianggapnya mencekik rakyat jelata.

   Kong Ji pandai sekali bicara dan pandai pula berlagak, maka semua orang percaya kepadanya. Dua orang busu yang pernah menolong Hui Lian di istana, yakni busu yang mengaku pejuang rakyat, bukan lain adalah pembantu-pembantu dan Kong Ji pula! Oleh karena inilah maka Kong Ji dapat mengetahui segala gerak-gerak dalam istana, dan tahu pula bahwa Hui Lian dan Hong Kin akan lewat di tempat itu dalam tugas mereka yang diperintahkan oleh Wanyen Ci Lun.

   Benar saja, tak lama kemudian nampak debu mengepul tinggi dari arah timur. See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun dan diiringkan oleh delapan orang perwira busu yang mengganti pakaian seperti ahli-ahli silat biasa, dengan menunggang kuda yang besar-besar.

   See-thian Tok-ong menunggang kuda - paling depan dan kakek gundul ini meram melek di atas kuda, sama sekali tidak memegangi kendali kuda dan duduknya begitu enak seperti orang duduk di atas kasur yang empuk saja. Biarpun tidak dipegangnya kendali kuda, namun sesungguhnya kuda itu sudah dikuasai sepenuhnya. Memang See than Tok-ong seorang aneh, caranya menunggang kuda pun aneh!

   Dari jauh See-thian Tok-ong sudah melihat adanya tiga orang di tengaj jalan itu dan ia segera mengenal siapa adanya mereka ini. Tentu saja ia mengenal Kong Ji, dan juga tidak lupa kepada Giok Seng Cu, akan tetapi orang-orang ketiga ia tidak kenal. hanya ia dapat menduga bahwa orang ke tiga itu tentulah bukan orang sembarangan. Tokoh lain yang manapun juga kiranya takkan dapat membangkitkan perhatian See- thian Tok-ong, akan tetapi terhadap Kong Ji, Raja Racun ini memandang lain lagi. Ia mendapatkan watak yang aneh dan sifat yang mengagumkan hatinya dalam diri Kong Ji, dan ia maklum bahwa Kong Ji merupakan seorang saingan berat, seorang lawan yang tidak saja lihai ilmu silatnya akan tetapi juga amat licin. Orang macam Kong Ji ini lebih baik dijadikan sekutu daripada dijadikan lawan.

   "Berhenti!" katanya kepada busu yang mengiringnya di belakang. Di depan ada orang biar aku dan anak isteriku yang bicara dengan mereka. Kalau tidak kuberi tanda, jangan kalian mendekat. Mereka itu bukan orang-orang biasa."

   Para busu tentu saja tidak berani membantah dan mereka melompat turun dari kuda dan duduk di atas tanah menanti sambil berteduh di dalam bayangan kuda. Juga See thian Tok-ong, Kw Ji Nio, dan Kwan Kok Sun melompat turun dari kuda, memberikan kuda mereka kepada para busu kemudian mereka berlari menghampiri Kong Ji dan dua orang kawannya.

   Kwan Kok Sun sejak tadi sudah mendongkol sekali melihat Kong Ji, apalagi melihat Giok Seng Cu berada pula di situ. Tanpa berkata apa-apa setelah jarak mereka dekat dengan rombongan Kong Ji, Kok Sun menggerakkan tangannya dan dua buah benda hitam melayang ke arah Kong Ji dan Giok Seng Cu.

   Kong Ji dengan tenang mengangkat kaki kiri, membanting kaki itu dibarengi dengan bergeraknya tangan kiri ke depan, ke arah benda hitam yang menyambar ke arahnya. Demikian pula Glok Seng Cu menggerakkan tangan dan melakukan pukulan Tin-san-kang. Dua benda yang disambitkan oleh Kok Sun tadi keduanya terpental kembali seakan-akan tertumbuk dengan benda keras sebelum menyentuh tangan Kong Ji dan Giok Seng Cu. Setelah dua benda hitam itu jatuh di atas tanah, baru terlihat bahwa dua buah benda ini adalah dua ekor binatang kelabang hitam yang berbisa.

   Biarpun keduanya mempergunakan Tin-san-kang untuk menangkis serangan senjata rahasia aneh itu, akan tetapi melihat betapa kelabang yang ditangkis oleh Giok Seng Cu masih berkelojotan sedangkan yang oleh Kong Ji mati tak bergerak sama sekali, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dewasa ini Ilmu Tin-san-kang yang dimiliki bekas murid itu lebih tinggi daripada bekas gurunya sendiri. Memang Kong Ji sang cerdik sekali telah dapat mengkombinasikan Tin-san- kang dengan Hek-tok-ciang yang ia pelajari dari See-thian

   Tok-ong, maka kalau dibuat perbandingan, dihadapkan dengan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu ia lebih menang setingkat karena pukulan Tin-san-kangnya mengandung racun dari pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Sedangkan apabila ia dihadapkan dengan Hek tok-ciang dari See-thian Tok-ong, ia masth lebih hebat karena pukulannya mengandung tenaga Tin-san-kang (Pukulan Menggetarkan Gunung) yang maha dahsyat!

   "Kok Sun, perlahan dulu. Mengapa kau datang-datang mengeluarkan senjata berbisa yang jahat?" kata Kong Ji nienegur Kok Sun yang memandang dengan mata terbelalak melihat kelihaian Kong Ji. Ta akui bahwa betapa pun tinggi lweekangnya, belum sanggup ia kalau harus memukul kelabang itu dari jarak jauh dan sekaligus memunahkan tenaga sambitannya sambil membunuh kelabang itu pula. Maka ia diam saja. Kong Ji sebaliknya menghadapi See-thian Tok ong sambil tersenyum, menggerak-gerakkan hudtimnya dengan penuh gaya, kemudian berkata nadanya menegur halus.

   "See"thian Tok-ong, kau makin tua makin gagah saja. Terimalah ucapan selamat dariku bahwa kini telah menjadi orang berpangkat. Bagaimana aku harus menyebutmu? Apakah taijin (orang besar) ataukah kau sudah mempunyai pangkat tertentu? Menjadi thai-ciangkun (panglima besar)?"

   "Laok Kong Ji jangan kau main-main." See thian Tok-ong membentak dan mukanya yang hitam makin menghitam.

   "Siapa main-main? Aku bengcu dari seluruh partai persilatan di selatan dan timur, calon bengcu dari seluruh dunia kang-ouw, tak perlu mengajak See-thian Tok-ong main-main. Sebaliknya, kaulah yang sudah main-main dengan kami, kau yang sudah menewaskan kawan-kawan kami di istana."

   "Hm, sudah kuduga. Kau kiranya orang yang mengirim pembunuh-pembunuh itu...." See-thian Tok-ong berkata perlahan dan kini matanya melirik tajam siap sedia untuk bertempur. Kalau saja ia tidak tahu betul betapa lihainya bocah setan ini, tentu ia tidak sudi bercakap-cakap dengan bekas muridnya. Biasanya, kedua tangan See-thian Tok-ong lebih banyak bergerak daripada bibirnya.

   "Benar aku orangnya. Dan mengapa kau mendadak sontak melindungi kaisar. Mengapa kau seorang yang datang dari See-thian mencampuri urusan kami? Apakah kau benar-benar hendak menentang gerakan para pejuang rakyat, See-thian Tok-ong?"

   "Hm, kau tidak adil. Sudah tahu aku seanak isteri berada di istana menjadi pengawal, mengapa menyuruh tikus-tikus busuk membikin kacau? Bukankah itu berarti tidak memandang mata kepada kami bertiga?"

   Tiba-tiba Siangkoan Bu melompat maju dan berkata sengit.

   "See-thian Tok ong, sudah lama sekali aku Mo-kiam Siangkoan Bu mendengar nama besarmu juga kesohoran tentang kekejamanmu. Kemarin dulu kau menewaskan muridku yang paling baik, sekarang marilah kita membuat perhitungan!" Kakek ketua Partai Kwan-cin pai itu memang sedang berduka karena muridnya yang tersayang yakni Thian sin Siok Hoat, telah tewas ketika mencoba untuk membunuh kaisar dengan kawan-kawannya, tewas dalam tangan See-thian Tok-ong. Maka begitu bertemu dengan pembunuh muridnya, tak dapat menahan sabar lagi dan segera maju menantang. Terdengar suara haha hihi dari samping disusul kata- kata mengejek.

   "Cacing perut tua bangka, kau sudah begini kurus mau mampus masih berani menantang Ayah. Kau baru patut bertanding melawan Ayah kalau sanggup meneima dua kepalan tanganku!"

   Mo-kiam Siangkoan Bu adalah ketua dari sebuah partai besar, yaitu Partai Persilatan Kwan-cin-pai. Selama puluhan tahun di An-hwei belum pernah ada orang berani menghinanya. Sekarang ia dihina orang secara hebat, cepat ia menengok. Kemarahannya memuncak ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang mengeluarkan kata-kata penuh hinaan hanya seorang pemuda gundul yang seperti miring otaknya.

   "Bocah edan, jadi kau ini anak See-thian Tok-ong? Pantas, pantas tidak banyak bedanya. Kau mau coba-coba? Mari, mari, coba kauperlihatkan betapa empuknya dua pukulan tanganmu. Ha, ha, ha!"

   Kok Sun mengeluarkan suara seperti kuda meringkik, kemudian ia menerjang maju dan kedua tangannya dipukulkan ke arah dada kakek tua itu sambil mengerahkan tenaga dan mempergunakmi Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang yang beracun!

   Mo-kiam Siangkoan Bu belum pernah mendengar akan kelihatan bocah gundul putera See-thian Tok-ong, maka ia memandang rendah dan dengan berani ia menyambar kedua tangan itu, dipapak oleh kedua telapak tangannya sendiri dengan maksud hendak mempermainkan Kwan Kok Sun.

   Begitu dua pasang telapak tangan bertemu, Kok Sun merasa telapak tangannya dingin dan Iengket dengan telapak tangan lawan yang ternyata pergunakan tenaga dalam menyedot! Ia kaget sekali karena kalau tenaganya sampai tersedot dan kalah kuat, ia akan menderita luka dalam dan untuk melepaskan kedua tangannya, sudah tak keburu lagi. Terpaksa dengan mati-matian Kok Sun mengerahkan lweekang dan membawa hawa berbisa dari Hek-tok-ciang.

   Di lain pihak, tadinya Siangkoan merasa girang dan mengeluarkan suara mengejek ketika dengan mudahnya ia dapat menempel dua tangan lawannya. Akan tetapi segera wajahnya berubah cepat ketika ia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal dan sakit serta panas sekali. Maklumlah ia bahwa ia telah terkena pukulan yang berbisa.

   "Celaka"" serunya perlahan dan cepat- cepat ia menyalurkan hawa dalam tubuh merubah tenaganya yang tadi "menyedot" sekarang sebaliknya mendorong untuk mencegah menjalarnya racun ke dalam lengan dan terus menyerang jantung. Demikianlah, dua orang itu sekali gebrak saja sudah saling bertempelan dua telapak tangan tanpa dapat dipisahkan lagi, masing-masing mempertahankan diri. Biarpun Ilmu Hek-tok-ciang amat lihai, akan tetapi oleh karena tenaga lweekang dari kakek itu masih menang setingkat, maka kini kedua pihak terancam bahaya, Siangkoan Bu terancam racun Hek-tok-ciang, sebaliknya Kwan Kok Sun terancam bahaya terluka oleh saluran tenaga lweekang yang lebih kuat! See-thian Tok-ong yang melihat hal ini menjadi tak sabar lagi. Ia menepuk punggung anaknya sambil mencela.

   "Kok Sun, mengapa kau begitu tolol?" Tepukan itu biarpun hanya perlahan saja dan dilakukan di atas punggung Kok Sun namun sebetulnya Raja Racun itu mengalirkan hawa pukulan atau dorongan melalui tubuh dan lengan anaknya sehingga tiba-tiba Siangkoan Bu menjadi terdorong. Mati-matian kakek ini mempertahankan diri dan kedua kakinya sudah menggigil. Hampir ia tidak kuat dan hawa beracun Hek-tok-ciang sudah mulai mendesak sehingga sampai di pergelangan tangannya. Buktinya, kedua tangannya mulai menjadi hitam, dari telapak tangan sampai mundur ke pergelangan kedua tangan. Rasa gatal dan panas makin menusuk. Tiba-tiba merasa punggungnya di sentuh orang, sentuhan perlahan akan tetapi kuat bukan main.

   "Siangkoan Lo-enghiong, tak perlu mengadu nyawa dengan orang segolongan sendiri!" terdengar suara Kong Ji dan tiba-tiba semacam tenaga yang dahsyat mengalir melalui punggung Siangkoan Bu terus mendesak ke sepasang lengan dan Siangkoan Bu melihat tanda hitam pada lengannya mundur terus terdesak sampai lenyap. Akan tetapi dia mentaati kata-kata Kong Ji dan tidak mau mempergunakan kesempatan itu menyerang Kok Sun, sebaliknya ia lalu meluncurkan kedua tangannya yang menempel tadi ke bawah dan melompat mundur, Kok Sun mandi keringat. Baiknya Si Tua itu tidak mau membalas serangannya, karena setelah mendapat bantuan dan Kong Ji, Kok Sun merasa betapa Hek-tok-ciang memukul secara membalik kepada dirinya sendiri!

   "Bagus, kepandaianmu ternyata sudah meningkat luar biasa sekali!" See thian Tok-ong memuji dengan kagum. Ta tidak marah karena melihat bahwa ternyata Kong Ji tidak bermaksud buruk dan
(Lanjut ke Jilid 27)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
kawan-kawannya juga tidak mau melanjutkan serangan dan mencelakai Kok Sun yang sudah berada di pihak terancam.

   "See-thian Tok-ong, kau lihat bahwa kami bermaksud baik. Biarpun kau sudah menewaskan kawan-kawan kami, hal itu kami anggap sebagai sebuah salah paham belaka. Biarlah yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi hendaknya lain kali kita dapat bekerja sama. Bukankah kalian bertiga hendak naik ke Ngo-heng-san?"

   "Benar."

   "Apakah hendak mengajukan seorang calon bengcu?" tanya pula Kong Ji.

   "Habis untuk apa lagi kalau tidak untuk merebut kedudukan bengcu?"

   Kong Ji tersenyum.

   "See-thian Tok-ong kau sudah mempunyai kedudukan tinggi dan baik di istana apakah masih belum puas dan kini hendak merebut kedudukan bengcu? Ketahuilah bahwa kedudukan itu boleh dibilang sudah berada di tanganku. Bukankah lebih baik kau membantu suara dan menyokong aku saja agar kelak kita bisa saling menolong, kau sebagai kepala pengawal istana aku sebagai bengcu? Bukankah kita akan menjadi sekutu yang baik dan saling menguntungkan?" See-thian Tok-ong mengerutkan kening. Memang ia pikir betul juga kata- kata Kong Ji itu. Akan tetapi sebagai seorang tokoh besar mana ia mau mengalah begitu saja terhadap seorang muda?

   "Bagaimana nanti sajalah, Liok-sicu. Biar kita bertemu lagi di Puncak Ngo- heng-san dan kelak kita sama lihat saja bagaimana perkembangannya. Hanya satu hal kujelaskan bahwa aku memang lebih suka bekerja sama denganmu daripa dengan orang lain." Kong Ji tertawa penuh kemenangan, lalu menjura sampai dalam.

   "Terima kasih banyak, Lo-enghiong, terima kasih banyak. Sampai bertemu di puncak Ngo-heng-san dan selamat jalan."

   See-thian Tok-ong melambaikan tangan ke belakang dan para busu yang sudah siap segera mendatangi dengan kuda ayah, ibu dan anak itu. Mereka segera melanjutkan perjalanan dengan cepat. Debu mengepul tinggi dan di antara kepulan debu ini terdengar suara Kong Ji tertawa, suara ketawa yang amat menyeramkan.

   Tak lama kemudian dari timur, selatan dan utara datang pasukan-pasukan partai-partai yang menyokong Kong Ji, di antaranya adalah partai lm-yang-bu-pai yang anggautanya tidak begitu banyak lagi setelah dibasmi oleh See-thian Tok- ong. Partai Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shan-si Kaipang, dan Twa-to Bu-pai. Setiap partai terdiri kurang lebih seratus orang sehingga di belakang Kong Ji sudah siap kurang lebih lima ratus orang. Kong Ji memberi penjelasan dan siasat kepada lima orang kawannya yang masing-masing segera memberi perintah kepada pembantunya. Tak lama kemudian semua pasukan itu pergi dari situ mengambil jalan sendiri, akan tetapi semua menuju ke Ngo-heng-san. Adapun Kong ji bersama lima orang kawannya melanjut perjalanan dengan menunggang kuda ke Ngo-heng-san.

   Ngo-heng-san adalah lima puncak bukit yang berada di Pegunungan Kin leng-san. Pegunungan ini disebut Ngo-heng san adalah karena puncak ini mempunyai lima lereng atau daerah yang berlainan sifatnya dan pula kalau orang berdiri di puncak yang tidak berapa tinggi ini, orang akan melihat bahwa puncak ini di kelilingi oleh lima gunung besar yakni Kin-leng-san, Tapa-san, Luliang-san dan Taihang-san.

   Ngo-heng-san tidak terkenal karena tingginya atau besarnya, melainkan karena indahnya pemandangan alam yang berada di tempat itu. Apalagi kalau orang memandang tamasya alam dari puncaknya sekali, benar-benar jarang ada pemandangan alam seindah kalau dilihat dan situ. Akan tetapi sayangnya, jalan menuju ke puncak Ngo-heng-san amat sukar dan berbahaya sehingga pernah kaisar sendiri terpaksa membatalkan keinginannya menikmati tamasya alam dari puncak Ngo-heng-san. Bagi pelancong biasa saja jangan harap akan dapat mencapai puncak, dan sudah ada beberapa orang nekat dan jumawa, akhirnya lenyap tak meninggalkan bekas ketika mencoba-coba untuk mendaki sampai ke puncak dengan pertolongan tongkat dan tambang. Oleh karena itu, biarpun terkenal indah, keadaan puncak Ngo heng-san selalu sunyi.

   Akan tetapi, bagi orang yang berkepandaian tinggi, tentu saja tidak begitu sukar untuk mendaki sampai ke puncak, maka boleh dibilang bahwa puncak Ngo-heng-san hanya mengenal kaki orang-orang pandai, tak pernah puncak itu diinjak oleh orang-orang biasa. Ahli-ahli silat tinggi, perantau-perantau di dunia kang-ouw dari segala jurusan, apabila berada di daerah ini, pasti takkan melewatkan kesempatan baik itu untuk megunjungi puncak Ngo-heng-san, dengan tiga macam maksud, pertama untuk menikmati keindahan alam, kedua untuk menjajal kepandaian sendiri apakah cukup tinggi untuk menempuh perjalanan yang sukar dan berbahaya itu, ketiga untuk mencari sahabat karena besar kemungkinan mereka akan bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw ternama di puncak itu.

   Pada hari itu bahkan semenjak beberapa hari yang lalu, keadaan di sekitar daerah Pegunungan Ngo-heng-san tidak seperti biasanya. Tidak sunyi sepi seperti biasa, melainkan penuh dengan orang yang mendaki ke puncak. Mereka ini terdiri dari bermacam-macam orang yang mendaki dari kaki bukit sebelah selatan, utara, timur atau dan barat. Akan tetapi, biarpun mereka terdiri dari orang-orang dengan pakaian dan gaya bermacam-macam, ternyata mereka semua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja dilihat dari cara mereka berjalan, dan pula bagaimana orang dapat mendaki ke puncak kalau tidak berkepandaian tinggi?

   Di puncak sudah berkumpul tokoh-tokoh besar yang merupakan pelopor-pelopor daripada pemilihan bengcu baru. Di puncak bukit itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan tempat inilah yang dijadikan tempat pertemuan, tempat pemilihan bengcu. Di situ telah kelihatan kakek-kakek yang sikapnya alim duduk berunding untuk merencanakan cara pemilihan yang akan dilakukan.

   Di antara mereka terdapat Leng Hoat Taisu ketua Thian- san-pai yang bertubuh kecil bongkok kepala botak bermuka merah dan licin tak berkumis. Ketua Thian-san-pai ini datang bersama beberapa belas orang tokoh Thian-san-pai yang terkemuka, yang pada waktu itu mengambil tempat duduk di atas rumput tak jauh dari tempat para pemimpin berkumpul. Juga kelihatan ketua Kun-lun-pai yang sudah berusia delapan puluh tahun, yakni Tam Wi Siansu yang tubuhnya tinggi kurus, sikapnya lemah lembut dan rambutnya yang sudah putih semua itu berkibar terhembus angin gunung yang sejuk. Orang ke tiga yang menjadi tokoh besar dan ketua partai adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong pai juga kakek itu bertubuh tinggi kurus berpakaian seperti tosu dan berjenggot panjang.

   Yang mengherankan tiga orang kakek yang termasuk ciangbunjin (ketua) dari partai-partai besar ini, juga mengherankan semua orang yang hadir di situ, adalah utusan-utusan dari Siau-lim-si, Go-bi-pai, Teng-san-pai, Hong-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar bukan terdiri dari ketuanya sendiri atau setidaknya yang terkemuka, melainkan utusan-utusan ini adalah orang- orang yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi, oleh karena masing masing membawa surat kuasa yang ditulis oleh ketua masing-masing partai mereka ini diakui sebagai wakil dari partai-partai besar itu.

   "Heran sekali, mengapa Kian Hok Taisu dan Pang Soan Tojin tidak datang sendiri?" berkata Tai Wi Siansu Ketua Kun-lun-pai kepada Bu Kek Siansu Ketua Bu-tong-pai. Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggotnya yang panjang, lalu menghela napas.

   "Mungkin keadaan yang buruk dari negara pada dewasa ini, tidak menyalakan semangat dalam dada orang bahkan malah melemahkan dan membuat mereka itu acuh tak acuh lagi. Untuk urusan sebesar ini, mereka tidak datang sendiri, juga tidak mengirimkan orang-orang penting, melainkan mengirim anak murid yang tidak terkenal. Benar-benar pinto juga tidak mengerti mengapa orang-orang seperti Kong Hian Hwesio dan Pek Kong Taijin yang biasanya bersemangat sekarang hanya mengirim anak-anak buah yang masih muda dan tidak ternama."

   Yang dimaksudkan oleh Bu Kek Siansu, yakni Kong Hian Hwesio adalah ketua Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong Tojin adalah Ketua dari Hong-san-pai. Memang tiga tokoh besar yang hadir di puncak itu sekarang merasa kecewa sekali melihat tidak munculnya ciangbunjin dari partai partai besar itu. Mereka kecewa, juga tak enak hati. Pada setiap pertemuan tokoh-tokoh kang-ouw, apalagi dalam menghadapi pemilihan bengcu yang diperebutkan oleh banyak orang seringkali terjadi hal-hal yang gawat, pertempuran- pertempuran yang dahsyat. Tanpa adanya banyak kawan dan tokoh-tokoh besar terkemuka, mereka merasa kurang kuat. Akan tetapi tiba-tiba wajah tiga orang kakek ini berseru gembira dan penuh harapan ketika mereka melihat rombongan orang berjalan mendaki puncak dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.

   "Hwa l Enghiong datang, bagus sekali!" kata Leng Hoat Taisu gembira.

   "Juga Suheng Cam-kauw Sin-kai"

   Memang betul yang datang adalah Go Ciang Le dan isterinya, dan di samping Ciang Le berjalan Si Pengemis Tua yang lihai, yakni Cam-kauw Sin-kai dengan tongkatnya yang tak pernah terpisah dari tangannya. Di sebelah Bi Lan atau isteri Go Ciang Le berjalan seora nona yang berwajah cantik jelita akan tetapi berpakaian sederhana dan berwajah muram. Dia adalah Gak Soan Li murid Go Ciang Le. Adapun orang yang terakhir di belakang Ciang Le adalah seorang tua gagah perkasa yang buntung sebelah tangannya, yakni pendekar perkasa Lie Bu Tek, tokoh besar Hoa-san-pai. Rombongan terdiri dari lima orang ini biarpun kelihatan tenang dan berjalan perlahan, nampak bukan seperti tokoh- tokoh penting, akan tetapi semua orang menengok ke arah mereka.

   Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terutama sekali nama besar Hwa I Enghiong adalah cukup terkenal dan otomatis semua diarahkan kepada punggung Go Ciang Le di mana nampak tersembul gagang pedang yang beronce kuning. Begitu tiba di puncak itu, sepasang mata dari Liang Bi Lan yang masih tetap jernih dan tajam seperti mata burung Hong itu menyapu semua yang hadir, dan nampak kecewa. Nyonya ini mencari puterinya, Go Hui Lian yang ternyata tidak hadir di situ, maka ia merasa kecewa dan gelisah. Kemanakah gerangan perginya bocah nakal itu, pikirnya. Sementara itu, Ciang Le, Lie Bu Tek dan Cam kauw Sin kai sudah sibuk membalas penghormatan atas sambutan para tokoh besar yang didahului oleh Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai.

   "Go-taihiap makin tua makin nampak gagah saja," kata ketua Kun-lun-pai yang mengenal Ciang Le dengan baik.

   "Tai Wi Locianpwe apakah baik-baik saja?" Ciang Le balas menyalam.

   "Apakah semua orang gagah sudah berkumpul di sini?" tanyanya kemudian.

   Mereka bercakap-cakap sebentar, kemudian Ciang Le dan rombongannya mencari tempat duduk di sebelah kiri, Bi Lan dan Soan Li duduk di atas rumput yang kering dan bersih akan tetapi Cam-kauw Sin-kai tidak mempedulikan lagi apakah rumput yang didudukinya kotor atau bersih, basah atau kering. terus saja duduk dan kepalanya menoleh ke kanan kiri matanya menyapu semua yang hadir mencari-cari.

   Rombongan demi rombongan datang memenuhi tempat itu. Makin lama, dalam hati Tai Wi Siansu makin tidak enak. Orang-orang yang datang membanjiri tempat itu sebagian besar adalah orang-orang baru yang tidak dikenalnya. Dan sebagian besar adalah rombongan orang-orang yang tidak begitu penting dalam pemilihan itu.

   Kemudian datang rombongan yang menarik perhatian orang pula. Mereka itu adalah rombongan See-thian Tok-ong yang datang bersama Kwan Ji Nio. Kwan Kok Sun, dan delapan orang laki-laki gagah perkasa yang sikapnya angker sekali. Mereka ini berpakaian seperti guru-guru silat, akan tetapi sesungguhnya mereka ini adalah busu-busu pilihan dari istana kaisar!

   Kedatangan See-thian Tok-ong ini mendatangkan rasa khawatir di dalam hati para tokoh besar. Sudah terlalu tersohor nama See-thian Tok-ong dan sekarang menyaksikan keadaan ayah ibu dan anak itu, mereka makin cemas. Tak salah lagi, tentu Raja Racun dari barat ini, datang membawa maksud yang tidak baik, atau setidaknya tentu akan berusaha merebut kedudukan bengcu.

   See-thian Tok-ong sama sekali tidak mengacuhkan para tokoh besar yang berada di situ, mengambil sikap seolah- olah dia mempunyai kedudukan lebih tinggi. Akan tetapi ketika ia melihat Ciang Le dan rombongannya, ia tersenyum menghampiri pendekar besar itu.

   "Aha, Hwa I Enghiong! Sungguh menyenangkan sekali kita dapat bertemu lagi di tempat ini." Sambil berkata begini matanya menyapu untuk menyelidiki siapa saja kawan- kawan Hwa I Enghiong yang ikut datang. Ketawanya berubah menjadi senyum sindir ketika melihat pendekar besar ini hanya dikawani oleh Lie Bu Tek yang buntung tangannya, Liang Bi Lan, Cam-kauw Sin-kai dan seorang gadis cantik yang berwajah muram.

   "See-thian Tok-ong kau dan anak isterimu datang juga, benar-benar akan ramai keadaan di sini," kata Ciang Le sambil tersenyum tenang, akan tetapi kata katanya ini merupakan teguran setengah menyindir bahwa kedatangan Raja Racun ini tentu akan mengakibatkan keributan saja! See-thian Tok-ong hanya tertawa menyeringai mendengar kata-kata ini, lalu mengundurkan diri ke dalam rombongannya sendiri. Orang-orang yang duduknya jauh dari tempat itu hanya memandang dengan hati berdebar- debar kepada kedua orang tokoh besar itu dan di hati mereka menduga-duga sipakah yang lebih kuat di antara mereka itu. Keduanya adalah tokoh kang-ouw yang jarang keluar dan jarang ada orang menyaksikan kepandaian mereka. Hwa I Enghiong terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang mewakili kebajikan dan keadilan, sebaliknya See-thian Tok ong namanya seperti iblis yang dahsyat dan jahat.

   Tiba-tiba terdengar suara yang amat riuh sehingga hanya gemanya saja yang terdengar. Semua orang kaget karena maklum bahwa ini adalah suaranya orang- orang yang memiliki lweekang tinggi dan yang dapat mengirim suara dari jarak jauh sekali dengan pengumuman Ilmu Coan-im-jib-bit.

   "Tung-nam Thai-beng-cu yang menguasai semua partai orang-orang gagah di dunia selatan dan timur, Liok-bengcu yang gagah perkasa, calon bengcu besar dalam pemilihan hari ini, datang berkunjung ... !!"

   See-thian Tok-ong mengeluarkan suara ketawa ha-ha-hi-hi seperti orang menghadapi hal yang amat lucu, sedangkan Hwa I Enghiong Go Ciang Le mengerutkan alis nampak marah. Melihat sikap dua orang tokoh ini dan rombongan mereka, dapat diduga bahwa dua rombongan ini saja sudah mengenal siapa adanya bengcu itu. Akan tetapi semua orang diam saja, hanya mengarahkan pandang mata ke arah suara tadi.

   Tak lama kemudian, dari bawah puncak merayap naik lima pasukan yang teratur rapi, dengan bendera besar di bagian depan pasukan. Membaca tulisan pada bendera- bendera itu, semua orang dapat mengetahui bahwa rombongan besar itu adalah anggauta dari partai Im-yang- bu-pai, Bu-cin-pang, Kwa-cin-pai. Shansi Kai-pang dan Twa to Bu-pai.

   "Hm, iblis itu sudah mengumpulkan partai-partai jahat untuk menjadi sekutunya," kata Lie Bu Tek perlahan kepada Ciang Le, Pendekar besar ini hanya mengerutkan alis dan tidak berkata apa-apa.

   Setelah lima pasukan yang masing-masing terdiri dari kurang lebih seratus orang ini tiba di kaki puncak, mereka merupakan barisan di kanan kiri jalan bersikap hormat. Terdengar terompet ditiup dan tambur dipukul orang, terdengar amat angker seakan akan orang menghormat munculnya raja besar.

   Kemudian kelihatanlah bengcu yang baru diumumkan, berjalan dengan langkah tegap dan tenang. Pemuda berusia dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, wajahnya tampan dan sepasang matanya bergerak-gerak tanda otaknya selalu bekerja keras dalam setiap saat, kelihatan cerdik dan licik, bibirnya tersenyum-senyum setengah mengejek, jubahnya lebar panjang berwarna kuning bersulamkan benang emas menyerupai lukisan ular naga yang melilit tubuhnya dan kepala dua ekor naga itu tiba di bagian dada yang tengah-tengahnya tergambar mustika bernyala-nyala. Itulah gambar sepasang naga berebut mustika yang disulam secara indah sekali pada jubah itu, membuatnya nampak makin gagah.

   Pemuda ini adalah Liok Kong Ji yang naik ke puncak sambil mengangkat dada, penuh kepercayaan akan diri dan sama sekali tidak gentar biarpun ia sudah tahu bahwa di situ akan berhadapa dengan tokoh-tokoh dunia! Di sampingnya berjalan Giok Seng Cu, kakek tua yang rambutnya panjang riap-riapan. Dengan adanya kakek buruk rupa ini di sampingnya, Liok Kong Ji kelihatan makin tampan dan gagah saja. Di belakang dua orang ini berjalan Sin-houw Lo Bong Mo-kiam Siangkoan Bu, dan dua orang gagah lain, yakni Kwa Seng ketua Kwa to-bu-pai yang berjuluk Twa-to (Si Golok Besar) dan yang ke dua adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek, ketua dari Bu-cin-pai di Keng- sin-bun.

   Kalau kita ingat bahwa putera dari Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang bernama Ma Hoat telah dibikin gila oleh Kong Ji ketika Kong Ji melakukan perjalanan dengan Hui Lian (baca jilid terdahulu), maka dapat dibayangkan betapa lihai dan licinnya Liok Kong Ji sehingga kini ayah dari Ma Hoat dapat menjadi sekutunya. Memang tak seorang pun tahu apa yang telah dilakukan oleh Kong Ji pada malam hari itu di kamar suami isteri Cu terhadap diri Ma Hoat!

   Memang harus dipuji ketabahan hati Kong Ji. Kalau lain orang, melihat Ciang Le berada di situ tentu akan merasa sungkan dan malu. Akan tetapi tidak demikian dengan pemuda ini. Sambil tersenyum ramah ia melangkah ke tengah lapangan, menggerak-gerakkan hudtimnya dengan gaya seorang pemimpin besar, lalu berkata,

   "Cuwi Locianpwe yang berkumpul di sini terlalu banyak sehingga sukarlah bagi siauwte untuk memberi hormat satu persatu. Oleh karena itu, siauwte Liok Kong ji bengcu dari selatan dan timur menghaturkan hormat dari sini saja kepada semua Locianpwe yang hadir." Ta menjura ke empat penjuru, sengaja ditujukan ke arah rombongan See-thian Tok-ong, Go Ciang Le, Tai Wi Siansu lain lain tokoh besar.

   "Siauwte yang muda dan bodoh telah diangkat menjadi bengcu di selatan dan timur, dan sekarang mendengar akan diadakannya pemilihan bengcu baru, para kawan-kawan siauwte mendesak supaya siauwte datang di sini sebagai calon. Oleh karena itu, dengan melupakan kebodohan sendiri, siauwte terpaksa menuruti kehendak kawan-kawan itu."

   Ketika bicara Kong Ji sengaja menghadap ke arah rombongan Ciang Le berada. Dia melihat Bi Lan berbisik kepada suaminya seakan-akan menanyakan sesuatu dan dilihatnya Ciang Le menjawabi isterinya sambil meraba pinggang kiri sendiri. Diam-diam Kong Ji kagum sekali. Melihat gerakan Ciang Le ini otaknya yang cerdik dapat menduga bahwa tadi Liang Bi Lan tentu membicarakan dia dan bertanya kepada suaminya dimana pedang Pak-kek Sin- kiam yang dulu dibawa oleh Kong Ji. Di jawab oleh Ciang Le dengan rabaan tangan ke pinggang kiri bahwa pedang itu disembunyikan di balik jubah. Tentu saja Kong Ji amat kagum dan terkejut akan kelihaian dan ketajaman mata Ciang Le. Memang betul pedang Pak-kek Sin-kiam ia sembunyikan di balik jubahnya tergantung di pinggang kiri. Bagaimana Ciang Le bisa tahu? Akan tetapi Kong Ji tidak kehilangan akal. Ta takut kalau-kalau Hwa T Enghiong Go Ciang Le nanti akan membuka rahasia tentang pedang itu dan akan menuduhnya menuri pedang, maka ia hendak mendahuluinya. Sambil terseyum ia melanjutkan kata- katanya.

   "Cuwi Locianpwe, sudah kukatakan tadi bahwa siauwte adalah seorang muda yang bodoh dan tentu saja tidak terkenal seperti Cuwi Locianpwe yang sudah menduduki tingkat tertinggi di dunia kang-ouw. Oleh karena itu, bukan melupakan kesombongan apabila siauwte memperkenalkan diri. Siauwte Liok Kong Jl tidak mempunyai guru yang sah, akan tetapi siauwte pernah digembleng oleh tokoh-tokoh seperti Suhu Liang Gi Tojin dari Hoa-san, Suhu Giok Seng Cu, Suhu See-thian Tok-ong, dan Suhu Hwa I Enghiong. Selain itu siauwte juga beruntung sekali menjadi ahli waris dari Bu Kek Siansu di puncak Luliang-san. Buktinya inilah!" Kong Ji menggerakkan tangannya, cepat bukan main seperti orang bermain sulap saja dan tahu-tahu sebatang pedang yang gemerlapan saking tajamnya telah berada di tangannya.

   

Memburu Iblis Eps 34 Memburu Iblis Eps 22 Memburu Iblis Eps 25

Cari Blog Ini