Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 49


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 49




   Di dalam ketergesaannya pendekar itu seperti melihat bayangan berkelebat di depannya. Bayangan itu seperti melesat dari balik batu karang yang berada tiga meter di depannya, menuju ke batu karang hitam di sebelah kirinya. Untuk menjaga segala kemungkinan, Souw Thian Hai cepat berlindung di bawah bayang-bayang batu karang. Untunglah pendekar itu mengenakan pakaian berwarna gelap, sehingga tubuhnya seakan-akan lenyap ditelan kegelapan bayang bayang batu karang tersebut. Kemudian perlahan-lahan pendekar itu bergeser ke kiri untuk mencari bayangan yang dilihatnya tadi. Sambil selalu berlindung di dalam kegelapan Souw Thian Hai mengelilingi batu karang yang ia perkirakan sebagai tempat persembunyian "bayangan" tadi. Tapi tempat itu benar-benar kosong. Tak seorangpun bersembunyi di sana.

   "Heh? Mengapa tidak ada? Masakan mataku telah salah lihat tadi? Rasa-rasanya aku melihat bayangan seorang wanita melintas beberapa tombak di hadapanku..." Souw Thian Hai berkata di dalam hatinya. Pendekar itu merasa penasaran. Dipanjatnya sebongkah batu karang besar yang ada di dekatnya. Lalu dari atas matanya memandang berkeliling. Dicarinya dengan teliti, kalau-kalau ada sesuatu yang bergerak atau mencurigakan di sekitar tempat tersebut. Tiba-tiba mata Souw Thian Hai terbelaIak lagi. Kira-kira lima atau enam tombak jauhnya dari tempatnya mengintai, pendekar itu melihat seorang kakek melangkah terbungkuk bungkuk di antara rimbunnya batu-batu karang yang menonjol. Bayangan kakek itu sebentar kelihatan sebentar lenyap, tertutup oleh bayangan batu karang.

   "Hmm, ada orang lagi...Heran, kenapa tempat yang sunyi menyeramkan ini mendadak dikunjungi oleh banyak orang?" Souw Thian Hai bertanya-tanya di dalam hatinya. Perlahan-lahan Souw Thian Hai turun, lalu dengan hati-hati melangkah menuju ke tempat kakek tadi berada. Tapi sekali lagi, meskipun sudah berputar-putar mencarinya, kakek tadi ternyata tak kunjung diketemukannya juga. Bayangan kakek itu seolah-olah lenyap dihisap bumi. Akhirnya Souw Thian Hai menjadi jengkel juga.

   "Kurang ajar! Goblog benar aku! Mengapa aku mesti payah-payah mengurusi hantu-hantu itu? Bukankah aku mempunyai urusan sendiri? Hah!" geramnya penasaran.

   Pendekar itu lalu bergegas meninggalkan tempatnya berdiri. Dengan langkah lebar ia menelusup kesana kemari agar bisa cepat keluar dari rimba batu itu. la sama sekali tidak peduli lagi pada sekelilingnya. Tetapi sekali Iagi pendekar itu tersentak kaget sekali ketika tubuhnya hampir bertabrakan dengan seseorang! Otomatis pendekar itu mengelak ke samping sehingga tubuhnya menghantam batu karang besar di sampingnya. Dhuuug! Batu besar itu bergetar hebat saking kuatnya pendekar itu menabrak. Debu dan kerikil berhamburan ke bawah! Dalam keadaan gelap, karena tempat tersebut penuh dengan batu-batu raksasa yang rebah silang-menyilang, sekilas Souw Thian Hai melihat bayangan kecil langsing melesat menjauh dengan gesitnya. Tampak dengan jelas oleh Souw Thian Hai, lengan baju sebelah kiri orang itu melambai-lambai tertiup angin!

   "Kurang ajar...!" dengan suaranya yang nyaring orang itu mengumpat. Setelah itu seperti orang yang sedang dikejar waktu, orang itu melesat pergi dengan tergesa-gesa. Sekejap Souw Thian Hai berdiri mematung! Air mukanya berubah hebat! Mulutnya ternganga, seakan-akan mau meneriakkan sesuatu tapi tak bisa.

   "Lian Cuuu..." akhirnya keluar juga suara dari mulutnya. Tapi suara itu ternyata begitu lemahnya sehingga telinganya sendiri tak dapat mendengarnya. Seperti orang kesurupan Souw Thian Hai lalu berkelebat cepat mengejar bayangan wanita itu. Pendekar itu merasa yakin betul bahwa matanya tadi tidak salah lihat. Dan pendekar itu juga yakin benar, bahwa telinganya tadi juga tidak akan salah dengar. Suara itu tadi adalah suara Souw Lian Cu, puterinya. Dan perawakan orang itu tadi juga perawakan Souw Lian Cu! Apalagi dengan jelas dilihatnya lengan baju bagian kiri tadi kosong melambai-lambai!

   "GiIa! Di manakah dia...? Mengapa tidak bisa kuketemukan?" Souw Thian Hai menggeram seperti orang gila. Pendekar itu menerobos dan berputar-putar di dalam rimba batu tersebut, tapi bayangan Souw Lian Cu tetap juga tak dijumpainya. Saking tegang, penasaran dan kesalnya, pendekar itu lalu mengerahkan seluruh Iweekangnya, dan kemudian berteriak kuat-kuat!

   "Liaaan Cuuuuuuuu...!" Demikian dahsyatnya suara teriakan itu sehingga tempat itu seolah-olah bergetar karenanya. Dan suara itu bergema pantul-memantul di dalam rimba batu itu untuk beberapa saat lamanya, membuat binatang binatang malam terdiam ketakutan di tempat mereka masing-masing. Binatang binatang melata segera berlarian ke liangnya, sementara burung-burung malam beterbangan pergi menjauhi tempat itu.

   Souw Thian Hai menantikan akibat dari teriakannya. Dipanjatnya lagi sebuah batu karang tinggi untuk mengintai daerah di sekitarnya. Tapi tempat itu tetap sunyi dan sepi. Jangankan Lian Cu, kedua bayangan yang dijumpainya pertama kali tadipun juga tidak menampakkan batang hidungnya. Padahal menurut aturan, kedua orang itupun tentu mendengar teriakannya pula. Angin laut meniup dengan kencangnya. Meskipun demikian keringat mengalir dengan derasnya di badan Souw Thian Hai. Perasaan takut akan kehilangan lagi jejak puterinya membuat pendekar itu menjadi tegang dan gelisah luar biasa. Pikiran serasa menjadi kacau dan bingung sekali. Tiba-tiba pendekar itu melihat lagi sesosok bayangan berkelebat di kejauhan. Sekejap bayangan itu berkelebat di tempat terbuka kemudian hilang lagi di kegelapan.

   Tapi yang terang bayangan itu berlari ke arah pantai. Souw Thian Hai tersentak, lalu dengan cepat mengejar bayangan itu. Karena tak ingin kehilangan arah, maka pendekar itu lalu mengerahkan ginkangnya dan kemudian melesat berloncatan di atas batu-batu raksasa itu. Pendekar itu tak sabar lagi kalau harus berlari-lari, berputar-putar dan menerobos kesana kemari diantara rimba batu itu. Meskipun demikian, ketika rimba batu itu telah habis terlewati, bayangan tersebut tetap juga tak kelihatan. Bayangan itu menghilang lagi entah ke mana. Padahal di depan pendekar itu kini terbentang dataran pasir yang sangat luas, dimana di seberang sana sudah terlihat buih-buih ombak yang memecah pantai. Tak sebuah bayanganpun yang tampak melintas di tempat terbuka itu.

   "Ough, di manakah dia? Masakan begitu cepatnya dia menghilang? Apakah...apakah aku telah salah lihat tadi? Oooh...mungkin...mungkin aku memang telah salah lihat tadi. Kukira hanya hantu saja yang mampu meloloskan diri dari kejaranku tadi. Ohhh...jangan-jangan selama ini aku memang hanya tertipu oleh bayangan atau angan-anganku sendiri saja. Begitu hebat rasa rinduku kepada Lian Cu, sehingga aku...aku seperti telah melihat bayangannya, padahal...padahal sebenarnya dia tidak ada! Ohhh...Tuhan!" Souw Thian Hai menjatuhkan dirinya di atas pasir. Dengan bertumpu pada lututnya pendekar itu menengadahkan kepalanya. Kedua lengannya tergantung lemas di sisi tubuhnya. Tak ada bintang, tak ada bulan. Seluruhnya gelap, segelap hati Souw Thian Hai saat itu.

   "Oh, Tuhan...berilah aku semangat dan kekuatan agar bisa bertemu kembali dengan anakku," pendekar sakti itu akhirnya berdoa.

   Tiba-tiba angin bertiup dengan kuatnya, seakan-akan menjawab doa itu. Awan tebal di atas pantai itu mendadak juga bergerak perlahan-lahan. Dan kemudian...satu persatu bintangpun mulai bermunculan di atas Iangit. Alampun seolah-olah mulai tersenyum pula. Dan beberapa saat kemudian langitpun menjadi terang benderang. Ternyata bulan yang masih muda itupun telah terbebas juga dari kurungan awan gelap tadi. Souw Thian Hai kemudian menundukkan kepalanya. Dipandangnya buih ombak yang kini tampak jelas berkejaran di tepi pantai itu. Lalu dikaguminya percikan-percikan air yang muncrat ke atas ketika ombak tersebut menghantam karang. Dari jauh butiran-butiran air itu bagaikan taburan permata dalam terangnya sinar rembulan.

   "Hah...?!?" mendadak pendekar itu tersedak karena kaget! Diantara percikan-percikan air itu tiba-tiba tersembul bayangan seorang wanita! Tampaknya wanita itu tadi berjongkok di tepi air, sehingga tidak kelihatan dari kejauhan. Maka begitu wanita itu bangkit berdiri, tubuhnya seakan-akan lalu muncul begitu saja diantara buih-buih ombak.

   "Lian Cu...!" Souw Thian Hai berseru perlahan. Beberapa kali pendekar itu mengejap-ngejapkan matanya, takut kalau-kalau ia tergoda lagi oleh angan-angannya sendiri. Tapi sampai lelah ia berkejap, bayangan wanita tersebut masih tetap juga kelihatan.

   "Ah...!" Souw Thian Hai berdesah tegang lagi.

   Kemudian dengan tubuh yang semakin basah oleh keringat, Souw Thian Hai merangkak, mendekati bayangan puterinya itu. Seperti seorang pemburu yang takut kalau-kalau binatang buruannya akan kaget dan melarikan diri, Souw Thian Hai merunduk dengan hati-hati sekali. Demikian takutnya pendekar itu, sehingga bernapaspun rasa-rasanya dia tidak berani lagi. Ketika secara mendadak bayangan itu mengangkat kedua Iengannya ke atas, Souw Thian Hai bergegas menghentikan langkahnya pula. Jarak mereka tinggal belasan meter saja. Dan dari tempat itu telah dapat dilihat dengan jelas perawakan dan dandanan wanita itu. Tetapi karena wanita itu menghadap ke arah laut, maka Souw Thian Hai tidak bisa melihat wajah puterinya. Mendadak wanita itu meloncat dan berlari ke arah ombak yang datang!

   "Lian Cuuu...!" Souw Thian Hai berteriak keras sekali.

   "Ciciii...!" tiba-tiba terdengar pula suara teriakan lain. Bagai terbang cepatnya Souw Thian Hai melompat dari tempatnya. Dan hanya dengan tiga kali lompatan saja pendekar itu sudah sampai di tempat wanita itu berusaha mengakhiri hidupnya. Benar-benar suatu pekerjaan yang dalam keadaan normal tak mungkin bisa dilakukan oleh pendekar itu. Apalagi pada lompatan yang terakhir pendekar itu harus pula menyambar tubuh wanita itu, kemudian dengan pukulan udara kosongnya harus menghantam deburan ombak untuk dapat melenting balik kembali.

   "Ahh...bukan main!" seorang kakek yang sudah bersiap sedia pula untuk menolong wanita itu berseru tertahan. Tubuhnya yang sudah terlanjur keluar dari balik karang itu bergegas menyelinap ke dalam persembunyiannya lagi. Jarak persembunyiannya dengan wanita itu sebenarnya cuma ada beberapa meter saja, tapi gerakannya tadi ternyata masih kalah cepat dengan gerakan Souw Thian Hai. Sementara itu dengan meminjam daya tolak dari ombak yang dipukulnya, Souw Thian Hai membawa tubuh wanita itu melenting balik ke daratan kembali. Dengan beberapa kali berjumpalitan di udara, pendekar itu lalu turun di atas pasir yang basah. Tapi kedua kaki pendekar sakti itu hampir saja menghantam sesosok bayangan yang secara tiba-tiba menyongsong kedatangannya.

   "Ciciiii...!" bayangan yang datang itu menjerit seraya mengelakkan diri.

   "Heh...???" Souw Thian Hai terpekik pula dengan kagetnya. Pendekar itu berdiri terbelalak mengawasi bayangan yang hampir saja terinjak oleh kakinya itu. Lutut pendekar itu terasa gemetaran, sehingga tubuh wanita yang berada di dalam pondongannya itu hampir saja melorot jatuh.

   "Lian Cu...anakku!" Dengan wajah pucat, bibir Souw Thian Hai bergetar menyebut nama bayangan yang dating, yang tadi hampir saja terinjak oleh kakinya. Lalu dengan cepat pendekar itu menunduk mengawasi wajah wanita yang berada didalam pelukannya, yang sejak semula ia kira sebagai Souw Lian Cu, puterinya.

   "Uhh...Hong-moi! kau...?" bisik pendekar itu terbata-bata. Ternyata, tubuh wanita yang berada di dalam pondongan pendekar itu adalah Chu Bwee Hong, kekasihnya sendiri yang kini telah menjadi isteri Put-ceng-li Lojin!

   Jilid 37
Souw Thian Hai cepat menatap Souw Lian Cu kembali, yang kini berdiri di depannya dengan mata yang juga terbuka lebar serta wajah yang pucat pasi pula seperti dirinya. Dan Souw Thian Hai yang sangat takut bila ia harus kehilangan puteri yang amat disayanginya itu cepat-cepat menurunkan tubuh Chu Bwee Hong ke atas pasir. Bagaikan seorang anak kecil yang menjadi ketakutan di hadapan ibunya karena ketahuan telah berbuat suatu kesalahan, pendekar itu memandang Souw Lian Cu.

   "Anak-ku...kaukah itu?" pendekar yang mempunyai nama besar itu berdesah dengan suara haru.

   "Ayaaaaah...!" Souw Lian Cu memekik, kemudian menghambur ke dalam pelukan Souw Thian Hai. Dan dua orang ayah dan anak itupun lalu saling berpelukan dengan kencangnya. Lian Cu yang di dalam hatinya telah lama timbul rasa sesal dan berdosa terhadap ayahnya itu tampak menangis tersedu-sedu. Sebaliknya pendekar yang selama ini juga tidak pernah menangis meski derita selalu datang bertubi itu, kini ternyata juga tidak bisa menahan air matanya.

   "Ayah, maafkanlah anakmu yang tidak berbakti ini. Karena sifatku yang cengeng, kekanak kanakan dan mau menang sendiri...telah membuat ayah menderita selama bertahun tahun. Ternyata selama ini aku telah salah sangka terhadap ayah. Ternyata ayah sangat mulia dan rela menderita demi aku. Padahal antara ayah dan Cici Bwee Hong...Oh, ayah...!"

   "Terima kasih, anakku...! kau...ah, aku sungguh gembira sekali kau telah mengerti sekarang. Sudahlah, kau jangan menangis..." Souw Thian Hai membujuk dan menenangkan hati anaknya, tapi dia sendiri juga menyeka air matanya. Mendadak Souw Lian Cu merenggutkan diri dari pelukan Souw Thian Hai. Bergegas gadis itu menghampiri tubuh Chu Bwee Hong yang tergeletak pingsan di atas pasir, sehingga Souw Thian Hai menjadi berdebar-debar lagi hatinya. Pendekar itu tahu kalau anaknya sangat membenci Chu Bwee Hong.

   "Ayah...???" Souw Lian Cu berdesah khawatir seraya menatap ayahnya.

   "Aku...eh, aku dan dia...baru sekali ini berjumpa. Dia tadi...hendak bunuh diri. Dia...dia tadi kukira engkau. Sungguh!" Souw Thian Hai cepat-cepat memberi penjelasan dengan suara gelagapan karena mengira Souw Lian Cu telah salah sangka lagi terhadapnya. Souw Lian Cu mengerutkan keningnya. Tapi begitu dapat menduga apa yang sedang berkecamuk di dalam hati ayahnya, gadis itu memandang wajah ayahnya dengan perasaan kasihan.

   "Ayah, kau jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku tidak apa-apa. Anakmu sudah dewasa sekarang. Aku tadi hanya ingin mengatakan bahwa Cici Bwee Hong pingsan dan apa yang harus kita lakukan terhadapnya...?"

   "lni...ini...eh, ini...sebaiknya kita bawa saja dia ke dusun itu, agar...agar bisa cepat-cepat memperoleh perawatan." Souw Thian Hai yang belum juga merasa yakin akan sikap Souw Lian Cu itu masih berusaha untuk mengambil jarak antara dirinya dengan Chu Bwee Hong, agar supaya tidak membuat marah anaknya. Tetapi Souw Lian Cu yang memang sengaja ingin menjodohkan Chu Bwee Hong dengan ayahnya itu menjadi penasaran mendengar jawaban ayahnya itu.

   "Membawanya ke dusun? Mengapa mesti harus dibawa ke sana? Kenapa tidak ayah saja yang merawatnya?" gadis itu bertanya tak senang. Souw Thian Hai menghela napas murung.

   "Ah, anakku...Ternyata kau belum benar-benar mengerti sikap ayahmu. Sebenarnyalah bahwa ayahmu tak ingin merusak dan melukai hati dan perasaanmu, Chu Bwee Hong, maupun...Put-ceng-li Lojin!"

   "Eh! Mengapa ayah berkata demikian?" Souw Lian Cu bertanya tak mengerti. Sekali lagi pendekar itu menghela napas. Dan kali ini semakin terasa sedih.

   "Lian Cu...Aku tahu kau tidak menyukai Chu Bwee Hong. Maka demi kau, aku tak akan mendekati Chu Bwee Hong lagi. Sementara itu aku juga tak ingin membuka luka lama di dalam hati Chu Bwee Hong dengan kehadiranku kembali. Dia telah membina sebuah keluarga yang berbahagia sekarang. Maka aku tak ingin mengganggunya lagi. Selain dari pada itu, sebagai seorang laki-laki sejati, aku tak ingin menghina atau menginjak-injak kehormatan dan harga diri suaminya...Bukannya aku takut! Tapi sebagai seorang jantan aku tak ingin disebut sebagai pengganggu isteri orang! Mengertikah kau...?" dengan panjang lebar Souw Thian Hai menjelaskan sikapnya itu kepada anaknya.

   "Tapi...ayah, dia...?" dengan nada getir Souw Lian Cu berusaha menjelaskan juga sikap yang telah diambilnya, serta sikap Chu Bwee Hong sendiri terhadap ayahnya selama ini.

   "Sudahlah! Keputusanku telah bulat. Marilah sekarang kita bawa saja dia ke dusun itu, lalu kita tinggalkan dia di sana...!" Souw Thian Hai berkata pula dengan tidak kalah getirnya. Mulutnya berkata demikian, tetapi di dalam hati bukan main pedihnya!

   "Tidak...! Aku tidak mau pergi! Aku akan tinggal bersama-sama dengan Cici Bwee Hong. Silakan ayah pergi sendiri! Oohh..." tiba-tiba Souw Lian Cu menjerit, lalu menangis kembali dengan sedihnya. Tentu saja perkembangan yang sangat mendadak itu benar-benar sangat mengagetkan Souw Thian Hai. Dengan suara khawatir pendekar itu menyentuh lengan anaknya.

   "Lian Cu, kau...kau kenapa?" Dengan cepat Souw Lian Cu menghindar dari sentuhan tangan ayahnya. Matanya masih bercucuran ketika menatap wajah ayahnya.

   "Ayah sungguh kejam terhadap Cici Bwee Hong. Dia sangat menderita dan selalu mendambakan kehadiran ayah, tapi ayah sendiri ternyata Iebih mementingkan kehormatan dan harga diri ayah sendiri. Ayah tak mau tahu perasaan dan penderitaan orang lain, padahal Cici Bwee Hong demikian baik dan mulianya. Aku sekarang sudah sadar, betapa kelirunya aku dulu menilai dia..." dengan berani dan dengan suara serak Souw Lian Cu berkata kepada ayahnya.

   "Lian Cu, kau...? Mengapa kau bersikap demikian? Marilah...! Kita jangan berselisih lagi!" Souw Thian Hai memandang sedih kepada anaknya.

   "Tidak! Ayah boleh pergi! Aku akan ikut Cici Bwee Hong saja..."

   "Oh, Tuhan...! Apakah yang harus aku lakukan?" Souw Thian Hai berbisik dengan hati yang tak keruan rasanya.

   Tak heran kalau Souw Thian Hai menjadi sangat bingung dan sedih. Bertahun-tahun pendekar itu hidup di dalam kesedihan dan penderitaan. Dengan rela ia menerima semuanya itu demi Souw Lian Cu, puterinya. Ia tekan semua keinginan dan kepentingan dirinya sendiri, serta ia buang semua angan-angan tentang kebahagiaan yang telah ia rencanakan bersama Chu Bwee Hong, demi anaknya, Souw Lian Cu! Tapi setelah semuanya itu sudah ia pertaruhkan, kini secara mendadak anak itu berbalik haluan. Puterinya itu kini justru malah menghendaki ia kembali dengan Chu Bwee Hong. Padahal, seperti yang telah lama ia dengar, Chu Bwee Hong telah menjadi isteri ketua Bing-kauw sekarang. Lalu, apa kata orang nanti, kalau Hong-gi-hiap atau Pendekar Gila Yang Berbudi itu ternyata suka merebut isteri orang?

   "Uhhh...Lian Cu! kau...kau tidak boleh membantah perkataan ayahmu..." tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara Chu Bwee Hong yang "pingsan" itu.

   "Ciciii..." Souw Lian Cu menjerit lirih.

   "Hong-moi...kau...?" Souw Thian Hai berdesah pula dengan kagetnya. Lalu seperti berlomba ayah dan anak itu bergegas menghampiri Chu Bwee Hong yang telah siuman dari pingsannya itu.

   Dengan wajah tegang dan gelisah keduanya duduk berjongkok di dekat Chu Bwee Hong. Tapi sekejap kemudian Souw Thian Hai bangkit berdiri kembali. Pendekar sakti itu seperti tak tahan atau merasa ketakutan melihat sepasang mata indah namun penuh air mata itu menatap pilu kepadanya. Serasa ada semacam tuntutan dalam pandangan tersebut. Selain dari pada itu Souw Thian Hai sendiri juga hampir tidak bisa menguasai perasaannya pula. Oleh karena itu dia cepat-cepat berdiri dan menjauhkan diri, dengan maksud agar Chu Bwee Hong atau Souw Lian Cu tidak tahu, betapa gemetar tubuhnya, betapa perih hatinya dan betapa deras darah yang mengalir di dalam jantungnya. Dan semuanya itu membuat dirinya seolah melayang ke alam yang lain.

   "Oh, Tuhan...dia...dia ternyata tidak berubah sama sekaIi! Hatinya masih tetap seperti dulu juga. Aku...tak tahan melihatnya! Oh, Tuhan...betapa berat cobaan yang kau berikan kepada kami!" pendekar itu merintih di dalam hatinya. Tetapi sikap Souw Thian Hai tersebut ternyata diartikan lain oleh Souw Lian Cu.

   Di mata Souw Lian Cu, sikap ayahnya itu hanya menunjukkan bahwa ayahnya masih mementingkan kepentingan sendiri saja. Ayahnya masih saja bertahan pada kehormatan dan harga dirinya yang berlebih-lebihan. Sama sekali ayahnya tidak menaruh rasa kasihan kepada orang lain, meskipun orang lain itu adalah kekasihnya sendiri. Dan yang membuat hati Souw Lian Cu semakin penasaran terhadap ayahnya adalah kenyataan bahwa korban dari sikap ayahnya yang sangat menjengkelkan tersebut adalah Chu Bwee Hong, seorang wanita yang dia ketahui sangat mulia dan baik budi perilakunya. Dengan tajam gadis itu menatap ayahnya. Mulutnya tidak berkata sepatahpun. Tapi melihat sikap yang dia perlihatkan, orang akan segera dapat menduga bahwa gadis itu siap untuk melawan perintah ayahnya. Ternyata sikap Souw Lian Cu itu dilihat pula oleh Chu Bwee Hong.

   "Lian Cu...kau tidak boleh memandang ayahmu seperti itu. Apa yang dikatakan ayahmu tadi memang benar sekali. Meskipun kami saling mencinta, dan kukira sampai kapanpun hal itu takkan berubah, tapi keadaan kami sekarang sudah tidak sama lagi dengan dahulu. Ayahmu seorang lelaki sejati, oleh karena itu ia takkan mau mengganggu isteri orang, meskipun orang itu adalah bekas kekasihnya. Begitu pula dengan aku. Biarpun aku tak mencintai suamiku, tapi aku telah bersedia menjadi isterinya. Maka dalam hal ini akupun tak ingin mengkhianati kata-kataku sendiri. Apalagi suamiku itu seorang yang sangat baik dan telah banyak melepas budi kepadaku. Oleh karena itu, apapun yang akan terjadi aku takkan meninggalkan suamiku. Kecuali bila suamiku itu sudah tidak membutuhkan aku lagi..." sambil masih bertiduran di atas pasir, Chu Bwee Hong berbicara panjang lebar.

   "Cici, kau sungguh mulia sekali. kau tak pernah mau menyalahkan ayahku, dan kau pun juga tak pernah menyalahkan aku pula. kau selalu menerima cobaan dan penderitaan seorang diri..." Souw Lian Cu menubruk Chu Bwee Hong dan menangis di atas dadanya!

   "Lian Cu, janganlah menangis...! Pergilah! Ikutilah ayahmu! Tinggalkan saja aku...! Tempatmu adalah di dekat ayahmu."

   "Tidak! Aku tidak mau! Lalu bagaimana dengan kau nanti?" Souw Lian Cu menjerit. Chu Bwee Hong mengusap rambut Souw Lian Cu.

   "Tentu saja aku akan kembali ke suamiku Iagi. Bukankah aku mempunyai seorang suami?" wanita ayu itu membujuk perlahan.

   "Cici, aku ikut denganmu. Aku akan menebus dosa-dosaku dengan mengabdi kepadamu. Aku akan melayani engkau seperti seharusnya aku melayani ibuku yang tak pernah kulihat dan kukenal. Biarlah ayahku pulang sendiri..." Souw Lian Cu tetap membandel.

   "Lian Cu! Ohhh...!" Souw Thian Hai dan Chu Bwee Hong berdesah kaget. Kedua orang itu, Souw Thian Hai dan Chu Bwee Hong, sungguh tidak menyangka bahwa Souw Lian Cu akan berkata seperti itu. Dan perkataan itu diucapkan dengan suara tegas dan kaku oleh gadis tersebut, suatu tanda bahwa kemauan atau keinginannya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apalagi bagi Souw Thian Hai, ayahnya, yang sudah sangat mengenal akan sifat dan watak anaknya! Diam-diam suasana menjadi tegang! Dan anginpun bertiup pula dengan kuatnya, sehingga menerbangkan pasir-pasir halus itu ke udara. Untuk sesaat udara di atas pantai tersebut menjadi gelap, dan yang terdengar hanya suara debur ombak yang semakin kuat menghantam pantai. Tiba-tiba...

   "Huah-haha-hahaha...! Kagum...sungguh-sungguh kagum benar aku! Baru sekali ini aku Si Put-ceng-li Lojin dibuat kagum oleh sikap pribadi seseorang! Huahhaha...babi, monyet, keparat...!" Tiba-tiba deru angin dan debur ombak yang bergemuruh keras itu tertindih oleh suara tertawa Put-ceng-li Lojin yang lantang bagaikan suara genta berkumandang! Dan sekejap kemudian orang tua itu lalu muncul dari balik sebuah batu karang besar yang hanya berjarak tiga atau empat meter dari tempat mereka berada. Tentu saja kedatangan Ketua Aliran Bing-kauw yang amat mendadak itu benar-benar sangat mengagetkan mereka bertiga!

   "Put-ceng-li Lojin...!" Souw Thian Hai berdesah dengan suara serak.

   "Lojin...!" Chu Bwee Hong menyebut pula nama suaminya. Bergegas wanita ayu itu bangkit duduk, kemudian berdiri, seolah-olah mau menjemput atau menyongsong kedatangan suaminya. Wajahnya yang pucat dan murung tadi dengan cepat dihapusnya. Ia menatap wajah suaminya dengan senyum yang dipaksakan.

   "Bwee Hong..." ketua Bing-kauw itu memanggil dan menghampiri isterinya, tapi matanya dengan liar mengawasi Souw Thian Hai dan Souw Lian Cu. Chu Bwee Hong yang merasa khawatir melihat sinar mata suaminya itu segera melangkah ke depan menyambut kedatangan Put-ceng-li Lojin. Jari-jarinya yang lentik dan halus itu cepat-cepat menangkap Iengan kakek tua itu.

   "Lojin, apakah kau mencari aku?" sapanya dengan suara bergetar. Selama ini, kedua suami-isteri itu memang tidak pernah saling memanggil seperti kebanyakan suami-isteri lainnya. Sejak mereka kawin Chu Bwee Hong selalu menyebut Lojin terhadap suaminya, sementara Put-ceng-li Lojin juga hanya menyebut nama isterinya begitu saja.

   "Benar!" Put-ceng-li Lojin mengangguk, tetapi matanya tetap tak lepas dari wajah Souw Thian Hai yang pucat itu.

   "Bukankah aku tadi sudah meminta ijin kepadamu untuk keluar sebentar? Aku mau menenteramkan hatiku di pantai ini barang sejenak, karena pertemuanku dengan kakakku itu membuatku bersedih. Apakah engkau mencurigai aku?" Chu Bwee Hong yang semakin merasa gelisah dengan sikap suaminya terhadap Souw Thian Hai itu, berusaha mengalihkan perhatian suaminya tersebut. Put-ceng-li Lojin memandang wajah Chu Bwee Hong.

   "Ya...aku curiga kepadamu. Dan kecurigaanku itu ternyata benar. Bukankah kau hendak mengakhiri hidupmu sendiri tadi?"

   "Aku...aku..." Chu Bwee Hong tak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk.

   "Aku tahu. pertemuanmu dengan kakakmu itu membuatmu sedih, pepat dan bingung. Luka hatimu yang selama ini telah dapat kau atasi, sekarang menjadi terbuka kembali. Dan aku langsung dapat melihatnya. Keadaanmu sekarang tidak jauh bedanya dengan keadaanmu ketika kau kutemukan dahulu. Maka aku lantas menjadi curiga ketika kau meminta ijin tadi. kau lalu kuikuti. Tapi ternyata aku kalah cepat dengan saudara ini. Ehh...hmm!" Put-ceng-li Lojin menghentikan kata-katanya seraya menoleh kembali ke arah Souw Thian Hai. Matanya tampak meliar kembali. Chu Bwee Hong menjadi ketakutan. Hati yang semula merasa tenang mendengar ucapan suaminya yang panjang lebar itu, suatu hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya mendadak kini menjadi gelisah kembali melihat pandang mata suaminya yang liar dan ganas itu.

   "Lojin..." cegahnya.

   "Sebentar! Ehm...jadi inikah pemuda yang selalu kau ceritakan itu?" Put-ceng-li Lojin tak memperdulikan kekhawatiran serta cegahan isterinya. Meskipun tangan Chu Bwee Hong selalu bergantung pada lengannya, kakek itu tetap melangkah mendekati Souw Thian Hai. Souw Lian Cu dengan wajah tegang terpaksa menyingkir. Setelah berada empat langkah di depan Souw Thian Hai, orang tua itu berhenti.

   "Anak muda! Benarkah engkau yang bernama Souw Thian Hai dan bergelar Hong-gi-hiap itu?" Kakek itu bertanya. Ternyata Souw Thian Hai juga telah bisa menenangkan kemelut yang melanda hati dan perasaannya tadi. Dengan tenang pendekar sakti itu menghela napas panjang. Matanya yang tajam luar biasa itu balas menatap Put-ceng-li Lojin.

   "Ya...Siauwte adalah Souw Thian Hai." jawabnya perlahan namun tegas.

   "Hmm...aku telah melihat dan mendengar semua yang terjadi di sini tadi. Sebenarnya aku sangat kagum sekali kepadamu. kau benar-benar seorang pendekar tulen dan seorang ksatria sejati pula. Tak heran kalau orang persilatan memberi julukan Hong-gihiap kepadamu. Tetapi...meskipun demikian aku tetap merasa kecewa kepadamu!" Setelah mengatakan apa yang terkandung di dalam hatinya, ketua aliran Bing-kauw itu berdiam diri. Orang tua itu sengaja memberi tekanan pada kalimatnya yang terakhir, untuk memancing kemarahan Souw Thian Hai.

   Orang tua yang sangat suka berkelahi itu bermaksud menjajagi kalau bisa sedikit memberi pelajaran kepada Souw Thian Hai, bila pancingan itu berhasil nanti. Ternyata selain merasa gatal tangannya karena berjumpa dengan lawan berat, Put-ceng-li Lojin juga ingin membalaskan sakit hati isterinya pula. Menurut pendapat Put-ceng-li Lojin, sumber dari semua penderitaan Chu Bwee Hong itu adalah akibat tidak bertanggungjawabnya Souw Thian Hai. Coba pendekar muda itu menepati janjinya, semua peristiwa yang menyedihkan itu tentu tidak akan terjadi. Tetapi pancingan tersebut ternyata gagal. Souw Thian Hai yang sejak semula memang telah menyadari kesalahannya itu, ternyata tidak menjadi marah atau tersinggung oleh sindiran Put-ceng-li Lojin tadi. Sebaliknya dengan menghela napas dalam-dalam pendekar muda itu malah merendahkan dirinya.

   "Memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Aku sendiripun kadang-kadang juga merasa kecewa kepada diriku sendiri. Tentang gelar Hong-gi-hiap yang diberikan orang kepadaku itu...hmm, akupun kadang-kadang juga merasa risih pula. Aku merasa bahwa orang-orang itu selama ini juga telah menilai salah terhadapku. Mereka demikian menyanjung dan menghormati aku, padahal kenyataannya aku bukanlah manusia istimewa seperti yang mereka bayangkan itu. Akupun hanya seorang manusia biasa pula, yang bisa juga berbuat salah dan dosa seperti yang lain..."

   Hening sejenak. Put-ceng-li Lojin terdiam. Ternyata jawaban Souw Thian Hai itu benar-benar sangat mengena di hati Put-ceng-li Lojin. Kakek sederhana yang juga tidak pernah merasa tinggi ataupun hebat, meski ia seorang ketua aliran yang besar dan ternama itu semakin merasa cocok dan kagum dengan pribadi Souw Thian Hai itu. Dan di dalam hatinya, kakek itu semakin membenarkan pilihan hati Chu Bwee Hong. Pemuda itu demikian tampan, gagah, ternama dan baik pula budi pekertinya. Maka gadis atau wanita mana yang takkan jatuh hati kepada pemuda itu? Oleh karena itu, tidak dapat dipersalahkan juga kiranya, kalau Chu Bwee Hong sampai rela menanggung derita dan sengsara sedemikian hebatnya demi pemuda itu.

   Put-ceng-li Lojin menghela napas. Mendadak timbul perasaan kasihan di dalam hati orang tua itu kepada sepasang kekasih yang gagal tersebut. Demikian mendalamnya cinta kasih mereka, dan demikian hebatnya pula cobaan yang mereka terima, namun demikian semuanya itu ternyata tak bisa menggoyahkan iman, kepribadian, maupun kemuliaan hati mereka berdua. Dengan sangat rela mereka mengesampingkan kepentingan diri mereka sendiri, demi menghormati hak dan kehormatan orang lain. Keduanya rela berpisah dan menanggung derita di dalam hati masing masing, karena salah seorang diantara mereka ternyata telah menjadi milik orang lain. Adakah manusia di dunia ini yang mampu berbuat seperti mereka berdua? Timbul maksud di hati Put-ceng-li Lojin untuk mempersatukan mereka kembali.

   "Sejak pertama kali aku menemukan gadis itu, aku telah berjanji di dalam hatiku, bahwa aku akan mengembalikan kegembiraan dan kebahagiaan gadis itu sekuat kemampuanku. Dan untuk mewujudkan janjiku itu aku telah berbuat apa saja, dan demi gadis itu aku telah berani menghadapi ejekan dan caci-maki masyarakat di sekelilingku.Namun demikian selama ini aku tetap tak bisa mengembalikan kegembiraannya. Hmmmm...mengapa pada saat yang amat baik ini aku tak hendak mempersatukan saja mereka?"

   Put-ceng-li Lojin berkata di dalam hatinya. Setelah memperoleh keputusan seperti itu Put-ceng-li Lojin menjadi lapang hatinya. Kakek itu lalu bersiap-siap untuk melaksanakan keputusannya tersebut. Meskipun demikian, sebagai seorang jantan dan lelaki sejati, ketua Bing-kauw itu hendak menyelesaikannya dengan cara seorang ksatria pula. Kakek itu akan menantang Souw Thian Hai untuk berperang tanding, dan yang menang akan mendapatkan Chu Bwee Hong! Maka kakek itu lalu menatap Souw Thian Hai dengan tajamnya.

   "Saudara Souw...! telah kukatakan tadi, bahwa sebenarnya aku amat kagum kepadamu. Tetapi kekagumanku itu ternyata juga bercampur dengan sedikit kekecewaan pula. kau memang seorang ksatria dan pendekar sejati. Hanya saja sebagai seorang lelaki kau terlalu lemah dan kurang bijaksana. kau terlalu tinggi hati dan tidak bertanggung jawab...!" Put-ceng-li Lojin membuka mulutnya. Dan kali ini ternyata api yang disulutkan oleh Put-ceng-li Lojin telah mengenai sasarannya. Sekilas tampak mata Souw Thian Hai berkilat-kilat dalam kegelapan.

   "Apa maksudmu...?" pendekar sakti itu menggeram perlahan. Put-ceng-li Lojin tersenyum.

   "Bangsat! Belum tahu maksudku? Hehehe...maksudku, sebagai laki-laki engkau berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab. Engkau telah berani memikat hati Chu Bwee Hong, tapi setelah kena kau lantas melarikan diri..."

   "Apa...?" Souw Thian Hai memotong dengan suara gemetar. Tapi Put-ceng-li Lojin tak peduli dan tetap meneruskan perkataannya.

   "Nah, apakah perbuatan seperti itu perbuatan yang bijaksana? Hmmh! Dan kini, setelah sekian lamanya kau melarikan diri, serta melihat korbanmu telah ada yang menolong, kau lalu datang kembali. kau pura-pura masih bersedih, padahal di dalam hati kau bergembira bukan main. kau sangat bergembira karena Chu Bwee Hong tidak membunuh diri, tapi malah mendapatkan seorang suami yang bisa melindunginya. Kini kau merasa seolah-olah sudah terbebas dari beban dosa yang berat. Malah untuk menyempurnakan sandiwaramu, kau lalu datang seperti seorang ksatria yang bersedih, tapi tak ingin mengusik kebahagiaan bekas kekasihmu. kau berpura-pura menjadi ksatria sejati yang tak ingin mengusik atau mengganggu isteri orang..."

   Wajah Souw Thian Hai yang pucat itu perlahan-lahan berubah menjadi merah padam. Sinar kemarahan tampak semakin menyala dalam bola matanya.

   "Omongan seorang gila! Hmm, Put-ceng-li Lojin! kau jangan berbelit-belit! Lekas katakan, apa sebenarnya maksudmu...?" Souw Thian Hai menggeram marah. Put-ceng-li Lojin tertawa terbahak-bahak.

   "Hohoho...kau ingin tahu maksudku? Baik! Dengarlah! Aku ingin agar kau berbuat sesuatu untuk menghapus rasa kecewa yang mengotori perasaan kagumku kepadamu tadi. Nah, kau sanggup tidak?" Souw Thian Hai mengerutkan dahinya, tetapi ia tetap bingung dan tak tahu apa yang dimaksudkan oleh ketua Aliran Bing-kauw tersebut.

   "Kurang ajar! Sudah kuminta agar kau jangan berbelit-belit, tetapi kau tetap membandel! Apakah kau ingin aku marah?" untuk pertama kalinya Souw Lian Cu melihat ayahnya berteriak marah-marah.

   "Bodoh! Goblok! Otak udang...!" Put-ceng-li Lojin memaki-maki, seperti orang yang tak mengenal bahaya pula.

   "Mengapa kau tidak dapat juga menafsirkan perkataanku itu? Dengarlah baik-baik! Aku ingin kau menghapus rasa kecewaku itu, agar supaya perasaan kagumku itu menjadi sempurna. Aku ingin agar kau benar-benar menjadi seorang lelaki sejati. Jantan tulen. Sesuai dengan gelar Hong-gi-hiap yang kau terima itu. kau adalah seorang pendekar ternama, karena itu...hilangkan kelemahan hatimu!"

   "Menghilangkan kelemahan hatiku? Apa...apa maksudmu?"

   "Bangsat! Keparat! kau ini benar-benar tidak tahu atau pura-pura tolol? Apakah kau tidak pernah membaca dan mendengar, bagaimana seorang ksatria mengambil jodohnya?" Put-ceng-li Lojin berteriak jengkel.

   "Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan! Kakek gila, mengapa kau masih tetap berteka-teki juga? Lekaslah kau jelaskan, atau...kita berkelahi saja!" Souw Thian Hai membentak pula tidak kalah kerasnya.

   "Babi kotor! Dengar! Rebutlah Chu Bwee Hong dari tanganku! Nah, sudahkah kau dengar kata-kataku ini? Rebutlah Chu Bwee Hong! Dimanapun juga para ksatria mengambil jodohnya dengan perisai dan pedang!" saking jengkelnya Put-ceng-li Lojin berteriak setinggi langit.

   "Lojin...!" Chu Bwee Hong menjerit dan menubruk Put-ceng-li Lojin. "Kau...mengapa kau berkata begitu? Apakah...apakah aku telah bersalah kepadamu? Mengapa aku hendak kau berikan kepada orang lain? Apakah kau telah tidak mau lagi kuikuti...?" Chu Bwee Hong menangis di dada kakek tua itu. Tapi Put-ceng-li Lojin cepat membujuknya.

   "Bwee Hong, anak yang baik...! kita tak perlu lagi meneruskan semua sandiwara kita ini. Sudah tiba saatnya semuanya itu kita buka sekarang. Di tempat ini. Bukankah kau masih ingat rencanaku dulu?"

   "Tapi...Lojin?" Chu Bwee Hong menengadahkan mukanya dan memandang wajah suaminya dengan air mata bercucuran.

   "Anak baik, sudahlah...! kita memang tak pernah menjadi suami-isteri dalam arti yang sesungguhnya. Semuanya itu hanya demi kau saja, anakku...lain tidak! kau masih ingat semua rencana kita dahulu, bukan?" Chu Bwee Hong mengangguk-angguk dengan air mata yang masih bercucuran pula.

   "Bagus! Sandiwara kita ini berakhir karena pemuda yang kau impi-impikan itu telah berada di depan mata kita. Sekarang tinggal caranya saja untuk menyelesaikannya."

   "Tapi, Lojin...aku telah...oh! mana dia mau lagi denganku?" Chu Bwee Hong melirik Souw Thian Hai dan menangis lagi tersedu-sedu, ingat akan keadaannya. Put-ceng-li Lojin menghela napas panjang. Dibelainya rambut Chu Bwee Hong perlahan-lahan.

   "Anakku, hal itulah yang akan kuujikan kepadanya. Kalau dia memang lelaki baik dan bijaksana seperti yang selalu kau ceritakan, dia tentu masih akan tetap menerimamu. Apapun yang telah terjadi! Tapi kalau ia menolakmu karena kau dianggapnya telah kotor, maka dia adalah seorang yang picik dan kerdil! Nah, apa gunanya kamu memikirkan pemuda seperti itu?"

   "Tapi mengapa kau menyuruh dia merebut aku dari tanganmu? Bukankah dengan demikian suasana akan menjadi bertambah kalut?" Chu Bwee Hong berkata di antara isak tangisnya.

   "Sssst! Diamlah! kau tak perlu khawatir! Percayalah saja kepadaku! Justru inilah jalan yang terbaik bagi kita..." Put-ceng-li Lojin berbisik.

   "Jalan yang terbaik?" Chu Bwee Hong berdesah tak mengerti.

   "Ya! Kalau dia memang masih mengharapkanmu serta mencintaimu, dia tentu menerima tantanganku itu. Sebab tantangan ini merupakan kesempatan bagi seorang jantan untuk memperoleh haknya secara terhormat. Tapi kalau dia memang tidak...mencintaimu lagi, hmm...dia tentu akan mencari berbagai macam alasan untuk menghindarinya! Nah, bukankah ini merupakan jalan yang terbaik untuk menguji hatinya kepadamu? Dan yang kedua, aku ingin mendudukkan dirimu di tempat yang semestinya." Put-ceng-li Lojin berhenti sebentar untuk mengambil napas, lalu dengan wajah bersungguh-sungguh ia meneruskan lagi keterangannya.

   "Kau adalah anak yang baik. Sangat baik sekali malah! Hanya karena nasib saja kau bertemu dengan iblis berkerudung yang sangat keji itu. Tapi lepas dari semua itu, kau benar-benar seorang gadis pilihan. Wajahmu ayu, hatimu bersih, budimu luhur dan mulia. Nah, adakah wanita lain yang seperti engkau ini?" Sekali lagi Put-ceng-li Lojin menghentikan kata-katanya. Dipandangnya wajah yang berurai air mata itu dengan tersenyum, senyum seorang kakek atau ayah kepada cucu atau anaknya sendiri.

   "Nah, oleh karena itu pemuda yang hendak mempersunting dirimu harus berjuang. Berjuang dengan seluruh keringat dan darahnya! kau bukanlah wanita murahan yang dengan mudah diperoleh oleh setiap orang! kau adalah seorang puteri pilihan yang pantas direbut dengan cucuran darah dan nyawa oleh para ksatria...!" Chu Bwee Hong memandang kakek itu dengan wajah terharu, lalu tanpa terasa lengannya kembali memeluk tubuh bongkok yang baik budi itu.

   "Lojin..." mulutnya merintih, menyebut nama penolongnya, yang oleh sebagian orang dianggap urakan dan tak mengenal aturan itu.

   "Hmm, anak baik, sekarang kau sudah tahu maksudku, bukan?" Chu Bwee Hong mengangguk.

   "Bagus! Sekarang kau minggirlah, biar aku menyelesaikannya...!" Put-ceng-li Lojin berkata seraya melepaskan pelukan Chu Bwee Hong.

   "Tapi...bagaimana dengan kau nanti? Bagaimana kalau kau tak bisa melayaninya? Oh, Lojin...dia...dia lihai sekali!" Chu Bwee Hong memandang Put-ceng-li Lojin dengan perasaan khawatir.

   "Eh, anak bodoh! Bagaimana kau ini? Bukankah itu lebih baik? Bagaimana jadinya...kalau aku yang menang nanti? Malah menjadi repot, bukan?" Put-ceng-li Lojin berbisik, lalu tertawa. Chu Bwee Hong tersipu-sipu diantara air matanya yang mulai mengering.

   "Tapi aku tak ingin kau terluka atau sakit karena pertempuran itu..." Chu Bwee Hong berbisik pula.

   "Bangsat! Aku adalah ketua Aliran Bing-kauw. Masakan begitu mudahnya aku dilukai orang?" kakek itu berseloroh.

   "Sudah, minggirlah sana...!" Chu Bwee Hong melirik sekali lagi ke arah Souw Thian Hai yang mukanya merah padam itu, lalu melangkah minggir mendekati Souw Lian Cu. Dan gadis itupun lalu menyongsong Chu Bwee Hong dengan pelukan haru. Sementara itu Put-ceng-li Lojin telah berhadapan dengan Souw Thian Hai kembali!

   "Nah! kau tentu sudah mendengar pula barang sedikit percakapanku dengan Chu Bwee Hong tadi, bukan? Aku dan dia bukanlah suami-isteri dalam arti yang sebenarnya.Meskipun begitu, aku tak hendak menyerahkannya begitu saja kepada orang lain. Orang itu harus menyabung nyawa terlebih dahulu denganku untuk bisa memilikinya. Hmmh...bagaimana? kau terima tantanganku?" kakek itu berteriak menggeledek, mengalahkan deru angin yang bertiup di atas pantai tersebut. Souw Thian Hai tidak segera menjawab. Wajahnya tampak pucat dan merah berganti-ganti. Kadang-kadang tampak pula sinar gembira dan kelegaan di matanya mendengar Chu Bwee Hong bukan isteri Put-ceng-li Lojin. Tapi perkembangan yang sangat mendadak itu masih juga membingungkannya.

   "kalian...kalian bukan suami-isteri dalam arti yang sesungguhnya? Tapi...tapi kudengar kalian mempunyai seorang...eh...seorang bayi..." akhirnya pendekar itu berkata. Suaranya gemetar dan matanya beberapa kali memandang ke arah Chu Bwee Hong. Put-ceng-li Lojin menggeram dengan mata menyala. Tangan kirinya bertolak pinggang, sedangkan tangan kanannya menuding ke arah Souw Thian Hai.

   "Huh! Jadi kau belum tahu tentang anak itu? Bangsat! Dengarlah...! anak itu lahir di dunia ini akibat dari kelalaianmu, kelemahanmu dan keragu-raguanmu! Tahu? Masih ingatkah kau peristiwa di rumahmu, ketika orang berkerudung hitam yang kini terkenal dengan nama Hek-eng-cu itu, membawa Chu Bwee Hong untuk memeras peti pusakamu?" kakek itu berteriak marah.

   "Ya...ya, aku ingat! Lalu...lalu mengapa aku yang salah?" Souw Thian Hai memandang Put-ceng-li Lojin dengan penasaran. Sementara itu Chu Bwee Hong mulai menangis lagi. Wanita ayu itu teringat akan penderitaannya kembali.

   "Sudah kuduga, kau tentu tidak merasa bahwa kau punya andil juga dalam kemelut ini. Benar-benar lelaki bangsat! Huh! Apakah kau tidak merasa, bahwa karena kelalaianmu dan keragu-raguanmu itu membuat sengsara hati Chu Bwee Hong? Dan karena ulahmu itu pula yang membuat Chu Bwee Hong dengan mudah dijebak oleh iblis Hek-eng-cu itu. Nah, siapa yang salah kalau akhirnya Chu Bwee Hong menjadi korban iblis keparat itu?"

   "Ooooh...!" Chu Bwee Hong menjerit dan menangis terisak-isak kembali di dalam pelukan Souw Lian Cu. Bukan main terkejutnya Souw Thian Hai.

   "Apa...???" pendekar itu berteriak. Otomatis jari-jari pendekar itu menyambar lengan Put-ceng-li Lojin. Tapi dengan cepat ketua Bing-kauw itu mengelak, lalu dengan cepat pula membalas serangan itu.

   "Dhieees...!" Tubuh Souw Thian Hai terpental dan jatuh terguling-guling di atas pasir. Pendekar yang sejak semula memang tidak berjaga-jaga karena memang tidak bermaksud untuk menyerang Put-ceng-li Lojin itu, segera bangkit kembali dengan tangkasnya. Matanya terbelalak memandang Putceng-li Lojin dan Chu Bwee Hong berganti-ganti.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jadi? Jadi anak itu adalah hasil kebiadaban Hek-eng-cu? Kurang ajar...! Iblis keji!" pendekar sakti itu mengumpat dengan gigi berkerot. Jari-jarinya mengepal dengan eratnya. Tampak benar, betapa marahnya pendekar itu kali ini. Kemarahan yang ditunjang oleh rasa penyesalan yang dalam! Tiba-tiba Put-ceng-li Lojin tertawa.

   "Hahaha...terlambat sudah! Tak ada gunanya lagi kemarahan dan penyesalan itu sekarang! Apalagi kemarahan dan penyesalan tersebut datangnya dari seorang lelaki pengecut dan tak bertanggung jawab! Semua itu Cuma sandiwara belaka...!"

   "Gila! Tutup mulutmu...!!" Souw Thian Hai menjerit saking marahnya. Mendadak tangan kanan Souw Thian Hai terayun ke depan, ke arah dada Put-ceng-li Lojin! Dan...selarik sinar kemerahan tiba-tiba melesat dari telapak tangan itu. Dengan tergesa-gesa Put-ceng-li Lojin menghindarinya.

   "Dhuaaaar...!!!" Gundukan pasir yang berada di belakang Put-ceng-li Lojin tiba-tiba meledak dengan dahsyatnya! Debu pasir berhamburan bagai hujan! Terpaksa semuanya menyingkir dari tempat itu, termasuk juga Souw Lian Cu yang menggandeng tangan Chu Bwee Hong! Put-ceng-li Lojin mendaratkan kakinya tidak jauh dari tempat tersebut. Sambil bertolak pinggang, kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya, hatinya kagum sekali.

   "Hei! Apakah kau menerima tantanganku tadi? kau bersedia merebut Chu Bwee Hong dari tanganku?" dengan enaknya dan tanpa merasa takut sedikitpun melihat pameran kekuatan Souw Thian Hai tadi, Put-ceng-li Lojin berteriak-teriak kembali.

   "Jangan membuka mulut saja! Lihat seranganku...!" Souw Thian Hai menggeram dan kembali menyerang dengan kedua belah tangannya. Sekali lagi seleret sinar kemerahan meluncur dari telapak tangan Souw Thian Hai, menerangi gundukan pasir yang berada diantara mereka. Dan sedetik kemudian kilatan sinar merah itu menjilat ke arah dada Put-ceng-li Lojin, bagaikan jilatan api yang menyengat udara sekelilingnya.

   "Gila!" Put-ceng-li Lojin mengumpat seraya melenting ke atas cepat sekali. Kemudian dari atas kakek itu meluncur ke samping kiri seperti kilat cepatnya. Sambil meluncur kakek itu menyabetkan lututnya ke kepala Souw Thian Hai.

   Begitu cepatnya gerakan kakek itu, sehingga Souw Thian Hai tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak lagi. Tapi senyum yang sudah mulai merekah di bibir ketua Bing-kauw itu cepat menghilang lagi. Souw Thian Hai itu memang tidak bisa mengelak lagi, tapi secara mendadak pendekar itu memalingkan mukanya, dan tiba-tiba dari mulutnya berembus kabut putih yang menerpa atau menyongsong datangnya lutut itu. Dan sekejap kemudian hembusan udara dingin terasa menghantam lutut Put-ceng-li Lojin, sehingga tiba-tiba saja kaki ketua Bing-kauw itu terasa kaku dan lututnya membeku! Maka sambil memaki dan mengumpat tiada habisnya, kakek tersebut berusaha melemparkan kakinya yang tidak bisa digerakkan itu ke atas. Lalu dengan meminjam daya lemparannya tersebut, Put-ceng-li Lojin melesat pergi menjauhkan diri.

   "Monyet! Anjing! Babi...! Hei...ilmu apa ini?" ketua Bing-kauw itu berseru dengan kaki terpincang-pincang. Segores luka tampak menganga di atas lututnya. Luka seperti sayatan pedang yang tidak ia ketahui dari mana datangnya. Dan anehnya, untuk beberapa saat luka itu tidak mengeluarkan darah. Baru setelah kakek itu mengerahkan lweekang untuk menghilangkan kebekuan tersebut, luka itu lalu mengalirkan darah. Chu Bwee Hong yang berpegangan tangan dengan Souw Lian Cu itu, tampak menatap Put-ceng-li Lojin dengan pandang mata khawatir.

   "Ilmu apakah yang telah dikeluarkan ayahmu itu?" wanita ayu itu bertanya kepada Souw Lian Cu. "Kulihat ia tak membawa apa-apa, tapi mengapa bisa melukai orang?"

   "Tai-lek Pek-khong-ciang dan Tai-kek Sin-ciang!" Souw Lian Cu menjawab bangga.

   "Ohh...? Tai-lek Pek-khong-ciang dan Tai-kek Sinciang?" Chu Bwee Hong menegas dengan suara kaget.

   "Ya! Kedua buah ilmu itu adalah andalan keluarga Souw, dan ayahku telah mempelajarinya dengan sempurna sekali. Dan yang melukai Put-ceng-li Lojin itu adalah pukulan Tai-lek Pek-khong-ciang, semacam ilmu totokan (tiam-hoat) dari jauh. Hawa pukulan dari tiam-hoat itu dapat melukai sasaran seperti layaknya ujung pedang atau ujung tongkat, tergantung oleh besar kecilnya tenaga sakti yang dipergunakan..."

   "Ah, kalau begitu kau juga bisa, Lian Cu...?" gadis itu mengangguk.

   "Tapi baru permulaan, karena aku lantas pergi dari rumah..." katanya menyesal. "...jadi belum dapat dipakai untuk melukai sasaran dari jarak jauh. Paling-paling hanya untuk menotok atau melumpuhkan orang dari jarak satu tombak saja..."

   "Tapi...itupun sudah hebat, dan kau masih bisa belajar lagi nanti." Chu Bwee Hong membujuk. Tiba-tiba Souw Lian Cu meremas jari-jari tangan Chu Bwee Hong dengan wajah gembira.

   "Jadi...jadi Cici bersedia ikut ayahku pulang? Ooooh...ibu, aku senang sekali!" Souw Lian Cu memeluk wanita ayu itu.

   "Eh! Eh...nanti dulu! Siapa bilang aku akan mengikuti ayahmu?" Souw Lian Cu cepat melepaskan pelukannya. Bibirnya tidak tersenyum lagi. Matanya yang bulat besar itu menatap Chu Bwee Hong lekat-lekat.

   "Hei, Lian Cu...ada apa?" dengan cepat Chu Bwee Hong memegang lengan gadis itu. Tapi dengan cepat pula Souw Lian Cu mengelak.

   "Tidak apa-apa! Kalau begitu, lupakan saja ilmu Tai-lek Pek-khong-ciang itu!"

   "Lhoh...mengapa demikian?" Chu Bwee Hong berseru kaget. Souw Lian Cu membalikkan tubuhnya dengan cepat. Dipandangnya pertempuran seru antara ayahnya melawan Put-ceng-li Lojin itu.

   "Aku juga tak mau ikut dengan ayah!" gadis itu berkata kaku.

   "Ahhh...Lian Cu!" Chu Bwee Hong berdesah, lalu memeluk gadis itu dari belakang. Matanya berkaca-kaca kembali. Sementara itu pertempuran antara Souw Thian Hai dengan Put-ceng-li Lojin berlangsung semakin dahsyat! Kini, setelah menyadari betapa tingginya ilmu kepandaian lawannya, Put-ceng-li Lojin tak mau berlaku sembrono lagi. Ketua Bing-kauw itu benar-benar mengerahkan seluruh kepandaiannya, agar supaya tidak terjebak dalam perangkap ilmu Souw Thian Hai yang menggiriskan hati itu.

   Kilatan-kilatan sinar berwarna merah dan putih, yang keluar dari telapak tangan Souw Thian Hai itu semakin sering menyambar tubuh Put-ceng-li Lojin, sehingga udara di sekitar merekapun menjadi berubah-ubah pula karena terpengaruh oleh ilmu yang mendebarkan hati tersebut. Bila sinar merah yang meluncur, maka udara di sekitar tubuh ketua Bing-kauw itupun lantas bagaikan dibakar oleh lidah api yang bersumber dari tangan Souw Thian Hai. Sebaliknya kalau yang berpijar dari tapak tangan itu berwarna putih terang, maka Put-ceng-li Lojin seolah-olah telah dicampakkan pula ke dalam lautan es yang dingin bukan kepalang! Dan dilihat sepintas lalu, pertempuran itu tampaknya memang dirasakan terlalu berat bagi Put-ceng-li Lojin.

   Meskipun dengan Cap-sha-cui-min (Tiga belas Pintu Masuk), yaitu bagian pertama dari Chu-mo-ciang, ketua Bing-kauw itu selalu dapat mengelak dan menghindar, tapi perubahan hawa yang setiap detik selalu berganti itu sungguh sangat melelahkan kekuatan tubuhnya yang telah tua tersebut. Sebab untuk menyesuaikan diri atau bertahan terhadap perubahan-perubahan hawa itu Put-ceng-li Lojin terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan lweekangnya. Maka akibatnya, orang tua itu lalu cepat sekali menjadi lelah, sehingga otomatis tidak bisa mengembangkan daya perlawanannya. Jangankan untuk menyerang lawan dengan Koai-jin-kun (Seribu Gerakan Aneh)-nya yang konyol dan mengerikan itu, kini untuk tetap bisa bertahan memainkan Cap-sha-cui-min saja ia semakin merasa kesulitan pula.

   "Bangsat! Keparat! Setan busuk bau kotoran...! Aduuh! Baru sekali ini aku dibuat jatuh bangun oleh...anjing, monyet...! Oh, babi kau!" ketua Bing-kauw yang gemar mengumpat-umpat itu berteriak-teriak. Tapi Souw Thian Hai tidak mempedulikan cacian dan umpatan orang tua itu. Semakin lama pendekar itu semakin menambah kekuatan ilmunya, sehingga arena pertempuran itu semakin tercekam pula oleh kedahsyatan ilmu tersebut. Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu terpaksa menyingkir semakin jauh pula dari arena pertempuran itu. Percikan atau taburan pasir yang telah menjadi panas atau dingin itu benar-benar dapat membahayakan kulit mereka.

   "Lian Cu, kelihatannya Put-ceng-li Lojin sedang berada di dalam keadaan yang sulit sekarang..." Chu Bwee Hong berkata dengan nada khawatir. Souw Lian Cu menghela napas, tapi tak menjawab.

   "Lian Cu, mengapa kau diam saja?" Chu Bwee Hong bertanya.

   "Apa yang mesti kukatakan lagi? Siapapun yang menang diantara mereka tiada bedanya bagiku. Paling-paling hanya kesedihan saja yang kuperoleh..." Souw Lian Cu menjawab datar tanpa perasaan.

   "Ah, mengapa demikian...?"

   "Habis, Cici tidak mau kawin dengan ayahku! Lalu, apa gunanya mereka itu bertanding?" Chu Bwee Hong tersenyum pahit, lalu dengan penuh kasih sayang dibelainya gadis itu perlahan.

   "Lian Cu...kau jangan berkata begitu!" bisiknya lembut.

   "Ohh, Cici...!" Souw Lian Cu menjerit kecil, lalu menyembunyikan mukanya di dada Chu Bwee Hong. "Cici, mengapa kau tak mau menjadi isteri ayahku?"

   "Ahh...bocah manja! kau ini ada-ada saja. Sebenarnya akulah yang harus bertanya kepadamu. Adakah ayahmu itu masih mau mengawini seorang wanita kotor seperti aku ini?" Chu Bwee Hong balik bertanya.

   "Apa? Siapa yang berani mengatakan Cici seorang wanita kotor? Huh! Aku tidak terima. Akan kutantang orang itu! Dan...apabila ayahku yang mengatakannya...hmmh, aku tidak akan menganggapnya sebagai ayah lagi!" Souw Lian Cu melepaskan diri dari pelukan Chu Bwee Hong dan berseru marah.

   "Hei...kau jangan berkata seperti itu. Itu berdosa..." dengan halus Chu Bwee Hong menarik lengan gadis itu kembali.

   "Tapi ayahpun juga berdosa pula jika mengatakan seperti itu!"

   "Aaa...sudahlah! Mengapa mesti marah-marah terus begitu?"

   "Tapi bagaimana dengan Cici? Mau tidak dengan ayahku?" Souw Lian Cu masih terus mendesak dengan penasaran. Chu Bwee Hong memalingkan mukanya seraya menghela napas dalam-dalam. Berat juga rasanya bagi wanita ayu itu untuk mengatakan apa yang tersembunyi di dalam hatinya, meskipun hanya kepada Souw Lian Cu yang telah dianggapnya sebagai anaknya pula.

   

Darah Pendekar Eps 2 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 3 Darah Pendekar Eps 19

Cari Blog Ini