Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 16


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 16




   Nasihat sederhana itu ternyata sangat mengena di hati A Liong. Ya, siapa tahu? Selama ini ia selalu memiliki semangat yang tinggi. Segala macam kesulitan dan kesengsaraan selalu diterimanya dengan penuh tawakal dan lapang dada. Dia tak pernah mengeluh ataupun menyesali nasibnya. Sebaliknya dia malah selalu pemberi semangat dan membesarkan hati teman-temannya. Nah, kalau begitu mengapa sekarang dia harus bersedih? Tidak seorangpun tahu, apa yang akan terjadi besok atau lusa. Manusia : hanya wajib berusaha dan berikhtiar. Yah, siapa tahu nasibnya memang lain daripada kedua orang tua itu?

   "Terima kasih, Lo-Cianpwe. siauwte benar-benar beruntung bisa menjadi muridmu. siauwte berjanji akan belajar dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan siauwte mampu menerimanya sehingga tidak mengecewakan Lo-Cianpwe berdua." A Liong segera berlutut di depan Kakek Soat Ban Ong.

   "Bagus! Bagus! Aku tahu kau anak yang baik. Lalalala..." Orang tua itu merangkapkan kedua tangannya sambil menengadahkan kepalanya ke atas, ke langit-langit gua. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Demikianlah pada hari berikutnya A Liong sudah mulai belajar ilmu silat dari Kakek Soat Ban Ong. Karena A Liong pada dasarnya memang belum pernah belajar silat, maka Soat Ban Ong juga memulainya dari awal.

   "Hari ini kau berlatih menggerak-gerakkan kaki tanganmu dulu, agar urat-uratmu menjadi lemas dan mapan. Cobalah dengan berlari mengelilingi pulau ini!"

   "Baik, Lo-Cianpwe."

   "Lalala, bagaimana kau ini? Panggil aku Suhu, dong!" A Liong tertegun sebentar, namun segera menyadarinya. Bergegas ia menekuk lututnya.

   "Baik, Suhu." Ia memberi hornat dengan bersemangat.

   "Murid akan segera berlari mengelilingi pulau ini."

   "Bagus! Nah, mulailah!"

   A Liong mengangguk, kemudian bergegas ke pantai. Dengan bersemangat ia lalu berlari di atas pasir. Karena sejak kecil dia sudah terbiasa melakukan cara-cara pernapasan yang diajarkan oleh orang tua tak dikenal itu, maka sekarangpun secara otomatis dia juga melakukannya pula. Dengan hembusan dan tarikan napas yang teratur A Liong berlari perlahan. Kadang-kadang juga di dalam air yang dangkal. Karena pulau itu memang kecil dan berpantai pasir landai, maka A Liong tidak menemui kesulitan untuk mengelilinginya. Bahkan sambil berlari dia sempat melihat-lihat panorama indah di sekitar pulau tersebut. Memang benar. apa yang dikatakan oleh gurunya kemarin, bahwa gugusan pulau itu terdiri- dari beberapa buah pulau kecil-kecil. Malah antara pulau yang satu dengan pulau yang lain hampir melekat satu sama lain. Masing-masing hanya dibatasi oleh air setinggi lutut saja.

   "Kelihatannya Suhu Bok Kek Ong tidak tinggal di pulau ini, tapi di pulau seberang itu." Sementara itu Soat Ban Ong mengambil beberapa macam jamur yang secara khusus ditanamnya di pulau itu. Dia ingin menyiapkan makan siang untuk A Liong nanti. Dia juga mengambil beberapa ekor ikan laut yang diternakkannya di dalam kolam. Kakek Soat Ban Ong memang pandai memasak. Ikan laut itu dioles dengan jamur yang telah dilumatkan, kemudian diberi bumbu dan dibakar di atas api. Beberapa waktu kemudian asapnya yang berbau gurih itu telah berhembus kemana-mana, memenuhi udara di atas pulau kecil itu.

   "Hei kura-kura gemuk! kau mau berpesta, ya?" Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Kakek Bok Kek Ong telah berdiri di dekat Soat Ban Ong.

   "Lalalala, apa kataku? Mudah sekali untuk memanggilmu. Buat saja masakan yang enak, tanggung mukamu yang rusak itu akan segera muncul." Soat Ban Ong tertawa meledek. Tapi Bok Kek Ong tidak mempedulikan ejekan itu. Bahkan tanpa berbasa-basi lagi dia memungut ikan yang telah masak dan mencicipinya. Liurnya sampai menetes saking nikmatnya ia merasakan ikan laut bakar itu.

   "Bukan main...! Enak sekali! Cek... cek... cek.!

   "Wah! Wah! Masakan ini bukan untuk kita, Cacing Kurus! Ini untuk murid kita! Apakah kau tak melihat dia sedang berlari melemaskan otot-ototnya mengelilingi pulau ini? Huh, kau ini!" Tiba-tiba Bok Kek Ong menengadahkan wajahnya. Mulutnya berhenti mengunyah.

   "Jadi... dia setuju menjadi murid kita?" katanya kemudian seperti tak percaya. Soat Ban Ong mengangguk. Bibirnya yang tertutup kumis dan jenggot lebat berwarna hitam legam itu tersenyum.

   "Tapi kau tak memaksanya, bukan?" Bok Kek Ong menegaskan lagi.

   "Tentu saja tidak. kau ini ada-ada saja. Memangnya mudah mempelajari ilmu silat dari Pondok Pelangi? Apalagi tanpa keinginan dan semangat yang tinggi dari orang itu sendiri? Memaksa orang untuk belajar ilmu silat Pondok Pelangi, sama saja memaksa orang menjadi gila!" Bok Kek Ong tertawa dan kembali mengunyah makanannya.

   "Wah, aku juga cuma bertanya saja, kok! Siapa tahu karena sulitnya mencari ahli waris, engkau lantas jual murah ilmu silat kita? Apalagi selama ini juga baru sekali ini ada orang yang mampu keluar dari pusaran iblis itu. Dan kebetulan pula orang itu adalah seorang bocah yang bertulang amat bagus." Soat Ban Ong ikut tertawa pula. sambil mengangkat pundak dia berkata santai.

   "Yah, kita memang orang yang beruntung. Karena selalu sabar dan tawakal, jerih payah kita selama ini akhirnya membuahkan hasil pula. Memang untuk mendapatkan ikan besar, diperlukan umpan yang sepadan pula. Bukankah begitu Lo Kek Ong (Si Tua Kek Ong)?" Bok Kek Ong tidak menjawab. Tapi dia tersenyum, suatu hal yang tidak pernah dilakukannya selama ini. Biasanya setiap kali berhadapan dengan Soat Ban Ong, mereka tentu bertengkar dan berdebat. Bahkan kadang-kadang sampai berkelahi pula. Kelihatannya kedatangan A Liong tersebut telah mengubah perangainya. Karena Bok Kek Ong tidak menjawab, maka Soat Ban Ongpun tidak ambil pusing pula. Diambilnya ikan-ikan bakar yang telah masak itu, ditaruhnya di dalam mangkuk batu, lalu dibawanya ke pantai. Bok Kek Ong bangkit pula. Seperti seekor kucing ia mengikuti dari belakang.

   "A Liong...! A Liong...!" Soat Ban Ong berseru. Sampai di atas hamparan pasir tiba-tiba Soat Ban Ong tertegun. Matanya terbelalak mengawasi bekas-bekas sepatu di atas pasir tersebut. Hampir saja mangkuk batu yang dibawanya itu terlepas. Bok Kek Ong cepat menghampiri.

   "Ada apa, Lo Ban Ong (Si Tua Ban Ong)...?" Ia menegur. Soat Ban Ong menunjuk ke bekas sepatu itu.

   "Banyak benar bekasnya! Berapa puluh kali anak itu mengelilingi pulau ini?"

   "Lhoh... Memangnya kau suruh bagaimana dia?" Soat Ban Ong menghela napas panjang. Matanya segera melongok kesana-kemari mencari bayangan A Liong. Dan wajahnya menjadi lega begitu melihat pemuda itu berlari mendatangi.

   "A Liong berhenti dulu!" Dia berteriak memanggil. Pemuda itu berhenti di depan Soat Ban Ong.

   Namun serentak dilihatnya Bok Kek Ong juga ada di situ, A Liong cepat menghampiri dan berlutut di hadapannya. Bok Kek Ong menyembunyikan perasaan gembiranya. Tangannya meraih pundak A Liong dan ditariknya agar berdiri. Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba Bok Kek Ong tertegun menyaksikan wajah A Liong yang tampan itu sama sekali tidak berkeringat. Wajah pemuda itu masih tampak segar, seakan-akan tidak pernah berlari atau melakukan sesuatu yang menguras tenaganya. Bahkan pernapasannyapun tetap halus dan teratur. Sama sekali tidak tampak lelah atau tersengal-sengal. Ternyata Soat Ban Ong menjadi heran melihat kenyataan tersebut. Melihat bekas sepatu yang ada di atas pasir, bisa dikira-kira kalau A Liong lebih dari puluhan kali melewati tempat itu. Tapi, mengapa pemuda itu sama sekali tidak kelihatan lelah? Bahkan berkeringatpun tidak?

   "Anak baik, duduklah!" Akhinya Bok Kek Ong menyuruh A Liong untuk duduk di atas pasir.

   "Benar, A Liong. Duduklah! Marilah kita kukuhkan secara resmi hubungan guru dan murid ini dengan berpesta ikan bakar..." Soat Ban Ong berkata pula.

   "Lo Ban Ong...?" Bok Keng Ong berdesah. Ia tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh Soat Ban Ong terhadap A Liong. Soat Ban Ong memberi tanda kepada kawannya itu.

   "Kita berpesta dulu. Urusan yang lain kita bicarakan belakangan." Demikianlah siang hari itu Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong meresmikan A Liong sebagai murid mereka. Bok Kek Ong yang lebih tua daripada Soat Ban Ong disebut Toa-suhu, sedangkan Soat Ban Ong disebut dengan Ji-suhu. Selesai melakukan upacara sederhana, mereka berpesta ikan bakar yang dimasak oleh Soat Ban Ong tadi.

   "Hmmmh! Omong-omong... sudah berapa kali kau mengitari pulau ini?" Selesai makan Soat Ban Ong segera bertanya kepada A Liong. A Liong mengangguk.

   "Lima puluh kali, Suhu!"

   "Lima... puluh kali?" Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong berseru hampir berbareng. Mata mereka terbelalak seolah tak percaya.

   "Benar, Suhu. Mengapa? Apakah masih harus ditambah lagi?" A Liong bertanya dengan suara tegas.

   "Ah, sudah cukup!" Soat Ban Ong buru-buru menggoyangkan tangannya.

   Namun diam-diam Soat Ban Ong saling pandang dengan Bok Kek Ong. Sinar mata mereka menunjukkan perasaan heran, karena menurut cerita A Liong sendiri, pemuda itu belum pernah belajar ilmu silat. Tapi kenyataannya berlari dari pagi hingga siang hari, pemuda itu masih tetap segar bugar dan tidak mengeluarkan keringat yang berarti. Bahkan pernapasannyapun tetap biasa pula, tidak tersengal-sengal. Apakah sebenarnya yang terjadi? Apakah A Liong telah membohongi mereka? Tapi, bagaimana dengan jejak-jejak sepatu di atas pasir itu? Tidak mungkin jejak itu tiba-tiba tercipta sendiri, seolah-olah ada sepasukan hantu yang berbaris di tempat itu. Satu-satunya kemungkinan memang hanya pada A Liong sendiri. Mungkin pemuda itu memang telah menyembunyikan kepandaiannya. Akhirnya Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong sepakat menanyakannya kepada A Liong.

   "A Liong... tampaknya kau pernah belajar ilmu silat, ya? kau tidak merasa lelah meskipun telah berlari sekian lamanya. Napasmu juga tidak tersengal-sengal pula..." Soat Ban Ong bertanya perlahan. A Liong menatap kedua orang tua itu bergantian. Alisnya berkerut. Tapi sesaat kemudian otaknya yang cerdas segera menangkap kecurigaan mereka. Pemuda itu masih ingat akan keheranan Siau In ketika tubuhnya mampu menahan pukulan dayung.

   "Ah, maaf... suhu. Siauwte memang benar-benar belum pernah belajar ilmu silat. Tapi kalau yang Suhu maksudkan itu tentang cara-cara pernapasan untuk menguatkan tubuh, siauwte memang pernah mempelajarinya. Seorang kakek aneh mengajarkan kepada siauwte ketika siauwte masih kecil."

   "Cara-cara pernapasan? Dapatkah kau perlihatkan cara pernapasan itu kepada kami?" Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong berdesah hampir berbareng.

   "Tentu saja, Suhu. Begini..." A Liong lalu duduk bersila di atas pasir.

   Punggungnya tegak lurus sampai kepala, sementara matanya menatap tajam ke arah ujung hidungnya sendiri. Kedua buah telapak tangannya yang terbuka terkatup rapat di depan dada. Kemu-dian dengan sikap yang amat tenang, serta penuh keyakinan, dia melakukan cara pernapasan seperti yang telah diajarkan oleh kakek aneh dulu. Dan tak lama kemudian dari ubun-ubun A Liong mengepul asap tipis berwarna putih. Asap itu tidak buyar tertiup angin. Asap itu melayang ke atas perlahan-lahan, bagaikan ular kobra yang meliuk dan menari mengikuti irama suling. Dan anehnya asap itu makin lama makin pekat, bahkan warnanyapun juga berubah. Sedikit demi sedikit asap putih itu berubah menjadi merah. Bukan main kagetnya hati Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong! Cara dan bentuk ilmu pernapasan itu mirip sekali dengan ilmu pernapasan mereka! Asap yang timbul di atas kepalapun nyaris sama pula.

   Perbedaannya, asap A Liong itu jauh lebih pekat dan lebih kental daripada asap milik mereka! Dan asap yang timbul di atas kepala A Liong cuma ada dua macam warna saja, yaitu merah dan putih. Demikian pula dengan bentuk asapnya. Asap milik A Liong cuma bergerak naik di atas kepalanya. Sebaliknya asap yang mereka miliki bisa berubah-ubah dalam tujuh macam warna, sesuai dengan warna pelangi. Bentuknyapun tidak hanya mengepul di atas kepala, tetapi bisa menebar lembut menyelimuti badan. Akan tetapi bagaimanapun juga kenyataan itu telah membuka mata Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong, bahwa A Liong memiliki sebuah ilmu pernapasan yang mirip dengan ilmu pernapasan dari Pondok Pelangi. Dan kenyataan itu benar-benar menggelitik hati mereka untuk menyelidikinya. Dengan sangat hati-hati Soat Bari Ong mendekati A Liong.

   "Baiklah, A Liong... Kau...?" Ucapan Soat Ban Ong tiba-tiba terhenti ketika hidungnya mencium bau amis yang amat keras! Demikian kuatnya bau amis itu sehingga perut mereka menjadi mual dan mau muntah!

   "Bau keringat! Kenapa bau keringat A Liong seperti ini?" Bok Kek Ong berseru kaget. A Liong menghentikan latihannya. Wajahnya kelihatan bingung ketika Soat Ban Ong tiba-tiba mengulurkan tangannya dan meraba tempurung kepalanya. Bahkan Bok Kek Ong yang berdiri di belakangnyapun ikut-ikutan memeriksa beberapa jalan darah di sepanjang tulang belakangnya.

   "Aaaaaah...!" Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong sama-sama berteriak kaget. Keduanya saling memandang, kemudian bersama-sama menganggukkan kepala mereka.

   Ternyata dalam waktu yang bersamaan tadi mereka telah memeriksa tubuh A Liong. Soat Ban Ong meneliti bentuk tulang kepala A Liong, sedangkan Bok Kek Ong memeriksa susunan urat di sekitar tulang belakang. Dan ternyata mereka berdua menemukan hal-hal yang aneh dan mustahil! Ternyata beberapa buah urat penting di kanan-kiri tulang belakang A Liong, telah disusun secara khusus seperti halnya anak keturunan penghuni Pondok Pelangi. Dan susunan tersebut telah dibentuk sejak A Liong lahir, sehingga tempurung A Liong telah tumbuh dalam bentuk yang khusus pula. Soat Ban Ong memegang pundak A Liong dan menatap wajah pemuda itu dengan tajamnya. Kalau semula mereka hanya berpendapat bahwa ilmu pernapasan A Liong sangat mirip dengan ilmu pernapasan mereka, kini mereka justru menjadi yakin bahwa ilmu yang dimiliki A Liong benar-benar ilmu dari Pondok Pelangi!

   "A Liong! Katakan yang sebenarnya! Siapakah kau ini? Bukankah engkau datang dari Pondok Pelangi juga?" Perubahan sikap gurunya itu benar-benar membingungkan A Liong. Dengan wajah pucat ia memandang Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bergantian. Sinar matanya tampak bergetar, karena tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh gurunya.

   "Lo-cian... Lo-Cianpwe! A-ada apa sebenarnya? Bukankah Siauwte... sudah mengatakannya? siauwte anak seorang pengemis dan Siauwte... tidak tahu menahu soal Pondok Pelangi."

   A Liong berkata dengan suara gemetar, menandakan ucapannya itu benar-benar keluar dari lubuk hatinya. Dan sesungguhnya, baik Soat Ban Ong maupun Bok Kek Ong dapat merasakan juga. Tapi tanda-tanda khusus yang mereka temukan pada tubuh A Liong itu tidak mungkin salah lagi. Tanda-tanda itu persis seperti milik mereka! Tanda-tanda khusus bagi keturunan warga Pondok Pelangi! Mereka benar-benar pusing. Di suatu pihak mereka percaya akan semua penuturan A Liong. Tapi di pihak lain mereka juga yakin bahwa anak itu tentu anak keturunan dari warga Pondok Pelangi. Hanya ada satu hal yang membuat mereka sedikit ragu akan kebenaran dugaan mereka itu, yaitu bau amis yang keluar dari badan A Liong. Penghuni Pondok Pelangi rata-rata memiliki bau harum, bau khas yang timbul bila mereka menghentakkan tenaga sakti mereka.

   "A Liong, ketahuilah! Kami berdua benar-benar bingung melihatmu... semula kami memang percaya pada riwayat hidupmu. Tapi setelah menyaksikan kemampuanmu dan meneliti keadaan tubuhmu, kepercayaan tersebut menjadi kabur lagi. Ternyata sejak lahir susunan urat darahmu telah dibentuk sesuai dengan ilmu warisan dari Pondok Pelangi. Nah, hal itu berarti kau memiliki hubungan dengan Pondok Pelangi, karena hal itu tidak mungkin dilakukan oleh orang lain. Kecuali orang tuamu atau salah seorang dari para pengemis itu tahu tentang ilmu warisan tersebut. Dan kalau memang demikian halnya, berarti orang itu adalah orang dari Pondok Pelangi pula." Soat Ban Ong berkata dengan hati-hati.

   "Tapi... jangan khawatir! Kami masih tetap percaya pada ceritamu. kau tentu takkan membohongi kami." Bok Kek Ong ikut menambahkan. Soat Ban Ong tersenyum.

   "Benar. Kami tetap percaya padamu. Tapi harap kau ingat juga, bahwa kami tetap berpendapat bahwa kau tentu seorang anak keturunan Pondok Pelangi. Hanya saja... Kami tak bisa menerka, apa yang dulu terjadi padamu. Mungkin kau memang keturunan seorang warga Pondok Pelangi yang terdampar di daratan Tiongkok."

   "Namun demikian kami juga belum yakin pula pada dugaan itu, karena... tiba-tiba badanmu mengeluarkan bau amis yang amat menyengat! Padahal ilmu pernapasan dari Pondok Pelangi justru mengakibatkan bau harum pada pemiliknya, bukan bau amis seperti itu." Bok Kek Ong menambahkan lagi. Soat Ban Ong mengangguk.

   "Itulah sebabnya kami menanyakan lagi asal-usulmu. Tapi kalau kau memang benar-benar tidak tahu, kami berdua juga memakluminya. Mungkin kau memang anak keturunan warga Pondok Pelangi, yang ditemukan oleh kawanan pengemis, yang kemudian menjejalimu dengan makanan-makanan kotor, sehingga bau keringatmu menjadi amis" ketika mengerahkan tenaga Bok Kek Ong menepuk pundak A Liong.

   "Tapi bisa juga kau bukan anak keturunan Pondok Pelangi. Mungkin memang anak pengemis, yang pada saat kelahiranmu mendapat pertolongan dari seorang warga Pondok Pelangi. Dan orang itu kebetulan menyukaimu, semua ingin mengangkatmu sebagai murid, sehingga ia mempersiapkan susunan urat-urat di dalam tubuhmu."

   "Maksud Suhu... orang tua yang mengajariku ilmu pernapasan itu? Tapi... orang itu hanya sekali saja bertemu denganku." A Liong mencoba mengikuti jalan pikiran gurunya.

   "Mungkin juga. Yah, siapa tahu? kau bisa menanyakannya bila bertemu nanti! Lalalalala...! Kulihat riwayat hidupmu sangat aneh dan menarik. Kurasa masih ada suatu rahasia yang belum kau ketahui. kau kelihatan berbeda dangan anak-anak sebayamu. Dan kau tidak sesuai menjadi seorang anak pengemis. kau tentu bukan anak sembarangan. Tapi... yah, sebaiknya kau menyelidikinya sendiri nanti. Lalalalala...!" Soat Ban Ong yang suka melucu itu tertawa.

   A Liong tercenung diam. Kata-kata gurunya itu benar-benar tercerna ke dalam hatinya. Rahasia? Benarkah masih ada rahasia yang belum diketahuinya? Apakah itu? Selama ini A Liong memang tidak pernah memikirkan siapa dirinya. Dia sudah pasrah akan nasibnya dan ia tak pernah mempersoalkan siapa orang tuanya, la sudah menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok pengemis itu. Tapi kata-kata gurunya itu masuk akal juga. Selama ini nasibnya, jalan hidupnya, memang tampak berbeda dengan para pengemis yang lain. Benarkah ia bukan keturunan mereka? Lalu anak siapakah dia sebetulnya?

   "Tapi... apa yang telah siauwte ceritakan itu memang benar, Lo-Cianpwe. siauwte tidak berbohong." Akhirnya A Liong berkata dengan memelas.

   "Yaya, kami tahu. Itulah sebabnya kami tetap menginginkan kau menjadi murid kami." Soat Ban Ong mengiyakan.

   "Sekarang kami akan menguji dululu. sebelum kami memberi pelajaran silat." Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong lalu membawa A Liong ke tempat yang lebih datar. Mereka duduk melingkar saling berhadapan.

   "Sekarang... coba kau kerahkan ilmu pernapasanmu tadi, lalu pukullah telapak tanganku ini!" Soat Ban Ong mengangkat tangannya ke depan.

   "Memukul? Tapi cara pernapasan itu hanya digunakan untuk melawan hawa dingin, Suhu."

   "Sudahlah! kau turuti saja perintah kami!" Bok Kek Ong menimbrung. Meskipun agak ragu, tetapi A Liong melaksanakan juga perintah itu. Setelah mengerahkan ilmu pernapasannya, sehingga uap putih mengepul di atas kepalanya, tangannya diayun ke depan, ke arah telapak tangan gurunya.

   "Whuuuuuut... dhug!" A Liong meringis kesakitan. Buku tangannya bagaikan membentur sebongkah batu karang! Sebaliknya Soat Ban Ong merengut karena kecele. Dia terlanjur mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, karena ia melihat pekatnya asap yang mengepul di ubun-ubun A Liong. Namun pukulan yang terlontar dari tangan pemuda itu ternyata tak berisi apa-apa. Bocah itu benar-benar tak tahu ilmu siat. Tidak tahu cara menyalurkan tenaga sakti untuk menyerang lawan! Orang tua itu memandang Bok Kek Ong untuk menanyakan pendapatnya.

   "Baiklah! Kalau memang dia hanya membutuhkan ilmu itu untuk bertahan terhadap udara dingin, artinya dia bisa menggunakannya untuk mempertahankan diri. Sekarang... biarlah dia tetap bertahan! kau saja yang menyerangnya!" Bok Kek Ong berkata.

   "Menyerang dia? Hei, kau jangan main-main! Bocah ini bisa lumat oleh pukulanku!"

   "Belum tentu! Apakah kau tidak melihat asapnya tadi? Asapmu belum tentu setebal itu!"

   "Tapi...?" Soat Ban Ong bergumam ragu.

   "Yah, tentu saja kaupun harus melihat keadaan pula. Terlalu meremehkan, kau bisa celaka. Tapi terlalu bernafsu, kau juga bisa membunuhnya. Nah, lakukanlah!"

   "Tidak! Kalau begitu kau saja yang menguji dia! Tenaga dalammu lebih baik daripada aku. kau lah yang bisa mengaturnya." Bok Kek Ong yang kurus itu menarik napas panjang. Terpaksa dia mengambil alih ujian itu. Sambil menggeser badannya ia mengangguk kepada A Liong.

   "Baiklah! Nah, A Liong... Kau lakukan lagi cara pernapasan itu! Berbuatlah seperti kalau kau bertahan terhadap udara dingin dan aku akan mencoba menghembuskan udara dingin kepadamu. Berusahalah untuk bertahan! Syukur kau bisa menolak atau menentangnya!"

   "Baik, Suhu!" Sekali lagi A Liong melakukan cara-cara pernapasannya. Begitu uap putih yang keluar dari ubun-ubunnya berubah menjadi merah, maka Bok Kek Ong juga mengerahkan tenaga dalamnya. Uap putih mengepul pula menyelimuti tubuh Bok Kek Ong, seakan-akan tubuh yang kurus itu telah berubah menjadi sebongkah es yang dingin. Lalu perlahan-lahan tangan orang tua itu mendorong ke depan. Serangkum udara dingin meluncur menuju ke dada A Liong. Desau suaranya seolah-olah mengalahkan suara angin yang bertiup dari arah barat. Untuk menguji kekuatan A Liong, Bok Kek Ong sengaja mengeluarkan sepertiga dari seluruh tenaga saktinya. A Liong tidak bereaksi atau berbuat apa-apa, selain tetap meneruskan semadinya.

   Di dalam hatinya hanya ada satu keinginan, yaitu melawan hawa dingin yang tiba-tiba membentur dadanya. Dan apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat kecut hati Bok Kek Ong. Hentakan udara dingin dari telapak tangannya tiba-tiba terserap ke dalam aliran darah A Liong dan ikut berputar di dalam tubuh, kemudian keluar melalui ubun-ubun dalam bentuk asap putih yang semakin tebal. Bok Kek Ong terkejut. Dorongan tenaga saktinya itu cukup untuk membunuh seekor kerbau liar, namun kenyataannya tak selembar rambutpun tergoncang dari tubuh A Liong. Bahkan dari raut wajahnya, pemuda itu sama sekali tak merasakan gangguan tersebut. Bok Kek Ong menambah tenaganya. Dan kali ini kedua telapak tangannya bersama-sama mendorong ke depan, meng gempur dada A Liong dengan dua pertiga bagian dari seluruh kekuatannya.

   "Lo Kek Ong (Si Tua Kek Ong)...!" Soat Ban Ong berseru kaget, karena kekuatan Bok Kek Ong itu dapat melemparkan seekor gajah dengan gampangnya.

   Tapi kekuatan A Liong benar-benar mentakjubkan. Begitu mendapat serangan yang lebih kuat, kekuatan yang terpendam di dalam tubuhnya tiba-tiba juga bereaksi dengan keras pula. Segumpal hawa panas otomatis muncul dari bawah pusarnya, kemudian berputar dengan cepat ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya, membentuk asap tipis yang membungkus kulitnya. Tiupan angin dingin yang meluncur dari tangan Bok Kek Ong itu menggempur asap tipis yang menyelubungi badan A Liong! Terdengar suara desis yang keras sekali, seperti suara bara api tersiram air. Asap mengepul semakin tebal di sekeliling tubuh A Liong, namun pemuda itu seperti tak merasakan apa-apa. Bahkan ketika Bok Kek Ong menjadi penasaran dan kemudian menghentakkan pukulan udara kosongnya, tiba-tiba timbul daya tolak yang hebat dari tubuh A Liong!

   "Wuuuuuus...! Blugh!" Badan Bok Kek Ong yang kurus itu terlempar tinggi ke udara, kemudian terhempas kembali ke atas pasir! Untunglah orang tua itu sudah menduganya lebih dahulu, sehingga tubuhnya tidak terbanting ke pasir, tapi mendarat dengan ringan bagaikan segumpal kapas tertiup angin! Untuk sesaat air muka Bok Kek Ong menjadi merah padam. Dia benar-benar tak mengira kalau A Liong memiliki tenaga simpanan sedahsyat itu! Sementara itu A Liong telah membuka matanya, dengan penuh harap ia menunggu pendapat kedua orang tua itu sama sekali tak disadarinya, bahwa ia baru saja melemparkan Bok Kek Ong ke udara. Soat Ban Ong buru-buru menghampiri sahabatnya.

   "Kau tidak apa-apa?" Bok Kek Ong menggelengkan kepalanya.

   "Untung bukan engkau yang mengujinya. Kalau kau yang maju, niscaya salah seorang dari kalian akan mati di tepian pantai ini..."

   "Ya-ya-ya, kulihat... Kulihat tenaganya hebat sekali!"

   "Hebat sekali!" Bok Kek Ong melirik ke arah A Liong, lalu mengangguk kuat-kuat.

   "Anak itu... benar-benar mempunyai tenaga ajaib. Dan... Ia sama sekali tak menyadarinya. Yang dia ketahui... tenaga itu hanya dipergunakan untuk menolak hawa dingin. Wah, Lo Ban Ong... jangan-jangan dia masih menyimpan tenaga yang lebih besar lagi!" Soat Ban Ong menatap sahabatnya mata melotot.

   "Maksudmu... Maksudmu lwekangnya masih lebih tinggi lagi. Waduh kalau begitu kita harus mengujinya lagi, kita harus tahu sampai dimana kekuatannya agar kita dapat menyesuaikan dengan pelajaran silatnya nanti." Bok Kek Ong mengerutkan keningnya. Kedua alisnya yang berbeda warna itu seolah-olah menumpuk jadi satu di tengah dahi.

   "Baiklah...!"

   "Bagaimana, Suhu?" A Liong tidak sabar lagi menantikan jawaban gurunya.

   "Aku belum selesai, A Liong. Coba, kau ulangi lagi cara pernapasanmu tadi! Aku akan mengujimu kembali." A Liong berdesah pajang. Ia kelihatan kurang bergairah untuk melaksanakan perintah itu. Tapi apa boleh buat, ia terpaksa melakukannya juga. Demikianlah, ketika asap putih di atas kepala A Liong sudah berubah menjadi merah, Bok Kek Ong segera mengerahkan lwekangnya pula. Karena dengan dua pertiga bagian tenaganya belum dapat mengusik kekuatan A Liong, maka kini Bok Kek Ong mengerahkan hampir seluruh tenaga saktinya. Terdengar suara gemeratak di dalam tubuh kurus itu, seolah-olah tulang-tulangnya pada berpatahan. Untuk menguji kekuatannya, orang tua itu menepuk batu karang di sampingnya. Perlahan-lahan saja.

   "Plaaak...!" Tapi batu karang sebesar kerbau itu tiba-tiba merekah dan terbelah menjadi dua bagian! Melihat demikian besar kekuatan yang dipersiapkan untuk menguji A Liong, Soat Ban Ong berteriak khawatir.

   "Lo Kek Ong, hati-hati! Kalau anak itu sampai mati, kau harus bertanggung jawab!" Bok Kek Ong tersenyum untuk menenangkan hati sahabatnya. Lalu perlahan-lahan tangannya terangkat ke atas.

   "Wuuuuuus...!" Sekonyong-konyong tangan itu menerkam ke bawah, menuju ke dada A Liong! Angin dingin menyambar dengan dahsyatnya seolah-olah hendak membelah tubuh pemuda itu!

   "Kek Ong, awas... Kalau sampai cedera, kubunuh kau!" Di dalam puncak kekhawatirannya Soat Ban Ong menjerit keras sekali.

   "Thaaaaaas! Klaaaak!" Tak ada benturan! Tak ada suara kesakitan! Tapi hanya suara tepukan yang lemah! Namun apa yang terlihat di arena sungguh diluar dugaan! Dalam posisi tetap berdiri Bok Kek Ong masih menempelkan telapak tangannya yang penuh tenaga itu di dada A Liong! Sedang pemuda itu sendiri juga tetap dalam keadaan duduk bersamadhi seperti semula. Bedanya, kalau wajah A Liong tetap tenang, segar dan bersih, sebaliknya wajah Bok Kek Ong tampak merah padam, kaku dan penuh keringat! Bahkan mata orang tua itu tampak melotot menahan sakit! Sekejap Soat Ban Ong tak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Tapi ke tika tampak olehnya sinar mata ketakutan di wajah sahabatnya itu, ia baru menyadari apa yang terjadi. Bok Kek Ong mendapat kesulitan besar!

   "A Liong...! Hentikan! Hentikan ilmu pernapasanmu!" Sambil berteriak Soat Ban Ong melesat ke belakang Bok Kek Ong. Kemudian dengan cepat ia mengerahkan tenaga saktinya dan menepuk punggung sahabatnya itu.

   "Plaaaak!" Arus tenaga yang amat kuat mengalir dari dalam tubuhnya, membanjir ke dalam tubuh Bok Kek Ong, dan, berbaur menjadi satu. Dengan tenaga gabungan itu mereka melawan daya sedot yang keluar dari dada A Liong! Sedikit demi sedikit Soat Ban Ong meningkatkan penyaluran tenaga saktinya. Tapi betapa kagetnya dia ketika seluruh kekuatan lwekangnya telah terhentak keluar, tenaga gabungan mereka tetap tak dapat mengatasi daya sedot yang keluar dari dalam tubuh A Liong!

   Sekarang mereka benar-benar dalam kesulitan! Mereka tak kuasa untuk mengalihkan perhatian lagi. Sedetik saja mereka melepaskan konsentrasi, nyawa mereka akan melayang! Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah bertahan. Bersama-sama mereka menghentakkan seluruh sisa-sisa tenaga mereka. Keringat sampai membanjir membasahi pakaian mereka. Bahkan sesaat kemudian tangan dan kaki mereka mulai bergetar. Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong mulai berpikir untuk berdoa ketika daya sedot itu mendadak hilang. Ternyata pada saat-saat terakhir A Liong telah menghentikan semadinya. Teriakan Soat Ban Ong tadi telah menyadarkannya, meskipun agak lambat. A Liong membuka matanya. Melihat dua orang gurunya terlentang tumpang tindih di depannya, wajahnya segera menjadi pucat ketakutan. Bergegas ia berlutut memohon maaf.

   "Suhu! Apakah... apakah siauwte telah berbuat salah?"

   Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bangkit dengan cepat. Mereka saling pandang dengan wajah merah. Mereka hampir-hampir tidak percaya akan kejadian itu. Bagaimana mungkin seorang anak berusia lima belas tahun dapat mengalahkan tenaga gabungan, yang telah mereka himpun selama lima puluhan tahun? Sungguh tidak masuk akal! Kekuatan sedahsyat itu hanya bisa diperoleh setelah berlatih selama seratus tahun! Mungkinkah A Liong seorang anak ajaib yang muncul setiap lima ratus tahun sekali? Kalau memang demikian halnya, mereka benar-benar beruntung. Mereka mendapatkan bibit unggul untuk mewarisi ilmu mereka. Dan kenyataan itu sungguh sangat menggembirakan mereka.
(Lanjut ke Jilid 16)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 16
Setelah membersihkan pasir yang mengotori pakaian mereka. Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong mendekati A Liong kembali. Kini cara mereka memandang kepada A Liong telah berubah,

   "A Liong! kau tahu apa yang baru saja terjadi? Hmm, kau telah mengalahkan kami berdua! Rasa-rasanya kami tak mungkin lagi menjadi gurumu..." Bok Kek Ong berkata tegas.

   "Suhu...?" A Liong berseru kecewa.

   "Siauwte benar-benar tak tahu apa-apa. siauwte belum pernah belajar silat. Belum pernah berguru kepada siapapun juga. siauwte hanya pernah diajari cara bernapas untuk mengusir hawa dingin oleh seorang kakek asing. Itupun hanya sekali saja, ketika siauwte berumur lima atau enam tahun! Suhu, siauwte berkata sebenarnya! Jangan tolak aku! Berilah aku kesempatan untuk berguru kepadamu...!" Sekali lagi kedua orang tua itu saling pandang satu sama lain. Mereka saling bertukar pendapat. Akhirnya Soat Ban Ong menganggukkan kepalanya.

   "Baiklah, A Liong. Kami memang percaya padamu. Kami menyadari bahwa hal-hal aneh dan ajaib itu, tentu bukan karena kehendakmu sendiri. Kami juga tahu bahwa sampai sekarangpun kau juga belum tahu apa yang telah terjadi pada dirimu. Ada suatu rahasia besar yang tampaknya menyelubungi kehidupanmu."

   "Jadi...?"

   "Yah! Kami tetap akan mengajarimu ilmu silat, agar kekuatanmu itu bisa dikendalikan dan dipergunakan dengan baik." Betapa leganya hati A Liong! Untuk beberapa saat dia menatap wajah kedua gurunya itu dengan air mata berlinang. Kemudian dengan bersemangat ia berlutut dan menghentakkan dahinya berulang-ulang ke atas pasir.

   "Sudahlah, silakan kau berdiri! Kami berdua akan meneliti keadaan tubuhmu dulu. Kami ingin tahu di mana letak keajaibanmu itu."

   "Silakan, Suhu! Silakan...!"

   A Liong melepas bajunya. Demikian pula dengan celana luarnya, sehingga ia hanya mengenakan celana dalam saja. Soat Ban Ong dan Kek Ong benar-benar kagum menyaksikan badan yang tegap dan penuh otot itu. Sungguh seorang anak yang sehat dan berbakat untuk belajar silat! Ketika tampak oleh mereka gambar "tato naga" di dada A Liong, mereka saling memandang dengan kening berkerut. Ternyata mereka berdua, yang belum pernah menginjakkan kaki di daratan Tiongkok, tidak mengenal tanda itu. Mereka juga belum pernah mendengar bahwa di dunia kang-ouw ada partai persilatan yang memiliki tanda khusus seperti itu. Tak heran kalau akhirnya mereka menggeleng-gelengkan kepala tanda tak tahu. Soat Ban Ong menarik napas panjang sambil memandang A Liong.

   "A Liong! Apakah kau ingat, siapa yang melukis gambar tato naga di dadamu itu?" A Liong menunduk, melihat gambar tato naga di dadanya kemudian menggeleng.

   "Tidak, Suhu. Sejak kecil gambar ini sudah ada di sini. Semua orang yang mengenal aku juga mengatakan demikian. Itulah sebabnya orang memanggilku... a Liong (Si Naga)!" Soat Ban Ong menatap mata Bok Kek Ong, demikian pula sebaliknya. Keduanya sama-sama berpikir bahwa gambar itu tentu ada artinya. Tapi, apakah itu?

   "Bagaimana dengan pengemis-pengemis tua di kelompokmu? Apakah mereka juga tidak tahu?" Sekali lagi A Liong menggelengkan kepalanya.

   "Mereka juga tidak tahu, Suhu. Ketika orang tua angkatku membawa aku ke dalam kelompok pengemis itu dan bergabung dengan mereka, gambar ini juga sudah ada. Tak seorangpun bisa menghapusnya, walaupun telah dibubuhi bermacam-macam obat penyembuh luka. Sampai orang tua angkatku tiada dan aku berkeliaran sendiri bersama kelompokku, gambar ini tetap menempel di sini. Bahkan semakin bertambah umur, gambarnya juga semakin jelas."

   "Dan... Kau tak pernah berusaha untuk mencari tahu makna gambar itu? Setidak-tidaknya ingin tahu, siapa sebenarnya engkau ini?" Bok Kek Ong bertanya. A Liong terhenyak. Matanya terbuka lebar, seolah-olah pertanyaan itu sangat aneh dan mengejutkannya. Tapi rasa kaget itu hanya sekejap. Di lain saat kepalanya telah tertunduk kembali.

   "Siapa sebenarnya... aku? Ah, Suhu! Bukankah aku anak gelandangan yang tak punya ayah-ibu? Aku lahir di tempat sampah, seperti teman-temanku yang lain. Lalu, apa yang harus dicari?" Bok Kek Ong tertawa sambil menggoyangkan tangannya.

   "Aaah, pendapat itu terlalu picik dan tidak masuk akal, A Liong. Mungkin kawan-kawanmu memang anak keturunan pengemis yang lahir di tempat sampah. Tapi..., kau? Rasanya tak seorangpun mau percaya kalau kau katakan dirimu seorang tidak memiliki ayah-ibu, apalagi lahir di tempat sampah seperti katamu tadi. Sikap dari kepribadianmu sama sekali tak mencerminkan hal itu. Kami justru beranggapan bahwa kau memiliki asal-usul yang menarik. kau bukan keturunan manusia sembarangan. Dari gambar tato naga itu bisa diduga bahwa kau berasal dari keluarga atau golongan yang punya nama di tengah-tengah masyarakat ramai. kau... atau teman-temanmu seharusnya tahu atau berpikir tentang hal itu." A Liong tertegun. Matanya, terbelalak lebar menatap wajah gurunya. Ucapan orang tua itu bagaikan kilatan petir yang tiba-tiba menyeruak menerangi otaknya. Benarkah apa yang dikatakan orang tua itu?

   "Maaf, Suhu. Siauwte... siauwte memang tak pernah memikirkannya. Kami, anak-anak pengemis, tidak pernah berpikir tentang kehidupan. Setiap hari kami hanya berjuang untuk tetap hidup dan tak pernah berpikir tentang asal-usul kami. Apalagi harus berpikir tentang hari esok. Kami sudah pasrah pada nasib yang telah diberikan kepada kami." A Liong berhenti sejenak. Kemudian dengan nada yang agak bersemangat ia meneruskan.

   "Tapi ucapan Suhu tadi, rasanya... ada benarnya juga. Kadangkala terlintas iuga dalam pikiran siauwte tentang hal itu. Benarkah aku ini anak seorang pengemis? Kalau benar, mengapa keadaanku banyak berbeda dengan anak-anak pengemis lainnya? Mengapa hanya aku yang memiliki gambar tato naga ini? Mengapa hanya aku pula yang memiliki benjolan di pusar. Dan... Mengapa hanya aku juga yang mempunyai tubuh sehat dan kuat? Suhu benar! Seharusnya aku sudah memikirkan sejak dulu dan tidak terlena oleh anggapan tentang anak sampah itu. Tidak mungkin manusia lahir dari sampah. Aku tentu mempunyai ayah-ibu..." Soat Ban Ong beringsut mendekati A Liong dan menepuk pundaknya.

   "Nah, kalau kau bisa keluar dari tempat ini, kau selidikilah asal-usulmu! Jangan sampai kau menyesal di kemudian hari! Siapa tahu orang tuamu masih mencarimu sampai sekarang!"

   "Suhu...???" A Liong berseru dengan wajah pucat.

   "Sudahlah! kau tak usah memikirkannya sekarang! Setelah tamat belajar silat nanti, kau boleh memikirkannya lagi! Sekarang duduklah! Biar kami meneliti keadaan di dalam tubuhmu. Mudah-mudahan kami bisa menemukan rahasia kehebatanmu tadi, sehingga kami dapat menemukan cara yang tepat dalam memberi tuntunan silat kepadamu."

   "Benar, kau tak usah memikirkannya sekarang. Kini bersiap sajalah untuk kami periksa keadaan di dalam tubuhmu...!" Bok Kek Ong menambahkan. Demikianlah dengan sangat hati-hati, kedua orang tua itu mencoba mencari, di mana letak rahasia tenaga sakti A Liong.

   Soat Ban Ong duduk di depan sambil menempelkan kedua telapak tangannya di dada A Liong. Sedangkan Bok Kek Ong bersila di belakang dengan tangan melekat di punggung pemuda itu. Masing-masing berusaha menyusupkan tenaga dalamnya ke tubuh A Liong dengan hati-hati. Begitu ada perlawanan dari tenaga dalam A Liong, mereka cepat-cepat menariknya kembali dan berpindah ke bagian lain. Keringat mulai menitik di dahi Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong. Meskipun tidak sedang bertempur, namun cara mereka mengerahkan tenaga dalam secara khusus itu benar-benar menguras tenaga mereka. Dan semakin turun mendekati pusar A Liong, loncatan tenaga balik yang diakibatkan oleh daya tolak pemuda itu semakin kuat. Sedikit saja tenaga dalam kedua orang tua itu tersalur, maka sebuah kekuatan yang maha dahsyat segera menyembur keluar dari bawah pusar A Liong!

   Terlambat sedetik saja menarik saluran tenaga mereka, nyawa merekalah taruhannya! Untunglah dengan cara dari muka dan belakang, otomatis tenaga dahsyat itu terbelah menjadi dua jurusan. Namun demikian tetap saja mereka berdua tak kuasa menghadapinya. Ketika sampai di bawah pusar, dimana benjolan sebesar ibu jari itu berada, telapak tangan Soat Ban Ong bergetar dengan hebat. Belum juga tenaga dalam orang tua itu tersalur, tempat itu sudah bergolak seperti kepundan gunung api! Mata Soat Ban Ong terbeliak ketakutan! Tangannya yang menempel di atas benjolan itu tiba-tiba seperti tersedot ke dalam perut A Liong! Untunglah Bok Kek Ong yang berada di belakang A Liong, segera tanggap akan bahaya yang menimpa sahabatnya! Kedua jari telunjuknya buru-buru ditekuk, kemudian menekan jalan darah keh-ping-hiat di kanan kiri tulang pinggul A Liong!

   Untuk sedetik daya sedot dari perut A Liong seperti terhambat. Dan kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Soat Ban Ong. Kakek itu cepat menarik tangannya hingga terlepas! Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bangkit berdiri sambil menyeka keringat mereka. Hampir saja mereka mendapat kesulitan lagi. Untung mereka bisa menyelamatkan diri. Kedua orang tua itu memandang A Liong dengan kagum sekali. Sekarang mereka sudah mengetahui rahasia kekuatan A Liong. Pemuda itu memiliki sesuatu yang aneh di dalam perutnya, yang membuat tenaga dalamnya menjadi berlipat ganda kekuatannya. Tapi mereka tidak tahu, benda apa yang tersimpan di sana. Dan hal ini semakin meyakinkan mereka, bahwa asal-usul A Liong tidaklah seperti yang diceritakannya. Tentu ada rahasia tersembunyi dalam asal-usulnya, yang tidak diketahui oleh anak muda itu sendiri.

   "A Liong...! Sekali lagi kau membuat kaget kami berdua! Ternyata di dalam perutmu tersimpan barang aneh, yang membuat tenaga saktimu (sinkang) menjadi tidak terukur tingginya! Kami tidak tahu barang apa itu, tetapi yang jelas barang tersebut telan berada di dalam perutmu sejak kau lahir di dunia. Dan kami yakin benda itu tidak berada begitu saja di dalam badanmu. Tentu ada orang yang sengaja memasukannya. Dan Orang itu tentu mempunyai hubungan dekat denganmu. Mungkin orang tuamu yang aseli, atau keluargamu yang lain. Dan... Mereka tidak mungkin orang biasa, apalagi seorang pengemis atau gelandangan! Benda-benda langka seperti itu biasa dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti atau orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat!"

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
A Liong menatap gurunya dengan wajah kosong. Semua yang dikatakan orang tua itu merupakan hal-hal baru yang belum pernah dipikirkannya. Namun, demikian apa yang mereka katakan itu terasa mengandung kebenaran. Bahkan pikiran dan perasaannya dapat menerimanya.

   "Suhu maksudkan... suhu maksudkan benjolan di bawah pusarku ini? Memang dari sinilah bau amis itu bermula..." Baik Soat Ban Ong maupun Bok Kek Ong menganggukkan kepalanya.

   "Ya! Untunglah selama ini tak ada orang yang berusaha mengambilnya. Benda itu merupakan sumber bahaya bagimu, sebab setiap orang tentu ingin memilikinya. Terutama orang-orang dan dunia persilatan!"

   "Aaah...!"A Liong berdesah ketakutan. Tapi Soat Ban Ong cepat mengelus pundak A Liong.

   "Jangan khawatir, A Liong! Kami akan mengajarimu mengendalikan kekuatan itu. Setelah kau mampu mengendalikannya, hmmmmm... tak seorangpun di dunia ini dapat mengalahkanmu. Termasuk kami berdua, bahkan Ketua Pondok Pelangi sendiri! Meskipun ilmu silatnya sangat sempurna, tapi kekuatannya takkan bisa menandingimu!"

   "Ketua Pondok Pelangi? Siapakah dia, Suhu?" A Liong bertanya kaget. Soat Ban Ong terbelalak. Ternyata tanpa disadari mulutnya telah kelepasan omong. Sebenarnya dia dan Bok Kek Ong tidak ingin bercerita tentang ketua Pondok Pelangi. Tapi kata-kata itu telah terlanjur keluar dan tak bisa dijilatnya kembali. Memang sebenarnya mereka enggan bercerita tentang Pondok Pelangi. Selain mereka berdua berasal dari tempat itu, mereka juga memiliki keluarga dan sanak saudara di sana. Bahkan mereka berdua mempunyai kedudukan tinggi dalam sistim pemerintahan di kepulauan kecil itu.

   "Suhu, mengapa Suhu diam saja? Apakah dia musuhmu? Apakah dia pula yang mengasingkan Suhu ke mari?" Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong tersentak.

   "Ah, tidak...! Bukan begitu...!" Mereka buru-buru menerangkan. Demikianlah, karena tak ingin terjadi salah pengertian pada A Liong, maka kedua orang tua itu terpaksa berbicara tentang Pondok Pelangi!

   Kepulauan kecil yang jauh terpencil dari dunia ramai itu hanya berpenduduk sekitar dua ribu orang. Mereka hanya terdiri dari tiga nama keluarga, yaitu Soat, Souw dan Bok. Masing-masing marga atau keluarga itu mempunyai seorang Kepala Marga, yang sangat dijunjung tinggi oleh marganya. Mereka adalah orang yang paling dituakan dan paling tinggi ilmu silatnya di antara warganya. Dan sebagai kepala pemerintahan atau Pemimpin dari Negeri Kepulauan itu dipilih salah seorang dari tiga Kepala Marga tersebut. Orang itu akan bertindak sebagai raja di kepulauan kecil tersebut. Hampir sepanjang tahun negeri itu dibalut oleh udara dingin. Hanya beberapa bulan saja mereka melihat wajah matahari. Mereka biasa beternak rusa dan anjing, sementara kaum wanitanya menanam rumput laut, jamur-jamur karang dan tanaman obat-obatan.

   Penduduk kepulauan itu memiliki sebuah keistimewaan, yaitu ilmu silat keturunan yang hanya bisa diwarisi oleh kalangan mereka sendiri. Ilmu silat keturunan itu telah berabad-abad diwariskan kepada mereka oleh nenek-moyang Keluarga Soat, Souw dan Bok. Ilmu silat keturunan itu diciptakan berdasarkan kekhususan daerah itu, yaitu kabut pelangi yang selalu menyelimuti kepulauan tersebut. Nenek-moyang mereka menyebut ilmu silat itu dengan Ilmu Silat Cahaya Pelangi! Konon khabarnya ilmu silat itu merupakan sumber dari segala ilmu silat Tiongkok asli, sebelum Tat-mo Cou-su membawa ilmu silat baru dari India. Sayang sekali, sekitar lima abad yang lalu salah seorang warga mereka melarikan diri dari kepulauan itu. Warga mereka yang bernama Souw Gi itu menjadi nekad karena patah hati. Cintanya ditolak oleh gadis dari Marga Bok.

   Tapi kepergian Souw Gi itu ternyata dengan membawa Pedang Pusaka kaum mereka, yaitu Pedang Pelangi! Semua itu bisa terjadi karena ayah Souw Gi adalah Kepala Marga Souw yang terpilih sebagai Ketua Pondok Pelangi! Ayah Souw Gi membentuk pasukan khusus untuk mencari pedang pusaka serta anaknya. Pasukan pilihan yang terdiri dari sepuluh orang itu berangkat dengan perahu-perahu kecil. Mereka menyebar ke segala penjuru. Namun bertahun-tahun kemudian, hingga ayah Souw Gi meninggal dan digantikan oleh ketua yang baru, pasukan pilihan itu tidak pernah kembali. Begitu pula ketika Ketua yang baru membentuk pasukan pilihan lagi dan mengirimkan mereka keluar pulau, tidak seorangpun kembali pulang. Sejak itu setiap pergantian Ketua, terjadi semacam tradisi untuk mengirimkan utusan khusus untuk mencari pedang pusaka tersebut.

   Tapi seperti halnya yang terdahulu, utusan-utusan itu tidak pernah kembali pula. Demikian pula halnya yang terjadi pada empat puluh tahun lalu. Saat itu terjadi pergantian Ketua, karena ketua yang lama telah meninggal, Kebetulan terpilih sebagai utusan khusus adalah Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong! Pada saat itu Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong baru berusia dua puluh tahun. Keduanya memiliki bakat alam yang hebat, sehingga dalam usia muda meresa telah menyempurnakan ilmu silatnya. Kebetulan pula mereka adalah putera Kepala Marga mereka masing-masing. Sebenarnya tugas itu sangat menyedihkan keluarga mereka, apalagi masing-masing sudah menikah pula. Tapi di lain pihak tugas itu juga membuat keluarga mereka merasa bangga. Utusan khusus untuk mencari pedang pusaka itu merupakan tugas suci dari warga Pondok Pelangi.

   Oleh karena itu sebelum berangkat mereka berpesan kepada keluarga masing-masing, agar supaya anak mereka yang belum lahir bisa dikawinkan satu sama lain bila ternyata lelaki dan perempuan. Demikianlah, Soat Ban Ong dan B k Kek Ong berangkat dengan sebuah jukung kecil tanpa layar. Mereka berlayar ke selatan, menuju ke daerah panas, karena mereka berpendapat bahwa seorang yang lari dari pulau mereka tentu menuju ke daerah panas. Tidak mungkin menuju ke kutub atau ke laut lepas. Namun seperti halnya pendahulu-pendahulu mereka, mereka berduapun ternyata tak kuasa melawan keganasan alam. Belum juga keluar dari daerah pusaran air, jukung mereka telah dihantam gelombang laut hingga pecah dan terdampar di gugusan pulau itu. Sudah empat puluh tahun Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bertahan di gugusan pulau karang itu.

   Mereka terjebak di dalam lingkungan daerah berbahaya yang tidak mungkin bisa dilalui oleh manusia. Daerah itu adalah daerah berbahaya, di mana beberapa arus laut lewat dan bertemu. Badai lautpun setiap saat juga selalu melanda daerah itu. Bahkan badai saljupun sering menyerang daerah itu pula. Tanpa memiliki perahu besar tak mungkin bisa lewat di tempat itu. Namun dengan ketekunan dan latihan keras, disertai pengamatan lingkungan yang teliti, akhirnya mereka berdua bisa bermain-main agak jauh dengan sampan buatan mereka. Meskipun demikian mereka tetap belum dapat keluar dari daerah berbahaya itu. Sampan kecil itu tak dapat bertahan terhadap badai laut. Celakanya, di kawasan berbahaya itu juga banyak dihuni oleh ikan hiu dan cucut, yang besarnya sepuluh atau lima belas kali lipat besar sampan mereka. Mudah saja bagi binatang itu untuk melahap mereka!

   "Begitulah A Liong...!" Empat puluh tahun kami hidup di tempat ini. Setiap hari yang kami lakukan hanyalah berlatih silat dan mencari jalan, keluar dari tempat ini."

   "Dan... suhu berdua belum mendapatkan jalan itu?" Soat Ban Ong saling pandang dengan Bok Kek Ong, lalu menganggukkan kepala.

   "Kami hampir menemukannya. Tapi karena jalan keluar itu menuju ke timur, kami tak berani mencobanya. Kata orang di tempat matahari terbit itu tak ada kehidupan. Seluruhnya hanya terdiri dari air yang tak berujung pangkal. Tak mungkin manusia bisa hidup di sana, apalagi hanya dengan sampan kecil seperti milik kami."

   "Kami lalu mencoba jalan yang lain lagi. Kami mencoba bersampan melawan arus menuju ke selatan..." Bok Kek Ong meneruskan cerita sahabatnya.

   "Semula memang sangat sulit sekali. Bayangkan! Arus itu deras sekali! Dengan segala kekuatanku aku bisa mengayuhnya maju. Tapi sekejap saja aku berhenti mengayuh, sampan itu sudah kembali ke tempat semula. Nah, akibatnya seharian penuh sampan itu hampir tak dapat bergerak maju..."

   "Tapi... suhu bisa mengayuhnya sampai jauh ke selatan, ke tempat Suhu menemukan aku itu." A Liong memotong cerita gurunya.
"Tentu saja, karena kami telah berlatih selama sepuluh tahun untuk melakukan hal itu. Latihan keras untuk menaklukkan arus itu membuat tenaga dalam kami tumbuh berlipat ganda. Kalau semula sekali kayuh kami hanya dapat maju setombak jauhnya, kini sekali kayuh kami bisa meluncur sepuluh atau dua belas tombak ke depan!" Soat Ban Ong tersenyum bangga.

   "Maka kami benar-benar kaget ketika tenaga gabungan kami tak dapat mengalahkanmu! Kami berdua benar-benar tak percaya, karena dengan tingkat kami sekarang, rasanya Ketua Pondok Pelangi sendiri takkan mampu mengalahkan kami!" Tiba-tiba Bok Kek Ong menyela perkataan sahabatnya.

   "Ah, Suhu... jadi Jiwi Suhu tetap yakin bahwa menentang arus itu merupakan jalan keluar satu-satunya?" A Liong mengalihkan pembicaraan tentang dirinya itu dengan bertanya kepada Bok Kek Ong.

   "Yah, hanya itu jalan keluarnya. Diluar jalur arus adalah daerah berbahaya. Mengikuti arus, sama saja pergi ke daerah tak berujung-pangkal alias... Mati. Maka menurut kami, hanya menentang aliran arus itulah satu satunya jalan kebebasan. Tapi sekarang niat itu kami tangguhkan dulu. Kami akan mengajarimu ilmu silat, agar kau juga bisa mengikuti kami keluar dari tempat ini." A Liong cepat berlutut di depan Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong. Wajahnya sangat terharu.

   "Terima kasih, Suhu..." Betapa gembiranya hati A Liong mendengar kesanggupan gurunya. Tak terasa terngiang kembali janjinya kepada Siau In, bahwa pada suatu saat dia akan menjadi jago silat nomer satu. Dan tampaknya janji itu kini sudah mulai terasa di dalam genggamannya. Demikianlah, hari itu A Liong selalu teringat kepada Siau In, gadis cantik yang telah menolongnya dari keganasan orang-orang Hun. A Liong sama sekali tak menyangka bahwa gadis itu berada dalam cengkeraman penghuni kuburan.

   * * *

   Kita kembali lagi ke kuburan tua di balik bukit itu. Siau In yang dikurung di dalam ruangan gelap di bawah tanah masih saja merenungi nasibnya. Ruangan itu sama sekali tak ada pintu keluarnya.

   "Cici, maafkan aku." Rintihnya perlahan.

   "Aku... aku, hah? Bau apa ini?" Tiba-tiba hidung Siau In terasa membaui asap masakan yang enak, sehingga otomatis perutnya menjadi lapar sekali.

   "Nenek tua itu sedang memasak dan asapnya menjalar sampai di sini. Hmm, berarti ada ruangan lain di dekat ruangan ini. Baik, aku akan mencarinya..." Seperti seekor anjing pelacak Siau In lalu menggunakan hidungnya untuk mencari asal asap masakan itu. Dan ternyata kegigihannya membawa hasil pula. Ketika ia menunduk di samping peti-peti yang paling ujung, bau asap itu terasa makin menyengat. Siau In segera menggeser peti mati itu ke tengah. Sinar terang tampak menyorot ke luar dari sebuah lobang besar di bawahnya. Ternyata lobang itulah pintu keluarnya, tempat di mana nenek tua itu keluar masuk ke dalam ruangan tersebut.

   Siau In menjenguk ke dalam. Ia melihat sebuah gua besar di balik lubang itu. Gua yang sudah ditata rapi dan diratakan lantainya. Bahkan berbagai macam perabotan sederhana tampak tersusun pula dengan teratur. Almari, tempat tidur, meja kursi, semuanya terbuat dari kayu kasar. Sebuah lampu minyak terletak di atas meja. Dengan hati-hati Siau In masuk ke dalam. Bau masakan tetap menyengat hidung, tetapi tak seorangpun tampak di dalam ruangan itu. Ruangan itu benar-benar bersih dan rapi. Beberapa potong pakaian wanita tampak tergantung di dekat almari. Pakaian model lama tapi masih kelihatan terawat baik. Di dekat almari itu terlihat lobang besar, yang tampaknya adalah pintu keluar dari ruangan tersebut. Dan dari lubang itulah datangnya bau masakan tadi. Siau In bergegas menuju ke lubang besar itu. Bau masakan makin menusuk hidung.

   "Siapakah kau...? Mengapa kau bisa sampai ke sini?" Tiba-tiba terdengar suara wanita menyapa di dalam ruangan itu. Suaranya amat jelas dan nyaring, suatu tanda kalau orang itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Siau In hampir melompat saking kagetnya. Otomatis seluruh uratnya menegang, siap menghadapi segala kemungkinan. Matanya berputar, mencari arah suara itu. Aneh, tak seorangpun dilihatnya.

   

Memburu Iblis Eps 25 Pendekar Penyebar Maut Eps 57 Pendekar Penyebar Maut Eps 30

Cari Blog Ini