Pedang Penakluk Iblis 4
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Sam-wi Locianpwe, oleh karena keselamatan anak ini selalu terancam oleh pihak Im-yang-bu-pai, maka untuk memperkuat pesanan Lie Bu lek Taihiap, teecu mohon dengan hormat sudilah Sam-wi Locianpwe menaruh hati kasihan dan menolong anak ini. Hanya di tempat inilah Sin Hong dapat terhindar dari kekejaman Im-yang-bu-pai."
"Tidak bisa! Kami bukan pengasuh anak-anak!" bentak Luliang Ciangkun dengan suara keras sambil membuka lebar matanya.
"Dengan Im-yang-bu-pai kami tidak ada sangkut paut kami sudah mengasingkan diri dari dunia ramai!" kata Luliang Nungjin.
Liuliang Siucai juga menyambung tenang.
"Kiang-pangcu, kami sudah mencuci tangan dari urusan dunia dan tidak mau terlibat dengan permusuhan dan urusan orang-orang kang-ouw. Menyesal sekali kami tak dapat menerima permintaan Hoa-san-pai atau permintaanmu."
"Sam-wi Locianpwe..., harap Sam-wi tolonglah! Im yang-bu-pai amat jahat dan menjagoi di dunia
(Lanjut ke Jilid 04)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
kang-ouw. Banyak yang sudah menjadi korban keganasan mereka, teecu tidak minta banyak, hanya minta perlindungan dan tempat bagi anak ini...."
"Sekali tidak bisa tetap tidak bisa!" Luliang Ciangkun membentak marah..
"Kalian berdua pergilah!"
Kiang Cun Eng tak dapat menahan kekecewaan hatinya, sampai dua butir air mata menitik turun di atas pipinya. Ia hendak memohon dan membantah lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Hong bangkit berdiri dan menarik bangun Kian Cun Eng sambil berkata keras,
"Pangcu, mengapa begini merendahkan diri seperti pengemis-pengemis kelaparan?" Tidak saja Cun Eng yang terkejut, bahkan tiga orang kakek itu mengerling ke arah Sin Hong. Anak itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan dua tangan terkepal, matanya tertuju ke arah tiga orang kakek itu dengan pandangan marah.
"Kiang-pangcu, Gihu telah menjatuhkan kepercayaan dan harapannya di tempat yang salah dan pada orang-orang yang bukan semestinya. Mencari perlindungan dari orang orang jahat harus datang pada orang-orang bijaksana dan gagah perkasa, bukan pada orang-orang jahat pula!"
Cun Eng menjadi pucat.
"Sst, Sin Hong, jangan kurang ajar!" Luliang Ciangkun menggerakkan tangannya dan dalam sedetik saja leher baju Sin Hong sudah ia pegang dan anak itu kini tergantung pada tangan Panglima Luliang-San, seperti seekor kelinci dipegang pada kedua telinganya.
"Setan cilik, kau bilang apa? Kauanggap kami orang-orang jahat?"
"Locianpwe," kata Sin Hong dengan suara sama sekali tidak takut.
"kalau kau membantingku sekali saja kau dapat membunuhku?"
"Tentu, setan cilik. Sekali banting kaupasti mampus!" kata Luliang Ciangkun marah.
"Nah, kalau terjadi demikian, bukankah kau jahat sekali? Seorang tua gagah menangkap dan membunuh anak kecil." Mendengar ini, lemaslah tangan Luliang Ciangkun dan ia melepaskan Sin Hong.
"Bocah kurang ajar. Lekas kaukatakan mengapa kau anggap kami jahat. Tanpa alasan berarti kaulah yang jahat, menuduh orang sesuka hati."
"Tentu saja teecu mempunyai alasan yang kuat. Locianpwe tidak memandang persahabatan dengan Hoa-san-pai dan tidak mau membantu Kiang-pangcu yang memohon tolong, itu boleh dibilang belum jahat. Akan tetapi, Locianpwe bertiga tahu bahwa Im-yang-bu-pai jahat sekali, akan tetapi berpeluk tangan saja tidak mau membantu mereka yang tertindas. Ada pepatah kuno yang menyatakan bahwa orang yang tidak mau mencegah dilakukannya perbuatan jahat, orang yang melihat seorang penjahat tanpa turun tangan dan membiarkan saja berarti bahwa orang itu membantu penjahat dan dengan sendirinya menjadi penjahat juga. Teecu mendengar bahwa para pendekar perkasa di dunia kangouw siap mengorbankan nyawa sendiri untuk memberantas kejahatan dan menolong orang-orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi Sam-wi Locianpwe tinggal diam saja bahkan menolak permohonan tolong, tentu saja mendatangkan kesan bahwa Sam-wi juga jahat."
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan alis terangkat. Mereka merasa "bohwat" (Tak berdaya membantah) terhadap kata-kata Sin Hong dan kemudian mereka tertawa bergelak.
"Ha, ha, ha, setan cilik ini lihai sekali lidahnya!" kata Luliang Ciangkun.
"Biarkan dia di sini membantu mencangkul sawah!" kata Luliang Nungjin.
"Tidak, kalau dia di sini, berarti kita akan mengundang keributan saja," kata Luliang Siucai yang berpikiran lebih luas.
"biarlah ia tinggal di Jeng-in-thia di puncak, mengurus makam dan membersihkan pondok. Di sana takkan ada orang dapat melihatnya."
"Bagus, begitupun baik. Kita tak usah repot setiap hari membersihkan tempat itu. Biar dia menjadi bujang kecil!"" kata Luliang Ciangkun dan Luliang Nungjin.
"Teecu mohon belajar silat dari Sam-wi Locianpwe!" Sin Hong membantah.
"Untuk apa kalau hanya menjadi bujang? Teecu kelak akan menuntut balas, kalau tidak ada yang memberi pelajdran ilmu silat dan kelak tak dapat menuntut balas, lebih baik sekarang juga musuh-musuh teecu mendapatkan teecu agar tee-cu dapat mengadu nyawa. Apa artinya tinggal di tempat ini kalau tidak diberi pelajaran ilmu silat?"
Kiang Cun Eng merasa gelisah sekali menyaksikan kekebalan dan keberanian Sin Hong, akan tetapi Luliang Ciangkun sambil tertawa bergelak, kembali menangkap leher baju Sin Hong dan membawanya berlari seperti terbang menuju ke puncak.
"Belajar silat? Lihat dulu sampai di mana kemampuanmu!" kata Panglima dari Luliang-san ini.
"Pangcu, sekarang lebih baik kau lekas lekas pergi dari sini dan jangan kau memberi tahu kepada siapapun juga bahwa anak itu berada di sini," kata Luliang Siucai. Kiang Cun Eng berlutut dan menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi ia teringat akan anak itu dan setelah melakukan perjalanan dengan Sin Hong, ia merasa sayang dan suka kepadanya.
"Locianpwe, anak itu mempunyai penasaran besar, maka teecu mohon kemurahan hati Sam-wi Locianpwe untuk memberi bimbingan kepadanya," katanya.
"Bodoh!" Luliang Nungjin membentak.
"Anak itu sudah berada di sini, kalau ia menjadi orang bodoh kelak, apakah kami tidak akan malu?" Bukan main girangnya hati Cun Eng mendengar ini, ia menghaturkan terima kasihnya lagi, lalu cepat-cepat turun dari lereng Gunung Luliang-san.
Sin Hong adalah anak yang jujur, tabah dan mempunyai banyak sifat sifat baik. Ia juga amat cerdik dan tahu bahwa biarpun tiga orang kakek Luliang-san itu wataknya aneh, namun mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu, setelah ia dibawa oleh Luliang Ciangkun ke Jeng-in-thia (Ruang awan hijau), ia tidak memperlihatkan sikap melawan lagi, bahkan tanpa diperintah lagi ia lalu bekerja, membersihkan ruangan yang berupa pondok sederhana itu. Juga ia merasa amat hormat kepada dua buah makam tua yang berada di depan pondok. Ia tidak tahu makam siapakah itu, akan tetapi ia merawat kedua makam itu, mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam dan menanam bunga-bunga yang indah.
Setelah membawa dia ke puncak, Luliang Ciangkun lalu meninggalkannya tanpa pesanan sesuatu. Akan tetapi Sin Hong tidak merasa takut ditinggalkan seorang diri di puncak. Biarpun ia tidak diberi makan dan tidak diberi tahu ke mana harus mencari makan, anak ini mempergunakan akalnya sendiri. Ia mencari dan mendapatkan pohon-pohon berbuah di puncak itu dan ia dapat mencari makannya sendiri, sungguhpun hanya berupa buah-buahan belaka.
Setelah sepekan lebih tinggal di Jeng-in-thia, Sin Hong merasa heran dan juga girang sekali. Entah mengapa, biarpun hanya makan buah-buahan. la tidak merasa perutnya lapar dan perih, bahkan ia merasa tubuhnya sehat dan selalu segar. Tentu saja ta tidak tahu bahwa pohon-pohon berbuah yang berada di puncak itu adalah tanaman dari mendiang Pak Kek Siansu yang menanam buah-buahan yang amat besar khasiatnya bagi kesehatan tubuh. Juga hawa di puncak itu bersih serta baik sekali, maka anak ini merasa semangatnya terbangun dan tubuhnya tak pernah terasa lesu.
Saking gembira berada di tempat aman dan menyenangkan, Sin Hong setiap hari melatih ilmu silatnya yang empat tahun lamanya ia pelajari di Hoa-san. Tidak lupa setiap pagi, sambil menghadapi cahaya matahari, ia bersilat di Jeng-in-thin, di atas tanah datar yang bersih dan sepenuhnya menerima cahaya matahari. Di belakangnya menjulang tinggi batu karang, dan di sebelah kanannya terdapat jurang yang amat curam dan dalam. Di sebelah kirinya terdapat dua makam yang berhadapan di belakang makam-makam itu adalah pondok bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu yang kini ia jadikan tempat bermalam. Kalau sudah berlatih silat, Sin Hong lupa waktu. Baru ia berhenti setelah sinar matahari membakar kulitnya sehingga peluhnya memenuhi seluruh tubuh serta membuat pakaiannya basah semua. Biasanya, sudah dekat tengah hari baru ia berhenti dan merasa lapar lalu makan buah-buah yang mudah didapat di puncak itu. Oleh karena ini, Sin Hong tak pernah merasa sunyi dan bosan, bahkan ilmu silatnya dari Hoasan-pai maju pesat sekali.
Sebulan kemudian, pada suatu hari Sin Hong asyik bersilat di tempat biasa, yakni di pinggir jurang. Matahari sudah naik tinggi sehingga bayangannya menjadi pendek. Saking asyiknya ia tidak tahu bahwa sejak tadi tiga orang kakek Luliang-san tengah memandang ke arahnya dengan kagum. Setelah Sin Hong berhenti bersilat dan duduk bersila sambil mengatur pernapasan sebagaimana diajarkan oleh mendiang Liang Gi Tojin kepadanya, barulah tiga orang kakek Luliangsan itu bertindak menghampirinya. Melihat mereka, Sin Hong segera menjatuhkan diri berlutut.
"Sam-wi Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas kebaikan budi Sam-wi membolehkan teecu tingggal di sini. Teecu merasa seperti tinggal di dalam sorga."
"Bocah gendeng, apakah kau pernah melihat sorga?" Luliang Ciangkun mencela, akan tetapi kini kakek ini tidak marah lagi, bahkan matanya memandang dengan penuh rasa suka kepada Sin Hong. Memang, tiga orang kakek itu merasa suka sekali kepada Sin Hong. Hal ini tidak mengherankan karena tadi pagi-pagi benar mereka sengaja naik untuk melihat anak yang mereka perbolehkan tinggal di puncak sampai sebulan lamanya.
Hal pertama-tama yang menyambut mereka adalah pemandangan indah di sekitar pondok. Apalagi di depan pondok di mana terdapat dua makam, terjadi perubahan istimewa. Rumput-rumput liar dan alang-alang telah dilenyapkan dan sebagai gantinya, di situ tertanam bunga-bunga yang mulai mekar. Juga batu-batu putih dikumpulkan dan diatur di sepanjang pingir lorong dan pondok ke makam sehingga merupakan jalan kecil yang amat manis dan indah. Ketika mereka mendekat, makam-makam itu sendiri amat bersih dan terpelihara. Demikian pula pondok kecil bekas tempat tinggal suhu mereka itu terawat baik-baik dan amat bersihnya.
"Hm, benar-benar tidak rugi membolehkan anak itu tinggal di sini," kata Luliang Ciangkun.
"Bukan tidak rugi, malah menguntungkan. Memang anak itu tahu diri dan berbakat baik," kata Luliang Nungjin.
"Akan tetapi di manakah dia? Mengapa tidak kelihatan? Di dalam pondok pun tidak ada," kata Luliang
Kemudian mereka mencari dan kemudian mereka melihat anak itu sedang berlatih silat di dekat jurang. Diam-diam tiga orang kakek itu melihat dan memuji bahwa anak itu memang memiliki bakat yang amat baik. Ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan tidak ada yang tercela, bahkan gerakan-gerakannya mengandung dasar yang amat kuat.
"Hm, tidak percuma anak itu menerima latihan dari mendiang Liang Gi Tojin sendiri. Di antara murid-murid Hoasan-pai, boleh dibilang tidak ada yang sebaik dia bakatnya. Biarpun kembangan-kembangan ilmu silat Hoa-san-pai masih belum dikuasai sepenuhnya, akan tetapi gerakan kaki tangannya sudah mempunyai dasar yang amat kuat," kata Luliang Ciangkun yang memang amat suka melihat tunas baik.
"Kalau diberi pelajaran, anak itu tentu dapat menerima dengan amat mudah dan baik," kata Luliang Nungjin perlahan sambil menonton terus.
"Aku memang hendak memberi pelajaran satu dua ilmu pukulan padanya, hitung-hitung untuk upahnya merawat tempat ini," kata Luliang Ciangkun gembira.
"Aaah... apakah kiranya dia ini yang berjodoh dengan Suhu?" kata Luliang Siucai perlahan. Dua orang saudara seperguruannya tertegun mendengar ini dan mereka saling pandang penuh arti.
"Siapa tahu...." kata Petani Luliang-san.
"Betapapun juga, biarkan Suhu sendiri memberi keputusan. Kalau memang ia berjodoh, seperti pesan Suhu, tentu ia akan bisa mendapatkan pusaka peninggalan Suhu." kata Luliang Ciangkun.
Tiga orang kakek ini menonton terus. sampai anak itu berhenti berlatih kelelahan. Diam-diam mereka kagum sekali melihat betapa anak itu berlatih dengan penuh ketekunan dari pagi sampai hampir tengah hari. Jarang terdapat seorang anak kccil berlatih ilmu silat seorang diri tanpa ada yang memberi bimbingan dengan demikian rajin. Apalagi kalau mendapat bimbingan guru pandai!
"Sin Hong, suka benarkah kau belajar ilmu silat?" tanya Luliang Ciangkun.
Dengan wajah berseri girang Sin Hong yang masih berlutut mengangkat kepalanya.
"Tentu saja, locianpwe. Teecu akan belajar dengan giat dan rajin dan teecu berjanji kelak akan menjunjung tinggi semua perintah dan nasihat serta pelajaran Sam-wi Locianpwe dengan sumpah bahwa teecu akan mampus sebagai seorang rendah kalau teecu melanggarnya, asal saja Sam-wi Locianpwe sudi memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh."
"Hm, hm, kau mudah sekali bersumpah dan berjanji. Akan tetapi, tidak apa, kaulah sendiri yang bersumpah, bukan kami yang minta. Memang kami bermaksud memberi pelajaran kepadamu, karena kau sudah berada di sini."
"Samwi Suhu yang mulia, teecu memberi hormat!" kata Sin Hong sambil berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali sebagai tanda pengangkatan guru.
"Eh, eh, nanti dulu. Kau boleh belajar ilmu silat, akan tetapi kau harus menganggap kami sebagai saudara-saudara seperguruan!" kata Luliang Ciangkun. Sin Hong mengangkat muka memandang heran. Luliang Siucai memberi penjelasan,.
"Jangan kau heran atas ucapan Suheng tadi, Sin Hong. Ketahuilah bahwa kami bertiga memang tidak berhak mengangkat murid. Hanya mendiang Suhu yang berhak mengambil murid, kami tidak! Oleh karena kau sudah berada di sini dan merawat makam Suhu, kau boleh dianggap sebagai murid Luliang-san dan berhak pula mempelajari dasar ilmu silat kami. Akan tetapi, kau boleh menganggap sebagai murid bungsu dari mendiang Suhu Pak Kek Siansu, sedangkan kami hanya Suheng-suhengmu yang memberi bimbingan mewakili Suhu yang sudah tidak ada lagi. Nah, kalau hendak berjanji, berjanjilah di depan makam Suhu."
Sin Hong melirik ke arah dua makam di depan pondok.
"Yang manakah makam Suhu? Dan makam yang satu lagi, makam siapakah?"
Luliang Siucai menarik napas panjang.
"Kau agaknya memang berjodoh untuk tinggal di sini dan mengetahui semua. Ketahuilah, yang berada di sebelah kanan itu adalah makam Suhu Pak Kek Siansu, adapun yang di sebelah kiri adalah makam Pak Hong Siansu, yakni Susiok (Paman Guru) kita. Suhu dan Susiok saling serang dan saling bunuh di tempat ini." Kemudian dengan singkat Luliang Siucai menceritakan peristiwa yang dahulu terjadi (Baca Pendekar Budiman) yakni tentang Pak Hong Siansu yang menyerbu ke Luliang-san dan bertemu dengan Pak Kek Siansu sehingga keduanya mengalami kebinasaan.
"Susiok telah menempuh jalan sesat. Suhu takkan dapat dikalahkannya kalau saja Susiok tidak berlaku curang. Dan sampai sekarang, dari pihak Susiok masih saja terdapat ancaman, yakni muridnya yang bernama Giok Seng Cu. Tahukah kau siapa Giok Seng Cu? Bukan lain adalah ketua dari Im-yang-bu-pai yang sekarang, yang sudah menghancurkan Hoa-san-pai."
Pucat wajah Sin Hong mendengar Kalau begitu, musuh besarnya yang membunuh Liang Gi Toon adalah anak buah dari Giok Seng Cu yang menurut hubungan sekarang masih terhitung saudara seperguruan dengan dia!
"Giok Seng Cu yang kini menjadi ketua Im-yang-bu-pai amat lihai, karena dia telah mewarisi kepandaian Susiok Pak Hong Siansu. Akan tetapi biarpun ia tersesat seperti gurunya, kita harus memandang muka Suhu dan jangan bermusuhan dengan dia. Oleh karena itulah kami juga tidak mau turun gunung untuk memperbesar permusuhan yang mula-mula terjadi antara Suhu dan Susiok. Amat tidak pantas permusuhan antara keluarga sendiri diperbesar," kata Luliang Siu-cai.
"Teecu dapat inengerti ucapan dan pendirian Sam-wi Suhu. Teecu berjanji akan mentaati dan takkan mencari permusuhan dengan Im-yang-bu-pai, kecuali kalau mereka yang mulai terlebih dahulu. Adapun tentang sakit hati Hoa-sanpai, hanya akan teecu balas kepada mereka yang bersangkutan, yakni Than te Siang-tung Kwa Siang dan Siang-mo-Thian Lai Tek, juga Siang-pian Giam-ong Ma Ek," kata Sin Hong.
Mendengar kata-kata ini, tiga orang kakek itu menjadi girang sekali. Tak mereka duga bahwa biarpun masih kecil, Sin Hong ternyata memiliki pemandangan luas dan pertimbangan yang matang. Demikianlah, sejak hari itu, Sin Hong menerima latihan dan gemblengan ilmu silat dari Luliang Sam-lojin. Dasar anak ini memiliki kecerdikan otak yang luar biasa, maka biarpun ia menerima latihan dan tiga orang, akan tetapi karena tiga orang ini memang memiliki kepandaian dan sumber yang sama, ia dapat menerima dengan baik. Dasar ilmu silat Luliang-san yang diciptakan oleh Pak Kek Siansu telah dipelajarinya dan dengan amat girang anak ini mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang baru ini jauh lebih hebat deripada ilmu silat Hoa-sanpai yang pernah dipelajarinya. Kini kerajinannya makin menghebat. Tidak hanya di waktu pagi ia berlatih, bahkan setiap saat kalau ia sudah selesai mengerjakan tugasnya merawat tempat itu, ia berlatih ilmu silat. Tidak jarang di waktu malam gelap ia berlatih ilmu silat seorang diri.
Tiga orang kakek itu secara bergiliran naik ke puncak dan setelah memberi petunjuk serta melihat anak itu berlatih, mereka turun lagi. Tidak pernah mereka bermalam di puncak dan meninggalkan anak itu berlatih seorang diri.
Setahun berjalan dengan amat cepatnya dan kini kepandaian Sin Hong sudah maju pesat. Selain dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Luliang-san, juga Sin Hong dalam waktu setahun itu menerima pelajaran istimewa dari ketiga suhengnya. Dari Luliang Nungjin ia menerima latihan ilmu menimpuk dengan "senjata rahasia" yang aneh, yakni tanah lempung yang menempel di kakinya, sudah cukup tangguh untuk menghadapi lawannya. Biarpun hanya tanah lempung, akan tetapi kalau sudah ia pergunakan sebagai senjata rahasia, kehebatannya sama dengan pelor besi. Sin Hong melatih diri dengan ilmu menimpuk ini dan karena tenaga lwekangnya memang belum hebat, tentu saja ia tidak dapat meniru Luliang Nungjin yang mampu menembus kulit dan daging lawan dengan tanah lempungnya! Sin Hong sebaliknya melatih diri menimpuk dengan jitu ke arah jalan darah-jalan darah dari tubuh lawan sehingga biarpun "pelor lumpur" di tangannya takkan menembusi kulit lawan, namun dapat dipergunakan untuk menimpuk jalan darah"
Dari Luliang Ciangkun, ta menerima latihan ilmu silat pedang dan untuk latihan ini, Sin Hong mempergunakan sebaang ranting pohon sebagaimana disuruh oleh suhengnya itu. Ia mempelajari Ilmu Pedang Soan Hong-kiam hoat (Ilmu Pedang angin Puyuh) dan kini mengertilah Sin long mengapa Panglima Gunung Luliang demikian hebat kalau main pedang karena pedangnya itu mengeluarkan angin berputar-putar yang dahsyat sekali. Ia ahu bahwa kalau ia sudah mahir mengatur tenaga lweekang dan gwakang (halus dan kasar), ia pun akan dapat main pedang sehebat suhengnya.
Sebaliknya, Luliang Siucai memberi pelajaran ilmu silat yang berdasarkan huuf-huruf tulisan indah! Biarpun pelajaran ini kelihatannya lucu namun justeru pelajaran inilah yang akan membuat Sin Hong cepat maju. Sasterawan Gunung Luliang itu memberi tahu bahwa gerakan ilmu silat mempunyai keselarasan dengan gerakan menulis huruf. Sebagai contohnya sasterawan tua ini dengan ke dua tangannya menuliskan huruf-huruf pertama dari ayat kitab Tiong Yong (Sebuah di antara Empat pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu).
Thian Beng Ci Wi Seng
Siu Seng Ci Wi To
Siu To Ci Wi Kouw
Dalam gerakan menuliskan huruf-huruf ini yang dilakukan amat indah, kaki tangan Luliang Siucai teratur rapi sehingga merupakan gerakan ilmu silat yang luar biasa. Coretan-coretan diganti dengan pukulan atau tangkisan, coretan pertama dilakukan dengan tangan kiri sedangkan coretan berikutnya dengan tangan kanan. Kedudukan kaki disesuaikan dengan huruf yang sedang ditulisnya. Misalnya menulis huruf pertama yang berbunyi "Thian", kuda-kuda kaki dipentang, tubuh tegak tangan kiri melakukan pukulan rata dengan kepala sedangkan tangan kanan menyusul pukulan sebatas pundak.
Demikian pula dengan gerakan selanjutnya, menurutkan sifat coretan dari huruf yang dituliskan dengan gerakan silat. Pelajaran ini amat menarik hati Sin Hong, karena di waktu dahulu ia memang pernah mempelajari dan membaca kitab Tiong Yong. Oleh karena ia sudah hafal akan bunyi ayat-ayat di dalam kitab Tiong Yong, maka lebih mudah baginya untuk mempelajari ilmu pukulan ini. Teringat akan coretan hurufnya saja memudahkan dia untuk mengingat gerakan silatnya. Ia pun tahu akan maksud ayat pertama tadi yang artinya kurang lebih seperti berikut,
Karunia Tuhan adalah Watak Aseli.
Selaras dengan Watak Aseli
disebut Jalan Kebenaran
Mencari Jalan Kebenaran disebut Pelajaran.
Anak yang amat cerdik ini setelah menerima pelajaran ilmu silat berdasarkan huruf-huruf indah ini, diam-diam mengerti bahwa kalau ia sudah mahir dalam ilmu silat tinggi, tentu ia dapat menggubah ilmu silat sendiri berdasarkan huruf-huruf lain. Tentu saja ia harus mencari ayat atau sajak yang kiranya takkan dikenal oleh orang lain, karena kalau sekali saja lawan mengenaI barisan sajak atau huruf-huruf yang dimainkan sebagai ilmu tentu gerakan-gerakannya sudah diketahui lebih dulu oleh lawan!
Tiga orang kakek Luliangsan itu, ketika melihat betapa cerdik dan luar biasa adanya "sute" mereka, diam-diam merasa makin kagum dan girang sekali. Mereka hampir yakin bahwa inilah orang atau anak yang dimaksudkan oleh suhu mereka dalam pesanannya, agaknya anak inilah yang patut menerima warisan ilmu silat dan pedang dan Pak Kek Siansu. Akan tetapi, sesuai dengan pesanan suhu mereka, mereka tidak berani membuka rahasia. Hanya mereka telah memberi jalan kepada Sin Hong, yakni dengan memberi tahu kepada anak itu bahwa anak itu kini boleh mencari tahu keadaan di puncak, boleh melihat dan membuka apa saja, bahkan kalau anak itu mendapatkan sesuatu, yang didapatkan itu boleh menjadi milik dan haknya.
Tentu saja biarpun amat cerdik, Sin Hong sama sekali tak pernah menduga bahwa tiga orang "suheng" itu menyindirkan sesuatu. Anak ini sudah merasa amat puas karena dapat belajar ilmu silat tinggi, hanya satu hal yang membuat hatinya penasaran, yakni tentang Inti Ilmu SIlat Pak-kek Sin-ciang. Menurut tiga orang suhengnya, ilmu silat ini turunan dari Pak Kek Siansu. Akan tetapi, tiga orang kakek itu hanya baru mempelajari tiga bagian saja dan Pak-kek- Sin-ciang, bahkan menurut mereka Hwa I Enghiong Go Ciang Le yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka pun baru menerima enam bagian saja dari Pak-kek Sin-ciang!
"Bagaimana siauwte dapat mempelajari Pak kek Sin-ciang?" tanya Sin Hong. Tiga orang suhengnya saling pandang.
"Kiranya hanya Sute Go Ciang Le yang dapat mengajarkannya kepadamu," kata Luliang Siucai.
"Akan tetapi Suheng Go Ciang Le hanya memiliki enam bagian. Bagaimana caranya kalau siauwte ingin mempelajari Pak -kek Sin-ciang sampai sempurna dan lengkap?" mendesak anak itu.
Luliang Siucal menarik napas panjang. Ia maklum bahwa untuk dapat mempelajari ilmu itu selengkapnya, harus mendapatkan kitab yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh suhunya, pula dengan bantuan kitab itu pun belum tentu orang dapat mempelajari selengkapnya karena Ilmu Silat Pak- kek Sin-ciang bukan sembarang ilmu. Amat sukar dan membutuhkan ketekunan luar biasa.
"Hanya mendiang Suhu yang mempunyai ilmu itu selengkapnya. Pada masa ini tidak ada seorang pun di dunia yang dapat memainkan Pak-kek Sin-ciang," kata Luliang Siucay.
"Suheng, kalau begitu, selain mendiang Suhu, apakah tidak ada orang lain yang lihai sekali seperti Suhu kepandaiannya?" tanya Sin Hong. Luliang Ciangkun tertawa, demikian Luliang Nungjin dan Luliang Siucay.
"Jangan melantur!" kata Panglima Luliang san.
"Gunung Thai-san yang tersohor tinggi pun, tak berani menganggap diri sendiri paling karena di atasnya masih ada awan. Di atas awan masih ada bulan, di atas bulan masih ada matahari dan bintang. Tentu saja ada banyak sekali orang-orang lihai yang kepandaiannya setingkat dengan Suhu akan tetapi karena kami sudah lama tidak turun gunung, kami tidak tahu lagi si-apakah jago-jago ternama di waktu ini."
"Menurut pendapatku, kiranya tidak ada lagi locianpwe yang kepandaiannya setingkat dengan Suhu," kata Luliang Siucay.
"kalau pun ada, tentu dia sudah tua atau sudah mati. Di antara jago-jago sekarang, kiranya sukar mencari tandingan seperti Sute Go Ciang Le."
Sin Hong menjadi makin kagum. Kalau Suhengnya, Go Ciang Le yang baru mempelajari enam bagian dari Pak-kek Sin-ciang sudah dapat menjagoi dunia, apalagi kalau sudah mempelajari ilmu silat itu sepenuhnya!
"Bagaimana dengan kepandaian Ba Mau Hoatsu?" tanyanya tiba-tiba.
Luliang Siucai mengerutkan alisnya.
"Hm, kau teringat akan musuh besarmu? Kepandaian Ba Mau Hoatsu amat tinggi, kiranya tidak kalah oleh kepandaian Giok Sang Cu ketua Im-yang-bu-pai. Akan tetapi dibandingkan dengan kepandaian Go sute, ia tentu masih kalah."
"Bicara tentang Go-sute, mengapa sudah tiga tahun lebih dia tidak datang ke Luliang-san?" tanya Luliang Nungjin dengan suara kecewa dan menyesal. Tiba-tiba terdengar suara keras sekali dan sekaligus percakapan itu berhenti. Semua orang memasang telinga baik-baik. Suara itu terulang lagi dan kini terdengar lapat-lapat suara orang berteriak,
"Luliang Sam-lojin...! Keluarlah menemui kami...!"
"Ada orang naik Luliang-san!" Pang-lima Luliang-san berkata sambil mengerutkan ails.
"Sin Hong, kau jangan pergi ke mana-mana. Kiranya bukan orang baik yang berani naik ke sini!" Ia lalu berkelebat dan lenyap dan diikuti oleh dua orang sutenya yang turun dari puncak sambil mengerahkan ilmu lari cepat mereka. Sin Hong berdiri dengan bengong, hatinya berdebar. Siapakah mereka yang datang ke gunung ini? Ia merasa menyesal sekali bahwa kepandaiannya masih jauh daripada sempurna, sehingga ia tidak dapat membantu tiga orang suhengnya untuk bersiap sedia, kalau-kalau yang datang adalah pihak musuh.
Luliang Sam-lojin yang herlari cepat, seperti terbang menuruni puncak Jeng-in-thia, sudah maklum bahwa yang datang adalah orang berkepandaian tinggi. Baru suara yang dapat dikirim dari lereng sampai terdengar ke puncak itu saja sudah menyatakan betapa tingginya Ilmu Coan im-jip-bit (Mengirim Suara dari Tempat Jauh) dari orang itu.
"Ji-sute dan Sam-sute, hati-hatilah. Kurasa kedatangan mereka bukan mengandung maksud baik," kata Luliang Ciangkun. Ketika mereka telah tiba di lereng, mereka melihat dua orang kakek berdiri tegak.
"Hm, sudah kuduga, tentu dia yang datang," kata Luliang Ciangkun perlahan.
"Benar, Giok Seng Cu datang tentu tak mengandung maksud baik. Apalagi dia datang dengan Ba Mau Hoatsu!" kata Luliang Siucai.
"Celaka," kata Luliang Nungjin.
"Jangan-jangan Ba Mau Hoatsu sudah tahu bahwa putera Wanyen Kan berada di sini."
"Kita harus membelanya mata-matian!" kata Luliang Ciangkun yang sudah merasa sayang sekali kepada Sin Hong. Dua orang sutenya menyatakan setuju. Mereka kini telah berhadapan dengan dua orang kakek itu yang bukan lain adalah Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai dan Ba Mau Hoatsu seorang hwesio tinggi besar, tokoh Tibet yang kenamaan.
Karena tidak ada hubungan sesuatu dengan Ba Mau Hoatsu, ketiga Luliang Sam lojin tidak memperdulikannya akan tetapi Luliang Ciangkun menegur Giok Seng Cu yang bagaimanapun juga masih sutenya sendiri, yakni murid dari Pak Hong Siansu, paman gurunya.
"Giok Seng Cu sute, tidak sari-sarinya kau datang ke Luliang-san, tidak tahu ada keperluan apakah?" Sambil berkata demikian Luliang Ciangkun dan dua orang saudaranya memandang kepada Giok Seng Cu dengan penuh keheranan. Alangkah besar perubatan pada diri murid Pak Hong Siansu ini setelah menjadi ketua lm-yang-bu-pai. Wajahnya jadi amat menyeramkan dengan rambutnya yang panjang, seperti seorang iblis saja.
Giok Seng Cu tertawa bergelak dan dari suara ketawa ini timbul getaran yang hebat, tanda bahwa kakek ketua lm-yang -bu-pai ini sekarang telah memiliki khikang yang jauh lebih tinggi daripada dahulu.
"Ha, ha, ha! Luliang Sam-lojin, apa-apaan kau menyebutku Sute? Gurumu dan Guruku sudah bermusuhan, tidak ada alasannya mengapa kita masih ada ikatan saudara seperguruan lagi."
Luliang Ciangkun mendongkol sekali, akan tetapi ia menahan sabar.
"Baiklah, sesukamu Giok Seng Cu. Akan tetapi ketahuilah bahwa biarpun dari pihakmu ada perasaan bermusuh, dari pihak kami tidak ada perasaan seburuk itu. Sekarang katakan, apakah maksud kedatanganmu dan mengapa pula Ba Mau Hoatsu ikut datang ke tempat ini? Kami sudah lama mencuci tangan dan tidak mau berhubungan dengan dunia ramai, oleh karena itu kami harap kalian suka pergi dan jangan mengganggu kami lagi."
Ba Mau Hoatsu mengeluarkan suara di hidung bernada mengejek sekali.
"Aha, benar-benar Luliang Sam-lojin bukan merupakan tuan rumah yang ramah tamah,", katanya menyindir. Adapun Giok Seng Cu yang mendengar pengusiran ini, menjadi marah dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi makin melotot.
"Luliang Ciangkun, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Aku sengaja datang untuk menengok makam Guruku, apakah engkau berani melarangku?"
Kata kata ini disusul oleh suara ketawa mengejek dari Ba Mau Hoatsu sedangkan Luliang Sam-lojin itu saling pandang dengan tak berdaya. Alasan yang diambil oleh Glok Seng Cu memang tepat dan mereka bertiga merasa tidak enak hati untuk melarang orang ini naik ke puncak menengok makam suhunya yang memang berada di dalam ruang puncak Jeng-in-thia.
Pada saat itu, terdengar suara orang berkata dari bawah.
"Aha, di atas sudah ramai kiranya""
Semua orang memandang dan ketiga Luliang Sam-lojin tertegun ketika mereka melihat tiga orang kakek berlari naik dengan kecepatan seperti terhang saja. Setelah tiga orang itu dekat mereka mengenal bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan ciang-bu-jin (ketua) dari partai-partai besar. Orang pertama adalah seorang tosu berjenggot panjang yang tubuhnya tinggi kurus dan dia ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu ketua dari Bu-tong-pai. Orang ke dua adalah seorang hwesio gundul, yakni Kian Hok Taisu ketua dari Go-bi-pai, sedangkan orang ke tiga adalah tosu jenggot pendek bertubuh gemuk yang terkenal sebagai ketua Teng-san-pai bernama Pang Soan rojin.
Luliang Sam-lojin benar-benar kaget sekali mehhat kedatangan tiga orang ketua partai-partai besar karena mereka tahu bahwa mereka adalah ketua-ketua partai yang berkepandaian tinggi dan yang jarang sekali mau meninggalkan gunung apabila tidak menghadapi urusan besar. Ada keperluan apakah gerangan maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan itu turun dari pertapaan dan datang ke Luliang-san?
Juga wajah Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu berubah ketika mereka lihat orang-orang yang baru datang. Juga mereka ini masih belum tahu apakah gerangan maksud kedatangan tiga orang ketua partai persilatan yang kepandaiannya tak boleh dipandang ringan ini.
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Luliang Sam-lojin, kebetulan sekali Sam-wi berada di sini. Semoga semua sehat-sehat saja selama ini," kata Bu Kek Siansu sambil menjura, diikuti oleh dua orang yang lain. Tiga orang kakek Luliang-san itu membalas penghormatan mereka, lalu Luliang Ciangkun bcrtanya,
"Sungguh kunjungan dari tamu-tamu agung yang tak terduga dulu oleh kami. Para ciangbujin dan Bu-tong, Gobi, dan Teng-san datang memberi penghormatan yang besar, tidak tahu apakah yang dapat kami lakukan untuk Sam wi yang terhormat"
Bu Kek Siansu dengan muka merah menjawab gagap, pinto (aku)... pinto hanya ingin melihat dan menikmati keindahan puncak Luliang-san yang tersohor!"
"Pinceng (Aku)... ingin menyaksikan makam dari Pak Kek Siansu yang mulia," kata Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai dan seperti juga Bu Kek Siansu, jawabannya ragu-ragu dan gugup serta mukanya merah.
Ketiga kakek Luliang-san yang benar-benar tidak dapat menduga apakah gerangan maksud kedatangan mereka semua, menjadi main heran dan mereka kini memandang kepada orang ke tiga, yakni Pang Soon Tojin, mengharapkan jawaban yang lebih terus terang dan jujur. Pendeta ketua Teng-san-pai ini terkenal sebagai seorang kasar yang jujur sekali, akan tetapi pada saat itu ia pun agaknya merasa ragu-ragu untuk berterus terang, maka jawabnya,
"Maksud kedatangan pinto". hemm, agaknya tidak jauh bedanya dengan maksud kedatangan ketua lm-yang bu-pai!" Sambil berkata demikian, ia memandang kepada Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu.
Giok Seng Cu menjadi marah.
"Kau... pemakan rumput dan Teng-san-pai, apakah hubungan Im yang-bu-pai dengan Teng-san-pai? Aku datang untuk menengok makan guruku, tak seorang pun di dunia ini boleh melarangku! Akan tetapi kau... tentu mempunyai maksud tertentu yang tidak baik" Setelah berkata demikian, Giok Seng Cu lalu berlari cepat menuju ke puncak gunung.
Luliang Sam lojin saling pandang dan Luliang Ciangkun menghela napas.
"Dia berkata benar. Kami tak dapat melararig seorang murid mengunjungi makam Suhunya. Akan tetapi untuk orang lain, menyesal sekali kami tidak membolehkan naik ke puncak. Harap Cuwi suka kembali saja dan membatalkan niat Cuwi mengganggu ketentraman Puncak Luliangsan."
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba dari bawah naik pula serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah tokoh-tokoh dan Siauw-lim, Khongtong-pai, Thian-san-pai, dan Kun lun-pai! Bahkan ada pula beberapa orang gagah dan dunia kung-ouw seakan-akan mereka naik ke Luliang san untuk memenuhi undangan pesta" Melihat mereka tiba-tiba Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak sampai perutnya yang gendut itu tergoyang-goyang.
"Ha, ha, ha, Luliang Sam-lojin. Karena semua orang sudah datang lebih baik aku terus terang saja. Aku yakin bahwa mereka semua ini naik untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek Siansu, yakni pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam, kitab rahasia Pak-kek Sin-ciang!"
Tiga orang murid Pak Kek Siansu berubah air mukanya. Bagaimana rahasia ini dapat bocor dan diketahui orang-orang gagah di dunia? Kemudian mereka teringat kepada Giok Seng Cu. Ah, tentu Giok Seng Cu telah mendengar dari Pak Hong Siansu dan orang itu secara sembrono telah membuka mulut sehingga semua orang mengetahuinya dan kini, mereka berbondong-bondong datang untuk mencari pusaka itu. Luliang Ciangkun dan dua orang sutenya maklum pusaka itu memang tak ternilai harganya bagi ahli silat. Siapa yang memilikinya akan menjagoi di dunia kang-ouw!
"Bohong belaka berita itu!" kata Luliang Ciangkun.
"Tidak ada apa-apa di sini dan terus terang saja, kami sendiri pun tidak tahu apakah betul-betul ada -pusaka itu. Kalaupun ada, bukan diperuntukkan seorang di antara Cuwi, bahkan kami sendiri tidak melihatnya."
"Berani kau bersumpah bahwa pusaka itu tidak berada di tanganmu?" tanya seorang pendatang baru, murid Kun-lunpai.
Luliang Ciangkun memandangnya dengan mata mendelik.
"Aku tidak biasa bersumpah, juga tidak biasa membohong" Mungkin Suhu meninggalkan pusaka, akan tetapi bukan untuk kami, juga bukan kau atau siapa saja" Pendeknya, kami melarang siapapun juga naik ke puncak mengotorkan tempat peristirahatan Suhu" Sambil berkata demikian, Luliang Ciangkun menghunus pedangnya, Luliang Nungjin siap dengan paculnya dan Luliang Siucai telah mengeluarkan senjatanya yang berupa alat tulis (pit).
Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak ia telah mememegang sepasang senjata roda yang menyeramkan. Pendeta murtad ini memang lihai sekali dengan senjata rodanya itu dan ia berkata.
"Cuwi sekalian. Sudah terang bahwa Pak Kek Siansu meninggalkan pusaka, dan kalau pusaka itu tidak diwariskan kepada Luliang Sam-lojin, berarti bahwa siapa pun yang mendapatkan pusaka itu berarti menjadi ahli warisnya pula. Oleh karena itu, sudah menjadi hak kita untuk mencari pusaka itu, untuk melihat siapa yang berjodoh. Tentang Luliang Samlojin, bagaimana mereka bisa melarang kita kalau aku sudah mengeluarkan senjataku? Ha, ha, ha!" Suara ketawa dari Ba Mau Hoatsu terdengar sampai jauh dan menyakitkan anak telinga.
Tiba-tiba suara ini dijawab oleh suara lain, suara yang nyaring dan keras sekali, yang mengatasi suara ketawa Ba Mau Hoatsu. Semua orang memandang ke atas karena suara itu datang dan atas. Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat luar biasa, terbang di atas kepala mereka. Itulah seekor burung raksasa, seekor rajawali emas (kim-tauw) yang indah dan kuat. Tanpa menoleh ke bawah, sambil mengeluarkan pekik yang keras tadi, burung itu meluncur cepat menuju ke puncak Luliang-san!
Orang-orang yang berada di situ tidak mengenaI burung ini, akan tetapi Ba Mau Hoatsu berubah air mukanya.
"Celaka kalau dia datang juga, habis harapan kita"," tanpa terasa dia berkata perlahan.
"Siapakah yang kau maksudkan, Ba Mau?" Kian Wi Taisu dari Go-bi-pai bertanya.
"Kim-tiauw itu adalah binatang peliharaan See-thian Tok-ong...." jawab Ba Mau Hoatsu dan suaranya agak gemetar. Semua orang terkejut sekali. Biarpun nama See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Dunia Barat) baru beberapa tahun muncul di dunia kang-ouw, namun setiap orang sudah mendengarnya. Tokoh besar ini datang dari barat dan kini tinggal di Tibet. Pengaruhnya luar biasa besarnya sehingga sekarang pun dapat dilihat betapa Ba Mau Hoatsu yang datang dari Tibet pula kelihatan jerih melihat burung kim-tiauw itu. Kalau seorang tokoh seperti Ba Mau Hoatsu sampai takut, apalagi yang lain!
"Pinto pernah mendengar bahwa See-Thian Tok-ong Locianpwe kalau bepergian menunggang kim-tiauw. Akan tetapi burung tadi tidak ditunggangi orang," kata Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai hati-hati.
"Mungkin akan datang belakangan...." kata Ba Mau Hoatsu perlahan.
Tiba tiba di antara para pendatang yang berdiri paling belakang, tersentak kaget dan melompat menjauhkan diri dari jalan kecil yang membawa mereka ke lereng itu.
"Ular... ular berbisa...!" ceriak mereka. Serentak mereka mencabut senjata untuk membinasakan ular-ular itu.
Serombongan ular yang banyaknya tidak kurang dari tiga puluh ekor merayap naik dengan cepat luar biasa. Ular-ular itu macam-macam warna kulitnya, ada yang merah, loreng-loreng hitam putih, kuning, dan lain-lain. Akan tetapi semuanya kecil-kecil, tidak lebih satu setengah kaki panjangnya. Biarpun demikian, uap kehitaman yang tersembur keluar dari mulut mereka menandakan bahwa ular-ular ini adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya. Ular-ular itu melihat banyak orang, tidak menjadi takut, bahkan lalu bergerak siap-siap hendak menyerang. Kepala mereka diangkat tinggi dari tanah dan sikap mereka seperti hendak menyerbu.
"Jangan turun tangan...!" tiba-tiba Ba Mau Hoatsu berseru dan mukanya menjadi pucat. Semua orang terkejut dan memandang kepada hwesio Tibet ini dengan heran.
"Ban-beng Sintong putera dari See-thian Tok-ong telah datang..." kata pula Ba Mau Hoatsu. Sebelum semua orang tahu siapa adanya Ban-beng Sin-tong (Bocah Sakti Bernyawa Selaksa) Ba Mau Hoatsu sudah menghadap ke bawah dari mana ular-ular itu merayap naik samba berkata,
"Ban-beng Sin-tong, sejak kapan menyusul ke sini?" Hening sesaat dan ular-ular itu seperti patung, tidak bergerak. Semua orang memandang dengan hati berdebar. Pemandangan ini memang amat menyeramkan. Tak lama kemudian terdengar suara ketawa anak kecil, disusul dengan teguran,
"Paman Ba Mau ternyata telah tiba di sini!" Kata-kata ini disusul dengan suara mendesis yang aneh. Lebih aneh lagi, setelah ular-ular itu mendengar suara mendesis, lalu mereka bergerak dan berkumpul menjadi satu, melingkarkan tubuh dan tidak bergerak. Lalu muncullah seorang anak tanggung yang berkepala gundul. Anak ini usianya ada lima belas tahun,. akan tetapi tubuhnya pendek seperti orang yang sudah matang pikirannya, mulutnya tersenyum mengejek. Melihat kepala yang gundul, orang akan mengira dia seorang hwesio kecil. Dengan tindakan perlahan lahan melewati kumpulan ular tadi dan menghadapi Ba Mau Hoatsu.
"Paman Ba Mau, aku mewakili Ayah untuk menyampaikan pesannya yang ditujukan kepadamu atau kepada siapa saja yang berada di Luliang-san," katanya tanpa memperdulikan sekian banyaknya tokoh kang-ouw yang berada di situ:
"Apakah pesannya?" tanya Ba Mau Hoatsu dengan suara merendah.
"Ayah pesan bahwa siapa saja yang mendapatkan pedang atau kitab, harus diserahkan kepadaku untuk kubawa pulang ke barat."
Kata-kata yang sederhana ini membuat para tokoh kang-ouw yang berada di situ menjadi merah mukanya. Mereka amat marah mendengar kesombongan luar biasa ini. Apalagi kalau dilihat bahwa yang mengeluarkan kata-kata itu hanya seorang bocah gundul yang berusia belasan tahun. Biarpun See-thian Tok-ong terkenal sekali, namun di antara mereka kecuali Ba Mau Hoatsu, belum ada yang membuktikan sendiri, bahkan bertemu dengan orangnya pun belum. Kalau saja See thian Tok-ong sendiri yang datang dan bersikap sesombong itu belum tentu mereka mau menurut, apalagi sekarang yang datang hanya seorang anak kecil yang sombong? Seorang kakek dari Khong-tong-pai yang bernama Ciu Kak, berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti), melompat maju dan membentak,
"Kau ini badut cilik dari mana mau menjual lelucon di sini? Pergilah, siapa takut ular-ularmu."
"Jangan kurang ajar...!" Ba Mau Hoatsu membentak marah dan hendak menampar kakek itu, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum dan mengangkat tangannya mencegah Ba Mau Hoatsu membelanya. Dengan senyum sindir ia menghadapi Ciu Kak dan bertanya,
"Kau betul-betul tidak takut kepada ular-ularku? Berani kauperlihatkan bahwa kau tidak takut?" Ciu Kak adalah seorang tokoh Khongtong-pai yang sudah memiliki kepandaian tinggi, selain ilmu silatnya yang tinggi juga ia terkenal pandai mempergunakan senjata rahasia piauw.
"Mau bukti? Lihat kubunuh seekor ularmu!" katanya dan ketika tangan kanannya bergerak, berkelebatlah sebatang piauw, meluncur ke arah ular-ular yang masih melingkar dan tidak bergerak di atas tanah!
Akan tetapi, berbareng dengan suara mendesis yang keluar dari mulut Ban-beng Sin-tong, serentak ular-ular itu bergerak. Ular yang terserang piauw, tiba-tiba melejit dan dengan cepat luar biasa dapat mengelak dari serangan piauw yang kini menancap dan amblas di dalam tanah. Kemudian ular itu bergegerak dan... bukan main hebatnya. Ular berwarna kehitaman yang kecil itu melakukan gerakan menyambar, melompat seakan-akan terbang dan bagaikan sebatang anak panah ia menuju ke arah leher Ciu Kak. Tokoh Khong-tong-pai ini sudah tinggi kepandaiannya maka biarpun amat terkejut, ia mengelak dan tangan kirinya menyambar untuk memukul ular itu. Namun pada saat itu ia membuka lebar-lebar matanya dan wajahnya menjadi pucat sekali.
Ternyata bahwa ketika ular itu menyerangnya, ular-ular yang lain serentak melompat dan menyambar ke arahnya, berjumlah tiga puluh ekor. Kini tak mungkin lagi ia mengelak, tubuhnya penuh dengan ular yang menggigit. Jangankan digigit demikian banyak ular, baru seekor dari sekian banyaknva ular itu saja kalau menggigit akan mendatangkan maut yang merampas nyawa. Sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati, Ctu Kak roboh. Seluruh kulit muka dan tubuhnya berubah hitam, busa hitam pula keluar dari mulutnya dan ia tidak bernyawa lagi! Ular-ular itu merayap turun dan kembali berkumpul di tempat yang tadi seperti anjing-anjing peliharaan yang mendekam puas dan bangga setelah memenuhi perintah tuannya.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan merasa ngeri sekali. Seorang laki-laki gemuk dan rombongan Khong-tong-pai melompat maju dengan marah sekali. Dia adalah Song Can Gi, suheng dari Ciu Kak dan di dalam Khong tong-pai ia terhitung tokoh ke lima yang amat lihai. Sambil membentak keras ia mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang toya yang berat dan besar. Telunjuknya yang besar dan bergajih menuding ke arah muka anak gundul itu dan ia memaki.
"Iblis kecil kau sungguh keji! Kau datang-datang membunuh orang! Biarpun kau putera See-thian Tok-ong atau anak siluman siapapun juga. aku tidak takut. Song Can Ci memang mempunyai kebiasaan membunuhi iblis-iblis macam kau!" Tanpa memberi peringatan toya besarnya menyambar ke arah kepala Banbeng Sin-tong.
Semua orang terkejut karena keadaan itu benar-benar amat menggelisahkan. Song Can Gi adalah seorang tokoh besar dari Khong-tong-pai dan tentu saja mereka dapat memaklumi kemarahan Song Can Gi melihat sutenya tewas oleh keroyokan ular-ular itu. Sebaliknya, anak itu adalah putera dari See-thian Tok-ong, maka semua orang tidak ada yang berani campur tangan. Mereka hanya memandang dengan hati berdebar karena toya di tangan Sung Can Gi sudah terkenal kehebatannya.
Akan tetapi anak itu sambil terseyum mengejek, bahkan memasukkan ke-dua tangan di saku bajunya dan mengelak dengan gerakan kaki yang amat ringan. Toya yang mengenai tempat kosong itu menyambar lagi, kini terputar bagaikan ombak mengamuk, mengancam tubuh anak itu yang masih saja mengelak ke sana ke mari.
Ba Mau Hoatsu merasa khawatir sekali.
"Saudara Song Can Gi, melihat mukaku, jangan kau teruskan seranganmu itu" Beberapa kali ia berseru. Ia tahu bahwa kalau sampai anak itu mendapti celaka sedangkan dia berada di situ tanpa membantu atau mencegah orang mencelakakannya, pasti ia akan mendapat marah besar dari See-tlitan Tok-ong!
Akan tetapt Song Can Gi sudah naik darah. Melihat beberapa belas jurus serangannya gagal mengenai tubuh Ban bong Sin-tong, ia menjadi amat penasaran dan makin marah, toyanya kini menyambar-nyambar hebat, mengeluarkan angin dan bunyi bersuitan, mengancam hebat tubuh bocah gundul itu. Akan tetapi benar-benar gerakan Ban-beng Sin-tong amat mengagumkan. Dengan amat gesitnya ia dapat selalu meluputkan dari ancaman toya. Kini kedua tangan anak itu tertarik keluar dari saku bajunya dan di kedua tangannya kelihatan dua ekor ular kecil yang berwarna merah.
"Celaka...." seru Ba Mau Hoatsu dan kakek luar biasa ini meloncat maju, sepasang rodanya bergerak ke atas.
"Praaang...!" Song Can Gi berseru kaget dan toyanya patah menjadi dua bertemu dengan senjata roda di tangan Ba Mau Hoatsu. Ia melompat mundur dengan kaget sekali, lalu menegur.
"Ba Mau Hoatsu, mengapa kau mencampuri urusanku?"
Ba Mau Hoatsu tidak menjawab, sebaliknya ia menjura kepada anak gundul itu dan berkata.
"Ban-beng Sin-tong, harap kau suka menahan marahmu dan jangan menimbulkan urusan besar. Khong-tong-pai selama ini tidak pernah memusuhi kami, tidak perlu menanam bibit permusuhan besar dengan mereka."
Semua orang memandang kepada Banbeng Sin-tong yang berdiri tegak. Dua tangannya masih terangkat dan kini kelihatan dua ekor ular merah yang panjangnya hanya setengah kaki itu menggeliat-geliat di antara jari-jari tangannya. Sepasang mata bocah gundul ini bagaikan mengeluarkan api, memandang kepada Song Can Gi yang menjadi bergidik ngeri. Mata itu seperti bukan mata manusia, mata siluman agaknya yang dapat memandang seperti itu.
Anak itu ragu-ragu mendengar omongan Ba Mau Hoatsu.
"Hm, melihat muka Paman Ba Mau aku mau mengampunt nyawa anjing tua itu. Akan tetapi sekali Ang-coa-ong (Raja Ular Merah) dan isterinya keluar dari saku, sebelum makan jantung musuhku ia akan gelisah." Semua orang berdiri bulu tengkuknya mendengar ini. Pandangan mata bocah itu beredar, menatap muka para tokoh itu seorang demi seorang.
"Kwan-kongcu (Tuan Muda she Kwan), harap kau jangan mencari korban lain orang...." kata Ba Mau Hoatsu. Mendengar ini, bocah gundul itu tiba-tiba memandang kepada mayat Ciu Kak.
"Ah, biarpun sudah hitam, jantungnya belum busuk." Ia lalu melepaskan sepasang ular merah itu ular itu terbang ke arah mayat Ciu Kak. Benar-benar ular itu terbang karena dari dekat punggungnya kelihatan sepasang sayap merah yang kecil seperti ikan. Inilah semacam hut-coa (ular terbang) yang terdapat di pegunungan barat dekat Go-bi san, ular yang jarang sekali terlihat manusia, namun terkenal amat jahat dan bisanya tiada obat penolaknya lagi. Sepasang ular merah itu luncur dan seperti berebutan mereka nienyerang dada kiri mayat Ciu Kak dan... tak lama kemudian mereka telah membuat lubang pada dada itu dan lenyap ke dalam dada! Semua orang me mandang dengan muka pucat. Ketika dua ekor ular Itu keluar mulut mereka menggigtt benda merah kehitaman yang telah terbagi dua oleh mereka.
Ternyata bahwa benda itu adalah jantung dari mayat Ciu Kak! Dengan lahapnya kedua ekor ular itu makan jantung itu, menelannya habis lalu, mengembang kan sayapnya, terbang kembali ke tangan Ban-beng Sin-tong yang mengangkat ke dua tangannya. Setelah sepasang ular itu dimasukkan ke dalam saku dan lenyap dari pandangan mata, barulah para tokoh bernapas lega. Pertstiwa tadi benar- benar mendebarkan jantung karena selama hidup belum pernah mereka menyaksikan pemandangan yang demikian mengerikan.
"Bagaimana, Paman Ba Mau. Sudah adakah di antara kalian mendapatkan pedang dan kitab?" bocah itu bertanya sambil memandang ke sekelilingnya. Pandangannya tajam menyelidik dan seandainya di antara mereka ada yang sudah mendapatkan benda-benda yang disebutkannya tadi, agaknya dia akan menjadi gentar dan mungkin akan menyerahkan benda benda itu.
"Belum Kwan-kongcu. Kami bahkan sedang berunding, karena kami tidak diperbolehkan naik ke puncak oleh Luliang Sam-lojin."
Mata kecil yang bundar itu mencari-cari.
"Luliang Sam-lojin? Yang manakah mereka? Mengapa mereka melarang?"
Luliang Ciangkun dan dua orang sutenya setelah menyaksikan peristiwa tadi, merasa amat benci dan muak di dalam hati terhadap bocah gundul ini. Bocah seperti ini adalah calon siluman jahat yang kelak hanya akan menimbulkan bencana di dunia, pikir mereka.
"Kami bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin. Sesuai dengan nama sebutan ini, kami bertigalah yang tinggal di sini dan berkewajiban menjaga ketenteraman Luliang-san."
"Oho, jadi kalian bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin? Ayah sering kali menyebut nama kalian sebagai orang-orang gagah ternyata benar kata Ayah. Kalian adalah tiga orang yang aneh, seorang panglima, seorang petani, dan seorang sasterawan. Ha, ha, benar-benar hebat! Ah, Luliang Sam-lojin, aku bernama Kwan Kok Sun, putera dan Ayah yang disebut See-thian tok-ong. Benar sekali pendapatmu bahwa orang-orang yang hanya membikin ribut ini kalian larang naik ke puncak, bukan?" kata-kata bocah ini terclengar manis budi. akan tetapi mengandung tantangan dan ancaman hebat.
Biarpun hatinya berdebar, Luliang Ciangkun membusungkan dada dan berkata.
"Sudah menjadi tugas kami menjaga keteraman puncak Luliang-san. Oleh karena puncak itu menjadi puncak peristirahatan mendiang Suhu di waktu hidup dan sesudah mati, maka kami terpaksa melarang siapapun juga pergi ke sana, biarpun untuk itu kami mempertanggung dengan nyawa kami. Maaf saja, Siauhiap, kami tak dapat membiarkan siapapun juga naik ke puncak!"
Terdengar suara ketawa ganjil dari anak itu, akan tetapi sebelum ia melakukan sesuatu tiba-tiba terdengar pekik burung kim-tiauw, dan burung itu terbang cepat sekali, lalu turun di depan Ban beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Burung ini besar sekali, kepalanya hampir setinggi kepala orang dewasa dan paruhnya yang kuat kini menggigit sebatang pedang dengan sarungnya.
"Kim-tiauw yang baik, ternyata kau telah berhasil mendapatkan pokiam (pedang pusaka)!" kata Kwa Kok Sun sambil mengambil pedang itu dari paruh kim-tiauw.
"Pak-kek Sin-kiam..."" tak terasa lagi Luliang Ciangkun berseru heran ketika melihat pedang ini. Dia dan dua orang sutenya tentu saja mengenaI pedang pusaka milik suhunya ini dan alangkah besar keheranan mereka mengapa pedang yang disembunyikan oleh suhunya itu kini bisa berada di paruh kim-tiauw.
Mereka sendiri sudah pernah mencoba untuk mencari kitab dan pedang, namun sia-sia. Bagaimana pedang itu kini berada di paruh kim-tiauw? Untuk mengetahui hal ini baiklah kita menengok keadaan di puncak Luliang-san dan peristiwa yang terjadi di situ semenjak terjadi keributan di lereng gunung.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah melihat bahwa Luliang Sam-lojin tak dapat melarangnya, Giok Seng Cu berlari cepat sekali naik ke puncak Luliang-san. Baru satu kali ia naik ke sini akan tetapi ia sudah tahu di mana letak pondok dari Pak Kek Siansu yang berada di Jeng-in-thia (Ruang Awan hijau).
Pandangan pertama yang dilihat oleh matanya mengherankan dia. Beda benar keadaan Jeng-in-thia di waktu sekarang dengan dulu. Apalagi ketika ia melirik ke arah dua makam yang berada di depan pondok. Ia tertegun. Tak disangkanya bahwa bukan saja makam Pak Kek Siansu terawat baik-baik, bahkan makam Pak Hong Siansu gurunya juga terawat sekali.
Memburu Iblis Eps 25 Memburu Iblis Eps 22 Pendekar Pedang Pelangi Eps 14