Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 10


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 10




   "Cici Siau In, aah...! Kukira kau telah pergi meninggalkan aku. Hmm, aku ketiduran dan bermimpi... Indah sekali."

   "Bermimpi? Nah, begitu bangun kau sudah akan mulai mengoceh lagi. Sudahlah, aku tak mau mendengarkannya lagi. Ayoh sekarang kita kembali ke kota!" A Liong kelihatan kecewa karena Tio Siau In tak mau mendengarkan ceritanya.

   "Ke kota? Kota mana...?" tanyanya kurang bersemangat.

   "Ya... Ke kota Hang-ciu! Mau kemana lagi? Aku akan menemui kakakku di sana. Dia tentu telah menanti-nanti kedatanganku. Ayoh!"

   "Menemui Kakakmu?" A Liong semakin tak bergairah. Hatinya terasa menjadi sepi kembali seperti hari-hari yang lalu. Kalau Tio Siau In sudah berkumpul dengan saudaranya, otomatis tentu akan melupakan dirinya.

   "Ah, aku tak ingin kembali ke kota Hang-ciu lagi. Kota itu terlalu rusuh. Aku ingin pergi ke tempat lain saja, yang sepi dan jauh dari keramaian kota."

   "Hei? kau mau ke mana? Apakah kau benar-benar ingin mendaki puncak Gunung Hoa-san?" Tio Siau In tersentak. Tiba-tiba gadis itu teringat akan tugas yang diberikan suhunya. Siapa tahu. pemuda ini yang dimaksudkan dalam ramalan itu? A Liong memandang Tio Siau In sebentar, lalu mengangguk lemah. Tentu saja Tio Siau In menjadi bingung, bagaimana harus membujuk A Liong supaya ikut dengannya.

   "Wah, repot benar. Masakan aku harus menotoknya lemas, kemudian menggendongnya Hang Ciu, keenakan dia nanti..." gadis itu berpikir keras.

   "Nah, kalau begitu aku akan berangkat lebih dahulu, Cici." Tiba-tiba A Liong pergi sambil meminta diri. Wajahnya tampak kuyu dan tak bersemangat.

   "Eh, nanti dulu...!" Tio Siau In berseru kelabakan. Gadis itu mengejar langkah A Liong. Ternyata A Liong benar-benar sangat sedih, sehingga ia tak mau berlama-lama tinggal di situ. Suara panggilan Siau In sama sekali tak dihiraukannya.

   "Hei! Hei! A Liong...! Mau kemana kau? Bukankah sampan kita cuma satu? Bagaimana aku dapat meninggalkan tempat ini nanti?" Tanpa mengendurkan langkahnya A Liong berdesah pendek.

   "Aku akan berjalan melewati pinggiran pantai. Silakan Cici menggunakan sampan itu..." Karena A Liong tetap tidak mau menghentikan langkahnya, terpaksa Tio Siau In menarik lengannya.

   "Eh, berheti dulu...! Sebenarnya kenapa kau ini? Mari kita berbicara dulu secara baik. Masakan kita berpisah begitu saja tanpa kesan apa-apa?" gadis itu mencoba membujuk dengan suara manis. Benar saja. A Liong berhenti melangkah. Sambil menghela napas panjang pemuda itu menundukkan mukanya di depan Tio Siau In. Sama sekali hilang kesan kegarangan tubuhnya yang kokoh kekar itu.

   "Apa yang hendak kita bicarakan lagi, Cici?" ucapnya lemah. Mereka saling berhadapan dekat sekali. bahkan tangan Tio Siau In masih memegang lengan A Liong yang kokoh itu. Namun gadis itu tetap saja belum tahu apa yang sebenarnya berkecamuk di dalam dada A Liong. Sebagai gadis yang juga baru mulai menginjak remaja, Tio Siau In juga belum bisa meraba pula apa yang menyebabkan pemuda itu secara mendadak bersikap aneh seperti itu. Tio Siau In cuma bisa melihat, tiba-tiba A Liong kelihatan sedih dan tak bersemangat begitu diajak kembali ke Hang-ciu. Malah akhirnya pemuda itu memutuskan untuk tidak kembali ke kota tersebut. Pemuda itu ingin pergi ke puncak Gunung Hoa-san. Tio Siau In mengangkat wajahnya. Dipandangnya pemuda tanggung bertubuh tinggi kekar di depannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "A Liong, mengapa kau kelihatan bersedih? Apakah kau mempunyai persoalan di kota Hang-ciu?" bujuknya kemudian dengan suara lemah lembut. A Liong melirik sekejap kemudian menggeleng.

   "Lalu... Mengapa kau tak mau kembali ke sana?"

   "Cici sudah kukatakan aku ini anak gelandangan yang tak mempunyai tempat tinggal tetap. Aku juga tak punya sanak-saudara. Bahkan aku ini juga tak tahu pula dari mana asalku dan siapa orang tuaku. Sejak kecil aku hidup di antara bocah-bocah gelandangan, yang mengembara dari kota ke kota untuk meminta belas kasihan orang. Maka sekarangpun aku berniat untuk meneruskan perjalananku pula. Aku sudah terlalu lama tinggal di Hang-ciu." Tio Siau In mengerutkan keningnya. Sudah dua kali A Liong bercerita tentang keadaan dirinya yang papa dan yatim piatu. Semula Tio Siau In memang tidak begitu ambil pusing mendengar cerita itu, tapi setelah kini A Liong menceritakannya kembali, entah mengapa hatinya tersentuh.

   "Benarkah kau tak tahu siapa orang tuamu?" Tio Siau In yang mendadak juga ingat pula keadaan dirinya yang yatim piatu bertanya tak percaya. A Liong mengangguk lesu.

   "Sama sekali tak tahu siapa orang tuamu? Lalu siapa yang merawatmu ketika masil kecil?"

   "Entahlah. Mungkin para gelandangan atau pengemis lain yang lebih besar dari pada aku. Sebab yang kutahu sejak aku bisa berpikir, aku telah berada di antara gerombolan anak-anak gelandangan. Kami tidur di mana saja dan pergi kemana saja sambil meminta-minta belas kasihan orang. Di dalam kelompok itu kami biasa saling berbagi rejeki dan makanan. Jadi kemungkinan besar aku dulu ditinggal mati orang tuaku yang juga seorang gelandangan, kemudian aku dirawat dan diberi makan oleh para gelandangan lainnya yang satu kelompok dengan orang tuaku itu..."

   "Oooooh..." Tio Siau In berdesah panjang. Ia benar-benar tidak menyangka kalau sejarah hidup A Liong itu sedemikian menyedihkan. Lebih memilukan daripada sejarah hidupnya sendiri yang ia anggap sudah sangat menyedihkan. Ia dan kakaknya, Tio Ciu In, juga yatim piatu pula, namun mereka masih bisa mengenal serba sedikit ayah mereka. Tidak seperti A Liong yang sama sekali tak tahu siapa orang tuanya. Sejak kematian ayahnyapun dia dan kakaknya langsung dirawat dan dibesarkan oleh gurunya, tidak seperti A Liong yang harus bertarung dengan kekerasan hidup bersama anak-anak gelandangan lainnya.

   "Hemm, kasihan benar kau A Liong." Tio Siau In bergumam perlahan sambil melepaskan pegangan tangannya.

   "Hanya yang mengherankan, hidupnya serba susah dan kekurangan, tapi mengapa, tubuhmu bisa sedemikian subur dan kuat seperti ini?"

   "Aku memang hidup serba susah dan kekurangan, tapi aku punya tekad dan semangat hidup yang besar, Cici. Sejak aku bisa mempergunakan tenagaku, aku tidak mau mengemis lagi. Aku bekerja apa saja untuk mencari makan. Bahkan pekerjaan-pekerjaan berat yang biasanya hanya dilakukan oleh orang dewasa aku kerjakan juga. Aku pernah bekerja di pabrik penggilingan tahu, perusahaan pemotongan kayu,. pengangkutan garam, pandai besi dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Makanku banyak, sesuai dengan bidang pekerjaanku, sehingga tulang dan ototkupun tumbuh dengan keras pula." A Liong menerangkan.

   "Bukan main...!" Tio Siau In berdecak kagum.

   "Kulihat usiamu tidak lebih banyak dari usiaku. Tapi badanmu membengkak hampir dua kali lipat dari tubuhku. Penuh otot lagi!" A Liong tersenyum kecut.

   "Aku memang seperti kerbau liar yang hidup di alam belantara yang keras tentu saja berbeda dengan Cici yang selalu hidup teratur di antara keluarga yang penuh kedamaian." Tiba-tiba Tio Siau In tersenyum. Gadis itu seperti mendapatkan jalan untuk membujuk A Liong.

   "Nah, kalau begitu... apakah kau tidak ingin hidup yang serba teratur dan penuh kedamaian seperti itu?" A Liong menghembuskan napasnya keras-keras.

   "Ah, tentu saja aku juga ingin hidup seperti itu pula, Cici. Aku juga sudah bosan menjadi gelandangan terus-terusan. Tapi untuk hidup wajar seperti itu perlu modal pula agar bisa hidup tenang dan dihormati orang."

   "Modal? Modal apa?" Tio Siau In berseru heran. A Liong tertawa kecut.

   "Ah, Cici... Kau ini seperti tidak tahu saja. Modal hidup agar dihormati orang hanyalah harta, kekuasaan dan kepandaian. Dapat memiliki salah satu saja dari ketiga modal utama itu, kita akan dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di sekitar kita. Padahal aku sama sekali tak memiliki modal itu. Oleh karena itu aku harus bisa mendapatkannya lebih dahulu agar bisa hidup tenang dan damai seperti Cici."

   "Wah, lalu... Modal mana yang akan kau cari itu?" Tio Siau In pura-pura bertanya. Sekali lagi A Liong menghembuskan napasnya kuat-kuat.

   "Orang seperti aku jelas tidak mungkin untuk mencari harta maupun kekuasaan. Tapi kalau hanya untuk mencari kepandaian, rasanya aku bisa. Oleh karena itu aku akan tetap melaksanakan niatku, yaitu belajar silat di puncak Gunung Hoa-san. Kalau aku nanti benar-benar pandai ilmu silat, berarti aku sudah memiliki sebuah modal. Modal untuk bisa hidup tenang dan dihormati orang." Tio Siau In terdiam untuk beberapa saat lamanya. Gadis itu merasa bahwa ia tak mungkin bisa mempengaruhi keinginan A Liong lagi. Satu-satunya jalan hanyalah memaksa pemuda itu dengan kekerasan untuk dibawa ke hadapannya. Tapi untuk melakukan hal itu Tio Siau ln tidak sampai hati.

   "Tampaknya memang akulah yang harus mengalah. Biarlah kuikuti saja kemauannya itu. Nanti sedikit demi sedikit akan kubelokkan perhatiannya." gadis itu berkata di dalam hatinya.

   "Nah, Cici... Kau tak usah menghalangi niatku. Tekadku sudah bulat. Aku akan mendaki Gunung Hoa-san." A Liong mengulangi keinginannya yang teguh.

   "Baiklah. Terserah kalau tekadmu memang demikian. Tapi... apakah kau. sudah mengetahui jalan ke Gunung Hoa-san?" A Liong menggeleng lemah.

   "Hmmm, kalau begitu untuk sementara kita bisa berjalan bersama. Aku tidak jadi pergi ke Hang-ciu. Aku akan langsung ke Sin-yang. Maukah kau berjalan bersamaku?" Tiba-tiba A Liong berteriak gembira. Lengannya yang penuh otot itu secara reflek menyambar pinggang Tio Siau In, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Tentu saja gadis itu menjerit kaget. Otomatis tubuh gadis itu menggeliat melepaskan diri, sedang kakinya menjejak dada A Liong.

   "Buuuk!"

   "Aduuuuh...!" A Liong memekik kesakitan. Bagaikan pohon tumbang, badan A Liong yang tinggi kekar itu terbanting ke tanah. Karena tidak bisa ilmu silat, maka jatuhnyapun juga sangat keras pula.

   Untunglah mereka telah berada di atas pasir, sehingga pemuda itu tidak begitu menderita karenanya. Namun demikian tetap saja A Liong meringis kesakitan. Tio Siau In sendiri menjadi kaget begitu sadar apa yang dilakukannya. Sebagai jago silat semuanya tadi memang ia lakukan secara reflek. Dan celakanya, dalam keadaan seperti itu ia tak bisa mengontrol tenaganya. Maka tidak mengherankan bila badan A Liong yang kokoh kekar itu terbanting keras terkena tendangannya. Akan tetapi yang tak kalah mengherankan adalah kesudahan dari kejadian tersebut. Tio Siau In yang kemudian merasa menyesal sekali, bahkan agak ketakutan, karena tendangan kakinya itu bisa memecahkan batu gunung, tiba-tiba ternganga mulutnya. Dengan heran gadis itu melihat A Liong bangkit kembali tanpa kurang suatu apa. Malahan bibir pemuda itu mencoba tersenyum, walaupun akhirnya cuma bisa meringis.

   "Maaf, Cici. Aku memang benar-benar seperti kerbau liar yang tak mengenal aturan dan sopan santun. Begitu melonjak kegembiraanku mendengar Cici hendak berjalan bersama aku, sehingga aku meluapkannya dengan mengangkat tingi-tinggi badan Cici seperti kebiasaan yang kami lakukan di antara kawan gelandangan." pemuda itu meminta maaf dengan halus.

   "Eh-oh, anu... Kau tidak apa-apa, A Liong?" Tio Siau In menjadi gugup malah.

   "Ah, tidak apa-apa, Cici. Badanku ini sudah terbiasa mendapat kecelakaan. Pernah tertimpa pohon kayu yang tumbang ketika bekerja di perusahaan pemotongan. Juga pernah tergencet batu besar penggilingan tahu ketika berada di penggilingan tahu. Bahkan aku pernah tertimbun belasan karung garam ketika berada di perusahaan pengangkutan garam. Tapi seperti yang Cici lihat sekarang, badanku tetap sehat tidak kurang suatu apa." Sekali lagi Tio Siau In menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu benar-benar heran melihat ketahanan tubuh A Liong yang tidak sewajarnya itu. Padahal pemuda itu sama sekali tak mengerti ilmu silat.

   "Pukulan Lok-kui-tin itu mampu menewaskan jago-jago silat kelas satu seperti Lim Kok Liang, Tong Taisu dan yang lain-lainnya. Tapi pukulan itu ternyata tak banyak berarti terhadap tubuh A Liong. Badan yang kokoh kekar itu seperti terbuat dari besi saja." Tio Siau ln bergumam di dalam hatinya.

   "Jadi... cici benar-benar hendak berjalan bersama aku?" A Liong menegaskan lagi. Tio Siau In tergagap kaget, lalu mengangguk.

   "Aku hendak menemui Kauwcu Im-yang-kauw di kuil Agung Sin-yang. Karena jurusan yang akan kita tempuh sama, maka kita dapat berjalan bersama-sama. Tapi... Maukah kau nanti singgah sebentar di Kuil Agung Im-yang-kauw itu?" dengan cerdik gadis itu membujuk. A Liong tertawa gembira.

   "Tentu saja, Cici. Jangankan cuma singgah, menginap beberapa haripun aku bersedia..."

   "Bagus. Kalau begitu mari kita berangkat sekarang!" ajak Tio Siau In riang.

   "Ayoh, Cici!" Demikianlah kedua remaja tanggung itu lalu pergi meninggalkan rumah Tong Kiat Teng. Mereka mengayuh sampan mereka ke utara, mencari pantai yang landai, yang sekiranya bisa mereka darati, untuk selanjutnya berjalan ke arah barat, melalui kota-kota di sepanjang Sungai Yang-tse.

   Langit sangat cerah, hanya beberapa gumpal awan saja yangkelihatan bergerak dari timur ke barat. Angin juga sudah reda, tidak sederas dan sekencang tadi. Sementara kabutpun telah terusir pergi pula bersama sinar matahari yang semakin menyengat. Udara pagi itu sungguh-sungguh nyaman. A Liong mendayung sampan seenaknya. Tidak tergesa-gesa ataupun terburu-buru. Ia bersama Tio Siau In memang sengaja menikmati keindahan pantai yang dilaluinya. Burung camar yang beterbangan di atas kepala mereka, kadang-kadang menukik mengelilingi sampan kecil itu, kemudian terbang pergi. Burung-burung itu seakan-akan merasa heran melihat kedatangan mereka. Berbondong-bondong burung itu mendekati, mengitari sampan, lalu bergegas pergi bila A Liong dan Tio Siau In berusaha menangkapnya.

   "Aaah, kehidupan burung-burung itu tidak jauh berbeda dengan kehidupanku. Setiap hari terbang melayang kemana saja, tanpa tujuan, tanpa kepastian." A Liong berkata perlahan sambil menengadahkan kepalanya. Tio Siau In melirik,

   "Tapi burung-burung itu kelihatan amat riang bermandikan sinar matahari pagi." Tukasnya sambil tersenyum.

   "Ya, Cici... Mereka memang kelihatan riang, karena mereka cuma binatang yang tak memiliki akal budi seperti kita kaum manusia."

   "Hmmmmm" Tio Siau In bergumam tak jelas. Mereka lalu berdiam diri kembali, masing-masing mengembara dengan jalan pikirannya sendiri-sendiri.

   A Liong dengan lamunannya untuk menjadi pendekar gagah perkasa, sedangkan Tio Siau In dengan rencananya membawa pemuda itu ke hadapan Kauwcu Aliran Im-yang-kau, siapa tahu pemuda itu benar-benar pemuda bertato Naga yang dikehendaki Kauwcu Im-yang-kau? Mereka mengemudikan sampan itu tidak terlalu jauh dari garis pantai, sambil mendayung A Liong bernyanyi-nyanyi dengan gembira, sekali-sekali dayungnya dipakai untuk memukul burung camar yang terlalu bandel mendekati dirinya. Tio Siau In akhirnya terseret juga oleh arus kegembiraaan A Liong, gadis itu ikut-ikutan mengganggu burung-burung camar itu, bedanya kalau A Liong tak pernah bisa memukul burung itu sebaliknya Tio Siau In selalu berhasil menyambarnya dengan tangan kosong, tapi karena memang hanya ingin bercanda burung tersebut segera dilepaskan lagi. A Liong menjadi heran.

   "Wah, Cici... ajari aku! Mudah benar kau menangkapnya." A Liong mencoba ikut menangkap pula dengan kedua tangannya, tapi tak pernah berhasil. Bahkan tubuhnya yang besar itu membuat sampan mereka menjadi oleng kesana-kemari.

   "Hei-hei! Jangan banyak bergerak! Sampan ini bisa terguling nanti!" A Liong menghentikan gerakannya. Mulutnya cemberut. Hatinya kesal karena tak bisa menangkap burung yang amat lincah itu. Tio Siau In tersenyum melihat kekesalan A Liong.

   "Memang tak mudah menangkap burung camar itu. kau baru bisa menangkapnya apabila gerakanmu dapat lebih cepat dari gerakan mereka."

   "Lebih cepat? Wah... Mana bisa? Burung itu terbang secepat angin, mana mungkin manusia bisa melebihi kecepatannya?"

   "Mengapa tidak bisa? Nih, lihat...!" Sekonyong-konyong Tio Siau In menjejakkan kakinya ke lantai sampan, sehingga tubuhnya melenting ke atas dengan ringannya. Di udara tubuh Tio Siau In yang ramping kecil itu berjumpalitan beberapa kali, lalu mendarat kembali di bibir sampan, tanpa membuat banyak goncangan pada sampan yang kecil itu. Dan ketika tangannya terbuka, ada empat ekor burung camar yang menggelepar lepas dari sela-sela jarinya. A Liong melongo melihatnya.

   "Ah, Cici... bukan main! Ternyata kau pandai ilmu silat! Ilmu meringankan tubuh Cici benar-benar hebat!" pemuda itu memuji setinggi langit.

   "Kau ingin mempelajarinya?"

   "Ya... ya... ya, aku ingin sekali belajar seperti itu!" dengan gembira sekali A Liong menjawab sambil mengangguk-angguk. Namun Tio Siau In cepat menyambungnya.

   "Tapi aku tak bisa mengajarimu. Ilmuku sendiri belum seberapa tinggi. kau harus belajar kepada Guruku, atau kepada tokoh Im-yang-kauw yang lebih tinggi. Syukur kalau Kauwcu sendiri yang membimbingmu..." A Liong terdiam. Sekejap pemuda itu tampak kecewa karena ia menyangka Tio Siau In sendiri yang akan mengajarinya, tapi ternyata tidak.

   "Ah, kalau begitu... biarlah aku belajar saja sekalian ke puncak Gunung Hoa-san!" akhirnya pemuda itu berkata tegas. Kini ganti Tio Siau In yang menjadi kecewa. Semula dengan muslihatnya tadi Tio Siau In berharap A Liong mau menjadi anggota aliran Im-yang-kauw seperti dirinya. Tapi ternyata pemuda itu mempunyai tekad yang kukuh untuk mendaki puncak Gunung Hoasan.

   "Eh, Cici... Mengapa kau lalu diam saja? Apa yang sedang kau pikirkan?" mendadak pemuda itu mengagetkan Tio Siau In.

   "Ah-eh, anu... aku tidak memikirkan apa-apa. Aku cuma merasa heran padamu. kau mengatakan tidak bisa ilmu silat, tapi kenapa tubuhmu tahan terhadap pukulan seorang jago silat berkepandaian tinggi?" untuk menutupi perasaan kagetnya Tio Siau In menjawab sekenanya.

   "Pukulan jago silat berkepandaian tinggi? Ah, kapan aku berkelahi dengan seseorang? Ooooh, itu...! Kejadian malam tadi, ketika rombonganku dicegat penjahat-penjahat kejam itu? Ah, kiranya pukulan mereka juga biasa-biasa saja. Tidak lebih sakit daripada ketika aku tertimpa batang pohon di perusahaan pemotongan kayu itu. Apalagi bila dibandingkan dengan ketika aku tergencet batu penggilingan tahu atau tertimbun belasan karung garam itu..." Sekali lagi Tio Siau In ternganga keheranan.

   Bagaimana mungkin semuanya itu bisa terjadi? Lim Kok Liang, Tong Taisu dan tiga orang bergolok itu bukan jago-jago silat biasa, meskipun demikian mereka itu tetap tidak kuat menahan pukulan Lok-kui-tin. Lantas bagaimana mungkin A Liong yang tak mengerti silat itu bisa menahan pukulan sakti mereka? Apakah pemuda itu memiliki kulit besi bertulang baja? Diam-diam Tio Siau In semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang diri A Liong. Keadaan pemuda itu benar-benar amat aneh, demikian pula sejarah hidupnya. Tio Siau In semakin curiga, jangan-jangan pemuda itu memang benar-benar "Manusia pilihan" yang dimaksudkan oleh sesepuh Aliran Im-yang-kauw itu. Sekali lagi Tio Siau In menghela napas panjang. Penilaiannya tentang ramalan Lojin-Ong, sesepuh Aliran Im-yang-kauw, mulai berubah. Tampaknya ramalan tentang pemuda bertato naga itu memang dapat dipercaya.

   "Eh, A Liong...? Bolehkah aku bertanya sedikit kepadamu?"

   "Ah, tentu saja, Cici! Banyak juga boleh." Tio Siau In tersenyum.

   "Anu, eemm... Kau tadi mengatakan bahwa kau tidak mengenal orang tuamu. Lalu siapa yang memberi nama A Liong itu kepadamu? Apakah teman-temanmu pula?" Tak terduga A Liong mengangguk.

   "Benar, Cici. Aku semula memang tidak mempunyai nama, apalagi nama keluarga. Nama A Liong ini memang kuperoleh dari kawan-kawan sekelompokku, karena aku memiliki gambar tato naga di dadaku. Nih, lihat...!" pemuda itu menjawab sambil membuka bajunya.

   "Ooooh...!" Tio Siau In pura-pura terkejut.

   "Siapa yang membuat gambar itu? kau sendiri?" A Liong tertawa.

   "Ah... yang benar saja, Cici. Masakan aku bisa melukis sebagus ini?"

   "Lalu... siapa? Kawanmu lagi?" Tiba-tiba A Liong menghentikan tawanya.

   "Entahlah, Cici. Aku juga tidak tahu. Mungkin mendiang orang tuaku, atau mungkin teman ayahku. Kata kawan-kawan sekelompokku, sejak aku bergabung dengan mereka gambar ini telah ada. Itulah sebabnya mereka memanggilku A Liong. Apalagi kulit tubuhku juga liat dan kuat seperti kulit naga." pemuda itu menjawab serius.

   "Kulit naga...?" Sekarang ganti Tio Siau In yang tertawa.

   "Bukankah kulit naga itu ada sisiknya? Sisiknya yang keras yang membuat dia kuat dan liat. kau tidak memiliki sisik-sisik itu, lalu bagaimana mungkin kulitmu bisa kuat seperti naga?"

   "Cici tidak percaya? Boleh kau coba! Pukullah aku! Atau... Hantamlah aku dengan dayung ini! Tanggung tidak apa-apa!" pemuda itu berkata penasaran. Tio Siau In tertawa semakin keras. Namun untuk menyenangkan hati A Liong, gadis itu benar-benar mengambil dayung dari tangan A Liong. A Liong tersenyum gembira seperti layaknya seorang anak yang ingin memperlihatkan atau membanggakan kebolehannya. Dengan cekatan ia membuka bajunya dan membusungkan dadanya yang bidang dan penuh otot itu.

   "Silakan...!" ucapnya mantap.
(Lanjut ke Jilid 10)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 10
Tio Siau In tertegun.

   "Kau benar-benar ingin dicoba juga?"

   "Hei, tentu saja!" pemuda itu menirukan kata-kata Tio Siau In.

   "Mengapa harus batal? A Liong tak pernah menjilat ludahnya sendiri! Ayoh, Cici... cobalah! Pukullah aku dengan dayung itu!" Tentu saja kesungguhan hati A Liong benar-benar membuat Tio Siau In jadi kelabakan malah. Sejak semula gadis itu kurang begitu menanggapi bualan A Liong, sehingga diapun hanya main-main pula ketika ingin mencoba kekebalan A Liong. Akan tetapi tak diduganya pemuda itu benar-benar melayani sikapnya dan ingin membuktikan sesumbarnya. Tentu saja Tio Siau In menjadi kebingungan. Bagaimana kalau dayung itu melukainya? Tampaknya keragu-raguan Tio Siau In itu semakin membuat penasaran hati A Liong. Tiba-tiba pemuda itu merebut dayung yang ada di tangan Tio Siau In, kemudian dengan sekuat tenaga kayu keras itu dipukulkan sendiri ke arah kepalanya.

   Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Terdengar suara berdentangan yang keras seperti layaknya suara orang membelah batu cadas. Tak ada luka di kepala itu. Tak ada darah yang mengalir. Semuanya tampak wajar seperti tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan pemuda itu tampak tersenyum bangga ketika menyerahkan kembali dayung tersebut. Tio Siau In melongo. Matanya terbeliak tak percaya. Hatinya menjadi penasaran. Karena penasaran maka dicobanya juga memukulkan dayung itu ke pundak A Liong. Mula-mula pelan, tapi akhirnya disabetkannya pula dengan keras ketika melihat pemuda itu tetap tersenyum memandangnya. Bahkan hantaman dayung itu tidak cuma diarahkan ke pundak lagi, tapi juga ke dada, punggung dan kepala. Namun demikian Tio Siau In masih mengekang diri untuk tidak mengerahkan tenaga dalamnya.

   "Ayoh, Cici... yang lebih keras lagi! Jangan pelan-pelan begini! Kerahkan seluruh tenagamu!" dengan suara lantang pemuda itu menantang. Tio Siau In menjadi penasaran juga akhirnya. Dicobanya untuk menyalurkan sebagian kecil tenaga saktinya ke arah dayung yang dipegangnya.

   "Blug!" Hantaman ujung dayung itu berubah menjadi kuat dan keras seperti hantaman sebongkah batu hitam! A Liong terhuyung dua langkah ke belakang. Tapi pemuda itu bukannya menjadi kaget atau kesakitan, bahkan dengan suara gembira dia berseru menantang.

   "Ayoh, Cici... sekali lagi yang keras! Aku belum merasakan apa-apa!" Kini Tio Siau In benar-benar menjadi penasaran. Sekali lagi ia menyabetkan dayung itu ke dada A Liong. Kali ini dengan pengerahan separuh bagian dari kekuatan lwekangnya.

   "Siiiiing! Dhuuug! Kraaaak!" Dayung itu patah menjadi tiga bagian!

   "Aaaaaaaaah...!" Dayung itu menghantam dada A Liong keras sekali! Demikian kuatnya sehingga pemuda itu memekik kaget dan terpelanting ke luar perahu! Byuuuur! Pemuda itu tercebur ke dalam laut.

   "A Lioooooong...!!!" Tio Siau In berteriak cemas. Lalu dengan mata nanar dan hampir menangis Tio Siau In mencari-cari tubuh A Liong di antara riak gelombang yang mengelilingi sampan kecil itu. Namun pemuda itu tidak kunjung kelihatan juga, seakan-akan tubuhnya sudah lenyap ditelan air. Tio Siau In semakin ketakutan, jangan-jangan dayungnya tadi telah melukai dada A Liong sehingga pemuda itu tak bisa berbuat apa-apa melawan arus ombak yang menggulungnya. Mata Tio Siau In mulai merah ketika tiba-tiba terdengar suara A Liong di belakangnya.

   "Wah... pukulan Cici kuat benar! Rasanya seperti diterjang pohon tumbang saja...!" Tio Siau In membalikkan tubuhnya dengan cepat. Gadis itu melihat A Liong bergayut pada pinggiran sampan. lak ada tanda-tanda pemuda itu mengalami luka atau kesakitan. Wajahnya tetap segar berseri-seri, dengan rambut yang basah kuyup menutupi sebagian besar mukanya.

   "A Liong, kau tak apa-apa...?" gadis itu bertanya cemas. A Liong lalu naik kembali ke dalam sampan. Dengan bangga pemuda itu memperlihatkan dadanya yang masih tetap utuh tak kurang suatu apa.

   "Nih, lihat! Tak apa-apa, bukan?" Tio Siau ln benar-benar takjub sekarang. Pemuda di hadapannya itu sungguh-sungguh memiliki kekebalan yang hebat. Walaupun dia juga tahu, apakah pemuda itu masih tetap bisa mempertahankan kekebalannya apabila ia benar-benar mengerahkan seluruh kekuatan lwekangnya.

   "A Liong...! Aku percaya sekarang, bahwa kulitmu memang liat dan kuat seperti kulit naga. Tetapi sebaliknya aku menjadi kurang percaya kalau kau mengatakan tidak pernah belajar ilmu silat. Kekebalan tubuhmu itu hanya dapat diperoleh dengan mempelajari lwekang yang tinggi. kau tentu pernah belajar silat, atau setidak-tidaknya kau pernah belajar bersamadi untuk mengumpulkan sinkang..."

   "Bersamadi...? Eh, Cici! Apakah yang kau maksudkan begini ini?" tiba-tiba pemuda itu berseru, kemudian duduk bersila di atas papan sambil mengatur napasnya. Tio Siau In mengerutkan dahinya. Pemuda itu memang melakukan cara bersamadi, tapi apa yang dilakukan itu adalah cara bersamadi yang umum, yang sama sekali tidak ada keistimewaannya. Jadi rasanya tidak mungkin kalau hal itu yang membuat pemuda tersebut kebal terhadap pukulan. Tapi sekonyong-konyong mata Tio Siau In terbeliak ketika sesaat kemudian mendengar suara tulang berkerotokan di dalam tubuh A Liong. Bahkan gadis itu semakin kaget tatkala hidungnya juga mencium bau amis yang amat menyengat.

   "A Liong, cukup...!" akhirnya Tio Siau In berseru. A Liong membuka matanya, lalu tersenyum gembira.

   "Seperti itukah yang Cici maksudkan?" tanyanya riang.

   "Benar. Tapi coba katakan kepadaku. Sejak kapan kau melakukan cara bersamadi seperti itu? Dan siapa pula yang mengajarkannya kepadamu?" Pertanyaan itu membuat A Liong terdiam untuk beberapa saat lamanya.

   "Bagaimana? Sejak kapan...?" Tio Siau In mendesak.

   "Wah... sudah lama sekali, Cici. Sejak aku masih kecil, ketika aku masih suka ngompol (terkencing di waktu tidur). Dan cara bernapas aneh itu... Kudapatkan dari seorang kakek tua renta, yang merasa kasihan kepadaku, ketika aku hampir mati kedinginan di bawah jembatan di kota Tai-yuan. Kakek itu mengatakan bahwa cara bernapas seperti itu bisa menghangatkan tubuhku. Ternyata perkataan kakek itu memang benar. Aku dapat bertahan dan tidak merasa kedinginan meskipun setiap hari hujan salju mengguyur badanku." Tio Siau In menatap A Liong dengan heran.

   "Kau... sekecil itu, sudah berkeliaran sampai di kota Tui-yuan di Propinsi Syunsi?"

   "Mengapa mesti diherankan, Cici? Namanya saja anak gelandangan, meskipun baru berumur lima tahun atau enam tahun, aku sudah biasa menjelajah kemana-mana. Jangankan cuma kota Tai-yuan yang masih berada di dalam Tembok Besar itu, sedangkan ke kota Wan-suan dan Ceng-teh di luar Tembok Besarpun aku sudah pernah." A Liong menjawab dengan mulut meringis. Wau-suan dan Ceng-teh adalah ibu kota Propinsi Tsa-har dan Je-hol di perbatasan Monggol dan Mancu. Kota-kota rersebut masih ratusan lie jauhnya dari Tembok Besar. Udaranya kering dan dingin. Bahkan di musim dingin, salju turun menutupi kota.

   "Dan... Kau cuma tidur di sembarang tempat? Tanpa alas dan selimut?" Tio Siau In bertanya pula dengan suara heran.

   "Tentu saja, Cici. kau ini ada-ada saja. Masakan seorang gelandangan memiliki kasur dan selimut? Jangankan punya peralatan seperti itu. Sedangkan untuk makan dan minum saja harus menunggu belas kasihan orang."

   "Wah...wah!" Tio Siau In berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Masa kecilmu sungguh sangat sengsara dan menderita... Lalu... Kau tahu nama kakek tua renta yang memberimu pelajaran bersamadi itu? Dan kau juga pernah bertemu lagi sesudah itu?" A Liong menggoyangkan kepalanya.

   "Tidak. Aku tidak tahu namanya. Dan aku juga cuma berjumpa sekali itu saja. Hanya saja ketika dia hendak meneruskan perjalanannya, dia memberikan tasbehnya kepadaku. Dia berpesan agar setiap hari aku melakukan cara bernapas yang aneh itu sebanyak-banyaknya. Paling tidak seribu kali jumlah untaian tasbeh tersebut setiap harinya."

   "Dan... Kau mematuhinya?" A Liong mengangguk.

   "Ya. Soalnya... Manfaatnya banyak sekali, Cici. Selain dapat mengusir hawa dingin, ternyata badankupun menjadi sehat pula. Aku tidak pernah sakit. Bahkan banyak sekali keanehan-keanehan yang terjadi akibat aku melakukan cara bernapas yang aneh itu. Misalnya... badanku lalu mengeluarkan bau amis setiap kali aku melakukan cara bernapas itu, sehingga binatang-binatang berbisa menjadi takut kepadaku. Bukankah aku tadi mengeluarkan bau amis, Cici?"

   Dengan wajah yang masih mengungkapkan ketakjubannya Tio Siau In mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak boleh tidak sekarang Tio Siau In harus percaya pada omongan A Liong. Ia harus percaya bahwa A Liong pernah tertimpa pohon tumbang tanpa cidera. Dan ia juga harus percaya pula bahwa A Liong pernah tergencet batu penggilingan tahu yang beratnya ribuan kati itu tanpa cidera yang berarti. Bahkan ia juga harus percaya bahwa A Liong tidak tewas meskipun teruruk belasan karung garam. Dan sekarang, ia terpaksa harus percaya juga kalau A Liong ditakuti oleh binatang-binatang berbisa.

   "Tapi... tahukah kau, mengapa badanmu mengeluarkan bau amis?" A Liong menggeleng. Tapi sesaat kemudian tiba-tiba saja pemuda itu tersenyum geli. Matanya memandang Tio Siau In seolah-olah hendak menggoda.

   "Kenapa kau terseyum-senyum, heh? Ada yang kau sembunyikan?" Tio Siau In menegur dengan nada kesal.

   "Ayoh, katakan! Mengapa badanmu berbau amis?" Hampir saja A Liong tertawa.

   "Mungkin... Mungkin karena aku mempunyai telur naga! Hahahaha...!" akhirnya pemuda itu tak bisa menahan ketawanya.

   "Hus! Telur naga...? Apa yang kau maksudkan?" A Liong semakin tak dapat mengekang ketawanya. Suaranya lepas menyaingi suara ombak yang berdebur keras di sekeliling sampan mereka.

   "Cici, teman-temanku mengatakan bahwa aku mempunyai sebutir telur naga di bawah pusarku, hahahaha...!" Seketika air muka Tio Siau In menjadi merah padam.

   "Kurang ajar! kau berani berkata sembarangan di depanku?" bentaknya marah. A Liong cepat membungkam mulutnya.

   "Maaf Cici... aku tidak main-main. Aku benar-benar mempunyai telur naga itu. kau... Kau mau lihat?" katanya agak takut-takut sambil mengendurkan tali celananya. Tentu saja Tio Siau In menjadi kelabakan. Sambil menjerit keras gadis itu membalikkan badannya.

   "A Liong, jangaaaan...! Awas, berani kau berani membukanya... Kubunuh kau!" A Liong tak jadi membuka celananya, namun demikian tangannya masih tetap berada di bawah pusarnya. Wajahnya tampak penasaran.

   "Cici, aku... aku tidak kurang ajar! Aku bersungguh-sungguh! Bau amis itu memang berasal dari telur nagaku ini! Tapi kalau Cici malu melihatnya... raba sajalah!"

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apaaa...?" Tio Siau In menjerit tinggi seperti mau menangis. Kemudian sambil memejamkan matanya sekonyong-konyong gadis itu memutar badannya. Tangan kanannya menyambar cepat ke mulut A Liong. Dan A Liong yang terkejut setengah mati itu mencoba menghindarinya. Tapi mana mungkin pemuda itu dapat mengelakkan serangan Tio Siau In yang lagi marah?

   "Plaaak!"

   "Byuuuur!" Tak ampun lagi tubuh A Liong yang masih basah itu terlempar kembali ke dalam air. Sekejap Tio Siau In menjadi puas, sebab pemuda kurang ajar itu telah ia hajar dan ia ceburkan ke dalam air. Tapi beberapa saat kemudian, ketika pemuda itu tidak muncul-muncul juga dari dalam air, Tio Siau In berbalik menjadi ketakutan pula seperti tadi. Dengan gugup Tio Siau In mencari kesana-kemari.

   "A Liong...?!?" gadis itu bergumam lirih. Namun sekali ini tubuh A Liong tampaknya memang benar-benar hilang ditelan air laut. Gulungan ombak yang berputar-putar di bawah sampan itu tampaknya telah menyeret tubuh A Liong ke tengah laut.

   "A Liongggg...!!!" akhirnya Tio Siau In berseru memanggil nama pemuda gelandangan itu. Suaranya terdengar cemas dan penuh penyesalan.

   * * *

   Demikianlah kalau di pagi hari yang telah mulai menyengat itu Tio Siau In menjadi cemas akan keselamatan A Liong, maka di kota Hang-ciu ternyata Tio Ciu In juga sedang mencemaskan keselamatan Liu Wan dan Kwe Tek Hun.

   Pertempuran di rumah penginapan itu memang telah sampai di puncaknya. Baik Liu Wan maupun Kwe Tek Hun benar-benar telah melepaskan seluruh kesaktiannya. Liu Wan dengan Thian-lui-khong-ciangnya itu sungguh-sungguh seperti Dewa Petir dan angin yang sedang murka. Pukulan jarak jauhnya meledak-ledak bagaikan sambaran halilintar yang mengejar mangsanya, sementara arena pertempuran itu seperti digoncang oleh badai besar. Semakin cepat pemuda itu bergerak, semakin dahsyat pula badai yang bergolak. Meja, kursi dan peralatan yang ada di dalam ruangan itu porak-poranda bagai diterjang angin puting beliung. Begitu dahsyatnya ilmu yang dikeluarkan oleh Liu Wan itu sehingga Tio Ciu In terpaksa mengamankan Ku Jing San dan Song Li Cu ke ruangan lain...

   Sementara itu di luar rumah, baik di halaman penginapan maupun di jalan raya, orang-orang mulai berkerumun ingin menyaksikan apa yang terjadi. Namun mereka tidak berani mendekat, karena suara pertempuran yang amat gaduh itu membuat hati mereka menjadi ngeri. Pada saat itu pula dari arah jalan raya masuk lima orang lelaki berbadan besar-besar dan tinggi-tinggi seperti layaknya orang dari daerah utara. Wajah merekapun tampak kaku dan keras-keras pula. Mereka masuk ke halaman rumah penginapan itu dengan menyibakkan para penonton yang berjubel di pintu halaman. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah lain masuk pula seorang lelaki buta ke halaman rumah penginapan tersebut. Meskipun buta lelaki itu berjalan dengan langkah biasa seperti manusia normal lainnya, sehingga sepintas lalu orang tidak akan menyangka kalau dia buta.

   Tubuhnya yang kurus jangkung itu tertutup jubah panjang sampai ke betisnya. Sedangkan usianya tak dapat ditaksir karena hampir seluruh wajahnya tertutup kumis, jenggot dan rambutnya yang terurai panjang. Namun bila dilihat dari warna rambutnya yang telah terdiri dari dua macam itu dapat dikira-kira umurnya telah lebih dari empat puluh tahun. Tangannya memegang tongkat panjang. Lelaki buta itu tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, namun demikian ia tidak berusaha bertanya kepada orang-orang yang sedang menonton tersebut. Ia melangkah dengan tenang di belakang lima orang lelaki tadi seperti tidak ada kejadian apa-apa. Tongkatnya diseret di samping tubuhnya dan sama sekali tidak dipergunakan untuk mencari jalan seperti halnya orang buta lainnya.

   "Tampaknya Sang Puteri mendapat kesulitan di tempat ini." salah seorang dari lima orang lelaki itu, yang tampaknya adalah pimpinan mereka, berkata dengan suaranya yang berat dan berwibawa.

   "Tampaknya memang demikian, Panglima." Demikian memasuki pintu pendapa, mereka berlima sudah merasakan hembusan angin yang amat kuat menerpa tubuh mereka. Bahkan ledakan-ledakan yang diakibatkan oleh Thian-lui-khong-ciang juga sudah mulai menggetarkan isi dada mereka.

   "Wah tampaknya kali ini Sang Puteri benar-benar menerjang badai." orang yang disebut panglima itu berkata agak cemas.

   Memang benar, walau tidak di bawah angin, namun Mo Goat memang mendapatkan kesulitan untuk menundukkan perlawanan Kwe Tek Hun dan Liu Wan. Ilmu silat Liu Wan yang dahsyat itu benar-benar membatasi ruang gerak Mo Goat kembar. Padahal meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda, namun ilmu silat Kwe Tek Hun juga tidak kalah hebatnya pula. Berlainan dengan Thian-lui-khong-ciang yang sifatnya keras, kuat dan meledak-ledak, Kim-hong-sin-kun milik Kwe Tek Hun lebih bersifat halus, lembut dan indah dipandang. Namun demikian ternyata akibatnya justru lebih berbahaya daripada Thian-lui-khong-ciang. Apabila Thian-lui-khong-ciang tersebut lebih berdaya-guna untuk menghancurkan seluruh sasarannya, sebaliknya Kim-hong-sin-kun hanya bersifat melumpuhkan dan merusakkan bagian-bagian titik terpenting dari sasaran keseluruhannya.

   Oleh karena itu tidak mengherankan bila Mo Goat mendapatkan kesulitan untuk menundukkan mereka. Meskipun ilmu silat gadis muda belia itu sangat tinggi dan menggiriskan hati, tapi menghadapi dua macam ilmu silat yang saling bertolak belakang sifatnya tersebut benar-benar berat dan sulit. Untung bagi Mo Goat karena selain ginkangnya lebih tinggi dan lebih sempurna, lawan-lawannya yang masih muda itu juga belum berpengalaman menghadapi ilmu sihirnya, sehingga gadis muda belia itu dengan mudah masih bisa mengecoh dan mengelabuhi lawan-lawannya. Akan tetapi dengan demikian pertempuran itu akan terus berlarut-larut dan takkan kunjung selesai. Masing-masing pihak memiliki kemampuan yang hampir setara.

   Mo Goat yang bisa memecah diri menjadi dua bentuk manusia kembar itu mempunyai tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh setingkat lebih tinggi daripada lawan-lawannya. Namun sebaliknya di pihak lain, Liu Wan dan Kwe Tek Hun juga bisa saling mengisi serta memadukan ilmu silat mereka yang sangat bertolak belakang itu demi pertahanan mereka. Justru yang paling cemas pada waktu itu adalah Tio Ciu In. Dengan kepandaiannya yang masih terbatas gadis ayu itu tidak dapat melihat perbandingan ilmu mereka. Ia cuma bisa melihat keadaan luarnya saja, yaitu repotnya Liu Wan dan Kwe Tek Hun dalam menghadapi ilmu sihir Mo Gat. Dan kecemasan gadis ayu itu semakin bertambah pula ketika di tengah-tengah pintu masuk ruangan tersebut tiba-tiba muncul lima orang lelaki bertampang keras. Apalagi ketika lima orang lelaki itu memberi salam kepada Mo Goat.

   "Hmmh, di mana meja dan kursinya? Kenapa ruang makan ini sama sekali tak ada tempat duduknya?" sekonyong-konyong Tio Ciu In mendengar suara di belakangnya. Hampir saja Tio Ciu In melompat karena kaget. Gadis itu sama sekali tak melihat atau mendengar langkah kaki orang itu. Ketika ia membalikkan badannya, di depannya telah berdiri seorang lelaki tua memegang tongkat. Tio Ciu In tak bisa. melihat wajah orang itu karena rambut dan kumisnya menutupi hampir seluruh mukanya.

   "Kau... Kau siapa?" Tio Ciu In menyapa dengan hati semakin cemas dan gelisah.

   "Oooh!" Lelaki tua itu kelihatan kaget mendengar suara Tio Ciu In.

   "Apakah... apakah Nona pemilik penginapan ini?" Tio Ciu ln baru menyadari bahwa lelaki di depannya itu buta. Perasaannya sedikit tenang, walaupun ia tetap waspada dan hati-hati. Ia selalu ingat pesan gurunya, agar ia selalu berhati-hati bila berhadapan dengan orang asing.

   "Bukan. Aku seorang tamu di penginapan ini. kau... siapa?" Orang buta itu tidak lekas menjawab pertanyaan Tio Ciu In, seolah-olah ia memang tidak mendengarnya. Sebaliknya orang itu malah memalingkan kepalanya ke arah pertempuran sambil memasang telinganya untuk mengetahui apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut.

   "Seperti ada yang berkelahi di tempat ini. Hmm, siapakah mereka itu, Nona?" lelaki buta itu bertanya halus. Sebenarnya Tio Ciu In merasa enggan untuk menjawabnya. Namun lelaki buta itu seperti memiliki perbawa yang menakutkan, sehingga Tio Ciu In tak kuasa untuk tetap berdiam diri.

   "Dua orang kawanku berselisih paham dengan seorang gadis muda, sehingga mereka saling berbaku hantam." Lelaki buta itu mengarahkan telinganya lagi ke arena pertempuran. Mulutnya yang tertutup kumis dan jenggot lebat itu seperti menggumamkan sesuatu. Tio Ciu In seperti tersihir. Gadis ayu itu hanya mengawasi saja tanpa berani bersuara. Lelaki buta itu terasa menakutkan, berwibawa, tapi juga tampak sangat berbahaya.

   "Apakah orang yang memiliki pukulan seperti petir itu temanmu?" lelaki buta itu bertanya pula. Sekali lagi Tio Ciu In tak kuasa menentangnya. Gadis ayu itu menganggukkan kepalanya, namun segera sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan orang buta.

   "Be-benar. Apakah Tuan mengenal temanku itu?" Lelaki buta itu cepat menggelengkan kepalanya, sehingga rambutnya yang panjang sampai ke pinggang itu terjurai ke depan menutupi wajahnya. Dan orang itu ternyata membiarkan saja rambutnya demikian.

   "Dia itu temanmu atau saudara seperguruanmu?" sekonyong-konyong lelaki buta itu bertanya aneh, seperti sedang menyelidiki. Tio Ciu In tersentak kaget. Wajahnya menjadi merah. Matanya yang bulat indah itu bergetar, seakan-akan berusaha melihat rupa di balik tirai rambut tersebut. Tapi ketika orang itu kemudian menyibakkan rambutnya ke belakang sehingga tampak sebagian mukanya yang tidak tertutup kumis dan jenggot, lagi-lagi Tio Ciu In tertunduk. Wajah itu kelihatan kaku dan dingin. Bahkan matanya yang jernih seperti mata orang sehat itu seperti menyimpan sebuah kekuatan yang mengerikan. Sekejap Tio Ciu In menjadi ragu, jangan-jangan lelaki yang mempunyai perbawa menyeramkan itu cuma pura-pura buta.

   "Nona belum menjawab pertanyaanku!" Sekali lagi Tio Ciu In dikejutkan oleh suara orang itu.

   "Kami... Kami baru saja berkenalan. Dia... dia bukan saudara seperguruanku." Tio Ciu In menjawab dengan gugup.

   "Hmmmmmm...!" Sekali ini Tio Ciu In benar-benar heran terhadap dirinya sendiri. Selama ini ia tak pernah merasa takut terhadap siapapun juga. Bahkan di dalam sarang perampok-perampok liarpun ia tak pernah merasa ketakutan. Namun sekarang di depan lelaki tua bermata buta ini, entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi ngeri.

   "Kudengar ada tiga orang yang sedang berkelahi. Apakah temanmu dikeroyok dua?" lelaki buta itu bertanya kembali.

   "Ah, tidak..." Tio Ciu In menjadi malu. Malu karena telah berprasangka buruk terhadap orang yang ternyata benar-benar buta itu, serta malu karena justru teman-temannyalah yang telah mengeroyok lawannya. Meskipun Tio Ciu In tidak meneruskan jawabannya, tapi orang itu tampaknya sudah dapat menangkap maksudnya.

   "Ah, kalau begitu gadis muda yang kau maksudkan itu benar-benar lihai sekali karena mampu melayani keroyokan teman-temanmu. Hmm... siapakah temanmu yang satu lagi itu? Apakah dia saudara seperguruanmu? Kudengar gerakan ilmunya tidak sama dengan temanmu tadi." Tio Ciu In tidak segera menjawab. Kali ini gadis itu menjadi bingung juga untuk menjawabnya. Ia memang tidak begitu paham tentang Kwe Tek Hun dan saudara-saudara seperguruannya.

   "Maaf, aku... aku juga baru mengenal mereka di tempat ini. Katanya pemuda itu bernama Kwe Tek Hun." akhirnya Tio Ciu In dapat juga menjawab pertanyaan lelaki buta itu.

   "Oooh..." Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Tetapi meskipun maju berdua... Kawan-kawanmu itu seperti merasa sulit menghadapi lawannya. Mengapa kau tak ikut membantu mereka?"

   "Ah, kepandaianku belum cukup untuk ikut dalam kancah pertempuran tingkat atas seperti itu. Selain itu aku juga sedang menjaga teman-temanku yang terluka."

   "Hah? Teman-temanmu sudah ada yang terluka? Apanya yang terluka?" Lelaki buta itu terperanjat. Tio Ciu In menghela napas panjang. Entah apa sebabnya, tapi yang jelas gadis ayu itu seperti menurut saja untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Dan lelaki buta itu terdengar menggeram perlahan mendengar kekejaman Mo Goat.

   "Dan sekarang... Kawan-kawan Mo Goat telah datang pula. Mereka kelihatan lebih kasar dan garang daripada Mo Goat. Aku benar-benar sangat cemas. Kepandaianku amat rendah, sedangkan teman-temanku yang lain sudah terluka..." Tio Ciu ln mengakhiri ceritanya dengan nada gelisah.

   "Hmmh!" Tiba-tiba lelaki itu menggeram.

   "Nona, bawa kemari teman-temanmu yang terluka itu!" Tio Ciu In tercengang mendengar perintah itu. Ada perasaan untuk menentangnya, tapi keinginan itu segera sirna begitu laki-laki itu kembali menyerukan perintahnya. Tio Ciu In cepat membawa Song Li Cu dan Ku Jing San ke hadapan lelaki buta itu. Song Li Cu dipapahnya, sementara Ku Jing San beringsut di belakangnya dengan berpegangan pada dinding. Anehnya kedua saudara seperguruan itu juga menurut saja.

   "Inilah mereka, Tuan." Lelaki buta itu mengulurkan tangannya kepada Song Li Cu.

   "Di bagian mana gadis ini mendapatkan totokan?" tanyanya kepada Tio Ciu In.

   "Kalau tak salah di bagian kakinya, Seperti orang yang masih sehat kedua matanya, lelaki itu cepat mengurut dan menotok di beberapa bagian kaki Song Li Cu. Dan yang terakhir jari telunjuk lelaki itu menotok pada jalan darah tan-bi-hiat di bawah puser Song Li Cu.

   "Maaf...!" ucap lelaki itu pendek, kemudian mengebut-ngebutkan lengan bajunya tanda ia telah selesai mengobati gadis itu. Sungguh mengherankan! Song Li Cu yang semula tak bisa menggerakkan tubuhnya itu tiba-tiba bisa bergerak lagi!

   "Nona tidak boleh terlalu banyak bergerak dulu! Totokan yang melumpuhkan Nona tadi merupakan ilmu totok (tiam hoat) yang tiada duanya di dunia ini. Totokan itu hanya bisa dipunahkan kembali oleh seseorang yang memiliki lwekang setidak-tidaknya dua kali lipat Iweekang penotoknya." lelaki buta itu memberi peringatan kepada Song Li Cu yang sudah bersiap-siap untuk melabrak Mo Goat kembali. Song Li Cu tertunduk kecewa.

   "Terima kasih, Lo-Cianpwe..." gadis manis itu mengucapkan rasa terima kasihnya.

   "Lo-Cianpwe...? Ah!" orang itu berdesah panjang.

   "Tampaknya aku memang sudah tua. Belasan tahun telah lewat tanpa terasa dan tentunya umurku juga sudah mendekati setengah abad. Hmmm... cepat sekali..." Sementara itu di arena pertempuran tampaknya Mo Goat sudah tidak sabar lagi. Gadis cantik itu sudah mulai menggenggam senjata rahasianya pula. Senjata rahasia yang ampuh, yang dalam sekali lempar telah melukai Song Li Cu dan Ku Jing San!

   "Puteri...! kau jangan menghambur-hamburkan senjata rahasiamu! Sungguh sayang rasanya kalau dibuang hanya untuk membunuh kelinci-kelinci seperti mereka!" orang yang dipanggil dengan sebutan Panglima tadi berseru kepada Mo Goat.

   "Tapi sulit sekali menundukkan mereka! Padahal aku sudah menggunakan Pat-sian-i-hoat (Delapan Baju Dewa)! Sayang ilmuku belum sebaik ilmumu. Kalau aku sudah dapat memecah diri menjadi empat seperti kau, kelinci-kelinci ini sudah kuhabisi sejak tadi." Mo Goat menyahut dengan suara jengkel. Tentu saja ucapan-ucapan yang amat memandang rendah itu sangat menyinggung perasaan Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Apalagi bagi Kwe Tek Hun yang dalam perjalanan petualangannya selama ini hampir tak pernah menjumpai lawan tangguh. Ejekan sebagai kelinci itu benar-benar menyinggung harga dirinya. Tanpa memikirkan akibatnya, pendekar muda dari Pulau Meng-to itu melesat keluar dari arena pertempuran. Hanya dengan dua gerakan saja dari Ban-seng-po Lian-hoan, maka tubuhnya telah berada di depan panglima itu.

   "Kalau kau memang ingin mencoba menangkap kelinci-kelinci kecil seperti kami, mengapa cuma berteriak-teriak saja dari luar arena? Mengapa tidak langsung saja mempergunakan kepalan dan kakimu? Takut?" Kwe Tek Hun balas mengejek dengan nada pedas.

   "Bangsat! kau memang bosan hidup!" Benar saja, orang yang disebut panglima itu menjadi marah bukan main. Sambil mengumpat kasar ia menerjang Kwe Tek Hun. Kesepuluh jari tangannya mengejang seperti cakar garuda, menyambar ke arah dada dan perut pendekar dari Pulau Meng-to itu.

   Kwe Tek Hun tidak berani adu tenaga. Mendengar percakapan lawannya tadi Kwe Tek Hun tahu bahwa lawannya itu jauh lebih berbahaya dan lebih lihai daripada Mo Goat. Padahal melawan Mo Goat saja dia dan Liu Wan tidak menang. Oleh karena itu satu-satunya jalan untuk menandinginya hanyalah dengan kecerdikan dan tipu muslihat. Untunglah ilmunya Ban-seng-po Lian-hoan benar-benar mentakjubkan, sehingga setiap kali dalam bahaya ia selalu dapat menyelamatkan diri. Demikianlah Kwe Tek Hun tidak mau menangkis serangan itu. Pemuda itu justru memanfaatkan kelebihannya dalam main petak. Dengan langkah ajaibnya itu ia menghindar dan mengitari tubuh lawannya. Sekali-sekali ia balas menyerang, meskipun ia tahu lawannya jauh lebih gesit dan lebih tinggi tenaga dalamnya.

   Tentu saja ulah Kwe Tek Hun tersebut amat menjengkelkan lawannya. Di dalam segala hal panglima itu jauh lebih unggul, baik ginkang, lwekang, maupun ilmu silatnya. Namun pemuda itu ternyata memiliki ilmu langkah ajaib yang amat mentakjubkan, sehingga keunggulan ginkang panglima itu hampir tak ada gunanya lagi. Bagaikan seekor belut pemuda itu selalu bisa melepaskan diri dari cegatan-cegatan lawannya. Akhirnya panglima itu tak dapat mengekang kegusarannya lagi. Seperti halnya Mo Goat tadi, tiba-tiba panglima itu melompat ke belakang sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Kwe Tek Hun terkejut, tapi sudah terlambat Matanya sudah terlanjur menantang mata panglima yang mencorong seperti mata burung elang itu, hingga untuk selanjutnya mata dan pikirannya telah jatuh dalam perangkap ilmu sihir lawannya.

   "Oooooh!" Tio Ciu In menjerit kecil. Demikian pula dengan Song Li Cu.

   "Hah? Ada apa...?" Lelaki buta itu tersentak kaget pula.

   "Orang itu bisa merubah dirinya menjadi empat! Dan semuanya bisa bergerak sendiri-sendiri mengeroyok Kwe suheng!" Song Li Cu berdesah bingung.

   "Berubah menjadi empat? Wah, ilmu sihir!" Lelaki buta itu berkata kaget, seperti sudah pernah mengenalnya.

   "Lo-Cianpwe, kau tolonglah kami!" Tiba-tiba Song Li Cu berlutut sambil menghiba di depan lelaki buta itu.

   "Tolonglah suhengku sekalian, seperti halnya Lo-Cianpwe telah menolongku tadi. Aku percaya Lo-Cianpwe bisa mengatasi mereka..." Ternyata perasaan cinta gadis manis itu sedemikian besarnya kepada Kwe Tek Hun, sehingga gadis itu rela menanggalkan kekerasan hatinya selama ini untuk meminta tolong kepada orang yang baru saja dikenalnya.

   Semula Tio Ciu In menjadi kaget juga menyaksikan ulah Song Li Cu. Demikian pula halnya dengan Ku Jing San sendiri. Tapi keduanya segera memakluminya, apalagi ketika mereka menyaksikan jalannya pertempuran setelah pembantu Mo Goat yang lihai itu maju. Baik Kwe Tek Hun maupun Liu Wan memang dalam keadaan yang memprihatinkan. Setelah terpisah sendiri-sendiri, kedua pemuda sakti itu memang tidak bisa berbuat apa-apa terhadap lawannya. Rasanya memang tinggal menunggu waktu saja, kapan keduanya dibabat habis oleh lawan lawan mereka. Lelaki buta itu mengerutkan dahinya yang tertutup rambut. Sikapnya tetap dingin dan kaku, seolah-olah tidak peduli pada keadaan sekelilingnya. Demikian pula terhadap ratapan Song Li Cu. Sama sekali ia tak bereaksi mendengar suara yang menghiba itu.

   "Lo-Cianpwe...? Kakiku sudah buntung. Aku tak bisa lagi membantu suhengku. Maukah Lo-Cianpwe menolongnya?" Ku Jing San yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba ikut memohon. Ternyata di dalam keadaan kritis seperti itu ia memaklumi perasaan sumoinya. Tapi lelaki buta itu tetap tak bergeming. Bahkan orang tua itu perlahan-lahan menyeret kakinya untuk keluar dari ruangan tersebut. Wajahnya tertunduk lesu seakan-akan hatinya amat menyesal sekali berada di tempat itu. Beberapa kali terdengar suara tarikan napasnya yang berat dan panjang.

   "Lo-Cianpwe! Lo-Cianpwe...! Jangan tinggalkan kami! Tolonglah suhengku!" Song Li Cu memohon dengan suaranya yang semakin memelas.

   "Benar, Lo-Cianpwe... tolonglah Kwe suheng sekali ini saja!" Ku Jing San ikut pula meminta dengan suaranya yang serak.

   "Maaf. Maafkanlah aku... aku tak bisa menolong kalian." terdengar lelaki buta itu menjawab perlahan. Kakinya tetap melangkah tersaruk-saruk ke arah pintu. Song Li Cu memandang sekali lagi ke arena pertempuran. Hatinya semakin merasa cemas akan keselamatan Kwe Tek Hun.

   "Lo-Cianpwe...!?!" ratapnya sedih. Namun dengan suara tak kalah lesunya, lelaki buta itu menyahut lirih.

   

Memburu Iblis Eps 35 Memburu Iblis Eps 18 Memburu Iblis Eps 25

Cari Blog Ini