Pendekar Budiman 8
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Kalian datang apakah hendak membunuhku? Kalau demikian, lekas turun-tangan, aku tidak takut mati!"
"Hm, apa sukarnya membunuh orang seperti engkau? Akan tetapi, apa gunanya pula? Betapapun juga, kami sudah tahu akan sepak terjang Hek kin kai pang dan tidak ada alasan bagi kami untuk membunuhmu. Kami datang untuk minta penjelasan darimu. Mengakulah sejujurnya, apakah murid kami yang goblok ini betul-betul suka kepadamu, ataukah kau yang menipu dan membujuknya?" Perih hati Cun Eng mendengar pertanyaan ini. Ia tahu bahwa biarpun ia mencinta pemuda itu dengan seluruh hatinya, namun ia masih belum berani menentukan apakah pemuda yang keras hati itu akan sudi melayani dan menyambut cinta kasihnya. Ia tersenyum pahit dan berkata,
"Jiwi totiang kalian ini dua orang-tua mengapa hendak mencampuri urusan orang-orang muda? Aku suka kepada Ciang Le dan dia tergila-gila kepadaku, kalian orang-orang-tua ini apakah tidak lebih baik lekas panggil dia kembali dan rebut dari tangan sasterawan gila itu agar kebahagian kami berdua takkan terganggu?"
"Betul-betul bangsat berhidung kerbau!" Te Lo-mo memaki muridnya dan tanpa banyak cakap lagi kedua orang iblis ini lalu melompat dan pergi dari tempat itu. Kembali Cun Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan untuk melanjutkan tangisnya yang tadi terganggu oleh Thian Te Siang mo. Inilah sebabnya mengapa Thian Te Siang mo menjadi kecewa sekali terhadap murid mereka dan ketika mereka mendengar tentang undangan terhadap orang-orang kang ouw yang dilakukan oleh Sam Thai Koksu di kota Cin-an mereka lalu datang mengunjungi, sebagian untuk menghibur hati mereka yang kecewa, juga untuk melihat siapa siapa saja diantara orang-orang kang ouw yang akan datang menghadiri undangan itu.
Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Thian Te Siang mo bertemu dengan Liang Bi Lan, murid Hoa-san-pai yang muda, cantik manis, lincah dan cerdik itu. Mari sekarang kita kembali menengok keadaan Bi Lan yang hadir di dalam taman besar di kota Cin-an di mana Sam Thai Kok su mengadakan perjamuan untuk menghormat orang-orang kang ouw yang hendak diajak berunding. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Bi Lan diajak duduk di bangku dekat panggung oleh Kim Kiok. Sebetulnya, Bi Lan merasa tidak suka kepada wanita setengah tua yang masih genit ini, akan tetapi oleh karena ia tidak melihat orang yang dikenalnya di tempat itu, dan pula Kim Kiok berlaku ramah kepadanya terpaksa ia melayani ajakan kawan baru ini.
Makin banyak tamu yang datang memenuhi tempat itu Akan tetapi, menurut pandangan Bi Lan, sebagian besar orang-orang yang datang adalah orang-orang kang ouw yang kasar dan tidak seberapa tinggi kepandaiannya. Tentu saja ada kekecualiannya, misalnya tiga orang yang semenjak ia masuk telah menarik perhatiannya, yakni kakek jembel, nenek yang kepalanya dibalut saputangan putih, dan Hwesio yang besar pendek itu. Kemudian datang dua orang yang menarik perhatian karena mereka ini biarpun telah berusia kurang lebih lima puluh tahun, namun masih bertubuh kekar dan gagah, serta tindakan kaki mereka gesit sekali. Orang pertama membawa pedang dan orang ke dua membawa tongkat bercagak. Sam Thai Koksu menyambut kedatangan dna orang ini dengan muka berseri,
"Selamat datang, jiwi ciang bunjin (dua orang ketua) dari Hui-eng-pai! Sudah lama sekali kita tidak saling bertemu. Silakan duduk!" kata Kim Liong Hoat ong sambil berdiri dari bangkunya. Semua orang mendengar disebutnya Hui-eng-pai, menjadi tertarik dan memandang kepada dua orang yang baru datang itu. Juga Bi Lan terkejut dan memperhatikan. Ia sudah lama mendengar nama Hui-eng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti dan terkenal sekali di Pegunungan Tapie san.
Tepat seperti dugaan Bi Lan tentang orang-orang yang paling lihai yang berada di situ, orang-orang yang dipersilakan duduk di meja kehormatan, yakni yang berada di panggung, adalah kakek jembel tadi, Hwesio yang besar pendek itu, dan nenek tua yang kepalanya dibalut saputangan putih. Ketika tadi Kini Liong Hoat ong mempersilakan nenek itu untuk duduk di meja kehormatan, nenek itu menerima baik akan tetapi menuntut agar supaya dua orang muda laki-laki dan wanita yang datang bersama dia dan yang disebut sebagai murid-muridnya itupun diperkenankan duduk di tempat itu! Oleh karena jumlah orang yang menduduki tempat kehormatan kini banyak sekali, maka terpaksa dinaikkan sebuah meja lagi dan tempat kehormatan itu dipecah menjadi dua meja yang dikelilingi korsi korsi atau bangku bangku berukir yang mewah.
Agar jelas, maka baik diterangkan bahwa yang menduduki tempat kehormatan di atas panggung itu adalah Kim Liong Hoat ong, Gin Liong Hoat ong, dan Tiat Liong Hoat ong sebagai tuan rumah, yaitu ketiga Sam Thai Koksu. Kemudian sebagai tamu-tamunya adalah nenek itu yang kemudian ternyata adalah seorang tokoh besar dari barat yang hanya diketahui shenya saja, yaitu she Liu. Oleh karena itu, ia di sebut Liu Toanio dan berjuluk Siu kun (Kepalan Sakti). Pemuda dan pemudi itu adalah enci adik yang menjadi muridnya, yang perempuan bernama Liok Hui berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik dan pendiam sehingga nampak keren sekali, yang laki-laki bernama Liok San berusia dua puluh lima tahun. Ke tiganya adalah tokoh-tokoh Kwan im pai.
Kakek jembel yang selalu nampak mengantuk dan melenggut saja itu juga bukan orang sembarangan, karena dia ini adalah Bu Eng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Bayangan) seorang hiapkek (pendekar) perantau yang sudah banyak membikin pusing kepala para pembesar Kin karena melakukan hal hal yang menggemparkan dan menentang tindakan sewenang wenang dari pemerintah Kin. Hwesio gemuk pendek itu bukan lain adalah tokoh ke dua dari Go-bi-pai bernama Bu It Hosiang, yang menurut pengakuan Cu Bi adalah guru pemuda ini. Akan tetapi benar-benar aneh karena pada saat itu, pemuda ini sama sekali tidak pernah memperlihatkan diri.
Bagi yang mengetahui, tentu tidak aneh karena memang Cu Bi telah diusir oleh Bu It Hosiang dan karenanya orang muda ini tidak berani memperlihatkan hidungnya kepada bekas suhunya. Siapakah dua orang yang baru datang itu tadi, yang disebut oleh Kim Liong Hoat ong sebagai ketua ketua dari Hui-eng-pai? Tentu pembaca masih ingat karena dua orang ini bukan lain adalah Suma Kwan Seng dan Suma Kwan Eng, ketua pertama dan ke dua dari Hui-eng-pai yang lihai. Demikianlah, ada sepuluh orang duduk di atas panggung itu, dan semua tamu memandang kearah mereka dengan penuh keseganan karena semua itu adalah orang-orang terkemuka. Bi Lan juga memandang dengan penuh perhatian, dan karena kebetulan sekali Kim Kiok mengajaknya duduk di dekat panggung, maka ia berada di bawah tokoh-tokoh besar itu dan dapat mendengarkan percakapan mereka,
"Mengapa jiwi hanya datang berdua? Di mana adanya Sam paicu?" Ditanya tentang orang ketiga, yaitu adik seperguruan mereka. Suma Kwan Eng menjadi muram mukanya.
"Sute kami Ciu Hoan Ta telah celaka dalam tangan orang-orang Hoa-san-pai." Mendengar nama Hoa-san-pai disebut sebut, Bi Lan memasang telinga dengan penuh perhatian.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Kim Liong Hoat ong.
"Bagaimana Ciu Enghiong sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai?"
"Ah, tak perlu diceritakan, karena hanya akan memanaskan perut, Toa koksu," kata Suma Kwan Seng kepada Kim Liong Hoat ong.
"Suteku itu telah tewas karena keroyokan orang-orang Hoa-san-pai tetapi biarlah, akan datang masanya kami berdua membalas dendam kepada keparat-keparat Hoa-san-pai itu!" Bukan main marahnya Bi Lan mendengar partainya dimaki-maki orang, wajahnya menjadi merah sekali dan sepasang matanya yang bening itu memancarkan cahaya berapi, Kim Liong Hoat ong mengerling ke arah Bi Lan dan tuan rumah ini merasa tidak enak juga mendengar ketua Hui-eng-pai itu memaki-maki Hoa-san-pai yang pada saat itu diwakili oleh seorang nona yang kebetulan sekali duduknya begitu dekat!
"Harap Suma ciangbunjin jangan terlalu keras mengeluarkan celaan, karena pada waktu ini ada pula seorang wakil dari Hoa-san-pai yang hadir..." katanya perlahan. Akan tetapi pada saat itu, sebelum Suma Kwan Seng dan Suma Kwan Eng yang telah menjadi marah itu bertanya di mana adanya wakil Hoa-san-pai, tiba-tiba Bu It Hosiang yang duduknya berhadapan dengan dua orang ketua Hui-eng-pai itu, telah menggebrak meja di depannya sehingga cawan cawan arak berlompatan ke atas.
"Memang sungguh menjemukan sekali orang-orang Hoa-san-pai! Pantas saja jiwi merasa sakit hati. Pinceng sendiri kalau hari ini melihat seorang diantara mereka berada di sini, akan pinceng beri tempelengan tiga kali pada batok kepalanya!" Kim Liong Hoat ong dan dua orang adiknya saling pandang dan mereka merasa makin tidak enak. Sesungguhnya, tiga orang guru negara ini amat licin dan cerdik di samping kepandaian silat mereka yang tinggi. Pada waktu itu, perlawanan rakyat secara sembunyi sembunyi terhadap pemerintah Kin tiada hentinya dilakukan oleh patriot patriot Bangsa Han. Biarpun secara resmi Tiongkok bagian utara diduduki oleh pemerintah Kin namun rakyat yang tidak merelakan tanah airnya dikuasai penjajah, selalu mendatangkan rongrongan berupa pemberontakan-pemberontakan, pengacauan-pengacauan dan perlawanan terhadap pemerintah Kin.
Sam Thai Koksu maklum bahwa biarpun pemberontakan-pemberontakan ini bersumber pada semangat rakyat jelata yang tidak mau dijajah, namun tanpa pimpinan orang-orang pandai pemberontakan-pemberontakan itu takkan berarti apa-apa. Oleh karena inilah, maka Sam Thai Koksu telah merendahkan diri untuk mengundang dan menghubungi orang-orang kang ouw. Kalau jalan "mempererat" hubungan dengan mereka ini tidak berhasil, masih ada jalan lain, yaitu mengadudombakan mereka! Oleh karena inilah, biarpun pada wajah mereka kelihatan perasaan tak senang dan tidak enak mendengar kedua pimpinan Hui-eng-pai dan Hwesio tokoh Go-bi-pai itu memaki-maki Hoa-san-pai, namun di dalam hati tiga orang tokoh pembesar Kin ini diam-diam tertawa dengan puas.
Hoa-san-pai telah mereka kenal sebagai partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Demikian pula Go-bi-pai. Adapun Hui-eng-pai juga merupakan partai liar yang amat kuat, maka kalau sampai terjadi bentrokan antara tiga partai ini, hai itu hanya mendatangkan kepuasan dan sesuai benar dengan siasat siasat pemerintah Kin! Kini menghadapi Bu It Hosiang yang kelihatannya berangasan itu, Kim Liong Hoat ong bermaksud "menyiram" api itu dengan minyak. Akan tetapi sebagai seorang yang pandai dan berpengalaman, ia tidak mau berpihak, tidak mau kalau sampai terlibar di dalam bentrokan itu. Maka seperti tak disengaja dan karena memang tertarik ingin mengetahui Kim Liong Hoat ong bertanya kepada Bu It Hosiang.
"Bu It Losuhu, sebetulnya mengapakah kau marah marah kepada Hoa-san-pai? Bukankah sepanjang pendengaran kami, Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar dan nama-nama seperti Lian Gi Tojin, Liang Bi Suthai, Liang Tek Sianseng, dan Tan Seng taihiap sudah amat terkenal sebagai orang-orang gagah di dunia kang ouw?" Bi Lan ikut membuka telinga baik-baik. Diam-diam ia suka kepada Kim Liong Hoat Ong yang memuji muji nama guru-gurunya.
"Bah, orang-orang gagah di dunia kang ouw? Mereka itu, terutama Liang Bi Suthai, adalah orang-orang sombong yang mengandalkan kepandaian sendiri untuk menghina orang! Baru beberapa hari yang lalu, kalau tidak suhu berhati murah, nenek sombong itu tentu sudah pinceng hajar mampus!" Hampir saja Bi Lan membuka mulutnya untuk membalas dampratan Hwesio gemuk pendek itu, akan tetapi ia didahului oleh Kim Liong Hoat Ong yang bertanya kepada Bu It Hosiang,
"Sebenarnya apakah yang telah terjadi antara losuhu dengan Liang Bi Shuthai?" Bu It Hosiang tadi sudah mendengar bahwa di situ terdapat seorang wakil Hoa-san-pai, karena tadi ia telah menengok ke sana ke mari dan tidak melihat adanya seorang diantara empat tokoh Hoa-san-pai ia menduga bahwa yang datang tentulah seorang anak murid yang tidak mempunyai kedudukan berarti. Maka ia tidak ambil perduli dan bahkan sengaja menuturkan kejadian itu untuk memberi tahu kepada semua yang mendengarnya betapa sombong nenek dari Hoa-san-pai itu.
"Liang Bi Suthai, nenek sombong Hoa-san-pai itu belum lama ini dengan beraninya, mengandalkan kesombongannya, telah naik ke Go bi dan menemui kami," ia mulai menutur dengan singkat.
"Dengan kata-katanya yang kasar ia menuduh bahwa seorang murid kami berbuat jahat. Nenek itu telah membunuh seorang anak murid Go-bi-pai, kemudian ia datang bukan untuk minta maaf kepada suhu, melainkan mengeluarkan kata-kata kasar, siapa yang dapat menahan sabar lagi? Suteku, Tiauw It Hosiang karena masih muda tak dapat menahan sabar lagi lalu menyerangnya, akan tetapi Tiauw It sute yang masih muda itu tentu saja tidak dapat menang. Setelah pinceng turun-tangan barulah nenek bawel itu dapat kukalahkan. Tadinya pinceng hendak membalas kematian anak murid kami, sayangnya suhu yang berhati penuh welas asih itu mencegahku dan mengampuni nenek bawel itu, membiarkan nenek bawel itu pergi tanpa mengganggunya. Bahkan suhu telah memberi obat kepada nenek yang telah kulukai itu. Nah, cuwi (tuan-tuan sekalian) pikir, bukankah Liang Bi Suthai si nenek bawel itu benar-benar sombong sehingga bebani dia datang menjual lagak di tempat kami?"
Bi Lan terkejut sekali dan juga marah, tahu bahwa setelah Tiauw It Hosiang dahulu itu datang mengacau di Hoa-san-pai dan ia kalahkan, gurunya wanita itu memang hendak pergi ke Go-bi-pai untuk mendamaikan urusan perselisihan itu dengan ketua Go-bi-pai, Kian Wi Taisu. Menurut penuturan Hwesio gendut ini, ternyata gurunya itu telah mengalami kekalahan di puncak Go bi!
Tentu saja Bi Lan dan juga semua orang tidak tahu duduknya perkara yang sesungguhnya. Memang di dunia ini siapakah orangnya yang dapat menginsafi kekeliruan sendiri dan mengemukakan kebenaran lain orang yang bermusuhan dengan dia? Tak terkecuali Bu It Hosiang. Penuturannya tadi memang berat sebelah dan ia menimpakan semua kesalahan pada Liang Bi Suthai. Agar jelas, mari kita meninjau sebentar apa yang telah terjadi di puncak Go-bi-pai itu beberapa hari yang lalu. Sebagaimana telah dituturkan di depan Liang Bi Suthai berangkat seorang diri mengunjungi Go-bi-pai untuk bertemu dengan ketua Go-bi-pai, Kian Wi Taisu, guna membicarakan perselisihan yang timbul antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai, juga untuk menegur Kian Wi Taisu berhubung dengan sepak terjang anak murid Go-bi-pai dan yang akhir akhir ini tentang pengacauan Tiauw It Hosiang di Hoa san.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Liang Bi Suthai sebentar saja sudah berada di puncak Go-bi-san dan menghadap Kian Wi Taisu. Ia diterima oleh ketua Go-bi-pai itu di mang berlatih silat di kelenteng Go-bi-pai, di mana Kian Wi Taisu, dan murid-muridnya telah duduk menantinya. Di ujung ruangan lian bu thia (tempat berlatih silai) itu, nampak Kian Wi Taisu duduk di atas sebuah bangku. Sikapnya dingin dan angker. Hwesio yang sudah tua sekali ini menegangi tongkat Hwesionya yang berat dan panjang. Para Hwesio pengurus yang menjadi murid-murid dan cucu cucu muridnya berdiri dengan sikap sopan di kanan kiri dan belakangnya.
Tokoh ke dua dan ke tiga dari Go-bi-pai, yakni Bu It Hosiang dan Tiauw It Hosiang, berdiri di sebelah kiri guru besar itu. Melihat sikap Hwesio Hwesio itu yang amat dingin menyambut kedatangannya, hati Liang Bi Suthai merasa tidak enak, akan tetapi ia tidak merasa jerih dan terus menghampiri Kian Wi Taisu sambil memberi hormat. Ia tidak tahu bahwa Kian Wi Taisu telah dibikin panas hatinya oleh Tiauw It Hosiang muridnya. Karena menaruh hati dendam atas kekalahannya terhadap murid termuda dari Hoa-san-pai di puncak Hoa san, Tiauw It Hosiang lalu mengadu kepada gurunya. Ia menceritakan betapa seorang anak murid telah terbunuh oleh Liang Bi Suthai, dan bahwa ketika ia naik ke Hoa san untuk menegur, ia dikalahkan pula oleh seorang anak murid Hoa-san-pai.
Kian Wi Taisu adalah seorang tokoh besar Go-bi-pai yang memiliki kepandaian tinggi sekali, namun ia tetap seorang manusia biasa dari darat dan daging, oleh karena itu iapun belum dapat melepaskan jiwanya dari pada sifat memilih. Sudah tentu saja ia lebih berat kepada anak-anak muridnya dan lebih percaya kepada Tiauw It Hosiang, sehingga ketika mendengar penuturan muridnya itu, diam-diam ia merasa mendongkol juga. Akan tetapi ia telah dapat memiliki kesabaran besar, maka ia hanya berpesan agar supaya para muridnya jangan sekali kali mencari permusuhan lagi dengan orang-orang Hoa-san-pai. Kini tiba-tiba Liang Bi Suthai muncul, tentu saja diam-diam Kian Wi Taisu menjadi makin gemas. Ia menerima kedatangan nenek Hoa-san-pai ini dengan muka dingin dan pandang mata penuh selidik,
"Harap Tai suhu suka memaafkan kelancanganku datang menghadap tanpa memberi tahu lebih dulu," kata Liang Bi Suthai dengan tenang, setelah ia memberi hormat ia tidak memberi hormat secara berkelebihan, karena biarpun Kian Wi Taisu memiliki kedudukan tinggi dalam partai Go-bi-pai, Liang Bi Suthai merasa bahwa kedudukannya setingkat. Biarpun ia bukan pemeluk Agama Buddha melainkan seorang pendeta wanita Agama To kau w namun kedudukannya di Hoa-san-paipun terhitung paling tinggi.
"Hm, bagus, Liang Bi Suthai. Baik kau datang, karena bukankah kedatanganmu ini akan minta maaf atas kesalahan tangan membunuh seorang murid kami dan hendak mendamaikan urusan ini?" tanya Kian Wi Taisu.
Sebetulnya memang Hwesio tua ini sudah merasa lega juga melihat kedatangan nenek ini, di samping perasaan mendongkol. Kalau saja orang Hoa-san-pai mau datang minta maaf, iapun akan menghabiskan urusan itu. Sebagai seorang pemimpin partai besar, Kian Wi Thaisu dapat tahu juga bahwa anak murid Go-bi-pai yang terbunuh oleh nenek ini bukanlah seorang murid yang baik, bahkan boleh dibilang seorang murid yang murtad dan menyeleweng. Akan tetapi, ucapan ketua Go-bi-pai tadi membangkitkan kerut merut pada kening Liang Bi Suthai. Nenek ini memang terkenal berwatak berangasanan keras hati, ia datang hendak menegur Kian Wi Taisu atas sepak terjang murid-muridnya, tidak tahunya ia bahkan diharapkan datang untuk minta maaf!
"Tidak salah dugaanmu bahwa aku datang untuk mendamaikan urusan, akan tetapi sekali kali bukan dari fihakku yang harus minta maaf. Aku bukan seorang yang gila akan pujian akan tetapi kalau hendak dibicarakan tentang maaf, Pihak Go-bi-pailah yang seharusnya minta maaf!" Sepasang mata Kian Wi Taisu memancarkan sinar kilat. Ia telah bertahun-tahun dapat menahan kesabarannya karena memang di puncak Go-bi-san itu tidak pernah ada urusan sesuatu yang dapat membangkitkan marahnya. Kini menghadapi Liang Bi Suthai, kemarahannya timbul bagaikan seekor harimau tidur dibangunkan.
"Liang Bi Suthai, kalau kau tidak mau minta maaf, apakah kau anggap bahwa pembunuhanmu terhadap anak murid kami, dan perlakuanmu terhadap muridku Tianw It ketika ia pergi ke Hoa san, apakah semua itu kau anggap sudah tepat dan betul?" Liang Bi Suthai tidak takut dan menentang sinar mata Hwesio tua itu.
"Mengapa tidak betul? Dengarlah, Kian Wi Taisu. Murid Go-bi-pai yang terbunuh olehku itu adalah seorang penjahat cabul yang amat kejam! Aku membunuhnya bukan mengingat bahwa dia murid Go bi, melainkan berdasar kejahatannya dan untuk menolong wanita wanita dari gangguannya. Salahkah itu? Kemudian, muridmu Tiauw It Hosiang ini yang mengandalkan kepandaiannya, menyerbu ke Hoa-san-pai di mana ia menghina murid-murid kami. Akhirnya datang muridku yang termuda dan Tiauw lt Hosiang dikalahkan oleh muridku yang termuda itu! Salah pulakah ini?" Tiba-tiba terdengar seman keras dan Tiauw It Hosiang meloncat maju sumbil membentak,
"Setan perempuan, kau hendak berlaku sombong di sini?" Sambil berkata demikian, Tiauw It Hosiang sudah menyerang dengan jari telunjuk tangan kanannya yang dituruskan ke atas! Datang datang Tiauw It Hosiang ini sudah hendak mempergunakan ilmu pukulan It ci sinkang yang terkenal. Liang Bi Suthai maklum akan berbahayanya serangan It ci sinkang ini, maka cepat ia mengelak ke kiri sambil berkata kepada Kian Wi Taisu,
"Kian Wi Tai suhu, beginikah kelakuan murid-muridmu terhadap seorang tamu?" Nenek yang keras hati ini tidak menanti sampai Hwesio tua itu menjawab, kemudian secepat kilat ia lalu membalas serangan Tiauw It Hosiang dengan ilmu pukulan yang bertubi tubi dilakukan dengan kedua tangannya. Liang Bi Suthai adalah ahli silat tangan kosong yang paling lihai diantara saudara-saudaranya, maka serangannya ini hebat sekali sehingga biarpun Tiauw It Hosiang sudah berusaha menangkis, namun tetap saja Hwesio ini terdesak mundur dengan hebat dan angin pukulan yang bertenaga kuat itu membuat Tiauw It Hosiang terhuyung-huyung! Tiba-tiba dari samping menyambar angin pukulan yang sekaligus menolak pukulan Liang Bi Suthai. Nenek ini terkejut karena tangkisan itu benar-benar kuat sekali. Ketika ia memandang, ternyata yang menangkis itu adalah Bu It Hosiang yang menolong sutenya.
"Hm, Bu It Hosiang apakah kau juga sedogol sutemu?" Kemudian nenek ini berkata kepada ketua Go-bi-pai.
"Tai suhu, benar-benarkan kau hendak menghina seorang tamu dari Hoa-san-pai? Apakah benar-benar kau tidak ingat dan tidak mau tahu lagi bahwa kita semua sebenarnya berasal dari satu sumber?" Kian Wi Taisu tersenyum dingin.
"Memang sukarlah bagi seseorang untuk menyadari, Liang Bi Suthai. kau menyalahkan kami, akan tetapi kau tidak ingat bahwa betapapun besar kejahatan seorang anak murid kami, namun kau sama sekali tidak berhak untuk membunuhnya! Kalau memang benar anak murid Go-bi-pai jahat, mengapa kau tidak menegurku sehingga kami dapat turun-tangan sendiri? Mengapa tahu-tahu kau telah membunuhnya? Itu adalah kesalahan besar sekali. Kemudian sekarang kau mengejek kami karena Tiauw It telah menyerangmu. Apakah kau tidak ingat lagi betapa Tiauw It ketika menjadi tamu di gunungmu, juga kau telah menyerangnya dengan murid-muridmu sehingga ia kalah?" Liang Bi Suthai tidak mengira bahwa ketua Go-bi-pai ini demikian pandai bicara, ia lalu memandang tajam dengan sikap menantang.
"Kalau begitu, kalian hendak mengambil keputusan bagaimanakah? Aku bersedia melayani, memang sudah lama aku ingin sekali menyaksjkan sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian dari Kian Wi Taisu ketua Go-bi-pai!" Kian Wi Taisu tertawa dan ia mengetuk ngetukkan tongkatnya di atas lantai.
"Liang Bi Suthai, biar suhengmu sendiri, Liang Gi Cinjin, masih belum cukup kuat untuk menguji kepandaianku. Apalagi kau ! Bu It, coba kau layani tamu kita ini main-main sebentar!" Hal ini memang sudah sejak tadi dikehendaki oleh Bu It Hosiang, maka ia segera melangkah maju menghadapi nenek Hoa-san-pai itu. Hwesio pendek besar ini lalu mengeluarkan sebatang toya kuningan dan sambil tersenyum mengejek ia berkata,
"Liang Bi Suthai, cobalah kau layani toyaku ini beberapa jurus untuk menambah kebodohanku!" Liang Bi Suthai sudah marah sekali Dengan muka merah ia menjawab,
"Hwesio kasar, tak perlu banyak cakap lagi," lalu tiba-tiba ia mengayun tangan kacaunya menampar ke arah dada Hwesio itu Bu It Hosiang cepat mengelak dan di lain saat, toyanya sudah menggempur ke arah kepala Liang Bi Suthai. Keistimewaan nyonya tua ini memang terletak pada kedua tangan dan kedua ujung lengan bajunya yang panjang dan yang ia pergunakan sebagai sepasang senjata pendek, maka ia tak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran.
Dengan ginkangnya yang tinggi, biarpun bertangan kosong, ia tidak gentar menghadapi lawan yang bersenjata. Akan tetapi, menghadapi Bu lt Hosiang murid tertua dari Kian Wi Taisu dan tokoh ke dua dari Go-bi-pai, ternyata ia telah menemui tandingan yang setimpal. Keduanya mengerahkan kepandaian masing-masing dan sebentar saja tubuh kedua orang-tua ini lenyap terbungkus gulungan sinar toya yang diputar cepat sekali oleh Bu It Hosiang. Menonton pertempuran yang hebat ini, hanya Tiauw It Hosiang dan Kian Wi Taisu saja yang dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas dan diam-diam Kian Wi Taisu mengagumi ilmu silat tangan kosong dari tokoh Hoa-san-pai itu.
Akan tetapi oleh karena senjata toya lebih berat dan panjang dari pada senjata sederhana berupa ujung lengan baju, setelah bertempur seratus jurus lebih, tiba-tiba terdengar suara keras dan kedua orang itu melompat mundur. Bu It Hosiang terkejut sekali melihat senjata toyanya telah patah menjadi dua, akan tetapi Liang Bi Suthai terhuyung dengan wajah pucat dan bibirnya menjadi merah karena dari mulutnya mengeluarkan darah! Ternyata bahwa tadi ujung toya Bu It Hosiang berhasil menyodok dada nenek itu, yang cepat mengerahkan lweekangnya dan "menggunting" dengan kedua lengannya. Biarpun ia berhasil dapat mematahkan toya itu, namun tetap saja bagian atas dadanya, dekat pundak kanan telah tersodok toya dan ia menderita luka di dalam tubuh yang lumayan.
"Kepandaian Bu It Hosiang benar-benar lihai," nenek itu menjura sambil menahan sakit,
"Liang Bi Suthai," kata Kian Wi Taisu menyesal.
"Ketika Tiauw lt pergi ke Hoa san, ia telah menderita luka di dalam tubuhnya. Sekarang kau datang ke sini, luka pula. Ah, aku menyesal sekali. Biarlah pinceng memberi obat untuk menyembuhkan lukamu." Sambil berkata demikian, Kian Wi Taisu merogoh kantong jubahnya dan memberi tiga butir pil merah kepada Liang Bi Suthai. Akan tetapi nenek ini menjura kepadanya dan berkata,
"Tai suhu mulia sekali, akan tetapi ketika Tiauw It Hosiang terluka di Hoa san, iapun menolak obat dari Hoa-san-pai. Apakah sekarang aku ada muka untuk menerima obat dari Go-bi-pai? Tidak, terima kasih dan sampai jumpa pula!" Setelah berkata demikian,, Liang Bi Suthai lalu pergi meninggalkan tempat itu.
***
Demikianlah peristiwa jang terjadi di puncak Go-bi-san, di kelenteng dari partai Go-bi-pai. Tentu saja Bu It Hosiang yang kini hadir di dalam taman raya di kota Cin-an, tidak menceritakan semua dengan jelas. Namun penuturannya itu, kecuali kepada Bi Lan yang menjadi marah sekali, membuat semua tamu menarik kesimpulan bahwa Liang Bi Suthai benar-benar sombong.
"Memang terlalu sekali orang-orang Hoa-san-pai!" kata Suma Kwan Eng, ketua nomor dua dari Hui-eng-pai.
"Mereka itu baru tahu rasa kalau sudah diberi hajaran. Karena itu, setelah selesai menghadiri pertemuan di sini kami berdua juga hendak menuntut balas atas kematian sute kami di Hoa san! Orang she Tan itu harus menebus kematian sute!" Wajah Bi Lan sebentar pucat sebentar merah saking marah dan mendongkolnya. Akan tetapi gadis ini maklum bahwa ia menghadapi banyak sekali orang pandai yang sukar untuk dilawan, oleh karena itu, gadis ini memutar otaknya dan tidak berani berlaku secara sembrono. Ia telah mengambil keputusan untuk memperkenalkan diri agar orang-orang itu tidak membuka mulut seenaknya saja, akan tetapi baru saja ia berdiri, terdengar Bu It Hosiang bertanya kepada Satu Thai Koksu.
"Pinceng tadi mendengar bahwa di sini hadir pula anak murid Hoa-san-pai. Yang manakah dia? Menurut pinceng, agar jangan sampai pertemuan ini dikotori oleh orang sombong, wakil Hoa-san-pai itu disuruh meninggalkan tempat ini saja!" Pada saat itu, dari bawah panggung berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu Bi Lan sudah berdiri menghadapi tokoh-tokoh besar yang mendapat tempat duduk istimewa itu. Karena gadis ini langsung menghampiri Bu It Hosiang sambil memandang dengan senyum mengejek dan mata tak berkedip, Hwesio ini membentak,
"Anak kurang ajar, siapa kau?"
"Dia inilah wakil dari Hoa-san-pai," kata Kim Liong Hoat Ong yang diam-diam merasa girang karena ia mengharapkan mereka semua itu saling bentrok dan bermusuhan, sungguhpun pada lahirnya ia seakan-akan menjadi orang yang mendamaikan. Bu It Hosiang tertegun, demikian juga kedua orang saudara Suma dari Hui-eng-pai. Melihat bahwa wakil dari Hoa-san-pai hanya seorang nona muda sekali yang cantik jelita dan nampak lemah, mereka tentu saja memandang rendah.
"Ah, kalau nona ini yang mewakili Hoa-san-pai, biar sajalah jangan disuruh pergi. Kasihan dong nona manis yang masih muda ini. Biarlah memandang mukanya, kami mengalah dan menberi ampun. Baiknya dia diberi tempat duduk di atas panggung sehingga semua orang dapat melihatnya," kata Suma Kwan Eng. Ucapan ini sebenarnya selain memperolok-olok, juga memandang rendah dan menghina sekal, di samping sifatnya yang membuktikan nilai watak orang yang bicara. Akan tetapi, banyak juga yang tertawa gembira dan menyatakan setuju! Demikianlah watak orang-orang lelaki yang pada dasarnya memang gila kecantikan apa bila melihat seorang nona cantik. Memang sedari tadi, Bi Lan telah dijadikan sasaran banyak sekali mata laki-laki yang hadir di tempat itu! Bi Lan tersenyum manis sehingga dekik pipinya nampak nyata ketika ia menjura kepada Suma Kwan Eng,
"Terima kasih, kau baik sekali, pantas saja kau masih hidup, tidak seperti sutemu itu yang pendek usia." Kalau tadi wajah Suma Kwan Eng penuh dengan seri mentertawakan, kini tiba-tiba berobah cemberut dan keningnya berkerut. Sudah biasanya, kalau orang suka memperolok orang lain di depan umum dia sendiri tidak suka dipermainkan orang. Akan tetapi sebelum Suma Kwan Eng menjawab, Bu It Hosiang sudah berdiri dan menghadapi Bi Lan. Pendeta gundul ini memandang tajam penuh perhatian. Ia tidak memandang gadis ini serendah pandangan kedua saudara Suma itu, karena ia teringat akan penuturan sutenja yang katanya kalah oleh gadis muda murid Hoa-san-pai.
"Apakah kau yang telah melukai suteku Tiauw It Hosiang?" tanyanya. Bi Lan menghadapi Hwesio tua ini dengar senyum manis, sungguhpun hatinya gemas sekali memikirkan bahwa Hwesio ini telah melukai Liang Bi Suthai.
"Siapa sih Tiauw It Hosiang itu?" ia balas bertanya dengan pandangan mata lucu. Bu It Hosiang meraba tongkatnya yang lihai.
"It ci sinkang Tiauw It Hosiang hanya seorang saja, yaitu suteku dari Go-bi-pai. kau kah yang dulu di puncak Hoa san telah melukainya?" Bi Lan beraksi seakan-akan ia berpikir keras kemudian dengan muka lucu ia berkata,
"Aku tidak tahu apakah namanya It ci sinkang Tiauw It Hosiang atau bukan. Yang aku tahu hanyalah seekor kepiting gundul yang lucu sekali. Eh, Bu It Hosiang, kalau waktu itu kau berada di sana, kau tentu takkan dapat menahan ketawamu karena geli. Aku benar-benar masih ingin tertawa terpingkal pingkal kalau mengenangkan kepiting gundul itu. Ia menari-nari kepiting, beginilah!" Lalu gadis ini membuat gerakan dengan kedua jari telunjuk di mainkan, seperti kepiting merayap. Orang-orang yang hadir di situ tertawa bergelak melihat sikap yang lucu ini.
"Nah, apakah kau mau bilang bahwa kepiting gundul itu sutemu?"
"Gadis kurang ajar! kau berani mempermainkan tokoh-tokoh Go-bi-pai demikian rupa? Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Bosan hidup? Kalau aku bosan hidup, aku akan menutup hidung dan mulutku dengan tangan, menahan napas dan" nah, apakah kau kira aku dapat bernapas lagi? Tidak, Hwesio tua aku masih suka sekali hidup.!" jawaban Bi Lan terang sekali hendak mempermainkan Hwesio itu.
"Setan cilik, mengakulah bahwa kau yang melukai suteku,"
"Bukan aku yang melukai, adalah kepiting gundul itu sendiri yang cari penyakit. Kalau di dalam laut, ia boleh beraksi mengulur kaki kakinya yang panjang. Akan tetapi ia menari di darat dan kebetulan sekali pada waktu itu aku dan guru-guruku ingin makan telur kepiting. Aku berusaha menangkap kepiting untuk dimasak, eh, dia hendak menyapit, tentu saja kuketok kepalanya. Begini!" Gadis itu membuat gerakan seperti orang memukul sesuatu dengan tangannya. Hampir saja Bu It Hosiang tak dapat menahan nafsunya lagi. Dari hidungnya keluar hawa panas dan kepalanya sampai pening saking bergolaknya nafsu marah di dalamnya.
"Mengakulah, benar-benar kau yang melukainya? Aku hampir tidak percaya! Atau, apakah memang murid Hoa-san-pai pengecut semua, berani berbuat tidak berani mengaku?"
"Bu It Losuhu, sebelum aku menjawab, kau mengakulah dulu, apakah kau yang melukai guruku Liang Bi Suthai di puncak Go-bi-san?" Bu It Hosiang tertegun.
"Sudah kuceritakan tadi."
"Kau mengakulah yang jelas, atau, apakah orang-orang Go-bi-pai pengecut semua, berani berbuat tidak herani mengaku?" Pertanyaan ini jelas sekali adalah tiruan dari pertanyaan Hwesio tadi maka makin marahlah Bu It Hosiang. Bu It Hosiang yang sudah marah sekali hampir saja tak dapat menahan hatinya. Ingin ia sekali menggerakkan toyanya menghancurkan kepala gadis muda Hoa-san-pai yang sudah pernah menjatuhkan sutenya, juga sekarang di hadapan orang banyak telah berani mengeluarkan kata-kata mempermainkannya.
Akan tetapi sebelum ia bergerak, tiba-tiba dari bawah menyambar tubuh seorang laki-laki yang berkumis tebal. Sepasang tangannya memegang dua batang tombak pendek dan sikapnya sombong sekali. Biarpun orang ini masih belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun, namun kumisnya yang tebal itu sudah putih, demikian pula rambutnya. Akar tetapi ia menutup ubannya dengan topi sedangkan bajunya kotak-kotak aksi sekali. Dia adalah seorang tokoh kang ouw yang cukup terkenal, bernama Ciang Kui San. Telah lama Kui San tertarik dan tergila-gila kepada Coa Kim Kiok wanita genit itu dan karena Kim Kiok mengaku bahwa dia adalah murid dari Go-bi-pai, maka kini melihat seorang tokok besar Go-bi-pai dipermainkan dan dihina oleh seorang nona muda, Ciang Kui San tak sabar lagi dan melompat ke atas panggung.
"Lo-Cianpwe, silakan mundur, biar siauwte yang menghadapi bocah kurang ajar ini. Untuk apa memukul seekor anjing betina kecil dengan tongkat besar?"
Bu It Hosiang tidak mengenal orang itu, akan tetapi ia pikir betul juga. Kalau dia tidak dapat menahan nafsu dan melayani Bi Lan di tempat itu, maka semua orang yang kebanyakan adalah orang-orang kang ouw itu akan menyaksikan pertempuran antara dia dan anak murid Hoa-san-pai. Ini sungguh merendahkan namanya. Dia adalah tokoh ke dua dari Go-bi-pai, seorang yang boleh dibilang telah menduduki tingkat tinggi. Masa dia harus menghadapi seorang gadis semuda ini, yang bahkan menjadi murid termuda dari Hoa-san-pai? Sungguh tidak patut sekali! Maka ia mengangguk kepada Kui San lalu mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi. Ciang Kui San terkenal sebagai seorang yang mabok akan paras cantik. Dia seorang laki-laki pemogoran yang mengandalkan kepandaiannya suka membikin ribut. Kini ia menghadapi Bi Lan sambil tertawa cengar cengir seperti seekor monyet tua.
"Nona, kau ini masih terlalu hijau sudah berani berlagak di tempat ini. Lebih baik kau berlutut minta ampun kepada Lo-Cianpwe dari Go-bi-pai itu, kemudian kau turut aku Ciang Kui San untuk belajar silat barang lima tahun lagi. Bagaimana?" Bi Lan adalah seorang gadis yang lincah dengan kata-kata. Mendengar ucapan yang menghina ini, biarpun ia merasa marah dan mendongkol, namun ia tetap memperlihatkan senyumnya yang manis.
"Sungguh lucu mahluk ini!" katanya penuh ejekan.
"Kau bisa bicara dan mempunyai nama seperti manusia, akan tetapi melihat mukamu kau seperti monyet tua berkumis lebat, melihat sikapmu kepada Bu It Hosiang, kau tak ubahnya seekor anjing penjilat! Aku namakan engkau manusia setengah monyet setengah anjing. Apa kau ingin dicabut kumismu?" Sambil berkata demikian, tubuh Bi Lan bergerak cepat ke depan dan tangan kanannya menyambar dari kanan untuk mencabut kumis orang. Merasa betapa sambaran tangan kanan itu mendatangkan hawa yang amat kuat, Ciang Kui San terkejut sekali dan cepat mengelak ke kanan, akan tetapi segera ia berteriak kesakitan karena tangan kiri nona itu sudah memapaki dari kiri dan sekali jambak saja kumisnya yang sebelah kanan copot! Darah mengalir dari kulit di mana kumis lebat tadi tumbuh!
Karuan saja Ciang Kui San berjingkrak jingkrak kesakitan sehingga kelihatan amat lucu. Di sana-sini terdengar tertawa tertahan, Kui San marah sekali, ia lalu menyerang dengan sepasang tombaknya. Akan tetapi Kui San ini hanya besar lagaknya saja dan kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bi Lan yang kini mainkan Ilmu Silat Ouw wan ciang hwat yang dipelajari dari Coa ong Sin kai. Ouw wan ciang hwat atau Ilmu Silat Lutung Hitam ini lihai sekali, sebagai mana tadi telah diperlihatkan ketika ia mencabut kumis. Gerakan ilmu silat ini dilakukan dengan kedua tangan dan kedua kaki yang selalu saling membantu. Seperli tadi, begitu tangan kanan menyerang, disusul serangan tangan kiri dan sesungguhnya sukar diduga tangan yang manakah yang tenar benar hendak menyerang dan tangan mana yang hanya memancing belaka!
Bi Lan memang seorang dara yang jenaka. Baru segebrakan saja, kalan dia mau, ia dapat merobohkan lawan yang besar suara tiada isi ini, akan tetapi ia bukan Bi Lan kalau hanya merobohkan lawan begitu saja tanpa mempermainkan dulu. Lagi pula, gadis ini hendak menguji Ilmu Silat Ouw wan ciang hwat nya, maka ia sengaja mempermainkan lawannya sambil menampar, menendang, menyiku, dan semua pukulan ini tak lain hanya untuk mempermainkan lawannya belaka. Mulai terdengar suara suara pujian dari para tamu ketika mereka menyaksikan kehebatan ilmu silat tangan kosong gadis itu. Bahkan para locian pwe seperti Sam Thai Koksu, iuga Bu It Ho siang, terkejut sekali melihat ilmu silat itu.
Belum pernah mereka menyaksikan ilmu silat seaneh itu, dan dengan malu dan penasaran sekali mereka harus akui bahwa mereka tidak mengenal ilmu silat dari gadis itu! Yang paling heran dan penasaran adalah Ciang Kui San sendiri. Ia telah melatih diri belasan tahun dan pengalamannya bertempur juga banyak. Bagaimana sekarang dengan sepasang tombaknya yang sudah terkenal itu ia tidak dapat merobohkan seorang dara muda? Benar-benar memalukan sekali! Rasa malu ini membuat ia marah bukan main dan kini tombaknya digerakkan secara lebih cepat, nekad dan ganas lagi! Sambil berseru keras, Bi Lan tertawa-tawa dan sambil mengelak ia telah mendupak paha Kui San sehingga terasa sakit sekali. Ciang Kui San maju menubruk dan dengan tangan kanannya ia menusukkan tombaknya ke arah dada Bi Lan.
"Mampus kau setan!" bentaknya.
"Aya" monyet tua masih galak, eh?" Bi Lan meloncat ke atas sambil mengelak sehingga tombak itu lewat disamping tubuhnya. Tombak kanan Kui San itu meluncur cepat dan menancap pada tiang panggung. Dan sebelum Kui San dapat mencabutnya kembali, Bi Lan menggerakkan tangannya ke arah muka Kui San, maka tercabutlah kumis di sebelah kiri dari orang itu, Bi Lan tidak berhenti sampai di situ saja. Kakinya menendang dan tubuh Kui San terlempar ke bawah panggung. Sambil tertawa-tawa, Bi Lan mencabut tombak pendek yang masih menancap di tiang itu dan memegangnya dengan sikap tenang.
"Cuwi sekalian lihat sendiri bahwa monyet tua itu mencari perkara sendiri. Aku hanya melayaninya saja, jangan mengira bahwa aku yang mencari permusuhan!" Diantara para penonton ada yang mengenal Bi Lan, maka ia berseru.
"Kepandaian Sian li Eng cu benar-benar mengagumkan sekali!" Pada saat itu, Bu It Hosiang sudah meloncat ke depan nona ini dan menggerak gerakkan toyanya.
"Anak Hoa-san-pai, keluarkanlah senjatamu, biar pinceng di sini membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu maka kau berlagak sombong di depan kami!" Akan tetapi, setelah keadaan meruncing, Sam Thai Koksu merasa sudah tiba waktunya turun-tangan. Kim Liong Hoat ong lalu meloncat maju dan berdiri diantara dua orang itu sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Jiwi harap suka memandang muka kami Sam Thai Koksu untuk menyudahi saja pertempuran ini."
"Tidak mungkin!" kata Bu It Hosiang tak sabar.
"Anak Setan ini sudah terlampau jauh menghina kami kaum Go-bi-pai,"
"Lo-Enghiong," kata Bi Lan kepada Kim Liong Hoat ong.
"Kalau memang losuhu dari Go-bi-pai ini hendak memperlihatkan bagaimana seorang pendeta menurutkan nafsunya untuk menghina orang muda, biarkanlah dia berbuat sesukanya!" Ucapan Bi Lan ini menyakitkan hati, akan tetapi juga membuat Bu It Hosiang merasa tak berdaya. Ucapan ini dikeluarkan nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, kalau dia sebagai seorang Hwesio berlaku nekad terus, tentu semua orang akan menganggapnya keterlaluan! Maka sambil mengertak gigi, Hwesio tua ini berkata.
"Anak setan, baiklah kita mencari tempat yang sunyi untuk menentukan siapa yang lebih kuat antara Hoa san dan Go-bi-san!"
"Sudahlah, harap bersabar. Sekarang diatur begini saja. Kami sebagai tuan rumah hendak melanjutkan acara pertemuan malam ini dan kemudian sebagai acara hiburan, boleh diadakan pibu secara terbuka. Siapa saja yang berminat boleh menguji kepandaian sendiri di panggung ini, bagaimana?"
"Setuju! Setuju!!" terdengar teriakan orang dan semua orang lalu mengikuti teriakan ini. Terpaksa dengan uring uringan Bu It Hosiang kembali ke tempat duduknya. Juga Bi Lan lalu meloncat turun, kembali ke tempat duduknya, akan tetapi Kim Kiok tidak berada di tempatnya yang tadi lagi. Bi Lan juga tidak mau memperdulikan nona itu dan ia duduk dengan senang hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Sam Thai Koksu, yang terdiri dari Kim Liong Hoat ong Cin Liong Hoat ong dan Tiat Liong Hoat ong, berdiri di atas panggung, berjejer dan Kim Liong Hoat ong sebagai saudara tertua, bicara terhadap tamu.
"Cuwi sekalian yang mulia. Kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas perhatian cuwi sekalian mengunjungi pertemuan ini atas undangan kami. Dalam kesempatan ini, kami ingin memperkenalkan diri, dan ingin memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemerintah kami ingin bekerja sama dengan cuwi sekalian yang gagah perkasa demi keamanan dan kemakmuran. Kami mempersilakan kepada cuwi Enghiong besok pagi mendaftarkan diri sebagai anggauta di kantor kepala daerah Cin-an. Hendaknya diketahui bahwa kami membentuk sebuah perkumpulan orang gagah, yang bernama Eng hiong hwe dan kantornya berada di sebelah kantor kepala daerah. Di sana cuwi akan mendapat penjelasan tantang cara dan rencana kerja diri perkumpulan kita. Nah, sekarang kami persilakan kepada cuwi sekalian untuk menikmati hidangan sekedarnya!"
Para pelayan lalu sibuk mengeluarkan arak dan makanan yang serba mahal dan enak. Orang-orang gagah yang mendengar omongan Kim Liong Hoat ong dan melihat sikap kakek ini. merasa enak hatinya. Diam-diam mereka menganggap bahwa Sam Thai Koksu ternyata bersikap sopan dan beraturan, patut dijadikan kawan daripada menjadi lawan. Akan tetapi semua ini tentu saja tidak dihiraukan oleh Bi Lan. Ketika gadis ini memperhatikan kepada tokoh-tokoh lain, hanya melihat bahwa Sin kun Liu Toanio dan juga Bu eng Lo kai kelihatan tak senang. Bu eng Lo kai si kakek jembel itu mencoret coret tanah dengan tongkatnya dan tidak mau minum arak sama sekali. Matanya memandang ke arah Sam Thai Koksu penuh selidik. Adapun Sin kun Liu Toanio, bicara berbisik-bisik dengan Liok Hui dan Liok San dua orang muridnya.
Sikap mereka juga tidak bersahabat. Diam-diam Bi Lan menjadi gembira karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi hal hal yang hebat. Ia sama sekali tidak pernah merasa gentar menghadapi Bu It Hosiang dan dua orang ketua Hui-eng-pai yang kasar itu, hanya ia masih sangsi akan kepandaian Sam Thai koksu karena melihat sikap mereka, dapat diduga bahwa mereka tentu memiliki kepandaian luar biasa. Juga kakek jembel dan nenek yang kepalanya diikat kain putih itu agaknya orang-orang yang lihai sekali. Setelah arak dibagikan beberapa putaran, Bu It Hosiang sudah tak dapat menahan rasa penasaran dan marahnya lagi terhadap Bi Lan gadis Hoa-san-pai itu, maka ia lalu melompat dan berdiri di atas panggung yang luas. Ia menjura kepada tuan rumah, lalu berkata sambil menoleh keoada Bi Lan,
"Sekarang pinceng hendak menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Sam Thai Koksu, pinceng menantang pibu kepada orang-orang Hoa-san-pai yang kebetulan berada di sini, untuk menentukan mana yang lebih lihai antara ilmu silat Go-bi-pai dan ilmu silat Hoa-san-pai." Bi Lan biarpun amat periang, namun ia masih muda dan berdarah panas. Ia tidak takut kepada Hwesio tua dari Go-bi-pai itu maka cepat ia berdiri dan sekali kedua kakinya digerakkan, tubuhnya sudah melayang naik ke atas panggung.
"Bu It Hosiang, kau tokoh kedua dari Gobi pai benar-benar bermulut besar sekali. Biarlah pada malam hari ini tokoh kedua dari Go-bi-pai berpibu melawan aku, murid paling kecil dari Hoa-san-pai." Bi Lan sengaja menekan pada kata-kata tokoh kedua dan murid paling kecil, sehingga orang-orang yang mendengar kata-katanya dapat menangkap maksud ucapannya itu bahwa sungguh Bu It Hosiang tidak tahu malu, sebagai tokoh ke dua dari Go-bi-pai ia hendak turun-tangan terhadap murid paling kecil dari Hoa-san-pai!
(Lanjut ke Jilid 07)
Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 07
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Jilid 07
Bu It Hosiang tentu saja mengerti akan sindiran ini, maka juga dengan keras ia berkata,
"Pinceng telah mengalahkan gurumu, Liang Bi Suthai tokoh Hoa-san-pai yang terkenal. Sebaliknya kau sebagai muridnya, telah mengalahkan suteku. Bukankah hal ini aneh sekali? Entah kau yang memiliki kepandaian melebihi gurumu, entah suteku yang goblok sekali! Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau pinceng sendiri mencoba dan mengukur sampai di mana tingkat kepandaianmu. Apakah kau takut, nona? Kalau kau takut, pinceng takkan memaksa dan kau boleh kembali ke Hoa san!"
"Kakek gundul, siapa takut?" Bi Lan gemas juga karena dengan pandai Hwesio itu dapat membalasnya dengan kata-kata.
"Lekas gerakkan toyamu pemukul anjing itu." Bu It Hosiang tersenyum mengejek.
"Untuk apakah aku harus bersenjata menghadapi seorang anak kecil? Lebih tepat kalau kau mengeluarkan senjatamu, biar pinceng melawan dengan tangan kosong!"
"Betulkah?" kata Bi Lan dan cepat bagaikan kilat ia telah mengambil tombak pendek milik Ciang Kui San tadi yang masih berada di panggung itu, sekali ia menggerakkan tombak itu yang dipegang pada gagangnya, ia telah melakukan serangan yang hebat sekali!
Bukan main kagetnya Bu It Hosiang. Tombak pendek ini setelah berada di tangan Bi Lan ternyata dimainkan seperti sebatang pedang dan nona ini karena dapat menduga akan kelihaian lawannya, tidak mau main-main seperti menghadapi Ciang Kui San tadi, sebaliknya datang datang ia telah mainkan Sin-coa Kiam-hwat, ilmu pedang yang ia pelajari dari Coa ong Sin kai. Hebat sekali ilmu pedang ini, dan pula Ilmu Pedang Sin-coa Kiam-hwat dari Coa ong Sin kai ini jarang sekali diperlihatkan di dunia kang ouw. Oleh karena iu ilmu pedang ini masih asing bagi semua orang yang berada di situ. Bu It Hosiang benar-benar merasa terkejut. Tadipun ketika ia melihat gadis ini menghadapi Ciang Kui San, ia sudah merasa heran karena ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh Bi Lan bukanlah ilmu silat Hoa-san-pai. Kini dengan tombak pendek gadis ini mainkan ilmu pedang yang aneh dan luar biasa sekali lagi.
Maka Hwesio ini lalu berseru dan toyanya menyambar nyambar dengan dahsyat sekali sehingga Bi Lan harus berlaku awas dan cepat sekali. Namun gadis ini tidak menjadi takut, bahkan iapun lalu mainkan ilmu pedangnya yang terpecah menjadi tiga bagain dan setiap bagian mempunyai sembilan jurus yang lihai. Bu It Hosiang sudah pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai, bahkan ia beberapa kali pernah menghadapi ilmu pedang ini, maka melihat jalannya ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Lan, ia benar-benar tidak mengerti. Beberapa kali mendesak, akan tetapi sia sia saja karena permainan pedang yang juga bukan mempergunakan pedang asli, melainkan sebatang tombak pendek dari gadis ini tidak dapat didesaknya, bahkan beberapa kali tombak menyerang dengan cara yang amat dahsyat sehingga membingungkan Bu It Hosiang.
"Tahan dulu!" Hwesio itu berseru keras sambil meloncat mundur dan mengeluarkan toyanya yang dipalangkan di depan dada.
"Ada apa, Bu It Hosiang? Apakah kau sudah merasa cukup?" tanya Bi Lan mengejek.
"Nona, pinceng lihat kau tidak mengguna ilmu pedang dari Hoa-san-pai! Betul-betulkah kau seorang murid Hoa-san-pai? Jangan kau main-main. Ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Juga, ilmu pukulanmu ketika kau merobohkan Ciang Enghiong tadipun bukan dari Hoa-san-pai!" Bi Lan biarpun suka bergurau, namun mempunyai watak jujur. Ia tertawa dan menjawab,
"Aku memang anak murid Hoa-san-pai, itu tak dapat disangkal lagi. Akan tetapi, guru-guruku tidak melarangku untuk mempelajari ilmu silat lain. Apakah kau jerih menghadapi ilmu pedangku tadi?"
"Siapa jerih kepadamu? Kulihat ilmu pedangmu aneh seperti ilmu kepandaian siluman. Agaknya kau dapat belajar dari seorang iblis!" Merah muka Bi Lan mendengar ini. Memang Bu It Hosiang mempergunakan akalnya. Hwesio yang sudah banyak pengalaman ini maklum bahwa menghadapi seorang lincah dan berani seperti nona ini, kalau ia bertanya siapa guru nona ini mengajar ilmu pedang itu tentu ia hanya akan dipermainkan saja. Maka ia mendahului dan sengaja mencaci maki guru nona itu untuk membangkitkan kemarahannya. Memang benar. Bi Lan yang menjadi marah lupa untuk bergurau dan ia segera mengaku.
"Hwesio tua lancang mulut. kau hendak bilang bahwa guruku yang baru Coa ong Sin kai seorang iblis? Hati-hati kau dengan mulutmu, Hwesio!" Terdengar seruan-seruan kaget. Bahkan Sam Thai Koksu sendiri sampai bangun dari tempat duduknya. Sin kun Liu Toanio, dan juga Bu eng Lo kai juga bangun dari bangku masing-masing, memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Adapun Bu It Hosiang menjadi pucat dan otomatis memandang ke sana ke mari untuk melihat apakah manusia iblis yang ditakuti itu benar-benar berada ditempat ini!
"Kau mencari suhuku? Ha-ha! Bu It Hosiang, jangan kau ketakutan. Suhu tidak berada di sini, kalau tidak kupanggil dia takkan datang. Jangan kau takut!" Akan tetapi Bi Lan melihat ke sekelilingnya dan ia menjadi terkejut sekali karena sebagian besar orang-orang yang berada di situ memandang kepadanya dengan sikap bermusuhan dan mengancam. Bahkan Sam Thai Koksu sudah menghampirinya dan Kini Liong Hoat eng, berseru keras,
"Murid si jahat berada di sini, kalau kita tidak menghajarnya, si jahat Coa ong Sin kai takkan tahu rasa!"
"Betul, si ular jahat itu memang masih hutang beberapa pukulan dari aku!" berkata Bu eng Lo kai dan tahu-tahu tubuhnya bergerak dan telah berdiri di hadapan Bi Lan.
"Anak ular, kau rebahlah!" ketika tongkat bambunya melayang ke arah kepala Bi Lan, gadis ini cepat menangkis dengan tombak pendeknya.
Akan tetapi Bi Lan terkejut sekali karena telapak tangannya terasa sakit sekali dan hampir saja tombak pendeknya terlepas dari pegangan. Ia menjadi marah dan tangan kirinya memukul dengan gerakan Ouw wan hian to (Lutung Hitam Persembahkan Buah) sebuah serangan dari Ilmu Silat Ouw wan ciang hoa dari Coa ong Sin kai. Kini Bu eng Lo kai yang terkejut sekali. Ia adalah seorang hiap kek perantau yang sudah banyak makan asam garam dalam dunia, persilatan, maka ia tahu akan bahayanya serangan kilat ini. Iapun pernah pula menghadapi Ouw wan ciang hoat dari Coa ong Sin kai, maka ia tidak berani main-main dan cepat ia mengelak sambil berkata,
"Bagus, kau memang murid si jahat!" Kim Liong Hoat ong melihat betapa kakek pengemis itu sudah turun-tangan, lalu iapun tidak mau kalah, cepat ia mencengkeram dengan tangan kanannya ke arah pundak kiri Bi Lan. Nona ini cepat melompat sambil mengelak, karena cengkeraman yang mendatangkan angin keras itu benar-benar tidak kalah lihainya oleh senjata-senjata tajam lainnya. Bi Lan benar-benar sibuk, baru saja ia mengelak, datang sambaran toya dari Bu It Hosiang dari belakang! Ia melompat ke atas dan disambar oleh tongkat dari Bu eng Lo kai. Ia dikeroyok oleh tiga orang tokoh persilatan yang tingkatnya jauh lebih tinggi daripadanya. Akan tetapi gadis ini tidak menjadi gentar dan ia memutar tombak pendeknya sedemikian rupa, mainkan Sin-coa kiam-hoat sebaik-baiknya sehingga untuk beberapa lama ia dapat mempertahankan diri dengan baiknya.
Akan tetapi ketika Bu eng Lo kai berseru keras dan menghantamkan tongkat bambunya kepada tombak di tangan Bi Lan, gadis ini berseru, tombaknya patah dua dan terlepas dari pegangannya! Tangan Kim Liong Hoat Ong yang mencengkeram itu telah datang lagi mengarah kepala sedangkan toya Bu It Hosiang kembali telah menyambar pula Bi Lan menjadi sibuk sekali dan ia lalu menggulingkan tubuhnya ke lantai dan menyerang dengan tendangan kaki bertubi tubi sambil melompat bangun. Inipun sebuah jurus tipu serangan dari Ouw wan ciang hoat yang lihai sekali sehingga untuk beberapa jurus gadis ini masih dapat mempertahankan diri dan mengejutkan tiga orang pengepungnya. Akan tetapi Bi Lan maklum bahwa kali ini ia takkan terlepas lagi dan pasti akan celaka. Ia tidak mengira sama sekali bahwa dengan menyebutkan nama Coa ong Sin kai sebagai gurunya, ia dimusuhi oleh semua orang kang ouw!
"Suhu"! Coa ong Sin kai"! Mengapa suhu tidak menolong teecu?" Bi Lan berteriak teriak keras sekali. Maksud gadis ini hanya menakut nakuti para pengeroyoknya untuk mencari kesempatan melarikan diri. Benar saja, tiga orang pengeroyoknya terkejut mendengar ini dan untuk sesaat serangan mereka mengendur. Mereka berhati-hati sekali sambil memandang ke sekeliling, takut kalau betul-betul Coa ong Sin kai muncul. Karena hal itu berbahaya sekali bagi mereka. Bi Lan mempergunakan kesempatan ini hendak lari, akan tetapi melihat gerakan ini, tiga orang pengeroyoknya yang terdiri dari orang-orang yang sudah berpengalaman, dapat menduga akan akal bulusnya ini.
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha, ha, ha, ular betina. kau jangan menipu kami! Kali ini, biarpun si jahat Coa ong Sin kai sendiri berada di sini, kau takkan terlepas dari senjata kami!" kata Bu It Hosiang yang kembali menggerakkan toyanya menghantam kepala Bi Lan. Gadis ini cepat mengelak dan,
Memburu Iblis Eps 6 Pendekar Penyebar Maut Eps 59 Memburu Iblis Eps 23