Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 14


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 14




   "Penjahat biasa memang tidak mungkin berani membasmi kelompok prajurit dan perwira kerajaan! Dendam pribadi juga tidak mungkin sampai membantai pemenang sayembara sebanyak itu! Satu-satunya kemungkinan memang hanya... gerombolan Mo Tan! Jadi kelihatannya memang benar dugaanku selama ini! Sogudai, yang selalu berkeliaran di daerah Tionggoan itu, memang merupakan sebagian dari orang-orang Hun yang disebar oleh Mo Tan! Dan kemungkinan besar Mo Goat adalah atasan Sogudai, atau sebaliknya! Yah, benar... Memang tak pelak lagi!" pemuda itu mencoba merangkai semua penyelidikannya selama ini. Keesokan harinya seorang pelayan mengetuk pintu kamar Liu Wan. Pelayan itu melapor bahwa ada dua orang tamu mencari Liu Wan. Ketika Liu Wan keluar, ternyata tamu itu adalah Ku Jing San dan Song Li Cu, saudara seperguruan Kwe Sun Tek.

   "Oh, saudara Ku dan Nona Song! Marilah, silakan duduk!" Tapi Ku Jing San cepat menggoyangkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tetap memegang tongkat penyangga tubuhnya.

   "Tak usah, saudara Liu. Kami hanya singgah sebentar saja. Kami hanya ingin menanyakan khabar Twa-suheng. Kemarin Twa-suheng bersama saudara Liu pergi menemani Nona Tio ke perkampungan Hek-to-pai. Tapi kami lihat Twa-suheng tidak kembali bersama-sama saudara Liu. Lalu... Kemana Twa-suheng kami?"

   "Aduh, maaf...! Ketika kemarin kami pergi ke markas Tiat-tung Kai-pang, kami melihat saudara Ku dan Nona Song sehingga kami lupa mengatakan hal itu kepada Jeng-bin Lokai."

   "Lalu... di manakah Kwe suheng sebenarnya?" Song Li Cu menyela dengan suara kurang senang. Tio Ciu In yang kamarnya tidak terlalu jauh dari kamar Liu Wan, bergegas keluar mendengar ribut-ribut itu. Dengan senyum ramah dia menyapa murid-murid keluarga Kwe tersebut.

   "Ah, ternyata saudara Ku dan Nona Song. Ada apa...? Ada sesuatu yang bisa kami bantu?"

   "Saudara Ku dan Nona Song ke sini untuk bertanya tentang saudara Kwe..." Liu Wan menyahut. Lalu pemuda itu bercerita tentang munculnya tokoh Pondok Pelangi yang mengajak Kwe Sun Tek ke Pulau Meng-to.

   "Pondok Pelangi?" Ku Jing San dan Song Li Cu mengerutkan kening. Mereka belum pernah mendengar nama itu.

   "Ya, katanya tokoh itu ingin bertemu Keh-sim Taihiap."

   "Ingin bertemu dengan Suhu? Ada maksud apa mereka? Ah, saudara Liu... Nona Tio kalau begitu kami mohon diri saja. Kami akan pulang juga ke Pulau Meng-to. Kami ingin tahu, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh orang dari Pondok Pelangi itu. Ayoh, Sumoi... Kita berangkat!" Ku Jing San berseru dan menarik lengan Song Li Cu. Liu Wan dan Song Li Cu mengantar mereka sampai ke pintu depan.

   "Nah, bagaimana kalau kita mencoba berkeliling kota kembali? Siapa tahu adikmu sudah datang? Dia tidak akan bisa menemukan kita kalau kita hanya berdiam diri di sini." Liu Wan berkata setelah tamu mereka pergi. Tio Ciu In cepat menganggukkan kepalanya.

   "Ayoh!" sahutnya bersemangat.

   "Tapi... aku akan mengenakan pakaian Tabib Ciok dulu! Tunggulah!"

   "Eh, kenapa Twako menyamar lagi? Bukankah musuh Twako yang bernama Sogudai itu sudah pergi meninggalkan kota ini?" Liu Wan tersenyum sambil mengepalkan tangannya.

   "Aku tetap akan memburu orang itu sampai ketemu...!" ucapnya tegas. Demikianlah pagi itu mereka berkeliling kota kembali untuk mencari Siu In. Tapi dari pagi hingga matahari berada di atas kepala, gadis bengal itu tetap tak dapat mereka temukan. Sama sekali tidak ada petunjuk tentang Siau In. Liu Wan yang diam-diam juga mencari berita tentang Sogudai dan rombongan Mo Goat, juga tidak memperoleh khabar apa-apa. Sebaliknya, secara tak terduga Ciu In justru menemukan isyarat atau tanda yang diberikan oleh gurunya.

   "Twako... eh, Tabib Ciok. Guruku sudah tiba di kota ini. Lihatlah pit berwarna merah di atas bubungan rumah itu! Suhu pernah berpesan, bahwa dia akan meletakkan sebuah pit merah di atas bangunan yang paling tinggi di kota ini kalau datang." Tiba-tiba perasaan Liu Wan menjadi berdebar-debar.

   "Kalau begitu, di mana dia sekarang?"

   "Entahlah! Tentunya pit itu ditaruh di sana sejak tadi malam. Tidak mungkin Suhu menaruhnya pagi ini. Tempat ini sangat ramai. Sekarang Suhu tentu sudah berada di salah satu penginapan di kota ini. Twako, marilah kita mencarinya..." Mereka lalu berkeliling kota kembali. Selain mencari Siau In, mereka juga mencari Giam Pit Seng. Tapi nasib mujur memang belum berada di tangan mereka. Sampai matahari mulai bergulir dari puncaknya, mereka belum bisa menemukan orang yang mereka cari. Tapi sekali ini jerih payah Liu Wan benar-benar mendapat imbalan. Sekilas pemuda itu melihat bayangan Mo Goat dan kawan-kawannya di depan kabupaten. Tapi karena tidak ingin meresahkan hati Ciu In, pemuda itu tidak mengatakan apa-apa. Di pinggiran kota mereka beristirahat dan berteduh di bawah pohon. Dengan perasaan kesal dan kecewa Ciu In menyeka keringatnya.

   "Twako... Kemana kita harus mencari lagi?" Liu Wan menatap wajah Ciu In. Gadis itu benar-benar kelihatan kesal dan kecewa sekali.

   "Wah, kau panggil aku... twako lagi! Bagaimana kau ini? Bukankah kini aku sedang menyamar sebagai Tabib Ciok? Celaka! Bagaimana kalau di depan Gurumu nanti kau tetap memanggil aku Twako? Bisa berantakan penyamaranku!" Pemuda itu mencoba mengalihkan perhatian. Tio Ciu In pura-pura cemberut dengan mencibirkan bibirnya yang tipis.

   "Baiklah... baiklah! Aku berjanji takkan menyebutmu Twako lagi, dah!" Liu Wan tersenyum meskipun senyumnya nyaris tertutup oleh kumis dan jenggot panjang Tabib Ciok.

   "Bagus! Begitu baru cocok! Nah, begini... Mungkin Gurumu tidak tidur di penginapan. Mungkin dia bermalam di rumah kawan atau keluarganya. kau tahu, siapa sahabat atau keluarganya di kota ini?" Tio Ciu In mengangkat wajahnya. Dahinya berkerut. Dicobanya mengingat, kalau-kalau gurunya pernah bercerita tentang sahabat atau familinya di daerah itu.

   "Tapi Guru... guruku tak pernah bercerita tentang keluarga atau sahabatnya yang tinggal di kota ini. Entahlah..." akhirnya gadis itu menjawab ragu.

   "Baiklah. Kalau begitu kita pergi saja ke markas Tiat-tung Kai-pang sekarang. Siapa tahu mereka memperoleh berita tentang adikmu atau... gurumu? Biasanya kaum persilatan lebih cepat memperoleh khabar daripada orang awam."

   "Kau benar! Mengapa tidak terpikirkan oleh kita sejak tadi?" Tio Ciu In bersorak gembira. Liu Wan tersenyum kembali.

   "Yah, pikiran itu juga baru saja timbul dalam pikiranku. Tapi sebaiknya... Kita mencari rumah makan dulu untuk mengisi perut. Jadi ada alasan buat kita nanti untuk menolak jamuan makan para pengemis itu. Bagaimana? Atau... Kau memang berminat untuk mencicipi masakan mereka?" Terbayang di dalam pikiran Tio Ciu In sebuah bumbung bambu milik Jeng-bin Lokai. Bumbung itu digunakan untuk minum secara bergantian. Dan mereka tidak pernah mencucinya lebih dulu.

   "Ih, tidak mau! Lebih baik berpuasa daripada harus makan bersama mereka." Demikianlah, mereka lalu mencari rumah makam yang terdekat. Mereka memilih tempat yang baik dan bisa leluasa melihat ke jalan raya.

   "Aku akan tinggal beberapa hari lagi. Aku ingin mengetahui lebih jelas tentang pembantaian para perwira dan perajurit kerajaan itu." Liu Wan berkata sambil memesan makanan kepada pelavan.

   "Betul...? Wah!" Tio Ciu In hampir bersorak, tapi segera terdiam pula. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah. Namun Liu Wan pura-pura tak melihatnya. Pemuda itu justru melayangkan pandangannya keluar pintu, ke arah anak-anak gelandangan yang bergerombol di pinggir jalan. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Mo Goat dan kawan-kawannya. Gadis yang ia curigai sebagai pelaku pembantaian para perajurit itu ternyata masih berkeliaran di dalam kota. Tiba-tiba perasaan Liu Wan menjadi kecut. Wajahnya berubah. Sebuah dugaan buruk melintas di benaknya.

   "Jangan-jangan pihak yang berwenang memang belum mencium gerakan orang-orang Hun ini." katanya di dalam hati.

   "Twako! kau... Kau kena apa? Mengapa tiba-tiba wajahmu menjadi pucat?" Tio Ciu ln menjerit kaget.
Liu Wan tersadar kembali.

   "Ah, maaf. Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku hanya bercuriga terhadap seseorang." katanya sambil tersenyum untuk menghibur hati Ciu In. Matanya yang tajam itu menatap keluar, memperhatikan sebuah kereta yang mendadak berhenti di seberang jalan. Seorang lelaki jangkung kurus, dengan kulit putih pucat seperti penderita penyakit berat, keluar dari dalam kereta. Orang itu menyeberang jalan dan melangkah menuju ke restoran. Kusirnya yang sudah tua mengikuti di belakangnya. Orang itu mengenakan kain katun kasar, berwarna putih, seperti pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang sedang kesusahan. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai menutupi pundaknya. Anak-anak gelandangan yang berkumpul di depan restoran itu berlarian menyongsongnya. Mereka berlumba mengacungkan tangan sambil memohon belas kasihan.

   "Kasihanilah kami, Tuan. Sejak kemarin sore kami belum makan." seperti penyanyi opera mereka meratap bersama-sama. Lelaki berambut panjang itu berhenti dan menengadahkan kepalanya. Angin bertiup keras menyibakkan rambut yang terjurai di depan keningnya. Wajah yang tertutup jenggot dan kumis itu tertimpa sinar matahari.

   "Ah...! Hampir saja aku mengira Lo-Cianpwe buta itu yang datang." Liu Wan berdesah perlahan.

   "Siapa...??" Tio Ciu In menoleh dengan kening berkerut. Liu Wan menunjuk keluar, ke arah tamu yang baru saja datang.

   "Oooh...?!?" Ciu ln terpekik perlahan. Penampilan orang itu memang hampir sama dengan si Pendekar Buta. Bahkan lebih menyeramkan. Di depan pintu restoran orang itu merogoh saku jubahnya, lalu memberikan beberapa keping uang tembaga kepada anak-anak itu. Tentu saja anak-anak itu menjadi gembira bukan main. Sambil mengucapkan terima kasih mereka berlarian ke jalan raya.

   "Pai-cu...???" Kusir itu berseru kaget. Matanya mengawasi bocah-bocah terlantar itu. Liu Wan yang sedang menyamar sebagai Tabib Ciok itu tiba-tiba bangkit dari kursinya. Hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu yang mengerikan pada orang itu, tapi ia tidak bisa mengatakan sebabnya.

   "Twako ada apa lagi? kau membuatku takut saja!" Ciu In berseru kesal. Liu Wan cepat menggelengkan kepalanya. Perlahan ia duduk lagi di atas kursinya.

   "Entahlah! Aku... aku tidak tahu." gumamnya kurang jelas sehingga Ciu In menjadi semakin kesal pula. Sementara itu pelayan telah meletakkan makanan dan minuman di atas meja. Dan begitu menyaksikan makanan yang tersedia, Ciu In segera melupakan sikap Liu Wan yang menjengkelkan. Dengan penuh semangat dia mengajak Liu Wan menyantapnya.

   "Tabib Ciok, ayolah...!" Akhirnya Liu Wan terseret pula oleh kegembiraan Tio Ciu In. Dibuangnya pikiran buruk yang sedang menghantui pikirannya. Kemudian dipandangnya wajah ayu itu seolah-olah meminta maaf. Mereka lalu menyantap makanan itu dengan lahap. Selesai makan mereka langsung keluar pula tanpa menghiraukan tamu lainnya. Ketika melewati jalan setapak di pinggiran kota mereka dihentikan oleh seorang pengemis berwajah bersih. Terlalu bersih untuk ukuran pengemis. Bahkan berkesan agak genit dengan dandanan rambutnya. Usianya sekitar tiga puluhan tahun lebih sedikit. Pakaiannya benar-benar bersih dan rapi, meskipun di bagian dada ditempelkan tiga lembar kain tambalan. Dan jumlah tambalan itu merupakan pertanda dari tingkat kedudukannya di dalam perkumpulan.

   "Apakah saudara anggota Tiat-tung Kai-pang?" Liu Wan menyapa pengemis itu dengan ramah. Orang itu tidak segera menjawab. Matanya memandang Liu Wan dan Tio Ciu In berganti-ganti... dan mata itu akhirnya berhenti pada wajah Tio Ciu ln.

   "Apakah Nona murid pendekar Giam Pit Seng dari Aliran Im-yang-kauw?" pengemis itu tiba-tiba bertanya kepada Tio Ciu In. Sambil melirik ke arah Liu Wan, Tio Ciu In mengangguk. Dia tak tahu arah pembicaraan pengemis itu.

   "Maaf. Bolehkah aku melihat sepasang pedang pendek Nona?" Pengemis itu tetap bercuriga. Tio Ciu In mengerutkan dahinya. Ia merasa kurang senang dengan sikap itu. Tapi Liu Wan cepat menggamit lengannya.

   "Tidak apa. Perlihatkan saja kepadanya!" bisiknya perlahan. Dengan agak segan Tio Ciu In mengeluarkan pedang pendeknya. Senjata itu dipegangnya erat-erat. Mendadak pengemis tua itu memberi hormat.

   "Maaf, Nona Tio. Aku memang mendapat perintah untuk menjemputmu. Pendekar Giam Pit Seng kini berada di markas kami. Beliau telah menunggu Nona sejak tadi pagi."

   "Oh, Suhu benar-benar berada di markas Tiat-tung Kai-pang?" Tio Ciu In bersorak lega.

   "Benar, Nona. Dan... Maafkanlah kelakuanku tadi. Aku belum mengenal Nona, karena aku tak berada di markas ketika Nona mengunjungi kami."

   "Tapi... paman sudah mengenal Tabib Ciok ini, bukan?" Tio Ciu In ingin tahu, apakah pengemis itu mengenali penyamaran Liu Wan.

   "Mengenal secara pribadi... Memang belum. Tapi semua anggota Tiat-tung Kai-pang tentu sudah mendengar nama dan melihat Tabib Ciok." pengemis itu menjawab tegas. Liu Wan menghela napas lega. Ternyata penyamarannya masih tetap baik.

   "Terima kasih. Kalau begitu kami juga ingin tahu nama besar Saudara. Bolehkah...?" Liu Wan menjura.

   "Namaku Ho Bing! Tapi kawan-kawan biasa memanggilku si Tongkat Bocor! Dan aku berada dibawah pimpinan Jeng-bin Lokai!" Pengemis itu menjawab dengan cepat.

   "Tongkat Bocor...?" Tio Ciu In bergumam, namun tak berani bertanya lebih lanjut. Mereka bertiga lalu menyusuri jalan yang berdebu. Tapi belum ada seratus langkah, mereka mendengar siulan dari belakang. Otomatis ketiganya berhenti dan menoleh.

   "Lo Kang...!" Liu Wan berseru ketika dilihatnya orang yang bersiul tadi ternyata pelayannya.

   "Ada apa? Mana saudaramu? Mengapa kau menyusulku?" Pelayan setia itu menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk menjawab. Raut wajahnya tampak tegang dan penasaran.

   "Apa yang dia katakan, Tabib Ciok?" Tio Ciu In bertanya kepada Liu Wan. Ternyata air muka Liu Wan berubah pucat.

   "Dia mengatakan bahwa saudaranya terluka! Nona Tio... Kau berangkatlah lebih dulu! Setelah melihat Lo Hai, nanti aku akan menyusul!"

   "Tapi...?" Tio Ciu In ragu-ragu.

   "Jangan khawatir! Mereka tidak apa-apa! Nah, aku berangkat dulu! Maaf, saudara Ho Bing!" Liu Wan bergegas pergi bersama Lo Kang. Sejenak Tio Ciu In masih termangu di tempatnya. Matanya tetap saja terpaku di tempat Liu Wan hilang di balik pepohonan.

   "Marilah, Nona Tio...!" suara si Tongkat Bocor Ho Bing menyadarkan Tio Ciu In. Mereka lalu melangkah di atas jalan itu kembali. Teriknya matahari sudah tidak terasa lagi, di kanan kiri jalan mulai banyak pepohonan yang rindang. Tio Ciu In mengikuti saja langkah si Tongkat Bocor sambil melamun. Pikirannya sudah membayangkan pertemuannya dengan gurunya. Bagaimana dia harus melapor dan mempertanggungjawabkan kepergian Siau In? Bagaimana kalau gurunya menjadi marah? Lalu bagaimana pula ia harus mengatakan tentang kepergian suhengnya?

   "Lho? Paman...? Rasanya kemarin aku tidak melewati jalan ini?" Tio Ciu In berseru kaget ketika melewati jembatan kayu yang melintang di sebuah sungai kecil. Ho Bing menoleh.

   "Kita memang mengambil jalan memutar, Nona. Jalan yang biasa kita lalui sudah tidak aman lagi dengan kedatangan para pembunuh."

   "Pembunuh...? Pembunuh yang beraksi di pantai itu?" Ho Bing mengangguk dan melangkahkan kakinya kembali. Tongkatnya yang pendek itu diseretnya melintasi jembatan. Untuk beberapa saat Ciu In masih termangu-mangu di tempatnya, tapi memang tiada pilihan lain kecuali mengikuti orang itu. Ketika sampai di sebuah rawa Tio Ciu In menjadi heran. Di tempat sepi dan terpencil itu ternyata ada sebuah pondok kecil. Dan Ho Bing melangkah ke sana.

   "Paman, mau ke mana? Tempat siapkah ini?" Tio Ciu In bertanya ragu. Hatinya mulai was-was. Pengemis itu tersenyum aneh.

   "Kita beristirahat dulu di sini. Ada seorang kawan yang ingin berjumpa dengan aku. Mari... Kita masuk!" katanya seraya mendahului masuk ke dalam pondok. Tio Ciu In makin curiga. Pengemis itu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, seperti masuk ke rumah sendiri saja. Padahal rumah itu cukup bagus. Terlalu bagus untuk seorang pengem. Perasaan Ciu In menjadi semakin was-was. Seperti ada perasaan yang mengatakan bahwa tempat itu sangat berbahaya baginya. Tapi sebelum otaknya mampu berpikir lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara lolongan serigala. Dan suara itu bersaut-sautan, semakin lama semakin dekat.

   "Kawanan serigala...?" Tio Ciu In terbeliak kaget. Otomatis kakinya melangkah ke dalam pondok.

   "Di rawa-rawa ini memang banyak berkeliaran serigala pemakan bangkai. Baik bangkai hewan maupun bangkai... Manusia!" Ho Bing yang berada di dalam ruangan itu tiba-tiba tertawa seram. Tio Ciu In terbelalak. Tangannya mencengkeram gagang pedang di balik bajunya. Tapi hatinya segera bergetar hebat ketika melihat rombongan serigala itu tiba-tiba telah berhamburan datang. Begitu banyaknya mereka, sehingga dalam tempo singkat halaman pondok itu telah penuh dengan serigala. Tio Ciu ln bergegas menutup pintu dan jendela, namun beberapa ekor di antaranya sempat melompat melalui jendela. Gadis itu menjerit dan melompat ke atas meja. Otomatis pedang pendeknya tercabut dan berkelebat melindungi diri.

   "Srrrrt!" Dua ekor serigala segera meraung kesakitan karena terbelah perutnya. Bau darah membuat serigala-serigala itu menjadi buas. Mereka segera menerkam dan menjarah bangkai kawanan yang masih berkelojotan itu. Mereka berebut sambil meraung, menggeram dan melolong! Dan lolongan itu bagaikan tengara perang bagi serigala yang lain. Kawanan binatang buas itu tiba-tiba menyerbu pintu dan jendela. Mereka mencakar, menggigit dan menerjang daun pintu bagaikan telah menjadi gila! Daun pintu itu mulai berderak mau pecah, sementara dari lubang jendela yang belum tertutup baik itu telah masuk beberapa ekor serigala lagi! Meski agak tinggi, tapi beberapa ekor serigala muda ternyata mampu melompati jendela itu. Tio Ciu In mengamuk, rasa ngeri membuat gadis itu membabat mati semua serigala yang mendekatinya.

   "Hihihihi... bagus! Bagus!" Ho Bing yang berdiri di pojok ruangan tertawa sambil bertepuk tangan.

   "Paman! Bantu aku...!" Tio Ciu In berteriak.

   "Bantu? Eh-oh? Baik... baik! Aku datang!" Ho Bing memutar tongkatnya kuat-kuat, lalu menerjang ke depan. Desing suaranya mengaung bersamaan dengan derak pecahnya pintu rumah. Puluhan ekor serigala berhamburan ke dalam, bagaikan kawanan semut memasuki liangnya! Tio Ciu In menjerit dan berteriak sambil menghentakkan pedangnya. Dan setiap kali pedangnya terayun, maka tentu ada dua atau tiga ekor serigala yang mati! Darah muncrat dan memercik kemana-mana! Akan tetapi semua itu tidak membuat mereka takut. Bahkan bau daah membuat mereka semakin beringas. Semuanya seperti sudah berubah menjadi gila. Mereka meminum darah yang mengalir dari bangkai kawan kawannya dan mencabik-cabik juga dagingnya.

   "Pamaaaaaan...!?!?" sekali lagi Tio Ciu In memekik. Gadis itu benar-benar merasa ngeri menyaksikan kebuasan binatang itu.

   "Ya-ya, aku datang! Awaaaaas...!" Tapi yang didapatkan oleh Tio Ciu In kemudian, ternyata sungguh di luar dugaannya! Begitu tiba di dekatnya tiba-tiba ternyata Ho Bing justru menyabetkan tongkatnya ke arah pergelangan tangan Ciu In!

   "Wuuuuut!" Sabetan itu benar-benar cepat dan kuat luar biasa!

   "Hei!? kau...???" Tio Ciu In menjerit kaget. Namun sambaran tongkat itu tak mungkin dapat dielakkan lagi. Tio Ciu In hanya mampu mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tangannya.

   "Taaaak!" Tongkat itu dengan telak menghajar pergelangan tangan Tio Ciu In! Gadis itu berteriak kesakitan. Meski tidak sampai mematahkan pergelangan tangannya, tapi pukulan tongkat itu terasa nyeri luar biasa! Sampai-sampai pedang yang ada di dalam genggaman tak bisa dipertahankan pula! Senjata itu terlempar jatuh menimpa kawanan serigala!

   "Kenapa... Kenapa kau menyerangku?" di dalam kekalutannya Tio Ciu In masih sempat berteriak. Tapi Ho Bing tak mau memberi kesempatan lagi. Tongkatnya yang garang itu sekali lagi terayun dalam bentuk lingkaran. Begitu kuatnya sehingga tongkat itu mengeluarkan suara lengkinganSeperti suara suling yang ditiup kuat-kuat! Sekejap telinga Tio Ciu In seperti tercocok oleh ribuan jarum! Otomatis konsentrasi dan keseimbangannya ter ganggu! Dan pada saat itu pulalah tiba-tiba tongkat Ho Bing menerjang pinggangnya!

   "Auugh!" Tio Ciu In mengeluh. Tubuhnya terhuyung. Ujung tongkat itu mengenai jalan darah ki-ping-hiat di bawah punggungnya, yang membuat seluruh tubuhnya menjadi lemas. Dan kawanan serigala itu telah siap untuk menerkam tubuh Tio Ciu In. Tapi Ho Bing lebih dulu menyambarnya.

   "Hihihi... tidak boleh! Ini bagianku, kawan!"

   Ho Bing menggendong tubuh Tio Ciu In. Dengan tangkas ia menerobos kepungan serigala, lalu masuk ke ruangan dalam melalui pintu rahasia. Sementara itu pesta pora tetap berlangsung dengan meriah. Kawanan serigala yang sudah terlanjur gila itu saling menyerang diantara mereka sendiri. Sebentar kemudian Tio Ciu In telah siuman kembali. Dia sangat terkejut ketika mengetahui dirinya berada di dalam gendongan Ho Bing. Dia mau meronta, tapi tak bisa. Seluruh urat darahnya tersumbat! Berbicarapun ia tak mampu! Ho Bing membawanya ke ruang bawah tanah. Satu persatu kakinya melangkah menuruni kayu. Tubuhnya yang kecil memang terlalu berat untuk menggendong tubuh Ciu In. Ruangan itu benar-benar lembab, sehingga lampu minyak di atas meja tak mampu untuk menghangatkannya. Di pojok kiri ada sebuah bangku panjang beralaskan jerami. Ho Bing meletakkan tubuh Tio Ciu In di sana.

   "Hihihi, aku sungguh beruntung sekali hari ini! Sekali menebar jala, seorang bidadari cantik dapat tertangkap dengan mudah! Oh-hoooo, betapa mulus kulitnya! Benar-benar seperti sutera!" Bagaikan orang gila Ho Bing meraba dan mengelus-elus pipi dan leher Tio Ciu In. Di dalam ketakutannya Tio Ciu In terus mencoba membebaskan diri. Dan akhirnya ketika wajah yang kasar dan berminyak itu hendak mencium pipinya, Ciu In telah berhasil membebaskan urat gagunya.

   "Jangannnnnn...!" Tio Ciu In menjerit keras sekali, sehingga Ho Bing meloncat mundur saking kagetnya. Beberapa saat lamanya pengemis itu memandangi wajah Tio Ciu In. Dia seperti tak percaya bahwa gadis itu mampu melepaskan totokannya. Tapi ketika dilihatnya gadis itu hanya bisa melepaskan urat gagunya, ia tertawa

   "Bukan main! Ternyata tenaga dalammu hebat juga. kau dapat membebaskan diri dari totokanku, meskipun hanya sebagian...! Untunglah aku tadi tidak berlaku sembrono terhadapmu. Coba, kalau aku hanya main pukul saja, tanpa menggiring dan menjebakmu di dalam rumah ini, mungkin tugasku bisa gagal!"

   "L-le-paskan aku...! Lepaskan aku! Aku..." Tio Ciu In berseru serak dan hampir menangis.

   "Lepaskan? Huh, enaknya! Aku sudah dibayar mahal untuk tugas ini. Bagaimana mungkin aku bisa membatalkannya? Hehe he! Apalagi setelah melihat wajahmu! Betapa cantiknya! Aku benar-benar terpesona, tanpa diupahpun aku juga mau..." Selesai berbicara Ho Bing kembali mendekatkan wajahnya untuk mencium Tio Ciu In.

   "Tahaaaaaan!" Gadis ayu itu menjerit lagi.

   "Ada apa lagi, Bidadariku? Ingin kubuka dulu pakaianmu agar kau tidak merasa kegerahan? Boleh... boleh!"

   "Jangaaaaann...!"

   "Lalu, apa yang kau kehendaki?" Ho Bing yang sudah kalap itu berhenti sebentar.

   "Ceritakan dulu! Siapa kau sebenarnya? Dan siapa pula yang mengupahmu?" Tiada jalan lain bagi Tio Ciu In selain mengulur-ulur waktu. Sambil bertanya otaknya bekerja keras untuk mencari jalan keluar. Pengemis itu mengedip-edipkan matanya. Wajahnya kelihatan puas sekali. Puas dan gembira.

   "Oh, jadi kau ingin tahu siapa yang memberi tugas kepadaku? Boleh! Nah, apakah kau kenal dengan gadis cantik bernama... Mo Goat? Dia yang memberi banyak uang kepadaku. Dia meminta agar aku mau menangkapmu dan mengurungmu di tempat ini, lalu memperkosamu setiap hari, sampai akhirnya kau mati secara mengenaskan." Bulu roma Tio Ciu In bergetar dengan hebat. Wajahnya menjadi pucat, seakan-akan darahnya langsung membeku mendengar ancaman itu.

   "Mo Goat...?" Tio Ciu In ternganga.

   Di dalam kengeriannya Ciu In merasa kaget setengah mati. Gadis kejam yang dijumpai di restoran itu ternyata benar-benar membuktikan ancamannya. Semua orang yang bentrok dengan dia harus mati. Apalagi dia itu orang Han. Dan kini, gadis itu benar-benar mengirimkan seorang pembunuh kepadanya. Sungguh keji! Begitu ingat Mo Goat, otak Ciu In segera ingat kepada Pendekar Buta pula! Dan untuk sekejap matanya berbinar. Tapi sekejap kemudian wajahnya kembali muram. Tak mungkin dia bisa meminta pertolongan orang itu. Selain tempat itu sangat terpencil, ruang di mana dia beradapun jauh di bawah tanah. Meskipun berteriak setinggi langit, tak seorangpun akan bisa mendengarnya. Apalagi cuma dengan bernyanyi seperti yang diminta oleh orang tua itu.

   "Nah, kau sudah mengenal gadis itu, bukan? Dan tentang aku, kau juga sudah tahu pula. Selama ini aku memang sangat menyukai perempuan, sehingga kawan-kawanku memberi julukan si Tongkat Bocor, hehehe...!" Selesai tertawa pengemis itu kembali mendekatkan mukanya. Dan kali ini Tio Ciu In tak ingin menjerit lagi. Satu-satunya jalan untuk melawan hanya menyemburkan ludahnya ke muka penjahat itu!

   "Cuuuh! Cuuuh!" Ho Bing tak menyangka akan hal itu menjadi kelabakan. Wajahnya yang kelimis dan berminyak itu segera berlepotan dengan ludah Tio Ciu In.

   "Bangsat keparat! Perempuan celaka!" Bukan main berangnya pengemis itu. Sambil mengeluarkan kata-kata kotor tangannya mencengkeram baju Tio Ciu In dan merenggutnya kuat-kuat.

   "Brrrrrrt!" Baju itu sobek dan terlepas. Tak selembar benangpun menutupi pundak dan dada Tio Ciu In, sehingga kulitnya yang lembut itu seolah-olah bercahaya di dalam kegelapan. Begitu mempesonakan pemandangan itu sehingga Ho Bing seperti terpaku di tempatnya. Tak terasa pengemis itu menelan ludahnya berkali-kali.
(Lanjut ke Jilid 14)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 14
Akan tetapi sebaliknya, Tio Ciu In Hampir pingsan mendapat perlakuan seperti itu. Rasanya takut, malu dan ngeri, membuat gadis itu seperti kehilangan akal. Tiba-tiba Ho Bing terbelalak. Matanya yang melotot itu melihat sebuah tato kecil di bagian kiri atas dari buah dada Tio Ciu In. Gambar tato itu berbentuk burung Hong! Burung Hong yang sedang mengepakkan sayapnya. Indah bukan main! Sekali lagi Ho Bing menelan ludahnya. Pemandangan itu membuat otaknya semakin tidak bisa dikendalikan lagi. Namun sebelum ia menerkam tubuh Tio Ciu In, lonceng di dalam ruangan itu tiba-tiba berbunyi.

   "Kurang ajar! Sudah berkali-kali kukatakan bahwa jangan sekali-kali datang ke tempat ini! Tapi tetap saja datang! Huh!" mulutnya menggeram. Dengan sikap malas dan geram pengemis itu melangkah ke tangga. Sambil berjalan matanya tetap tak lepas dari tubuh Tio Ciu In, sehingga tubuhnya hampir menabrak meja.

   "Baiklah, kau tunggu dulu sebentar! Aku akan melihat siapa yang datang! Setelah itu kita lanjutkan lagi acara kita..." Sebentar kemudian pengemis itu meng hilang di balik pintu. Merasa ada kesempatan Tio Ciu In lalu berusaha untuk membebaskan totokannya. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi totokan itu benar-benar sulit dibuka.

   Keringat sampai mengalir membasahi dada bergambar burung Hong itu. Akhirnya tidak hanya keringat yang mengalir, tapi air matapun mulai menetes dari mata Tio Ciu In. Gadis ayu itu benar-benar mulai putus asa sekarang. Dan di dalam keputusasaannya, tak terasa bibirnya mulai bergumam dengan nyanyian. Nyanyian yang disukai si Pendekar Buta itu. Semakin lama semakin keras. Bahkan untuk melepaskan segala kepepat-an hatinya, Tio Ciu In menyanyikannya dengan seluruh perasaan. Bahkan dengan dorongan seluruh tenaga saktinya. Suara yang keluar dari bibir Ciu ln memang tidak terlalu keras, namun dorongan tenaga dalamnya ternyata mampu menggetarkan udara di sekelilingnya. Memantul dan bergema ke segala penjuru, bagaikan getaran suara guruh yang merambat melalui udara. Ternyata tanpa disadari Tio Ciu In bernyanyi dengan Iontaran ilmu Coan-im-jip-pit!

   Apabila di malam yang gelap gilita.
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama.
Maka malampun bagai tersentak dari tidurnya.
Untuk menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku...!
Aku selalu mengharap kehadiranmu!

   Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan Liu Wan telah tiba di tempat kediamannya. Rumah di tengah-tengah empang itu kelihatan sepi. Dan Lo Kang yang sudah tidak sabar lagi un-tuk melihat keadaan saudaranya, segera mendahului menyeberang. Pelayan gagu itu bergegas membuka pintu. Tapi tiba-tiba tubuh Lo Kang terpental balik.

   "Lo Kang!" Liu Wan berseru. Pemuda yang berpakaian sebagai Tabib Ciok itu melesat ke depan dengan tangkasnya. Tubuhnya yang tegap itu bagaikan burung rajawali yang terbang melintasi empang. Di lain saat tubuh Lo Kang telah ditangkapnya. Liu Wan menurunkan tubuh Lokang di sampingnya. Matanya hampir tak lepas dari lubang pintu, di mana Lo Hai yang baru saja menyerang saudaranya itu berdiri dengan garang. Pembantunya yang lain itu telah siap untuk melancarkan pukulannya lagi.

   "Lo Hai...! kau kenapa, hei?" Liu Wan berteriak bingung.

   "Mengapa kau menyerang saudaramu?" Tapi Lo Hai yang biasanya sangat penurut itu, tiba-tiba melompat ke luar dan menghantam dada Liu Wan. Dari te lapak tangannya meluncur getaran tenaga berputar seperti layaknya tenaga untuk menutup botol minuman. Liu Wan terkejut. Lo Hai langsung mempergunakan ilmu silat perguruannya, Hong-lui-kun-hoat (Pukulan Petir dan Badai)! Pukulan itu merupakan pembukaan dari jurus yang ke sembilan, yang di-sebut Badai Berputar Menerjang Ombak!

   Jurus itu biasa dilontarkan bila berhadapan dengan lawan bertenaga besar! Lo Hai maupun Lo Kang memang bukan saudara seperguruan Liu Wan. Mereka berdua hanyalah pelayan dan pembantu kepercayaan gurunya. Namun oleh gurunya mereka berdua juga diberi pelajaran ilmu silat. Meskipun hanya kulitnya! Tapi karena sebelum mengabdi pada guru Liu Wan, Lo Kang dan Lo Hai juga telah memiliki ilmu silat tinggi, maka tambahan ilmu itu sudah cukup membuat mereka semakin berbahaya. Demikianlah, meskipun jurus Badai Berputar Menerjang Ombak tersebut tidak ditopang dengan tenaga sakti yang asli dari perguruan Liu Wan, namun perbawanya ternyata cukup mengerikan. Dada Liu Wan yang merupakan sasaran pokok dari pukulan itu tiba-tiba seperti diremas olah sebuah kekuatan yang tidak kelihatan!

   "Lo Hai, jangan!" Liu Wan berteriak dan bergegas melejit ke samping untuk menghindarkan diri. Karena terburu-buru maka segumpal dari jenggot penyamarannya terlepas. Namun seperti orang kesurupan Lo Hai tetap saja menyerang Liu Wan. Semakin lama semakin gencar. Bahkan serangan itu tetap tidak mau berhenti walaupun Lo Kang yang sudah bisa mengo-bati luka-lukanya itu mencoba melerai saudaranya.

   "Sudahlah, Lo Kang. Engkau mundurlah! Biarlah kucoba untuk melumpuhkan kekuatannya dulu." Liu Wan memperingat kan pembantunya. Lo Kang memberi isyarat kepada Liu Wan.

   "Jangan khawatir. Aku tidak akan melukainya. Aku hanya ingin melumpuhkannya, agar kita lebih tahu apa yang menyebabkan dia berbuat seperti ini." Pemuda itu menjawab. Tapi untuk melumpuhkan Lo Hai tidaklah mudah. Ilmu silat Lo Hai hanya satu tingkat di bawah Liu Wan. Maka dengan sangat terpaksa pemuda itu juga mengeluarkan ilmu andalannya. Hong-lui-kun-hoat!

   Liu Wan menjejakkan kakinya ke lantai. Tubuhnya segera melenting ke atas dalam jurus Awan Mengambang Menutupi Bumi. Kedua lututnya menempel perut, sementara kedua lengannya mengembang ke depan membentuk sapit udang. Kemudian dengan sekuat tenaga pemuda itu mengayunkan kedua kakinya ke bawah, menuju ke arah ubun-ubun! Lo Hai tersentak kaget. Tapi gerakannya sungguh cepat puja. Sambil mengangkat kedua sikunya ke atas, orang tua itu melangkah setindak ke kiri. Gerakannya sungguh indah. Tubuhnya meliuk ke kanan seperti pohon cemara yang akan roboh. Namun bersamaan dengan gerakan itu, ke sepuluh jari tangan Lo Hai telah terkepal dalam bentuk kepala ular. Selanjutnya kepala ular itu segera me-matuk kaki Liu Wan. Kali ini Lo Hai tidak mempergunakan ilmu Hong-lui-kun-hoat lagi. Orang tua itu mengeluarkan ilmu silatnya sendiri.

   Sebuah ilmu silat dari daerah Selatan, yang lebih mementingkan kekuatan tenaga dalam daripada kemampuan geraknya! Gerakannya sangat sederhana dan mudah diduga, namun dengan kekuatannya ternyata gerakan itu sulit dielakkan! Tangan itu memang, belum menyentuh sasaran, tapi kekuatan yang mendorongnya ternyata telah lebih dulu tiba di kaki Liu Wan. Sengatan udara panas membuat Liu Wan cepat-cepat menarik kedua kakinya sambil membuat salto dua kali ke depan. Jleg! Tanpa mendapat kesulitan pemuda itu mendaratkan kakinya di depan pintu. Dari tempatnya berdiri Liu Wan segera menyerang kembali. Kedua tangannya mendorong ke depan dalam jurus Satu Petir Dua Gelombang. Jurus ke dua puluh satu dari Hong-lui-kun-hoat. Dari telapak tangannya meluncur angin pukulan yang menyambar punggung Lo Hai dengan dahsyatnya.

   "Dhuaaaar!" Pukulan itu menyambar tempat kosong, karena dengan tangkas Lo Hai telah keburu melejit ke kanan!

   Melihat letupan yang dahsyat itu Lo Kang tak kuasa menahan dirinya lagi. apapun yang telah dilakukan Lo Hai kepadanya, dia tetap tidak tega melihat saudaranya itu terluka. Dengan badan masih terasa sakit, ia segera melesat di antara Liu Wan dan Lo Hai. Kedua tangannya membuat isyarat untuk memohon belas kasihan Liu Wan. Liu Wan menggigit bibirnya.

   "Jangan khawatir, aku tidak akan melukainya. Aku hanya ingin meringkus. Menyingkirlah...!" Namun Lo Kang tetap menggoyang-goyangkan tangannya. Bahkan dia lalu membalikkan tubuhnya dan berusaha memeluk saudaranya. Tangannya mengembang ke arah Lo Hai. Tapi tiba-tiba telapak tangan Lo Hai menyambar ke depan dengan cepatnya. Di tangannya telah terhunus sebilah pisau tajam.

   "Cuuuuuus!" Pisau itu menancap tepat di ulu hati Lo Kang! Suatu hal yang benar-benar tak diduga oleh Liu Wan maupun Lo Kang sendiri!

   "Uh-uh-uh...?" Sekejap mata Lo Kang terbelalak tak percaya. Tapi di lain saat tubuhnya segera terbanting di atas lantai. Mata itu tetap terbeliak, namun nyawanya sudah melayang.

   "Lo Kang...!" Liu Wan menjerit dan menubruk tubuh pembantunya. Tapi lagi-lagi Lo Hai yang sudah kalap itu menghunjamkan pisaunya ke arah Liu Wan. Untunglah Liu Wan tetap waspada. Otomatis kedua tangannya menampar ke depan. Karena ada kemarahan yang terpendam di dalam hati, maka seluruh kekuatannya seolah meluncur begitu saja dalam tangkisan itu. Duaaaar! Tangan itu seperti mengeluarkan suara ledakan ketika bertemu dengan lengan Lo Hai! Pelayan itu mengeluh, sementara pisau di tangannya terlempar ke bawah, persis mengenai pung-gung Lo Kang! Dan pisau itu menancap sampai di gagangnya! Kemarahan Liu Wan benar-benar tak bisa dikendalikan lagi.

   "Kurang ajar! kau... Kau! Oh, binatang apa sebenarnya kamu ini?" pemuda itu menjerit. Liu Wan tak bisa berpikir lagi. Tak terasa kedua tangannya menyambar ke depan dalam jurus Mencabut Hutan Mengangkat Gunung, gerakan terakhir dari Hong-Iui-kun-hoat! Jurus itu diciptakan oleh kakek gurunya pada saat ditinggal pergi nenek gurunya! Perasaan marahi, sedih dan tertekan seperti tertuang dan terungkap dalam jurus itu! Maka tidak mengherankan bila pengaruhnya sungguh hebat tiada terkira! Sekali lagi di hari yang cerah itu terdengar suara letupan petir menyambar. Dan pada saat yang sama tubuh Lo-Hai tampak terlempar tinggi ke udara. Lo Hai berusaha menyelamatkan diri dengan menggeliatkan tubuhnya beberapa kali. Gerakan tersebut mampu menahan daya luncur tubuhnya ketika kembali jatuh ke bawah.

   Namun demikian tamparan Liu Wan yang dahsyat tadi telah mengacaukan seluruh susunan syaraf dan aliran darahnya. Bagaikan hutan dan gunung yang diaduk oleh topan puting beliung, maka seperti itu pulalah keadaan tubuh Lo Hai ketika kakinya mendarat di atas papan. Orang tua itu sudah tidak berdaya lagi ketika menjejakkan kakinya. Tubuhnya tersungkur di dekat mayat Lo Kang, saudaranya. Dan matanya yang terbuka itu tampak berkedip-kedip menahan tangis. Mata itu tampak redup dan tidak liar lagi. Tiba-tiba Liu Wan seperti terbangun dari mimpinya. Matanya terbelalak kosong, seolah tak percaya apa yang telah terjadi. Dipandangnya tubuh Lo Hai yang bergetaran itu beringsut mendekati mayat Lo Kang. Darah mengalir dari sela-sela bibirnya. Dan sebentar kemudian orang itu telah memeluk mayat saudaranya dengan air mata bercucuran. Keduanya mati di depan kaki Liu Wan.

   "Lo Hai... Lo Kang!" Liu Wan tak kuasa membendung rasa sedihnya. Pada saat-saat terakhir baru terpikir olehnya ketidakberesan itu. Sikap Lo Hai sangat aneh dan tidak sewajarnya. Dan keadaan itu seperti sudah terlihat pula oleh Lo Kang. Tapi karena tidak bisa berbicara, maka Lo Kang tidak bisa mengatakannya. Lo Kang hanya berusaha untuk mencegah dan menghentikan kesalah-pahaman itu. Liu Wan berlutut di depan mayat mereka. Terbayang kembali saat-saat Lo Hai memeluk mayat saudaranya. Wajah dan pandang matanya kelihatan wajar seperti biasanya. Bahkan matanya yang berkeriput itu tampak mengalirkan air mata. Sungguh sangat berlainan dengan saat berkelahi melawan dirinya tadi.

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lo Hai! Apa yang telah terjadi denganmu? Bukan watakmu untuk berbuat seperti itu, apalagi sampai membunuh saudara kembarmu sendiri. Tentu ada sesuatu di luar kehendakmu, yang membuatmu berbuat seperti ini. Buktinya pada saat-saat terakhir kau kembali normal seperti biasanya..." Satu persatu mayat itu dibawa Liu Wan ke dalam. Mereka diletakkan berjajar di atas meja. Ketika Liu Wan membuka jubahnya untuk menutupi jasad mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara mencurigakan dari ruang dalam.

   "Siapa...?" Sambil menyapa Liu Wan melesat ke dalam. Seluruh kekuatannya siap untuk dipergunakan. Tiada siapapun di sana. Liu Wan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memeriksa ruangan itu. Namun tak seorangpun dilihatnya. Perlahan-lahan dia bergeser ke bagian belakang, dimana dia memasang gambar-gambar keluarganya.

   "Ah...!" Tiba-tiba otot Liu Wan menegang. Tampak di dalam ruangan itu seorang pemuda tampan sedang menggoyang-goyangkan kipasnya. Dan di sebelahnya berdiri seorang lelaki yang tak mungkin dilupakan oleh Liu Wan! Sogudai! Pemuda tampan itu tampak pucat, namun sorot matanya sungguh tajam luar biasa. Di depan mereka, persis di tengah-tengah ruangan, terlihat tiga orang lelaki diikat menjadi satu. Mereka ada-lah seorang pemuda dan dua orang tua, di mana salah seorang di antara orang tua itu benar-benar sudah lanjut usia.

   "Inikah Bun-bu Siucai itu, Sogudai?" Pemuda tampan yang tidak lain adalah Mo Hou bertanya kepada Sogudai.

   "Benar, Kongcu. Telah Kongcu lihat sendiri betapa pandainya dia menyamar sebagai seorang tabib tua. Apabila tidak menyaksikan sendiri jenggotnya yang copot tadi, mungkin kita sudah terkecoh pula" olehnya." Sogudai menjawab dengan suara geram.

   "Jangan banyak bicara! Aku sudah tahu... dan aku tidak suka melihat dandanannya itu! Ternyata ia hanya seorang pengecut yang berlindung di balik topeng-topeng penyamarannya! Aku justru lebih menghargai pemuda lemah yang kau ikat itu. Dia lebih berani daripada pengecut itu..." Pantang bagi pemuda seperti Liu Wan disebut sebagai pengecut. Apalagi oleh gerombolan pengacau seperti Sogudai dan kawan-kawannya. Tak heran bila wajah di balik penyamaran itu tiba-tiba menjadi merah padam.

   "Aku belum kenal denganmu. Tapi enak saja kau berkata jelek tentang aku. Apakah kau sadar apa yang kau katakan? Apakah kau benar-benar masih waras?" Ternyata kata-kata Liu Wan yang pedas itu menyulut kemarahan Mo Hou pula. Terdengar suara berkerotokan ketika pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya.

   "Kurang ajar! Mulutmu sangat tajam! Kubunuh kau...!"

   "Tahan!" Liu Wan mengangkat tangannya ke atas.

   "Sebelum bertempur aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Siapakah engkau ini sebenarnya? Apa hubunganmu dengan Sogudai? Dan siapa pula orang-orang yang kau ikat ini?" Mo Hou menurunkan tangannya kembali. Namun matanya masih berkilat penuh hawa pembunuhan ketika menjawab pertanyaan Liu Wan.

   "Aku bukan pengecut yang suka menyembunyikan diri seperti engkau. Aku orang Hun dari luar Tembok Besar. Aku putera Raja Mo Tan Yang Agung. Namaku Mo Hou dan Sogudai adalah pem-bantuku. Kedatanganku ke sini adalah untuk menangkap dan membunuhmu, karena kau telah berani mengganggu anak buahku. Nah, apa lagi...?" Jawaban itu memang sangat mengejutkan Liu Wan. Meskipun sejak semula ia sudah menduga kalau Sogudai itu tentu memiliki hubungan dengan Raja Mo Tan, namun kenyataan tersebut tetap saja menggetarkan hatinya. Kini tinggal mencari, apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang Mo Tan itu di Tionggoan.

   "Dan kedatanganku di sini tidak ada hubungannya dengan orang-orang Im-yang kau ini. Kami bermusuhan dengan mereka sejak mereka mencampuri urusan kami kemarin malam. Mereka melarikan diri dari pertempuran. Maka ketika kutemui mereka di sini, kami tak mau kehilangan lagi. Nah, sekarang giliranmu untuk menyerahkan diri. Akan kuikat kau bersama mereka, kemudian kubakar bersama rumahmu ini. Hmmmmmm, bagus sekali, bukan?" Mo Hou meneruskan ucapannya. Liu Wan tidak memperdulikan ancaman tersebut. Pikirannya lebih terpusat pada orang-orang yang terikat itu. Liu Wan memang belum pernah mengenal tokoh-tokoh Im-yang-kauw. Namun demikian di dalam hatinya timbul juga perasaan, jangan-jangan salah seorang dari mereka itu adalah Giam Pit Seng, guru Tio Ciu In.

   "Aku tahu, kau ingin membalas dendam atas kekalahan Sogudai di Kuil Pek-hok-bio. Tapi sebelum bertempur, katakan juga kepadaku, apakah kematian pembantuku tadi juga karena perbuatan-mu?" Mo Hou tertawa panjang. Gema suaranya menggetarkan permukaan air empang di sekeliling pondok itu, sehingga ikan-ikan kecil di dalamnya tampak berlarian menyembunyikan diri di balik bebatuan.

   "Huh, mengapa otakmu begitu bodoh? kau telah memperlakukan Sogudai seperti binatang buruan. Maka tidak ada salahnya pula kalau aku juga memperlakukan pembantumu seperti ayam aduan. Bukankah hal itu sudah adil?"

   "Manusia tak berperasaan...!" Liu Wan mengumpat.

   "Sudahlah! Waktuku tidak banyak. Dan sebentar lagi matahari juga akan terbenam. Tidak enak rasanya kalau malam-malam membakar rumah ini. Ayoh, menyerahlah! kau bukan lawan yang setimpal untukku..." Mo Hou menggeram.

   "Tunggu...! Satu pertanyaan lagi! Benarkah kAu-yang membantai para prajurit dan perwira kerajaan itu?" Sekonyong-konyong pemuda itu menggertakkan giginya.

   "Tidak salah! Setiap prajurit Kerajaan Han memang layak untuk dibunuh! Nah... Kau mau apa?"

   "Kemarin aku bertemu dengan seorang gadis bernama Mo Goat. kau kenal" dia?" Dalam kekagetannya Liu Wan masih berusaha untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya. Mo Hou tersentak kaget. Matanya yang dingin tajam itu berkilat-kilat mengawasi Liu Wan. Ada sinar kecurigaan di mata bak burung hantu itu.

   "Kau maksudkan seorang gadis yang selalu memegang kipas seperti kepunyaanku ini?" tanyanya kemudian tak percaya.

   "Ya!" Liu Wan menganggukkan kepalanya. Mo Hou menatap Sogudai sebentar.

   "Gila! Kenapa bocah itu sudah ada di sini?" Ia bergumam penasaran. Pemuda itu melangkah setindak ke depan, sehingga Liu Wan bergegas mengerahkan seluruh kekuatannya. Mo Hou adalah putera Mo Tan, Raja dari seluruh suku bangsa liar di utara Tembok Besar. Mo Tan sangat terkenal akan kehebatan ilmunya, karena itu Mo Hou tentu lihai pula seperti ayahnya.

   "Dengan siapa adikku itu berada ketika bertemu denganmu?"

   "Oh... jadi gadis galak itu adikmu?" Diam-diam perasaan Liu Wan menjadi kecut. Kalau Mo Goat saja demikian dahsyatnya, apalagi kakaknya. Tak terasa keringat dingin mulai mengalir membasahi punggungnya.

   "Gila! Cepat katakan...! Dengan siapa adikku itu berada?" Tiba-tiba Mo Hou berseru bengis.

   "Aku tidak tahu nama-nama mereka. Hanya salah seorang di antaranya dipanggil dengan sebutan Panglima..."

   "Solinga!" Mo Hou berdesah. Matanya menatap Sogudai.

   "Kongcu...?" Sogudai menanti perintah. Pemuda itu mendekati Sogudai, lalu berbisik pelan.

   "Pergilah menemui Lok-kui-tin! Katakan kepada mereka bahwa adikku dan Panglima Solinga sudah berada di kota ini! Katakan pula agar me-reka mencari rombongan itu dan menunggu kedatanganku di tempat biasanya!"

   "Bagaimana dengan dia?" Sogudai menunjuk ke arah Liu Wan.

   "Jangan pedulikan dia. Bocah yang menyamar jadi tabib ini juga akan kuikat pula seperti yang lain. Mereka akan kubakar bersama-sama rumah ini. Nah, pergilah!" Sogudai tidak berani membantah lagi. Sekali berkelebat tubuhnya yang besar itu melesat ke luar pondok. Sebentar saja dia telah menghilang di balik rimbunnya pepohonan.

   "Nah, Bun-bu Siucai... Nama julukan-mu sangat hebat. Aku percaya kepandai-anmu tentu hebat pula. Tapi demi kebaikanmu sendiri, engkau tak usah melawan. Coba kau lihat, siapa yang terikat di depanmu itu? Mereka adalah tokoh-tokoh puncak aliran Im-yang-kauw. Orang tua yang sudah uzur itu adalah Lojin-Ong, sesepuh Im-yang-kauw. Di waktu mudanya ia disebut orang Toat-beng-jin (Ma lu^sia Pencabut Nyawa). Sedangkan yang lain adalah Giam Pit Seng, Ketua Cabang Im-yang-kauw daerah timur bersama muridnya. Nah, mereka bertiga tidak kuasa melawan aku. Apalagi... Kau!"

   Selesai bicara Mo Hou mengangkat tangan kanannya, siap untuk menyerang. Tangan kirinya yang memegang kipas tetap terlipat di depan dada. Hawa dingin berembus dari dalam tubuhnya, suatu tanda bahwa tenaga dalamnya telah tersalur ke seluruh darahnya. Liu Wan terkejut. Benar juga dugaan nya, ternyata salah seorang di antara orang yang terikat itu adalah guru Tio Ciu In. Tapi tidak ada kesempatan untuk menolong mereka. Ia tidak bisa mengelak lagi dari pertempuran itu. Bagaimanapun juga dia tetap harus berkelahi melawan Mo Hou. Apabila ilmu silat pemuda itu memang lebih tinggi daripada adiknya, maka kesempatannya memang sangat tipis. Dan apa yang ditakutkan oleh Liu Wan memang menjadi kenyataan. Begitu bergerak tubuh Mo Hou laksana burung walet menyambar mangsanya. Walaupun sudah bersiap-siaga, gerakan Liu Wan tetap terlambat setindak.

   Serangan tangan kanan Mo Hou yang berbentuk cengkeraman itu hampir saja mengenai pelipisnya. Liu Wan sudah berusaha menghindar secepatnya, namun serangan itu tetap menyerempet rambutnya. Bahkan dorongan hawa dingin yang menyertai serangan tersebut terasa membeset kulitnya dan mencabut beberapa lembar rambut di keningnya. Buru-buru Liu Wan membanting tubuh ke samping, sekalian melepaskan sebuah pukulan berputar dari bawah ketiaknya. Gerakan itu disebut Membuat Bendungan Menadah Hujan, jurus ke tiga puluh tiga dari Hong-Iui-kun-hoat. Jurus ini memang diciptakan untuk menangkal dan menghadapi lawan yang lebih kuat. Bagaikan sebuah bendungan air tubuh Liu Wan menyedot sebagian dari arus kekuatan lawan, kemudian memuntahkannya kembali lewat pukulan tangannya.

   "Bagus...!" Mo Hou menghindar seraya memuji.

   "Dhuuuuaaar!" Pukulan udara kosong Liu Wan meledak hanya sejengkal dari tubuh Mo Hou! Ternyata Mo Hou bergerak lebih cepat. Tubuhnya yang jangkung itu menyelinap ke kanan. Begitu cepatnya sehingga mata Liu Wan hampir tidak bisa mengikutinya. Pemuda itu seperti menghilang begitu saja. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Liu Wan merasa seperti diterpa oleh hembusan angin dingin dari arah belakang. Hembusan hawa dingin itu begitu kuatnya, sehingga kulit punggungnya bagai dicocok dengan ribuan batang jarum. Liu Wan tahu bahwa Mo Hou berada di belakangnya. Tetapi untuk berbalik serta menangkis serangan tersebut, jelas tidak ada waktu lagi.

   Namun kalau harus menghindar lagi, dia akan semakin kalah langkah dan terdesak. Bahkan pada serangan selanjutnya dia tentu akan mati langkah dan tidak bisa berkutik lagi. Hal itu berarti bahwa dia ditundukkan lawan dalam tiga jurus saja! Demikianlah, pada saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba Liu Wan mengambil keputusan yang amat riskan dan berbahaya. Bahkan bisa dibilang untung-untungan. Dia biarkan pukulannya itu mengarah ke punggungnya, sementara secara naluriah tubuhnya menggeliat sedikit untuk memperkecil bidan sasaran. Kemudian dengan berani Liu Wan menghantamkan sikunya ke belakang, untuk menyongsong pukulan Mo Hou. Liu Wan hanya berharap agar lawannya yang belum kenal Hong-lui-kun-hoat itu menjadi ragu-ragu dan mengurungkan niatnya. Ternyata perhitungan Liu Wan benar. Melihat keberanian Liu Wan, pemuda itu justru menjadi curiga.

   Pemuda itu menyangka ada jebakan dalam gerakan Liu Wan, sehingga dengan cepat pula dia menahan tangannya. Serangan yang sudah hampir mengenai sasaran itu buru-buru ditarik kembali dan diganti dengan tendangan kaki ke arah pinggang. Tapi waktu yang hanya sesaat itu sudah lebih dari cukup bagi Liu Wan. Begitu serangan Mo Hou yang berbahaya itu ditarik, Liu Wan dengan tangkas meloncat mundur. Gerakan yang dia laku pada saat yang sangat berbahaya lawan benar-benar cepat bukan main. Siiiing! Ujung sepatu Mo Hou mengejar perut Liu Wan, namun gagal. Ujung sepatu itu hanya mampu menyerempet baju Liu Wan hingga bolong. Sebaliknya Liu Wan yang telah dapat membebaskan diri dari tekanan Mo Hou, segera balas menerjang dengan jurus Sambaran Petir Membelah Bumi! Telapak tangan Liu Wan menyambar ke bawah, tertuju ke arah perut Mo Hou!

   "Kurang ajar! Ternyata engkau berisi juga seperti tokoh Im-yang-kau tua itu! Mampu melayani tiga jurus seranganku tanpa terluka! Tapi jangan bergembira dulu, karena semuanya ini baru dimulai, serangan sebenarnya baru akan keluar sebentar lagi..." Sambil berbicara Mo Hou melangkah ke tengah ruangan, menjauhi tubuh Lojin-Ong dan Giam Pit Seng, sekejap wajah yang tampan tapi berkesan licik itu meringis seperti menahan sakit.

   "Kau memang beruntung, Bun bu siucai apabila aku tidak terluka oleh pukulan Put pai siu hong jin, kau tak mungkin bisa menghindar pukulanku tadi"

   "Put pai siu hong jin? kau berkelahi dengan orang tua itu?"

   "Hmmm... Lojin-Ong dan put pai siu hong jin mencoba menyelamatkan para prajurit itu, sayang usaha mereka sia-sia, Lojin-Ong melarikan dari pertempuran, sementara Put pai siu hong jin terbenam ke dalam laut."

   Li Wan merasa semakin kecut hatinya, meskipun dia juga merasa memiliki kepandaian, namun kalau dibandingkan dengan Put pai siu hong jin dan Lojin-Ong terang ia belum ada apa-apanya, aabila benar mereka itu telah dikalahkan oleh Mo Hou berarti diapun tak mungkin bisa selamat pula. Tapi Liu Wan tak ingin menyerah begitu saja, di dalam petarungan silat semua kemungkinan bisa terjadi, orang yang memiliki ilmu silat lebih tinggi belum tentu selalu mendapatkan kemenangan, kadang-kadang kecerdikan dan akal budi lebih diutamakan, bahkan nasib orangpun sering menentukan pula. Liu Wan benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya. Hong lui sin kang yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun terungkap sampai ke puncaknya, kulitnya berubah kecoklatan seperti tembaga yang berkilat di timpah matahari.

   Mo Hou juga maklum bahwa lawannya memiliki kepandaian tinggi, tanpa ilmu silat yang baik tak mungkin pemuda itu mendapatkan julukan Bun bu siucaidan mengalahkan Sogudai. Sogudai telah dikenalnya dengan baik, begitu pula dengan ilmu silatnya. Oleh karena itu begitu bergerak Mo Hou mengerahkan hampir tiga perempat kekuatannya. Tangannya menyambar ubun j ubun Liu Wan, diikuti oleh tebaran udara dingin yang berhembus memenuhi ruangan. Pemuda yang diikat bersama-sama dengan Lojin-Ong itu tampak bergetar menahan dingin. Liu Wan merendahkan tubuhnya. Dari bawah ia mendorong ke atas dengan dua telapak tangan terbuka. Seluruh tenaga saktinya bagai terhentak keluar, menerjang dada.

   "Wuuuuuus!" Suaranya terdengar bergemuruh laksana guruh yang menggelegar di antara hujan. Mo Hou berputar ke samping untuk mengelakkan pukulan berbahaya tersebut. Kecepatan geraknya sungguh mentakjub kan. Sepintas lalu tubuhnya seperti bayang-bayang yang meluncur dan berkelebat pergi menjauhi Liu Wan. Namun di lain saat bayangan itu kembali datang dengan serangan yang lebih dahsyat lagi. Liu Wan mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawannya, tapi tak berhasil. Semakin lama gerakan Mo Hou semakin cepat, sehingga Liu Wan terpaksa mengobral Pukulan Geledeknya untuk bertahan. Tanpa benteng pukulan geledek itu ia tak mungkin bisa menahan kecepatan lawannya.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 55 Memburu Iblis Eps 33 Pendekar Penyebar Maut Eps 30

Cari Blog Ini