Pendekar Penyebar Maut 30
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 30
"Nona, tolong kendalikan kain layar kita itu! Dia jangan boleh menerima hembusan angin yang terlalu kuat, juga jangan sampai kehilangan angin! Dalam keadaan seperti ini kita hanya dapat mengandalkan tiupan angin saja! Untunglah kali ini angin menolong kita...! Biarlah Lohu yang mengendalikan kemudi perahu ini agar tidak terperosok ke dalam pusaran air yang berbahaya!"
Souw Lian Cu belum begitu mahir mengendalikan perahu layer. Meskipun demikian karena dia pernah tinggal lama di Pulau Meng-to, maka sedikit banyak ia tahu pula cara mengemudikannya. Gadis-gadis anak buah Keh-sim Siauwhiap sering bercerita kepadanya tentang cara-cara mengemudikan kain layar. Meskipun perlahan, perahu kecil tersebut maju pula ke depan. Dengan mahir Pek-I Liong-ong mengemudikannya lewat tempat-tempat yang aman. Jika pada suatu saat perahu itu terseret oleh pusaran arus air, dengan cepat ketua Aliran Mo-kauw yang lihai itu mengeluarkan kesaktiannya. Dengan pukulan jarak jauhnya yang dahsyat, pewaris ilmu perguruan mendiang Bu-eng Sin-yok-ong itu mampu menahan arus air dan memindahkan posisi perahu kecil tersebut dengan cepat.
Hembusan angin pukulannya yang mampu menyibak air itu benar-benar sangat menggiriskan! Souw Lian Cu yang juga bukan gadis sembarangan itu terbelalak pula menyaksikannya. Demikianlah, akhirnya perahu mereka lolos pula dari tempat berbahaya tersebut dan segera meluncur dalam arus sungai Huang-ho yang deras. Dan pelayaran mereka kali ini berbeda sekali dengan pelayaran mereka tadi. Kalau di sungai kecil tadi mereka dapat berperahu dengan tenang dan santai, kini perahu mereka terpaksa harus menari diantara goncangan-goncangan gelombang besar Sungai Huang-ho! Perahu mereka yang kecil itu seolah hanya merupakan setangkai daun kering yang hanyut dalam ganasnya gelombang air Sungai Huang-ho yang terkenal sangat berbahaya. Beberapa buah perahu besar dan kecil tampak terayun ayun pula di sekitar perahu Pek-I Liong-ong dan Souw Lian Cu.
Kebanyakan dari mereka adalah perahu-perahu dagang yang mengangkut hasil bumi dari daerah untuk dibawa kekota-kota yang membutuhkan. Dan diantaranya juga ada perahu-perahu nelayan yang berusaha mencari ikan atau membawa hasil mata pencaharian mereka itu ke kota. Tetapi selain itu ada pula perahu-perahu yang memang khusus hanya untuk berpesiar saja dari kota yang satu ke kota yang lain. Memang, biarpun gelombangnya amat ganas, tetapi sungai Huang-ho memang merupakan arus lalu lintas air yang cukup padat pula. Hampir setiap saat tentu terlihat berlalunya perahu besar atau kecil yang lewat. Meskipun demikian, apa yang dilihat oleh Pek-I Liong-ong sore ini benar-benar lain dari biasanya.
"Heran benar...! Kenapa sore-sore begini banyak sekali perahu-perahu yang meninggalkan tempat berlabuhnya?" ketua aliran Mo-kauw itu terheran-heran. Tentu saja Souw Lian Cu yang belum pernah berlayar di sungai Huang-ho itu menjadi heran pula mendengar kata-kata Pek-I Liong-ong itu. Gadis itu segera menghubungkan peristiwa itu dengan adanya pertemuan di Pantai Karang tengah malam nanti.
"Apakah biasanya tidak seperti ini, Lo-Cianpwe?" Pek-i Liong-ong menggelengkan kepalanya.
"Memang pada hari-hari panen hasil bumi atau pada hari-hari besar, sungai ini ramai juga. Tetapi pada hari-hari biasa seperti ini...memang sungguh mengherankan sekali!"
"Jangan-jangan mereka juga akan pergi ke Pantai Karang...??"
"Ah...masa berita itu begitu cepatnya beredar? Kukira bukan itu penyebabnya!" Pek-i Liong-ong menyanggah.
"Tapi...ooh!" tiba-tiba Souw Lian Cu tidak jadi meneruskan perkataannya. Matanya yang bulat bening itu memandang ke samping dengan terbelalak, lalu kepalanya cepat-cepat menyuruk di balik kain layar sehingga terlindung dari pandang mata orang-orang yang sedang berada di atas perahu besar yang saat itu kebetulan lewat. Pek-I Liong-ong mengernyitkan alis sambil melirik ke perahu besar yang saat itu sedang melewati perahu mereka. Dan ketua aliran Mo-kauw itu ikut terperanjat pula. Dilihatnya seorang lelaki gemuk berkepala gundul sedang asyik makan daging ayam diatas geladak. Dan ketua aliran Mo-kauw itu tidak akan lupa pada wajah bulat yang agak kehijau-hijauan tersebut!
"Ceng-ya-kang...!" Desahnya sambil membalikkan badan agar tidak terlihat oleh tokoh kelima dari Ban-kwi-to itu. Perahu besar itu melaju dengan cepat meninggalkan gelombang air yang menggoncangkan perahu-perahu kecil di sekitar tempat itu, termasuk juga perahu yang dipakai Souw Lian Cu dan Pek-I Liong-ong.
"Mengapa iblis gundul itu masih berada disini? Seharusnya dia sudah berada di Pantai Karang sekarang..." Souw Lian Cu bergumam dengan keras setelah perahu besar itu jauh meninggalkan mereka.
"Sebab ia itu tentu segera berangkat dengan naik kapal setelah menemui Hong-lui-kun Yap Kiong Lee di bekas warung bubur Hao Chi pagi tadi." Dan ketika Souw Lian Cu melihat Pek-i Liong-ong tampak kebingungan mendengar perkataannya, dia segera bercerita serba sedikit tentang peristiwa hebat yang terjadi di warung Hao Chi kemarin. Dan ketua Aliran Mo-kauw itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya pula begitu tahu masalahnya.
"Memang, seharusnya orang itu sudah tiba di sana saat ini..." orang tua itu menyahut dengan tenang. Souw Lian Cu menatap tokoh puncak Aliran Mo-kauw itu dengan tajam. Diperlihatkannya wajah orang tua yang tampak damai dan welas asih itu beberapa saat lamanya.
"Lo-Cianpwe, kau tadi berkata bahwa kepergian Lo-Cianpwe ke Pantai Karang itu hanya untuk menemui seseorang. Lalu apakah orang yang Lo-Cianpwe maksudkan itu iblis gundul tersebut?" Pek-i Liong-ong menoleh dengan cepat.
"Bukan! Orang yang akan kutemui itu adalah Hek-eng-cu, pemimpin mereka. Kasak-kusuk yang dapat kusadap ketika mereka berunding di atas perahu itu menunjukkan bahwa orang berkerudung itu sedikit banyak mempunyai hubungan dalam perselisihan antar aliran ini. Oleh karena itu lohu akan bertanya kepadanya..."
Gelombang air terasa menghantam perahu mereka lagi ketika dari arah belakang meluncur dengan cepat sebuah perahu besar yang tampak kuat dan kokoh. Perahu itu didayung oleh sepuluh orang laki-laki yang mempunyai perawakan tegap-tegap. Dan dilihat dari cara mereka yang kaku dalam menggerakkan dayung, tapi sebaliknya tenaga yang mereka keluarkan ternyata bukan main dahsyatnya dapat diduga bahwa sepuluh orang itu bukan tukang dayung biasa. Mereka tentulah sekelompok jago silat yang sedang menyamar. Sementara di atas anjungan perahu yang besar itu tampak berdiri seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan.
"Lohu seperti pernah melihat pemuda itu, tapi lupa siapa dia..." Pek-i Liong-ong memejamkan matanya untuk mengingat-ingat wajah pemuda tampan berpakaian sasterawan tadi.
"Lo-Cianpwe, siauwte rasanya juga pernah melihatnya...tapi siauwte lupa juga sekarang," Souw Lian Cu ikut memeras ingatannya pula. Tapi berjam-jam keduanya mengingat-ingat, tetap juga tak bisa mengingatnya. Sementara itu hari telah mulai menjadi gelap. Matahari telah terbenam dan di angkasa mulai terlihat bintang-bintang yang satu persatu menampakkan sinarnya. Udara yang berhembus terasa berubah menjadi dingin pula. Perahu-perahu yang bertebaran di atas sungai itu mulai memasang lampu penerangan pula, sehingga di antara gemerlapnya air yang berkilau-kilau ditimpa sinar bintang, lampu-lampu tersebut bagaikan kunang-kunang yang bersukaria di atas permukaan air.
"Nona Souw, tolong kau nyalakan lampu kita di atas pintu bilik perahu itu! Batu apinya berada di dalam.." Pek-i Liong-ong berseru.
"Sebentar, Lo-Cianpwe, siauwte akan...ouwhh!"
"Brraak! Grobyagggg!" Tiba-tiba perahu kecil mereka ditabrak oleh perahu lain dengan kuatnya dari belakang. Souw Lian Cu terpelanting. Begitu pula dengan Pek-i Liong-ong yang pada saat itu berdiri di ujung perahu! Di tempat tersebut sentakannya justru berlipat ganda, sehingga Ketua Aliran Mo-kauw itu terlempar ke udara. Perahu yang dinaiki oleh Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong pecah menjadi beberapa bagian, kemudian tenggelam. Sedangkan perahu yang menabrak mereka terpental ke atas, kemudian terbalik. Sementara penumpangnya yang ternyata hanya seorang saja tercebur ke dalam sungai! Untunglah bagi Souw Lian Cu, meskipun gadis itu sangat kaget sehingga tubuhnya terpelanting keluar perahu, tapi ia tetap tidak kehilangan ketangkasannya.
Dengan enteng tubuh yang ramping itu berjumpalitan beberapa kali di udara untuk menahan daya luncurnya, agar tidak lekas-lekas terbanting ke dalam gelombang air yang ganas itu. Sementara dalam waktu yang sangat singkat dan amat terbatas itu Souw Lian Cu membuka matanya lebar-lebar untuk mencari alas berpijak, agar tubuhnya tidak segera tertelan oleh arus air yang menakutkan itu. Diantara pekatnya malam gadis itu melihat tiang layar perahunya yang patah ketika terjadi tabrakan tadi. Potongan kayu besar itu tampak timbul tenggelam di ataspermukaan air. Dan...di atas potongan kayu itulah Souw Lian Cu mendaratkan sepasang kakinya! Sedangkan apa yang diakukan oleh Pek-i Liong-ong ketika terlempar dari tempatnya benar-benar membuat takjub bagi siapa saja yang mungkin dapat menyaksikannya.
Seperti halnya ketika dia tadi mengemudikan perahu, kini dalam keadaan kritis orang tua itu terlebih hebat lagi dalam menunjukkan kesaktiannya! Dengan meminjam tenaga sentakan yang melontarkannya dari ujung perahu, Pek-i Liong-ong melenting ke atas setinggi-tingginya, sehingga tubuhnya yang jangkung itu melayang enam atau tujuh meter dari permukaan air. Lalu dengan mengembangkan baju luarnya yang lebar orang tua itu secara mentakjubkan turun perlahan-lahan seperti seekor capung terbang yang bermain di atas permukaan air. Dan di saat tubuhnya melayang turun itulah Pek-i Liong-ong mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Kedua belah telapak tangannya tampak menghantam ke depan dengan jari-jari terbuka dan angin pukulannya menderu dengan dahsyatnya!
"Brraaaak! Byuuuur!" Angin pukulan yang dilontarkan oleh Pek-i Liong-ong menerjang perahu lawan yang tadi terbalik, sehingga perahu sepanjang empat meter itu terangkat ke atas bagaikan disentak oleh sebuah tenaga raksasa yang tak kelihatan. Dan di lain saat perahu tersebut telah terbanting lagi di atas permukaan air dalam keadaan terlentang seperti sediakala! Sehingga ketika kedua kaki orang tua itu turun ke bawah, tubuh tersebut tidak jadi terjun ke dalam air, tapi mendarat di atas perahu lawan. Dan begitu dirinya sudah dapat membebaskan diri dari malapetaka, Pek-i Liong-ong segera menolong Souw Lian Cu yang masih terkatung-katung pada tiang layar itu. Selanjutnya mereka berdua segera bergotong-royong membuang genangan air yang berada di dalam perahu tersebut.
"Huh! Siapa yang mengemudikan perahu ini? Enak saja menabrak perahu orang!" Souw Lian Cu menggerutu penasaran. Hampir saja gadis yang tak pandai berenang itu mengorbankan nyawanya gara-gara perahu sial itu.
"Kemana gerangan penumpangnya...?"
"Dia terlempar keluar dan tertelan oleh arus sungai yang ganas!" Pek-I Liong-ong menjawab dengan hati mendongkol pula. Orang tua itu juga hampir membuang nyawa gara-gara perahu celaka itu.
"Oouuughhh...! Brrrrrr...!" Tiba-tiba muncul sesosok tubuh di samping perahu mereka, membuat Souw Lian Cu dan Pek-I Liong-ong terkejut setengah mati! belum juga hilang kekagetan mereka, sesosok tubuh tersebut telah menggapai tepian perahu dan meloncat ke dalam perahu, persis di depan mereka! Kemudian sambil mengibas-ibaskan rambutnya yang basah, orang yang baru keluar dari dalam air tersebut berkata kearah Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong. Suaranya amat lantang dan nyaring!
"Tolong kalian kayuh perahu ini secepatnya...! Nanti kalian ayah beranak ini akan kuberi hadiah satu tail emas! Cepat...!" Sejenak Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong justru hanya berdiri diam saja tak bersuara. Keduanya cuma saling memandang saja satu sama lain. Selain hati mereka masih terkejut oleh kemunculan orang itu yang tiba-tiba, mereka juga sibuk memikirkan, apa maksud orang itu menyuruh mereka untuk berangkat dengan tergesa-gesa?
Malah berani memberi bayaran tinggi pula? Siapakah sebenarnya orang itu? Tapi kenapa naik perahu kecil dan tanpa lampu pula? Ataukah dia orang pelarian dan merupakan buruan kerajaan? Tapi kenapa dia mempunyai demikian banyak uang? Masih banyak pertanyaan yang bergulung-gulung di dalam hati Pek-I Liong-ong dan Souw Lian Cu tentang orang yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka itu. Baru setelah Pek-I Liong-ong dan Souw Lian Cu ingat, bahwa kemungkinan besar orang itu adalah seorang peminat harta karun yang sedang mengejar waktu pula, maka mereka menjadi waspada. Agaknya orang itu segera menyadari pula akan keragu-raguan Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong. Maka dengan nada yang lebih sopan dan pelan, ia menjura kepada Pek-I Liongong yang ia anggap ayah dari Souw Lian Cu.
"Maaf, aku tadi telah menabrak perahu orang sehingga kini aku menjadi bingung dan gugup. Sekarang perahuku telah hilang. Mohon sudilah kalian menolongku untuk membawaku ke laut dengan segera! Aku mempunyai kepentingan yang sangat mendesak di sana. Kalau kalian mau, aku akan memberi imbalan satu tail emas. Bagaimana"? Tolonglah"" ratap orang itu.
Jilid 22
Sekali lagi Souw Lian Cu menatap Pek-i Liong-ong, karena sebagai orang yang hanya ikut menumpang perahu, gadis itu merasa tak berhak untuk memutuskannya. Sementara bagi Pek-i Liong-ong sendiri masalah itu ternyata juga tidak terlalu dipikirkan benar. Mereka toh juga mau pergi ke pantai, apalagi perahu itu sebenarnya milik orang itu pula. Maka ketua Aliran Mo-kauw itu juga balas menjura.
"Ahh...perahu kamilah yang tuan tabrak tadi. Oleh karena perahu kami tenggelam, maka kami lalu memakai perahu tuan ini sebagai ganti. Maka tak usah sungkan-sungkan lagi, marilah sekarang kita bersama-sama ke pantai...! Kebetulan kami ayah beranak ini memang mau pergi ke sana pula." orang tua itu berkata halus.
"Terima kasih...terima kasih!" orang yang basah kuyup itu membungkukkan tubuhnya berulang-ulang.
"Akulah yang bersalah karena menabrak perahu tuan, maka silahkan mengambil perahuku ini kalau tuan suka...!" Begitulah, akhirnya Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong mendapatkan seorang kawan lagi dalam perjalanan mereka. Seorang kawan yang bersikap aneh dan mencurigakan! Souw Lian Cu diam-diam memperhatikan orang itu dengan seksama, dari rambutnya yang digelung ke atas sampai pada dandanannya yang sederhana seperti seorang pengembara itu.
Orang itu berusia kira-kira tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Tubuhnya hanya sedang-sedang saja, tapi tampak tegap dan cekatan, seperti layaknya seorang prajurit. Hanya yang amat mengherankan adalah gerak-geriknya yang kaku dan tegang seolah-olah sedang menghadapi bahaya besar. Berkali-kali orang itu menoleh ke belakang atau menghela napas panjang, seakan-akan tidak sabar melihat jalannya perahu yang sangat lambat tersebut. Padahal perahu itu meluncur dengan cepat sekali ke depan mendahului yang Iain-lainnya, sehingga kalau dipikirkan, keadaan perahu tersebut sudah amat berbahaya sebenarnya! Selain sewaktu-waktu dapat terbalik perahu yang berlayar di sungai saat itupun bukan main banyaknya.
Apalagi bila diingat bahwa perahu itu melaju tanpa penerangan sama sekali! Untunglah di langit tak banyak terlihat gumpalan awan, sehingga sinar bintang yang beribu-ribu jumlahnya itu dapat sedikit menyibak tirai kegelapan malam. Meskipun tak jarang mereka terpaksa harus menerima umpatan dan makian orang karena perahu mereka hampir menghantam atau menyenggol perahu lain. Untunglah Pek-i Liong-ong benar-benar seorang juru mudi yang hebat dan pandai! Berkali-kali ketua Aliran Mo-kauw itu dapat menyelamatkan perahu mereka dengan amat mengagumkan, sehingga di mata orang yang melihatnya seolah-olah orang tua itu memang benar-benar seorang tukang perahu atau seorang pelaut yang amat berpengalaman! Padahal tidak demikian sebenarnya...!
Bagi yang memperhatikan tentu akan segera tahu bahwa tokoh puncak Aliran Mo-kauw itu Iebih banyak mempergunakan kesaktiannya dari pada menggunakan keahliannya dalam mengemudikan perahu. Hanya saja cara yang dipergunakan oleh tokoh sakti itu begitu halusnya sehingga jarang orang yang bisa menangkapnya, apalagi kegelapan malam itu amat membantu pula! Dan ternyata orang yang menumpang perahu mereka itu amat kagum pula melihat ketangkasan Pek-i Liong-ong! Orang itu juga menyangka bahwa Pek-i Liong-ong dan Souw Lian Cu memang benar-benar keluarga pelaut atau tukang perahu yang sudah sangat berpengalaman sekali.
"Ah, kalian ayah beranak ini memang betul-betul jagoan perahu yang hebat!" serunya gembira.
"Marilah! Kita tentu akan tiba di pantai tidak lama lagi! Dan aku...ooh!" Tiba-tiba dengan gugup orang itu mengawasi perahu besar di hadapan mereka. Perahu besar yang dinaiki oleh pemuda sasterawan dan sepuluh orang berperawakan tegap tangkas tadi!
"Eh, jangan terlalu dekat bila mendahului perahu itu! Menyisihlah agak jauh!" orang itu berseru kepada Pek-i Liong-ong dengan tegang. Tentu saja Pek-i Liong-ong dan Souw Lian Cu menjadi heran sekali. Tapi ketua Aliran Mo-kauw itu mengabulkan pula permintaan tersebut. Selain tidak ingin ribut-ribut dengan penumpang mereka, orang tua itu juga tidak ingin perjalanan mereka yang terbatas waktunya tersebut mendapat hambatan di jalan. Maka dengan tangkas Pek-i Liong-ong membelokkan ujung perahunya ke samping, sehingga perahu tersebut lewat pinggir sungai, jauh dari perahu-perahu itu.
Tetapi di jalur tepi sungai ternyata lebih padat lalu lintasnya. Di situ banyak perahu-perahu besar kecil, maupun sampan-sampan nelayan, yang lalu lalang menuju ke tempat tujuan mereka masing-masing! Memang arus di bagian tepi tidak begitu besar dan berbahaya seperti halnya di tengah sungai. Oleh karena itu untuk berjalan cepat di daerah yang padat itu terpaksa Pek-i Liong ong harus semakin meningkatkan "kebolehannya" dalam mengemudikan perahunya. Seperti seekor ular air yang berenang di antara daun-daun ilalang yang mencuat di permukaan air, perahu tersebut meluncur berlenggak-lenggok di antara perahu perahu lainnya. Sepandai-pandai tupai melompat sekali waktu akan jatuh pula.
Begitu juga halnya dengan Pek-i Liong ong! Meskipun sudah mengerahkan segala kehebatannya dalam mengemudikan perahu, ternyata dalam kepadatan lalu-lintas di bagian pinggir sungai itu tetap saja ia menyerempet sebuah sampan kecil yang dikemudikan oleh seorang nelayan hingga terbalik. Hampir saja Souw Lian Cu menjerit. Begitu pula dengan penumpang mereka itu, Pek-i Liong-ong secara reflek malah sudah bergerak mau menolong nelayan yang terjerumus ke dalam air itu. Tapi semuanya segera mengurungkan niat masing-masing! Mereka justru ternganga melihat reaksi nelayan yang terjungkal dari sampannya tersebut. Bagaikan seekor cengkerik meloncat, nelayan itu melenting tinggi ke atas dan berputar-putar sebelum akhirnya hinggap dengan enteng di atas perahu mereka.
Sedikitpun tidak ada goncangan ketika kaki orang itu mendarat di atas perahu mereka yang melaju pesat! Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong sampai melongo saking kagetnya meskipun dasar dari kekagetan mereka masing-masing sangat berbeda. Souw Lian Cu merasa kaget karena sekali lagi dia menyaksikan sebuah pertunjukan ginkang yang maha hebat dari seorang nelayan di Sungai Huang-ho sehingga gadis yang juga tumbuh dari keluarga sakti menjadi heran pula dibuatnya. Gadis itu benar-benar tak habis mengerti mengapa di dunia ini ternyata banyak orang yang mempunyai ilmu mengentengkan tubuh yang sangat hebat? Pertama kali ia melihat kedahsyatan ginkang Keh-sim Siauwhiap. Kemudian yang kedua kali ialah tokoh aneh yang bergelar Hek-eng-cu.
Selanjutnya berturut-turut ia menyaksikan kehebatan ginkang Put chien-kang Cinjin dan Pek-i Liongong. Sekarang diatas sungai ini lagi-lagi ia melihat nelayan melompat berputar-putar tinggi di udara seakan-akan seekor burung terbang saja! Sedangkan Pek-i Liong-ong merasa kaget karena tokoh puncak Aliran Mo-kauw itu segera mengenal gaya loncatan dari nelayan tersebut. Gaya meloncat seperti yang dilakukan oleh nelayan itu amat sangat dikenalnya karena gaya tersebut adalah ciri gaya Pek-in Ginkang warisan Bu-eng Sin-yok-ong gurunya! Tapi Pek-i Liong-ong tidak segera dapat mengenali siapa adanya nelayan yang mahir Pek-in Gin kang itu, karena nelayan yang berdiri beberapa langkah di depannya itu menutupi kepalanya dengan caping lebar sehingga sinar bintang tak dapat mencapai wajahnya yang gelap itu.
"Kau siapa?" Pek-i Liong-ong menyapa dengan hati-hati. Nelayan itu menghela napas panjang sekali seolah ada beban berat yang menindih hatinya.
"Seharusnya aku yang rendah ini memanggil susiok-couw kepadamu karena memang demikianlah seharusnya urut-urutannya. Tapi karena kau pernah memhunuh ayah angkatku atau keponakan muridmu sendiri maka lebih baik aku tak memanggil apa-apa kepadamu..." akhirnya nelayan itu mengeluarkan suaranya yang kaku.
"Hah, kau Bu Seng Kun...anaknya Bu Kek Siang?"
"Benar! Tidak salah! Aku adalah putera Bu Kek Siang dan namaku yang sebenarnya adalah Chu Seng Kun bukan Bu Seng Kun!" nelayan itu menjawab sambil membuka topinya sehingga wajahnya yang tampan itu terlihat dengan jelas.
"Ooooooh...!" Souw Lian Cu dan Pek-i Liong-ong berdesah hampir berbareng. Keduanya benar benar tak menyangka dapat bertemu dengan pemuda itu di sini karena keduanya memang telah mengenal pemuda yang menyamar sebagai nelayan itu sebelumnya. Souw Lian Cu tak mungkin bisa melupakan wajah itu, karena pemuda itu adalah kakak kandung Chu Bwe Hong, gadis yang pernah melepas budi kepadanya tapi juga yang membuatnya lari dari rumahnya sekarang ini. Sementara bagi Pek-i Liong-ong, peristiwa menyedihkan yang menimpa ayah angkat pemuda itu memang merupakan beban batin yang maha berat baginya selama ini.
Beberapa tahun yang silam, sebelum dirinya menjadi ketua Aliran Mo-kauw, memang pernah terjadi perselisihan hebat di antara anak murid keturunan Bu-eng Sin-yok-ong. Perselisihan itu terutama terjadi antara anak muridnya sendiri melawan anak murid mendiang suhengnya. Dan pada suatu saat tanpa sepengetahuannya Bhong Kim Cu dan Leng Siau, muridnya yang kini menjabat sebagai kau Tai-shih dari Aliran Mo-kauw pergi menyerang ke kediaman ayah angkat Chu Seng Kun dan membunuhnya. Sebenarnya peristiwa itu sangat memilukan hatinya tapi karena sudah terlanjur ia sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menghukum berat kedua orang muridnya itu. Apalagi jika diingat bahwa perselisihan itu memang bukan hanya karena kesalahan kedua orang muridnya saja. Tetapi bagaimana juga peristiwa itu memang sangat melukai hatinya.
"Bukankah kau sudah mengetahui masalah yang sebenarnya yang menyebabkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu?" Pek-i Liong-ong dengan sedih menatap muka Chu Seng Kun. Chu Seng Kun menghela napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kembali dengan kuat, seolah mau melemparkan ganjalan yang menghimpit hatinya.
"Aku dan adikku memang sudah menyadari semuanya, kami memang tidak bisa menyalahkan siapapun dalam peristiwa itu. Malahan kalau mau dikaji, pihak kamilah yang lebih dulu bersalah karena telah menyebabkan kematian puteramu...Tapi...bagaimanapun juga ayah angkatku telah mati karena muridmu! Oleh sebab itu aku tetap tidak mau menyebut susiok-couw kepadamu, meskipun di dalam hati aku sudah tak ingin mengingat lagi peristiwa itu." pemuda itu berkata dengan nada kaku.
"Baiklah...baiklah! Kita tak usah memikirkannya lagi! Lohu menjadi sangat sedih pula karenanya..." Pek-i Liong-ong berdesah dengan sedihnya. "Lohu jadi teringat kepada mendiang anakku pula..." Sementara itu perahu yang mereka tumpangi telah berada di jalur tengah sungai kembali, sehingga tempatnya menjadi lapang dan tak banyak berpapasan dengan perahu lain lagi. Semuanya berdiam diri, sibuk dengan jalan pikiran masing masing. Orang yang tadi tercebur ke dalam sungai dan kini juga ikut menumpang dalam perahu mereka itu tampak berdiam diri pula seperti mereka. Hanya wajahnya saja yang kelihatan bengong mendengar pembicaraan Pek-i Liong-ong dengan Chu Seng Kun yang tidak keruan ujung pangkalnya itu.
"Maaf, Lohu telah menyerempet sampanmu sehingga terbalik..." akhirnya Pek-i Liong-ong memecahkan kesunyian itu.
"Tapi tak apalah...! Biarlah kita berperahu bersama-sama untuk sementara. Kemanakah tujuanmu? Ke pantai juga seperti kami?"
"Ke pantai juga boleh. Aku tak mempunyai tujuan yang tetap, karena aku sedang mencari seseorang di sekitar perairan sungai ini." Chu Seng kun menjawab tanpa menoleh. Matanya yang tajam itu meneliti setiap perahu yang mereka lewati, seakan-akan memang sedang mencari seseorang yang dia maksudkan itu.
"Siapakah yang kau cari itu? bolehkah Lohu mengetahuinya? Siapa tahu aku melihatnya?" Pek-i Liong-ong mengerutkan keningnya.
"Hek-eng-cu!"
"Hek-eng-cu?" Pek-i Liong-ong, Souw Lian Cu dan orang yang ikut menumpang perahu mereka itu berseru kaget hampir berbareng.
"Ya! Mengapa...?" ganti Chu Seng Kun sekarang yang terkejut. Satu-persatu dipandangnya ketiga orang yang berdiri di depannya. Pek-i Liong-ong, Souw Lian Cu dan orang asing yang pakaiannya basah kuyup itu. Sementara itu Pek-i Liong-ong dan Souw Lian Cu, yang baru saja berseru kaget itu juga tampak terheran-heran memandang kepada penumpang mereka yang basah kuyup tersebut. Dalam hati mereka bertanya-tanya, mengapa orang itu juga tersentak kaget ketika mendengar nama Hek-eng-cu?
"Ah, tidak apa-apa..." Pek-i Liong-ong yang menjadi curiga itu lekas-lekas menjawab pertanyaan Chu Seng Kun untuk menutupi kekagetannya.
"Lohu pernah pula mendengar nama yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat terkenal itu. Hanya sayang sampai saat ini Lohu belum pernah mendapat kesempatan untuk menjumpainya. Tapi...siapa tahu kita nanti dapat berjumpa dengannya?" orang tua itu mengakhiri kata-katanya dengan tersenyum penuh arti kepada Souw Lian Cu.
"Benar! Siapa tahu kita nanti dapat bertemu dengan orang itu?" gadis itu mengangguk pula sambil mengedipkan matanya. Agaknya Chu Seng Kun menangkap pula isyarat-isyarat yang diberikan oleh Pek-i Liong-ong tersebut. Hanya ia sedikit ragu-ragu ketika memandang ke arah Souw Lian Cu karena dia merasa tidak mengenal gadis bertangan buntung itu. Oleh karena itu dengan perlahan-Iahan ia melangkah mendekati Souw Lian Cu.
"Maaf, nona. Bolehkah aku mengenal namamu...?" sapanya halus. Souw Lian Cu tersenyum pula, dan setiap orang tentu akan memuji betapa cantiknya kalau gadis itu membuka mulutnya.
"Namaku Souw Lian Cu, Chu-Taihiap..." jawabnya dengan halus pula.
"Souw Lian Cu..?" Chu Seng Kun berseru kaget. Matanya melirik sekejap ke arah lengan yang buntung itu. "Apakah kau ini puteri saudara Souw...Souw Thian Hai?" Souw Lian Cu mengangguk, mulutnya masih tetap tersenyum manis sekali.
"Wah, aku benar-benar sudah tak mengenalmu lagi. kau sudah demikian besar sekarang. Lalu dimanakah ayahmu itu sekarang?" Chu Seng Kun tertawa gembira sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.
"Ayahku berada di rumah. Dia..."
"Hei? Berada di rumah...?" pemuda itu terkejut.
"Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan ayahmu, katanya sudah berbulan-bulan dia berada di tempat seorang keluarga bekas pangeran Chin! Dia malah menjadi pengawal pribadi putera pangeran Chin itu..."
"Ohh?" sekarang ganti Souw Lian Cu yang terhentak kaget. "Ayahku menjadi pengawal pangeran Chin? Ah, di mana ayahku sekarang...?" gadis itu mengguncang guncang lengan Chu Seng Kun. Tentu saja Chu Seng Kun menjadi bingung dan tak mengerti melihat sikap gadis itu. Tadi gadis itu berkata bahwa ayahnya berada di rumah tapi setelah ia mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu ia telah berjumpa dengan ayahnya, gadis itu malah menjadi kaget dan bertanya tentang ayahnya!
"Bagaimana ini...?" Agaknya Souw Lian Cu mengetahui kebingungan Chu Seng Kun tersebut. Perlahan-lahan gadis itu melepaskan pegangannya. "Ah, maaf, Chu-Taihiap...Aku sampai lupa diri," katanya meminta maaf.
"Aku memang sudah lama sekali meninggalkan rumah. Maka aku menjadi kaget ketika Chu-Taihiap tadi mengatakan telah bertemu dengan ayahku beberapa hari yang lalu...Eh, dimanakah ayahku itu sekarang?"
"Lhoh, bagaimana sih engkau ini...?"
"Chu-Taihiap, sudahlah...panjang sekali kalau diceritakan. Nanti kita berbicara lagi tentang itu kalau ada waktu. Sekarang yang ingin kuketahui adalah...di mana ayahku itu?" Chu Seng Kun tidak mendesak lagi. Pemuda itu bisa meraba, tentu ada masalah apa-apa di antara gadis ini dengan ayahnya, sehingga gadis ini meninggalkan rumahnya dan berbulan-bulan tak berhubungan lagi dengan ayahnya tersebut.
"Sayang aku tak mengerti di mana ayahmu berada sekarang...Hanya ketika aku bertemu dengan dia di desa Hok-cung, dia pergi dengan putera pangeran Chin itu..." pemuda itu memberi keterangan. Souw Lian Cu menjadi lemas kembali. Berita tentang ayahnya yang telah bertahun-tahun dia tinggalkan itu membuat hatinya menjadi sedih. Perasaannya tergugah, dan kini rasanya dia menjadi rindu sekali kepada ayahnya itu. Chu Seng Kun menghela napas. Pemuda itu dapat merasakan kesedihan yang diderita oleh gadis tersebut. Maka untuk mengalihkan perhatian ia menoleh kepada laki-laki basah kuyup yang sedari tadi cuma diam saja itu.
"Hmm, siapakah saudara ini...? Apakah saudara juga satu rombongan dengan nona Souw Lian Cu?"
"Ah, benar...! Lohu juga sampai lupa menanyakannya. Sudah sekian lamanya berperahu bersama, kita belum juga saling mengetahui nama masing-masing..." Pek-i Liong-ong tersentak pula dari lamunannya. Dengan sikap ramah ketua Aliran Mo-kauw itu menatap penumpangnya tersebut. Orang itu semakin tampak kegugupannya. Dengan gagap ia menjawab.
"Aku...aku...eh, namaku Liok Cwan..."
"Liok Cwan"?" Chu Seng Kun dan Pek-i Liong-ongmenyebut nama itu dengan kening berkerut. Keduanya seperti mau memeras ingatan mereka masing-masing, siapa tahu mereka pernah mendengar nama itu di dalam perbendaharaan hati mereka.
"Ya...ya, aku Liok Cwan...seorang pedagang dari Kotaraja Tiang An. Apakah tuan sudah pernah mendengar namaku?" Chu Seng Kun menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lalu apa maksud tuan pergi ke pantai malam-malam begini?" pemuda itu bertanya.
"Ough...oh, anu...anu...soal dagang tentu saja. Aku mau menemui seseorang...eh, maksudku...aku mau menemui langganan di sana."
"Ehmm!" Semuanya berdiam diri lagi. Sementara orang yang mengaku bernama Liok Cwan itu semakin kelihatan gelisah dan tidak tenang. Beberapa kali orang itu mengusap muka dan lehernya dengan telapak tangan, seolah mau mengeringkan keringatnya yang bercampur dengan air sungai yang tadi membasahi tubuhnya.
Malam semakin dingin. Sementara permukaan air pun semakin melebar, sehingga rasa-rasanya perahu mereka sedang berlayar di sebuah telaga yang panjang dan tak tentu ujungnya. Tetapi dengan demikian perahu mereka malah dapat melaju dengan lebih tenang, karena gelombang air sungai juga tampak mereda. Meskipun demikian Pek-i Liong ong masih harus tetap waspada pula dalam mengemudikan perahunya, karena ternyata di sekitar mereka masih tetap banyak perahu yang berlayar seperti mereka. Chu Seng Kun mendekati Souw Lian Cu, kemudian duduk di sampingnya. Liok Cwan berdiri jauh di ujung perahu, sementara Pek-I Liong-ong tampak sibuk memegang kemudi di buritan.
"Kau tidak merasa dingin, nona...?" Chu Seng Kun membuka percakapan.
"Tidak!" Souw Lian Cu menggeleng, lalu menundukkan kepala. Mereka berdiam diri kembali.
"Jadi...kau sudah lama sekali meninggalkan ayahmu? Ah, dia tentu kebingungan mencarimu. Mengapa kau tidak berusaha menemui ayahmu? Kulihat dia seperti sedang dalam kesukaran sekarang..." sekali lagi Chu Seng Kun mencoba menarik perhatian Souw Lian Cu, dan kali ini berhasil.
"Kesukaran? Apa yang Taihiap maksudkan?" gadis itu tersentak dari duduknya.
"Bukankah dia pergi bersama...ah, tidak!" tiba-tiba gadis itu membungkam mulutnya sendiri. Sekilas matanya yang bening lembut itu berkilat tajam menatap Chu Seng Kun. Sepintas lalu seperti akan marah tapi tak jadi. Sebenarnya Souw Lian Cu mau mengatakan bahwa ayahnya tentu pergi bersama Chu Bwee Hong, adik perempuan Chu Seng Kun itu! Sebelum dia pergi meninggalkan rumah dahulu dia melihat wanita ayu itu datang bersama seorang lelaki ke rumahnya. Tapi Souw Lian Cu tak jadi mengatakannya.
"Mengapa nona...?" Chu Seng Kun mendesak, tapi gadis itu tetap tak mau menyebutkannya, sehingga akhirnya Chu Seng Kun melanjutkan sendiri kata-katanya.
"Memang ayahmu pergi dengan pangeran Chin itu...dan...Inilah yang amat mengherankanku! Selamanya ayahmu tak mau menjadi pelayan orang, apalagi menjadi tukang pukuI seperti itu. Tentu ada apa-apanya dalam hal ini..."
"Apakah ayah tidak bertanya tentang aku ketika bertemu dengan Taihiap?"
"Ah, waktu itu kami bertemu dalam sebuah pertempuran yang luar biasa ributnya, sehingga tiada waktu untuk berbincang-bincang dengannya. Hanya yang kulihat waktu itu ialah ayahmu seperti sedang tertekan jiwanya karena harus melindungi seseorang tanpa dia kehendaki."
"Oh, ayah...!" gadis itu mengeluh dengan sedih. Timbul perasaan sesalnya karena telah meninggalkan ayahnya. Chu Seng Kun membiarkan gadis itu merenung untuk beberapa saat lamanya, sehingga suasana menjadi sunyi kembali seperti tadi. Pek-i Liong-ong masih sibuk dengan tiang kemudinya, sedangkan Liok Cwan juga masih berdiri gelisah di ujung perahu.
"Nona...mengapa kau tega meninggalkan ayahmu sampai berbulan-bulan lamanya? Bukankah kalian bertemu dan berkumpul bersama juga belum lama? Apakah engkau tidak merasa kasihan kepada ayahmu? Bagaimana kalau saking sedihnya dia menjadi kambuh kembali penyakitnya...?" dengan lembut Chu Seng Kun menegur Souw Lian Cu, seperti menegur adiknya sendiri. Dalam hati Chu Seng Kun merasakan, tentu ada suatu persoalan pelik yang membuat gadis ini pergi meninggalkan ayahnya. Hanya yang belum bisa diketahui oleh pemuda itu adalah persoalan apakah itu? Meskipun demikian Chu Seng Kun berusaha untuk menyadarkan Souw Lian Cu agar mau kembali kepada ayahnya. Sebab bagaimanapun juga pemuda itu sudah merasa dekat sekali dengan Souw Thian Hai, ayah gadis ini.
Mereka bersahabat akrab sekali, karena Chu Seng Kun itulah yang dahulu merawat dan mengobati penyakit lupa ingatan Souw Thian Hai. Malah tidak hanya itu saja hubungan baik yang terjadi di antara mereka karena tanpa diduga adik Chu Seng Kun yang bernama Chu Bwee Hong ternyata secara diam-diam jatuh cinta kepada Souw Thian Hai yang telah duda dan beranak satu itu. Mungkin kalau tidak karena ulah Hek-eng-cu yang menculik adiknya itu mereka telah menikah dengan bahagia. Diingatkan tentang penyakit ayahnya, Souw Lian Cu menjadi merah mukanya. Dan Chu Seng Kun menjadi salah tafsir, pemuda itu mengira Souw Lian Cu telah benar-benar tergugah perasannya dan sudah teringat kembali kepada penderitaan ayahnya. Tampaknya gadis itu mulai menyesali kelakuannya. Maka dari itu Chu Seng Kun segera menyambung perkataannya.
"Nah, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada ayahmu? Mengapa...?" Tapi pertanyaan itu terhenti dengan tiba-tiba. Dengan kaget Chu Seng Kun mengawasi Souw Lian Cu yang berdiri dengan mendadak. Dengan muka merah dan mata berkilat kilat karena penasaran gadis itu menatap Chu Seng Kun.
"Mengapa? Mengapa...? Mengapa engkau hanya menyalahkan aku saja? Mengapa engkau tidak menyalahkan yang lain juga? Mengapa ayahku itu mesti kawin lagi dengan orang lain, misalnya?" gadis itu berseru dengan bibir gemetar dan hampir menangis, membuat Pek-i Liong-ong tersentak kaget melihat mereka. Orang tua itu terlongong-longong mengawasi Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu-silih berganti. Begitu juga dengan Liok Cwan!
"Heh? Mau kawin lagi...? Kawin dengan siapa?" Chu Seng Kun berdiri juga dengan tidak kalah terkejutnya. Otomatis pemuda itu lantas teringat kepada adiknya yang hilang.
"Dengan siapa lagi kalau tidak dengan enci Chu Bwee Hong, adikmu.,...?" Souw Lian Cu menjawab keras, dengan muka masib tetap meradang.
"Whah? Apaaaa...? Adikku? Di mana dia sekarang?" Chu Seng Kun berteriak dan meloncat untuk menyambar lengan Souw Lian Cu. Tapi dengan tidak kalah gesitnya, Souw Lian Cu melejit ke belakang melewati atap perahu dan mendarat di dekat Pek-i Liong-ong. Gerakannya yang amat ringan itu bukan main indahnya, sehingga Liok Cwan yang semula tidak menyangka bahwa gadis remaja itu bisa ilmu silat, menjadi ternganga mulutnya.
Tetapi Chu Seng Kun cepat mengejar pula dengan lebih tangkas lagi. Meskipun bergerak kalah dulu, tetapi ternyata mereka mendarat di lantai perahu secara berbareng! Mereka berdiri berhadap-hadapan lagi. Saking tegang hatinya, Chu Seng Kun sampai pucat-pias wajahnya. Memang dapat dimaklumi kalau Chu Seng Kun bersikap demikian. Dua tahun lamanya pemuda itu mencari adiknya tanpa mengenal lelah. Di dalam hati ia percaya bahwa pada suatu saat ia tentu dapat bertemu dengan adiknya tersebut. Meskipun Hek-eng-cu, yaitu orang yang melarikan Chu Bwee Hong mengatakan bahwa adiknya telah mati, tetapi pemuda itu tetap tidak mempercayainya. Chu Seng Kun percaya bahwa adiknya masih tetap hidup. Maka begitu mendengar Souw Lian Cu menyebut nama adiknya, otomatis pemuda itu seperti orang kesetanan!
"Souw Lian Cu! Apakah kau melihat Chu Bwee Hong? Dimana dia sekarang?" Chu Seng Kun berteriak keras tanpa mempedulikan Pek-i Liong-ong yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
"Seng Kun! Ingatlah, kenapa kau ini...?" Pek-i Liong-ong berseru memperingatkan. Chu Seng Kun menoleh. Wajahnya masih tetap tegang.
"Lo-Cianpwe, jangan khawatir"! Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertanya kepada gadis ini tentang adikku, Chu Bwee Hong. Adik perempuanku itu telah lenyap diculik oleh Hek-eng-cu dua tahun yang lalu dan sampai hari ini belum juga kembali..."
"Diculik oleh Hek-eng-cu dua tahun yang lalu?" sepasang mata Souw Lian Cu terbelalak dan wajahnya menjadi pucat seketika.
"Jadi...jadi lelaki yang datang ke rumahku bersama enci Bwee Hong itu adalah...Hek-eng-cu?" gadis itu berseru dengan suara serak. Sekali lagi Chu Seng Kun menyambar lengan Souw Lian Cu, dan kali ini gadis itu tidak mengelak lagi. Gadis itu telah menjadi lemas karena khawatir atas nasib ayahnya.
"Jadi...eh, jadi Hek-eng-cu telah membawa Bwee Hong ke rumahmu? Lalu...lalu bagaimana keadaannya? Di mana dia sekarang?" Chu Seng Kun mengguncang lengan yang dipegangnya itu keras-keras. Souw Lian Cu yang sekarang telah mulai merasakan adanya sesuatu hal yang tidak beres dalam persoalan ini segera bercerita tentang apa yang telah terjadi di rumahnya pada dua tahun yang lalu. Semuanya ia ceritakan tanpa terkecuali, termasuk pula rasa tidak suka dalam hatinya berhubung ayahnya teIah jatuh cinta lagi kepada wanita lain selain ibunya.
"Oohh...!" Chu Seng Kun berdesah dan menjadi lemas pula seperti Souw Lian Cu.
"Jadi...jadi kau juga tak tahu pula kemana Chu Bwee Hong pergi? Oh, kemana sebenarnya anak itu? Apakah dia benar-benar telah dibunuh oleh Hek-eng-cu...?" pemuda itu mengeluh sedih, kemudian menjatuhkan dirinya di atas bangku.
"Hmmh...adikmu diculik oleh Hek-eng-cu? Kenapa engkau tidak mencari orang itu dan mengambiInya kembali?" tiba-tiba Pek-i Liong-ong menggeram. Bagaimanapun juga sikap yang ditunjukkan oleh Chu Seng Kun tadi kepadanya, tetapi kedua kakak beradik itu tetap keponakan muridnya juga. Maka perbuatan Hek-eng-cu itu sedikit banyak juga membuat malu dirinya pula.
"Aku telah menemui orang itu. Tetapi selain kepandaiannya sangat tinggi, kawannyapun sangat banyak dan rata-rata ilmu mereka setingkat dengan aku. Bagaimana aku bisa menang melawan dia...?" Chu Seng Kun menjawab hampir merintih.
"Begitukah...?" Pek-i Liong-ong merah mukanya. "Coba kau sebutkan, siapa saja teman temannya itu!" Chu Seng Kun menghela napas.
"Song-bun kwi Kwa Sun Tek, enam orang Iblis dari Ban-Kwi-to dan...seorang jago lihai lagi yang belum kukenal namanya!" pemuda itu menyebutkan semua lawannya.
"Hmmh, baik...!" ketua Aliran Mo-kauw itu menggeram lagi.
"Seng Kun! Dengarlah! Kini kau bersiap-siaplah, karena sebentar lagi kita akan bertemu dengan Hek-eng-cu...! kau hadapilah musuhmu itu dengan tenang! Biarlah aku nanti yang membantumu menghadapi kawan-kawannya..."
"Hah? Jadi penjahat keji itu benar-benar berada di sekitar tempat ini?" Chu Seng Kun terlonjak dari tempat duduknya.
"Benar! Tunggulah...!" Pek-i Liong-ong menjawab tegas.
"Oh, Tuhan...terima kasih!" Demikianlah, malam telah semakin larut dan perahu mereka juga semakin dekat dengan tempat tujuan. Suara debur ombak juga sudah mulai terdengar pula di telinga mereka.
"Nah, lihatlah itu! Lautan telah kelihatan dari tempat ini..." Pek-i Liong-ong menunjuk ke kaki langit sebelah timur, di sana sebuah garis putih tampak membentang dari utara ke selatan. Sebuah garis melengkung yang seolah-olah membatasi langit dan bumi. Souw Lian Cu melangkah ke ujung perahu, kemudian memandang garis putih itu dengan takjub.
"Alangkah indahnya...!" gadis itu bergumam perlahan.
"Ya! Tapi sebentar lagi kita juga harus segera merapat ke pinggir, karena sangat berbahaya sekali membawa perahu kecil ini ke muara. Tempat itu benar-benar sangat berbahaya. Hanya perahu-perahu besar saja yang dapat melewatinya. itupun kalau cuaca sedang baik. Di muara itu terdapat pusaran-pusaran air yang mampu menghisap dan menelan perahu-perahu kecil seperti kepunyaan kita ini untuk kemudian dimuntahkan kembali di tengah-tengah laut sana," tiba-tiba orang yang bernama Liok Cwan itu menyahut dengan wajah ketakutan, sehingga Souw Lian Cu yang sedang menikmati keindahan alam itu menjadi ngeri pula hatinya.
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi apa yang dikatakan oleh orang itu memang benar pula. Beberapa saat kemudian perahu mereka telah mencapai dusun yang terakhir, yaitu sebuah dusun yang tumbuh di pinggir sungai seperti juga halnya dusun Ho-ma-cun yang siang tadi mereka tinggalkan. Mereka melihat banyak sekali perahu-perahu dan sampan yang ditambatkan pada tonggak-tonggak kayu yang disediakan di tepian sungai. Meskipun waktu telah larut malam, keadaan di tempat itu ternyata masih tampak hidup dan bergairah.
Warung-warung kecil yang bertebaran di sepanjang sungai juga masih tampak terbuka pintunya. Sehingga sinar lampunya yang terang benderang menyorot keluar melalui pintu dan jendelanya, menyibakkan selubung kegelapan malam yang melingkupi dusun kecil tersebut. Beberapa orang lelaki tampak hilir-mudik di sekitar warung-warung itu. Dari jauh kelihatan seperti bayang-bayang hitam yang sekali-kali tampak menembus cahaya lampu yang keluar dari pintu warung. Pek-i Liong-ong membelokkan perahunya ke pinggir, kemudian menambatkannya di tempat yang kosong. Semuanya ikut turun, dan Liok Cwan bergegas datang mendekati Pek-i Liong-ong untuk memberikan bayaran emas yang telah ia janjikan tadi. Tapi dengan tegas ketua Aliran Mo-kauw itu menolaknya.
"Ah, tidak usah. Berikan saja benda itu kepada fakir miskin yang lebih membutuhkan!"
"Fakir miskin...? Oh, ya...ya! Terima kasih! Akan saya laksanakan perintah tuan ini. Sekarang aku...aku mohon diri!" Liok Cwan terbungkuk-bungkuk mengiyakan. Dan sebentar kemudian orang itu telah melangkah pergi dengan tergesa gesa dan menghilang dalam bayang-bayang kegelapan malam.
"Siapakah sebenarnya orang itu? Gerak-geriknya mencurigakan sekali...!" Chu Seng Kun bergumam perlahan. Pek-i Liong-ong melangkah menghampiri Chu Seng Kun dan berdiri di samping pemuda itu. Matanya yang tajam berkilat itu menatap ke tempat gelap, di mana Liok Cwan tadi menghilang.
"Entahlah. Mungkin juga dia salah seorang yang tahu masalah harta karun itu dan sekarang datang untuk ikut memperebutkannya," orang tua berkata perlahan pula.
"Harta karun? Harta karun apa itu?" Chu Seng Kun bertanya heran.
"Jadi tujuan Lo-Cianpwe kemari ini untuk memperebutkan harta karun? Ah, lalu bagaimana rencana pertemuan kita dengan Hek-eng-cu itu?"
"Ahaa, bersabarlah...! Sebentar lagi kita juga akan bertemu dengan dia, sebab dialah yang nanti menjadi tokoh utama dalam masalah perebutan harta karun ini," Pek-i Liong-ong menjawab cepat. Lalu dengan cepat pula orang tua itu menceritakan serba sedikit tentang pertemuan di Pantai Karang tengah malam nanti.
"'Pantai Karang? Bukankah tempat itu adalah tempat penyeberangan ke Pulau Meng-to? Apakah dalam hal ini Kehsim Siauwhiap ikut terlibat juga?" Pek-i Liong-ong tidak menjawab. Orang tua itu hanya mengangkat pundaknya tanda tak mengerti lalu berjalan perlahan ke tempat yang agak gelap. Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu segera melangkah pula mengikutinya. Dari tempat itu mereka memperhatikan orang orang yang hilir-mudik di sekitar mereka.
"Apakah yang Lo-Cianpwe cari?" Souw Lian Cu bertanya.
"Lebih baik kita berhati-hati di sini. Kulihat banyak orang yang mencurigakan berkeliaran di tempat yang sepi ini. Siapa tahu ada orang yang telah mengenal kita?"
"Apakah kita tidak langsung saja menuju ke Pantai Karang sekarang?" Souw Lian Cu bertanya.
"Tentu! Tapi kita mesti melalui orang-orang itu pula, bukan? Tiada jalan lain selain menerobos dusun ini bila kita mau menuju ke Pantai Karang itu. Sebelah timur dusun ini adalah rawa-rawa, sementara sebelah barat adalah bukit-bukit terjal yang sukar dilalui. Jika kita mengambil jalan dengan cara mengendap-endap di pinggiran dusun, kita justru akan dicurigai orang. Siapa tahu kita malahan berjumpa dengan seorang tokoh sakti di sana?"
"Jadi...?"
"Kita menyeberangi jalan dusun ini...!" Pek-i Liong-ong menjawab tegas. Kemudian mereka bertiga keluar dari tempat gelap itu dan berjalan perlahan ke Jalan besar yang membelah dusun kecil itu. Dengan sikap yang wajar, seolah-olah mereka bertiga adalah rombongan pedagang yang sedang kemalaman di jalan dan kini bermaksud singgah untuk mencari penginapan di dusun itu.
Mereka melangkah di antara orang-orang yang hilir mudik di jalan tersebut. Mereka sengaja melewati tempat-tempat yang agak gelap dan tidak mendapatkan sinar secara langsung dari pintu dan jendela warung yang terbuka.Sementara itu secara diam-diam mereka mengawasi orang orang yang sedang makan minum di dalam warung serta orang-orang yang hilir mudik dan berpapasan dengan mereka di jalan. Meskipun diantara orang-orang yang mereka jumpai itu tidak ada yang terasa aneh atau mencurigakan tapi Pek-i Liong-ong percaya bahwa tentu ada seorang atau dua orang diantara orang-orang itu yang mempunyai tujuan yang sama dengan mereka, yaitu pergi ke Pantai Karang.
"Kelihatannya seperti tidak ada apa-apa tapi bila kita rasakan dengan sungguh-sungguh, kita akan merasakan sesuatu yang aneh dan menegangkan menyelubungi dusun ini...Lihatlah orang-orang yang duduk makan minum di dalam warung itu!" Pek-i Iiong-ong menunjuk ke sebuah warung di pinggir jalan.
"Kelihatannya mereka makan dan minum dengan wajar. Tapi bila kita perhatikan benar benar, kalian akan menemukan seorang atau dua orang yang selalu melirik ke sana ke mari, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Misalkan orang yang berbaju kuning dan biru itu..." Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu cepat memperhatikan dengan seksama dua orang yang ditunjuk oleh Pek-i Liongong itu. Dua orang itu tampak tegap dan gagah, gerak geriknya juga sangat tenang dan berwibawa. Mereka duduk terpisah agak jauh, meskipun begitu mereka sering tampak memberi isyarat atau saling berkedip satu sama lain.
"Ah! Lo-Cianpwe, aku mengenal dua orang itu!" tiba-tiba Chu Seng Kun berseru tertahan.
"Siapakah mereka?" ketua Aliran Mo-kauw itu tertegun.
"Mereka adalah anggota barisan Sha-cap-si-wi (Tiga puluh Pengawal Rahasia Kerajaan)!"
"Anggota Sha-cap-si-wi yang amat terkenal dan sangat dibangga-banggakan oleh Kaisar Han itu?"
"Benar. Aku pernah mengenal dua orang itu ketika pada suatu hari aku berjumpa dengan Kaisar Han. Kedua orang itu malah pernah diperbantukan padaku ketika Kaisar Han berusaha membantu aku untuk mencari adikku."
"Hmmmm...Ialu apa maksudnya kedua orang itu di sini? Apakah Kaisar Han juga telah mencium berita tentang harta karun itu? Rasanya mustahil..." Pek-i Liong-ong mengerutkan keningnya.
"Mungkin Kaisar Han memang telah mendengar juga tentang hal itu. Tetapi mungkin juga belum!" Chu Seng Kun menyatakan pendapatnya.
"Setahun yang lalu Kaisar Han telah menyebar tiga puluh orang pengikut pilihan itu ke seluruh negeri untuk mencari Cap Kerajaan yang hilang...Hanya persoalannya sekarang adalah...apakah kedatangan dua orang ini kemari dalam rangka mencari Cap Kerajaan itu atau bukan?" Mereka berbincang sambil berjalan. Tapi kini mereka harus semakin berhati-hati, karena di dusun itu ternyata berkumpul jago-jago silat dari kerajaan pula. Mereka berjalan dengan hati-hati di tempat-tempat yang gelap yang jauh dari sinar lampu. Tiba-tiba Souw Lian Cu menggamit lengan Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun. Gadis itu lalu mengangkat jari telunjuknya ke arah bangunan yang mirip dengan kandang kuda di dekat warung yang paling ujung.
"Lo-Cianpwe, lihat...! Bukankah dia orang yang bernama Liok Cwan tadi?"
"Mana? Oh, benar...! Sedang berbicara dengan siapa dia?" Sambil memperlambat langkah kaki mereka melirik ke arah Liok Cwan. Tampak oleh mereka Liok Cwan sedang berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki berbadan tinggi gemuk di emper sebuah kandang kuda yang tak jauh letaknya dari jalan. Sebuah lampu teng yang tergantung di depan pintu kandang menerangi wajah kedua orang itu. Keduanya tampak asyik berbicara dengan serius, kelihatannya sedang membicarakan persoalan yang amat penting.
"Hei, bukankah orang itu...?" Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun berdesah berbareng sehingga mereka saling memandang satu sama lain dan tidak meneruskan perkataannya.
"Hah? Siapa...?" Souw Lian Cu memandang kedua orang temannya itu berganti-ganti.
"Dia adalah salah seorang dari dua orang mencurigakan yang telah kuikuti jejaknya itu."
"Hei?! Jadi orang itu adalah kawan dari Hek-eng-cu? Hmm, kalau begitu Liok Cwan itu juga salah seorang kawan dari Hek-eng-cu pula...Wah, kita tadi terkecoh jadinya! Setengah harian dia berperahu dengan kita, kita sampai tidak menyadarinya. Padahal kita tadi membicarakan persoalan Hek-eng-cu seenak kita sendiri..." Souw Lian Cu menggerutu.
"Benar! Kita memang kurang berhati-hati tadi. Kita terlalu meremehkan orang yang sebenarnya wajib kita curigai. Awal pertemuan kita yang sangat aneh itu seharusnya telah membuat kita berwaspada terhadap dia. Tapi...sudahlah! Semuanya telah terlanjur. Hanya kini kita tidak bisa enak enakan lagi, karena orang yang akan kita jumpai tentu telah tahu akan kedatangan kita. Mungkin mereka akan menyambut kita secara meriah atau mungkin juga malah tidak menyambut sama sekali! Mungkin mereka tidak akan menampakkan diri karena tidak ingin rahasia mereka diketahui orang lain." Pek-i Liong-ong bergegas menyelinap meneruskan langkahnya, diikuti oleh Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu. Mereka melangkah dengan cepat, sehingga sebentar kemudian mereka telah keluar dari dusun itu.
"Marilah kita mengerahkan ginkang kita, agar kita lekas-lekas meninggalkan tempat ini! Kawan-kawan Hek-eng-cu yang berada disini tentu akan berusaha mencari kita."
Pek-l Liong-ong menjejakkan kakinya ke tanah dan sekejap kemudian tubuhnya telah melesat ke depan dengan cepat sekali! Chu Seng Kun mengikuti pula tidak kalah gesitnya. Tubuhnya yang jangkung itu 'terbang" di belakang Pek-i Liongong seperti bayang-bayang saja. Sebagai ahli waris ilmu Pek-in Ginkang, mereka berdua dapat bergerak cepat seperti kilat. Hanya tingkatan ilmu mereka saja yang berbeda, Pek-i Liongong sebagai ahli waris langsung dan Bu-eng Sin-yok-ong tampak lebih matang dan lebih sempurna dari pada Chu Seng Kun. Kedua orang itu melesat pergi meninggalkan Souw Lian Cu begitu saja, karena agaknya mereka telah yakin bahwa gadis itu akan dapat berlari cepat pula seperti mereka. Sebagai keturunan keluarga Souw, Souw Lian Cu tentulah mempunyai ginkang yang hebat juga, meskipun belum sehebat dan setinggi ayahnya tentunya.
Memang benar juga. Karena dua orang kawannya telah melesat meninggalkan dirinya, Souw Lian Cu terpaksa mengerahkan pula ilmu meringankan tubuhnya agar dapat mengejar mereka. Bagaikan seekor kijang berlari kaki gadis itu menjejak tanah dan berloncatan cepat sekali menerobos semak belukar meninggalkan dusun kecil tersebut. Biarpun tidak bisa mengejar Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun, tetapi setidaknya dia juga tidak akan tertinggal jauh. Demikianlah, mereka bertiga berlari cepat sekali menuju ke Pantai Karang yang letaknya sudah tidak begitu jauh lagi dari tempat itu. Mereka berlari di antara semak-semak belukar, rumput-rumput ilalang dan batu-batu karang yang bertonjolan di tepi pantai.
"Lihat, kita sudah hampir tiba di Pantai Karang! Pukul berapa sekarang?" Pek-i Liongong menoleh sambil memperlambat langkah kakinya.
"Sudah hampir tengah malam. Kita masih mempunyai sedikit waktu lagi untuk melihat-lihat suasana di tempat itu"" Chu Seng Kun menjawab.
"Dimanakah Souw Lian Cu?"
"Dia masih berada di belakang!" Chu Seng Kun mengarahkan ibu jari tangannya ke belakang melalui pundaknya. Pek-i Liong ong menghentikan larinya, kemudian menoleh ke belakang. "Hebat juga ginkang gadis itu...!"
Darah Pendekar Eps 8 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 7 Darah Pendekar Eps 36