Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 12


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 12




   "Maaf, Tuan... ayahku adalah Keh-sim Taihiap Kwe Tiong Li dari Pulau Meng-to. Beliau adalah satu-satunya pewaris Ilmu Ban-seng-po Lian-hoan. Tuan jangan bicara seenaknya sendiri, mengaku sebagai pemilik ilmu itu..." akhirnya pemuda itu berkata dingin. Swat Kim Po memandang isterinya yang sejak tadi belum pernah membuka suara. Keningnya berkerut. Sementara bibirnya tampak tersenyum kecut. Dan wanita itu seolah tahu apa yang diinginkan suaminya. Ia segera bergeser maju menghadapi Kwe Tek Hun.

   "Anak muda, kelihatannya kau menyangsikan ucapan-ucapan suamiku. Sekarang begini saja, kita saling mencoba ilmu kita masing-masing. Dan siapa yang kalah harus tunduk dan menurut perintah yang menang. Bagaimana...?" tiba-tiba wanita itu menantang.

   "Nyonya, aku...?" Kwe Tek Hun men, jadi salah tingkah.

   "Hmmh, kau takut kepadaku?" Wajah Kwe Tek Hun menjadi merah sampai ke telinganya.

   "Siapa takut kepada kalian? Aku tidak pernah takut kepada siapa-siapa! Aku hanya tidak ingin bertaruh apa-apa di dalam pertarungan ini! Kalah, ya kalah! Menang, ya... Menang! Tidak perlu harus tunduk atau menurut perintah yang menang! Bagaimana kalau yang menang nanti memberi perintah yang bukan-bukan kepada yang kalah?" katanya berapi-api.

   "Tapi... Kami takkan memberi perintah yang bukan-bukan kepadamu paling-paling kami hanya akan meminta agar kau membawa kami ke hadapan Ayahmu!" wanita itu menukas cepat seakan-akan sudah yakin akan menjadi pemenangnya. Tentu saja Kwe Tek Hun semakin menjadi berang.

   "Marilah kita coba, Nyonya." geramnya tertahan. Sementara itu para penjaga yang tadi dikalahkan oleh Kwe Tek Hun segera menyingkir agak jauh untuk mengobati luka-luka mereka. Selain mengobati luka, mereka juga ingin menonton pertarungan Kwe Tek Hun dengan wanita asing itu.

   "Nah, Anak muda... Lihat serangan!" wanita itu berseru serta menyerang lebih dahulu ketika dilihatnya Kwe Tek Hun tidak mau mendahuluinya. Sederhana saja serangan wanita itu, seakan-akan memang hanya ingin memancing reaksi Kwe Tek Hun, sehingga pemuda itupun hanya mengelak sedikit pula, asalkan serangan tersebut tidak mengenai tubuhnya. Bahkan pemuda itu segera membalas dengan pukulan sisi telapak tangannya, dalam jurus Kim-hong san-bwe atau Burung Hong Menebarkan Ekor. Sambil menggeliat dari samping pemuda itu mengayunkan sisi telapak tangannya dari atas miring ke bawah dan yang diserang adalah leher atau punggung wanita itu.

   "Bagus...!" Wanita itu berseru nyaring. Lalu dengan cepat kakinya melangkah pendek-pendek tiga kali, ke kanan dan ke kiri sambil meliukkan badan setengah lingkaran ke muka dan ke belakang. Tampaknya gerakan wanita itu amat sederhana sekali. Langkahnyapun hanya pendek-pendek pula. Akan tetapi hasilnya sungguh mencengangkan. Hanya dengan tiga kali melangkah itu ternyata dia bisa berputar mengelilingi Kwe Tek Hun dan hanya dengan meliukkan badan ke muka dan ke belakang itu ternyata juga dapat mengelakkan pukulan tangan Kwe Tek Hun pula. Tak heran kalau para penjaga yang menonton pertempuran itu merasa takjub melihatnya. Namun rasa heran dan takjub mereka belumlah sehebat rasa heran dan takjub yang ada di dalam dada Kwe Tek Hun sendiri.

   Pemuda itu hampir-hampir tak percaya apa yang dilihatnya, bahwa wanita itu benar-benar menguasai Ban-seng-po Lian-hoan dengan baik. Apa yang baru saja dilakukan oleh wanita itu adalah gerakan yang ke sepuluh dari Ban-seng-po Lian-hoan, yaitu Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari. Kwe Tek Hun semakin penasaran. Tapi ia tak bisa terlalu lama memikirkan keajaiban itu, karena di lain saat wanita itu ganti menyerangnya kembali. Terdengar suara mencicit tajam ketika jari tangan kanan wanita itu menusuk ke arah tulang rusuknya. Pemuda itu seperti tersentak dari mimpinya. Otomatis kakinya melangkah dengan gerakan Memindah Bintang Kejora ke Kutub Utara, gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang ke lima belas. Dan seperti main sulap saja tubuhnya yang tegap itu telah berpindah tempat di belakang lawannya.

   "Bagus...!" sekali lagi wanita itu memuji. Dan sebelum Kwe Tek Hun memanfaatkan kedudukannya yang menguntungkan wanita itu cepat meluncurkan tubuhnya setombak ke depan, lalu berputar setengah lingkaran dan melangkah mundur tiga tindak. Gerakannya sangat cepat, manis dan lincah, sehingga Kwe Tek Hun yang amat mengenal gerakan Menerobos Awan Mengejar bintang Jatuh tertegun dibuatnya. Lagi-lagi keraguan Kwe Tek Hun tersebut dimanfaatkan oleh lawannya. Sambil berseru lirih wanita itu kembali menyerang dengan jari-jari tangannya. Kini yang dituju adalah jalan darah ping-tai-hiat di bawah pinggang kiri Kwe Tek Hun. Hawa panas seolah-olah menerpa tubuh pemuda itu. Dengan tangkas Kwe Tek Hun menghindar. Tak terasa kakinya melangkah dalam Ban-seng-po Lian-hoan yang ke empat, yaitu Bintang Kejora Meniti Pelangi.

   Kakinya melangkah enam kali ke belakang cepat sekali. Kaki kanan melangkah lebar, sementara kaki kiri hanya pendek-pendek saja, sehingga jalannya tidak lurus, tapi melengkung ke bawah otomatis Kwe Tek Hun berada di samping kanan wanita itu sekarang. Dan kesempatan tersebut segera digunakan oleh pemuda itu untuk balas menyerang. Kedua belah tangannya mencengkeram ke atas dan ke bawah, ke. arah pundak dan pinggang lawannya. Akan tetapi wanita itu seperti sudah bisa menebak apa yang hendak dilakukan oleh Kwe Tek Hun. Baru saja serangan pemuda itu mencapai separuh ja lan, wanita itu sudah keburu melompat satu tombak ke samping, lalu membalikkan badan menghadapi Kwe Tek Hun. Kedua telapak tangannya juga terulur ke depan, menyongsong serangan Kwe Tek Hun.

   "Plaaaak! Plaaaak!" Dua pasang tangan bertemu di udara dan menimbulkan suara yang amat nyaring. Karena masing-masing telah mengerahkan tenaga dalamnya, maka benturan itu menimbulkan getaran kekuatan yang sangat kuat. Kwe Tek Hun yang merasa berhadapan dengan lawan yang berkepandaian sangat tinggi, telah mengerahkan hampir seluruh tenaga saktinya.

   Sebaliknya wanita itu merasa belum perlu untuk bertarung mati-matian dengan Kwe Tek Hun, sehingga ia hanya melepaskan separuh dari tenaga saktinya. Namun akibatnya sungguh tidak terduga. Benturan yang keras itu menyebabkan Kwe Tek Hun terpental seperti layang-layang putus. Untunglah pemuda itu memiliki ginkang yang cukup tinggi, sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting ke atas tanah. Namun demikian ketika dengan sempoyongan kakinya menginjak tanah, pemuda itu merasa aliran darahnya bergolak dengan hebat. Ketika dengan nanar matanya memandang ke depan, Kwe Tek Hun melihat lawannya tetap berdiri kukuh di tempatnya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa wanita itu terpengaruh oleh benturan tadi. Wanita itu tersenyum dan Kwe Tek Hun harus mengakui bahwa wanita setengah baya itu tentu cukup cantik di masa mudanya.

   "Anak muda...! Apakah kau sudah percaya sekarang?" Dengan perasaan berat Kwe Tek Hun terpaksa mengangguk.

   "Tetapi... aku belum puas." desahnya kemudian setelah aliran darahnya telah kembali normal. Sekali lagi wanita itu tersenyum. Sekilas ia menatap suaminya yang berdiri diam di tempatnya.

   "Ah, Anak muda... Kalau bicara soal puas dan tidak puas, sebenarnya akupun juga belum merasa puas pula. Sedari tadi Kau cuma mengeluarkan gerakan tingkat pertama dan tingkat ke dua saja. kau belum pernah mengeluarkan gerakan pada tingkat-tingkat selanjutnya. Hmm, apakah kau baru memperoleh pelajaran sampai pada tingkat ke dua saja?" Perasaan Kwe Tek Hun tergetar dengan hebat.

   "Tingkat pertama dan ke dua? Apa... apa maksud Nyonya?" Wanita itu tetap tidak melepaskan senyumnya.

   "Nah, sekarang semakin terbukti betapa kurangnya pengetahuanmu tentang Ban-seng-po Lian-hoan. Ketahuilah, Anak muda... ban-seng-po Lian-hoan itu terbagi dalam delapan tingkatan. Setiap tingkat memiliki sembilan gerakan, sehingga seluruhnya ada tujuh puluh dua gerakan. Jadi, apabila engkau baru belajar sampai pada tingkat yang ke dua, berarti yang kau pelajari baru delapan belas gerakan saja..."

   "Delapan belas gerakan? Tapi... tapi Ban-seng-po Lian-hoan keluargaku cuma ada lima belas gerakan saja!" tak terasa Kwe Tek Hun menyela.

   "Lima belas gerakan?" kini ganti wanita itu yang terkejut.

   "Hei, kalau begitu tingkat ke dua saja kau belum selesai!" Kwe Tek Hun tertunduk diam tak bisa berkata-kata lagi. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Bingung, kikuk, malu, tak percaya, sedih, kesal dan berbagai macam perasaan yang lain lagi. Tapi di lain saat pemuda itu masih tetap merasa penasaran dan kurang percaya pula. Benarkah semua yang dikatakan oleh wanita itu?

   "Nyonya, aku... aku tetap belum puas! Engkaupun sendiri tadi juga belum mengeluarkan gerakan yang belum kukenal pula. Aku... aku ingin kau memperlihatkan gerakan-gerakan yang kau sebutkan itu."

   "Baik!" tiba-tiba Swat Kim Po berseru seraya melangkah mendekati isterinya.

   "lsteriku ini juga baru mempelajarinya sampai ke tingkat yang ke empat. Akulah yang akan memperlihatkan kepadamu beberapa gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang lain. Marilah...!"

   "Tuan...?" Kwe Tek Hun berdesah ragu.

   "Seranglah aku!" laki-laki setengah baya itu berkata tegas. Kwe Tek Hun tersentak. Hatinya tergugah. Otomatis tangannya terangkat, kemudian menerjang dada lelaki itu.

   "Wuuuus!" Kini pemuda itu tidak mau setengah-setengah lagi. Sekaligus ia mengerahkan seluruh kekuatannya!

   "Bagus!" Swat Kim Po memuji. Serangan Kwe Tek Hun memang kuat dan berbahaya. Kedua belah telapak tangannya yang terbuka lebar itu menyambar dalam jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk Bulan). Dari telapak tangan itu. meluncur udara hangat yang sangat kuat. Swat Kim Po cepat memiringkan tubuhnya untuk menghindari benturan telapak tangan itu.

   Kemudian sesuai dengan janjinya untuk-mengeluarkan gerakan Ban-seng-po Lian-hoan, Swat Kim-po mengangkat lengan kanannya ke atas dan mengebutkah ujung lengan bajunya yang lebar itu ke wajah Kwe Tek Hun. Udara yang luar biasa dingin berhembus dari ujung lengan baju tersebut, sehingga Kwe Tek Hun terpaksa berpaling untuk mengelakkannya. Akan tetapi ketika udara dingin itu telah lewat dan Kwe Tek Hun ingin balas menyerang lagi, Swat Kim Po telah menghilang dari hadapannya! Sekejap Kwe Tek Hun menjadi bingung. Namun dengan cerdik ia berbalik sambil mengayunkan kakinya menendang ke belakang dalam jurus Burung Merak Mengibaskan Ekor. Benar juga dugaan pemuda itu. Swat Kim Po yang lihai itu memang telah bergeser ke belakang tubuhnya dengan gerakan Melihat Bintang di Balik Cakrawala, gerakan yang ke dua puluh satu dari Ban-seng-po Lian-hoan.

   "Hahaha, meskipun ngawur, tapi Kau cukup cerdik juga...!" Swat Kim Po tertawa melihat kecerdikan Kwe Tek Hun.

   Sambil memuji Swat Kim Po berkelit menghindari tendangan Kwe Tek Hun. Sekali lagi lengan bajunya yang longgar itu menyambar ke depan. Namun kali ini bukan udara dingin yang tertiup dari lubang lengan baju tersebut, tetapi udara panas! Kwe Tek Hun tak mau berpaling dari lawannya. Ia tak ingin terkecoh untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu ia hanya meloncat mundur menghindari serangan ujung lengan baju tersebut. Tapi Swat Kim Po tidak mau melepaskannya. Lelaki itu kembali mengebut-kan lengan bajunya yang lain. Kali ini udara yang meniup semakin terasa menyengat. Bahkan ujung lengan baju itu seperti mengepulkan asap tipis. Asap tipis yang cukup membuat pedas mata Kwe Tek Hun! Sekali lagi Kwe Tek Hun melompat mundur. Dan sebelum kakinya menginjak tanah, pemuda itu balas menyerang dengan sisi tangannya. Kwe Tek Hun tidak ingin terus-terusan diserang lawan.

   "Wuuuuuush!" Pukulan Kwe Tek Hun menerjang ke depan dengan sia-sia! Swat Kim Po telah tiada di depan lagi! Laki-laki itu telah menghilang begitu saja! Kwe Tek Hu cepat berbalik sambil memukul. Namun kali ini ia terkecoh. Swat Kim Po tidak bersembunyi di belakang punggungnya.

   "Hahahaha...! Anak Muda, aku di sini!" tiba-tiba terdengar suara lelaki itu dari kejauhan. Ternyata Swat Kim Po telah berdiri di samping isterinya.

   "Aaaah...!" Kwe Tek Hun berdesah. Badannya menjadi lemas dan lesu. Ternyata lawannya benar-benar memiliki gerakan-gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang lebih lengkap.

   "Apakah kau sekarang sudah percaya, Anak muda?" isteri Swat Kim Po berseru seraya menghampiri Kwe Tek Hun kembali. Kwe Tek Hun menghembuskan napasnya kuat-kuat seperti ingin memuntahkan semua perasaan kesal yang menindih hatinya, lalu menganggukkan kepalanya. Tak sepatahpun kata-kata yang bisa terucap dari bibirnya.

   "Nah! Sekarang antarkan kami menemui Ayahmu!"

   "Apa...?" Kwe Tek Hun tersentak. Wa jahnya yang kuyu itu kembali memerah.

   "Antarkan kami menemui Ayahmu atau Gurumu itu!" wanita itu mengulangi perintahnya. Kini suara itu sangat tegas dan kaku. Kwe Tek Hun mendengus. Dadanya seperti disengat bara.

   "Nyonya, aku memang percaya bahwa kau dan suamimu memiliki Ban-seng-po Lian-hoan yang lebih lengkap daripada aku. Tapi semua itu bukan berarti aku harus tunduk pada perintah kalian. Dari semula aku juga tidak berjanji apa-apa kepada kalian. Apalagi aku juga belum kalah." Wanita itu mengerutkan dahinya yang halus.

   "Maksudmu...?" serunya kaku.

   "Ban-seng-po Lian-hoan tidak menjamin seseorang untuk menang di segala pertempuran, karena ilmu itu hanya ilmu langkah kaki dan tidak untuk menyerang. Ilmu itu harus dilengkapi dengan ilmu silat lain yang sepadan, sehingga bisa terlihat kedahsyatannya." Kwe Tek Hun berdesah dengan suara kaku pula.

   "Oooooo, jadi kau ini masih menyangsikan kemampuan kami? Begitu...? Baik! Mari kita uji sekali lagi dengan ilmu silat yang lain!" wanita itu menggeram sambil memasang kuda-kuda. Kwe Tek Hun segera bersiap diri pula.

   "Hmmh! Mengapa kau tidak mencabut pedang anehmu itu, Nyonya?"

   "Tidak usah! Kami warga Pondok Pelangi hanya mencabut pedang bila benar-benar memerlukannya! Untuk mengalahkanmu cukup dengan ilmu silat kami yang lain."

   "Sombong!" Kwe Tek Hun berseru berang, kemudian menerjang perempuan itu dengan tendangan kaki kanannya.

   "Kau sendiri yang sombong, tidak mau mengakui kenyataan!" wanita itu menjawab seraya mengelak ke samping, lalu dari samping ia balas menyerang dengan tusukan jari telunjuknya.

   "Cusss! Cusss!" Dari ujung jari itu meluncur seleret sinar kebiruan menyambar tubuh Kwe Tek Hun. Pemuda itu terkejut! Ia mengenal ilmu itu! Namun belum juga ia sempat membuka suara, serangan itu telah menyentuh pakaiannya! Mati-matian Kwe Tek Hun mengelak. Tubuhnya bergeser ke kanan dengan cepat, lalu meliukkan badan sambil melangkah ke kanan dan ke kiri sebanyak tiga kali dalam gerak Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari. Tapi belum juga pemuda itu berdiri tegak, wanita itu kembali telah mengejarnya dengan serangannya yang lain!

   "Cuuus! Cuuus! Cuuus!" Kwe Tek Hun menjadi sibuk sekali! Ternyata dia tak bisa mengandalkan Ban-seng-po Lian-hoan lagi! Gerakan-gerakannya yang dikenal baik oleh lawannya! Terpaksa dia berkelit dan menghindar dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, yaitu Pek-in Ginkang! Namun demikian tetap saja salah sebuah serangan wanita itu menyerempet pakaiannya!

   "Sreeet!" Pakaian itu bolong seperti ditebas oleh pedang yang amat tajam!

   "Aaaah! Tahan!" begitu memperoleh kesempatan Kwe Tek Hun berteriak.

   "Kau menyerah, Anak Muda?" wanita itu bertanya seraya menghentikan serangannya.

   "Nanti dulu, Nyonya. Bukankah ilmu yang baru saja kau pergunakan ini tadi... tai-lek Pek-kong-ciang?" Sekarang ganti wanita itu yang kaget. Demikian pula suaminya, Swat Kim Po.

   "Hei, apakah kau juga mempelajari ilmu silat itu?" Swat Kim Po dan isterinya bertanya hampir berbareng.

   "Ah, tidak... tidak!" Kwe Tek Hun cepat-cepat menggoyangkan tangannya.

   "Ilmu itu milik Keluarga Souw..."

   "Keluarga Souw...?" Tak terduga kedua suami-isteri dari Pondok Pelangi itu berteriak gembira. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat sehingga tidak bisa diikuti oleh pandangan mata, tangan Swat Kim Po menyambar pergelangan tangan Kwe Tek Hun. Dan pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu tangannya telah tertangkap oleh cengkeraman Swat Kim Po tersebut.

   "Kau kenal keluarga Souw? Di mana mereka tinggal?" laki-laki itu memberondong Kwe Tek Hun dengan pertanyaan. Kwe Tek Hun mengerahkan Iweekangnya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Swat Kim Po, tapi tak bisa. Tenaga dalam orang itu hebat bukan main. Terpaksa Kwe Tek Hun mempergunakan kakinya untuk menyerang. Dan tangannya yang lain ikut membantu pula. Swat Kim Po mencoba untuk mengelakkan tendangan Kwe Tek Hun, tapi ketika siku pemuda itu mengancam ulu hatinya, terpaksa ia melepaskan cengkeramannya. Swat Kim Po mundur selangkah ke belakang.

   "Bagus, Anak muda. Kepandaianmu memang hebat. Tapi tolong katakan kepadaku! Benarkah Keluarga Souw yang kau kenal itu memiliki ilmu Tai-lek Pek-kong-ciang?" tanyanya bersemangat. Kwe Tek Hun menjadi ragu dan agak bingung. Ia tak bisa menduga apa yang dikehendaki suami-isteri itu terhadap Keluarga Souw. Adakah mereka mempunyai hubungan perguruan?

   "Semua kaum persilatan tahu bahwa Keluarga Souw memiliki ilmu Tai-lek Pek-kong-ciang dan Tai-kek-sin-ciang..." akhirnya Kwe Tek Hun menjawab apa adanya.

   "Tai-kek-sin-ciang? Seperti ini?" Swat Kim Po tiba-tiba berdesah keras dan tampak semakin bersemangat. Lelaki itu memasang kuda-kuda. Dua buah telapak tangannya ia rangkapkan di depan dada seperti layaknya orang menyembah. Dan sekejap kemudian dari seluruh lobang kulitnya keluar asap tipis berwarna kemerah-merahan. Anehnya, asap itu tidak membuyar ditiup angin.

   Asap itu seperti melekat dan menyelimuti tubuh lelaki itu setebal beberapa inchi, sehingga sepintas lalu ia bagaikan mengenakan baju kabut tembus pandang. Tentu saja ilmu silat tingkat tinggi itu membuat takjub para anggota Hek-to-pai yang dikalahkan Kwe Tek Hun tadi. Mereka seperti melihat jago sihir yang sedang memperlihatkan mujijat atau kesaktiannya. Apalagi ketika Swat Kim Po tiba-tiba melayangkan pukulannya ke sebuah pohon pelindung di samping pintu gerbang. Batang pohon sebesar pelukan orang dewasa itu mendadak mengeluarkan asap kehitaman seperti kena bakar. Belum juga hilang ketakjuban mereka, tiba-tiba Swat Kim Po mengubah kuda-kudanya. Badannya berdiri tegak lurus. Kedua tangannya merapat, sementara kedua tangannya juga terangkap lurus ke atas seperti hendak meraih langit. Asap atau kabut tipis masih tetap menyelimuti tubuhnya.

   "Waaaah...?!?" mendadak para penjaga itu berseru takjub lagi. Kwe Tek Hun yang pernah menyaksikan ilmu itu memang tidak seheran para penjaga tersebut.

   Namun bagaimanapun juga ilmu yang dipertunjukkan oleh Swat Kim Po itu tetap mendebarkan hatinya. Apalagi ketika melihat kabut yang menyelimuti badan Swat Kim Po tersebut mendadak berubah warnanya menjadi putih, kemudian kuning, hijau, biru dan sebagainya. Setiap kali berubah warna, Swat Kim Po tentu menyerang batang pohon itu. Dan akibatnya memang sangat mendebarkan hati. Berganti-ganti pohon itu seperti disulut api, diguyur air panas, disiram salju, dihembus badai dan lain-lainnya. Akibatnya sungguh menyedihkan. Begitu Swat Kim Po menghentikan serangannya, pohon besar itu perlahan-lahan tumbang bagaikan pohon tua yang telah lapuk dimakan rayap. Batang kayunya yang semula sangat kuat dan keras luar biasa itu kini telah berubah menjadi empuk dan rapuh seperti gumpalan tanah. Swat Kim Po kembali berdiri di depan Kwe Tek Hun.

   "Seperti itukah Tai-kek-sin-ciang Keluarga Souw?" Kwe Tek Hun terdiam, kemudian menggeleng lemah.

   "Memang hampir sama. Tetapi yang pernah kulihat, asap yang menyelimuti tubuh Pendekar Souw cuma ada dua warna."

   "Dua warna...?"

   "Yah! Putih dan merah!"

   "Aneh. Mengapa hanya putih dan merah saja?" Swat Kim Po mengerutkan keningnya.

   "Ah, sudahlah...! Anak muda, ketahuilah. Kami berdua datang ke Tionggoan ini memang sedang mencari sesesorang atau keturunan seseorang yang telah menyimpan barang-barang pusaka Pondok Pelangi selama lima ratus tahun. Kami tidak tahu siapa orang itu, namun yang jelas orang itu tentu memiliki ilmu yang sama dengan kami. Nah, itulah sebabnya kami mencurigai keluargamu atau keluarga Souw itu. Sekarang marilah kita berangkat menemui Ayahmu dulu!" Kwe Tek Hun menunduk. Sekejap terjadi perang batin di dalam hatinya. Melawan atau menuruti perintah orang itu. Melawan mereka berarti sia-sia. Jangankan melawan Swat Kim Po, melawan isterinya saja ia tak mungkin menang. Tapi kalau menuruti perintah mereka, lalu bagaimana dengan Tio Ciu In dan Liu Wan?

   "Bagaimana, Anak muda? Kita berangkat sekarang?" Swat Kim Po mendesak.

   "Baiklah. Tapi biarlah aku memberitahukan kepergianku ini kepada teman-temanku yang ada di dalam perumahan itu." akhirnya Kwe Tek Hun memberikan persetujuannya. Ia juga ingin tahu, bagaimana reaksi Ayahnya tentang Ban-seng-po Lian-hoan itu. Tapi dengan cepat Swat Kim Po menggoyangkan tangannya.

   "Tak usah! Biarlah orang-orang itu yang mengatakan kepada teman-temanmu nanti. Kita langsung berangkat saja sekarang." orang itu berkata sambil menunjuk ke para penjaga yang tadi mengeroyok Kwe Tek Hun.

   "Mengapa...?" Kwe Tek Hun berdesis. Wajahnya memerah, sementara urat-uratnya menegang kembali. -

   "Maaf, anak muda... Kami tak ingin membunuh teman-temanmu! Kalau kau. mengatakan kejadian ini kepada mereka, mereka pasti akan menahanmu, membelamu! Nah, kalau kejadian nanti akan demikian halnya... Hemmm, terpaksa kami harus membunuh mereka! Paham?" Swat Kim Po menerangkan dengan suara dingin. Hampir saja hati Kwe Tek Hun berontak. Dia tak takut mati dan tentu demikian pula halnya dengan Liu Wan. Tapi bagaimana dengan Tio Ciu In? Ia merasa kasihan kepada gadis ayu itu. Gadis itu sedang mencari adiknya. Perlahan-lahan darah yang telah naik ke kepala itu turun kembali. Kwe Tek Hun tak ingin mencelakakan teman-temannya, terutama gadis ayu itu. Biarlah ia sendiri yang menghadapi Swat Kim Po dan isterinya.

   "Baiklah marilah kita berangkat!"

   "Bagus! Nah, Sui Nio, kau berkuda bersama aku! Biarlah anak muda ini menggunakan kudamu!" Swat Kim Po berseru lega sambil menghampiri isterinya.

   Demikianlah, tanpa berpamitan kepada teman-temannya, Kwe Tek Hun menempuh perjalanan ke utara bersama Swat Kim Po dan isterinya. Sebenarnya ada dua jalan untuk pergi ke Pulau Meng-to. Pertama, menempuh jalan laut! melalui Kampung Ui-thian-cung, dengan perahu besar ke arah utara. Ke dua, menempuh jalan darat lebih dahulu hingga kota Lia-siu di Propinsi Kiang-su, lalu dari kota itu nanti berlayar lurus ke timur ke arah matahari terbit. Dan ternyata Kwe Tek Hun memilih melalui kota Lia-siu tersebut. Sementara itu di pendapa perguruan Hek-to-pai, Liu Wan telah hampir bisa menguasai lawan-lawannya. Ketika pemuda itu melihat kerepotan Tio Ciu In, hatinya menjadi tidak sabar lagi. Otomatis ilmu Thian-lui kong-ciangnya terungkap keluar tanpa disengajanya. Dan yang men jadi korban pertama adalah It Kwan sendiri!

   "Whuuuuuus! Dhuuaaar!"

   "Aduuuuuuh!." Ketua Hek-to-pai menjerit keras. Tubuhnya terlontar tinggi dan jatuh berdebam di halaman. Cong Su terbeliak ketakutan dan tanpa malu-malu lagi ia membuang ruyungnya tanda menyerah. Liu Wan tak mengacuhkan Cong Su. Dia cepat menghampiri It Kwan yang tak mampu bangkit lagi itu. Dengan kaki di atas punggung It Kwan, pemuda itu mengancam orang-orang Hek-to-pai yang mengepung Tio Ciu In.

   "Berhenti semua...! Kalau tak mau berhenti, tubuh ketua kalian akan kuinjak sampai hancur!" Puluhan anggota Hek-to-pai yang ada di pendapa itu segera mundur ketakutan. Mereka sama sekali tak mengerti bagaimana ketuanya yang lihai itu sampai dapat dikuasai oleh anak-anak muda itu. Tio Ciu In lalu menghampiri Liu Wan dan berdiri di samping pendekar muda itu.

   "Nah, orang tua... sekarang katakan yang sebenarnya kepada kami! Di manakah gadis berbaju merah yang datang ke sini kemarin itu? Ayoh, jawab! Kuhitung sampai lima, kalau kau tetap tak menjawab jangan salahkan aku menginjak punggungmu ini sampai patah! Satu... dua... tiga..."

   "Baik... baik, aku akan menjawabnya!" dengan suara kesakitan. It Kwan berkata.

   "Gadis itu... gadis itu telah pergi ke arah pantai! Kawanku, Tong Taisu, kalah bertaruh dengan dia, sehingga dia dilepaskan oleh temanku itu! Nah, lepaskan kakimu... aku telah mengatakan semuanya." Liu Wan memandang ke sekelilingnya, ke arah anak murid perguruan Hek-to-pai yang menunggu dengan cemas nasib ketuanya itu.

   "Hei benarkah apa yang dikatakan oleh ketua kalian?" pemuda itu berseru keras.

   "Ya... benar!" orang-orang itu menjawab hampir berbareng. Liu Wan mengangkat kakinya dan membiarkan ketua Hek-to-pai itu ditolong oleh anak buahnya.

   "Ciu-moi marilah kita pergi! Kita susul adikmu ke pantai!
(Lanjut ke Jilid 12)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 12
"Tapi apakah anak itu masih berada di sana? Apakah Ia tidak kembali lagi ke kota?"

   "Yaaa... Mungkin saja. Tapi lebih baik kita membuktikan dulu masih ada tidaknya adikmu di pantai. Setelah kita cari di pantai dia tidak ada, baru kita ke kota." Tak seorangpun para anggota Hek-to-pai yang bertebaran di halaman depan itu berani menghalangi Liu Wan dan Tio Ciu In ketika sepasang muda-mudi itu melewati mereka. Bahkan mereka segera menyingkir untuk memberi jalan kepada Liu Wan.

   "Heran...! Mengapa Kwe Tek Hun tidak kelihatan? Bukankah dia tadi menghadapi para penjaga pintu gerbang itu?" Liu Wan bergumam kaget ketika tidak melihat Kwe Tek Hun di pintu gerbang masuk.

   "Eh, Liu Twako... Lihat pohon besar yang tumbang itu! Bukankah tidak ada badai yang mengamuk ini tadi? Mengapa pohon itu roboh?"

   "Benar. Memang aneh. Marilah kita tanyakan kepada penjaga itu!" Para penjaga pintu gerbang itu menjadi pucat wajahnya ketika Liu Wan dan Tio Ciu ln datang mendekati mereka.

   "Hei! Katakan, kemana teman kami tadi? Cepat!" hardik Liu Wan keras.

   "Dia... dia pergi bersama seorang lelaki dan seorang wanita, setelah kedua orang itu mengalahkannya." salah seorang penjaga menjawab dengan suara gemetar. Bukan main kagetnya Liu Wan dan Tio Ciu In! Demikian gugupnya Liu Wan mendengar laporan itu sehingga secara tak sadar tangannya menyambar leher baju penjaga tersebut.

   "Apa katamu...? Katakan yang benar!" Tentu saja penjaga itu semakin menjadi takut.

   "Anu... anu... aku mengatakan yang... yang sebenarnya. Li-lihat pohon itu! Laki-laki yang mengaku dari Pondok Pelangi itu menumbangkannya dari jauh dengan... dengan pukulannya yang dahsyat, sehingga teman Taihiap mengaku kalah, dan... dan ikut pergi dengan mereka!" Liu Wan melepaskan cengkeramannya dan mendorong penjaga itu ke belakang, sehingga menabrak teman-temannya. Mereka jatuh terjengkang tumpang-tindih.

   "Sungguh gawat sekali, Ciu-moi. Orang yang bisa mengalahkan Kwe Tek Hun tentu bukan orang sembarangan. Rasanya akupun takkan bisa menolongnya. Mungkin hanya tokoh-tokoh setingkat Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Guruku, atau ayah Kwe Tek Hun sendiri yang bisa menghadapinya."

   "Orang itu... orang itu memang mengajak teman Taihiap untuk menemui ayahnya." penjaga yang didorong jatuh oleh Liu Wan tadi tiba-tiba berkata.

   "Heh...? Jadi mereka pergi ke Pulau Meng-to?" Liu Wan berseru kaget.

   "Ya-ya... Mereka tadi memang nyebut-nyebut Pulau Meng-to." penjaga itu berkata pula.

   "Aaaaah..." Liu Wan menarik napas panjang. Keningnya berkerut dan untuk beberapa waktu lamanya pemuda itu tak berkata-kata lagi. Tio Ciu In yang tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Liu Wan segera menarik lengannya.

   "Twako, apa yang kau pikirkan?" Sekali lagi pemuda itu menghela napas panjang, kemudian menggandeng tangan Tio Ciu In untuk dibawa keluar meninggalkan perkampungan itu. Liu Wan tetap melangkah ke arah pantai seperti rencananya semula. Sementara itu matahari mulai bergulir dari atas kepala. Panasnya benar-benar mulai menyengat, sehingga pipi Tio Ciu In yang ranum itu menjadi kemerah-merahan. Beberapa tetes keringat juga mulai mengalir membasahi kening gadis ayu itu. Akan tetapi tak sepatah katapun keluh-kesah yang keluar dari bibir tipis tersebut. Justru Liu Wan lah yang akhirnya merasa kasihan melihatnya.

   "Ah, panasnya bukan main! Kita berteduh dulu, Ciu-moi?"

   "Tidak usah, Twako. Panas sedikit tidak apa. Kita berjalan terus saja hingga ke perkampungan Ui-thian-cung. Aku cepat-cepat ingin bertemu Siau In..."

   "Tapi... tapi keringatmu mengalir membasahi pelipis dan lehermu. Pipimu... pipimu..." Liu Wan tak berani meneruskan kalimatnya. Matanya juga tidak berani memandang gadis itu lama-lama.

   "Pipiku... Kenapa, Twako?" Tio Ciu In mengerutkan alisnya yang lentik.

   "Ah, tidak... tidak apa-apa!" tiba-tiba Liu Wan menjawab cepat sambil menundukkan mukanya. Suaranya bergetar seperti orang yang sedang menahan beban batin yang amat berat.

   "Lho? kau ini bagaimana, sih? Seperti orang sedang kebingungan saja!" Tio Ciu In mendamprat kesal. Liu Wan cuma tersenyum kecut dan tak berani mengeluarkan suara apa-apa. Bahkan memandang, Tio Ciu lnpun ia tak berani. Rasanya seperti ada kesedihan di hatinya setiap kali memandang gadis ayu itu. Namun ia tak tahu, apa yang menyebabkan kesedihan itu. Sebaliknya gadis itu sama sekali tak tahu apa yang sedang bergejolak di dada teman seperjalanannya. Ia hanya menduga kalau Liu Wan sedang bingung memikirkan kepergian Kwe Tek Hun.

   "Siapa sebenarnya orang yang mengaku dari Pondok Pelangi itu? Mengapa Twako sangat mengkhawatirkan mereka?" akhirnya gadis itu bertanya perlahan. Liu Wan tersentak seperti orang yang terbangun dari lamunannya segera menggeleng tanda tak tahu.

   "Aku juga baru mendengarnya sekali ini. Tapi kalau benar apa yang dikatakan penjaga itu bahwa mereka dapat mengalahkan Kwe Tek Hun, rasanya kepandaian mereka benar-benar sangat tinggi.
Hanya yang tidak kumengerti, mengapa mereka membawa Kwe Tek Hun ke Pulau Meng-to. Apakah orang-orang dari Pondok Pelangi itu bermusuhan dengan ayah Kwe Tek Hun, sehingga mereka menyandera Kwe Tek Hun?" Pemuda itu kemudian berkata agak lancar Tio Ciu In memandang Liu Wan sekejap, lalu cepat-cepat beralih ke pucuk-pucuk pepohonan tinggi yang tumbuh berjejer-jejer di pinggir jalan. Tak terasa pikiran gadis itu juga ikut terbenam pula di dalam urusan yang tak dimengertinya itu.

   "Apakah kira-kira mereka itu mempunyai hubungan dengan gadis yang memusuhi kita di penginapan pagi tadi?" tiba-tiba Tio Ciu In bergumam.

   Liu Wan terkejut. Pemuda itu tidak berpikir sampai ke sana, tapi kemungkinan tersebut memang bisa saja terjadi. Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Angin terasa mulai berhembus dengan kencang, membawa butiran debu dan pasir kemana-mana. Mereka berdua telah melewati hamparan tambak garam yang berpetak-petak di kanan kiri jalan. Lautpun mulai tampak di kejauhan, dengan garis pantai yang rimbun oleh pepohonan perdu dan alang-alang tinggi. Mereka masih sempat menyaksikan bekas-bekas kesibukan luar biasa di perkampungan nelayan itu. Belasan orang perajurit penjaga keamanan masih tampak berada di sana. Bahkan di rumah Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung itu masih kelihatan seregu pasukan keamanan kota Hang-ciu sedang beristirahat.

   "Eh, tampaknya ada sesuatu yang baru saja terjadi di tempat ini, Lopek?" Liu Wan mencoba bertanya kepada se orang nelayan tua yang sedang menambal jalanya. Nelayan itu memandang Liu Wan dan Tio Ciu ln beberapa saat lamanya. Melihat wajah-wajah yang bersih dan halus dari kedua anak muda itu, ia kelihatan lesu.

   "Yaaah... ada pembunuhan besar-besaran di pantai sebelah sana! Para Pemenang "Perlombaan Mengangkat Arca" dan pengawal mereka dibantai orang di atas pasir itu..."

   "Ohhhh!" Liu Wan dan Tio Ciu ln yang sudah mendengar berita tersebut di markas Tiat-tung Kai-pang berdesah pendek.

   "Apakah sanak saudara Kongcu ikut menjadi korban pula?"

   "Oh, tidak... tidak!" Ciu In cepat-cepat menjawab.

   "Kedatangan kami berdua kemari memang mau mencari seseorang, tapi orang yang kami cari itu bukan salah seorang dari orang-orang yang terbunuh itu. Orang yang kami cari adalah seorang gadis muda berpakaian merah. Perawakannya biasa-biasa saja, tak begitu tinggi tapi juga tidak pendek, badannya agak kurus sedikit, rambutnya dikepang dua, Eh, apakah Lopek melihatnya...?" Sekali lagi nelayan tua itu menatap Ciu In dan Liu Wan beberapa saat lamanya, keningnya berkerut, seolah-olah merasa heran, kaget dan curiga.

   "Sungguh mengherankan...! Beberapa saat yang lalu juga ada yang bertanya kepadaku tentang gadis yang ciri-cirinya seperti itu..."

   "Apa...? Ada orang lain yang bertanya kepada lopek? Siapa dia? Bagaimana ciri-cirinya?" Ciu In mendesak dengan suara penuh harap, gadis itu teringat akan suhengnya lagi. Nelayan itu meletakkan jalanya, kemudian berdiri.

   "Dia seorang pemuda tampan, tingginya kira-kira sama dengan aku, kurus, rambutnya awut-awutan..."

   "Oooohhh..." Ciu In berdesah kecewa karena ciri-ciri yang disebutkan bukan ciri Tan Sin Lun suhengnya.

   "Nah... Itu dia orangnya!" tiba-tiba nelayan tua itu berseru, tangannya menuding ke pintu masuk perkambungan Ui-Thian-cung. Liu Wan dan Ciu In menatap ke depan, mereka melihat seorang pemuda kurus mengenakan pakaian hitam kedodoran berjalan lesu ke arah mereka, tampaknya pemuda itu baru saja menemui kepala kampung.

   Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tampaknya memang bukan suhengmu..." Liu Wan berdesah hambar seperti kehilangan semangat. Ciu In berpaling, sekejap, mata yang bulat indah itu menatap tajam penuh selidik, ada terungkap rasa heran dan tak mengerti pada pancaran sinar mata itu. Tapi mata indah itu segera berpaling kembali ketika Liu Wan balas memandangnya. Tampaknya pemuda kurus yang tidak lain adalah Chin Tong Sia atau Put-tong-sia itu memang bermaksud menemui nelayan tua tersebut. Tapi ia menjadi ragu-ragu melihat kehadiran Liu Wan dan Tio Ciu In, sehingga ia diam saja di depan nelayan itu. Liu Wan baru pertama kali ini melihat pemuda itu, tapi Tio Ciu In sudah melihatnya di atas panggung perlombaan kemarin. Tio Ciu In masih ingat sekali karena pemuda itu telah membuat keributan di atas panggung.

   "Nah, apakah Tuan hendak bertanya tentang gadis itu lagi?" sekonyong-konyong nelayan tua itu mendahului bertanya kepada Chin Tong Sia yang tampak ragu-ragu. Chin Tong Sia melirik ke arah Liu Wan dan Tio Ciu In, kemudian mengangguk lemah.

   "Apakah engkau tetap belum melihatnya juga?" tanyanya kaku. Nelayan tua itu menggelengkan kepalanya.

   "Belum. Mungkin gadis itu memang tidak pergi ke tempat ini. Tapi... eh, omong-omong... Kongcu dan Siocia ini juga menanyakan gadis itu. Apakah Tuan mengenal mereka?" Chin Tong Sia memandang Liu Wan dan Tio Ciu In sekejap, kemudian mengangkat pundaknya. Sambil beranjak pergi pemuda itu meninggalkan pesan kepada nelayan tersebut.

   "Paman, tolong beritahukan kepadaku kalau gadis yang kumaksudkan itu lewat di sini. Aku berada di tempat penambatan perahu."

   "Saudara, tunggu...!" Tio Ciu In yang menjadi penasaran itu tiba-tiba berseru memanggil. Chin Tong Sia berhenti melangkah, lalu dengan cepat membalikkan tubuhnya. Dan pada saat membalikkan badan itulah buntalan pakaian Tio Siu In yang dibawanya melorot turun dan jatuh dari balik bajunya yang kedodoran, namun dengan tangkas dan cepat pula bungkusan itu disambarnya serta dimasukkan kembali ke balik bajunya. Akan tetapi waktu yang hanya sekejap itu sudah cukup bagi Tio Ciu In. untuk mengenali bungkusan pakaian adiknya.

   "Nona memanggil saya?" Dengan tenang Chin Tong Sia menghadapi Tio Ciu In. Sebaliknya Tio Ciu In sendiri juga mencoba untuk bersikap hati-hati pula. Dia ingin mencari tahu perihal hubungan adiknya dengan pemuda itu, sehingga pemuda itu kelihatan berhasrat sekali menemui Siau In.

   "Maaf, kudengar dari Lopek ini saudara sedang mencari seorang gadis muda berbaju merah di tempat ini. Eeem... apakah yang saudara maksudkan itu bernama Tio Siau ln?" dengan amat sopan Tio Ciu In bertanya, membuat Liu Wan yang berdiri di sampingnya merasa kikuk melihatnya. Tak terduga wajah Chin Tong Sia menjadi merah. Pertanyaan itu membuatnya bingung dan tak tahu harus menjawab apa, karena dia memang belum tahu nama gadis yang dicarinya itu.

   "Ha-ha-haha-hihihi! Nona ayu, jangan kau tanyakan nama gadis itu kepadanya! Dia takkan tahu, karena dia memang belum sempat menanyakan nama pacarnya itu!" Tiba-tiba terdengar suara serak berkumandang tanpa kelihatan orangnya.

   "Suheng, mengapa kau suka benar mencampuri urusan orang? Apakah lukamu akibat mencampuri urusan orang-orang Hun tadi malam belum membuatmu jera?" Put-tong-sia menggeram marah. Matanya memandang nanar ke segala penjuru, mencari tempat persembunyian Put-pai-siu Hong-jin. Wajah Liu Wan menjadi amat tegang pula. Suara tanpa ujud itu membuat jantungnya berdegup lebih keras. Dan otomatis kakinya mendekati Tio Ciu In, siap untuk setiap saat melindungi gadis itu dari bokongan musuh. Yang justru menjadi ketakutan adalah nelayan tua itu. Mendengar suara tanpa ujud, padahal suara itu seakan-akan berada di dekatnya, membuat orang tua itu gemetar ketakutan. Setelah menengok kesana-kemari, ia segera mengambil langkah seribu, meninggalkan tumpukan jala yang belum selesai digulungnya.

   "Kurang ajar! Bikin ribut saja! Eh, maaf... aku akan mencari suhengku dulu..."? akhirnya Chin Tong Sia berkata kesal.

   "Tapi... saudara belum menjawab pertanyaanku." Tio Ciu In cepat memotong ucapan pemuda itu. Chin Tong Sia tertegun, kakinya tak jadi melangkah. Sekejap wajahnya menjadi merah lagi, namun segera hilang pula.

   "Bukankah suhengku tadi sudah menjawabnya? Maaf, aku pergi dulu..."

   "Tunggu...!" Tio Ciu In berseru seraya melompat ke depan menghadang langkah Chin Tong Sia. Pemuda kurus itu berdiri tegak, urat-uratnya menegang, sehingga Liu Wan yang amat mengkhawatirkan keselamatan Tio Ciu In cepat-cepat bergeser mendampingi gadis itu.

   "Apa yang Nona inginkan lagi?" Chin Tong Sia berdesis. Matanya menatap dingin, terutama kepada Liu Wan yang kelihatan selalu melindungi Tio Ciu In.

   "Saudara, kulihat kau tadi membawa bungkusan pakaian. Apakah bungkusan itu milik gadis yang kau cari itu?" Tio Ciu In bertanya, suaranya tetap tenang. Mata pemuda kurus itu tiba-tiba bergetar seolah-olah menahan marah.

   "Apa peduli Nona dengan bungkusan pakaian itu? Kuharap Nona jangan mencampuri urusan orang!" pemuda itu menggeram. Ternyata Tio Ciu ln juga tidak sabar pula.

   "Apa? Aku tidak boleh mencampuri urusan Saudara? Bagaimana aku tidak boleh mencampuri urusan saudara kalau bungkusan yang saudara bawa itu milik Adikku?" jeritnya marah.

   "Apa...?" Chin Tong Sia berseru kaget.

   "Bungkusan itu milik Adikku! Tahu? Sekarang, berikan bungkusan itu kepadaku...!" Tio Ciu In melangkah ke depan, tapi dengan cepat Chin Tong Sia bergeser ke belakang. Pemuda itu menatap Tio Ciu In dan Liu Wan dengan pandangan curiga.

   "Tidak! Aku tidak percaya kepadamu! Akan aku serahkan sendiri bungkusan ini kepada yang punya."

   "Kurang ajar! Serahkan kepadaku!" Tio Ciu In menjerit, kemudian menyerang Chin Tong Sia. Tapi dengan mudah pemuda kurus itu mengelakkannya. Hanya dengan mendoyongkan tubuhnya ke kiri, serangan Tio Ciu In gagal mengenai sasarannya. Bahkan ketika pemuda itu balas memukul dengan siku tangannya, Tio Ciu In menjadi gelagapan dibuatnya. Untunglah Liu Wan cepat membantu. Dari jauh Liu Wan melontarkan pukulan Thian-lui kong-ciangnya!

   "Whuuuuus!" Hembusan angin tajam menyambar siku Chin Tong Sia! Chin Tong Sia cepat menarik kembali serangannya, lalu berjumpalitan menghindari sambaran angin tajam yang amat berbahaya itu.

   "Thaaaaar!" Angin pukulan yang gagal mengenai sasaran itu menerjang gundukan pasir yang menghamburkannya kemana-mana.

   "Bagus...!" sekonyong-konyong Chin Tong Sia bersorak gembira, seakan-akan memperoleh mainan yang menyenangkan.

   "Ciu-moi, minggirlah... dia bukan tandinganmu!" Liu Wan berseru. Tio Ciu In menarik napas lega. Hampir saja rusuknya patah. Dia tak mengira kalau lawannya bisa bergerak begitu. Sementara itu Liu Wan telah berhadapan dengan Chin Tong Sia. Seperti dua ekor ayam aduan mereka saling menaksir kekuatan lawannya.

   "Maaf, Saudara... bolehkah aku tahu namamu?" Liu Wan menyapa lebih dulu.

   "Boleh. Aku tak pernah menyembunyikan namaku. Namaku Chin Tong Sia dari aliran Beng-kauw. Dan kau sendiri tentu datang dari utara, bukan? Aku belum tahu namamu, tapi aku kenal ilmu pukulanmu tadi. Thian-lui kong-ciang, bukan?" Jawaban itu benar-benar mengejutkan Liu Wan dan Tio Ciu In, sama sekali mereka tak menyangka kalau pemuda itu dari aliran Beng-kauw, salah satu aliran keagamaan terbesar di daerah selatan, bahkan hati Tio Ciu In menjadi berdebar-debar pula karena pada tahun-tahun terakhir ini di antara aliran Im-yang-kau di utara dan Beng-kauw di selatan seperti bersaing dalam pertumbuhannya.

   "Ah, kami sungguh tak menduga dapat berjumpa dengan seorang murid aliran Beng-kauw di pantai timur ini, aku memang dari utara dan ilmu pukulanku tadi kebetulan memang bernama Thian-lui kong-ciang..."

   "Hmmm, bagus... bagus! Apakah gadis ini adikmu?" Liu Wan mengangguk, hatinya mulai panas juga melihat kecongkakan lawannya.

   "Oooh, jadi... Kau juga ingin mengambil bungkusan ini?"

   "Tentu saja, karena seperti yang dikatakan adikku ini bungkusan yang kau bawa itu, adalah milik adik kami."

   "Baiklah, kau boleh membawanya, asal..." Chin Tong Sia tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang tampan itu tiba-tiba tersenyum dingin.

   "Asal apa?" Liu Wan mendesak, urat-uratnya menegang, siap untuk menggempur lawannya.

   "Asal kalian bisa mengalahkan aku! Kalau kalian tidak mampu, jangan harap aku akan memberikannya!"

   "Kurang ajar! Sombong sekali!" Liu Wan menggeram. Lalu tanpa mengulur-ulur waktu lagi Liu Wan menerjang Chin Tong Sia dengan kedua telapak tangannya. Hembusan angin yang amat kuat meluncur dari telapak tangan tersebut, bergulung-gulung, susul menyusul, bagiaman gempuran ombak menerjang dada Chin Tong Sia.

   "Wah, dahsyat sekali!" pemuda kurus itu berteriak kagum sekali sambil melompok tinggi ke udara. Melihat lawannya bisa meloloskan diri dari gempuran pukulan udara kosongnya, Liu Wan cepat-cepat mengejarnya dengan sabetan sisi tangannya. Pukulan itu diarahkan ke lutut Chin Tong Sia yang masih mengapung di udara. Dan sekali lagi dari sisi telapak tangan itu berdesis angin tajam yang menyambar lebih dahulu ke arah sasarannya. Liu Wan benar-benar tak memberi kesempatan kepada Chin Tong Sia untuk bernapas.

   "Wah, gila...! Gila! Hihihi-ha-haha! benar-benar pukulan bagus! Sute, kau takkan bisa mengelak lagi sekarang! Hoho-ho... tibalah ajalmu kini!" tiba-tiba suara tanpa ujud itu kembali bergema di tempat itu.

   "Suheng keparat! suheng bermuka jelek! kau kira aku tak bisa menghindar lagi? Huh, lihat...!" Entah disebabkan karena ejekan atau cemoohan suhengnya itu, atau entah karena kemarahannya yang memuncak akibat didesak terus menerus oleh Liu Wan, tapi yang jelas pemuda kurus itu mendadak bisa melakukan suatu gerakan yang aneh, sulit, namun hebat bukan main! Tubuhnya yang terapung di udara itu tampak menggeliat beberapa kali ke samping, sehingga tubuhnya yang kecil kurus itu bagaikan segumpal kapas yang turun-naik ditiup angin!

   "Wah, wah, wah, Setan Busuk! Setan Gila! kau benar-benar telah melakukan jurus Menerobos Lubang Pintu Jala dengan amat sempurna! Oh-ho-ho-ho, Sute... selamat! Selamat! Kini sudah ada dua orang yang mampu melakukan gerakan itu di Aliran Beng-kauw kita, kau dan aku... He-he-he-he!" suara tanpa ujud itu bersorak memuji gerakan Chin Tong Sia yang hebat. Begitu indah dan mentakjubkan jurus yang diperlihatkan oleh Chin Tong Sia itu, hingga untuk sesaat lamanya Liu Wan ikut tertegun di tempatnya. Liu Wan baru sadar kembali ketika melihat lawannya itu telah berdiri siap di depannya.

   "Bagus!" Liu Wan memuji sambil menerjang lawannya kembali. Kali ini dengan tusukan dua buah jari ke leher Chin Tong Sia. Akan tetapi Chin Tong Sia tak ingin jadi sasaran terus-menerus. Sambil menghindari tusukan jari Liu Wan, tang"n kanannya menyambar ke depan, menuju ke ulu-hati lawannya. Serangannya amat cepat dan kuat bagaikan patukan ular kobra!

   "Wah, jelek... jelek! Siku tanganmu masih terlalu melebar ke luar lagi! Sute, kau bisa celaka! Pertahananmu menjadi rapuh!" Put-pai-siu Hong-jin yang belum juga mau memperlihatkan dirinya itu mencela gerakan Chin Tong Sia. Entah benar atau kurang benar, namun serangan itu sendiri sudah cukup merepotkan Liu Wan. Pemuda sakti itu terpaksa membuang tubuhnya ke kanan sambil menjejakkan kakinya ke atas untuk menghantam Chin Tong Sia, kemudian berjumpalitan menjauhkan diri. Semua itu dilakukan Liu Wan karena dilihatnya kaki kiri Chin Tong Sia telah bersiap-siap menerjang tubuhnya.

   "Aduuuh... salah! Seharusnya kau tidak mengelak ke kanan! Seharusnya kau bergeser sedikit saja ke kiri, lalu menghajar ketiak Suteku yang- terbuka itu! Huh, pasti suteku itu mampus!" suara Put-pai-siu Hong-jin kembali terdengar, tapi kali ini mencela gerakan Liu Wan.

   Sementara itu Tio Ciu In menonton pertempuran itu dengan perasaan kebat-kebit. Matanya selalu gelisah melirik kesana-kemari, mencari orang yang bersuara tanpa kelihatan ujudnya itu. Namun sampai bosan ia mencarinya, orang itu tetap tak kelihatan juga. Padahal tempal itu adalah tempat yang lapang, sama sekali tiada pepohonan ataupun bangunan rumah. Yang ada cuma gubug kecil reyot tempat nelayan tua tadi berteduh duri teriknya matahari! Dan bangunan reyot itu tak mungkin untuk bersembunyi, karena selain tak ada dindingnya, atapnyapun hanya dari daun-daun ilalang pula yang sudah bolong di sana-sini. Seekor kucingpun sudah cukup untuk meruntuhkan atap tersebut bila bertengger di atasnya.

   Demikianlah dua jago muda itu segera bertempur pula dengan sengitnya. Masing-masing memperlihatkan kehebatan ilmunya. Liu Wan bersilat dengan gerakan-gerakan cepat dan bertenaga, sehingga setiap gerakannya menimbulkan gesekan atau pusaran angin yang semakin lama semakin bertambah besar. Sedangkan lawannya yang berperawakan kecil kurus itu bersilat dengan amat lincah pula. Tubuhnya yang ringan itu bagaikan seekor tupai yang gesit dan lincah, berloncatan kesana-kemari menghindari badai serangan yang dilancarkan Liu Wan. Pertempuran mereka benar-benar ramai dan mengasyikkan untuk ditonton. Masing-masing tampaknya masih berusaha menjajagi kemampuan dan kekuatan lawannya, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati dan tidak segera mengeluarkan ilmu simpanan mereka.

   Liu Wan masih tetap bersilat dengan gerakan-gerakan cepat penuh tenaga, sementara Chin Tong Sia melayaninya dengan gerakan-gerakan yang manis, gesit serta lincah bukan main. Tak terasa lima puluh jurus telah berlalu. Gesekan dan pusaran angin yang ditimbulkan oleh ilmu silat Liu Wan sudah demikian kuatnya sehingga debu dan pasir di mana mereka berdua berkelahi mulai terangkat dan berhamburan kemana-mana. Bahkan gubug reyot tadi sudah mulai bergoyang-goyang mau roboh pula. Tio Ciu In terpaksa mundur beberapa langkah menjauhi arena yang sekarang menjadi gelap oleh debu. Otomatis pertempuran yang hebat itu tak bisa ditonton lagi. Tubuh Liu Wan maupun Chin Tong Sia hanya tampak samar-samar saja dari luar.

   "Wah-wah-wah, ilmu silat apa ini...? Kasar! Kasar sekali, seperti kerbau berlaga saja! Tak sedap dipandang! Huuuh, sebal mendingan tidur." Suara Put-pai-siu Hong-jin yang serak itu terdengar kembali namun nadanya terasa sangat kesal dan kecewa.

   Pertempuran tetap berjalan terus, bahkan semakin lama arena yang mereka pergunakan semakin lebar dan luas. Tampaknya mereka mulai meningkatkan kemampuan mereka masing-masing. Malahan Liu Wan kelihatan sudah mulai menyelipkan pukulan-pukulan Thian-lui kong-ciangnya, karena di dalam pekatnya debu. yang bertaburan itu sesekali terdengar letupan-letupan kecil. Akhirnya gubug reyot itu tak bisa ber tahan lagi. Tiang-tiangnya yang sudah rapuh itu roboh berpatahan, sementara atapnya yang rombeng terhempas entah ke mana. Dan Tio Ciu In sendiri terpaksa semakin menjauhi arena. Hatinya masih merasa kebat-kebit dan cemas. Takut kalau Liu Wan kalah, padahal pihak lawan masih ada satu orang lagi yang belum memperlihatkan diri, seorang lawan yang tampaknya justru lebih tangguh daripada pemuda kurus itu.

   Sebenarnyalah, sekali ini Liu Wan memang benar-benar menghadapi lawan yang sangat berat. Chin Tong Sia memiliki kelincahan dan kegesitan yang luar biasa. Tubuhnya yang kurus kerempeng itu melejit dan berjumpalitan kesana-kemari laksana tupai yang bermain akrobat di atas pohon. Gerakan tubuhnya seringkali sangat aneh, muskil dan sulit diduga, bahkan kadangkala seperti tak masuk di akal, sehingga lama kelamaan Liu Wan menjadi bingung juga menghadapinya. Akhirnya terpaksa juga Liu Wan mengeluarkan ilmu simpanannya, Thian-lui kong-ciang. Setahap demi setahap gerakannya diperlamban, sehingga prahara atau angin ribut yang ditimbulkan, oleh ilmu silatnya tadi juga berangsur-angsur menjadi reda pula.

   Angin Prahara itu bagaikan terhisap kembali ke dalam telapak tangannya, membuat kedua buah telapak tangan itu seolah-olah menggenggam kekuatan angin yang sangat dahsyat. Dan memang itulah inti kekuatan Thian-lui kong-ciang atau Telapak Tangan Halilintar! Sementara itu angin laut bertiup dengan kencang. Sehingga kumpulan debu dan pasir yang menyelimuti arena itu tersapu bersih dalam sekejap. Sekarang dua jago yang sedang berlaga itu kelihatan lagi. Keduanya masih bertempur dengan gigihnya dan masing-masing telah mulai memperlihatkan ilmu andalannya. Thian-lui kong-ciang memang sebuah ilmu yang sangat dahsyat. Dengan mengerahkan ilmu itu kaki dan tangan Liu Wan seolah-olah berubah menjadi besi yang beratnya ribuan kati. Setiap hentakan kaki atau tangannya akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat tiada terkira.

   Bahkan angin pukulannya saja sudah mampu melumatkan semua sasaran yang ada. Setelah Liu Wan melancarkan serangan dengan Thian-lui kong-ciang, Chin Tong Sia memang mengalami kesulitan. Gerakan-gerakan Liu Wan yang ketat dan penuh tenaga itu seakan-akan menciptakan dinding-dinding pertahanan yang sulit ditembus. Bahkan dinding-dinding yang tercipta itu semakin lama terasa semakin banyak sehingga ruang geraknya menjadi ciut. Otomatis ia tak dapat mengembangkan ciri-ciri ilmu silat Aliran Beng-kauw, yaitu kelincahan dan kegesitan tubuh. Maka tiada jalan lain lagi bagi Chin Tong Sia selain mengeluarkan ilmu puncaknya, yaitu Chuo-mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), andalan Aliran Beng-kauw, yang salah satu jurusnya, Menerobos Lubang Pintu Jala, telah diperagakan, oleh Chin Tong Sia tadi.

   Dan sesuai dengan adat kebiasaan orang dusun, yang selalu menabuh bunyi-bunyian sambil berdoa atau bernyanyi di kala mengadakan upacara adat menangkap setan, maka di setiap menjalankan ilmu Chuo-mo-ciangpun para anggaota Aliran Beng-kauw tentu "bocor" pula mulutnya. Dan karena sebagian besar ilmu silat Chin Tong Sia itu hasil didikan suhengnya, maka "Kebocoran" Chin Tong Siapun sebagian besar juga mewarisi "Keceriwisan" Put-pai-siu Hong-jin! Sambil menyerang atau mengelakkan pukulan Li Wan, Chin Tong Sia bernyanyi. Suaranya kaku dan sumbang, sama sekali tak berbakat menjadi penyanyi. Syair-syair lagunyapun hanya ngawur dan sekenanya saja.

   "Ada ular di dalam lubang...
Ularnya satu lubangnya satu!
Ularnya bingung lobangnya buntu!
Maju mundur sampai mati...!"

   "Hohohoo-hahaha...! Sute, ularmu goblok benar! Masakan hanya karena lubang buntu saja sudah mati, hohoho-hahahaa! Goblok... goblok!!!" Tak terduga suara Put-pai-siu Hong-jin muncul lagi.

   "Suheng, diam kau...! Kalau berani, keluarlah! Jangan bersembunyi!" Chin Tong Sia tersinggung dan marah-marah.

   "Oho, Sute... sute! Celaka benar ularmu! Ular goblog saja dipelihara, hohoho! Mengapa engkau tidak mencontoh ularku? Ularku pintar dan cerdik. Dengarlah!"

   Ada ular melibat lubang...!
Dilihat dulu lubangnya buntu!
Ular berbalik ekornya maju!
Di Lubang buntu ular berlagu...!

   "Suheng keparat! suheng bangsat! Awas, kuhajar kau nanti...!" Bukan main dongkolnya Liu Wan, lawannya yang kurus kerempeng itu bertempur sambil bergurau dengan suhengnya. Celakanya, tampaknya saja bergurau tapi sambil bergurau ternyata Chin Tong Sia menyerang terus dengan jurus-jurusnya yang aneh.

   Demikian anehnya gerakan yang dilakukan Chin Tong Sia, sehingga dia menjadi bingung dan serba salah menghadapinya. Suatu saat ketika Liu Wan menghajar pelipis Chin Tong Sia, pemuda itu mengelak dengan gaya seperti orang kesurupan setan. Badannya limbung, kemudian terjerembab ke depan seolah-olah hendak menimpa tubuh Liu Wan. Tentu saja Liu Wan menjadi curiga, sehingga otomatis bergeser ke samping menghindarinya. Tak terduga tubuh Chin Tong Sia itu benar-benar jatuh ke tanah, sehingga Liu Wan untuk sedetik menjadi heran. Namun waktu yang cuma sedetik itu ternyata telah membawa celaka. Ketika tubuh Chin Tong Sia itu hampir menyentuh tanah, tiba-tiba tangan kanannya menyambar. Cuma sedetik, sehingga Liu Wan benar-benar tak mempunyai kesempatan lagi. Tahu-tahu pergelangan kakinya telah dicengkeram Chin Tong Sia!

   

Memburu Iblis Eps 25 Memburu Iblis Eps 33 Memburu Iblis Eps 9

Cari Blog Ini