Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 5


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 5




   "Menurut aturan aku harus membunuhmu untuk menghilangkan rasa maluku. Tapi... sudahlah. Aku tak tega melihat kau telah menyesali perbuatanmu. Hanya kuminta untuk selanjutnya kau jangan sampai bertemu dengan aku. Kalau sampai berjumpa sekali lagi, aku akan membunuhmu. Kalau tak bisa membunuhmu, aku sendiri yang akan bunuh diri. Aku tak ingin melihat orang yang telah melihat tubuhku, kecuali..." Siau In tak meneruskan ucapannya, kemudian berdiri dan meninggalkan tempat itu.

   "Kecuali... apa, Nona?" Chin Tong Sia cepat berdiri dan bertanya. Tapi Siau In tak mau berbicara lagi. Kakinya melangkah cepat menuju ke pantai. Chin Tong Sia sendiri sebenarnya juga akan ke perkampungan nelayan pula. Tapi ia tak berani membarengi gadis itu. Ia takut gadis itu akan membuktikan ancamannya. Barulah ketika gadis itu tidak kelihatan lagi, Chin Tong Sia melangkah pula menuju ke pantai. Inilah pengalamannya yang pertama dengan seorang gadis selama hidupnya yang telah menginjak dua puluh enam tahun itu.

   "Oh... tololnya aku! Sampai lupa aku menanyakan namanya! Hmmm...!" pemuda itu menyesali dirinya. Tiba-tiba Chin Tong Sia ingat pada bungkusan Siau In yang masih ketinggalan di dekat selokan itu. Bergegas pemuda itu kembali dan mengambilnya. Namun ketika ia hendak berlari untuk memberikan benda tersebut ke pemiliknya, hatinya kembali ragu-ragu.

   "Ah, peristiwa ini masih mengeruhkan pikirannya. Dia bisa benar-benar berbuat nekad kalau aku tetap mendesaknya. Hmh, biarlah lain kali saja kalau takdir masih mempertemukan aku dengan dia, barang ini akan kuserahkan kepadanya." Sambil menarik napas panjang Chin Tong Sia mengikatkan bungkusan itu ke pundaknya. Entah apa isinya ia tak tahu.

   Demikianlah, peristiwa yang tidak mengenakkan hati itu masih saja mengganggu dan berkecamuk hebat di dalam pikiran Siau In. Oleh sebab itu pula walaupun malam telah merangkak semakin larut, gadis cantik itu masih saja bermenung sendirian di tepi pantai. Dibiarkannya angin malam yang nakal itu membelai dan mengacaukan rambutnya. Bahkan dibiarkannya pula air laut yang mulai pasang itu membasahi kain celananya. Berjam-jam lamanya gadis itu duduk diam bagai patung batu. Diam tak bergerak. Matanya menerawang jauh ke tengah laut seolah-olah ingin menjenguk cakrawala, di mana langit dan permukaan laut saling bertaut menjadi satu. Hanya tarikan napasnya yang panjang dan berat saja yang menandakan gadis itu masih hidup. Terdengar suara lonceng dari kampung Ui-thian-cung, pertanda hari sudah lewat tengah malam.

   Air laut benar-benar telah mulai pasang, sehingga pasir di mana Siau In duduk juga mulai dibanjiri air. Siau In terpaksa beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dengan lesu gadis itu melangkah satu-satu ke tempat yang lebih tinggi. Kadang-kadang ia harus melompati batu-batu karang yang berserakan di depannya. Dan akhirnya gadis itu memutuskan untuk duduk kembali di sebuah batu karang yang menjulang paling tinggi. Namun ketika Siau In mulai meletakkan pantatnya di puncak batu karang itu, tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke tengah laut. Di antara gulungan ombak yang bergulung-gulung datang, gadis itu melihat sebuah perahu datang mendekati pantai di mana ia berada. Yang membuatnya heran adalah perahu itu sama sekali tidak memasang lampu seperti halnya perahu-perahu nelayan yang lain.

   Siau In meloncat turun dan bersembunyi di balik batu karang. Nalurinya mengatakan bahwa perahu yang datang itu bukanlah perahu nelayan biasa. Ada sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Selain tidak memasang lampu, perahu itu juga tidak berlabuh di perkampungan nelayan, tapi tempat terasing seperti ini. Perahu itu ternyata cukup besar pula, mungkin ada empat atau lima tombak panjangnya. Di tengah-tengahnya dibangun sebuah ruangan lengkap dengan atapnya. Dan begitu menyentuh pasir, enam orang penumpangnya segera berloncatan turun untuk menyeret perahu itu ke tepian. Siau In menjadi berdebar-debar hatinya. Melihat gerakan orang-orang itu dapat dipastikan bahwa mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi. Tubuh mereka yang hanya mengenakan baju tanpa lengan itu, tampak kokoh kekar dan perkasa.

   "Tutup perahu ini dengan daun ilalang yang tumbuh di tepian itu!" tiba-tiba terdengar suara berwibawa dari dalam perahu. Siau In terkejut bukan main. Ternyata masih ada lagi orang di dalam perahu itu. Untunglah gadis itu tidak gegabah dalam pengintaiannya.

   Sekejap saja keenam orang itu telah membabati daun ilalang dan menutupkannya pada perahu besar itu. Mereka bekerja dengan cepat tanpa suara, seperti kawanan hantu yang bekerja di malam hari. Mereka seperti tidak memperdulikan orang yang masih berada di dalam perahu. Selesai menimbun perahu dengan daun ilalang, orang-orang itu lalu berdiri tegak menunggu perintah. Tak seorangpun membuka mulutnya. Mereka tegak kaku bagaikan patung batu. Siau In mencoba melihat wajah-wajah mereka. Namun karena jaraknya terlalu jauh, maka hanya warna pakaian dan bentuk perawakan mereka saja yang bisa dilihatnya. Kegelapan membuat wajah mereka tampak hitam dan samar-samar. Keenam orang itu mengenakan pakaian yang berbeda-beda warnanya. Kuning, hijau, biru, merah, putih dan hitam. Masing-masing membawa pedang di atas punggungnya.

   "Carilah tempat berlindung! Kita tunggu kedatangan mereka!" tiba-tiba terdengar suara di atas batu karang di mana Siau In bersembunyi. Hampir saja Siau In menjerit. Tanpa dia ketahui bagaimana atau kapan keluarnya, orang yang berada di dalam perahu tadi telah berdiri tegak di atasnya, di atas batu karang besar itu. Demikian dekatnya, sehingga rasa-rasanya dia bisa menjangkau ujung sepatu orang itu. Untunglah cuaca cukup gelap dan suara debur ombak juga cukup berisik pula sehingga benar-benar membantunya dari perhatian orang itu. Coba kalau tidak, arang itu tentu akan segera mengetahui persembunyiannya. Angin laut berhembus dengan tajamnya, tapi peluh dingin justru mengucur dengan derasnya di leher dan punggung Siau In. Hampir-hampir gadis itu tidak berani bernapas, takut suaranya akan terdengar.

   "Ada orang datang...!" orang itu bersuara lagi.

   "Bersembunyilah...!" Dan untuk yang kedua kalinya Siau In tersentak kaget. Suara itu telah berada di dalam timbunan daun ilalang kembali, tanpa sedikitpun ia ketahui kapan berpindahnya. Padahal perahu yang ditimbun ilalang itu ada tiga atau empat tombak jauhnya dari batu karang tempat ia bersembunyi. Sekarang bukan hanya ketegangan atau ketakutan yang melanda hati Siau In, tapi juga rasa ngeri menyaksikan kehebatan orang itu. Sekejap timbul juga perasaan bimbang di hatinya. Benarkah orang itu atau mereka itu manusia-manusia biasa seperti dirinya? Ataukah mereka itu hantu-hantu penjaga pantaj yang sedang menakut-nakuti dirinya?

   "Aku sama sekali tak melihat gerakannya. Orang yang berdiri di atas batu karang ini tadi seperti menghilang begitu saja. Rasa-rasanya memang cuma hantu atau roh yang bisa berbuat demikian." gumam Siau In di dalam hatinya. Kemudian gadis itu menyurukkan tubuhnya semakin dalam ke celah-celah batu karang. Kalau memang benar makhluk-makhluk itu bukan manusia seperti dirinya, Siau In ingin tahu apa yang hendak mereka perbuat di tempat itu.

   "Hemmm, kenapa hanya seorang yang datang...?" tiba-tiba orang yang bersembunyi di dalam perahu tadi berdesah agak keras. Siau In menjulurkan kepalanya di antara celah sempit di dekatnya. Dengan amat hati-hati gadis itu mengintip ke luar. Benar juga. Tidak lama kemudian dari arah kampung Ui-thian-cung terlihat sesosok bayangan hitam berloncatan di antara batu karang yang berserakan di tepian pantai tersebut.

   Dengan cepat bayangan hitam itu terbang mendekati. Gerakan kakinya sangat ringan dan lincah, menandakan orang itu memiliki ginkang yang tinggi pula. Sekejap saja bayangan itu telah berada di dekat perahu. Dan sungguh kebetulan juga, bayangan itu berdiri tak jauh dari tempat Siau In bersembunyi, sehingga gadis itu bisa melihat wajah orang itu dengan jelas. Orang itu mengenakan jubah hitam yang amat longgar, hingga tubuhnya yang tegap dan tinggi itu semakin tampak seperti raksasa. Rambutnya yang panjang dan telah berwarna dua itu dibiarkan tergerai di pundaknya. Demikian juga dengan kumis dan jenggotnya yang lebat itu dibiarkannya tumbuh bebas menutupi sebagian besar wajahnya pula. Sesaat hampir saja Siau In menyangkanya sebagai Tong Taisu.
(Lanjut ke Jilid 05)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 05
"Maafkan hamba, kongcu, hamba datang terlambat, sehingga hamba tidak bisa menjemput kedatangan paduka di tengah laut tadi." Orang yang baru saja datang itu membungkuk hormat ke arah perahu sambil melaporkan keadaannya.

   "Ada urusan apa di pek hok bio sehingga kau mesti terlambat menjemput aku?" orang lihai di dalam perahu itu berkata dingin. Raksasa berjubah hitam itu menarik napas panjang,

   "Musuh lama hamba kembali datang mengganggu tugas hamba." Jawabnya kemudian dengan suara geram.

   "Hmmmh! Sogudai...! Siapa musuh lamamu itu? Apakah kau dan teman-temanmu tidak dapat menyelesaikan dia?" suara di dalam perahu itu terdengar marah. Raksasa yang dipanggil Sogudai itu kelihatan gemetar tubuhnya.

   "Dia bernama Liu Wan, kongcu, dia dikenal orang sebagai Bun bu siucai, kepandaiannya sangat tinggi sehingga hamba dan kawan-kawan tidak bisa menghadapinya, Pek hok bio terpaksa kami tinggalkan..." Siau In yang sejak tadi selalu melotot mengawasi timbunan ilalang di atas perahu itu, tiba-tiba melihat sebuah gerakan, tumpukan daun ilalang yang menutupi bagian atap perahu itu mendadak tersingkap sedikit, lalu sesosok bayangan tampak melesat keluar dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dan selanjutnya yang terdengan suara tamparan pada pipi Sogudai, sehingga raksasa itu sempoyongan hampir jatuh.

   "Tolol kau...!" orang yang bersuara angker itu mengumpat dan di lain saat bayangannya telah menyusup kembali ke dalam perahu. Meskipun bisa menangkap gerakan orang di dalam perahu itu, tapi tetap saja Siau In tak dapat melihat dengan jelas macam apa orang itu, demikian cepat orang tersebut bergerak sehingga rasa-rasanya Cuma bayangannya saja yang nampak. Sogudai berlutut di atas pasir, kepalanya tertunduk dalam-dalam.

   "Maafkan hamba, kongcu..." desahnya lirih hampir tak terdengar. Hening sesaat, lalu terdengar suara tarikan napas panjang dari dalam perahu.

   "baiklah, semua ini memang bukan salahmu sendiri, kau boleh terus melanjutkan tugasmu, lalu... Kemanakah kawan-kawanmu?" suara dari dalam perahu itu berubah lunak. Sogudai tampak gembira sekali, berulang kali dia membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan terima kasih.

   "Mereka hamba perintahkan untuk pergi meninggalkan Pek hok bio dan berkumpul di kota Cia sing, kalau kongcu memperbolehkan kami bermaksud untuk menggabungkan diri dengan rombongan Bayan Tanu di kotang Siang-hai."

   "Bodoh!" tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu membentak.

   "Mengapa otakmu sekarang menjadi amat tolol begitu, Sogudai? Bukankah kau dan anak buahnya ditugaskan di propinsi She-kiang ini? Kenapa sekarang tiba-tiba kau ingin bergabung dengan Bayan Tanu yang bertugas di propinsi Kiang-su? Lalu siapa yang bertanggung jawab di daerah ini?" Sogudai dengan ketakutan berlutut di atas pasir basah, berulang-ulang ia meminta maaf dan mengakui kebodohannya itu.

   "Hamba... Hamba memang terlalu bodoh, kongcu, kegagalan-kegagalan dalam tugas hamba selama ini membuat hamba berputus asa dan kehilangan kepercayaan diri. Hamba takut akan semakin mengecewakan Seng-yu (sebutan untuk raja suku bangsa Hun atau tartar)."

   "Jadi... Kau hendak mengundurkan diri dari tugasmu ini?" suara dari dalam perahu itu mendadak menjadi kejam dan dingin kembali.

   "Bukan..... bukan begitu, kongcu!" Sogudai merintih ketakutan.

   "Hamba tidak bermaksud demkian, hamba... Hamba justru ingin bertanggungjawab atas kegagalan-kegagalan hamba itu, tapi hamba ingin mempertanggungjawabkan sendiri, hamba tidak ingin melibatkan dan menyeret teman-teman hamba dalam hal ini, mereka adalah orang-orang yang sangat patuh dan setia kepada Seng-yu, maka biarlah mereka bergabung dengan Bayan Tanu, sementara hamba akan menanti hukuman dari Kongcu."

   Hening kembali, orang yang ada di dalam perahu itu tidak segera menjawab perkataan Sogudai dan keheningan tersebut benar-benar mencekam hati Siau In yang menggigil kedinginan di dalam persembunyiannya. Meskipun tidak mengetahui ujung pangkal dari pembicaraan orang-orang itu, namun sebagai orang Han yang setia kepada negerinya, sedikit banyak Siau In menjadi curiga terhadap sepak terjang mereka, Gurunya pernah bercerita tentang kekejaman suku bangsa Hun dari luar tembok besar, yang pernah beberapa kali menyerang negeri Tiongkok.

   "Jangan-jangan mereka ini orang-orang Hun yang pernah diceritakan Suhu itu, tetapi... rasa-rasanya juga mustahil, tempat ini ada ribuan lie jauhnya dari tembok besar itu, apa yang mereka cari di daerah ini?" gadis itu bertanya-tanya didalam hatinya.

   "Sogudai...! Kita tunda dulu persoalan ini, kita bicarakan lagi nanti setelah tugas di tempat ini selesai, untuk sementara kau boleh bergabung dengan rombongan Hulungka yang sebentar lgi akan tiba disini." Akhirnya suara dari dalam perahu itu memecah keheningan.

   "Terima kasih, Kongcu."

   "Nah... Itu dia! Hulungka telah datang! kau tetaplah di tempatmu!" Siau In semakin berdebar-debar hatinya, secara tak sengaja ia berada di tempat yang sangat berbahaya, dimana sebuah kekuatan rahasia yang amat mencurigkan mengadakan pertemuan. Tak lama kemudian dari tengah laut muncul tiga buah sampan kecil merapat ke pantai, setiap sampan memuat tiga orang lelaki berseragam nelayan, lengkap dengan jaring dan topi lebarnya, salah seorang dari mereka yang bertubuh besar seperti halnya Sogudai, segera meloncat turun dan berlari mendapatkan Sogudai. Namun sebelum orang itu menyapa Sogudai, orang yang ada di dalam perahu itu sudah menegur terlebih dahulu.

   "Hulungka! bagaimana dengan hasil penyelidikanmu? Apakah para pemenang sayembara "Mengangkat Arca" dari lima kabupaten di sekitar muara sungai Yan-tse itu jadi dkumpulkan di daerah ini?" Nelayan bertubuh besar itu terkejut sekali, ia tak bisa segera menjawab teguran tersebut.

   "Kongcu berada di dalam perahu yang tertimbun ilalang itu." Sogudai memberitahukan.

   "Akh...! Maaf, Kongcu, perhatian hamba Cuma ke Sogudai saja sehingga tidak tahu kalau Kongcu sudah berada di tempat ini." Hulangka cepat-cepat menjawab dan memberi hormat ke arah perahu itu.

   "Lekas kau laporankan hasil penyelidikanmu itu!" suara dari dalam perahu itu kembali menghardik. Hampir saja Siau In terpeleset di tempat persembunyiannya, suara itu tidak begitu keras, namun terasa menggelegar di dalam rongga dadanya. Untungnya ia segera mengerahkan sinkangnya, sehingga getaran suara itu dapat diredamnya.

   "Orang yang dipanggil Kongcu ini sungguh hebat sekali kepandaiannya, rasanya tidak kalah dengan pemuda nakal yang memberi malu kepadaku sore tadi. Hmmmmm, dunia persilatan memang benar-benar menggetarkan. Kepadaian silat yang kupelajari dan kubangga-banggakan selama ini ternyata belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan mereka." Gadis itu berdecak kagum di dalam hati.

   "Kongcu, seperti yang diperintahkan oleh Pendeta Agung Ulan Kili, hamba beserta anak buah hamba sudah menjelajah hampir seluruh kota aliran muara sungai Yant-tse. Hamba melihat dan mengikuti terus persiapan-persiapan yang dilakukan oleh anak buah Au-yang Goanswe di daerah tersebut, menurut penglihatan hamba, rencana mereka tetap tak berubah. Pemuda-pemuda itu tetap akan dikumpulkan lebih dulu di tempat di sepanjang pantai ini. Sayang hamba tak bisa memperoleh kepastian tempatnya..."

   "Huh!" orang yang ada di dalam perahu itu mendengus kesal.

   "Lalu, apa yang hendak kalian lakukan selanjutnya?" Hampir berbareng Hulungka dan Sogudai mengangkat wajahnya, keduanya tampak kaget dan bingung.

   "Aa... apa... Maksud Kongcu?" akhirnya Hulungka memberanikan diri untuk bertanya.

   "Sudah kukatakan, apa rencana kalian selanjutnya? Lekas kalian jawab!"

   "Eh, anu... bukankah kita telah diperintahkan oleh Panglima Solinga untuk menumpas mereka setelah mereka berkumpul semuanya?" Hulungka menjawab dengan gugup.

   "Aku tidak sependapat!" tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu itu menggeram keras. Tubuh Sogudai dan Hulungka yang besar itu tersentak kaget. Mereka saling berpandangan.

   "Maksud... Maksud Kongcu?" Sogudai memohon penjelasan.

   "Aku tidak setuju dengan rencana panglima Solinga!"

   "Jadi...?"

   "Kita akan membantai para pemenang perlombaan itu secepatnya, dimanapun juga mereka kita temukan! Tak perlu harus menunggu mereka berkumpul!" Hulungka dan Sogudai menjadi ketakutan, wajah mereka menjadi pucat.

   "Tapi... tapi... panglima Solinga telah dipercaya oleh "Seng-yu" untuk memimpin tugas rahasia ini." Dengan suara gemetar Hulungka mencoba untuk memperingatkan.

   "Persetan dengan kepercayaan itu! Yang penting kita harus berhasil dengan tugas ini! Seharusnya panglima Solinga berpikir dua kali untuk mempercayai rencana Au-yang Goangswe itu!" orang di dalam perahu itu menggeram lagi dengan keras.

   "Maksud Kongcu...?" Hulungka bertanya.

   "Orang Han terkenal akan kelicikan dan kecerdikannya. Aku khawatir Au-yang Goanswe sengaja meniupkan berita palsu untuk menjebak orang-orang yang hendak merintangi tugasnya, ingatlah! Au-yang Goanswe adalah seorang penglima perang yang terkenal cerdik dan ahli bersiasat!"

   "Oooohh!" Hulunga tertegun seperti orang yang baru saja terbangun dari tidurnya. Perkataan orang yang ada di dalam perahu itu mulai mengusik hatinya.

   "Seharusnya kita merasa heran atas rencana itu. Cobalah kalian pikirkan, kota An king dan Wuhu di propinsi AnHui lalu kota-kota Nanking, Cin Kiang dan Wu shi di propinsi Kiangsu. Kota-kota tersebut lebih dekat jaraknya dengan Kotaraja daripada Hang ciu ini, nah mengapa anak buah Au-yang Goangswe itu harus bersusah payah membawa rombongan pemenang sayembara itu ke sini kalau akhirnya mereka harus dibawa kembali ke utara? Masuk akalkah itu?"

   "Ini..., ini, eh... pendapat Kongcu rasanya betul juga." Akhirnya dengan suara lirih Hulungka mengakui.

   "Benar, rasanya memang aneh, mengapa mereka tidak dikumpulkan di kota Nanking saja, sehingga tidak bolak-balik membawanya?" Sogudai berdesah pula dengan heran.

   "Nah! sekarang kalian berdua boleh memilih, menurut perintahku atau... tetap mengikuti rencana Panglima Solinga! Lekas jawab!"

   "Tapi... bagaimana dengan Panglima Solinga?" Hulungka menjawab ragu.

   "Jangan khawatir! Aku sendiri yang akan berbicara dengan dia nanti." Orang yang ada di dalam perahu itu berkata tegas.

   "Bagimana dengan Seng-yu...?" Sogudai bertanya pula.

   "Jangan cerewet! Aku juga yang akan bertanggung jawab jika Seng-yu marah! Nah... bagaimana?" Sogudai dan Hulungka saling memandang sejenak, kemudian mengangguk ke arah perahu.

   "Baiklah, kongcu, kami berdua akan patuh pada perintah Kongcu" keduanya menjawab berbareng.

   "Bagus! Pilihan kalian memang tepat! Aku tidak perlu bersusah payah memerintahkan Lok kui tin (barisan enam hantu) untuk mengambil nyawa kalian..." orang di dalam perahu itu berkata dingin.

   "Terima kasih, Kongcu." Hulungka dan Sogudai cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, keringat dingin keluar membasahi punggung mereka. Keringat dingin juga mengalir membasahi tubuh Siau In di tempat persembunyiannya. Semakin banyak gadis itu mendengarkan percakapan mereka, hatinya semakin ngeri dan di dalam hatinya gadis itu juga menjadi semakin yakin bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang asing. Orang-orang dari suku bangsa Nomad yang berdiam jauh di utara, bahkan kalau ditilik dari nama maupun sebutan-sebutan yang mereka gunakan, mereka memang benar-benar dari suku bangsa Hun.

   "Apa yang hendak mereka lakukan di tempat yang jauh ini? Mengapa mereka akan membunuh semua pemenang perlombaan "Mengangkat arca"? mengapa mereka sampai mengirimkan panglima pula? Ah...! aku tidak mengerti, tentu... tentu ada sesuatu rencana yang besar di balik semua ini. Aku... aku harus melaporkannya kepada Suhu." Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di benak Siau In.

   "Kongcu! Perahu besar itu sudah kelihatan!" Tiba-tiba entah darimana datangnya, salah satu dari keenam pengawal itu telah berada disamping Hulungka, ia mengenakan seragam merah-merah. Kedatangan orang itu tidak hanya mengagetkan Siau In, tapi juga mengejutkan Sogudai dan Hulungka.

   Menurut Siau In gerakan orang berseragam merah-merah ini sungguh sesuai dengan julukannya. Hantu! Tanpa diketahui gerakannya dan darimana ia datang, tahu-tahu ia telah berdiri di dekat Hulungka! Kecepatannya gerakannya rasa-rasanya tidak jauh dibawah orang yang bersembunyi di dalam perahu itu. Sedangkan bagi Sogudai dan Hulungka sendiri rasa kaget itu lebih disebabkan karena tidak menyangka bahwa mereka bisa bertemu muka secara langsung dengan salah seorang Hantu Pengawal Raja yang amat tersohor di negerinya. Soal kesaktian, barisan enam hantu itu memang sudah lama mereka ketahui, apalagi sepak terjangnya yang ganas, kejam, serta penuh rahasia itu dan seperti halnya Siau In, dia-diam hati merakapun merasa bergetar menyaksikan kehebatan ginkang hantu berseragam merah tersebut.

   "Kata orang hantu merah ini adalah orang termuda dari barisan hantu itu, paling muda tapi kabarnya paling ganas dan paling sulit diajak bersahabat, hmm kalau yang termuda saja ginkangnya sudah demikian tinggi, apalagi dengan yang lain-lainnya" diam-diam Sogudai dan Hulungka berkata di dalam hatinya.

   "Baik, Ang kui! kau bersiaplah bersama saudara-saudaramu! Kita tumpas rombongan pemenang sayembara itu setelah mereka berkumpul di atas perahu!" orang yang bersembunyi di dalam perahu itu tiba-tiba memberi perintah.

   "Baik, Kongcu!" Ang-kui menyahut lantang, kemudian tubuhnya melesat pergi dengan cepatnya.

   "Sogudai...! Hulungka! Perahu besar yang dikirim untuk mengangkut pemenang sayembara itu telah datang, ternyata semuanya memang sesuai dengan rencana. Kita basmi mereka setelah pemenang dari kota Hangciu nanti datang, hm, apakah kalain sudah siap?" orang yang disebut kongcu itu lalu mengalihkan kata-katanya kepada Sogudai dan Hulungka yang masih berdiri di tempat itu.

   "Hamba juga sudah siap, Kongcu." Sogudai dan Hulungka menjawab hampir berbarengan.

   "Bagus, nah, Hulungka... Kau ajak Sogudai bersama anak buahmu untuk mengawasi perahu itu di tengah laut! Awas, kalian harus benar-benar dapat mempergunakan penyamaran kalian sebagai nelayan dengan baik! Jangan sampai anak buah Au-yang Goanswe curiga, cepat kalian melapor kalau perahu itu merubah haluan!"

   Hulungka cepat membungkukkan tubuhnya, kemudian menggandeng lengan Sogudai, menuju ke sampan bersama anak buahnya, sebentar saja sampan-sampan itu telah dikayuh ke tengah lautan. Siau In benar-benar memperoleh tempat persembunyian yang bagus, yaitu di sebuah tumpukan karang-karang besar yang berongga di dalamnya, sehingga dengan aman dan leluasa ia bisa mengawasi keadaan di tepian itu tanpa diketahui oleh lawan-lawannya. Siau In memang tidak menunggu terlalu lama, begitu sampan-sampan tadi hilang ditelan kegelapan, dari tengah laut tampak sinar lampu yang semakin lama semakin membesar, keringat dingin mulai membanjir kembali di tubuh gadis itu, ia tak segera bisa memutuskan apa yang harus ia perbuat untuk menolong mereka.

   "Kepandaian mereka rata-rata berada di atas kepandaianku, melawan mereka sendirian berarti bunuh diri, tapi kalau hanya melihat dan berdiam diri saja di sini, rasanya juga salah. Ahhh... apa yang harus kulakukan?" Belum juga Siau In menemukan jalan keluar yang baik untuk ia lakukan, telinganya telah mendengar suara derak perahu dan lengkingan suara aba-aba di kejauhan.

   Ketika Siau In melongok dari lobang persembunyiannya, dilihatnya sebuah perahu besar telah membuang sauh agak jauh dari garis pantai, dua buah lampu besar menerangi bagian haluan dan buritannya dan Siau In segera melihat kesibukan para penumpangnya. Belasan orang prajurit berseragam lengkap berbegas menurunkan beberapa buah sampan kecil ke dalam air, kemudian satu persatu mereka turun menaikinya, sebuah sampan untuk tiga orang prajurit, mereka lalu menyebar di sekeliling perahu besar tersebut untuk berjaga-jaga. Seorang perwira tinggi berseragam indah gemerlapan tampak keluar dai bilik perahu, seperti sedang kesal ia melangkah cepat ke atas anjungan, seorang lelaki berpakaian biasa tampak menempel ketat dibelakangnya.

   "Heran! Kemana Lin Kok Liang dan Su Hiat Hong ini? Mengapa mereka tidak menyambut kedatangan kita?" perwiran itu menggerutu kesal.

   "Mungkin ada sesuatu yang menhambat tugas pekerjaan mereka, Ciangkun." Lelaki berpakaian biasa yang tidak lain adalah pengawal pribadi perwira itu menjawab perlahan.

   "Jangan-jangan mereka kena musibah juga seperti yang lain..." Perwira itu tidak berkata lagi, dia hanya berdesah panjang seraya naik ke tempat yang lebih tinggi lagi, matanya tajam mengawasi kegelapan malam, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah, ia melihat iring-iringan manusia menuju ke tempat itu.

   "Itu mereka datang...!" Serunya lega.

   "Tampaknya banyak juga anak yang dibawanya..."

   Siau In mengintip lagi dari celah-celah lobang persembunyiannya, di kejauhan dari arah perkampungan Ui-Thian-cung, memang terlihat sebuah iring-iringan panjang mendatangi, setelah dekat gadis itu segera mengeryitkan dahinya, rombongan itu terdiri dari sepuluh orang pemuda tanggung dan enam orang pengiringnya. Siau In memang tidak mengenal tiga orang pengiring bersenjata golok di belakang barisan, tapi ia mengenal tiga orang pengiring yang berjalan di depan barisan. Dua orang diantaranya pernah di lihatnya di dalam warung arak pagi tadi, sementara yang seorang lagi adalah Tong taisu yang baru saja berkelahi dengannya. Perwira tinggi yang berdiri diatas anjungan itu segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan sampan lagi yang agak besar, bersama pengawal pribadinya ia lalu mendarat di tepian.

   "Selama malam, Gui Ciangkun...!" Lin Kok Liang yang segera tiba pula bersama rombongannya, menyapa sambil membungkukkan badannya.

   "Maaf kami datang terlambat, ada keributan sedikit yang menggangu perjalanan kami."

   "Keributan...?" Gui Ciangkun berdesah kaget.

   "Apakah rombonganmu juga diganggu orang-orang dari Rimba persilatan?" Lim Kok Liang, Su Hiat Hong dan Tong Taisu saling berpandangan dengan mata terbelalak.

   "Mengapa Ciangkun berkata demikian? Apakah Ciangkun sudah lebih dulu mengetahuinya?" Lim Kok Liang bertanya.

   "Hmmm... benar, bukan? Nah, tadi aku hanya menduga-duga saja, karena rombongan yang lain-lain juga mengalami hal yang sama, sampai sekarang perahuku masih kosong karena rombongan dari Sao hing yang dipimpin oleh Kwa Ciangkun diserbu penjahat di tengah jalan, semuanya mati terbunuh kecuali Kwa Ciangkun, ia terluka parah dan kini ada di dalam perahu. Kwa Ciangkun mengatakan bahwa selain rombongannya, rombongan Ong Ci Kin dari kota Cia-sing juga telah disergap pengacau bahkan Ong Ci Kin dan seluruh anak buahnya ikut terbunuh pula."

   "Gila...! Ternyata benar juga hasil penyelidikan Tong Taisu." Lim Kok Liang menggeram marah sambil menoleh ke arah temannya yang berambut panjang itu.

   "Aku sudah memberi peringatan kepada Lim Ciangkun pagi tadi, kita harus lebih berhati-hati karena ada sebuah kekuatan rahasia yang besar jumlahnya sedang mengintai kita, bahkan sekarangpun hatiku merasa kurang enak, jangan-jangan tempat ini telah mereka ketahui pula..." Tong Taisu menyambut dengan berat. Diam-diam Siau In menjadi tegang sendiri, rombongan pemenang sayembara dari kota Hangciu itu berkumpul tidak jauh dari tempat persembunyiannya, lalu Tong Taisu dan Lim Kok Liang berdiri didekat perahu yang ditimbuni ilalang tadi dan di dalam ketegangnnya itu Siau In hampir saja berteriak memperingatkan mereka akan bahaya yang sedang mengintai.

   "Taisu tak perlu khawatir, hanya kalangan kita sendiri saja yang mengetahui tempat ini." Tiba-tiba Gui Ciangkun membesarkan hati Tong Taisu.

   "Tapi... Kalau rahasia tempat ini memang sudah bocor ke telinga mereka, kitapun tidak perlu takut, aku membawa tiga puluh enam prajurit pilihan untuk melaksanakan tugasku ini." Tong Taisu menjura denga hormatnya, namun sebelum pendeta berambut panjang itu mengutarakan pendapatnya sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa dingin, suara tersebut demikian dekatnya sehingga semua merasa seolah-olah orang yang sedang tertawa itu berada diantara mereka.

   "Hahahahaha...! Hahaha...! Ciangkun, kau jangan terlalu menyombongkan prajuritmu yang tidak ada gunannya itu. Berpalingalah...! Coba kau lihat lagi prajurit kebangganmu itu! Adakah mereka itu bisa diandalkan? Hahaha...!" Otomatis semuanya berpaling ke perahu besar milik Gui Ciangkun dan semuanya segera terbelalak kaget! Belasan prajurit yang tadi kelihatan diatas geladak, kini tampak bergelimpangan dimana-mana. Ada yang tergolek di atas anjungan, ada yang terjungkal di bawah tangga dan ada pula yang tersampir di pagar perahu. Semuanya telah meninggal, sedangkan sampan-sampan kecil tadi kini juga tidak berpenumpang lagi, penumpannya telah mengapung di dalam air. Mati.

   "Haaaa...?" Semuanya menjerit kaget seolah tak percaya, mereka sama sekali tidak mendengar suara apa-apa, apalagi suara keributan ketika para prajurit itu mendapatkan serangan, para prajurit itu seperti dengan mendadak mati sendiri secara berbareng.

   "Gui Ciangkun...!" Lim kok Liang berseru dengan suara serak.

   "Kok Liang...!" Gui Ciangkun berdesah pula dengan suara lirih.

   "Hahaha, bagaimana Gui Ciangkun? Benar, bukan? Prajuritmu itu sama sekali tidak berguna, mereka mati tanpa sedikitpun berkesempatan menggerakkan senjatanya dan sebentar lagi engkau dan kawan-kawanmu ini akan bernasib sama pula seperti mereka. Hahihiha... bersiap-siaplah!" sura itu kembali menggema di telinga mereka. Otomatis semuanya saling mendekatkan diri membentuk lingkaran. Gui Ciangkun dan pengawalnya, Lim kok Liang, Su Hiat Hong, Tong Taisu serta tiga orang bersenjata golok yang dibawa oleh Lim Kok Liang. Masing-masing telah menggenggam senjata andalan mereka sendiri. Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong memegang pedang, sedangkan Tong Taisu juga telah mengeluarkan tasbehnya.

   "Kok Liang! Apakah orang ini yang mengganggu perjalananmu?" dalam ketegangannya Gui Ciangkun masih sempat berbisik kepada Lim Kok Liang.

   "Entahlah. Dia belum memperlihatkan batang hidungnya..." Sementara itu pemuda-pemuda pemenang sayembara itu menjadi ketakutan setengah mati, termasuk pula A Liong di dalamnya. Hati yang semula diliputi kebanggaan dan kegembiraan itu tiba-tiba kini berubah menjadi ngeri dan ketakutan yang amat sangat, bahkan beberapa orang diantara mereka telah menjadi lemas dan pingsan, sementara yang lain seperti memperoleh kekuatan untuk lari dari tempat tersebut. Namun langkah mereka segera terhenti ketika enam orang berseragam warna-warni sekonyong-konyong muncul dari dalam kegelapan menghalangi mereka.

   "Tolong! Tolong...!" Mereka menjerit ketakutan.

   "Lok kui tin, bunuh mereka!" suara tanpa wjud itu tiba-tiba memberi perintah.

   "Jangan! Jangan bunuh aku...!" A Liong yang berdiri diantara pemuda-pemuda itu merintih ketakutan. Tapi rintihan itu segera terbenam dalam teriakan dan jeritan ngeri teman-temannya, tubuhnya dan juga tubuh kawan-kawannya sekonyong-konyong seperti dihantam oleh badai yang maha dahsyat sehingga terlempar kesana kemari dan tubuh A Lion bersama dua orang temannya secara kebetulan membentur batu karang dimana Siau In bersembunyi. Semuanya berlangsung dengan cepat sehingga Gui Ciangkun dan Lin Kok Liang terlambat memberi pertolongan, pemuda-pemuda itu telah terlanjur mati dengan tubuh menggenaskan.

   "Bunuh juga yang pingsan itu! Jangan biarkan seorangpun lolos!" suara tanpa wujud itu kembali memberi perintah lagi. Keenam hantu itu cepat menghanpiri pemuda-pemuda yang pingsan tadi, tapi sebelum mereka melepaskan serangan, Lin Kok Liang lebih dulu berteriak.

   "Tunggu...! Jangan bunuh mereka!" Lin Kok Liang cepat melesat ke depan Lok kui tin, kemudian diikuti pula oleh teman-teman yang lain.

   "Kalian ini sebenarnya siapa? Mengapa membunuhi orang-orang yang tak berdosa?" Lin Kok Liang menggeram penasaran.

   "Bagaimana, Kok Liang? Benarkah mereka yang telah mengganggu perjalanan tadi?" Gui Ciangkun yang telah berada di samping Lim Kok Liang berbisik pelan. Lin Kok Liang menghembuskan napasnya kuat-kuat.

   "Bukan Ciangkun, orang yang mengganggu kami tadi adalah anak murid aliran Beng-kauw, orang-orang ini kelihatannya bukan dari aliran itu."

   "Kalau begitu mereka ini tentulah kawanan penjahat yang teleh mencegat dan membasmi rombongan Ong Ci Kin dan Kwa Sing." Gui Ciangkun menggeram pula.

   "Hahaha... dugaan Ciangkun memang tidak salah. Memang kamilah yang telah menumpas seluruh rombongan Ong Ciangkun dan kwa Ciangkun dan kami memang sengaja tidak membunuh mati Kwa Ciangkun agar kami bisa bertemu dengan rombongan Gui Ciangkun, hehehe..." suara tanpa wujud itu kembali menertawakan kebodohan Gui Ciangkun.

   "Kurang ajar...! keluarlah kau! Dan... Katakanlah siapa kalian ini sebenarnya? Mengapa kalian membunuhi petugas-petugas kerajaan? Apakah engkau ingin memberontak terhadap kerajaan?" Gui Ciangkun berteriak lantang. Tak terduga teriakan Gui Ciangkun itu disambut dengan ketawa dingin oleh lawannya, bahkan orang itu kemudian menjawab dengan suara yang amat menghina.

   "Persetan dengan kerajaanmu! Kami orang-orang Hun sama sekali tidak takut terhadap Rajamu!"

   "Oooooh??" Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Taisu saling pandang dengan wajah kaget, mereka sama sekali tak menyangka bila lawan mereka itu ternyata adalah orang-orang dari suku bangsa Hun di diluar tembok besar.

   "Jadi kalian ini orang-orangnya Mo Tan? Tapi..... Mengapa kalian?" Tong Taisu yang sejak tadi belum mengeluarkan suara tiba-tiba berseru keras.

   "Karena kami benci terhadap Liu Pang dan keluarganya!" orang yang masih belum mau menampakkan diri itu menggeram dengan nada berang. Sekali lagi Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Taisu saling pandang dengan dahi berkerut.

   "Benci dengan keluarga Kaisar? Mengapa? dan... Kalau kalian memang membenci keluar Kaisar kami, mengapa kalian justru membunuhi orang-orang tak berdosa seperti pemuda-pemuda itu?" Lim Kok Liang cepat menyela. Tapi orang itu tampaknya menjadi kesal karena diajak omong terus menerus.

   "Kurang ajar! Kenapa kalian masih berpura-pura juga? Apa bedanya kami dengan kalian he? Perempuan junjungan kalian itu (permaisuri Li Liong Hui) mengumpulkan anak-anak muda ini juga untuk dibunuh pula! Apa bedanya...? Bukankah perbuataku ini justru membantu niatnya itu?" Katanya berapi-api.

   "Fitnah! kau omong sembarangan kau...?" Lim Kok Liang berteriak pula dengan marah.

   "Bagus! Kini kalian menjadi marah setelah ketahuan belangnya! Tapi aku malah menjadi senang melihatnya! Kalian akan mampus dengan hati penasaran hahahahahaa!" Suara orang itu berubah menjadi gembira sekali sekarang.

   "Bangsat pengecut, keluarlah kau! Marilah kita bertempur sampai mati!" Lim Kok Liang berteriak marah.

   "Tidak perlu! Para para pengawalku itu sudah lebih dari cukup untuk mengantarkan nyawamu ke akherat! Lok kui tin, bunuh mereka pula! cepaaat!" Enam hantu itu tiba-tiba menggeram, bersama-sama mereka menerjang rombongan Gui Ciang Kun, dari telapak tangan mereka segera menghembus angin dingin yang mendahului langkah mereka.

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Wuuuuushhhh" dan tiba-tiba saja Gui Ciangkun bersama teman-temannya merasa seperti diterjang oleh air yang maha dahsyat.!

   "Aaahhhhh..." Semuanya menjadi gelagapan seperti anak ayam tercebut di kolam dan otomatis masing-masing berusaha menyelamatkan diri mereka dengan cara mereka sendiri-sendiri. Gui Ciangkun bersama pengawalnya segera menjatuhkan diri ke pasir dan berguling-guling menjauhi arena, sedangkan Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong cepat-cepat menjejakkan kaki mereka ke tanah dan berjumpalitan ke belakang, hanya tiga orang kawan Lim Kok Liang yang bersenjatakan golok itu saja yang berusaha melawan hembusan angin dahsyat itu dengan kekuatan mereka.

   Masing-masing memutar golok mereka di depan dada, kemudian dengan nekad menerjang ke depan menyerang lawan. Namun apa yang dilakukan oleh jago-jago silat kerajaan itu tetap sia-sia belaka, kepadaian enam hantu dari luar tembok besar itu benar-benar jauh dari jangkauan kepandaian mereka, tanpa mengendorkan langkah masing-masing, barisan hantu itu tiba-tiba memecah barisannya. Dua orang bergeser ke kiri dan ke kanan menghindari terjangan tiga orang bergolok itu, untuk kemudian meneruskan langkah mereka memburu Gui Ciang Kun dan pengawalnya. Dua orang lagi segera melesat tinggi ke udara melewati kepala tiga orang bergolok tadi, untuk menangkap Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong, sedangkan sisanya yang dua orang lagi tetap menyongsong kedatangan tiga orang bergolok itu dengan tangan kosong.

   "Sisakan salah seorang dari mereka untuk memberi laporan kepada Au-yang Goangswe" pimpinan orang-orang Hun itu tiba-tiba berseru lagi memperingakan pengawal-pengawalnya.

   Sementara itu di tempat persembunyiannya Tio Siau In belum juga bisa menemukan jalan terbaik yang harus ia lakukan, sebenarnya dengan kedatangan Tong Taisu diantara para pengawal pemenang perlombaan tersebut telah membuat gadis itu menjadi lega, tapi ketika pada gebrakan pertama tadi pendeta lihai itu sama sekali tak mampu mencegah atau menghalangi Lok kui tin membunuhi korban-korbannya, hati Siau In menjadi goyah lagi, bahkan akhirnya gadis itu merasa yakin bahwa Tong taisu takkan bisa menyelamatkan orang-orang yang dilindunginya. Dengan perasaan sedih dan kasihan Tio Siau In menatap tiga sosok mayat pemuda-pemuda tak berdosa yang berserakan di depan lobang persembunyiannya. Pakaian yang menempel di badan mayat-mayat itu nyaris hancur terkena pukulan tenaga sakti gabungan dari lok kui tin.

   Kulit tubuh mereka tampak kehitam-hitaman seperti bekas tersiram air panas. Mendadak Tio Siau In terbelalak! Secara tak sengaja dan tak terduga mata gadis itu melihat gambar tato naga di pangkal lengan salah satu dari tiga mayat itu. Pikiran gadis itu segera melayang pada pesan gurunya, bahwa ia dan kakak-kakak seperguruannya ditugaskan untuk mencari seorang pemuda yang memiliki tato di tubuhnya. Sejenak Tio Siau In terpaku diam ditempatnya, betulkan pemuda ini yang dikendaki oleh gurunya itu? Kalau memang benar lalu apa yang harus ia lakukan? Masakan ia harus membawa mayat itu ke hadapan gurunya? Tak terasa tangan Siau In terulur keluar untuk meraih mayat bertato naga itu, seolah-olah ia ingin menyakin sekali lagi bahwa orang itu tidak mati. Tapi karena mayat itu tertindih oleh mayat yang lain, terpaksa Siau In menggeser mayat yang lain itu terlebih dahulu.

   Tapi sekali lagi mata Siau In terbeliak lebar! untuk yang kedua kalinya gadis itu melihat gambar tato naga pada tubuh mayat yang lain tersebut, hanya bedanya pada mayat yang pertama tadi gambar itu berada di pangkal lengan dan Cuma berwujud sebuah kepala naga yang menganga, sementara pada mayat yang kedua gambar naga itu berada di tengah-tengah dada dan lebih lengkap bentuknya, bahkan gambar pada mayat yang kedua itu terdiri dari dua ekor naga yang saling membelit satu sama lain. Setelah hatinya menjadi tenang kembali Siau In mencoba memperhatikan mayat yang ketiga yang tergolek miring membelakangi lobang persembunyiannya, seperti mayat-mayat yang lain mayat itu juga hampir telanjang sama sekali, hanya ada sedikit saja serpihan-serpihan kain yang masih tersisa di badannya.

   "Hmmmmmmm... jangan-jangan mayat itu juga memiliki gambar tato naga di tubuhnya." Gadis itu menduga-duga. Tangan Siau In sedikit gemetar meraih tubuh mayat yang ketiga itu, lalu disentakkanya sehingga terlentang dan... benar juga dugaannya! Mayat yang berdada bidang itu mempunyai tato naga pula di atas dada sebelah kanan, tidak begitu besar, Cuma sebesar jari tangan orang dewasa, tapi digores dengan coretan yang kuat dan bagus sekali sehingga gambar naga itu tampak garang dan hidup.

   "Nah, apa kataku? Banyak sekali orang yang menggambari tubuhnya dengan lukisan naga di dunia ini, lalu bagiamana aku bisa menentukan orangnya yang dikehendaki oleh suhu?" Gadis itu berkata di dalam hatinya. Beberapa saat lamanya Siau In tercenung diam memikirkan masalah yang dihadapinya, kemarin gadis itu masih merasa sulit untuk bisa melaksanakan perintah gurunya, namun sekarang sekali bertemu ia malah bisa mendapatkan sekaligus tiga orang yang memiliki gambar tato naga di badannya, sehingga ia justru menjadi bingung karenanya.

   Sebuah bayangan yang mengerikan tiba-tiba melintas di benak Siau In, mengapa tiga diantara sepuluh orang pemenang "Perlombaan Mengangkat Arca" itu secara kebetulan memiliki gambar tato naga di tubuhnya? Apakah semua itu hanya merupakan kebetulan saja? Jangan-jangan para pemenang lomba yang lain itu juga memiliki gambar tato naga pula? Kalau memang demikian halnya, persoalan pemuda bertato naga ini tampaknya memang bukan persoalan kecil, tentu ada sebuah misteri besar di balik semua ini. Otomatis Siau In teringat kembali akan kata-kata Lojin-Ong yang disampaikan melalui gurunya, bahwa suatu saat seorang laki-laki bertato naga akan mengharumkan nama aliran Im-yang-kau di kemudian hari.

   "Hmmmm, apakah para pejabat kerajaan juga sedang mencari laki-laki bertato naga itu karena ia juga dianggap bisa mengharumkan nama negeri ini? Lalu... bagaimana dengan orang-orang Hun yang membunuhi para rombongan pemenang "Perlombaan Mengangkat Arca" ini? Apakah mereka juga mencari laki-laki bertato naga itu untuk dimusnahkan agar tidak membahayakan negeri mereka di kemudian hari?" bermacam-macam pikiran dan dugaan memenuhi kepala Siau In.

   Untuk membuktikan dugaannya gadis itu mencoba mencari mayat pemuda pemenang perlombaan yang lain, tetapi ketika tangannya terjulur keluar hendak meraih mayat yang berada agak jauh dari lobang persembunyiannya, mendadak telinganya mendengar suara keluhan. Siau In terkejut, salah seorang dari tiga sosok mayat tadi ternyata belum mati, mayat berdada bidang dengan gambar naga yang indah dan hidup itu tampak berusaha menggerak-gerakkan tangannya.

   "Hei! Pemuda itu belum mati, sungguh mengherankan sekali, tampaknya pukulan dahsyat enam hantu tadi tidak benar-benar telak mengenai tubuhnya, aku harus menolongnya, biarlah ia kuseret ke dalam lobang ini agar tidak terlihat oleh pembunuh-pembunuh itu." Dengan hati-hati Tio Siang In menarik tubuh pemuda yang masih hidup itu ke dalam lobang persembunyiannya dan bertepatan dengan masuknya tubuh tersebut ke dalam lobang.

   Diarena pertempuran terdengar jeritan ngeri saling susul-menyusul, enam orang hantu itu tampaknya telah menyelesaikan tugasnya membunuh mati semua musuhnya. Tempat itu menjadi lengang kembali, Siau In tidak berani bergerak, angin malam yang berhembus dari laut membawa butiran-butiran air bercampur embun, demikian dingin udaranya sehingga bulan tipis yang tergantung di langit seperti terburu-buru menyurukkan diri ke dalam pelukan awan, malam semakin gelap gulita. Siau In semakin ketakutan di dalam lobang persembunyiannya, sama sekali ia tidak berani bergerak. Gadis itu hanya dapat membayangkan bahwa para petugas kerajaan itu sudah menjadi mayat bercampur dengan mayat para pemuda pemenang angkat arca. Siau In menjadi kaget ketika terdengar geraman orang yang bersembunyi di dalam perahu seperti kura-kura itu.

   "siapakah kalian... He? Berani benar menghalangi orang-orangku! Apakah kalian sudah bosan hidup?"

   "Ada orang yang menghalangi mereka, siapa?" Siau In berdesah tak percaya, hampir saja kepalanya melongok keluar tapi karena takut segera ditariknya kembali.

   "Biarlah kami yang membereskannya Kongcu, tak perlu kongcu mengotori tangan untuk membunuh dua orang tua ini." Ang-kui yang pernah di dengan suaranya oleh Siau In tadi menggeram.

   "Benar, kongcu, mereka telah menghalangi niat kami untuk mencabut nyawa para anjing kaisar Han itu, mereka harus dilumatkan untuk mempertanggungjawabkan kelancangannya...!" Pek Kui si hantu putih yang tertua berseru keras. Hening sejenak, kemudian terdengar suara napas ditarik, panjang sekali.

   "Maafkan kami... Kami tak bermaksud mencampuri urusan tuan, bukankah kami belum mengenal tuan-tuan semua, kami hanya ingin mencegah pertumpahan darah ini" terdengar suara serak.

   "Kurang ajar...! Enak saja berbicara! Siapa bilang pertumpah darah ini tak berguna? Mereka adalah begundal kaisar Han dan keluarga kami adalah musuh bebuyutan kaisar itu! Nah sudah selayaknyalah kalau kami membasmi mereka!" orang yang bersembunyi di dalam perahu itu membentak.

   "Ooooh, jadi tuan-tuan ini bermusuhan dengan mendiang Kaisar Liu Pang? Dan saat kaisar Liu Pang masih hidup tidak berani berhadapan langsung dengan beliau, setelah beliau meninggal baru keluar untuk membunuhi orang-orangnya yang tidak tahu permusuhan itu, wahhh alangkah hebatnya!" tiba-tiba terdengar suara lain yang membuat kaget Siau In di tempat persembunyiannya.

   "Suhu...?!?" Gadis itu bersorak dalam hati. Siau In cepat-cepat melongokkan kepalanya keluar, memang tepat, dilihatnya gurunya Giam Pit Seng dengan tenang dan gagah berdiri tak jauh dari perahu orang Hun itu.

   Di dekatnya berdiri Lojin-Ong, seorang kakek yang benar-benar sudah sangat tua, sehingga tubuhnya yang renta itu telah condong ke depan seolah-olah tulang punggungnya tak lagi kuat untuk menyangganya. Sebatang tongkat terpegang di tangan kirinya untuk menopang agar tubuh reyot itu tidak tersungkur ke depan, rambutnya yang tipis berwarna putih di gelung ke atas sepertinya layaknya seorang pendeta, sementara jenggotnya yang panjang sampai perut dibiarkan melambai-lambai di tiup angin laut. Dua orang tua itu telah dikepung oleh Liok kui tin, sementara di belakang mereka berdiri bergerombol rombongan Lim kok liang dan Gui Ciangkun, para abdi kerajaan itu tampak pucat kesakitan menahan luka dalam yang parah akibat gempuran lok kui tin tadi, bahkan Gui Ciangkun dan Su Hiat Hong yang memiliki ilmu silat paling rendah diantara mereka tampak tergeletak diam diatas pasir.

   Gui Ciangkun masih tampak bergerak-gerak dalam rangkulan pengawalnya, sementara Su Hiat Hong diam tak bergerak seolah telah mati. Tiba-tiba terdengar suara mendengus dari dalam perahu dan mendadak pula Siau In melihat sesosok bayangan berdiri diatas atap perahu tersebut. Bayangan itu mengenakan baju berlengan pendek yang ditutup oleh kulit rusa berbulu tebal, rambut yang gemuk hitam itu sebagian di gelung keatas dan sebagian lagi dibiarkan terurai di atas bahunya, persis seperti model banci jaman sekarang. Tiga butir mutiara berwarna merah, kuning, hijau tampak gemerlapan di atas tali pengikat rambutnya. Cara berpakaian orang itu tampak sedikit aneh dan tak layaknya orang Han, namun dari bahan yang dikenakan kelihatan bahwa semua itu mahal.

   "Hei, orang tua...! Enak saja kau bicara! Kalau keluarga kaisarmu itu tidak selalu bersembunyi di balik tembok Istana yang dijaga oleh ribuan pengawalnya tentu telah kuhabisi dulu-dulu." Bayangan itu menggeram ke arah Giam Pit Seng.

   "Ah, kukira mereka tidak bersembunyi, sejak dahulu keluarga raja atau kaisar memang tinggal di dalam tembok Istana yang kuat dan dijaga para pengawal. Mengapa tuan tidak menggempur saja tembok itu kalau berani, jangan membunuhi anak buahnya dijalanan, hal ini kelihatan bahwa Tuan pengecut tidak berani langsung berhadapan dengan beliau hanya secara pengecut menyergap anak buah beliau" guru Siau In menjawab seolah tak tahu akan bahaya yang dapat menimpanya.

   "Kurang ajar...!" Bayangan itu berseru marah. Kemudian seperti kilat menyambar tubuh orang itu melesat ke arah Giam Pit Seng, demikian cepat gerakannya sehingga bayanganya saja hampir tak dapat diikuti oleh mata Siau In, hanya gemerlapnya mutiara dan permata di sarung pedang orang itu yang membantu Siau In untuk melihat.

   "Suhu..." Gadis itu berdesah khawatir dalam hatinya.

   "Pit Seng, awaaasss...!" orang tua bongkok di samping Giam Pit Seng berdesah dengan suara khawatir pula, tongkat yang ada di tangan kirnya tiba-tiba beralih ke tangan kanan.

   "Baik, Lojin-Ong" ketua cabang aliran Im-yang-kau-yang kenyang asam garam pertempuran itu menyahut keras sambil bergegas merogoh sepasang pit atau benda yang menjadi senjata andalannya, tetapi gerakan orang itu benar-benar cepat dan dahsyat tidak terkira, sehingga Giam Pit Seng terbelalak tak percaya, belum juga senjatanya siap ditangan, badai serang itu keburu tiba, cepatnya bukan main.

   "Traaaaaan! Traaaaaaaang...!" Untunglah Lojin-Ong cepat membantu, ujung tongkat yang telah pindah ke tangan kanan itu tiba-tiba melambung ke atas, memotong badai serangan yang lewat di depannya.

   Benturan keras seperti layaknya dua bilah pedang baja berdentang memekakkan telinga ketika ujung tongkat itu beradu dengan lengan si penyerang, namun berkat bantuan tersebut ternyata tidak sepenuhnya bisa menyelamatkan Giam Pit Seng, lengan si penyerang yang lain ternyata masih terjulur menyambar ke dada Pit Seng. Namun hambatan yang Cuma sedetik dari tongkat Lojin-Ong telah banyak artinya buat Giam Pit Seng, meski tergesa-gesa dan belum siap sepenuhnya tapi setidak-tidaknya sebuah pit telah terpegang di depan dadanya, sehingga pada sat serangan lawan tiba, pit itu sempat menangkis, meskipun akhirnya harus terlepas dari pegangannya. Ketika kemudian Lojin-Ong dan Giam Pit Seng meloncat mundur untuk bersiap sedia, bayangan yang menyerang mereka itu telah bertengger di atas perahu.

   "B-bu-bukan main!" Giam Pit Seng berdesah dengan suara bergetar, telapak tangannya yang memegang pit tadi tampak terkelupas mengeluarkan darah.

   "Memang hebat sekali! Sungguh tak kusangka! Usianya masih begitu muda tapi ginkang dan lwekangnya hampir telah mencapai kesempurnaan, sungguh berbahaya...!" Lojin-Ong mengangguk-angguk sambil mengawasi ujung tongkatnya yang somplak. Sementara itu Lok kui tin telah mengepung mereka, siap untuk menerjang.

   "Lok kui tin, hati-hati dengan orang tua bongkok itu! Kulit dan tulang-tulangnya ternyata masih alot sekali." Orang yang ada di atas perahu itu memperingatkan pengawalnya.

   "Kalian bertiga atau berempat baru bisa menghadapinya..."

   "Kongcu...?" Keenam orang yang tergabung dalam barisan hantu itu berdesah seperti orang penasaran. Mereka yang selama ini ditakuti orang dan hampir tak pernah menemukan lawan yang bisa menandingi ilmu mereka tentu saja takkan percaya kalau orang tua jompo itu harus dikeroyok tiga atau empat. Masa orang tua itu memiliki kesaktian melebihi guru mereka? Tampaknya orang yang berada di atas perahu itu merasakan keragu-raguan pengawalnya.

   "Jangan bertindak bodoh! Lakukan seperti yang kuperintahkan, nanti kalian akan mengerti! Nah, Pek-kui, Hek-kui, Cing-kui dan Ui-kui... Kalian berempat" menghadapi orang tua bongkok itu! Gi-kui kau melanjutkan pekerjaan kalian yang tertunda tadi! Dan... ang-kui, kau membereskan orang tua bersenjata pit. itu!

   "Dia sebenarnya tidak ada apa-apa-hya. Paling-paling dia cuma mampu bertahan lima jurus menghadapimu! Kakek bongkok itulah yang berbahaya...!." Meskipun masih merasa penasaran, tapi Keenam Hantu itu tak berani membantah lagi. Mereka segera membagi diri untuk melaksanakan perintah itu... Namun ketika mereka telah siap untuk bergerak, tiba-tiba orang di atas perahu itu berseru lagi. Tapi tidak kepada mereka. O rang itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah batu karang besar ditempat Tio Siau ln bersembunyi.

   "Kau siapa...?" Lemas seluruh, sendi-sendi tulang Tio Siau In. Walaupun ia merasa tak menimbulkan suara gerakan. yang membuat dirinya diketahui lawan, tapi tampaknya orang lihai itu telah mengetahui, persembunyiannya. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran Tio Siau In mengusap keringat dingin yang membanjiri dahi dan lehernya.

   "Cepat katakan.! Siapakah kau...?" orang diatas perahu itu Membentak lagi. Hampir saja Tio Siau In menjawab serta keluar dari lobang, persembunyiannya ketika tiba-tiba, di atas batu karang itu terdengar suara jawaban yang. amat dikenalnya. Suara kakek gila, saudara seperguruan si Pemuda nakal yang dibencinya itu!

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 42 Memburu Iblis Eps 13 Memburu Iblis Eps 36

Cari Blog Ini