Ceritasilat Novel Online

Pendekar Budiman 10


Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




   Ternyata di Tiongkok terdapat banyak sekali orang-orang kang ouw yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sekali. Suma Kwan Eng, orang kedua dari Hui-eng-pai, ketika kakaknya, yaitu Suma Kwan Seng, tewas di tangan Coa ong Sin kai, menjadi demikian sakit hati, sehingga ia lalu mengumpulkan anak buahnya dan menggabungkan diri kepada Sam Thai Koksu untuk rela menjadi kaki tangan Bangsa Kin! Suma Kwan Eng amat sakit hati kepada Hoa-san-pai, karena pembunuh adik seperguruannya, yakni Ciu Hoan Ta, adalah Tan Seng, tokoh Hoa-san-pai. Kemudian, biarpun pembunuh kakaknya adalah Coa ong Sin kai, namun terbunuhnya adalah gara gara Bi Lan, anak murid Hoa-san-pai pula! Untuk menjatuhkan sakit hati kepada Coa ong Sin kai, itulah terlalu berat baginya, maka segala kesalahan ia timpakan kepada Hoa-san-pai semua.

   Beberapa hari semenjak peristiwa yang terjadi di taman kota Cin-an itu, datanglah seorang kakek tua dari perantauannya, yaitu yang bernama Ba Mau Hoatsu, seorang tokoh dari Tibet yang kenamaan. Ba Mau Hoatsu adalah sahabat baik yang dihormati sekali dari Sam Thai Koksu dan hubungannya dengan Pemerintah Kin adalah karena Ba Mau Hoatsu ini menjadi guru dari Wan Yen Kan seorang pangeran Kin yang selain berwajah tampan, juga berilmu tinggi. Kedatangan Ba Mau Hoatsu bersama dengan pangeran ini. Semua orang menyambut dua orang agung ini dengan penuh penghormatan. Ketika Ba Mau Hoatsu mendengar tentang pengacauan di Cin-an oleh Coa ong Sin kai dan Thian Te Siang mo, ia menjadi marah sekali.

   "Kepandaian Coa on Sin kai sih tidak berapa hebat. Aku sendiri sanggup menghadapinya dan takkan kalah. Akan tetapi Thian Te Siang mo memang lihai sekali. Kalau dua orang iblis itu memusuhi kita, baiknya aku memanggil datang Pak Hong Siansu yang kini tinggal di Tibet. Hanya sahabat baikku Pak Hong Siansu itu saja yang akan sanggup menghadapi dan mengalahkan Thian Te Siang mo!" Sam Thai Kok su merasa girang sekali, akan tetapi Pangeran Wan Yen Kan berkata,

   "Akan tetapi, suhu. Bukankah Pak Hong Siansu sudah menjadi wali dari Buddha hidup di Tibet? Kedudukannya paling tinggi di Tibet, dan beliau sudah tua, mana mau datang ke sini?" Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak.

   "Benar kata-katamu itu, muridku. Akan tetapi akulah yang lebih kenal wataknya. Memang kedudukannya tinggi, hidupnya sudah makmur dan tidak membutuhkan sesuatu sehingga mustahil dia mau datang ke sini yang begitu jauh dari sana. Akan tetapi kalau kita beri tahu tentang Thian Te Siang mo, kiraku dia mau juga turun-tangan, karena dia adalah seorang yang tidak mau kalah dan kalau mendengar orang mengabarkan bahwa hanya kepandaian Thian Te Siang mo lebih tinggi dari kepandaiannya, kupastikan ia akan menjadi penasaran dan dengan sendirinya ia yang akan mencari Thian Te Siang mo untuk diajak pibu!"

   "Baiklah kalau suhu mau ke barat untuk mengunjungi Pak Hong Siansu, akan tetapi teecu hendak melancong ke Biciu," kata Pangeran Wan Yen Kan.

   "Eh, apakah kau tidak kembali ke Kotaraja dulu? Apakah nona Hoa-san-pai itu sudah demikian hebat pengaruhnya atas dirimu?" Ditanya demikian oleh gurunya, Wan Yen Kan menjadi merah mukanya.

   "Teecu ingin mengambil kepastian, suhu," katanya dan Ba Mau Hoatsu hanya tertawa.

   "Ah, orang-orang muda memang berdarah panas." Tentu saja semua orang tidak tahu akan maksud kata-kata guru dan murid ini, akan tetapi siapakah orangnya yang berani bertanya kepada Ba Mau Hoatsu atau kepada Pangeran Wan Yen Kan? Hanya seorang saja yang berada di situ menjadi amat tertarik, yaitu Suma Kwan Eng. Seperti diketahui, bekas ketua Hui-eng-pai ini menaruh hati dendam hebat kepada Hoa-san-pai, maka segala sesuatu yang didengarnya mengenai Hoa-san-pai tentu saja menarik hatinya.

   Diam-diam ia lalu mendekati Pangeran Wan Yen Kan dan mengajaknya bercakap-cakap. Pangeran Wan Yen Kan masih muda, paling banyak dua puluh empat tahun usianya. Tubuhnya tidak begitu besar, akan tetapi tegap dan gagah. Wajahnya halus tampan, rambutnya yang hitam dan tebal itu diikat di atas kepala. Dandanannya seperti orang Han dan karenanya, jarang ada orang mengetahui bahwa pemuda ini sebenarnya adalah Pangeran Wan Yen Kan, seorang pangeran putera Kaisar Kin! Wan Yen Kan suka mengenakan pakaian orang-orang Han karena memang semenjak menjelang dewasa, ia telah melakukan perantauan dan banyak menjelajah daerah pedalaman Tiongkok Karena ia semenjak kecil mendapat pendidikan ilmu silat dari Ba Mau Hoatsu,

   Maka kepandaiannya tinggi sekali dan dalam perantauannya, ia selalu berlaku hati-hati agar tidak menarik perhatian orang kang ouw, akan tetapi ia selalu dapat menjaga diri dengan baik-baik. Oleh karena ini, namanya tidak terkenal di dunia kang ouw, akan tetapi siapa saja yang sudah menghambakan diri kepada pemerintah Kin, pasti sudah mengenal nama Wan Yen Kan sebagai pangeran yang paling pandai, paling tampan paling disayang oleh Kaisar dan banyak orang meramalkan bahwa Wan Yen Kan inilah yang kelak akan menggantikan ayahnya sebagai Kaisar! Ketika Wan Yen Kan mendengar bahwa orang bertubuh tinggi besar dan nampak kuat dan gagah itu adalah ketua dari Hui-eng-pai yang ternama, ia menaruh perhatian dan sebentar saja mereka menjadi sahabat baik.

   Suma Kwan Eng memang pandai sekali bermuka muka dan bicara manis. Akhirnya ia berhasil memancing pangeran muda itu untuk menceritakan, pengalamannya yang bersangkutan dengan nona Hoa-san-pai seperti yang dibicarakan dengan Ba Mau Hoatsu tadi. Beberapa bulan yang lalu, Wan Yen Kan seorang diri sedang merantau ke selatan dan berada di wilayah Kerajaan Sung selatan. Pada masa itu, Tiongkok dibagi dua, sebelah utara Sungai Huai dikuasai dan dijajah oleh pemerintah Kin, adapun daerah selatan dari Sungai Huai dikuasai oleh Kerajaan Sung. Akan tetapi dalam kenyataannya, Kerajaan Sung setengah dijajah oleh Kerajaan Kin, dan di dalam banyak hal, Kerajaan Sung selalu mengalah. Beberapa kali terjadi pelanggaran pelanggaran oleh orang-orang dari pemerintah Kin, akan tetapi pemerintah Sung hanya mengurut dada saja dan tidak berani bertindak.

   Bahkan, Kerajaan Sung selalu bermuka muka untuk mengambil hati Kerajaan Kin yang amat kuat. Kalau saja Wan Yen Kan melakukan perjalanan sebagai seorang pangeran Kin, tentu ia akan mendapat sambutan di mana-mana, sambutan yang amat besar dan penuh penghormatan. Sebaliknya, nyawapun akan terancam bahaya besar karena selain di satu fihak para pembesar Kerajaan Sung akan menyambutnya, di lain fihak orang-orang kang ouw dan gagah perkasa yang masih menaruh sakit hati kepada bala tentara Kin yang dulu pernah menyerang ke selatan, tentu akan berusaha untuk membunuh pangeran musuh ini. Akan tetapi, seperti biasa kalau melakukan perjalanan, Wan Yen Kan selalu berpakaian seperti orang Han dan karena iapun pandai berbahasa Han seperti orang-orang Han asli ia dapat melakukan penyamaran dengan amat mudahnya.

   Pada suatu hari, tibalah ia di kota An-keng yang berada di lembah Sungai Yang-ce-kiang di Propinsi An-hui, sebuah kota yang besar dan ramai. Wan Yen Kan seorang diri, memandang keindahan kota dan keramaian di pinggir sungai. Gedung-gedung besar berada di kota An-keng gedung-gedung yang mempunyai tingkat satu atau dua dengan taman-taman bunganya yang indah. Memang lembah Sungai Yang-ce ini tanahnya subur sekali sehingga orang dapat menanam berbagai macam bunga dari daerah lain. Banyak orang-orang kaya, pedagang-pedagang dan bangsawan-bangsawan berpangkat mempunyai rumah hiburan di kota ini, baik bangsawan-bangsawan yang tinggal memangku jabatan di daerah ini maupun bangsawan-bangsawan daerah lain yang sengaja membeli rumah di tempat ini.

   Bukan hanya karena pemandangannya yang indah, tanahnya yang subur dan hawanya yang nyaman, juga daerah ini terkenal sekali mempunyai banyak...wanita cantik! Memang, wanita-wanita dari selatan jauh lebih cantik dalam ukuran umum jika dibandingkan dengan wanita-wanita dari utara. Hal ini tentu saja tergantung sepenuhnya dari selera pandangan mata kaum laki-laki, akan tetapi memang harus diakui bahwa gadis-gadis dari selatan lebih cantik. Mungkin karena iklimnya. Betapapun juga, demikianlah pendapat Wan Yen Kan, pangeran Kin itu! Ketika Wan Yen Kan tengah berjalan seorang diri, menikmati pemandangan di tepi sungai dan banyak menjadi perhatian orang karena memang ia tampan dan menarik, tiba-tiba ia mendengar orang memanggilnya perlahan.

   "Siauw-Ongya...!" Wan Yen Kan terkejut sekali karena siapakah yang dapat mengenalnya di tempat ini sehingga menyebutnya Siaw-Ongya? la menoleh dan melihat seorang laki-laki bangsa Kin yang tinggi besar dan wajahnya keren sekali.

   "Sst, Wu Ki, tutup mulutmu. Di sini aku adalah seorang Siucai bernama Wan Kan!" Orang tinggi besar yang disebut Wu Ki tadi membelalakan matanya yang besar, akan tetapi ia lalu tersenyum-senyum dan menjura dengan hormat.

   "Aha, Wan-Siangkong, hendak kemanakah?" katanya, kini suaranya keras sehingga terdengar oleh banyak orang. Terutama sekali wanita-wanita yang berada di situ, ketika melihat pemuda tampan itu diberi hormat oleh seorang perwira Kin, tentu saja makin memperhatikan dan tertarik sekali. Wan Yen Kan tidak berani menggunakan she Wan Yen di tempat umum, karena she ini saja sudah menunjukan keturunannya. Dahulu bangsa Kin berasal dari suku bangsa Wan Yen dan setelah bangsa dan Kerajaan Kin terbentuk, maka rajanya dan orang-orang besar banyak menggunakan nama Wan Yen sebagai nama keturunan atau nama tanda bahwa mereka adalah bangsa Wan Yen aseli berpangkat tinggi.

   "Wu-Ciangkun, marilah kita bicara di rumah makan itu," kata Wan Yen Kan dengan keras juga, kemudian mereka berdua duduk di dalam sebuah restoran yang sunyi, karena memang bukan maksud mereka hendak mencari restoran yang banyak dikunjungi orang, melainkan hendak mengobrol.

   "Eh, Wu Ki, bagaimana kau bisa berada di sini? Bukankah kau melakukan pekerjaanmu di An-yang?" Memang Wu Ki adalah seorang perwira Kin yang kini memegang jabatan sebagai pembesar militer merangkap algojo di kota An-yang. Semenjak dahulu, Wu Ki kini memang seorang algojo dan memperoleh kedudukan baik karena kepandaiannya yang tinggi dan karena ia sudah berjasa dalam hal melakukan tugas sebagai algojo, la lebih terkenal di kotanya dengan sebutan Algojo Wu! Senjatanya adalah sebuah kapak alat pemenggal kepala yang luar biasa tajamnya dan kalau Algojo Wu sudah memegang kapak ini, sudah dapat dipastikan bahwa tentu akan ada leher manusia yang putus!

   "Benar, Siauw-Ongya, memang hamba masih bertugas di An-yang, akan tetapi sudah dua hari hamba berada di sini, karena hamba ditugaskan kepala daerah An-yang untuk melindungi Liok-taijin di kota An-keng ini."

   "Siapa itu Liok-taijin dan mengapa ia harus dilindungi olehmu?" tanya Wan Yen Kan. Suaranya tidak senang, karena memang dalam hal disiplin para petugas pemerintah Kin, pangeran ini amat keras.

   "Liok-taijin adalah kepala daerah di sini dan mempunyai perhubungan baik dengan kepala daerah An-yang. Belum lama ini, Liok-taijin sengaja minta bantuan ke An-yang karena ia terancam bahaya, maka hamba diutus datang ke sini untuk melindungi."

   "Apa yang terjadi?" Wan Yen Kan tertarik.

   "Persoalannya biasa saja, Siauw-Ongya. Liok-taijin mempunyai seorang penyewa tanah yang tidak mampu bayar sewanya karena belum lama ini terjadi banjir besar. Karena isteri dari petani itu amat cantik, Liok-taijin tertarik dan membebaskan petani dari hutang-hutangnya dengan jalan mengoper isteri petani itu. Semua terjadi dengan aman dan baik. Petani muda itu sudah memberikan isterinya kepada Liok-taijin sudah berlaku demikian murah hati sehingga bukan saja membebaskan hutangnya, bahkan memberi pinjaman tanah baru tanpa membayar uang sewa di muka. Petani itu merasa beruntung, isterinya tentu senang menjadi calon selir Liok-taijin yang kaya raya, sedangkan Liok-taijin sendiri tentu saja girang mendapatkan selir baru yang demikian cantiknya. Akan tetapi" "

   Sepasang alis Wan Yen Kan berkerut mendengar berita ini. la merasa mendongkol sekali mendengar kelakukan pembesar she Liok itu, dan juga ia marah sekali mendengar kata-kata Wu Ki yang sudah jelas membayangkan betapa buruk perangai Algojo Wu ini. Akan tetapi pangeran muda ini masih dapat menahan sabar, bahkan mendesak bertanya.

   "Akan tetapi bagaimana?"

   "Akan tetapi, entah bagaimana, urusan ini terdengar oleh seorang pendekar wanita yang mengaku bernama Biciu-lihiap (Pendekar Wanita dari Biciu) Thio Ling In. Lihiap ini malam-malam datang di rumah Liok-taijin dan meninggalkan surat ancaman bahwa kalau di dalam lima hari isteri dari petani muda itu tidak diantarkan pulang kepada suaminya dan kalau Liok-taijin berani mengganggunya, maka ia akan datang mengambil kepala Liok-taijin!" Wan Yen Kan mengangguk-angguk kagum, la tidak merasa aneh mendengar akan hal ini. Memang di selatan banyak terdapat pendekar-pendekar yang gagah berani dan yang suka mempergunakan kepandaiannya menolong orang-orang yang lemah tertindas. Tertariklah hatinya untuk dapat bertemu dengan lihiap ini.

   "Liok-taijin memanggil kau datang apakah untuk menyuruh kau melawan Biciu-lihiap Thio Ling In?" tanyanya.

   "Benar, Siauw-Ongya. Menurut perhitungan, lima hari yang diberikan oleh Biciu-lihiap berakhir besok pagi. Maka sebelum menghadapi penjahat perempuan itu, hamba berpesiar dulu di tempat ini dan tidak sengaja dan tidak dikira bertemu dengan Ongya di sini."

   "Hm, Wu Ki, kau berlaku gegabah sekali. Apakah kau pikir akan dapat menghadapinya? Bagaimana kalau dia lihai sekali?" Wu Ki tersenyum-senyum mengejek.

   "Ongya, selihai-lihainya perempuan, masa hamba akan kalah?" la menepuk-nepuk pinggangnya di mana tersembunyi di balik bajunya senjata pemenggal kepala yang mengerikan bentuknya. Wan Yen Kan tersenyum pula dan pangeran ini menyembunyikan kemendongkolannya.

   "Aku ingin menyaksikan pertarunganmu dengan Biciu-lihiap."

   "Kalau begitu, marilah Siauw-Ongya, hamba perkenalkan kepada Liok-taijin." Wan Yen Kan mengangguk.

   "Akan tetapi jangan beri tahu siapa adanya aku, Wu-Ciangkun. Katakan saja bahwa aku adalah sahabatmu bernama Wan Kan." Girang sekali hati Wu Ki karena pangeran ini mau ikut dengan dia ke rumah gedung Liok-taijin. Hatinya besar, karena iapun maklum bahwa Pangeran Wan Yen Kan ini adalah murid Ba Mau Hoatsu dan pangeran muda ini mempunyai kepandaian yang masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Dengan adanya pangeran ini, maka ia tak usah takut akalu kalah menghadapi Biciu-lihiap.

   Liok-taijin menerima Wan Yen Kan atau yang diperkenalkan sebagai Wan Kan dengan sikap dingin saja. Pembesar ini menghadapi perwira-perwira bangsa Kin boleh jadi akan memperlihatkan sikap menghormat dan bermuka-muka, akan tetapi menghadapi Wan Kan seorang bangsa Han biasa, atau seorang bangsanya sendiri yang diperkenalkan sebagai seorang sahabat dari Wu Ki, ia tidak memandang sebelah mata. Dengan sikap acuh tak acuh ia memerintahkan kepada pelayan untuk mempersiapkan sebuah kamar di dekat kamar Wu Ki untuk sahabat perwira Kin itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja Wu Ki dan Pangeran Wan Yen Kan makan pagi, terdengar suara ribut-ribut di halaman depang gedung Liok-taijin. Mereka buru-buru keluar dan di halaman depan, kelihatan seorang gadis yang cantik dan gagah sekali, yang datang dengan pedang tergantung di pinggang.

   "Manusia mata keranjang she Liok. Keluarlah kau untuk terima binasa!" dengan suara nyaring, wanita muda ini berseru. Dia bukan lain adalah Biciu-lihiap Thio Ling In, yaitu suci dari Bi lan atau murid dari Liang Bi Suthai, tokoh Hoa-san-pai. Wu Ki melompat maju, la sudah melihat betapa empat orang penjaga pintu telah roboh di atas lantai sambil memegangi dada danmengusap muka yang berdarah bibirnya, la maklum bahwa empat penjaga itu tentu dirobohkan oleh gadis cantik ini.

   "Hm, perempuan liar dan ganas! Agaknya kau kah yang bernama Thio Ling In yang mengaku sebagai pendekar wanita dari Biciu? Sayang sekali akan kecantikanmu kalau kau berani kurang ajar di sini! Hayo lekas berlutut di depan tuanmu. Algojo Wu yang sudah memenggal ratusan orang-orang gagah! Kalau tidak lekas berlutut dan menyerah, terpaksa kepalamu yang akan terpisah dari lehermu!" Thio Ling In memang berwatak keras sekali. Di dalam perantauannya, ia tiba di kota An-keng dan mendengar berita tentang dirampasnya isteri petani oleh Liok-taijin kepala daerah yang sudah berusia tua akan tetapi masih suka mengganggu anak bini orang mengandalkan harta dan pangkatnya.

   Hal ini tentu saja membuat ia marah sekali. Akan tetapi, oleh karena berurusan dengan kepala daerah, seorang berpangkat tinggi, ia tidak mau turun-tangan begitu saja dan mencoba untuk mengancam agar Liok-taijin melepaskan wanita itu. Tidak tahunya, kepala daerah itu tidak mentaati perintahnya, bahkan ia mendengar bahwa kepala daerah ini mendatangkan jago-jago dari pemerintah Kin. Kini menghadapi Wu Ki dan mendengar bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang Kin yang jagoan, kemarahan gadis perkasa ini tak dapat dikendalikannya lagi. Tadipun empat orang penjaga itu bersikap kasar dan kurang ajar terhadap dia, maka ia segera merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan.

   "Manusia sombong, kuperingatkan kau agar kau jangan mencoba untuk menghalangi aku! Panggil saja Liok-taijin keluar. Aku tidak suka membikin banyak ribut, kalau perkara itu dapat diselesaikan dengan baik-baik. Suruh Liok-taijin keluar!"

   "Bocah sombong! kau murid siapakah berani berlagak di depan Algojo Wu?" bentak Wu Kl sambil mengeluarkan senjatanya yang hebat. Senjata ini adalah sebuah kapak yang bergagang pendek dan bermata lebar sekali, tajamnya bukan main sampai berkilauan mengerikan. Juga ujung gagang di atas kapak itu runcing sekali. Namun Ling In tidak takut sedikitpun juga, la bahkan tersenyum mengejek dan bukan main manisnya wajah dara perkasa ini kalau tersenyum.

   "Orang sombong, kau kira aku takut melihat mainan tiada guna di tanganmu itu? Boleh jadi yang dapat kupenggal lehernya hanya sebangsa ayam dan babi saja, akan tetapi kau berhadapan dengan Thio Ling In murid dari Hoa-san-pai!" sambil berkata demikian, gadis ini mencabut keluar pedangnya yang juga berkilauan menyilaukan mata. Sementara itu, Pangeran Wan Yen Kan yang juga sudah keluar dan berdiri di pinggir, memandang kepada Ling In dengan berdebar dan mata tak pernah berkedip. Di dalam pandangan matanya, Ling In nampak demikian cantik jelita, demikian gagah dan hatinya sekaligus jatuh dan cinta kasih timbul, membuat pangeran muda ini berdiri bengong seakan-akan kehilangan semangatnya. Adapun Wu Ki ketika mendengar ucapan Ling In, menjadi marah sekali.

   "Bocah sombong, kau jagalah baik-baik batang lehermu!" katanya sambil mengayun kapaknya dan menyerang leher Ling In. Gadis ini cepat mengelak dan membalas serangan lawannya dengan gerakan pedangnya yang cepat dan kuat. Melihat cara Ling In begerak seringan dan secepat itu, diam-diam Wu Ki maklum bahwa gadis cantik ini benar-benar lihai dan tidak boleh dipandang ringan.

   Maka ia lau mengeluarkan kepandaiannya bermain kapak. Senjata yang mengerikan itu digerakkan dengan tangan kanan, demikian cepat sehingga ketika senjata ini menyambar lawannya denagn tenang-tenang saja, lapun maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga yang luar biasa besarnya. Kalau sampai pedangnya bertemu dengan senjata lawan, mungkin pedangnya akan rusak atau terlepas dari pegangannya. Maka Ling In amat cerdiknya lalu mengandalkan ginkangnya, berlompatan ke sana ke mari di antara sambaran senjata lawan, hanya mempergunakan pedang untuk menangkis kalau kedudukannya baik dan aman saja, yaitu hanya menyampok senjata lawan itu dengan pedangnya dari samping, tidak berarti mengadu senjata secara langsung Ling In tidak hanya mempertahankan diri belaka,

   Bahkan dengan ilmu pedang Hoa-san-pai yang terkenal kuat gerakannya, ia membalas serangan lawannya. Pertandingan itu berjalan seru sekali. Wu Ki menang kuat dan bertempur dengan ilmu silat bangsanya yang mengandalkan tenaga dan kenekadan. Namun Ling In menang lincah dan ringan, tidak hanya mengandalkan tenaga, terutama sekali mengandalkan ginkang dan kecerdikan otaknya. Oleh karena itu, gulungan sinar pedang di tangan Biciu-lihiap ini makin lama menjadi makin besar dan keadaan Wu Ki amat terdesak! Pangeran Wan Yen Kan ketika melihat Ling In, menjadi jatuh cinta dan ia segera berlari masuk ke dalam rumah gedung Liok-taijin. Timbul pikirannya untuk membantu usaha nona dari Hoa-san itu. Ketika Liok-taijin melihatnya, pembesar ini lalu menegur,

   "Bagaimana dengan Wu-Ciangkun? Apa kehendakmu masuk ke sini?" Wan Yen Kan membentaknya,

   "Kau bandot tua memang patut menerima hukuman karena perbuatanmu memang terlalu sekali!" Liok-taijin menjadi pucat dan marah sekali.

   "Pengawal, tangkap orang ini!" teriaknya kepada beberapa orang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan dan yang menjaga di luar kamarnya. Akan tetapi baru saja para penjaga itu bergerak, Wan Yen Kan sudah mendahului mereka dan meloncat masuk ke dalam kamar.

   "Tua Bangka tak tahu diri! Lihat baik-baik, kenalkah kau akan tanda ini?" Wan Yen Kan mengeluarkan tanda pangkat atau kedudukannya yang selalu disimpan di saku bajunya. Melihat tanda ini, seketika itu juga Liok-taijin menggigil ketakuan dan mukanya menjadi pucat sekali, la mengangkat tangan dan berkata kepada para penjaga yang kini menyerbu ke dalam kamar hendak menangkap Wan Yen Kan.

   "Mundur kalian semua! Mundur dan biarkan aku dan Siangkong (Tuan Muda) ini bicara sendiri." Para penjaga mundur teratur dengan muka heran. Pintu lalu ditutup dan Liok-taijin segera menjatuhkan diri berlutut di depan Wan Yen Kan! Sebetulnya, menurut aturan, seorang pembesar Kerajaan Sung tidak semestinya memberi penghormatan sedemikian besarnya kepada seorang pangeran muda Kerajaan Kin di utara. Akan tetapi oleh karena Liok-taijin (Pembesar Liok) termasuk segolongan oarng yag berwatak penjilat seperti anjing dan selalu bermuka-muka pada para pembesar Kin, tanpa ragu-ragu lagi ia berlutut di depan Wan Yen Kan sambil berkata.

   "Ah, tidak tahunya Siauw-Ongya yang berada di sini. Hamba harus mampus tidak mengenal Ongya sehingga berlaku kurang hormat."

   "Sudahlah, Liok-taijin. Tak perlu segala macam penghormatan kosong ini. Paling perlu kau lekas menyuruh isteri petani itu keluar, dan harus diserahkan kembali kepada Biciu-lihiap."

   Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Liok-taijin memanggil penjaga untuk menjemput selir barunya yang belum lama ini dapat dirampas dari tangan seorang petani. Ketika selir itu muncul, Wan Yen Kan menjadi merah mukanya saking jengah dan juga mual perutnya. Wanita muda itu memang benar cantik manis, akan tetapi matanya liar dan genit, pakaiannya mewah dan sikaptnya terhadap Llok-taijin amat manis dan memikat hati! Sama sekali bukan sikap seorang isteri yang dirampas dari suaminya dan dipaksa menjadi selir orang-tua berpangkat itu. Akan tetapi, karena maksudnya hanya untuk membantu usaha Biciu-lihiap, ia segera mengajak Liok-taijin dan selir barunya itu keluar dari kamar. Pertandingan antara Ling In dan Wu Ki masih berjalan ramai. Biarpun Ling In di fihak yang mendesak, namun Wu Ki bukanlah seorang yang lemah.

   Sebegitu jauh, belum juga Ling In dapat merobohkan lawannya, maka tentu saja nona ini menjadi marah dan gemas bukan main. Pedangnya bergerak-gerak seperti tangan maut yang menjangkau, dan agaknya tak lama lagi Wu Ki pasti akan menjadi korban pedangnya. Tiba-tiba nampak dua benda bergerakn di antara dua orang yang bertempur itu dan benda ini bukan lain adalah kedua ujung lengan baju dari Wan Yen Kan. Pangeran yang berkepandaian tinggi ini mempergunakan Iweekangnya, dan ujung lengan bajunya sekaligus menangkis pedang dan kapak yang saling serang. Baik Wu Ki maupun Ling In terkejut sekali karena biarpun yang menangkis senjata mereka itu hanya ujung lengan baju, namun demikian kuat tangkisan itu sehingga pedang di tangan Ling In terpukul mundur dan yang lebih hebat lagi, kapak di tangan Wu Ki terlepas dari pegangan dan jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring!

   Hal ini tidak aneh karena memang dalam menangkis kapak Wu Ki, Wan Yen Kan mempergunakan tenaga yang lebih besar. Memang tadi Wan Yen Kan mengajak Liok-taijin dan selirnya keluar, dan berpesan kepada pembesar she Liok itu agar jangan membuka rahasia penyamarannya dan menyebutnya sebagai seorang bernama Wan Kan saja. Kemudian, melihat betapa Wu Ki berada dalam bahaya, ia cepat melompat dan mempergunakan kepandaiannya untuk memisah kedua orang yang sedang bertempur itu. Biciu-lihiap Thio Ling In memandang tajam dan hatinya khawatir juga. Kalau orang muda yang nampak halus dan tampan ini berada di fihak lawan, ia harus mengerahkan tenaga dan bertempur mati-matian karena pemuda ini memiliki kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi, pemuda itu memberi hormat kepadanya dengan cara sopan santun, lalu berkata.

   "Maafkan kalau aku Wan Kan yang bodoh mengganggu Biciu-Lihiap yang terkenal gagah perkasa. Kali ini Lihiap sia-sia belaka mengeluarkan tenaga dan melepas budi, karena yang Lihiap tolong adalah seorang wanita yang tidak setia." Ling In tertegun dan sepasang alisnya dikerutkan yang dalam pandangan Wan Yen Kan menjadi bertambah manis saja.

   "Apakah artinya kata-katamu ini?" lapun melirik ke arah Liok-taijin dan melihat pula seorang perempuan muda yang mukanya cantik akan tetapi berbedak tebal dan sikapnya genit, berdiri di dekat pembesar itu. Wan Kan tersenyum.

   "Aku maklum Lihiap tentu membayangkan seorang isteri muda yang menangis sedih karena dipisahkan orang dari suaminya. Akan tetapi bukan kau saja, Lihiap. Aku sendiripun kecele ketika melihat bahwa wanita itu sebetulnya lebih suka hidup di samping seorang pembesar tua yang kaya raya daripada di dekat suaminya seorang petani muda yang miskin. kau lihatlah saja apakah dia itu patut ditolong? Kurasa kalau kau berhasil membawa dia pergi dari sini, dia bukan berterima kasih, melainkan akan menangis sedih!" Bukan main heran dan marahnya hati Ling In. Dengan pedang di tangan, ia melangkah maju mendekati Liok-taijin dan selir barunya yang berdiri ketakutan.

   "Kau kah isteri petani muda yang dibayarkan hutang?" tanya Ling In sambil menudingkan telunjuk kirinya ke muka nyonya muda itu. Selir muda itu mengangguk dan tersenyum malu-malu.

   "Apakah benar kau tidak ingin pulang kepada suamimu?" Tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya dan memandang dengan penasaran dan marah kepada Ling In.

   "Aku sudah bosan hidup kurang sandang-pangan di samping manusia tolol dan malas itu! Aku tidak sudi kembali kepadanya!" Wan Yen Kan atau Wan Kan tersenyum menang kepada Ling In yang juga mengerling kepadanya.

   "Nah, Lihiap bukankah kali ini kau salah pilih?" Akan tetapi Ling In sudah menjadi marah sekali, la telah mendatangi petani muda yang dirampas isterinya itu dan telah menolong petani itu untuk merampaskan kembali isterinya. Tidak tahunya, perempuan macam inilah yang harus ditolongnya!

   "Perempuan hina dina! " bentak Ling In dalam kemarahannya dan pedangnya bekelebat menusuk dada perempuan itu!"

   "Sabar, Lihiap!" Wan Kan beseru dan secepat kilat rantai perak di tangannya bergerak menangkis pedang, la tadi memang sudah siap sedia karena dapat menduga bahwa pendekar wanita itu tentu akan marah sekali dan diam-diam ia telah meloloskan senjatanya, yaitu rantai perak dari pinggangnya.

   "Lihiap, apa gunanya membunuh dia? Mari kita datangi suaminya dan kita berdua menolongnya!" Karena merasa tiada alasan untuk melanjutkan niatnya membunuh wanita itu, Ling In tidak menjawab dan sekali ia melompat, ia telah berada di luar gedung.

   Ketika ia berdiri, ia mendengar suara tindakan kaki dari belakangnya, la mengerling dan melihat pemuda tampan tadi masih mengikutinya. Ling In merasa penasaran dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Sebagai murid dari Liang Bi Suthai, ilmunya berlari cepat tentu saja lihai sekali. Kedua kakinya yang kecil seakan-akan tidak menginjak tanah ketika ia lari bagaikan terbang cepatnya. Akan tetapi, ketika ia menoleh ke belakang, pemuda tampan itu masih saja berlari di belakangnya, dan nampak pemuda itu tidak terlalu mengerahkan tenaga dan dengan enak saja dapat mengimbangi kecepatannya! Ling In terkejut sekali dan juga terheran-heran. Siapakah pemuda yang mengaku bernama Wan Kan ini? la menghentikan larinya dan membalikkan tubuh dengan muka cemberut.

   "Eh, Lihiap (Nona Pendekar), mengapa kau berhenti? Apakah di hutan ini tempat tinggal petani muda itu?" tanya Wan Yen Kan atau Wan Kan. Ling In tidak menjawab pertanyaan ini, sebaliknya bertanya.

   "Orang she Wan, kau ada keperluan apakah dengan aku? Mengapa mengikuti perjalananku? Apakah kau hendak melakukan pembalasan karena perbuatanku terhadap Liok-taijin? Apakah kau orangnya Liok-taijin?" Wan Kan tersenyum dan memandang nona cantik itu dengan hati makin terjerat.

   "Lihiap, harap kau jangan salah sangka dan jangan menduga yang bukan-bukan terhadap aku. Aku tidak mengenal pembesar itu dan aku bahkan memaksa dia keluar bersama perempuan itu untuk menemuimu. Seperti juga kau, aku merasa jemu dan gemas melihat bandot tua tak tahu diri itu. Dalam hal ini, pendapat kita sama!" kembali ia tersenyum dan memang pangeran muda ini wajahnya tampan dan menarik, maka senyumnya membuat wajah itu benar-benar menarik, bagai mata seorang gadis. Ling In diam-diam harus mengakui bahwa pemuda di hadapannya ini amat menarik, tidak saja tampan dan sikapnya halus dan sopan juga ilmu kepandaiannya agaknya tidak berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi tentu saja ia merasa sungkan dan likat, bahkan agak mendongkol melihat pemuda ini tersenyum-senyum padanya.

   "Sama atau tidak pendapat kita, bukan urusanku! Seperti juga semua usahaku mengenai diri petani miskin itupun bukan urusanmu. kau siapakah dan murid siapa, mengapa hendak mengganggu? Harap kau jangan mencari perkara dan lekas pergi jangan mencampuri urusanku." Wan Kan mengangkat kedua tangannya memberi hormat.

   "Maaf, Nona. Bukan sekali-kali aku hendak berlaku kurang ajar kepadamu. Aku mendengar tentang perbuatanmu yang mulia, yang hendak menolong kaum tertindas, maka sebagai orang segolongan yang benci akan kejahatan, apakah aku bersalah kalau aku tertarik kepada kegagahanmu? Bertemu dengan seorang pendekar wanita seperti kau, siapa orangnya yang tidak ingin berkenalan? Aku bukan anak murid mana-mana, hanya suka berkelana dan mempelajari sedikit ilmu silat, berkenalan dengan orang-orang gagah sedunia. Sekarang mendengar tentang nasib pemuda itu, hatiku merasa amat kasihan dan ingin sekali aku menolongnya. Apalagi melihat betapa isterinya bersikap menjemukan, ah, aku ingin sekali menolongnya, Lihiap."

   Melihat sikap Wan Kan dan mendengar ucapannya yang penuh kesopanan dan pribudi tinggi, Ling In berdebar jantungnya. Pemuda ini benar-benar hebat dan berhati mulia, pikirnya. Merahlah mukanya karena ia merasa telah bersikap kasar dan galak, sikap yang tidak semestinya dari seorang gagah kepada orang gagah yang lain. Maka iapun mengangkat kedua tangan membalas penghormatan itu dan berkata halus.

   "Maaf, Wan-Enghiong, kalau tadi aku bicara kasar. Di dunia ini banyak sekali orang-orang jahat, apalagi laki-laki kalau berhadapan dengan wanita." la melihat wajah pemuda itu menjadi merah, maka buru-buru ia berkata lagi.

   "Tentu saja bukan semua laki-laki bersikap kurang ajar terhadap wanita. Aku belum mengenalmu dan bertemu dengan tiba-tiba saja, sudah tentu tadinya akupun merasa curiga. Akan tetapi mengingat bahwa kepandaianmu tinggi dan sikapmu baik, maafkanlah kekasaranku tadi. Aku bernama Thio Ling In dan anak murid Hoa-san-pai. Sekarang aku hendak mengunjungi petani muda yang dirampas isterinya, karena kepadanya aku sudah menjanjikan akan membawa pulang isterinya. Aku masih bingung sekali bagaimana harus bicara dengan dia, karena sekarang ternyata aku pulang tidak dengan isterinya."

   "Lihiap jangan khawatir. Serahkan saja hal ini kepadaku. Aku yang akan bicara dan menolong petani malang itu," kata Wan Kan. Kini Ling In tidak berkeberatan pula untuk melakukan perjalanan bersama pemuda ini dan ia langsung menuju ke dusun di luar kota tempat tinggal petani itu. la masih tetap berlari cepat dan kini Wan Kan tidak berlari di belakangnya, melainkan berlari di sebelah kirinya.

   "Saudara Wan, ilmu lari cepat yang kau miliki benar-benar hebat!" kata Ling In yang kini tidak merasa kikuk lagi. Wan Kan tersenyum.

   "Ah, kau hanya memuji saja, Lihiap. Mana aku bisa disamakan dengan kau yang lihai?"

   "Sebetulnya kau pernah belajar ilmu silat dari siapakah?"

   "Aku hanya belajar di sana-sini, Nona, tidak pantas untuk diceritakan kepada murid Hoa-san-pai yang besar dan terkenal." Ling In makin tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya demikian sopan dan merendah, la diam-diam menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang pandai. Karena lari mereka cepat sekali, tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah dusun kecil di mana petani muda ini tinggal. Mereka menuju ke sebuah gubuk kecil di pinggir sawah dan dari jauh seorang petani muda yang bertubuh kurus dan berwajah pucat keluar dari gubuk dan berlari menyambut kedatangan Ling In. ia nampak takut-takut melihat Wan Kan dan mukanya menjadi makin muram ketika ia tidak melihat isterinya datang bersama pendekar wanita yang menolongnya itu.

   "Lihiap, bagaimana dengan dia? Mengapa tidak ikut pulang?" la serta merta menanyakan isterinya kepada Ling In. Yang ditanya menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ling In dengan sinar mata minta bantuan menghadapi pertanyaan yang tak dapat dijawabnya ini. Wan Kan melangkah maju dan ia mengulur tangan memegang pundak petani muda itu.

   "Sobat, kau dengarlah aku baik-baik. Aku adalah kawan dari nona pendekar yang menolongmu ini dan kedatanganku ini tak lain hendak menolong kau dari pada kesengsaraan ini. Isterimu tidak berharga untuk kau tangisi dan kau sedihkan." Terbelalak kedua mata petani itu ketika memandang kepada Wan Kan dan mendengar omongan ini.

   "Apa maksudmu, Siangkong? Apakah isteriku mati... ataukah ia telah dipaksa oleh Liok-taijin...?" Wan Kan menggelengkan kepalanya.

   "Dia seorang isteri tidak berharga, seorang isteri yang tidak setia kepadamu. Tidak ada orang memaksanya, akan tetapi dia sendiri yang leih suka menjadi bini muda Liok-taijin daripada menjadi isterimu."

   "A-ceng kau kejam!" suami ini berseru dengan bibir gemetar.

   "Sudahlah jangan kau demikian lemah! Kalau keadaanmu baik dan penghasilanmu cukup, apa susahnya mencari isteri lagi yang lebih baik daripada dia yang tidak setia itu?"

   "Siangkong (Tuan muda) untuk makan sendiri saja sukar, apalagi untuk mencari seorang isteri baru! Biarpun saya miskin dengan seorang isteri di sampingku, masih tertahankan derita hidupku ini. Akan tetapi sekarang untuk apa aku hidup lebih lama lagi?" Wan Kan menggoncang-goncang pundak petani itu dan berkata bengis.

   "Kalau aku tidak ingat betapa Biciu-lihiap sudah bersusah-payah untuk menolongmu, mendengar bicaramu ini agaknya aku lebih suka melihat kau mampus! kau laki-laki lemah tiada guna! Sungguh memalukan hidup menjadi seorang laki-laki kalau seperti kau ini sikapnya. Mari terimalah ini dan tinggalkan saja tempat ini. Carilah penghidupan baru di tempat lain dengan modal ini, kemudian carillah isteri yang lain yang lebih baik. Enyahlah!" Sambil berkata demikian, Wan Kan mengeluarkan sebuah kantong terisi penuh uang emas dan memberikan kantong itu kepada petani muda ini. Ketika petani itu menerima kantong dan membukanya, melihat betapa isinya adalah uang emas, terbelalak matanya dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan Wan Kan.

   "Terima kasih, Siangkong. Terima kasih!"

   "Cukup! Pergilah lekas-lekas! Jangan tunggu sampai aku berubah pikiran dan minta kembali uang itu!" bentak Wan Kan. Petani itu berdiri dan berlari pergi sambil kegirangan. Sampai lama Wan Kan berdiri diam dan akhirnya kesunyian dipecahkan oleh suara Ling In yang berkata kepadanya.

   "Kau berhati Mulia sekali, Saudara Wan." Wan Kan memandang Ling In. Sepasang mata yang bagus itu masih memancarkan cahaya kemarahan.

   "Lihiap kau lihat sendiri betapa rendahnya pekerti orang yang kau tolong. Laki-laki macam dia, sungguh muak aku melihatnya, la tidak lebih daripada Liok-taijin!" Ling In menarik napas panjang.

   "Memang ia berwatak pengecut sekali, akan tetapi siapa tahu kalau-kalau sifatnya ini terdorong oleh besarnya rasa cintanya kepada isterinya." Wan Kan mengangguk-angguk.

   "Mungkin kau benar, Lihiap. Memang rasa cinta kasih dapat membuat seorang laki-laki seperti gila. Ini hanya kumengerti dari buku-buku, karena aku sendiri belum pernah menderita penyakit itu."

   "Aku..." sampai di sini Ling In menahan kata-katanya dan mukanya menjadi merah.

   "Kau kenapa, Nona?" mendesak Wan Kan. Ling In menggelengkan kepalanya.

   "Tidak apa-apa," jawabnya. Sebetulnya mendengar kata-kata Wan Kan tadi, saking tertariknya, Ling In hampir saja mengatakan bahwa dia pernah merasai penderitaan penyakit cinta kasih itu, karena telah lama dia dan suhengnya, yaitu Lie Bu Tek, saling menaruh cinta! la merasa marah terhadap diri sendiri. Mengapa kepada seorang pemuda yang baru saja dijumpainya ia hampir saja membuka rahasia hatinya? Saking gemas kepada diri sendiri, ia lalu meloncat dan pergi sambil berkata.

   "Sudahlah, Saudara Wan. Kita saling berpisah di sini!"

   "Nanti dulu, Lihiap!" kata Wan Kan sambil meloncat ke depan nona ini.

   "Kita baru saja bertemu dan aku amat tertarik kepadamu, mengapa kau tidak sudi melakukan perjalanan bersamaku?" Merah muka Ling In.

   "Hal itu tidak patut, Saudara Wan. Tidak selayaknya seorang gadis melakukan perjalanan dengan seorang pemuda yang belum dikenalnya.

   "Akan tetapi bukanlah kita sudah berkenalan? Apakah kau tidak mau menjadi sahabatku?"

   "Bukan demikian, Saudara Wan. Akan tetapi, aku ingin melakukan perjalanan seorang diri saja. Harap kau jangan mengganggu."

   "Nona Ling In, kalau aku boleh bertanya, kau hendak ke manakah? Kalau tujuan kita sama, apa salahnya kita melakukan perjalanan bersama?" Ling In menggeleng kepala.

   "Tetap saja kurang baik. Terpaksa aku menolak maksud baikmu itu. Maafkan." Kembali Ling In meloncat jauh, dan sekali lagi Wan Kan mengejarnya. Pemuda ini merasa gelisah sekali kalau-kalau setelah berpisah takkan dapat bertemu dengan gadis yang telah merebut hatinya ini.

   "Nona, maafkanlah aku! Aku tidak mau berlaku kurang ajar dan mendesakmu. Akan tetapi setelah kita berkenalan bolehkah aku mengetahui di mana tempat tinggalmu? Kalau aku kebetulan lewat di kotamu dalam perantauanku, tentu aku akan mengunjungimu untuk menyatakan hormatku." Melihat desakan pemuda ini, diam-diam hati Ling In berdebar, la adalah seorang wanita, karenanya ia memiliki perasaan yang halus sekali. Melihat sikap dan pandangan mata pemuda ini, tak salah lagi, ia dapat memastikan bahwa pemuda ini jatuh hati kepadanya! Hal ini mendatangkan debaran hebat dalam dadanya. Bagaimana ia bisa menolak permintaan yang demikian sopan dan mendesak?

   "Aku tinggal di Bi ciu, Saudara Wan. Nah, selamat berpisah!" la lalu melompat pergi dan berlari cepat. Ketika larinya sudah jauh dan ia menengok, ternyata pemuda tampan itu masih berdiri bertolak pinggang sambil memandangnya seperti patung. Hal ini membuat muka Ling In terasa panas dan merah, maka ia lalu mempercepat larinya. Di sepanjang perjalanan, bayangan pemuda itu selalu mengikutinya. Ling In sendiri merasa heran mengapa ia selalu terkenang kepada Wan Kan, pemuda tampan dan gagah perkasa yang baru dijumpainya satu kali itu. Diam-diam ia mencela diri.

   Apakah aku berwatak seperti perempuan hina dina yang rela menjadi bini muda Liok-taijin itu dan melupakan suami sendiri? Ah, aku tidak boleh mengenang Wan Kan, bukankah ada Lie Bu Tek yang amat mencitaku dan biarpun mulut kita belum pernah membuka rahasia hati, namun hati masing-masing sudah tahu bahwa mereka adalah milik masing-masing? Sementara itu, Wan Kan seperti orang tergila-gila. Ketika di dalam perjalanannya ia bertemu dengan suhunya, yaitu Ba Mau Hoatsu yang juga menuju ke Cin-an, Wan Kan atau Wan Yen Kan menceritakan pengalamannya dan menyatakan kepada suhunya bahwa ia tergila-gila kepada gadis Hoa-san-pai itu. Memang Ba Mau Hoatsu amat sayang kepada Wan Yen Kan dan sebaliknya pemuda ini amat percaya kepada gurunya sehingga semua rahasia hatinya ia tumpahkan kepada gurunya.

   Demikianlah pertemuan antara Wan Yen Kan dan Thio Ling In dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah bertemu dengan Sam-thai koksu di kota Cin-an, di mana Ba Mau Hoatsu menyatakan pendapatnya untuk mendatangkan Pak Hong Siansu dari Tibet, Wan Yen Kan menyatakan kepada gurunya bahwa dia tidak hendak turut gurunya karena ingin pergi ke Biciu! Tentu saja Ba Mau Hoatsu tahu bahwa muridnya ini tentu ingin mengunjungi Thio Ling In, gadis yang dicintainya itu! Suma Kwan Eng, orang ke dua dari Hui-eng-pai (Perkumpulan Garuda Terbang) yang menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai karena kedua orang saudaranya mati di tangan orang-orang Hoa-san-pai, berhasil menarik perhatian dan membujuk Wan Yen Kan sehingga pangeran muda ini menceritakan pengalamannya dengan Thio Ling In.

   "Ongya tidak enak melakukan perjalanan seorang diri. Hambapun ingin sekali merantau ke selatan dan kalau sekiranya Ongya tidak berkeberatan, membolehkan hamba ikut. Hamba banyak mempunyai kenalan orang-orang kang-ouw dan kalau Ongya ingin meluaskan pengetahuan, mari hamba perkenalkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw di perjalanan."

   Wan Yen Kan menjadi girang sekali. Tidak hanya karena janji perkenalan dengan tokoh-tokoh kang-ouw ini, akan tetapi terutama sekali karena ia mengandung maksud meminang Thio Ling In, dan agaknya Suma Kwan Eng ini tepat sekali untuk menjadi seorang perantara! Akan tetapi Wan Yen Kan sama sekali tidak tahu bahwa orang ke dua dari Hui-eng-pai ini menaruh hati dendam kepada orang-orang Hoa-san-pai dan bahwa di dalam hati Suma Kwan Eng terkandung maksud hendak mencelakakan semua orang Hoa-san-pai, termasuk Thio Ling In sendiri!

   * * *

   Thio Ling In tinggal bersama ibunya yang sudah janda di kota Biciu dalam sebuah jalan yang sunyi. Biarpun rumahnya tidak sangat besar, namun cukup baik dan rapi. Kehidupan ibu dan anak ini boleh dibilang cukup, karena ayah Ling In dahulu adalah seorang pedagang yang meninggalkan warisan cukup banyak. Ibunya telah membeli sawah dan dari hasil sawah inilah anak dan ibu ini mendapatkan nafkahnya. Selain ibunya, di rumah itu ikut tinggal pula pamannya, yaitu adik laki-laki ibunya yang sudah menikah pula dan ikut tinggal di situ dengan isterinya. Pamannya ini yang mengurus sawah milik ibu Ling In atau nyonya janda Thio.
(Lanjut ke Jilid 08)

   Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 08
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

   Jilid 08
Nyonya janda Thio seringkali menegur puterinya yang mempunyai kesukaan pergi merantau. Sering kali memberi nasihat mengapa puterinya itu tidak mau tinggal saja di rumah mengawaninya dan bahwa kurang baik bagi seorang gadis untuk melakukan perjalanan seorang diri.

   "Ibu tidak tahu bahwa sudah menjadi kebiasaan seorang ahli silat untuk berkelana dan melakukan perbuatan gagah berani menolong orang-orang yang tertindas." Ling In menjelaskan sambil memeluk ibunya dengan sikap manja.

   "Kalau aku berada di rumah saja dan sibuk di dapur, untuk apakah aku selama ini mempelajari ilmu silat?" Ibunya menarik napas panjang.

   "Ah, mengapa kau dahulu belajar silat, anakku? Sesungguhnya, aku lebih suka melihat kau lekas-lekas menikah dan mempunyai anak, agar aku dapat menimang nimang cucuku."

   "Aah" ibu...!" Ling In menjadi merah mukanya.

   "Mengapa tidak, Ling In?" Ibunya mengelus-elus rambut anaknya yang menumpangkan kepalanya di atas pangkuan ibunya.

   "Kau sudah berusia dua puluh tiga tahun. Sejak kau berusia tujuh belas tahun, entah sudah berapa banyak pemuda pemuda meminangmu, akan tetapi kau berkeras kepala dan tidak mau menerimanya. kau membikin ibumu kecewa dan berduka, Ling In." Sampai di sini, ibunya menyusut air matanya Ling In terharu dan memeluk ibunya.

   "Ibu, aku... aku belum suka menjadi isteri orang, tidak sampai hatiku meninggalkan ibu seorang diri di rumah ini."

   "Kau selalu berkata begitu, Ling In. Sebenarnya itu hanya alasan belaka, karena aku tahu bahwa kau tidak suka kepada semua pemuda yang melamarmu. Akan tetapi kulihat suhengmu itu, yang seringkali mengantar kau pulang, pemuda bernama Lie Bu Tek itu, dia amat baik dan agaknya kau pun suka kepadanya."

   "Sst, ibu" kenapa sih hari ini ibu membicarakan soal pernikahan?" anaknya menegur dengan muka makin merah. Pada saat itu, bibi dari Ling In yakni isteri pamannya, masuk dan memberitahukan bahwa di luar ada seorang tamu ingin bertemu dengan Biciu lihiap.

   "Ling In, hati-hatilah. Dia kelihatannya kasar dan berwajah menakutkan. Hatiku tidak enak melihat dia," kata bibinya.

   
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Terangkanlah hatimu, bibi." Gadis itu dengan tabah lalu bertindak keluar.

   "Ling In, jangan kau mencari keributan dengan orang lain," ibunya memperingatkan. Akan tetapi Ling in telah melompat keluar dan ia melihat seorang laki-laki tinggi besar, berusia kurang lebih lima puluh tahun akan tetapi masih nampak sehat dan kuat.

   Bahkan sepasang matanya ketika memandang, secara kurang ajar dan terang terangan menyatakan kekagumannya akan kecantikan Ling In! Melihat orang ini, Ling In terkejut sekali dan hatinya berdebar. Ia mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Kwan Eng, orang ke dua dari Hui-eng-pai yang amat lihai. Dahulu ketika mencari Gua Makam Pahlawan bersama Tan Seng, Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng, ia sudah bertemu dengan orang ini, yaitu setelah paman gurunya, Tan Seng menewaskan orang ke tiga dan Hui-eng-pai. Sebaliknya, Suma Kwan Eng tidak ingat lagi kepada gadis ini. Dahulu ketika bersama Suma Kwan Seng ia mengadang perjalanan Tan Seng yang telah membunuh adik seperguruan mereka, ia hanya melihat dan bertemu sebentar saja. Maka kini ia memandang dengan penuh kekaguman dan juga kebencian kepada murid Hoa-san-pai ini.

   "Eh, kiranya Suma Lo-Enghiong dari Hui-eng-pai yang datang berkunjung ke gubukku yang buruk. Ada keperluan apakah Lo-Enghiong (orang-tua gagah) membuang waktu berharga datang ke tempat ini?" Suma Kwa Eng tertegun, lalu mengingat-ingat.

   "Nona, pernahkah kita saling berjumpa? Kalau pernah, aku sudah lupa lagi di mana." Ling In tersenyum.

   "Lo-Enghiong agaknya lupa lagi. Dahulu di lereng Tapie san, aku pernah ikut susiok (paman guru) dan kami berjumpa dengan Lo-Enghiong."

   "Ah, benar! Jadi aku berhadapan dengan Bi ciu lihiap anak murid Hoa-san-pai?" Ling in mengangguk.

   "Bagus!" kata Suma Kwan Eng.

   "Susiokmu itu telah membunuh mati suteku Ciu Hoan Ta. Kemudian suhengku tewas pula gara gara seorang murid Hoa san yang bernama Sianli Eng cu (Bayangan Bidadari) Liang Bi Lan. Pantaslah kalau aku Suma Kwan Eng harus membalas dendam dan menewaskan kau yang menjadi murid Hoa-san-pai. Akan tetapi aku Suma Kwan Eng bukanlah seorang yang tidak menyayang usia muda dan wajah cantik Nona, kau ikutlah dengan aku dan aku berjanji takkan mempergunakan kekerasan terhadap kau !"

   Berkerut alis Ling In mendengar kata-kata ini.

   "Orang-tua, apakah maksudmu dengan kata-kata itu?" Suma Kwan Eng tertawa bergelak dan pada saat itu, ibu Ling In muncul, lalu berkata,

   "Ling In, ada tamu datang, mengapa tidak dipersilahkan duduk di dalam?"

   "Ibu, kau masuklah dan biarkan aku menghadapi orang-tua ini!" kata Ling In yang dapat menduga bahwa menghadapi tamu ini, akhirnya ia harus mempergunakan kekerasan. Akan tetapi Suma Kwan Eng segera berkata kepada ibu Ling In,

   "Jadi nyonya adalah ibu dari nona ini? Bagus sekali dan amat kebetulan. Kedatanganku ini sebenarnya hendak meminang puterimu ini untuk menjadi bini muda dari Siauw Ongya!"

   "Bangsat tua bermulut lancang! kau berani menghinaku?" Ling In berseru keras sambil mencabut pedangnya. Kemudian ia berpaling kepada ibunya.

   "Ibu, harap kau suka masuk saja." Mendengar ucapan tamu itu dan permintaan puterinya, nyonya janda Thio lalu masuk ke dalam, akan tetapi ia mengintai dari balik daun pintu. Ling In menghadapi Suma Kwan Eng.

   "Orang she Suma, aku sudah dapat menduga bahwa kedatanganmu ini tentu tidak mengandung maksud baik. Apa kau kira aku takut kepadamu sehingga kau berani sekali menghinaku?"

   "Eh, eh, nona manis mengapa begitu galak! Sebetulnya memang sudah sepatutnya kalau aku membunuhmu, sebagai pembalasan dendam terhadap Hoa-san-pai atas tewasnya kedua orang saudaraku. Akan tetapi aku sayang akan kecantikanmu dan juga Siauw Ongya amat cinta kepadamu. Lebih baik kau turut padaku dan hidup berbahagia dengan Siauw Ongya yang tampan, karena kalau kau menolak, apamukah yang dapat kau pergunakan untuk menangkan aku?"

   "Keparat jahanam, makanlah pedangku ini!" Sambil membentak marah, Ling In lalu menyerang dengan pedangnya. Serangan ini cepat dan ganas sekali dan sebagai ahli pedang, murid Liang Bi Suthai, tentu saja ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimilikinya amat tinggi. Namun ia menghadapi Suma Kwan Eng orang ke dua dari Hui-eng-pai yang lihai. Sambil tersenyum mengejek, Suma Kwan Eng lalu mengelak dan di lain saat, kedua tangannya telah mengeluarkan senjatanya. Suma Kwan Eng terkenal sekali dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang tongkat bercabang. Kedua ujung tongkat ini mempunyai cabang dan apabila dimainkan olehnya, dua cabang inilah yang berbahaya sekali, karena biarpun pukulan atau dorongan tongkat boleh tidak mengenai sasaran, namun cabangnya itu masih dapat melakukan serangan lanjutan dari samping yang datangnya amat tidak terduga sama sekali.

   "Hm, nona manis! Kalau aku, menghendaki nyawamu, apa sukarnya? Akan tetapi aku harus dapat menangkapmu hidup hidup, Siauw Ongya akan marah kalau burung yang indah bulunya ini sampai terluka!"

   Sambil berkata demikian, Suma Kwan Eng menggerakkan tongkatnya dan membalas serangan gadis itu. Kata-kata Suma Kwan Eng ini memang ada benarnya. Kalau dia mau, tentu dengan serangan serangannya yang hebat ia dapat merobohkan gadis itu. Akan tetapi ia tidak hendak membunuh Ling In dan mau menangkapnya hidup hidup, maka agak sukar jugalah baginya mengalahkan gadis Hoa-san-pai yang lihai ilmu pedangnya ini. Betapapun juga, Ling In selalu berada di fihak yang terdesak. Gadis ini melawan mati-matian dan karena ia kalah tenaga, dalam pertempuran yang kurang lebih lima puluh jurus lamanya, ia telah lelah sekali, tubuhnya penuh peluh dan rambutnya awut-awutan. Namun semangatnya tak kunjung padam dan pedangnya masih berkelebatan menyambar nyambar, tidak kurang bahayanya!

   Pada saat Ling In menusukkan pedangnya ke arah dada Suma Kwan Eng, orang Hui-eng-pai yang lihai ini melompat mundur dan kedua tongkatnya menggunting pedang itu diantara cabang-cabangnya. Ling In mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi pedang itu tak dapat terlepas daripada jepitan sepasang tongkat! Suma Kwan Eng menggerakkan tongkatnya ke bawah dan cabang-cabang tongkat itu mengancam jari tangan Ling In yang memegang pedang. Gadis itu terkejut sekali dan ketika pegangannya mengendur, Suma Kwan Eng menggerakkan kedua tongkatnya ke atas dan... melayanglah pedang Ling In dari tangannya! Setelah pedangnya dapat terampas, Ling In bukannya menjadi takut, bahkan menjadi makin gemas dan nekad. Ia menubruk maju dan kini ia menyerang lawannya dengan tangan kosong!

   "Ha, ha, ha, nona yang baik. Pedangmu sudah tidak ada, mengapa begitu nekad? Lihat, rambutmu sudah awut-awutan dan napasmu senin kamis, ah! Aku tentu akan mendapat marah dari Siauw Ongya nanti! kau menyerahlah saja, nona manis, tentu Ongya akan membereskan rambutmu yang awut-awutan itu."

   Suma Kwan Eng memang sengaja mengeluarkan ucapan-ucapan menghina, karena sebetulnya ia ingin sekali membunuh gadis Hoa-san-pai untuk melampiaskan dendamnya. Hanya karena takut kepada Wan Yen Kan saja maka ia tidak membunuh Ling In dan hanya memuaskan hati dengan mengejek dan menghina. Kini sepasang tongkatnya mengurung tubuh Ling In yang sudah tak berdaya sungguhpun gadis ini melawan terus. Ibu Ling In sudah menggigil di belakang pintu dan merasa gelisah dan takut sekali. Keadaan Ling In sudah terdesak sekali dan agaknya gadis itu takkan dapat melepaskan diri lagi dari lawannya yang hendak menangkapnya.

   "Nona manis, sudahlah, kau menyerah saja, apa gunanya melawan terus? Siauw Ongya akan memperlakukan kau baik-baik dan kau akan hidup beruntung, kaya raya, dan dicinta"!"

   "Bangsat tua bangka, aku Thio Ling In akan mengadu nyawa dengan kau !" seru Ling In sambil menyerang terus dengan nekad.

   "Ha-ha-ha, kau benar-benar galak! Heran sekali mengapa Siauw Ongya bisa tergila-gila kepada seorang perempuan galak!" Suma Kwan Eng mentertawakan sambil menyerang terus. Pada saat yang amat berbahaya bagi keadaan Ling In, tiba-tiba menyambar tubuh yang gesit sekali dibarengi bentakan.

   "Kurang ajar sekali kau ! Enyah dari sini!"

   Bentakan ini disusul oleh tendangan kilat. Suma Kwan Eng terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang menyerangnya itu adalah Wan Yen Kan! Ilmu kepandaian Wan Yen Kan masih lebih tinggi sedikit dari pada tingkat kepandaian Suma Kwan Eng. Akan tetapi kalau saja Suma Kwan Eng berani melawan, tidak akan mudah bagi Wan Yen Kan untuk merobohkannya. Pada saat itu Suma Kwan Eng sedang terkejut dan tidak mengira bahwa pangeran muda itu akan menyerangnya, pula ia tidak berani melawan pangeran ini, maka tendangan Wan Yen Kan tepat mengenai pahanya sehingga Suma Kwan Eng terlempar sampai dua tombak jauhnya! Akan tetapi Suma Kwan Eng dapat bangun kembali dan ketika tubuhnya terlempar tadi, sepasang tongkatnya masih ia pegang. Ia berdiri memandang Wan Yen Kan dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata,

   

Pendekar Pedang Pelangi Eps 23 Memburu Iblis Eps 35 Memburu Iblis Eps 2

Cari Blog Ini