Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 27


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 27




   "Saudara Kwe, Ayahmu sudah datang. pula! Beliau berada di bagian utara...!" Seorang pengemis tua berteriak dari atas tangga.

   "Bagus!" Pemuda itu berseru gembira.

   "Jeng-bin Lokai, silakan membawa orang-orangmu ke dalam pula! Carilah Panglima Yap Kim sampai ketemu!"

   "Apakah kita tidak ikut masuk ke dalam, Twa-suheng...?" Gadis manis yang tidak lain adalah Song Li Cu itu berseru.

   "Tentu saja! Tapi aku ingin memastikan dulu, apakah semua kawan kita sudah masuk ke dalam benteng?" Kwe Tek Hun menjawab sambil menggempur para pengeroyoknya.

   Sementara itu Jeng-bin Lokai telah pergi dengan para pengawalnya. Mereka menerobos barisan prajurit yang berada di bagian barat. Di sana bertempur rombongan pendekar dari Im-yang-kauw, yang bergabung dan bercampur dengan pendekar-pendekar dari perguruan lain. Bahkan Chin Tong Sia yang terpisah dari rombongan Souw Thian Hai pada saat memasuki benteng itu, tampak berloncatan di antara para perajurit. Seperti biasanya pemuda itu berkelahi sambil mengoceh tidak karuan. Namun demikian setiap kali tangannya bergerak, dua atau tiga lawannya pasti tersungkur mencium tanah. Giam Pit Seng yang berada tidak jauh dari tempat itu hanya dapat berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski umurnya lebih tua, tapi kepandaiannya tidak mungkin dapat menyamai pemuda dari Aliran Beng-kauw itu.

   "Murid mendiang Put-ceng-li Lojin ini memang hebat. Dan biasanya anak ini selalu diikuti oleh suhengnya yang jauh lebih gila lagi!" Katanya sambil mengedarkan matanya. Pertempuran semakin dahsyat. Para prajurit di dalam benteng bertempur dengan gagah berani.

   Sebagai perajurit pilihan mereka sama sekali tidak gentar melihat ribuan musuh berhasil menjebol benteng mereka. Meskipun korban berjatuhan, tetapi mereka tetap bertahan. Bahkan para perwiranya bertempur di antara prajurit dengan semangat menyala-nyala. Mereka bertempur di garis terdepan bagaikan banteng terluka. Apabila dibuat perbandingan, sebenarnya kekuatan kedua belah pihak boleh dikatakan berimbang. Para pendekar persilatan itu memiliki jumlah yang lebih banyak dan secara perorangan mereka juga memiliki kepandaian silat yang lebih baik. Tetapi prajurit yang bertugas di dalam benteng itu mempunyai pengalaman tempur yang lebih terlatih. Mereka juga hebat dalam pertempuran berkelompok. Mereka juga amat terlatih, menggunakan siasat dalam ilmu perang. Apalagi mereka juga bertempur di dalam benteng mereka sendiri.

   Alhasil pertempuran itu masih belum dapat diramalkan kesudahannya. Kalaupun pada permulaannya para penyerang dapat menjebol benteng, hal itu disebabkan oleh karena kelengahan para perajurit itu sendiri. Mereka menjadi lengah karena sudah terlalu lama dalam suasana tenang dan damai. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau akhirnya ada kekuatan yang berani menentang kekuatan benteng itu. Demikianlah, ketika bulan semakin turun ke barat dan cahaya terang mulai meremang di ufuk timur, maka suara dentang senjata dan sumpah serapah mereka juga mulai reda. Meskipun pertempuran masih tetap berlangsung, tetapi tenaga dan semangat tempur mereka juga mulai menyusut. Api berkobar di mana-mana. Jilatan apinya menerangi mayat-mayat yang bergelimpangan di segala tempat. Benteng itu benar-benar berubah menjadi padang pembantaian yang sangat mengerikan.

   Mayat berserakan, terinjak-injak oleh pasukan yang masih tetap bertempur untuk menentukan pemenangnya. Mo Goat yang menyelinap di antara pertempuran itu membunuh siapa saja yang dijumpainya. Gadis itu tidak peduli lagi siapa yang dibunuhnya. Baginya semua orang Han adalah musuh. Tidak peduli mereka itu perajurit kerajaan pendekar persilatan. Seiain kecewa atas kegagalannya, Mo Goat juga mendongkol karena bantuan yang dijanjikan kakaknya belum juga datang. Seharusnya kakak dan pasukannya telah tiba di benteng itu, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya. Ketika melintasi parit perlindungan, kaki Mo Goat hampir tersandung oleh mayat yang terbaring di atas tanah. Karena kaget Mo Goat menjadi marah. Mayat itu ditendangnya dengan sekuat tenaga. Mayat itu harus "Menyingkir" dari jalannya!

   "Wuuuut!"

   "Eiiit...?!" Tiba-tiba Mo Goat menjerit. Kakinya menyambar tempat kosong. Mayat itu bergeser dari tempatnya. Cara bergesernyapun sangat aneh dan mengejutkan. Sama sekali tidak terlihat gerakannya. Mayat itu bergeser begitu saja, seolah-olah berpindah tempat dengan sendirinya. Mo Goat terbelalak. Hatinya berdebar-debar. Bahkan jantungnya juga bergetar dengan kuat. Ternyata "Mayat" itu hanyalah seorang kakek tua berwajah sangat buruk. Selain kurus kering, tubuh itu juga kelihatan tidak sehat. Orang itu berpakaian seadanya. Itupun tidak dikenakan dengan rapi. Kakinya juga tidak bersepatu. Bahkan kepalanya yang nyaris gundul itu juga tidak mengenakan penutup sama sekali.

   "Kau... siapa? Menyingkirlah!" Mo Goat membentak. Sambil berkata Mo Goat kembali menyerang dengan kipasnya. Tapi serangannya menjadi batal, karena tiba-tiba muncul beberapa orang prajurit yang menyerbu ke arah dirinya. Kipas itu berbalik arah, menyongsong kedatangan prajurit-prajurit tersebut.

   "Trang! Trang! Trang!" Prajurit-prajurit itu terpental bersama senjata mereka. Namun beberapa di antara mereka segera bangkit kembali. Tanpa rasa takut mereka kembali menerjang Mo Goat. Mo Goat semakin marah. Sekali lagi ia mengayunkan kipasnya. Ia sama sekali tak mau menghindar dari terjangan lawan.

   "Crees! Cres! Cressss...!" Daun kipas itu memotong tubuh lawan bagaikan memotong pohon pisang! Prajurit itu segera bergelimpangan seperti potongan kayu di atas tanah.

   "Huh!"Mo Goat berdesis puas. Tapi matanya segera terbelalak ketika melihat orang tua jelek tadi sudah tidak ada di tempatnya lagi. Mayat itu sudah lenyap. Namun lapat-lapat telinganya masih mendengar suara orang menggerutu di balik dinding halaman.

   "Wah, sial...! Mau tidur saja tidak bisa! Belum-belum sudah bertemu Tukang Sihir!"

   "Kurang ajar! Tua"Bangka jelek! Keluar kau!" Mo Goat mengumpat dan memaki. Tak ada jawaban. Mo Goat melayang ke atas tembok. Belasan anak panah justru melesat ke arahnya.

   "Wusss! Wusss!" Mo Goat mengibaskan kipasnya sehingga panah-panah itu jatuh berpatahan! Mo Goat menggeram. Di bawah tembok dia melihat seorang pemuda tampan telah siap untuk melepaskan anak panahnya lagi.

   "Sin Lun, awas...!" Tiba-tiba terdengar suara orang memberi peringatan kepada pemuda itu. Benar saja. Belum juga gaung suara orang itu lenyap, tubuh Mo Goat yang kecil itu telah menyambar ke bawah. Kipasnya menyambar dari atas ke bawah dalam Jurus Membelah Gunung Menyibak Lautan! Pemuda yang tidak lain adalah Tan Sin Lun itu terkejut sekali. Tak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa dia menangkis dengan busurnya. Dan pada saat yang sama, sepasang senjata berbentuk pena ikut menangkis kipas tersebut.

   "Traaaang...!" Akibatnya sungguh hebat! Kipas itu bergetar di tangan Mo Goat. Tapi sebaliknya busur dan pena itu terpental patah dari tangan pemegangnya! Mereka berdiri berhadapan. Mo Goat di satu pihak dan Tan Sin Lun bersama Giam Pit Seng dipihak lain. Mo Goat kelihatan marah sekali, sementara Tan Sin Lun dan Giam Pit Seng rnengerutkan dahinya. Keduanya tampak kesakitan. Bahkan dari telapak tangan Tan Sin Lun menetes darah segar. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggelegar dari luar benteng. Sebuah pasukan besar datang menyerbu benteng itu. Kekuatan mereka jauh lebih besar daripada kekuatan pendekar persilatan. Begitu masuk benteng, pasukan itu segera menggempur siapa saja yang mereka jumpai. Baik pasukan kerajaan maupun pasukan para pendekar.

   "Apakah kakak kutelah datang?" Mo Goat bergumam di dalam hati. Empat orang pendekar, terdiri dari seorang lelaki tua dan tiga orang wanita, mendekati tempat itu. Begitu dekat, seorang dari ketiga wanita itu tiba-tiba berlutut di depan Giam Pit Seng.

   "Suhu...!" Wanita yang tidak lain adalah Tio Siau In itu berdesah haru.

   "Siau In, kau!" Giam Pit Seng mengelus kepala Siau In, sementara di belakangnya Tan Sin Lun hanya terlongong-longong saja seperti tak percaya. Pendekar dari Im-yang-kauw itu lalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia mencari Tio Ciu In. Tetapi Tio Ciu In tidak ada. Dia justru melihat Souw Thian Hai dan isterinya. Pendekar ternama itu datang bersama Tio Siau In.

   "Souw-Taihiap? Souw-hujin? Apakah selama ini muridku bersamamu?" Giam Pit Seng menyapa dengan terbata-bata. Tio Siau In cepat bangkit dan memperkenalkan gurunya kepada Souw Thian Hai, sekalian menjelaskan kepada gurunya itu kemana ia selama ini berada.

   "Ohh, lalu... ciu In ke mana? Dia juga tidak pulang selama ini. Kukira dia pergi bersamamu." Giam Pit Seng tertunduk. Siau In kaget. Dia sendiri juga tidak menyangka kalau kakaknya tidak pulang. Sementara itu Mo Goat sudah tidak sabar lagi melihat percakapan itu. Walaupun ia pernah mendengar nama Souw Thian Hai, tapi ia tidak takut. Kata Ulan Kili, gurunya, dia tak perlu takut dengan siapapun di Tionggoan. Tidak seorangpun yang dapat menandingi ilmu silatnya.

   "Hmm, jadi inikah pendekar tua yang sangat tersohor namanya itu? Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Huh!"
Souw Thian Hai mengerutkan keningnya. Tentu saja dia tak mengenal gadis berwajah hitam itu.

   "Siapakah kau, gadis muda? Apakah aku mengenalmu?" Mo Goat mencibirkan bibirnya.

   "Kau tentu tidak mengenalku, karena baru sekali ini kita berjumpa. Tapi Guruku pernah bercerita tentang engkau. Katanya kau seorang pendekar silat yang sangat tersohor di daerah Tionggoan. Dulu kau menempati urutan ke lima dalam daftar Urutan Jago Silat Terkemuka di Dunia Persilatan!" Souw Thian Hai tertawa panjang.

   "Semua itu bohong, Gadis Muda. Siapakah gurumu itu? Dia salah menilai kalau menganggapku nomer lima di dunia persilatan. Dunia begini luasnya. Bagaimana mungkin aku berani mendudukkan diri di nomer lima? Ha-ha-ha-ha!"

   "Tapi Guruku memang mengatakan demikian. Bahwa dengan sudah meninggalnya beberapa orang di antara tokoh-tokoh persilatan itu, kau sekarang dapat menjadi tokoh yang nomer dua atau tiga." Souw Thian Hai menghentikan tawanya. Dengan suara keren dia berkata kepada Mo Goat.

   "Nona, katakan kepadaku! Siapa nama Gurumu?" Tak terduga Mo Goat yang liar dan tak punya rasa takut itu balas membentak.

   "Guruku adalah Pendeta Agung Ulan Kili. Ayahku adalah Raja Mo Tan yang gagah perkasa." Pengakuan gadis itu memang mengejutkan semua orang. Tak terkecuali Giam Pit Seng yang baru saja merasakan kesaktian gadis itu. Matahari benar-benar muncul dari balik cakrawala. Suasana menjadi terang, sehingga masing-masing dapat melihat dengan jelas wajah lawannya. Perang berkecamuk di sekitar mereka. Dan kedatangan pasukan baru tadi membuat keadaan semakin kisruh. Suara terompet yang dibuyikan oleh pasukan baru itu sangat melegakan hati Mo Goat. Jelas bahwa suara itu adalah "tengara" yang biasa digunakan oleh pasukan ayahnya. Kakaknya benar-benar datang menggempur benteng itu.

   "Hou-ko, aku di sini...!" Tiba-tiba Mo Goat berseru dengan khikangnya yang tinggi. Suaranya melengking tajam, menyusup di antara kegaduhan di sekitarnya. Dari tangannya melesat bola api yang kemudian meledak di angkasa. Beberapa orang datang "Menghampiri tempat itu. Mereka adalah pasukan Mo Hou yang baru saja tiba. Seorang lelaki tinggi besar dengan tombak di tangan mendekati Mo Goat. Di belakangnya tampak pasukannya bergerak dalam kelompok-kelompok yang teratur. Beberapa orang jago silat seperti Ho Bing, Tiat-tou dan Siang-kiam-eng berada di antara mereka.

   "Apakah aku berhadapan dengan Puteri?" Lelaki lelaki besar itu memberi hormat. Mo Goat menoleh sambil memperlihatkan cincin di jari manisnya ia meng geram.

   "Berapa orang yang dibawa kakakku ke sini, Bayan Tanu?" Sungguh mengherankan. Panglima pasukan yang tampak perkasa itu kelihatan gugup.

   "Maaf, Puteri. Aku tidak mengenali samaranmu. Anu, eh... Kongcu membawa empat ribu lima ratus prajurit untuk menaklukkan benteng ini! Tapi sebagian besar masih berada di luar benteng."
"Bagus! Sekarang bunuh orang-orang ini! Tapi awas! Mereka adalah tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Terutama orang tua itu. Gunakan barisan untuk melawan mereka! Nah, aku akan menemui Kakakku dulu. Di mana dia sekarang?"

   "Kongcu berada di bagian timur. Kami dapat berita kalau Kongcu dapat menemukan bekas panglima itu. Katanya bekas panglima itu dapat lolos dari penjara dan berusaha kabur melalui pintu timur. Kabarnya beberapa orang tokoh persilatan. melidunginya..." Bayan Tanu menjawab.

   "Aku tahu. Aku juga baru saja dari tempat itu. Nah, cepat bereskan orang-orang ini! Aku akan ke sana!" Mo Goat melesat pergi meninggalkan tempat itu. Dia kembali ke halaman dalam. Sambil berlari ia dapat menyaksikan pasukan kakaknya sudah bertebaran di mana-mana. Pasukan itu menggempur siapa saja yang mereka jumpai. Mereka tidak peduli, apakah lawan itu pasukan Kerajaan Han atau pasukan para pendekar persilakan. Ketika melewati lorong yang penuh dengan prajurit, Mo Goat segera berai? Dia menerobos dengan mengerahkan seluruh kemampuanya. Setiap tangan dan kakinya mengibas, maka lawan yang menghalang di depannya segera terbang seperti diguncang prahara.

   "Menyingkir...!" Berkali-kali bibirnya melengking. Siapapun yang melihat keganasan gadis itu menjadi giris. Bagi mereka yang sempat menghindar segera menyingkir menyelamatkan diri. Tapi bagi yang tidak sempat, terpaksa harus menjadi korban keganasan Mo Goat.

   "Dhuuuug!" Tiba-tiba langkah gadis itu tertahan! Seorang kakek yang tidak sempat menyingkir ternyata mampu menahan kibasan tangan Mo Goat. Dan hal ini sudah cukup untuk membuat Mo Goat menjadi marah sekali.

   "Menyingkir kau, Kakek Tua!" Gadis itu berteriak seraya mengibaskan kipasnya. Segumpal angin dingin menghembus ke arah kakek itu.

   "Waduuh Lohu menjadi bingung! Sun Tek bilang, katanya dia dikalahkan oleh seorang gadis cantik bersenjata kipas baja di kota Hang-ciu lima tahun lalu. Sekarang Lohu melihat, kau juga membawa kipas baja seperti yang dikatakannya. Tapi kulihat wajahmu tidak mirip dengan ceritanya. Hmm, apakah kau mempunyai hubungan dengan gadis cantik itu?" Sambil menghindar kakek tua itu berbicara tanpa henti. Meskipun demikian serangan Mo Goat tak pernah dapat mengenainya. Langkah kakinya sangat aneh. dan mentakjubkan. Seperti orang bermain petak, tubuhnya selalu berpindah setiap kali kakinya bergerak.

   "Bagus! Aku tahu siapa kau! kau tentu pendekar dari Pulau Meng-to, yang disebut orang Keh-sim Taihiap itu! Nah, tampaknya anakmu yang jelek itu telah melapor kepadamu. Hu-hu-hu, sekarang ia akan menyadari bahwa ayahnya juga tidak mampu melawanku!" Sambil tertawa Mo Goat melepas alat penyamarannya. Baju luarnya ia tanggalkan, sehingga pakaian dalamnya yang gemerlapan dapat terlihat oleh semua orang. Kulitnya yang hitam dia gosok dengan saputangan. Walau belum bersih benar, tapi kulitnya yang putih mulai kelihatan bersinar di cahaya mentari.

   "Huurraa! Hidup Puteri! Hiduup Puteri...!" Pasukan Hun yang berada di tempat itu segera bersorak-sorai.

   "Hah! Benar! Ternyata engkAu-yang dimaksud Tek Hun!" Pendekar tua dari Pulau Meng-to itu berdesah waspada.

   "Keh-sim Taihiap, di mana anakmu itu? Beruntung dia ditolong oleh Pendekar Buta. Kalau tidak, nyawanya sudah melayang lima tahun lalu..." Keh-sim Taihiap menghela napas panjang. Kwe Tek Hun memang sudah bercerita tentang hal itu. Ketika pulang ke Meng-to bersama Utusan Pondok Pelangi, Kwe Tek Hun bercerita tentang orang-orang dari suku bangsa Hun, yang berkeliaran di pesisir timur Propinsi Kiang-su dn Se-kiang.

   Teringat akan Utusan Pondok Pelangi yang datang bersama puteranya, otomatis Keh-sim Taihiap teringat pula akan kehebatan ilmu silat mereka. Ternyata pasangan suami-isteri dari Pondok Pelangi itu memiliki ilmu silat yang maha dahsyat. Sebuah ilmu silat yang ternyata merupakan kelengkapan dari ilmu silat Ban-seng-po Lian-hoan, miliknya. Utusan itu datang ke Meng-to untuk melacak "pedang pusaka" milik Partai Pondok Pelangi, yang ratusan tahun lalu dibawa oleh leluhur mereka ke daratan Tiongkok. Karena ilmu silat Kwe Tek Hun menyerupai ilmu silat mereka, maka kedua utusan itu mengira kalau Kelu arga Kwe mempunyai hubungan dengan mendiang leluhur mereka. Tentu saja Keh-sim Taihiap tidak tahu tentang pedang pusaka itu menjawab pula apa adanya.

   Utusan dari Pondok Pelangi itu merasa tidak puas, sehingga akhirnya mereka bertempur. Tetapi seperti halnya Kwe Tek Hun, Keh-sim Taihiap juga tidak mampu menghadapi kedua utusan tersebut. Selain kedua utusan itu memiliki kesaktian yang mal dahsyat, ternyata mereka juga dapat memainkan Ban-seng-po Lian-hoan dalam bentuk yang lebih lengkap. Bahkan mereka juga mampu memainkan ilmu silat Keluarga Souw dengan lebih hebat pula. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada mereka, kedua utusan itu menjadi sangat gembira. Mereka membawa Keh-sim Taihiap ke Gunung Hoa-san, tempat tinggal keluarga Souw. Dan selanjutnya, seperti halnya ceritera yang telah berkembang di dunia persilatan selama ini, Keh-sim Taihiap dilepas oleh kedua utusan itu. Sebaliknya Thian Hai suami-isteri dibawa pergi ke Laut Utara.

   "Hei! Jawab pertanyaanku! Mengapa diam saja?" Tiba-tiba terdengar suara Mo Goat membentak keras sekali. Keh-sim Taihiap tersentak dari lamunannya.

   "Ah, entahlah! Tek Hun tidak pernah berada di rumah. Dia selalu berkelana kemana-mana. Mungkin sekarangpun dia berada di tempat ini pula. Mana Lohu tahu?"

   "Bagus! Mudah-mudahan begitu. Biar dia tahu bahwa ayahnya mati di ben-I ng ini! Nah, bersiaplah...!" Pengalaman Keh-sim Taihiap sangat banyak. Dia sadar bahwa gadis muda itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kalau lima tahun lalu Kwe Tek Hun dapat ditaklukkan dengan mudah, maka sekarangpun rasanya dia juga tidak mampu melawannya.

   Ilmu silatnya tidak berbeda jauh dengan puteranya. Apalagi gadis itu tentu sudah bertambah pula tingkat ilmunya. Tapi tentu saja pantang bagi Keh-sim Taihiap untuk menyerah begitu saja. Paling tidak ia tentu dapat bertahan dengan langkah Ban-seng-po Lian-hoan. Maka pertempuran antara dua jago silat tingkat tinggi itu berlangsung dengan hebatnya. Otomatis semua orang yang berada di tempat itu menyibak menjauhkan diri. Pukulan dan tendangan mereka sangat berbahaya bagi siapapun juga. Sementara itu kehadiran pasukan Hun telah mengubah situasi pertempuran. Jumlah pasukan Hun yang dibawa Mo Hou sangat banyak, melebihi jumlah pasukan kerajaan dan pasukan para pendekar. Peralatan perang yang mereka bawapun juga jauh lebih lengkap pula.

   Tak heran kalau akhirnya kedua pasukan yang sudah babak belur itu terdesak ke dalam. Walaupun para pendekar itu memiliki ilmu silat yang cukup, namun menghadapi pasukan Hun yang terlatih dan bersenjata lengkaR, mereka sungguh tidak dapat berbuat banyak. Sedikit demi sedikit mereka terdesak ke dalam. Bahkan beberapa kelompok pasukan penjaga benteng juga telah menyerah. Mereka meletakkan senjata masing-masing. Puluhan pendekar persilatan telah tertawan pula. Pasukan Hun yang dipimpin oleh para panglima perangnya, benar-benar seperti "Kereta penggilas" yang mampu meluluh-lantakkan siapa saja yang menghadang di depannya. Terompet kemenangan bergaung semakin keras di angkasa, membuat pasukan asing itu bertambah garang.

   "Munduuuuur...! Munduuuur...!" Terdengar suara nyaring membelah udara. Pasukan penjaga benteng dan pasu-ka para pendekar yang masih tersisa Sefusarra "rffindar ncebagian dalam benteng. Tapi pasukan Hun berusaha memotong jalan mereka. Pertempuran menjadi semakin seru. Jeritan, teriakan, sumpah serapah, berbaur menjadi satu dengan suara dentang senjata. Mayat dan darah berserakan di mana-mana. Di bagian lajn pasukan Bayan Tanu. yang mendapat perintah untuk membereskan rombongan Souw Thian Hai, ternyata mengalami sedikit kesulitan. Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong, adalah tokoh persilatan terkemuka. Seribu orang prajuritpun belum tentu dapat mengalahkan mereka.

   Apalagi suami-isteri itu dibantu oleh Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Namun demikian Bayan Tanu tidak putus asa. Bersama pasukan khususnya dia terus mengepung dan menggempur lawan-lawannya. Anak buahnya memang telah dipersiapkan untuk menghadapi jago-jago silat berkepandaian tinggi. Selain dilatih untuk selalu bertempur dalam kelompok atau barisan, pasukannya juga dilengkapi dengan senjata-senjata khusus. -Maka tidak mengherankan bila perlawanan mereka membuat sibuk Souw Thian Hai dan rombongannya. Apalagi di antara mereka terdapat Ho Bing, Tiat-tou dan Siang-kiam-eng, tiga jago silat yang berkepandaian cukup tinggi. Walau tidak sehebat Souw Thian Hai, namun keberadaan mereka bertiga tetap menyulitkan. lawan-lawannya. Souw Thian Hai dengan Tai-lek Pek-khong-ciang dan Tai-kek Sin-ciangnya memang sangat menggiriskan.

   Tapi menghadapi pasukan Bayan Tanu yang terlatih itu ternyata tidak dapat berbuat banyak. Seperti telah dipersiapkan sebelumnya, pasukan Bayan Tanu melengkapi diri mereka dengan perisai baja tahan senjata. Kilatan-kilatan sinar Tai-lek Pek-khong-ciang ternyata tidak mampu menembus perisai tersebut. Sementara itu Tio Siau In dan Yok Ting Ting juga tidak dapat berkutik pula. Mereka berdua dikepung oleh barisan yang kuat dan berlapis-lapis. Satu-satunya kelebihan yang dapat diandalkan oleh Souw Thian Hai dan rombongannya hanyalah kelincahan gerak mereka. Walau terdesak, namun mereka selalu dapat menyelamatkan diri. Bagaikan belut mereka selalu lepas dari bahaya kematian. Tapi memang sulit bagi mereka berempat untuk meloloskan diri. kemanapun mereka pergi, Bayan Tanu dan pasukannya selalu mengejar. Bagaikan kerumunan lebah pasukan terlatih itu selalu merubung mereka.

   "Wah! Di mana Chin Tong Sia tadi? Pada saat dibutuhkan anak itu justru menghilang...!" Souw Thian Hai menggerutu. Bayan Tanu, Ho Bing, Tiat-tou dan Siang-kiam-eng memang bukan lawan yang setimpal dibandingkan dengan Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Apalagi dibandingkan dengan Souw Thian Hai. Namun dengan dukungan pasukan khusus tersebut, Bayan Tanu benar-benar sulit dikalahkan. Setiap kali rombongan Souw Thian Hai dapat melepaskan diri dari kepungan, Ho Bing dan temannya selalu dapat mengejar dan menghentikan mereka. Memang hanya sesaat, tapi sudah cukup untuk membuat pasukan itu datang mengepung lagi. Sementara itu di benteng bagian timur pertempuran juga tidak kalah serunya.

   Panglima Yap Kim yang dikawal oleh rombongan A Liong berusaha lolos dari pintu timur. Namun kenyataannya mereka justru terjebak dalam kepungan pasukan Mo Hou. Sekali ini tampaknya Mo Hou benar-benar mengerahkan semua kekuatannya. Hampir semua pembantu-pembantunya ikut dalam pasukan ini. Bahkan Lok-kui-tin yang sangat lihai itu juga berada di dekatnya. Pada bentrokan pertama hampir saja Liu Wan mendapat celaka. Melihat Mo Hou dan pasukannya memburu Panglima Yap Kim, langsung ia memotong dan menyerang. Namun ternyata bukan Mo Hou yang menangkis pukulannya, tapi seorang lelaki tua berseragam merah. Hanya dengan mengibaskan lengannya lelaki tua yang tidak lain adalah Ang-kui itu membuat Liu Wan terpelanting. Untunglah A Liong segera datang menolongnya! Kalau tidak, maka serangan Ang-kui selanjutnya tentu sudah membunuhnya.

   "Dhieesss!" Pukulan Ang-kui yang ditujukan kepada Liu Wan berhasil ditangkis oleh A Liong! Tidak banyak tenaga yang dikeluarkan oleh pemuda itu, namun sudah cukup menggetarkan lengan Hantu Merah! Anggota Lok-kui tin yang lain segera tahu kalau saudaranya membentur lawan berat.

   "Ang-kui! kau tidak apa-apa?" Hek-kui yang berada di dekatnya berbisik perlahan.

   "Awas... badai Pasir!" Ang-kui menggeleng sambil memperingatkan saudara-saudaranya. Sementara itu Mo Hou telah berdiri di depan Panglima Yap Kim. Sambil mengepalkan tangannya pemuda itu menggeram.

   "Hmm. jadi inikah panglima yang terkenal itu? Bukan main!" Yap Kim tetap tenang. Sikapnya benar-benar mencerminkan wibawa seorang panglima. Dan sikap itu amat sangat melegakan hati Liu Wan dan A Liong. Bersama-sama dengan si Pelayan Dapur mereka bertiga segera mengelilinginya.

   "Ahh, waktu benar-benar cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin aku bertempur dengan Raja Mo Tan. Ternyata hari ini aku harus berhadapan pula dengan anaknya." Yap Kim bergumam perlahan. Mo Hou mendengus.

   "Ayahku sering bercerita tentang kehebatanmu! Katanya ilmu perangmu tiada duanya di dunia ini. Pasukanmu tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran." Pemuda sakti itu berhenti sejenak. Lalu sambungnya lagi dengan gigi gemeretak.

   "Tapi semua itu sudah berlalu. Kini keadaanmu sudah jauh berbeda. kau tidak memiliki pasukan lagi. Dan nasibmu akan segera berakhir di tempat ini. kau akan hancur-luluh diterjang Pasukan Hun yang dulu selalu kau kalahkan."

   "Aaaah...!" Yap Kim menghela napas panjang. Liu Wan cepat menyentuh lengan bekas panglima itu.

   "Ciangkun, jangan kau hiraukan ucapannya. Dia hanya ingin mempengaruhi perasaanmu. Meskipun kau tidak memiliki pasukan, tetapi banyak pendekar yang siap menerima perintahmu. Lihatlah orang-orang yang datang menyerbu benteng ini! Mereka datang untuk membebaskanmu! Mereka siap mati dibawah pimpinanmu!" Yap Kim menoleh. Dahinya berkerut ketika menatap Liu Wan.

   "Kau siapa...? Rasanya aku pernah mengenal suaramu." Liu Wan yang menyamar sebagai Tabib Ciok itu tersentak mundur.

   "Ciangkun, aku... aku hanyalah seorang tabib. Namaku... tabib Ciok. Mungkin Ciangkun memang pernah berjumpa denganku."

   "Apakah... KAu-yang memimpin para pendekar ini?"

   "Bukan! Bukan! Tapi aku mengenal mereka semua...!" Yap Kim mengangguk, lalu berkata tegas,

   "Baik. Kita enyahkan dulu pasukan asing ini! Nanti kita bicara lagi!"

   "Kalian memang kelinci yang tidak tahu diri! Kematian sudah di depan mata, masih saja bemimpi...!" Mo Hou menggeram. Tapi Yap Kim tidak mempedulikan ancaman itu. Sambil mengatupkan tangannya di depan mulut ia berseru dengan suara tinggi.

   "Para pendekar semua...! Dengarlah! Aku... adalah Yap Kim! Marilah kita enyahkan pasukan asing ini!" Suaranya menggema di atas benteng. Melingkar-lingkar, bagaikan suara genderang yang bergaung di tengah medan pertempuran. Beberapa kali seruan itu diteriakkan oleh Yap Kim, agar semua orang tahu bahwa dia telah bebas Tapi suaranya selalu tenggelam dalam hiruk-pikuknya pertempuran. Hanya orang-orang di sekitar mereka saja yang memperhatikan seruannya.

   "Huh, percuma saja kau berteriak setinggi langit! Mereka tak akan peduli." Mo Hou mengejek. Melihat hal itu A Liong menjadi tidak sabar lagi. Dengan mengerahkan seluruh tenaga saktinya dia meloncat ke atas tembok, lalu berteriak sekeras-kerasnya. Namun pada saat yang sama, Mo Hou juga mulai menyerang Yap Kim. Pemuda, itu juga tidak sabaran pula.

   "Haiii...! Panglima Yap Kim sudah bebas! Beliau ada di sini! Beliau mengajak kita mengenyahkan pasukan musuh ini!" A Liong berseru sekuat-kuatnya. Teriakan A Liong bagaikan suara petir yang menggelegar di angkasa.

   Demikian dahsyatnya sehingga udara di dalam benteng itu seperti ikut bergetar pula. Bahkan getarannya sampai menyusup ke dalam dada dan mempengaruhi keseimbangan pendengarnya. Otomatis semua orang menahan diri. Mereka berusaha untuk melawan pengaruh suara itu. Mo Houpun tidak terkecuali pula. Pada saat tubuhnya melayang ke depan, maka getaran suara A Liong menghentak isi dadanya. Otomatis ia menarik lagi tenaganya. Sebagian ia pergunakan untuk bertahan dan sebagian lagi untuk meneruskan serangannya. Terdengar suara gemuruh ketika tangan itu menyambar ke depan bergantian. Walaupun hanya sebagian, tapi tenaga yang keluar dari tangan itu benar-benar dahsyat. Liu Wan dan si Pelayan Dapur segera bersiap dengan seluruh tenaga mereka pula. Bertiga dengan Yap Kim mereka menyongsong gempuran Mo Hou. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan mereka.

   "Huh! Jangan harap kalian dapat menahan pukulanku!" Mo Hou menjerit marah.

   "Dhuuuaaar...!" Dua buah" kekuatan yang maha dahsyat bertemu di udara! Dan akibatnya sungguh mengejutkan.! Tubuh Liu Wan dan Yap Kim terpelanting jatuh ke tanah, sementara si Pelayan Dapur terhuyung ke belakang. Demikianlah, dalam gebrakan pertama itu masing-masing telah menguji tingkat ilmu mereka. Dan ternyata tingkatan ilmu silat Mo Hou masih jauh di atas kepandaian Yap Kim, Liu Wan, maupun si Pelayan Gemuk. Buktinya pemuda itu sama sekali tak bergeming melawan tenaga gabungan mereka. Kenyataan itu benar-benar sangat mengejutkan Yap Kim. Dia adalah ahli waris keluarga Yap, yang pada zaman ayahnya merupakan salah satu Datuk Persilatan ternama.

   Namun sekarang, menghadapi seorang pemuda saja dia tak mampu. Padahal ia telah melepaskan seluruh tenaga sakti Hong-lui-kangnya yang hebat! Dan rasa heran itu semakin bertambah lagi, ketika ia menyadari bahwa kawan-kawannya juga mengerahkan tenaga sakti yang tidak kalah hebat dengan miliknya. Bahkan orang tua yang mengaku sebagai Tabib Ciok itu mengerahkan tenaga sakti Hong-lui-sinkang seperti dirinya. Namun demikian tenaga gabungan mereka itu tetap tidak berdaya menghadapi kekuatan Mo Hou! Sementara itu pertempuran di dalam benteng semakin bertambah sengit. Ternyata seruan A Liong tadi benar-benar manjur. Para pendekar persilatan yang mendengar berita itu segera berteriak gembira. Mereka menjadi sangat bersemangat. Mereka lalu bertempur seperti orang kesurupan. Mereka bertempur sambil bersorak-sorai.

   "Hidup Panglima Yap Kim! Hidup Panglima Yap Kim...! Mari kita usir pasukan asing ini...!" Ternyata berita lepasnya Panglima Yap Kim itu berpengaruh pula pada prajurit penjaga benteng. Sebagian besar dari prajurit itu tiba-tiba ikut bersorak pula. Mereka berteriak sambil mengacung-acungkan senjata mereka. Mereka ikut. bergabung dengan para pendekar untuk menghadapi pasukan Hun. Bagaimanapun juga banyak diantara mereka yang masih mencintai Panglima Yap Kim. Yap Kim dan Liu Wan bangkit berdiri. Kedua mata mereka masih berkunang-kunang. Tulang-tulang merekapun masih terasa linu pula. Namun demikian bekas panglima itu masih juga penasaran melihat ilmu silat Liu Wan.

   "Kau... Menggunakan Hong-lui Kun-hoat! Siapa sebenarnya dirimu?" Bekas panglima itu bertanya kepada Liu Wan. Liu Wan gelagapan. Dia tidak mampu menjawab. Untunglah serangan Mo Hou kembali datang mengempur mereka. Dan kali ini pemuda itu tidak mau mengulur-ulur waktu lagi. Tangannya menggenggam senjata kipasnya! Melihat tuannya menghadapi banyak orang, Lok-kui-tin bergegas mendekati. Tapi Mo Hou segera membentak,

   "Jangan ikut campur! Kalian bunuh saja pemuda di atas tembok itu! Jangan sembrono! Hadapilah dia bersama-sama!"

   "Baik, Kongcu." Demikianlah, Yap Kim bertiga terpaksa harus menghadapi Mo Hou. Walaupun mereka kalah, tapi mereka tetap bertahan sekuat tenaga. Mereka berusaha untuk mengulur waktu. Mereka menunggu kedatangan A Liong, meski mereka harus berjuang mati-matian.
Sambil bertempur mata Yap Kim masih saja melirik ke arah Liu Wan. Diam-diam hatinya semakin penasaran melihat tabib tua itu benar-benar menggunakan ilmu yang sama dengan dirinya. Dan ketika perhatiannya beralih kepada si Pelayan Dapur, panglima itu semakin tidak ialilLnlengerti pula. PefaV" gemuk itu ternyata bergerak dengan amat lincahnya. Nyaris selincah Mo Hou. Bahkan semakin lama gerakan pelayan itu semakin aneh dan mengerikan.

   "Aaah! Siapa sebenarnya mereka? Sungguh mencurigakan."

   Tapi bekas panglima itu tidak mempunyai banyak waktu utuk berpikir. Mo Hou tidak pernah berhenti menyerang. Kipasnya menyambar ke sana kemari, bagaikan burung elang yang terus memburu nyawa mereka. Bahkan sesekali dari telapak tangan pemuda itu melesat belasan paku beracun. Ternyata dalam menghadapi senjata rahasia, ilmu silat si Pelayan Dapur justru paling hebat. Dengan kebutan lengan bajunya yang longgar dia mampu meredam keganasan paku-paku beracun itu. Gerakannya sangat aneh. Setiap kali kedua lengannya selalu bergerak menyilang. Dari bawah ke atas, dari kanan-kiri, atau sebaliknya. Gerakannya sangat kuat, namun berkesan berat, seperti gerakan penari topeng yang menari dengan seragamnya yang^ Berlapis-lapis. Namun demikian setiap kali lengan itu bergerak, maka terasa semburan hawa dingin yang menyebar ke segala penjuru.

   "Kim-liong Sin-kun (Kepalan Sakti Naga Emas)..." Tiba-tiba Yap Kim berdesah kaget menyaksikan gerakan-gerakan itu. Kim-liong Sin-kun merupakan salah satu ilmu warisan Bit-bo-ong. Seharusnya ilmu itu dilengkapi dengan jubah atau mantel sakti tahan senjata, yang dahulu selalu dipakai oleh mendiang Bit-bo-ong. Tapi mantel pusaka itu khabarnya telah kembali ke tangan pendek, ir sakti Souw Thian Hai, yang memang berhak atas benda tersebut.

   "Kurang ajar...! Kalian memang sudah bosan hidup!" Mo Hou benar-benar tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja tubuh pemuda itu pecah menjadi enam orang. Bentuk, rupa dan pakaiannya semua sama. Semuanya persis Mo Hou. Dan semuanya juga memegang kipas baja. Mereka segera berpencar dan mengepung Yap Kim bertiga.

   "Awaaas! Dia menggunakan ilmu sihir! Kita harus berhati-hati!" Yap Kim berseru ke arah Liu Wan dan si Pelayan Dapur.

   "Benar, Ciangkun. Kita memang harus hati-hati," Liu Wan menyahut dengan suara gemetar.

   "Ya-yaa, aku juga pernah melihatnya di kota Hang-ciu lima tahun lalu..." Pelayan Dapur itu tiba-tiba menyahut.

   "Kau pernah melihatnya di Hang-ciu?" Liu Wan tersentak. Sementara itu pertempuran berkobar semakin hebat. Berita bebasnya Panglima Yap Kim sangat mempengaruhi semangat para pendekar. Bersama-sama dengan para prajurit yang membelot, pasukan para pendekar itu menyongsong gempuran lawannya. Rombongan Souw Thian Hai, yang terdiri dari Chu Bwe Hong, Tio Siau In dan Yok Ting Ting, tetap belum bisa membebaskan diri dari kepungan pasukan Bayan Tanu. Mereka benar-benar terkepung oleh pasukan khusus yang sangat terlatih itu. Ilmu silat Souw Thian Hai sama sekali tidak berdaya melawan kepungan prajurit-prajurit khusus itu. Selain mempergunakan perisai baja, pasukan yang amat terlatih itu selalu menghindar dari tusukan jari Souw Thian Hai.

   "Wah, kemana Put-tong-sia tadi?" Souw Thian Hai- berseru.

   "Entahlah. Pada waktu masuk ke dalam benteng tadi, dia masih berada di belakang kita." Chu Bwe Hong menyahut.

   "Jangan-jangan dia terluka..."

   "Aaaah, tidak...!" Tak terasa Chu Bwe Hong berdesah pendek. Wajahnya pucat. Semua orang yang berada di arena itu juga dikagetkan oleh suara A Liong. Selain berita itu amat menggembirakan mereka, mereka juga dipaksa untuk bertahan atas getaran suara itu.

   "Bukan main! Siapakah orang yang dapat mengeluarkan suara seperti ini?" Demikianlah, dalam arena itu Tio Siau In dan Yok Ting Ting berhadapan dengan Ho Bing dan kawan-kawannya, sementara Souw Thian Hai dan isterinya tetap melawan Bayan Tanu dan pasukan khususnya. Walaupun ditekan dan didesak terus, tapi rombongan itu memberikan perlawanan hebat. Hanya karena mereka semua memiliki ilmu silat tinggi, maka Bayan Tanu dan pasukannya masih sulit untuk mengalahkan mereka.

   Ho Bing dan kawan-kawannya, yang kebetulan menghadapi Tio Siau In dan Yok Ting, jpga dapat mendesak kedua gadis remaja itu. Tongkat Bocornya melayang-layang, mengurung Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Untunglah kedua gadis itu sudah menerima pelajaran dari Han Tui Lan dan Souw Lian Cu. Walaupun terdesak, mereka masih tetap dapat bertahan. Di bagian-bagian lain keadaannya sama saja. Pasukan para pendekar itu tetap tidak mampu menghadapi gempuran pasukan Hun. Walaupun mereka dibantu oleh pasukan penjaga benteng, tapi jumlah mereka masih tetap kalah banyak. Pasukan Hun memang benar-benar pasukan perang yang telah dipersiapkan dengan matang. Walaupun mereka berhadapan dengan para pendekar yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, tetapi mereka selalu bergerak dalam barisan yang teratur.

   Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok yang saling menunjang satu sama lain. Mereka bergerak di dalam strategi perang yang teratur. Kekuatan lawan selalu mereka hadapi se-cara kelompok atau barisan. Tidak ada perang tanding satu lawan satu. Mereka selalu bergerak dalam barisan. Kekuatan mereka selalu bergt ung menjadi- satu. Maka tidak menghe: ankan kalau lawan mereka menjadi mati kutu. Para pendekar yang lihai-lihai itu. benar-benar tidak berdaya. Para pendekar itu memang kuat dan banyak sekali jumlahnya. Tapi mereka bertempur secara perorangan, mengandalkan kemampuan mereka masing-masing. Mereka bertempur dengan semangat tinggi, tapi tidak saling menunjang satu sama lain. Mereka bertempur hanya dengan tujuan membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Mereka bertempur sendiri-sendiri.
(Lanjut ke Jilid 27)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 27
Keberingasan mereka justru dimanfaatkan oleh pasukan Hun. Para komandan pasukan Hun yang cerdik itu segera mengatur siasat. Mereka menggiring pendekar-pendekar itu ke dalam jebakan, sehingga banyak diantara pendekar yang jatuh ke dalam perangkap. Mereka terpisah dari kawan-kawannya dan terkurung dalam kepungan. Dan mereka segera dikeroyok dan dicincang seperti binatang buruan. Korban semakin banyak. Baik di pihak para pendekar, maupun di pihak pasukan Hun. Namun karena jumlah pasukan Hun lebih banyak, maka pasukan para pendekar itu semakin terdesak. Matahari naik semakin tinggi. Panasnya mulai membakar arena. Bau darah dan keringat" bercampur dengan kepulan asap dan debu. Pertempuran sudah berlangsung hampir setengah hari. Diam-diam Liu Wan menjadi khawatir. Walaupun tidak dapat melihat seluruhnya, tapi ia merasa kesulitan berada di pihaknya.

   "Eh? Mengapa Souw Hong Lam belum juga muncul? Kemana dia?" Tampaknya kekhawatiran Liu Wan itu dirasakan pula oleh Yap Kim. Bekas panglima yang mahir ilmu perang itu sadar pula bahwa mereka dalam kesulitan. Dari suara terompet dan genderang yang terdengar, sudah dapat ditebak apa yang terjadi. Tapi mereka bertiga tidak dapat berbuat banyak. Keenam bentuk Mo Hou itu hampir tidak pernah memberi kesempatan untuk berpikir. Mereka benar-benar dalam kesulitan. Bahkan berkali-kali mereka harus jatuh bangun untuk menghindari serangan Mo Hou... baik Liu Wan maupun si Pelayan Dapur sudah tidak dapat lagi melindungi alat penyamaran mereka. Satu persatu alat penyamaran mereka terlepas.

   "Saudara A Liong...!?" Liu Wan mencoba memanggil A Liong yang bertempur dengan barisan Lok-kui-tin.

   "Aku di sini, Lo-Cianpwe!" Pemuda itu hanya mampu menjawab, tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sendiri sedang berjuang menghadapi barisan Liok-kui-tin. Mereka bertempur di atas tembok dan genting. Mereka bergerak cepat sekali. Berputar-putar bagaikan kelompok hantu yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Begitu kuatnya angin pukulan mereka, sehingga debu dan daun beterbangan ke segala penjuru. Membuat orang-orang pada menyingkir dan menjauhi tempat itu. Sementara itu keenam bayangan Mo Hou sudah dapat menguasai Yap Kim bertiga. Keenam buah kipas baja itu melayang-layang di sekitar lawannya. Pemuda sakti itu masih menunggu saat yang tepat untuk memilih mangsanya. Dan hal itu memang segera ia lakukan.

   "Aduuuh!" Kipas Mo Hou menyerempet punggung dan kepala si Pelayan Dapur kemudian menghajar dada Liu Wan. Begitu kuatnya sehingga Liu Wan memuntahkan darah segar. Yap Kim bergegas melepaskan pukulan petirnya untuk menahan serangan berikutnya. Dia benar-benar melepaskan seluruh kemampuannya dan tidak memperhitungkan lagi kesehatannya. Dia tidak peduli lagi kalau kekuatannya akan terkuras habis.

   "Dhuuuuar...!" Pukulan itu memang dapat mendorong bayangan Mo Hou ke belakang. Tapi bersamaan dengan itu tubuh Liu Wan dan si Pelayan Dapur juga jatuh ke tanah. Topi dan baju tebal si Pelayan Dapur terkoyak dan terlepas. Begitu pula dengan bantal dan jenggot Liu Wan. Alat penyamaran kedua orang itu sudah tidak berfungsi lagi.

   "Heiii???" Mo Hou dan Yap Kim berseru kaget. Otomatis Mo Hou dan kelima kembarannya melompat mundur. Yap Kim ternganga menyaksikan wajah Liu Wan dan si Pelayan Dapur. Tiba-tiba saja mereka berdua berubah menjadi seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik. Dan wajah pemuda itu segera dikenal oleh Yap Kim.

   "Pangeran Liu Wan Ti...?"

   "Apa? Pangeran?" Seruan Yap Kim itu segera diikuti pula. oleh jeritan gadis cantik si Pelayan Dapur yang tidak lain adalah Tio Ciu In itu. Segumpal darah segar tiba-tiba menyembur lagi dari mulut Liu Wan atau Pangeran Liu Wan Ti. Pangeran Mahkota yang telah menghilang hampir sepuluh tahun itu tampak pucat sekali. Pukulan gagang kipas fcju telah melukai isi dadanya. Meskipun demikian pemuda itu masih bisa tersenyum kepada Tio Ciu In.

   "Nona Tio...? Aaaah!"

   "Liu Toako? kau benar-benar Pangeran Liu Wan Ti?" Tak terduga Mo Hou tertawa gembira. Karena kelima kembarannya juga ikut tertawa, maka suaranya menjadi riuh sekali.

   "Hahaha... aku benar-benar tidak menyangka kalau Pangeran Mahkota yang dicari-cari itu ada di sini! Sungguh kebetulan sekali! Sekali tepuk kudapatkan dua harimau sekaligus! Hmmmh!" Munculnya Pangeran Liu Wan Ti di tempat itu memang mengejutkan semua orang. Lima tahun lamanya pangeran itu dicari dan ditunggu-tunggu kedatangannya. Tak terduga pangeran itu muncul dalam situasi yang sulit seperti itu. Keenam bayangan Mo Hou itu kembali bergabung menjadi satu lagi. Dengan wajah puas pemuda itu memandang ketiga lawannya. Mereka sudah tak berdaya lagi. Pangeran Liu Wan Ti terluka dalam. Tio Ciu In terluka punggungnya. Sedangkan Yap Kim berdiri lemah di tempatnya. Bekas panglima itu benar-benar kehabisan tenaga setelah melepaskan pukulan petirnya.

   "Nah! Kuberi waktu untuk berunding! Siapa diantara kalian yang ingin kupenggal kepalanya lebih dahulu? Panglima Yap Kim? Atau... pangeran Liu Wan Ti?"

   "Jangan sombong! Aku belum. menyerah! Lihat pukulan...!" Tiba-tiba Tio Ciu In melompat sambil menyerang Mo Hou. Mo Hou berputar sambil melangkahkan kakinya ke belakang. Tubuhnya lalu meliuk ke samping sambil menyambar pinggang gadis itu. Tentu saja Tio Ciu In tidak ingin celaka. Dengan gesit ia menggeliat ke samping. Di lain saat tangannya telah memegang sepasang pedang pendek dan langsung menyerang Mo Hou lagi. Lagi-lagi terasa udara menjadi padat sehingga Mo Hou sulit bernapas.

   "Gila! Tampaknya kau mempunyai hubungan perguruan dengan mendiang Bit-bo-ong!" Pemuda itu menggeram marah. Yah, benar! Gadis itu memang mengunakan ilmu silat Bit-bo-ong! Tadi bocah itu menggunakan Kim-liong Sin-kun, sekarang Pat-hong-sin-ciang! Apakah dia murid iblis itu?" Walaupun dalam keadaan lemah Yap Kim masih juga berpikir tentang Tio Ciu In.

   Mo Hou menghentakkan tenaganya. Sekejap tekanan udara itu mengendor. Dan kesempatan itu segera ia gunakan sebaik-baiknya. Ia melompat ke kiri sambil menebaskan kipasnya ke tangan Tio Ciu In. itu nyaris memotong pergelangan tangan Tio Ciu In. Untung dengan sisa-sisa tenaganya gadis itu berhasil mengelak. Gerakannya cepat bukan main. Tio Cu In tidak mau memberi kesempatan pada lawannya. Walau punggungnya terasa sakit, tapi dia berusaha mati-matian untuk menahannya. Dia tak ingin pemuda itu membunuh Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti. Darah mulai merembes membasahi punggung Tio Cu In. Luka akibat goresan kipas itu mulai mengeluarkan darah.

   Untunglah dalam penyamarannya tadi dia mengenakan pakaian berlapis-lapis, hingga sabetan kipas lawan lebih banyak mengiris pakaian daripada kulit punggungnya! Selama tinggal di dalam gua Tio Ciu In mendapat banyak pelajaran dari si Pendekar Buta. Pendekar berambut panjang itu benar-benar memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Bahkan menurut Tio Ciu In, ilmu silat Pendekar Buta itu masih berada di atas Toat-beng-jin atau Lojin-Ong! Kini ilmu silat Tio Ciu In memang sudah melampaui Liu Wan. Tapi ilmu yang dia dapatkan itu ternyata masih jauh dari cukup untuk melawan Mo Hou. Putera Raja Mo Tan itu memang benar-benar hebat sekali. Beberapa kali gadis itu terdorong mundur bila harus beradu tenaga dengan lawannya. Pedang pendeknya selalu bergetar bila beradu dengan kipas Mo Hou. Dan rasanya ia semakin sulit mempertahankan pedang itu.

   "Lihatlah! Aku tak perlu memanggil enam orang kembaranku untuk meringkusmu! Bahkan sebenarnya aku juga tidak perlu menggunakan kipas ini untuk me-ngalahkanmu! Satu tangan kosong saja sudah cukup untuk membunuhmu!" Tio Ciu In diam tak menjawab. Pemuda itu memang sangat sombong. Tapi kenyataannya memang benar. Dalam keadaan terluka seperti sekarang, ia memang tak lebih dari seekor anak ayam yang berusaha keras untuk melawan induknya.

   "Aduuuh!" Sekali lagi Tio Ciu In memekik, kipas Mo Hou menyambar lengan kanannya dan hampir saja memutuskan urat nadinya, darah merembes keluar bersamaan dengan terlepasnya pedang yang tergengam di dalam tangan itu. Lengan itu terasa nyeri dan sulit digerakkan, sementara luka di punggungnya juga semakin banyak mengeluarkan darah.

   "Berdoalah! Tampaknya... engkaulah yang pertama akan mati oleh kipasku!" Mo Hou menggeram sambil mengangkat kipasnya tinggi-tinggi.

   Kipas terbuat dari baja tipis itu berkelebat, terdengan suara mendesing saat kipas itu menyambar leher Tio Ciu In dan kali ini gadis itu memang tidak bisa berbuat banyak, walaupun masih ada pedang di tangan kirinya, tetapi luka di tangan dan punggunya membuat ia tidak leluasa menyalurkan tenaga dalamnya, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan oleh Tio Ciu In hanya mengelak, itupun hanya dapat dilakukan dengan cara melemparkan diri ke belakang dan ketika hal itu benar-benar dilakukannya maka sabetan kipas itu memang luput mengenai lehernya, Namun cara menghindar itu juga membuat posisi Tio Ciu In menjadi semakin sulit, tubuh Tio Ciu In terlentang diatas tanah, dengan demikian pertahanannnya menjadi terbuka dan otomatis dia tak bisa berbuat apa-apa menghadapi serangan Mo Hou berikutnya.

   "Liu Toako...!" tak terasa bibir gadis itu bergetar.

   Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nona Tio!" Liu Wan mencoba bangkit tapi segera jatuh kembali, wajahnya semakin pucat. Mo Hou benar-benar membuktikan ancamannya, sekali lagi kipasnya menyambar ke leher Tio Ciu In,

   "Wuuuu!" Dan sekejap saja kipas itu sudah menempel di leher Tio Ciu In, namun pada saat yang sama seleret sinar merah tiba-tiba membentur daun kipas itu. Duk! Demikian kuatnya tenaga yang terkandung dalam sinar merah itu, sehingga kipas itu melenceng dan hampir terlepas dari gengaman Mo Hou.! Mo Hou terkejut sekali. Terkejut dan marah. Dan dalam kemarahannya kekuatan ilmu sihir pemuda itu muncul dengan sendirinya!

   "Wussss!" Tiba-tiba saja pemuda gagah itu berubah menjadi mahluk yang sangat mengerikan! Tubuh Mo Hou berkembang menjadi dua kali lipat besarnya. Sementara wajahnya yang tampan itu berubah menjadi kasar dan berbulu lebat. Bahkan dari sela-sela giginya yang berubah menjadi tonggos itu menetes darah segar!

   "Ooooh...???" Tidak seorangpun yang tidak kaget menyaksikan pemandangan itu. Tidak terkecuali Souw Hong Lam, orang yang baru saja datang dan menyelamatkan jiwa Tio Ciu In. Pemuda dari keluarga Souw itu sama sekali tidak menduga kalau totokan sinar merahnya membuat Mo Hou berubah menjadi raksasa.

   "Souw-heng, awas...! Itu hanya ilmu sihir!" Liu Wan memberi peringatan. Mo Hou yang telah berubah bentuk menjadi seorang raksasa itu menggeram. Matanya melotot seolah-olah mau keluar dari lobangnya.

   "Siapakah kau? Sungguh berani sekali kau mengganggu dan melawanku!" Suara itu terasa menggelegar di telinga Souw Hong Lam. Membuat pemuda itu tiba-tiba tertegun dan merasa ngeri tanpa sebab. Rasanya wajah itu sangat menyeramkan sekali. Demikian menakutkan sehingga Souw Hong Lam tidak ingin melihatnya.

   "Kau... Kau...?" Souw Hong Lam terbata-bata. Lehernya bagai tercekik. Sementara itu Mo Hou telah mengangkat kipasnya. Perlahan-lahan kipas itu terayun ke bawah, siap untuk membelah tubuh Souw Hong Cam;

   "Saudara Souw...!" A Liong yang masih sibuk dengan keroyokan Lok-hui-tin itu tiba-tiba berteriak. Suaranya bergetar penuh tenaga. Demikian kuatnya sehingga pengaruh sihir yang mencekam hati Souw Hong Lam menjadi goyah. Kesempatan itu segera dimanfaatkan oleh Souw Hong Lam. Dengan menghentakkan seluruh kekuatannya pemuda itu mengibaskan pengaruh sihir yang mencengkeram pikirannya. Dan begitu pengaruh sihir itu hilang, dia cepat-cepat melompat ke depan untuk menyelamatkan Tio Ciu In dan membawanya ke tempat aman. Namun bantuan itu justru berakibat buruk terhadap A Liong sendiri. Begitu perhatiannya terpecah, maka pukulan Lok-kui-tin menerobos pertahanannya dan menggempur bertubi-tubi. Keenam Hantu itu memang benar-benar tokoh berkepandaian tinggi.

   "Buk! Buk!" A Liong terlempar ke bawah. Demikian cepatnya pukulan Enam Hantu itu sehingga A Liong tak mampu lagi menghindar. Tapi dengan cepat A Liong bangkit kembali. Wajahnya menjadi merah. Pukulan itu sangat menyakitinya, meskipun tidak sampai melukai kulitnya.

   "Ah, kalian sungguh pandai menggunakan kesempatan. Kalau begitu aku juga tidak akan segan-segan lagi. Awas, aku akan menggunakan senjata untuk menyelesaikan perkelahian ini." Keenam Hantu itu benar-benar kaget. Pukulan mereka ternyata tidak mampu membunuh pemuda itu. Pukulan berganda yang dapat meremukkan seekor gajah itu ternyata tidak berarti apa-apa bagi A Liong. Ternyata pemuda itu hanya terlempar dari tempatnya. Ang-kui yang paling berangasan di-antara Lok-kui-tin tampak bengong, sementara saudara-saudaranya yang lain juga saling pandang dengan dahi berkerut.

   "Bocah itu mempunyai tenaga tersembunyi yang sangat hebat dalam tubuhnya. Kita... Kita harus berhati-hati menghadapinya," Hek-kui berdesah perlahan. Ketika A Liong menghunus pedang anehnya, maka keenam hantu itu melangkah mundur. Pedang atau pisau panjang berbentuk aneh itu memantulkan sinar beraneka-warna, seperti pancaran sinar pelangi yang merebak dan membungkus mata pedang itu.

   "Hati-hati! Pedang kecil itu memiliki perbawa aneh! Kita tidak boleh melawannya dengan tangan kosong! Kita harus melawan dengan p iau kita pula!" Pek-kui memperingatkan saudara-saudaranya. A Liong menimang-nimang pedang pemberian gurunya, Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong. Pedang itu memang bukan pedang biasa seperti kebanyakan pedang di daerah Tionggoan. Pedang itu lebih menyerupai pisau panjang yang melengkung setengah lingkaran. Mata pisaunya yang mengkilat bersih itu memantulkan sinar beraneka-warna.

   "Kalian memang beruntung! Pedang ini jarang sekali kupergunakan. Hanya dalam keadaan sulit aku memakainya. Kini dia terpaksa kukeluarkan untuk melawan kalian. Nah, berhati-hatilah! Biasanya lawanku tidak ada yang tahan menghadapinya! Ayoh...!"

   "Sungguh sombong sekali! Tampaknya engkau juga belum pernah mengenal kami, sehingga kau menjadi takabur. Ketahuilah... sekarang kau berhadapan dengan Lok-kui-tin dari Gurun Gobi!" Hek-kui berkata penuh geram.

   "Sayang sekali. Aku memang belum mengenal kalian, karena aku hanya seorang pemuda gelandangan bernama A Liong, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan sanak keluarga. Hehehe...!" Wajah Ang-kui menjadi merah.

   "Tutup mulutmu!" Teriaknya keras sambil mendahului menyerang. Pisau lebarnya terayun ganas ke ulu hati A Liong. Dan kelima saudaranya segera mengikuti pula langkahnya. Mereka menyerang dari segala jurusan.

   "Siiing! Siiing! Siiing! Trang! Trang!" Sekilas nampak sinar pelangi berkelebatan di arena itu, kemudian lenyap setelah terjadi benturan beberapa kali. Apa yang terjadi benar-benar mengecutkan hati Lok-kui-tin! Dalam, gebrakan pertama itu mereka dikejutkan oleh kehebatan ilmu pedang A Liong. Baru kali ini mereka berenam menyaksikan ilmu pedang sekuat dan sehebat itu. Memang dapat dimaklumi kalau Lok-kui-tin terkesima melihat ilmu pedang A Liong.

   Sudah puluhan tahun mereka malang melintang di dunia persilatan, baik di luar maupun di dalam Tembok Besar. Dan selama itu pula mereka menyaksikan berbagai macam ilmu silat yang aneh-aneh. Namun ternyata baru sekarang ini mereka menemukan ilmu pedang seperti kepunyaan A Liong. Ilmu pedang anak muda itu sama sekali tidak mengandalkan ketajaman pedangnya, tapi justru memanfaatkan pengaruh dari kilatan sinar pedang tersebut. Ternyata A Liong mampu membuat pedang itu seperti terbakar dan selanjutnya mengeluarkan kilatan sinar beraneka warna. Dan kilatan sinar itu lalu meluncur dan memburu Lok-kui-tin berenam. Anehnya sinar itu mampu melukai kulit daging mereka. Bahkan pisau Lok-kui-tin tidak kuasa menghadapi sinar itu. Pisau mereka menjadi rusak ketika menangkis sinar itu.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 30 Memburu Iblis Eps 35 Pendekar Penyebar Maut Eps 34

Cari Blog Ini