Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 15


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 15




   "Tampaknya ilmu silatmu sudah habis. Padahal aku belum mengeluarkan seluruh kemampuanku, apalagi ilmu andalan perguruanku. Bagaimana...? Ingin diteruskan juga?" Sambil melesat berputaran mengelilingi lawannya. Mo Hou mengejek.

   "Sombong! Kalau memang mampu, cepat kau jatuhkan aku!"

   "Tentu saja! Biasanya aku memang tidak pernah membuang-buang waktu. Kalau sekarang aku tidak lekas-lekas meringkusmu, hal itu disebabkan karena rasa kesal dan penasaranku. kau telah banyak merusak rencanaku, membuat sengsara anak buahku, sehingga aku merasa sayang kalau cepat-cepat membunuhmu. Biarlah kau menyadari dulu kesalahanmu sebelum mati. Siapa sebenarnya yang kau hadapi dan seberapa tinggi ilmu yang kau miliki, hingga kau berani me-ngacaukan rencanaku."

   "Anak liar! Ayoh, jangan bicara saja!" Liu Wan menggeram sambil menerjang ke depan. Tampaknya Mo Hou sudah merasa cukup memberi pelajaran kepada Liu Wan. Sikapnya yang agak kendor itu kini telah berubah menjadi kaku lagi seperti biasanya. Dengan sinar mata dingin ia me-nyongsong terjangan Liu Wan itu dengan keras pula. Kipasnya terayun ke depan, menyambut kepalan Liu Wan.

   Tentu saja Liu Wan tidak berani adu tenaga. Selain tenaga dalamnya masih lebih rendah, kipas Mo Hou juga bisa melukai tangannya. Oleh karena itu pada kesempatan terakhir Liu Wan memutar pergelangan tangannya dalam jurus Memutar Kemudi Menggulung Layar. Gelombang getaran yang kuat seolah-olah keluar dari telapak tangannya, menerjang ke depan, menepis kipas Mo Hou. Hanya menepiskan sedikit saja, karena selain kalah tenaga, kipas itu juga terbuat dari lembaran-lembaran baja tipis yang sulit dirusakkan. Namun tepisan yang hanya sedikit itu sudah cukup bagi Liu Wan untuk melanjutkan gerakannya. Begitu arah kipas itu sedikit melenceng, maka kedua tangannya cepat dihentakkan ke bawah, seperti menarik tali layar secara mendadak! Berbareng dengan itu, kaki kanan Liu Wan menggempur ke atas, ke arah kipas lawannya!

   "Bagus!" Mo Hou berseru. Sambil menyerang Liu Wan masih sempat menatap wajah lawannya. Sekilas ia melihat senyum kemenangan di bibir pemuda itu. Liu Wan terkesiap, tapi terlambat.

   "Dhuuuaaar!" Kipas itu terlempar ke udara. Tapi pada saat yang sama tangan kanan Mo Hou menyelinap ke bawah, menyongsong tendangan kaki Liu Wan. Cepat bukan main! Tahu-tahu kaki Liu Wan terasa kesemutan dan selanjutnya tidak bisa digerakkan lagi. Lemas!
Liu Wan hampir jatuh tertelungkup karena kaki itu tak mau menyangga tubuhnya. Sambil terpincang-pincang Liu Wan berusaha membuang" tubuhnya ke samping. Mo Hou tidak mengejarnya.

   "Hehe, masih mau melawan juga?" Mo Hou tertawa puas. Lui Wan mencoba memunahkan totok-an Mo Hou, tapi tak berhasil.

   "Kurang ajar!" Tanpa mempedulikan kakinya Liu Wan nekad menerjang lawannya lagi. Seluruh tenaga dalamnya tersalur melalui lengannya.

   "Duaarr! Duaaar!" Ledakan-ledakan kecil memburu bayangan Mo Hou. Semakin lama semakin cepat, sehingga bangunan kecil di atas empang itu bagaikan hendak meledak karenanya. Mo Hou berkelebat semakin cepat mengelilingi Liu Wan. Sambil tertawa mengejek pemuda itu sekali-sekali menggebrak pertahanan Liu Wan. Dan beberapa kali pula serangannya itu mampu me-ngecoh benteng angin yang diciptakan Liu Wan, bahkan melukainya.

   "Dhiegh! Dhuuuuuar! Dhuaaaaarr!" Pertempuran mereka dapat diibaratkan seperti pertarungan seorang matador melawan seekor banteng liar. Liu Wan yang memiliki ilmu silat keras dan lugas bagaikan seekor banteng liar, mengumbar pukulan-pukulan petirnya.

   Sementara Mo Hou yang gesit dan lincah, laksana seorang matador, melenting kesana-kemari menghindarinya. Hong-lui-kun-hoat memang dahsyat tiada terkira. Tapi sayang sekali ilmu silat itu terlalu banyak menguras tenaga dalam. Menghadapi lawan yang lincah dan pandai mengelak, ilmu itu tak bisa berbuat banyak. Malah akhirnya bisa menjadi bumerang bagi tuannya. Demikianlah, seperti halnya banteng liar yang hanya mengandalkan kekuatannya, akhirnya Liu Wan kehabisan tenaga. Apalagi ketika Mo Hou beberapa kali dapat memasukkan pukulannya. Liu Wan semakin terdesak. Tampaknya Mo Hou benar-benar ingin membuktikan ancamannya. Pemuda itu tidak ingin langsung membunuh Liu Wan, tapi ingin mengikat dan membakarnya bersama yang lain. Oleh karena itu se-perti sengaja bermain-main ia menotok satu-persatu anggota badan Liu Wan.

   Liu Wan memang tak bisa berbuat banyak. Berturut-turut jalan darah pada anggota badannya tertotok lemas oleh ujung kipas Mo Hou. Setelah kaki kanannya tak bisa digerakkan, lalu disusul oleh tangan kirinya. Dan beberapa saat kemudian diikuti pula oleh sambaran kipas pada jalan darah pang-hu-hiat di tangan kanannya, sehingga otomatis Liu Wan hanya bisa menggerakkan kaki kirinya saja. Kini Liu Wan tinggal bisa berloncatan dengan satu kaki. Namun demikian pemuda itu tetap tidak mau menyerah. Bagaikan burung bangAu-yang berloncatan dengan satu kaki, pemuda itu tetap menerjang. Dia berloncatan menyerang dengan sabetan kakinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sejurus kemudian ujung kipas Mo Hou kembali menyelinap dan menghajar dengan tepat jalan darah teng-liu-hiat di atas lutut Liu Wan.

   "Thuuuuk...!" Bruug! Tubuh Liu Wan yang tegap itu terbanting ke lantai seperti banteng liar yang jatuh berdebam terkena jerat!

   "Hehehe... apa kataku tadi? Seperti yang lain-lain itu maka engkaupun bukan lawan yang setimpal buatku! Kini kau juga tak bisa bergerak pula seperti mereka."

   "Sudahlah, aku memang kalah! kau bisa membunuhku sekarang!" Liu Wan yang masih dapat berbicara itu menggeram marah.

   "Tentu! Tapi aku berhak menentukan cara-cara yang kusukai untuk membunuhmu! Membunuh orang-orang sombong yang suka mencampuri urusan orang lain! Dan cera yang kuinginkan adalah... Membakar tubuh kalian, seperti layaknya membakar babi panggang di atas perapian, heheheh!" Mo Hou tertawa kejam.

   "Manusia kejam! Manusia berhati binatang!"

   "Tapi sebelum aku membakar tubuhmu, aku ingin menyaksikan dulu tampang aselimu. Seperti apakah Bun-bu Siucai itu?" Mo Hou buru-buru menambahkan. Selesai berkata, tangan Mo Hou benar-benar mencopoti penyamaran Liu Wan, sehingga wajah aseli pemuda itu terlihat dengan jelas.

   "Hei, ternyata kau masih muda dan tampan. Wah... sayang juga kalau mati. Tapi... apa boleh buat. kau memang layak untuk mati!" Demikianlah, setelah melemparkan tubuh Liu Wan ke pojok ruangan di mana tokoh-tokoh Im-yang-kauw tadi berada. Mo Hou lalu menaburkan jerami kering yang banyak terdapat di ruang belakang. Dan sesaat kemudian ia telah siap dengan pemantik apinya.

   "Nah, selamat jalan... Kalian semua!" Bersamaan dengan berkobarnya api yang mulai membakar pondok kayu itu. Mo Hou melesat pergi melalui jembatan penyeberangan. Untuk beberapa saat pemuda itu masih berdiri di tepi empang, menyaksikan lidah api yang mulai merembet ke atas atap. Selanjutnya dengan wajah puas ia berlari meninggalkan tempat itu.

   * * *

   Begitulah, kalau Liu Wan dan para tokoh Aliran Im-yang-kauw itu merasa kepanasan akibat kobaran api di sekitarnya, maka nun jauh di tengah lautan A Liong justru kedinginan karena harus bertarung melawan gelombang laut yang hendak menelannya.

   Seharian penuh pemuda itu diombang-ambingkan ombak. Untunglah sejak kecil pemuda itu sudah terbiasa bermain-main di sungai, sehingga dia bisa mengatur tubuhnya agar tidak tenggelam. Dan lebih beruntung lagi ketika di tengah laut dia mendapatkan sebuah gentong kayu besar, yang biasa dipergunakan oleh para nelayan untuk menyimpan air tawar. Tampaknya benda itu berasal dari perahu Au-yang Goanswe dan pasukannya. Air tawar yang masih tersisa di dalam genting kayu itulah yang akhirnya banyak membantu kehidupan A Liong. Sejak kecil A Liong memang sudah terbiasa menghadapi nasib buruk. Bahkan pemuda itu juga sudah sangat akrab dengan segala macam kesulitan dan kesengsaraan hidup. Namun justru kesulitan dan kesengsaraan hidup itulah yang" menggembleng dan menggodoknya menjadi lebih cepat dewasa dan matang.

   Dengan usianya yang baru enam belas tahun itu A Liong telah memiliki watak dan kepribadian yang kokoh serta tahan uji. Semangat hidupnya tak pernah padam. Bahkan dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu dia tetap bergembira dan bersemangat. Demikianlah ketika cuaca kembali cerah dan bulan yang cantik itu muncul di atas langit, maka tubuh A Liong masih tetap terayun dan terbuai oleh ayunan gelombang laut. Bahkan"enjgar" mengikatkan sabuknya pada gentong kayu itu, A Liong sempat terkantuk-kantuk. Tiba-tiba pemuda itu tersentak kaget, matanya melotot, memandang gejolak air di sekelilingnya. Belasan benda aneh tampak timbul tenggelam di dekatnya. Semakin dekat benda itu semakin sering berada di atas air. Bahkan sering meloncat tinggi ke udara. Rasa takut membuat pemuda itu tidak berani bergerak.

   "Ah, kelihatan seperti ikan besar. Jangan-jangan ikan hiu!" Beberapa saat kemudian benda-benda aneh yang belum pernah dilihat oleh A Liong itu telah tiba. Ternyata mereka adalah sekawanan ikan lumba-lumba yang datang karena tertarik pada A Liong. Begitu datang mereka segera berputaran di sekeliling A Liong. Bahkan beberapa ekor di antaranya malah menggesek-gesekkan kulitnya kepada A Liong, seolah-olah binatang cerdik itu mau me-ngajaknya bermain. Tapi karena belum pernah melihat binatang itu, A Liong tetap tidak berani berbuat apa-apa. Bergerakpun ia tak berani. Takut kalau binatang itu kaget

   Karena perutnya kosong, maka di dalam kantuknya pemuda itu membayangkan makanan dan minuman yang enak-enak. Dibayangkannya sendiri seolah-olah dia sedang berbaring di kursi goyang dan belasan orang bidadari cantik datang mengerumuni dirinya. Gadis-gadis cantik itu melayani makan, minum, serta memijiti kakinya. Oh, bukan main nikmatnya!Sebaliknya ikan lumba-lumba itu kelihatan senang dan amat tertarik kepada A Liong. Bagaikan binatang-binatang piaraan yang senang bercanda, ikan lumba-lumba itu mengerumuni A Liong. Mereka menggosok-gosokkan kulitnya, bahkan moncong hidungnya ke kepala A Liong. Akhirnya A Liong tidak merasa takut lagi. Ikan-ikan bertubuh besar itu ternyata sangat bersahabat dan sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap dirinya. Diam-diam pemuda-pemuda itu tersenyum geli.

   Di dalam pikirannya kembali terbayang bidadari-bidadari cantik yang datang mengerumuninya. Malam semakin larut. Bulan yang cerah itu sudah tidak kelihatan lagi. Gumpalan awan yang tebal menutupi seluruh wajahnya, sehingga dunia seolah-olah beruban menjadi hitam kelam. Cahaya jutaan bintang di langit tetap tak kuasa menggantikan sinar rembulan. Lautpun tampak hitam legam, sehingga A Liong merasa seperti berkubang dalam genangan darah yang mengerikan. Anehnya, kawanan ikan lumba-lumba itu tetap berseliweran di dekat A Liong. Mereka bagaikan binatang piaraan yang berusaha melindungi tuannya. Bahkan kawanan lumba-lumba itu seperti Imenggiring A Liong melalui tempat yang aman. Dalam keadaan gelap seperti itu A Liong tidak tahu arah lagi. Pemuda itu hanya merasa seperti dihanyutkan oleh arus laut ke arah Utara. Semakin lama airnya semakin terasa dingin.

   "Aduh... gelapnya! Andaikata ada lammm... oh?!" A Liong terdesak dan hampir saja terminum air yang menyiram wajahnya, ketika matanya tiba-tiba melihat cahaya lampu minyak melayang mendatangi. Tentu saja A Liong buru-buru menghindar ke balik gentong kayunya. Tapi sesaat kemudian mulutnya kembali melongo.

   "Gila!" Pemuda itu berdesah dan ter-longong-longong bingung ketika menyaksikan lampu minyak yang hendak melanggar dirinya tadi mendadak lenyap tak keruan arahnya. Sekejap ada perasaan seram di dalam hati A Liong. Jangan-jangan ada hantu yang hendak menakut-nakuti dirinya. Tapi dasar A Liong. Rasa takut itu hanya singgah sebentar saja dalam hatinya. Sesaat kemudian matanya justru mencari-cari, kemana perginya lampu aneh itu. Namun sampai beberapa waktu kemudian lampu itu tak dapat dilihatnya kembali, sehingga A Liong menganggap dia tadi hanya melihat bayang-bayang saja. Mungkin karena dia terlalu lelah, lapar dan mengantuk, pandangannya menjadi kabur. Seolah-olah matanya melihat sebuah lampu minyak yang sebenarnya tak pernah ada.

   "Ah, karena kedinginan dan kelaparan, pikiranku membayangkan hal yang bukan-bukan. Aku... Hei?!? Ke manakah kawanan ikan besar tadi?" Sekali lagi mata A Liong belingsatan kesana-kemari. Tapi tak terlihat apapun di sekelilingnya. Di mana-mana hanya hitam. Hitam dan hitam. Hanya sekali-sekali terlihat kilatan sinar bintang yang memantul di ujung riak dan gelombang.

   "Wah, jangan-jangan ikan itu juga... Hantu laut!" Rasa seram kembali mencekam hati A Liong. Kubangan hitam di bawahnya itu entah sampai di mana dasarnya. Dan di dalamnya tentu dihuni oleh bermacam-macam makhluk mengerikan. Tiba-tiba ingin rasanya ia menarik kakinya dan naik ke atas gentong kayu itu. Tapi mana mungkin ia bisa melakukannya? Gentong kayu itu tak cukup kuat untuk menampung tubuhnya. Akibatnya ia se-perti berada di depan mulut ikan paus, yang sewaktu-waktu akan menelannya. Kini rasa takut benar-benar telah menguasai hati A Liong. Keberanian yang dimilikinya hampir tak kuasa lagi bertahan menghadapi peristiwa yang belum pernah dialaminya itu. Bagaimanapun juga rasa lelah dan lapar membuat daya tahannya menurun.

   "Oooh, tampaknya... tampaknya aku sudah... Hei, apa itu?" Untuk ketiga kalinya mata A Liong terbelalak! Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah sampan kecil muncul dan melintas dengan cepat di depannya! Sekilas tampak bayangan seorang manusia duduk di dalamnya.

   "Cici Siau In...?!? Otomatis lidah A Liong menyebut nama Siau In. Seperti orang kesetanan A Liong berenang mengejar sampan itu. Demikian bersemangatnya sehingga gentong kayu yang terikat dengan sabuknya itu hampir terlepas dari tubuhnya. Tapi bersamaan dengan datangnya segulung ombak, sampan itu mendadak lenyap begitu saja. Sampan kecil itu bagaikan ditelan masuk ke dalam perut ombak yang ganas. Beberapa saat lamanya A Liong masih mencari kesana-kemari, tapi suasana yang gelap itu tidak menguntungkannya. Seluruhnya kembali berwarna hitam. Hitam mengerikan. A Liong tertunduk lemah. Rasa lelah dan lapar benar-benar membuat keseimbangan batinnya menjadi kacau.

   "Gila! Lama-lama aku bisa gila kalau begini...!" Demikianlah, sampai saatnya matahari memancarkan sinarnya di ufuk timur. A Liong tetap tak bisa memejamkan matanya. Rasa lapar benar-benar sangat menyiksanya sehingga matanya terasa berkunang-kunang. Air laut yang bergejolak merah bak genangan darah itu tak mampu lagi menarik perhatiannya. Burung-burung laut mulai beterbangan mencari mangsa. Suaranya terdengar nyaring di antara gemuruhnya deru gelombang. Mereka melayang berputaran di atas kepala A Liong, seolah-olah mereka ingin memastikan makhluk aneh yang terapung di bawah mereka.

   Bahkan ada satu dua ekor, yang berani mendekati dan menyambar rambut pemuda itu. Tapi gangguan burung itu tak mampu lagi mengusik perhatian A Liong. Pemuda itu sudah memutuskan untuk tidak mempedulikan lagi bayang-bayang buruk yang menggoda matanya. Pemuda itu tetap mengira bahwa semua yang dilihatnya hanyalah bayangan, yang sekejap kemudian tentu akan hilang tertiup angin. Demikian pula ketika tiba-tiba pemuda itu melhat kawanan ikan lumba-lumba datang mendekati. A Liong sama sekali ak peduli. Bahkan pemuda itu tetap tak tertarik pula ketika binatang-binatang menyenangkan itu bermain-main di atas permukaan air. Mereka bergantian meloncat ke udara dan berenang berputaran mengelilingi sebuah sampan yang ditumpangi oleh seorang kakek tua.

   "Ah, tipuan lagi...! Paling-paling cuma bayangan yang hendak menggoda mataku saja! Huh!" A Liong bergumam sambil memejamkan matanya.

   "Duuuuk!" A Liong terperanjat. Seekor di antara ikanllAnba-lumba itu menyi tuh punggungnya dan nyaris melempar kannya ke dalam air. Ketika A Liong berputar untuk melihat pengganggunya, sampan kecil itu telah berada di depan matanya. Bahkan ia dapat melihat dengan jelas senyum kakek itu. A Liong mengucak-ucak matanya. Dia tetap belum percaya apa yang dilihatnya. Tapi ketika kakek di atas sampan itu menyapanya, A Liong baru tergagap kaget.

   "Anak muda, kau siapa...? Mengapa kau terapung-apung di sini? Apakah kau juga dari Pondok Pelangi?" A Liong yang masih dalam keadaan gugup tak bisa segera menjawab. Pemuda itu masih belum yakin kalau-yang dihadapi adalah manusia biasa seperti dirinya. Dia masih tetap beranggapan bahwa apa yang dilihatnya itu cuma bayangan seperti tadi malam.

   "Byuuuuuur!" Sebuah ombak yang amat besar menghantam sampan kecil itu hingga terlempar jauh. Begitu pula dengan gentong kayu A Liong. Barang itu terlempar pula bersama-sama dengan pe-numpangnya. A Liong gelagapan seperti anak ayam yang tercebur ke dalam kolam. Namun demikian, begitu muncul dari dalam air, yang pertama dicarinya adalah kakek tua itu. Tapi sekali lagi hatinya menjadi kecewa sekali. Tak ada sebuah bendapun tampak di sekitarnya.

   "Gila! Aku sudah gila!" Umpatnya penuh geram.

   "Byuuuuur!" Makian dan kekesalan pemuda itu dijawab dengan gempuran gelombang lagi. Bahkan kali ini ombak yang datang lebih besar daripada tadi. Begitu besarnya sehingga gentong kayu itu terlempar jauh dan terlepas dari A Liong! A Liong tidak menyadari bahwa tubuhnya terseret ke dalam pusaran air yang sangat ganas. Sebuah pusaran yang tercipta dari pergesekan dua buah arus laut. Air laut di tempat itu berputar dengan kuat sekali. Jangankan manusia kecil seperti A Liong, sebuah perahu besarpun dengan mudah akan dipilinnya seperti baling-baling. Seperti sehelai daun kering yang tak ada artinya, tubuh A Liong timbul tenggelam tak berdaya. Memang, bagaimanapun hebat kekuatan dan kesaktian manusia, dia tetap takkan mampu melawan keganasan. alam.

   Akhirnya yang bisa dilakukan oleh A Liong hanya bertahan dan mencoba untuk menyelamatkan diri. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki nyawa A Liong. Terbukti dengan segala kekuatannya pemuda itu masih bisa melepaskan diri dari pusaran air yang menggulungnya. Bahkan dengan sisa-sisa tenaganya A Liong masih bisa berenang menjauhi tempat itu. A Liong berenang bagaikan dikejar setan. Pemuda itu sama sekali tak sempat memikirkan arah dan tujuannya. Yang penting bagi pemuda itu, bagaimana menjauhkan diri dari tempat tersebut secepatnya. Setelah terbebas dari cengkeraman maut, barulah terasa oleh A Liong betapa lemas seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja semangat dan kekuatannya seperti tiada lagi. Bahkan untuk bertahan agar tidak tenggelampun pemuda itu sudah tak mampu lagi.

   Bagaikan sebongkah batu yang tak memiliki kekuatan apa-apa, tubuh A Liong tenggelam. Tiba-tiba seutas tali menjerat kaki A Liong dan di lain saat tubuh pemuda itu ditarik ke atas lagi. A Liong tidak tinggal diam. Merasa ada yang membantunya, tangannya berusaha menggapai seke-nanya. Pemuda itu berpendapat, asal tangan dan kakinya bergerak tubuhnya tak-kan tenggelam. Tapi pada gerakan yang kesekian kalinya, tangan A Liong merasa menyentuh sesuatu. Ketika pemuda itu mengangkat kepalanya, hampir saja dahinya melanggar dinding sampan yang mendadak saja sudah berada di depan hidungnya. Dalam kekagetannya tangan A Liong masih tak lupa untuk meraih pinggiran sampan itu. Bahkan pemuda itu tak menampik ketika kakek tua yang mengemudikan sampan itu mengulurkan tangan untuk menolongnya.

   "Wah, kita benar-benar mendapatkan ahli waris itu! Bukan main! Semula, aku sudah tidak yakin dia bisa keluar dari pusaran air itu! Sudah sekian puluh tahun kita menunggu, tak seorang manusiapun mampu keluar dari lubang itu! Hmm... ternyata benar juga kata Souw Ju Kang." Tiba-tiba terdengar suara di belakang A Liong.

   A Liong tertegun dan hampir saja melepaskan tangannya yang dipegang oleh kakek itu. Ia bergegas membalikkan badannya untuk mencari asal. suara itu. Dan entah dari mana. datangnya, tiba-tiba di belakangnya telah ada sebuah sampan yang lain. Sampan kecil dengan seorang kakek pula sebagai penumpangnya. Orang itulah yang berbicara tadi. A Liong mengejap-ngejapkan matanya. Walaupun sudah yakin kalau mereka adalah orang-orang biasa, namun dandanan dan wajah mereka tetap terasa aneh bagi mata A Liong. Kakek pertama, yang berada di dekat A Liong bertubuh gemuk pendek. Rambutnya yang putih seperti perak itu digelung ke atas dan diikat seperti layaknya para pendeta Agama To.

   Jubahnya sudah sangat lusuh dan penuh tambalan. Namun wajah kakek itu kelihatan terang dan bercahaya. Anehnya, walaupun rambut di kepalanya sudah putih semua, tetapi alis mata, kumis dan jenggotnya tetap berwarna hitam legam seperti rambut pemuda belasan tahun. Sedangkan kakek yang ke dua, bertubuh kurus, rambutnya dibiarkan terurai panjang di belakang punggungnya. Namun seperti halnya kakek pertama, rambut yang tumbuh di kepala kakek itu juga terbagi dua. Bahkan pembagian warnanya benar-benar sangat aneh dan tidak masuk akal. Kepala itu bagaikan terbelah menjadi dua bagian! Bagian sebelah kiri, rambutnya berwarna putih, semen-tara di bagian kanan berwarna hitam legam. Pembagian warna itu benar-benar sangat aneh dan mentakjubkan.

   "Hei, bocah! Apa yang kau lihat? kau belum pernah melihat orang seperti kami?" kata yang bertubuh kurus itu bertanya. Suaranya keras dan kaku. Raut mukanya tampak dingin penuh rasa curiga.

   "Lalala... tentu saja dia masih bingung, Kek Ong! Ayoh, kita tolong dulu, baru nanti kita tanyakan siapa dia! Jangan kau takut-takuti dia dengan wajahmu yang jelek itu, lalala!" Kakek pertama yang bertubuh gemuk itu menegur temannya sambil tertawa. Kakek kurus itu terdiam. Matanya yang tajam bagai mata burung elang itu menatap kawannya. Kemudian sambil membuang muka ia menggeram, seolah-olah berbicara dengan burung-burung laut yang beterbangan di sekitar mereka.

   "Huh, kau kira tampangmu yang bulat berminyak itu juga tampan, heh? Sejak dulu setiap orang selalu mengatakan kalau Bok Kek Ong lebih ganteng dari?pada Soat Ban Ong." Kakek Soat Ban Ong yang gemuk itu tidak mempedulikan kedongkolan hati kawannya. Ia tetap tertawa terkekeh-kekeh. Sambil tertawa tangannya menarik tubuh A Liong ke dalam sampannya.

   "Jangan takut, anak muda. Kami berdua memang sering berselisih dan suka berolok-olok, tetapi kami tak pernah bersungguh-sungguh. Kami adalah sahabat karib selama enam puluh tahun, la-lalaaaaaa. Bukankah begitu, Kek Ong?"

   "Huh!" Bok Kek Ong hanya mendengus saja. Ia memutar sampannya dan mendahului berangkat meninggalkan tempat itu. Kakek Soat Ban Ong segera membalikkan sampannya pula dan mengayuhnya di belakang Kakek Bok Kek Ong. Belasan ikan lumba-lumba tiba-tiba muncul kembali di sekitar mereka. Kawanan ikan besar itu berenang di kanan kiri mereka bagaikan sepasukan pengawal yang sedang melindungi junjungannya. Sambil mendayung Kakek Soat Ban Ong bercerita. Mereka berdua tinggal di sebuah gugusan pulAu-yang terpencil di tengah-tengah samudra luas. Gugusan pulau itu terdiri dari delapan pulau kecil-kecil, yang hanya ditumbuhi jamur dan lumut. Dan mereka sudah lebih dari setengah abad tinggal di sana. Sayang keadaan dan situasi di tempat itu membuat mereka berdua selalu terkurung dan tak bisa keluar ke tempat lain. Apalagi kembali ke daratan Tiongkok.

   "Mengapa tak bisa? Bukankah Lo-Cianpwe berdua juga bisa bersampan sampai ke tempat ini?" Tak terasa A Liong berseru. Meskipun demikian pemuda itu tak berani sembarangan menyebut nama mereka. Ia tahu bahwa mereka adalah orang-orang sakti. Kakek Soat Ban Ong menoleh sambil tersenyum. Ia kelihatan amat gembira melihat A Liong sudah mau bicara. Ia tidak segera menjawab pertanyaan A Liong, tapi sebaliknya malah menepuk pundak pemuda itu.

   "Lalala, tampaknya rasa kagetmu sudah hilang sekarang. Bagus, siapa namamu, Nak? Dari mana kau datang? Apakah kau terjatuh dari perahu yang kau tumpangi?" A Liong menarik napas panjang. Perasaannya memang telah menjadi tenang sekarang. Pertemuannya dengan kedua orang itu benar-benar telah menyingkirkan kegalauan hatinya. Tapi dengan demikian tiba-tiba dia merasakan betapa dinginnya udara di tempat itu. Bahkan dalam guyuran sinar mentari yang kemerah-merahan itu kulitnya masih tetap terasa tebal dan kaku.

   "Lalala... Mengapa mulutmu terdiam lagi?"

   "Eh-oh, maaf... Lo-Cianpwe. Aku hanya merasa kaget saja, mengapa tiba-tiba udara menjadi dingin sekali?"

   "Jadi kau tidak merasakan dinginnya udara di sini? Wah, hebat sekali kalau begitu! Coba kau lihat sekelilingmu! Laut di sini tidak begitu bergolak seperti di sana tadi, tapi airnya bisa kau rasakan perbedaannya. Sekali tercebur ke dalam air, tubuhmu akan segera berubah menjadi balok kayu yang tak bisa ditekuk-tekuk lagi. Lalala

   A Liong terkejut. Tangannya segera meraup air di bawahnya. Dan tangan itu cepat-cepat ditariknya kembali. Jarinya serasa membeku.

   "Lo-Cianpwe... di mana kita sekarang? Mengapa air laut di sini dingin sekali?"

   "Lho, masa kau tidak tahu kalau kita berada di Laut Utara?"

   "Laut Utara?" A Liong benar-benar kaget. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu sehari semalam dia bisa terseret ombak sedemikian jauhnya?

   "Hei, mengapa kau kelihatan terperanjat? Memangnya kau dari mana?" Soat Ban Ong bertanya dengan kening berkerut. Sekali lagi A Liong menghela napas panjang. Matanya memandang kakek Soat Ban Ong seolah tak percaya... Dari Hang-ciu ke Laut Utara ada ribuan lie jauhnya. Bagaimana mungkin ia bisa percaya akan hal itu?

   "Lo-Cianpwe, namaku A Liong. siauwte datang dari daratan Tiongkok, dari kota Hang-ciu di Propinsi Se-kiang..."

   "Hang-ciu? Di mana itu? Ah, sejak kecil aku memang belum pernah menginjak daratan Tiongkok, jadi... ya, mana aku tahu tempat itu?" Kakek itu terdiam, begitu pula A Liong, sehingga suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat lamanya. Gelombang lautpun hampir tidak ada lagi. Permukaan air kelihatan tenang. Namun A Liong menjadi heran ketika merasakan sampan yang ditumpanginya itu melaju semakin cepat tanpa dikayuh.

   "Lociapwe, sampan ini... sampan ini bisa berjalan sendiri?" serunya bingung.

   "Berjalan sendiri? Lalala... Masa engkau tidak tahu? Kita berada di jalur arus laut yang menuju ke utara, maka tanpa dikayuhpun sampan ini akan berjalan sendiri Kita hanya menjaga saja agar sampan tidak berputar-putar."

   "Arus laut...? Masa di dalam genangan air juga ada air yang mengalir? Aneh!" Soat Ban Ong tertawa.

   "A Liong, tampaknya kau belum mengenal jenis-jenis laut di sini. Sungguh mengherankan. Belum kenal, tapi kau mampu membebaskan diri dari sedotan pusaran maut itu. Hmmm, tampaknya Thian memang benar-benar mengirimkan kau kepadaku." A Liong tidak tahu maksud perkataan Soat Ban Hong, tapi ia tak berkata apa-apa. Sementara itu sampan Kakek Bok Kek Ong yang berada jauh di depan tampak diselimuti kabut tebal. Sampan itu kelihatan bergoyang-goyang, ke kanan dan ke kiri. Bahkan sejenak kemudian Bok Kek Ong tampak berusaha mempertahankan sampannya. Sampan itu mulai berputar-putar. Ketika A Liong mencoba memperhatikannya lebih lama, ternyata air laut yang tenang itu sudah mulai bergolak di depan sana.

   "Lo-Cianpwe, lihat...! Bok Lo-Cianpwe seperti mendapat kesulitan." A Liong berseru.

   "Jangan khawatir. Tenang saja. Kami sudah biasa melewati tempat itu. Daerah mi adalah daerah tempat kami bercanda dan bermain-main setiap hari." Soat Ban Ong menjawab tenang. Tiba-tiba A Liong teringat sesuatu.

   "Lo-Cianpwe, kau tadi mengatakan bahwa kalian berdua hidup terkurung di pulau itu, tanpa bisa pergi kemana-mana. Tapi... eh, bukankah Lo-Cianpwe bisa bersampan kemana saja? Apa maksud perkataan Lo-Cianpwe itu?"
(Lanjut ke Jilid 15)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 15
Soat Ban Ong menatap mata A Liong beberapa saat lamanya, kemudian, menghela napas panjang berkali-kali.
"Kelihatannya laut di sini biasa-biasa saja. Tidak berbahaya. Bahkan berkesan sangat tenang. Tapi pada waktu-waktu tertentu air laut ini akan berubah menjadi ganas darn mengerikan. Jangankan hanya sampan kecil seperti ini, perahu dagang yang sangat besarpun tidak akan berani melewati tempat ini. Itulah sebabnya daerah ini sangat sepi dan tak pernah dilalui orang."
"Tapi Lo-Cianpwe berdua berani juga sampai di sini, walaupun hanya dengan sampan kecil."
Soat Ban Ong tertawa.

   "Ya, karena selama setengah abad kami berdiam di sini, kami telah mengenal betul semua lika-liku dan rahasianya. Sehingga kami bisa memilih dan menghindari bahaya-bahaya yang ada. Nah, kau lihat tempat yang kini sedang dilalui oleh Kakek Bok Kek Ong itu? Tempat itu justru tempat yang paling aman dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain. Tempat itu merupakan titik pertemuan antara arus laut dari arah barat dan arus laut dari arah selatan. Karena tempat itu adalah tempat bertemunya dua buah arus laut, maka di sekelilingnya banyak terbentuk pu-saran-pusaran maut yang berbahaya. Kami pernah menghitung, kira-kira ada sebelas pusaran besar dan kecil di tempat itu. Semua pusaran itu dapat menghisap dan menelan perahu sebesar apa pun."
"Menghisap dan menelannya?"
"Ya, pusaran itu berputar pada porosnya. Semakin mendekati porosnya, putarannya semakin cepat dan kuat. Dan pada porosnya itu terdapat lubang menganga, yang siap menelan semua mangsanya."
A Liong mengerutkan dahinya dengan perasaan ngeri. Pikirannya \ segera membayangkan dasar laut yang gelap dan dalam di mana pusat dari pusaran itu berada. Di sana tentu banyak barang-barang atau makhluk-makhluk yang pernah ditelan oleh pusaran itu.
"Ah!" A Liong berdesah pendek.

   "Tapi mengapa kita tidak menghindar saja sejauh-jauhnya, keluar dari aliran arus ini?"
"Waduh, tidak semudah itu melakukannya. Keluar dari arus ini berarti kita harus bertempur dengan rombongan ikan hiu dan ikan cucut yang haus darah. Kita tidak dapat melawan mereka dengan sampan sekeejj ini. Lubang mulut mereka mampu mencaplok dan menelan sampan ini berikut isinya."
"Lalu... Kenapa Lo-Cianpwe tidak berusaha membuat perahu yang lebih besar agar bisa keluar dari tempat ini?"
"Hai, bagaimana kami bisa membuat perahu besar kalau di pulau itu hanya ada tumbuhan jamur dan lumut? Coba kau lihat sampanku ini! Sampan ini hanya terbuat dari tulang rusuk ikan hiu. Ra-tusan batang tulang rusuk ikan hiu kami susun dan kami rekatkan dengan getah jamur. kau tahu, berapa tahun kami harus menyelesaikan pembuatan sampan ini? Lima belas tahun!
A Liong terbelalak. Otomatis tangannya meraba pinggiran sampan itu. Memang benar, sampan itu terbuat dari jajaran tulang rusuk ikan hiu. Kotoran dan lumut tebal yang tumbuh di sela-selanya telah menyembunyikan bentuk aslinya.
"Bukan main..." A Liong membatin.
Bok Kek Ong telah berhasil melewati daerah berbahaya itu. Kini giliran sampan Kakek Soat Ban Ong yang harus melewati daerah tersebut. *, Hati A Liong menjadi tega cangan air di bawah sampan m lai terasa. Semakin lama semakin kuat Bahkan hantaman ombak datang dari segala jurusan. Kadang kala dari depan, kemudian dari belakang dan di lain saat dari samping. Akibatnya Soat Ban Ong menjadi sulit mengendalikan arahnya. Namun demikian kakek itu tetap berusaha mengarahkan sampannya ke tempat pertemuan dua arus itu.
A Liong merasa ngeri menyaksikan deburan air yang semakin lama semakin menggila. Semburan air yang melonjak ke atas membasahi udara di sekitarnya, membuat tempat itu bagaikan tertutup oleh kabut tebal. Bagi yang belum tahu, tempat itu tentu akan dihindari dan dijauhi. Padahal justru tempat itulah daerah yang paling aman untuk menyeberang Di luar daerah itu merupakan daerah berbahaya yang menyimpan seribu jebakan mengerikan.
Rasa takut justru membuat A Liong tidak bisa memejamkan matanya. Begitu menembus kabut air itu ia merasakan goncangan-goncangan yang keras pada sampannya. Tubuhnya yang terguyur semburan air itu merasakan adanya hawa panas dan dingin di sekitarnya. Remang-remang A Liong melihat jilatan-jilatan lidah ombak menggapai ke udara. Sepintas lalu bagaikan jin dan setan yang berloncatan gembira dalam semburan kabut tebal.
Kakek Soat Ban Ong mati-matian mengendalikan sampannya. Namun demikian ia selalu berseru memperingatkan A Liong agar berpegangan dengan kuat. Sekali terpental dari sampan dan jatuh ke dalam air, berarti jiwa A Liong tak bisa tertolong lagi.
Meskipun tak bisa melihat dengan jelas, tapi A Liong benar-benar kagum menyaksikan kehebatan Kakek Soat dalam mengemudikan sampannya. Berkali-kali kakek itu harus melompat, berjum-palitan dan menjepit sampannya, untuk tetap menjaga agar sampan itu tidak terbalik.
"A Liong, pejamkan matamu! Jangan melihat apa-apa! Rasa ngeri-akan membuatmu mual dan pusing! Berpeganglah kuat-kuat pada pinggir perahu.
Tapi mana bisa A Liong memejamkan matanya? Semakin dahsyat gempuran air laut menggoncang sampannya, justru semakin lebar pula pemuda itu membuka matanya. Rasa takut dan ngeri malah membuat pemuda itu semakin waspada. Matanya justru jelalatan kesana-kemari, berjaga-jaga bila ada sesuatu yang membahayakan dirinya.
Semburan air yang tinggi, ditingkah oleh gemuruhnya suara air da angin, membuat suasana di tempat itu benar-benar menakutkan! Namun justru di tempat itulah A Liong melihat betapa he-batnya kepandaian Kakek Soat Ban Ong. Kakek tua yang bertubuh gemuk pendek itu bergerak lincah melebihi kemampuan anak muda. Untuk mengendalikan sampan agar tidak bergeser dari tujuannya; serta menjaga agar sampan itu tidak terbalik. Kakek itu benar-benar mengeluarkan se-gala kesaktiannya. Sampan kecil yang ditumpangi A Liong itu bagaikan sebuah barang mainan saja baginya. Kadang-ka-, dang sampan itu dijepit dengan kedua kakinya dan dibawa melenting ke atas seperti meninjing keranjang sampah atau suatu saat dayung kecilnya yang terbuat dari tulang itu menghantam lidah ombak yang hendak menggempur sampannya. Dan A Liong sampai melongo menyaksikan ombak itu meledak berhamburan seperti menerjang batu karang!
"Siapa sebenarnya kakek ini? Rasanya aku belum pernah mendengar namanya di Dunia Persilatan..."
Mungkin ada sepeminuman teh lamanya mereka harus bertarung dengan tempat berbahaya itu. Begitu terlepas dari tempat itu Kakek Soat masih harus mengendalikan sampannya agar tetap bera-da pada jalur arus laut yang membawanya. Sedikit saja melenceng, maka kemungkinan hidup akan sangat kecil. Kalau tidak ditelan oleh pusaran air, mereka tentu akan dikeroyok dan diperebutkan oleh kawanan ikan buas.
A Liong mendengar bermacam-macam gaung suara angin di sekitarnya. Ada yang bernada rendah, tapi juga ada yang bernada tinggi. Suara itu seperti suara-suara gasing di lomba permainan anak-anak.
"Suara apa itu, Lo-Cianpwe?"
Soat Ban Ong menarik napas lega. Setelah melewati daerah berkabut itu tugasnya menjadi lebih ringan, walaupun sebenarnya bahaya-bahaya yang lain masih banyak lagi.
"Itulah suara Pusaran Air yang kuceritakan tadi. Di kanan-kiri jalur perjalanan kita ini terdapat belasan Pusaran Air. Begitu kencangnya putaran air sehingga menimbulkan gesekan angin seperti itu."
Walaupun tidak merasa ngeri lagi, tapi wajah A Liong masih tampak pucat. Pemuda itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan kakek itu.
Kakek Bok Kek Ong yang telah menunggu di depan, melambaikan tangannya begitu melihat Kakek Soat Ban Ong keluar dari tabir kabut.
Kakek Soat Ban Ong membalas lambaian itu dan memberi isyarat untuk meneruskan perjalanan mereka.
"Kau lihat gugusan pulau-pulau di garis cakrawala itu? Di sanalah tempat tinggal kami..." Kakek Soat Ban Ong mengangkat jarinya ke depan.

   "Oooo, indah sekali...!" A Liong membelalakkan matanya. Di depan matanya terbentang sebuah panorama alam yang luar biasa sekali. Permukaan laut tampak berkilat-kilat kuning kemerahan. Sementara kabut yang ter-cipta dari semburan air pusaran, bertebaran ke udara bagaikan mau menggapai langit. Ditingkah oleh cahaya mentari maka semburan kabut itu menciptakan beberapa lembar pelangi, yang berkelak-
kelok mempesonakan. Benar-benar keindahan alam yang sangat mentakjubkan!
"Tempat ini memang selalu dikelilingi pelangi. Kabut tipis yang ditimbulkan oleh pusaran air itu akan membiaskan cahaya matahari dalam bentuk warna yang indah-indah."
Tiba-tiba A Liong teringat ucapan Kakek Soat Ban Ong tadi malam, pada saat kakek itu melihat dia untuk pertama kali.
"Lo-Cianpwe... Kalau tidak salah tadi malam Lo-Cianpwe mengatakan bahwa aku datang dari Pondok Pelangi. Apa yang Lo-Cianpwe maksudkan? Apakah ada Pondok Pelangi di sekitar tempat ini? Di mana tempatnya?"
Sungguh mengherankan. Mendengar pertanyaan A Liong tentang Pondok Pelangi, wajah Kakek Soat Ban Ong tampak kaget. Tapi cuma sebentar, karena di lain saat orang tua itu telah tertawa kembali.
"Yah... jauh di sebelah utara sana memang ada sebuah gugusan pulau lagi. Namanya Kepulauan Pelangi, karena se-
tiap hari tempat itu juga diselimuti pelangi. Berbeda dengan tempat tinggal kami, tempat itu sangat subur dan menyenangkan untuk tempat tinggal. Maka tidak mengherankan bila pulau-pulau itu telah dihuni orang sejak ribuan tahun lalu. Mereka hanya terdiri dari tiga buah keluarga besar, yaitu Keluarga Soat, Souw dan Bok. Karena tempat itu terpencil dan tidak bisa didatangi orang, maka mereka mendirikan kekuasaan sendiri, terlepas dari daratan Tiongkok. Mereka menyebut negeri mereka Kerajaan Pelangi. Mereka mendirikan sebuah Istana sederhana yang disebut Pondok Pela-ngi. Dan yang paling menonjol dari mereka adalah ilmu silat khusus yang hanya bisa dipelajari oleh masyarakat mereka sendiri..."
A Liong mengerutkan keningnya dan kakek itu tertawa melihatnya.
"Kau tak percaya?"
A Liong tersenyum kecut. Ia memang tidak mempercayainya. Bagaimana mungkin sebuah ilmu silat hanya bisa dipelajari oleh masyarakat tertentu? Apakah ilmu silat itu menuntut sesuatu yang khusus dari orang yang ingin mempelajarinya? Misalnya orang itu harus mempunyai empat tangan atau empat kaki?
Kakek Soat Ban Ong duduk di pinggiran sampan. Mereka telah melewati daerah berbahaya dan kini tinggal mengikuti arus saja. A Liong merasa lega. Sambil lalu pemuda itu ikut-ikutan duduk di tepi sampan.
"Aaaaaaah...!"
A Liong menjerit. Sampan itu bergoyang miring begitu menerima beban tubuhnya. Untunglah Kakek Soat Ban Ong cepat menyambar lengannya.
"Lalala, kenapa kau ini? Mau bunuh diri, ya? Enak saja duduk di pinggiran sampan. kau kira tubuhmu itu enteng? Tubuh gembrot segede gajah begitu mau main goyang-goyangan, lalalalaaaa."
"Tapi... tapi... Lo-Cianpwe sendiri juga duduk di pinggiran sampan. Padahal Lo-Cianpwe... Malah lebih gemuk dari pada saya." Dalam kegugupannya A Liong mencoba membela diri.
Tak terduga orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh. Begitu geli hatinya sehingga matanya yang sipit itu sampai mengeluarkan air mata. Selesai tertawa tiba-tiba orang tua itu melemparkan da-yungnya ke laut, lalu tubuhnya yang gemuk pendek itu melesat mengejarnya.
Dayung kecil dari tulang ikan yang panjangnya hanya satu lengan orang dewasa itu jatuh di atas permukaan air. Dan sebelum benda itu hanyut dibawa gelombang, kaki kanan Soat Ban Ong lebih dulu mendarat di atasnya. Selanjutnya bagaikan seorang pemain sulap kakek itu berayun-ayun di atas dayung kecil tersebut. Sungguh sangat mengherankan sekali, dayung kecil itu sama sekali tidak amblas atau terbenam karenanya.
Tentu saja pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna itu benar-benar mengagumkan hati A Liong.
"Wah, seharusnya aku sudah tahu sejak tadi kalau orang tua ini memiliki kesaktian yang hebat."
Selesai mempertunjukkan kebolehannya Kakek Soat Ban Ong kembali meloncat ke dalam sampan. Tak lupa dayung kecilnya itu dibawa pula. Dengan mengulum senyum ia mengawasi A Liong.
"Nah, sebelum kau bisa berdiri di atas dayung ini... tak mungkin kau dapat duduk di pinggiran sampanku. Lalalaaaaa..."
"Wah, mana mungkin bisa..." A Liong menyahut dengan cepat.
"He, kenapa tidak bisa? Asal mau belajar setiap orang pasti bisa."
A Liong tak menjawab. Sebenarnya ingin sekali dia belajar Ilmu Meringankan Tubuh seperti orang tua itu, karena dia juga ingin bisa bergerak lincah seperti halnya Siau In. Tapi bagaimana caranya? Sebagai orang yang baru saja kenal, tak mungkin kakek itu mau mengajarinya.
"Tapi Lo-Cianpwe tadi mengatakan bahwa ilmu silat dari Kerajaan Pelangi tidak bisa dipelajari oleh sembarang orang." A Liong menjawab sekenanya.
Tak terduga wajah Soat Ban Ong berubah hebat mendengar jawaban tersebut. Matanya yang sipit berkilat-kilat memandang A Liong.
"Kau bilang apa? kau tahu ilmu silatku dari... dari Pondok Pelangi?"
A Liong menjadi kaget juga. Sebenarnya dia cuma bicara sembarangan, karena otaknya yang cerdas hanya menerka-nerka saja tentang siapa kakek itu.
"Maaf, Lo-Cianpwe. Aku hanya menduga-duga saja dari cerita Lo-Cianpwe tadi. Lo-Cianpwe mengatakan bahwa Pondok Pelangi hanya dihuni oleh keluarga Soat, Souw dan Bok. Sementara Lo-Cianpwe berdua dari keluarga Soat dan Bok..."
Kakek Soat Ban Ong termangu sebentar, tapi sesaat kemudian tawanya meledak lagi.
"Bukan main! kau sangat cerdas dan teliti sekali, lalalala."
Wajah A Liong menjadi merah oleh pujian itu. Dan kakek itu semakin senang melihatnya.
"Sudahlah! Kita sudah sampai. Lihat...! Pulau itu tak memiliki apa-apa, bukan?"
A Liong mengangkat mukanya. Benar, pulau itu telah berada di depan matanya. Sebuah gugusan pulau berpasir putih, dengan batu-batu karang berwarna putih pula, membuat pulau itu bagaikan lembaran kapas yang terapung di atas air.
Demikianlah, akhirnya mereka sampai juga di tempat Kakek Soat Ban Ong. A Liong melihat Kakek Bok Kek Ong sudah mendaratkan sampannya di atas pasir. Bahkan kakek itu telah menyeretnya jauh ke daratan. Tampaknya kakek itu tak ingin sampannya yang sangat berharga itu terseret kembali ke tengah lautan.
Selesai menyimpan sampannya, Kakek Bok Kek Ong segera menyelinap pergi tanpa menunggu kedatangan mereka. Namun Kakek Soat Ban Ong juga tidak peduli. Setelah mengikat sampannya di tempat aman, Kakek Soat Ban Ong segera menggandeng lengan A Liong.
"Nah, A Liong... Marilah kita pergi ke rumahku dulu. Setelah menyiapkan makan kita bisa bercerita lagi. Ayoh...!"
Mereka berjalan ke tengah pulau, mengikuti jejak Bok Kek Ong yang telah berjalan lebih dulu. Di sepanjang jalan A Liong tidak henti-hentinya mengagumi panorama di atas pulau itu. Walaupun tidak ada tumbuh-tumbuhan besar, namun bebatuan yang ditumbuhi lumut dan ja-
mur itu mampu menampilkan pemandangan tersendiri.
Di bawah pantulan cahaya matahari, batu-batu karang yang menonjol di sana-sini itu seperti memercikan sinar warna-warni. Merah, biru, kuning, hijau. Sungguh indah sekali. Apalagi lumut dan jamur yang tumbuh di atasnya juga memiliki warna yang bermacam-macam. Dari jauh tumbuh-tumbuhan kecil itu seperti rangkaian bunga yang mekar bersama-sama.

   "Ah, suasananya benar-benar seperti di taman Istana saja!" Tak terasa lidah A Liong berdecak kagum. Kakek Soat Ban Ong mengajak A Liong ke suatu tempat di mana terdapat rimba batu karang yang menjulang tinggi ke udara. Seperti halnya bebatuan di tepi pantai tadi, maka batu karang raksasa yang ada di tempat itu juga memiliki warna yang beraneka macam. Berkilat-kilat gemerlapan seperti batu permata. Kakek Soat Ban Ong memasuki sebuah gua kecil. Di dalamnya tampak tertata rapi. Ada bermacam-macam peralatan di pojok gua itu. Ada peralatan masak, peralatan memancing dan sebagainya.

   "Lo-Cianpwe tinggal di gua ini?" Kakek Soat Ban, Ong mengangguk.

   "Memangnya ada apa?" A Liong tidak menjawab. Dia justru keluar dan melongok ke luar gua.

   "Sejak tadi aku tidak melihat Bok Kek Ong Lo-Cianpwe. Ke manakah dia?"

   "Alala aa... tentu saja dia berada di rumahnya sendiri. Eh, apakah kau ingin berkunjung ke sana, A Liong?"

   "Oh? Jadi Lo-Cianpwe tidak tinggal bersama?"

   "Wah, gawat! Jelek-jelek kami berdua ini lelaki semua. Masa kami harus tinggal bersama seperti suami-isteri, heh? kau pikir salah satu dari kami ini banci?" A Liong cepat merangkapkan tangan di depan dada.

   "Maaf, Lo-Cianpwe Bukan... bukan begitu maksudku. Locian-. pwe berdua tidak memiliki sanak saudara lagi. Bukankah lebih baik hidup berde-
katan... agar dapat saling tolong-menolong satu sama lain?"

   "Wah, siapa bilang kami tidak mempunyai sanak saudara lagi? kau salah! Keluarga kami sangat banyak. Cuma kami tak bisa bertemu dengan mereka, karena semuanya berada di Kepulauan Pela-ngi." Kakek Soat Ban Ong menyela dengan suara tinggi.

   "Sangat banyak?" A Liong berdesah kaget.

   "Tapi... Mengapa tak bisa ke sana? Bukankah Lo-Cianpwe dapat naik sampan?" Kakek Soat Ban Ong menatap A Liong dengan tajamnya. Mata itu seperti hendak berbicara banyak, tapi tak jadi. Kakek itu membalikkan tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam gua. Wajah yang biasanya tampak gembira itu tertunduk lesu. A Liong bergegas mengikutinya. Tapi kini pemuda itu tak berani berkata sem-barangan lagi. Dia segera duduk pula ketika kakek itu merebahkan tubuhnya di atas batu datar, yang selama ini di-pergunakan sebagai tempat tidur.

   "Kau ingin tahu mengapa kami tidak dapat kembali ke Kepulauan Pelangi? Baiklah, aku akan bercerita. Tapi sebelumnya aku ingin tahu juga tentang kau. kau belum berkata sepatahpun tentang dirimu sendiri..." Akhirnya Kakek Soat Ban Ong berkata pelan. A Liong tersenyum kecut. Setiap kali ditanya tentang dirinya atau riwayat hidupnya, pemuda itu selalu bingung dan salah tingkah. Riwayat hidupnya yang kurang manis itu membuatnya tidak enak setiap kali harus diceritakan.

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tak ada yang bisa diceritakan, Lo-Cianpwe. siauwte (aku yang hina ini) hanyalah anak keturunan pengemis gelandangan yang hidup dari mengais-ngais sisa makanan di jalanan. siauwte tidak tahu siapa orang tuaku, karena sejak kecil siauwte berada dalam lingkungan kelompok pengemis yang selalu berjalan dan berpindah-pindah dari kota ke kota." Soat Ban Ong tersentak kaget. Matanya memandang wajah A Liong hampir tak percaya. Masa anak gelandangan yang hidup menjadi pengemis bisa memiliki tubuh kekar, kuat dan sehat seperti itu?

   "Kalau begitu... apa nama keluargamu?" kakek sakti itu bertanya ragu. A Liong cepat menggelengkan kepalanya.

   "Jangankan nama keluarga, nama sendiripun siauwte tak punya. Nama A Liong hanyalah sebutan yang diberikan oleh kawan-kawan, karena ada gambar tato naga di dada Siauwte." Jawaban itu benar-benar mencengangkan Soat Ban Ong. Orang tua itu sama sekali tak menduga kalau A Liong mempunyai riwayat hidup yang runyam seperti itu.

   "Lalu... bagaimana kau bisa tercebur ke laut dan terseret ombak sampai ke Laut Utara? Apakah kau sudah bosan hidup dan berniat bunuh diri?" A Liong tersenyum.

   "Ah, Lo-Cianpwe ini ada-ada saja. Bagi siauwte hidup ini terasa nikmat dan menyenangkan. Bagaimana mungkin siauwte berniat untuk meninggalkannya?"

   "Kalau begitu... yah, sudahlah! Ceritakan saja semua riwayatmu! Tentu saja sejauh yang kau ingat!" A Liong menurut. Dibeberkannya semua pengalaman dan riwayat hidupnya, seperti yang pernah dia ceritakan pula kepada Siau In. Lalu diceritakannya juga perjalanannya ke rumah Tabib Tong Kiat Teng bersama gadis itu. Hanya dalam hal terseretnya dia ke Laut Utara, dia benar-benar tak tahu. Selain malam sangat gelap, suasana di lautpun sangat asing baginya, sehingga ia benar-benar tidak tahu bagaimana dia sampai di Laut Utara.

   Soat Ban Ong benar-benar terkesan pada penuturan A Liong. Terutama ketika A Liong menceritakan tragedi pembantaian di tepi pantai itu. Walaupun pada saat itu A Liong dalam keadaan pingsan, tapi Siau In telah menceritakan semuanya, sehingga A Liong bisa menuturkannya dengan lancar. Sebuah pertempuran yang amat dahsyat, yang melibatkan tokoh-tokoh kenamaan dari Beng-kauw, lm-yang-kauw dan orang-orang Hun. Kakek Soat Ban Ong sama sekali tidak mengenal tokoh-tokoh dalam cerita itu. Tapi cerita tentang kedahsyatan ilmu mereka benar-benar menggelitik hatinya. Sebagai orang yang sangat menyukai ilmu silat, maka kaki dan tangannya menjadi gatal untuk menjajal ilmu kepandaian tokoh-tokoh dalam cerita itu.

   "Kau bilang Orang Hun itu bisa bergerak... seperti ini?" Orang tua itu berseru penasaran. Telapak tangan Soat Ban Ong tiba-tiba menepuk batu di bawahnya. Plaak! Kontan tubuhnya yang gemuk itu mencelat ke atas bagaikan seekor belalang yang menyentakkan kaki belakangnya.

   Gerakannya cepat bukan main, sehingga mata A Liong sama sekali tak bisa mengikutinya. Tahu-tahu kakek sakti itu-sudah melekat di atas langit-langit gua, seperti seekor cecak yang sedang menanti mangsa. Mulut A Liong ternganga menyaksikan kecepatan gerak orang tua itu. Namun demikian A Liong tak bisa membandingkan, mana yang lebih cepat dan lebih tangkas antara Mo Hou dan Soat Ban Ong. Seperti telah diketahui pada saat pertempuran itu berlangsung A Liong dalam keadaan pingsan. Tapi yang jelas bagi A Liong kakek yang berada di depannya itu memang benar-benar hebat. Gerakan kakek itu sama sekali tak bisa diikuti dengan matanya. Bahkan kakek itu juga mampu menempelkan tubuhnya di langit-langit gua. Tubuh yang gemuk itu melekat seperti cecak.

   "Maaf, Lo-Cianpwe... siauwte tak bisa menilai. Pengetahuan siauwte tentang ilmu meringankan tubuh sama sekali tidak ada" jawab Aliong sambil tersenyum malu. Sesaat Ban Ong tertawa, lalu kembali ke depan A Liong, ia tidak mendesak lebih lanjut, karena dari sinar mata A Liong saja dia bisa menduga apa yang ada di dalam pikiran pemuda itu.

   "Jangan khawatir. Kami berdua sudah sepakat untuk mengajarkannya kepadamu. Meskipun kau tidak akan dapat mendalami rahasia ilmu Pondok Pelangi secara tuntas, tapi paling tidak kau dapat mengenal dan mainkan jurus-jurusnya. Dengan cara begitu tubuhmu akan selalu sehat dan cekatan, sehingga kau bisaber tahan seperti kami nanti."

   "Apa...? Mengapa harus tinggal di sini? Apakah Lo-Cianpwe berdua hendak menyandera aku?" A Liong menjerit ketakutan. Kakek Soat Ban Ong tertawa.

   "Lala-la, tenang A Liong... tenang! Jangan menjerit-jerit begitu! Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku tidak bermaksud menyandera kamu. Apa gunanya? Tanpa kami sanderapun kau tak mungkin bisa keluar dari kawasan ini. Kau lihat kami berdua, aku dan kakek Bok Kek Ong itu apakah kami berdua tak ingin keluar dari pulau ini dan kembali ke Pondok Pelangi? Telah enam puluhan tahun kami berada di sini dan entah sudah berapa ribu kali kami mencobanya. Tapi hasilnya? Padahal ilmu yang kami pelajari rasa-rasanya juga sudah cukup untuk modal menghadapi segala macam kesulitan. Nah...!" Ucapnya kemudian dengan suara renyah. Sama sekali tak ada kesan sedih ataupun kesal di wajahnya.

   A Liong lah yang kemudian tertunduk sedih. Apa yang dikatakan orang tua itu tentu saja benar. Mereka tentu sudah kembali ke keluarganya kalau memang mampu. Mengapa harus susah-susah hidup sendirian di tempat terpencil seperti ini?

   Ingat akan hal itu A Liong menjadi sedih sekali. Tak terasa satu persatu wajah kawan-kawannya berkelebat di pelupuk matanya. Mereka hidup susah dan selalu dalam kesulitan, namun mereka selalu bergembira. Selalu berbagi rasa dan berbagi rejeki bersama-sama. Bahkan setelah ia memisahkan diri, karena ingin bekerja dan mendapatkan uang sendiri, ia selalu menyempatkan diri menjumpai kawan-kawannya itu. Dengan gaji yang diperolehnya, ia sering mentraktir atau membeli makanan untuk berpesta bersama. Kawan-kawannya itu tentu akan merasa kehilangan apabila lama dia tidak muncul. Pernah terjadi, gerombolannya itu berjalan berkeliling ribuan Lie jauhnya di daerah Tionggoan, dari kota yang satu ke kota yang lain, hanya untuk mencari dirinya. Waktu itu secara diam-diam ia pergi ke utara, keluar dari Tembok Besar untuk mencari pengalaman.

   "Sudahlah, A Liong. kau tidak perlu bersedih. kau tidak boleh berputus asa. Setiap orang memiliki keberuntungannya sendiri-sendiri. Kami berdua memang tidak mampu keluar dari tempat ini, tapi siapa tahu Thian mentakdirkan lain buatmu? Nah, kalau memang nasibmu baik dan memperoleh jalan keluar dari tempat ini, kau harus tetap memiliki badan dan semangat yang sehat. Jangan menjadi manusia yang loyo dan sinting. Tidak akan ada gunanya lagi kalau waktu keberuntungan itu datang, engkau telah berubah menjadi sinting dan loyo. Benar tidak?"

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 49 Pendekar Penyebar Maut Eps 42 Memburu Iblis Eps 15

Cari Blog Ini