Pendekar Pedang Pelangi 6
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 6
"Ho-ho-ho-ha-ha-ha...! Sungguh penasaran! Penasaran...! Hei, Bocah Tampan... Kenapa kau melupakan aku di sini? Semuanya kau beri lawan bertanding, tapi... Kenapa aku belum, hah? Lalu... dengan siapa aku harus berkelahi? Apakah... apakah... ohh, ya... tahu aku sekarang, he-he-he-he! Tampaknya kau sendiri yang hendak bertarung denganku! Bagus! Bagus...! lo-ho-ho-ha-ha-ha-ha!"
Tio Siau Tn tidak jadi keluar dari lobang persembunyiannya. Entah mengapa, ada perasaan lega di hatinya. Ternyata bukan dirinya yang dimaksud oleh orang di atas perahu itu. Walaupun di dalam hati ia juga merasa kaget karena ia tak tahu, sejak kapan kakek gila itu bertengger di atas batu karang persembunyiannya. Di lain pihak kemunculan Put-pai-siu Hong-jin itu juga amat melegakan hati Lojin-Ong dan Giam Puit Seng. Bagaimanapun juga kedua tokoh Aliran Im-yang-kauw itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka menghadapi lawan yang amat berat, sehingga kedatangan Put-pai-siu Hong-jin itu benar-benar menambah semangat mereka.
"Iblis gila! Siapakah kau...? Lekas katakan!" orang yang berdiri di atas perahu itu menghardik lagi.
"Percuma saja kau bicara apabila dia sedang sinting seperti itu. Dia adalah Put-pai-siu Hong-jin dari aliran Beng-kauw, heh-heh..." Lojin-Ong cepat-cepat menyela perkataan lawannya.
"Put-pai-siu Hong-jin? Huh, aku belum pernah mendengarnya." orang yang berdiri di atas perahu itu mendengus dingin.
"Bagus! Bagus! kau memang tidak perlu mengenal nama itu! Akupun benci kepadanya! Hahaha-heheh...! Buat apa mengingat-ingat nama? Hanya membuang waktu saja! Lebih baik berkelahi! He-he... Itu baru asyik! Ayoh!" si Gila dari Beng-kauw itu tiba-tiba berteriak kegirangan, kemudian meloncat turun mendekati perahu. Gerakannya ketika melayang turun dari atas batu karang berkesan santai dan ogah-ogahan, bahkan seperti anak kecil yang sedang main lompat tali saja. Tapi semuanya menjadi kaget dan tercengang keheranan ketika tubuh si Gila itu tidak segera jatuh ke pasir, namun melayang-layang lebih dulu ke kanan kiri, bagaikan daun kering yang terbang tertiup angin, jatuhnyapun tidak di atas kaki tapi menggelepar di atas punggungnya.
"Gila! Bocah itu memang semakin gila...!" Lojin-Ong berdecak kagum menyaksikan peragaan ilmu mengentengkan tubuh yang tiada tara itu.
"
"Ginkangnya benar-benar telah mencapai kesempurnaan, sehingga tubuhnya menjadi seringan kapas..." Giam Pit Seng berdesah pula dengan kagumnya. Ternyata demonstrasi ginkang Put-pai-siu Hong-jin itu membuat keder juga di hati lawannya. Selama ini, orang yang bertengger di atas perahu itu merasa, bahwa ginkangnya tak ada yang bisa mengalahkan selain gurunya, Pendeta Ulan Kili. Namun di tepi pantai yang sepi ini, ternyata ada seorang kakek gila, yang ginkangnya bisa dikatakan setingkat dengan gurunya.
"Hei! Kenapa masih diam saja di situ? Ayoh, cepat kita berkelahi! Tangan dan kakiku sudah tak bisa dikendalikan lagi! Mereka segera ingin berantem!" Put-pai-siu Hong-jin yang sudah berdiri di dekat perahu itu berseru keras.
"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu melayang di tempat ini! Lihat pukulan...!" Orang yang bertengger di atas perahu itu menyambar turun ke arah Put-pai-siu Hong-jin.
"Hoho-haha...! Sekali-sekali aku memang ingin merasakan... bagaimana rasanya nyawaku ini keluar sedikit demi sedikit dari dalam tubuhku, hehehe! Kubiarkan dulu dia merangkak sampai ke ubun-ubun, setelah itu cepat-cepat kutarik lagi ke dalam! Hohoho... tentu asyik sekali!" Sambil berceloteh Put-pai-siu Hong-jin melompat ke kiri untuk menghindari serangan lawannya. Kemudian dengan tangkas badannya berputar ke kanan seperempat lingkaran, seraya melepaskan pukulan tangan kiri ke pinggang lawan.
"Wuuusssss!" Gelombang udara dingin menerjang pemimpin rombongan suku Hun itu! Tak ada suaranya, namun terasa mengandung kekuatan yang amat dahsyat!
"Bagus!" pemimpin rombongan Suku Hun itu berseru. Tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk mematahkan serangan itu, kemudian berdiri tegak menghadapi Put-pai-siu Hong-jin kembali. Masing-masing telah menyerang satu kali, sebagai pembukaan dan sebagai penjajagan pertama atas kekuatan lawan.
Dan gebrakan tersebut seolah-olah menjadi tengara atau tanda bagi si Enam Hantu, bahwa pertempuran telah dimulai! Seperti yang telah diperintahkan pemimpin mereka tadi, maka mereka memecah diri menjadi tiga rombongan. Rombongan pertama terdiri dari Pek-kui, Hek-kui, Cing-kui dan Ui-kui, menghadapi Lojin-Ong. Rombongan kedua hanya seorang, yaitu Ang-kui, mendapat jatah untuk membunuh Giam Pit Seng. Sedangkan rombongan ke tiga juga hanya seorang saja, Ci-kui, bertugas mencari dan membasmi seluruh sisa-sisa lawan yang masih hidup. Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan, pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi! Masing-masing telah mendapatkan lawan! Giam Pit Seng yang berhadapan Ang-kui sama sekali tidak kelihatan gentar walaupun lawannya sangat memandang rendah dirinya.
Dua batang pit (pena) terbuat dari baja tulen, berukuran panjang dan pendek, tergenggam, erat di tangannya. Dua batang pit itu berkelebatan di sekeliling tubuhnya, baik untuk menyerang maupun untuk mempertahankan diri, sementara. Ang-kui yang bertangan kosong itu masih belum bersungguh-sungguh melayaninya. Sebentar-sebentar Iblis Merah itu menghentikan gerakannya melihat-lihat pertempuran lainnya. Seperti halnya Ang-kui, maka Ci-kui yang mendapat tugas ringan, menghadapi sisa-sisa kekuatan Lim Kok Liang, masih kelihatan santai pula. Hanya dengan sebelah tangan Iblis Ungu itu mempermainkan Lim Kok Liang, Tong Taisu dan pengawal Gui Ciangkun. Pada saat segar-bugar saja mereka tak mampu melawan, apalagi dalam keadaan luka dalam yang parah seperti sekarang. Mereka bertiga hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Iblis Ungu itu ingin menghabisi mereka.
Pertempuran yang seru, namun cukup konyol, berlangsung antara Put-pai-siu Hong-jin melawan pemimpin rombongan suku Nun itu. Kali ini pemimpin rombongan suku Hun itu benar-benar membentur musuh yang berat. Dia yang selama perjalanannya ke selatan ini tak pernah mendapatkan lawan tangguh, sehingga sikapnya menjadi congkak dan takabur, kini benar-benar dibuat jengkel dan berang oleh Put-pai-siu Hong-jin yang sinting dan konyol! si Gila dari aliran Beng-kauw itu berkelahi tanpa aturan. Selain gerakannya kadang-kadang kacau tak keruan, mulutnya yang lebar tanpa gigi itu juga nyerocos terus tanpa berhenti. Anehnya, dengan gerakannya yang kacau itu bisa saja ia meloloskan diri dari gempuran lawan! Bahkan dengan gayanya yang tak beraturan itu seringmembikin lawannya kalang kabut!
"Lalat busuk! Ternyata kepandaianmu benar-benar hebat! Tangan dan kakiku sampai... Hwaduh! Bangsat... Keparat curang! kau sepak bisulku! Haduuuh! A-duuuh... bocah tak tahu sopan-santuh! Lihat... Nih, sampai keluar madunya!" Pu-pai-siu Hong-jin berjingkrak-jingkrak kesakitan. Tapi pemimpin rombongan suku Hun itu tidak mempedulikan ulah Put-pai-siu Hong-jin. Dia terlanjur kesal dan marah menghadapi tingkah-laku Put-pai-siu Hong-jin yang menjengkelkan. Sedari tadi ia telah mengerahkan beberapa macam ilmu silat kebanggaannya, namun kakek gila yang wajahnya lebih mirip monyet daripada manusia itu, ternyata mampu melayaninya dengan baik.
Meskipun gerakannya kacau, kakek gila itu selalu bisa menyelamatkan diri. Ginkangnya memang hebat sekali! Menurut ucapan gurunya, Ulan Kili, Ilmu Meringankan Tubuh yang paling baik di dunia ini adalah ilmu meringanngankan tubuh milik perguruan mereka sendiri, perguruan Ui-soa-pai (Perguruan Pasir Kuning) dari Gurun Gobi! Demikian tersohornya ilmu itu sehingga dalam perkembangan sejarahnya banyak tokoh-tokoh persilatan yang berusaha memilikinya. Tapi perguruan Ui-soa-pai sangat tertutup dan keras menjaga tradisi sehingga sulit ditembus orang luar. Meskipun demikian ada juga tokoh persilatan yang berhasil mencuri rahasia ilmu meringankan tubuh tersebut dan menirunya. Diantaranya adalah Bu-eng Hwe-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) milik seorang tokoh iblis yang hidup beberapa puluh tahun yang lalu. Ilmu tersebut merupakan hasil tiruan dari ginkang perguruan Ui-soa-pai!
"Hmmh, apakah ginkang kakek gila ini yang disebut Bu-eng Hwe-teng itu? Tapi... Kulihat gerakannya sama sekali tidak ada yang mirip dengan ginkang Ui-soa-pai." sambil bertempur orang dari suku Hun itu menduga-duga.
"Buk!" Tak terduga sebuah tendangan Put-pai-siu Hong-jin nyelonong mengenai pantat pemimpin rombongan suku Hun itu! Tidak terlalu keras, karena posisi Put-pai siu Hong-jin sendiri sebenarnya juga tidak memungkinkan untuk melepas tendangan! Meskipun demikian tendangan tersebut telah membuat pemimpin rombongan suku Hun itu menjadi marah dan mereka merasa terhina!
"Hehe-hoho... sekarang impas sudah! kau tadi menyepak bisulku, kini aku ganti menghajar pantatmu! Hoho-hooo...! Sayang tidak punya bisul!" mulut Put-pai-siu Hong-jin yang lebar itu tertawa terbahak-bahak.
"Monyet Tua! Mulutmu memang harus segera dibungkam agar tidak menggonggong terus menerus! Nah, terimalah kematianmu sekarang...!"
Tampaknya pemimpin rombongan suku Hun itu telah merasa cukup menjajaki ilmu kepandaian Put-pai-siu Hong-Jin. Kini dia ingin mengakhiri pertempuran itu. Ia berdiri tegak dengan tangan tersilang di depan dada. Matanya yang mencorong dingin itu menatap Put-pai-siu Hong-jin tanpa berkedip. Dan sebentar kemudian tubuhnya diselimuti. kabut tipis berwarna kebiruan. Walaupun konyol dan sinting, tapi perasaan dan otak Put-pai-siu Hong-jin sebenarnya tajam dan cerdas luar biasa. Melihat lawannya mulai mengeluarkan ilmu pamungkas, dia juga tak berani main-main lagi. Diapun segera bersiap sepenuhnya. Seluruh urat-urat tubuhnya menggeletar, suatu tanda ilmu silat andalan Aliran Beng-kauw yang disebut Chou-mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), telah siap dilontarkan pula!
(Lanjut ke Jilid 06)
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 06
Sementara itu pertempuran yang paling dahsyat dan paling brutal adalah pertempuran Lojin-Ong melawan Empat Iblis itu. Karena merasa penasaran atas sanjungan pemimpin rombongan mereka terhadap tokoh Im-yang-kauw itu, serta keinginan untuk membuktikan bahwa mereka bisa mengalahkannya, maka begitu bergebrak Empat Hantu tersebut ingin segera bisa menyelesaikan pertempuran mereka.
Seperti halnya Kongcu mereka, Enam Hantu itu juga murid dari Pendeta Agung suku bangsa Hun, Ulan Kili. Meskipun kepandaian mereka tidak setinggi Kongcu mereka itu, tapi mereka justru menjadi murid-murid utama, karena mereka telah mengikuti guru mereka sejak di Perguruan Ui-soa-pai. Terutama Hek-kui, Ui-kui dan Pek-kui. Sebelum menjadi pengawal ketiga hantu itu lebih dikenal dengan sebutan Sam Eng (Tiga Garuda) di kalangan persilatan. Demikianlah, begitu menyerang mereka berempat telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka. Jago-jago ginkang itu bergerak cepat, berkelebatan bagaikan kawanan lebah madu yang beterbangan mengelilingi bunga.
Sebentar-sebentar mereka menyerang Lojin-Ong dengan pukulan, tendangan, sabetan, maupun sapuan kaki yang mematikan. Gerakan mereka benar-benar seperti kawanan lebah yang mematuk, menggigit dan menyengat korbannya! Namun yang amat mengherankan adalah lawan mereka. Lojin-Ong yang sudah tua renta, bahkan bisa dikatakan sudah jompo dan pikun itu, ternyata mampu melayani serbuan mereka dengan gesit dan lincah. Walaupun kadang-kadang harus mundur untuk mengambil napas, tapi gerakannya masih amat cepat. Tenaga sakti yang terlontar dari telapak tangannya juga sangat menggiriskan hati lawan-lawannya. Alhasil pertempuran mereka berjalan dengan sangat cepat dan mendebarkan. Beberapa kali lengan dan tangan mereka berlaga di udara dan menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.
"Gila! Orang tua ini memang masih alot sekali kulitnya" Hek-kui mengumpat tiada hentinya.
"Yah, tapi bagaimanapun juga dia sudah tua. Tenaga dan pernapasannya tentu terbatas. Lama-lama dia akan ambruk sendiri karena kelelahan, hehehe...!" Pek-eng mengejek pula.
"Kalian benar, orang-orang muda! Sebentar lagi aku tentu akan kehabisan napas! Tapi... Lihat saja, sebelum napasku benar-benar habis... beberapa orang di an tara kalian tentu akan lebih dulu putus napasnya!"
"Kurang ajar! Orang tua tak tahu diri! Marilah kita lihat, siapa yang lebih " dulu terkapar di atas pasir ini!" Hek-kui menjerit marah.
"Wusssss...!" Hek-kui menghantam punggung Lojin-Ong dengan tenaga sepenuhnya. Tapi dengan tangkas orang tua itu meliuk ke kanan, kemudian membalikkan badan sambil balas memukul dengan tebasan tangan kiri. Terdengar suara mencicit, suatu tanda bahwa serangan tersebut didukung oleh tenaga sakti yang luar biasa kuat. Sementara itu Ui-kui, Cing-kui dan Pek-kui, tidak tinggal diam. Bersama-sama mereka menerjang dari sisi yang lain. Mereka juga menggunakan seluruh tenaga kekuatan mereka, sehingga dalam gebrakan tersebut mereka ingin menghancur-lumatkan Lojin-Ong. Apa boleh buat, Lojin-Ong tak ingin menjadi bulan-bulanan pukulan lawannya.
Ia mengurungkan tebasan tangannya yang mengarah kepada Hek-kui. Sebagai gantinya ia menjejakkan kakinya dalam jurus Burung Walet Meninggalkan Sarang. Tetapi Ui-kui dan Cing-kui, yang berada di sebelah kanan dan kiri, tidak mau memberi kesempatan keduanya juga melenting ke atas, berjumpalitan di udara dan memotong gerakan Lojin-Ong dengan jurus Membajak Sawah Menabur Benih. Serangan mereka menimbulkan suara gemuruh bagaikan benturan ombak di atas batu karang! Lojin-Ong tak ingin membentur serangan mereka. Selain tulang-tulangnya sudah terlalu rapuh, dia tak ingin terjebak dalam kesulitan pada saat menyongsong pukulan tersebut. Hek-kui dan Pek-kui tentu telah menunggu pula di atas tanah. Jalan satu-satunya hanya menghindar lagi. Tapi hal itu benar-benar sulit dilakukan dalam keadaan seperti itu!
"Tingkat kepandaian dari masing-masing orang ini hanya setingkat atau dua tingkat di bawahku. Dua orang atau tiga orang saja rasanya sudah sulit bagiku untuk menghadapinya, apalagi empat orang sekaligus. Tampaknya Giam Pit Seng juga akan mendapat kesulitan pula kali ini. Aku harus segera menolongnya keluar dari tempat ini." dalam keadaan terdesak Lojin-Ong masih memikirkan anak buahnya. Apa yang dikhawatirkan orang tua itu memang benar. Giam Pit Seng tak dapat berbuat banyak melawan Ang-kui. Iblis Merah itu memang berada jauh di atas kemampuan Giam Pit Seng. Walaupun sudah, berusaha sekuat tenaga mengerahkan Ilmu Hok-hong Siang-pitnya, tapi Giam Pit Seng masih juga di bawah angin.
Bahkan satu demi satu pitnya terlepas dari tangan akibat gempuran Ang-kui. Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan Lojin-Ong dan Giam Pit Seng berada dalam keadaan terancam jiwanya! Sementara itu di dalam lubang perlindungannya Siau In tak bisa berbuat apa-apa. Dia tahu, apabila ia keluar dari tempat itu, dia justru akan menambahi beban dan mempersulit keadaan gurunya. Dia hanya bisa menonton pertempuran berat sebelah itu dengan perasaan tegang dan khawatir. Apalagi ketika ia melihat Ci-kui (Si Iblis Ungu) bebar-benar membantai Lim Kok Liang, Tong Taisu dan pengawal Gui Ciangkun. Bahkan Iblis kejam itu juga membunuh Gui Ciangkun yang terluka, serta pemuda-pemuda pemenang sayembara yang pingsan tadi. Sekarang rombongan pemenang sayembara dan para perwira kerajaan itu benar-benar tertumpas tanpa sisa.
"Hong-jin... tinggalkan tempat ini!" tiba-tiba terdengar Lojin-Ong berteriak ke arah Put-pai-siu Hong-jin. Sekejap kemudian terdengar suara berdentang keras sekali, diikuti oleh berkelebatnya tubuh Lojin-Ong ke arah Giam Pit Seng!
"Dhieeeees!" Tubuh orang tua itu seolah-olah membentur Ang-kui, yang sudah siap melepaskan pukulan terakhirnya kepada Giam Pit Seng! Ang-kui terpental, sementara Lojin-Ong juga terjatuh di samping Giam Pit Seng.
"Pit Seng! Ayoh, kita pergi dulu mencari bantuan! Kita tak bisa menyelamatkan mereka!" Lojin-Ong berteriak. Giam Pit Seng menyambar lengan Lojin-Ong, lalu bergegas bersama-sama melesat pergi dari tempat itu.
"Bagaimana dengan Put-pai-siu Hong-jin?"
"Jangan takut! Orang gila itu banyak akalnya!" Lojin-Ong menjawab sambil berkelebat menerobos semak belukar yang gelap. Hek-kui, Pek-kui, Cing-kui dan Ui-kui, yang tadi mengeroyok Lojin-Ong datang menolong Ang-kui. Ci-kui yang juga sudah menyelesaikan tugasnya, bergegas menghampiri pula. Mereka melihat keadaan Ang-kui.
"Aku tidak apa-apa. Aku terpental karena kalah tenaga. Orang tua itu benar-benar kuat sekali!"
"Dia memang kuat dan cerdik luar biasa! Dalam keadaan terjepit dia bisa mengecoh kami berempat dan meloloskan diri! Lihat potongan tongkatnya ini! Dia mengorbankan tongkatnya untuk menahan serangan kami...!" Hek-kui menggeram marah.
"Ayoh kita kejar mereka!" Ui-kui berseru.
"Tidak perlu!" tiba-tiba pemimpin mereka yang sedang bertempur dengan Put-pai-siu Hong-jin itu berteriak.
"Siapkan saja perahu kita! Kita segera berangkat setelah monyet tua ini mati"
"Mati...? Oh, enaknya! Sudah sepuluh tahun ini aku ingin mati, tapi tak seorangpun bisa membunuh aku, he-he-he! Apalagi hanya bocah ingusan seperti kau! HO-ho-ho-ho!"
Enam Hantu itu memandang ke arah pertempuran dan mereka segera terbelak kaget. Dua orang yang sedang berlaga itu mengadu kesaktian sambil berbicara, seakan-akan mereka tidak bersungguh-sungguh. Padahal Enam Hantu itu melihat bagaimana seru dan hebatnya pertempuran mereka. Kongcu mereka yang berilmu sangat tinggi itu sudah menggunakan ilmu silat Ui-soa-pai tingkat tertinggi, campuran ilmu silat dan ilmu sihir! Ginkang yang digunakan juga ginkang tingkat terakhir dari Ui-soa-pai, yang disebut Hui-eng-cu-in (Bayangan Terbang di Atas Awan)! Mereka berenam tidak bisa mengikuti gerakan Kongcu mereka lagi, padahal mereka berenam juga mempelajari ilmu tersebut! Meskipun demikian ketika Enam Hantu itu memperhatikan Put-pai-siu Hong-jin, wajah mereka semua menjadi pucat pasi!
Si Gila dari aliran Beng-kauw itu bersilat dengan gerakan-gerakan yang aneh dan mengerikan. Selain sikap dan bentuk gerakannya kelihatan kacau dan tidak beraturan, tenaga sakti yang mendukung gerakan tersebut juga tampak aneh dan tidak terkendali. Sepintas lalu seperti ada kekuatan lain yang menggerakkan kaki dan tangan itu selain Put-pai-siu Hong-jin. Kadang-kadang kuat luar biasa, sehingga Kongcu mereka seperti tak tahan menghadapinya. Tapi juga sering tampak lemah atau biasa-biasa saja, sehingga dengan mudah Kongcu mereka mengatasinya. Jika tokoh seperti Enam Hantu itu saja merasa takjub, apalagi Tio Siau In! Pertempuran itu berlangsung tidak jauh dari tempat persembunyiannya. Meskipun demikian gadis itu tak mampu membedakan, yang mana Put-pai-siu Hong-jin dan yang mana pula pemimpin rombongan suku Hun itu.
Mereka bertempur dengan cepat sekali, seperti bayangan yang saling membelit, melesat dan berkelebatan kesana-kemari. Bahkan menurut penglihatan Siau In, bayangan itu semakin lama menjadi semakin banyak. Rasa-rasanya tidak hanya dua orang yang bertempur, tapi lebih dari lima orang! Memang benar apa yang disaksikan oleh Tio Siau In. Saat itu pemimpin rombongan dari suku Hun tersebut telah mengeluarkan Pat-sian ih-hoat (Delapan Baju Dewa), sebuah ilmu silat andalan Ui-soa-pai yang telah dicampur dengan ilmu sihir! Pemimpin rombongan suku Hun itu seolah-olah telah memecah diri menjadi enam orang, yang masing-masing. dapat bergerak sendiri untuk menyerang Put-pai-siu Hong-jin! Akibatnya si Gila dari Aliran Beng-kauw itu seperti dikeroyok enam orang sekaligus! Tapi hanya beberapa saat Put-pai-siu Hong-jin terpengaruh dan terkecoh oleh ilmu sihir yang mengerikan itu.
Justru menghadapi manusia sinting, yang jarang berpikir dengan otaknya seperti Put-pai-siu Hong-jin itu, segala ilmu sihir menjadi mentah dan mati kutu! Melihat lawannya berubah menjadi banyak dan sangat membingungkan matanya, Put-pai-siu lantas berkelahi dengan mata terpejam. Karena si Gila ini memang tak pernah peduli akan kematian, maka enak saja ia berbuat seperti itu. Ia hanya mengandalkan perasaan, pendengaran dan penciumannya saja untuk bertempur. Maka akibatnya bisa diduga, segala macam bentuk yang aneh-aneh dari lawannya, sama sekali tak mempengaruhi pikiran Put-pai-siu Hong-jin! Apalagi si Gila dari Aliran Beng-kauw itu kini mengeluarkan ilmu baru, hasil ciptaannya sendiri, yang ia beri nama Tiga Langkah Bulu Angsa! Ilmu silat inilah yang dilihat oleh Enam Hantu itu. Sebuah ilmu silat yang seolah-olah tidak dilakukan atau digerakkan sendiri oleh pelakunya.
"Monyet Tua! Ayoh, kita berkelahi! Jangan hanya menghindar kesana-kemari!" pemimpin rombongan suku Hun itu menjerit marah. Tangannya menghantam ke depan, ke arah pinggang Put-pai-siu Hong-jin yang sedang melayang turun ke tanah. Tapi sebelum pukulan itu menyentuh sasaran, tubuh Put-pai-siu Hong-jin telah lebih dulu melayang pergi, bagaikan selembar bulu angsa yang tertiup angin!
"Hohoho-haha... ada hitam ada putih Ada perempuan... ada lelaki! Ada lobang... ada semut! Hohahohaaaa! Anak muda, kau tahu arti perkataanku?" mulut Put-pai-siu Hong-Jin mengoceh.
"Artinya... segala sesuatu yang tercipta di dunia ini tentu ada imbangannya. Contohnya...? Ilmu silatmu tadi sangat aneh dan menakutkan. Aku percaya, kau tentu bisa menciptakan bentuk yang aneh-aneh dengan ilmumu itu. Hehehe... tapi kalau lawanmu itu buta atau... Memejamkan matanya, oh-ho-ho... apakah dia masih juga bisa melihat? Huuuaaah-hahahaha! Konyol! Konyol! Sungguh sebuah ilmu yang konyol!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Monyet tua!" pemimpin rombongan dari suku Hun itu berteriak.
"Hei! Hei! Nanti dulu...!" Mendadak Put-pai-siu Hong-jin mengangkat tangannya.
"Tampaknya kau benar-benar ingin mengadu nyawa! Ho-ho-ho, kalau begitu... sebutkan dulu namamu Jadi, hehehe... aku bisa menyebutkan namamu kalau suteku nanti bertanya kepadaku."
"Maksudmu...?"
"Sebutkan dulu namamu! Apakah kau anak kura-kura yang takut namamu diketahui orang?"
"Bangsat! Putera Raja Mo Tan tidak mengenal takut! Namaku Mo Hou! Sudah kau dengar, hei?"
"Kongcu...????" Enam Hantu itu berdesah kaget...
"Hohoho... jadi kau ini putera Raja suku bangsa biadab Hun itu? Hahaha, ketahuilah...! Ayahmu itu sudah beberapa kali bertemu denganku dan dia... takut sekali kepadaku! Hohohahaaaaaa! Pada pertemuan yang terakhir... Ho-hoha-ha... ayah mu telah kukencingi punggungnya! Hoha-haaaha!!!." Put-pai-siu Hong-jin menutup ucapannya dengan tertawa terbahak-bahak. Saking marahnya Mo Hou justru tak bisa mengucap apa-apa. Kabut kebiruan kembali menyelimuti tubuhnya. Hanya ini lebih pekat, sehingga tubuh itu cuma kelihatan samar-samar dalam kegelapan malam.
"Wuuuuuus!" Mo Hou menerjang Put-pai-siu Hong-jin, Gerakannya cepat bukan main! Dari dalam lobang persembunyiannya Tio Siau In hanya melihat segumpal asap pekat, berwarna kebiruan, melesat ke arah Put-pai-siu Hong-jin! Dan dari gumpalan asap itu berkelebat pula cahaya berwarna kekuningan! Tampaknya kali ini Put-pai-siu Hong-jin ingin menjajal kekuatan lawannya. Dia juga mengerahkan segala kekuatannya dan menyongsong gempuran Mo Hou.
"Plak! Plaaak! Siiiiiing...! Dhieeeeeees!" Dua bayangan tampak berlaga di udara, lalu masing-masing terpental ke belakang! Bluuk! Mou Hou jatuh terlentang di atas pasir! Tangannya yang memegang kipas berwarna kuning keemasan itu menggeletar menahan sakit! Dah dari mulutnya mengalir darah segar! Sebaliknya, PUt-pai-siu Hong-jin yang membelakangi laut, terlempar ke udara dan jatuh ke dalam gelombang air yang kebetulan menerjang pantai! Sebentar saja tubuhnya hilang dibawa ombak!
"Kongcu...!" Enam Hantu itu bergegas menghampiri Mo Hou.
"Cepat bawa aku pergi dari tempat ini! Aku terluka dalam!" Keenam Hantu itu tak banyak bicara pula. Cepat-cepat mereka menggotong tubuh Mo Hou ke dalam perahu dan bergegas meninggalkan pantai itu. Sementara itu Tio Siau In masih tetap berada di lobang persembunyiannya. Meskipun perahu orang Hun itu sudah pergi, ia tetap belum keluar. Ia masih merasa khawatir kalau-kalau orang Hun itu kembali lagi. Baru setelah beberapa waktu kemudian suasana tetap lengang dan sepi, Siau In merangkak keluar dari lubang batu karang itu. Kemudian gadis itu menarik keluar pemuda yang ditolongnya tadi dan membawanya ke tempat kering. Sekilas tampak tato gambar di dada pemuda itu.
"Oh, ya... akan kulihat! Apakah para pemenang sayembara yang lain itu juga memiliki tato naga?" Siau In berkata di dalam hatinya. Siau In lalu menghampiri mayat-mayat yang bergelimpangan di pasir. Setiap menjumpai mayat para pemenang sayembara, gadis itu memeriksanya dengan teliti.
"Hah... benar! Pemuda ini juga memiliki gambar naga di punggungnya! gadis itu berdesah lirih ketika membalikkan sebuah mayat yang mati terlentang.
"Ini juga...! Ah, itu juga!" desisnya kemudian berkali-kali ketika meneliti mayat-mayat yang lainnya. Ternyata persis dengan yang telah diduga Tio Siau In, semua pemuda yang memenangkan "Perlombaan Mengangkat Arca" itu mempunyai gambar tato naga di tubuh mereka. Hanya bentuk gambar dan tempatnya saja yang berbeda-beda. Ada yang di lengan, dada, perut, pinggang atau punggung. Sementara bentuk gambarnya ada yang lengkap, ada yang tidak. Ada yang hanya kepala naga saja, tapi ada juga yang dilukis penuh dari kepala sampai ekor. Bahkan ada yang tidak cuma satu ekor saja, tapi dua ekor naga sekaligus.
"Tidak mungkin kalau hal ini hanya satu kebetulan saja. Tampaknya pihak Istana secara rahasia memang bermaksud mengumpulkan para pemuda bertato naga di seluruh negeri dengan dalih "Perlombaan Mengangkat Arca". Sebaliknya Raja suku bangsa Hun tampaknya juga ikut ambil bagian pula di dalam urusan ini. Namun dengan tujuan yang berbeda, yaitu membasmi pemuda-pemuda bertato naga itu. Sementara itu di pihak yang lain lagi, Aliran Im-yang-kauw juga memerintahkan seluruh cabang-cabangnya untuk mencari pemuda bertato naga itu pula. Aaah, kalau memang demikian halnya, pemuda itu tentu merupakan seorang yang hebat sekali. Siapakah dia sebenarnya...?" sambil mengawasi mayat-mayat yang berserakan itu Siau In mencoba menduga-duga dan merangkai semua yang telah diketahuinya.
"Ooouugh..." Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh suara erang kesakitan.
Sesosok mayat yang ada di dekatnya sekonyong-konyong menggerakkan kaki dan tangannya. Malahan beberapa saat kemudian mayat itu bangkit dengan perlahan-lahan. Dengan agak takut-takut Tio Siau In mendekati. Dengan seksama ditatapnya mayat yang kini telah duduk bersimpuh itu lekat-lekat. Dan akhirnya Siau In mengenali orang itu sebagai pembantu dari Lim Kok Liang, pemimpin pengawal rombongan pemenang, perlombaan tersebut. Lelaki itu tidak lain adalah Su Hiat Hong, tahu bahwa dia terluka dalam. Maka pertama-tama yang dia lakukan adalah duduk bersila dan mengerahkan tenaga sakti untuk mengobati luka-lukanya itu. Dan usaha itu dilakukannya berulang-ulang. Setelah rasa sakit itu hilang dan aliran darahnya menjadi normal kembali, Su Hiat Hong membuka matanya. Dan ia benar-benar kaget sekali melihat Siau In di depannya.
"Nona... Nona siapa?" ujarnya dengan suara cemas. Siau In mencoba tersenyum.
"Tuan tidak usah khawatir. Saya kebetulan lewat di tempat ini dan melihat keributan yang baru saja berlalu. Tapi maaf, saya sama sekali tak berani keluar untuk membantu. Saya sadar bahwa saya tak mungkin bisa melawan mereka. Ah, apakah Tuan sudah merasa baik kembali?"
"Oooli...!" Su Hiat Hong bernapas lega.
"Terima kasih. Kulitku memang tidak terluka, tapi bagian dalam dari tubuhku rasanya hancur, semua. Aku harus lekas-lekas mencari tabib yang pandai untuk menyembuhkannya. Nona, maukah kau menolong aku?"
"Salah seorang dari rombongan Tuan juga masih hidup walaupun terluka parah pula. Tapi... Mana ada tabib pandai di sekitar tempat ini?"
"Ohh, benarkah ada temanku yang lain yang masih selamat?" Su Hiat Hong berdesah gembira.
"Ya! Pemuda itu saya tinggalkan di dekat batu karang itu."
"Ooo...!" Su Hiat Hong berdesah kembali, tapi sekarang dengan suara sedikit kecewa. Sebenarnya ia berharap yang selamat itu adalah Lim Kok Liang, sahabatnya, tapi ternyata bukan. Namun demikian petugas dari Istana kerajaan itu cepat berkata lagi.
"Bagaimana, Nona? Apakah kau mau menolong kami? Dua lie dari tempat ini tinggal seorang tabib yang sedang mengasingkan diri." Siau In tidak segera menjawab. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat kembali ke kota untuk menemui kakak dan suhengnya. Tapi orang-orang ini amat butuh bantuannya pula.
"Baiklah...!" akhirnya ia menyanggupi.
"Tapi bagaimana cara kita pergi ke tabib itu? Bukankah Tuan belum dapat berjalan? Lalu... bagaimana pula dengan mayat-mayat ini?" Wajah yang pucat itu tampak lega.
"Nona tidak usah khawatir. Aku mempunyai sampan kecil, yang kusembunyikan di celah-celah batu karang besar itu!" katanya sambil menunjuk ke arah yang ia maksudkan.
"Dan... tentang mayat-mayat ini, Nona juga tidak perlu khawatir. Pagi nanti, sepasukan prajurit kerajaan akan meronda ke mari."
"Ooh...!" Siau In mengangguk lega pula. Tapi tiba-tiba keningnya berkerut.
"Tapi kalau kita bersampan... bisa bertemu dengan orang-orang Hun itu!"
"Jangan khawatir, Nona. Lapat-lapat kudengar mereka tadi menuju ke utara, sedang tujuan kita adalah ke selatan." dengan cepat Su Hiat Hong memberi keterangan.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengambil sampannya..."
"Terima kasih, Nona. Terima kasih..." akan tetapi sebelum berangkat mengambil sampan Tio Siau In menengok pemuda yang ditolongnya tadi lebih dahulu. Dilihatnya pemuda itu telah sadar pula, meskipun keadaannya tampak lebih parah dari pada Su Hiat Hong. Namun kelihatannya pemuda itu memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Pemuda itu tidak terkejut melihat dirinya. Pemuda itu justru tersenyum, walaupun senyumnya lebih menyerupai seringai kesakitan daripada senyum kegembiraan.
"Siapa namamu...?" Tio Siau-In perlahan.
"A Liong..." pemuda itu menjawab singkat.
"Kau mau kubawa ke tabib?" Lagi-lagi pemuda itu tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Wajahnya yang pucat pasi itu tampak pasrah.
"Kalau begitu tunggulah di sini sebentar. Aku akan mengambil sampan untuk membawamu pergi. Nah... Kuatkanlah hatimu!" Tio Siau In menepuk lengan A Liong, kemudian berlalu. Dengan mengikuti arah yang telah ditunjukkan oleh Su Hiat Hong, Siau ln mencoba mencari sampan tersebut... Ternyata tidak sulit untuk mendapatkannya. Sampan itu hanya tersuruk di antara celah-celah batu karang yang banyak bertonjolan di tepi pantai. Lengkap dengan dua batang kayu pendayungnya. Su Hiat Hong semakin kelihatan bersemangat melihat kedatangan Tio Siau In bersama sampannya. Dengan agak tertatih-tatih ia melangkah ke dalam sampan, sementara Tio Siau ln membantu A Liong yang tidak bisa berjalan sendiri. Pemuda tanggung itu terpaksa berpegangan pada lengan Siau In. Dan gadis cantik itu sama sekali tidak merasa risih.
Malam semakin larut, bahkan embun pagi sudah mulai turun pula ke bumi. Semakin lama embun itu semakin tebal sehingga dari jauh seperti awan tipis yang turun perlahan-lahan menyelimuti bumi. Dengan susah payah Tio Siau In mendayung sampan itu menyusuri pantai. Dan dua lie kemudian ia sampai ke sebuah ceruk atau teluk kecil yang dikelilingi tebing pantai yang menjulang tinggi ke atas, sehingga ceruk yang mempunyai dataran sempit itu seolah-olah merupakan dasar jurang yang terbuka ke arah laut. Tio Siau In melihat sinar lampu minyak berkedip-kedip di tengah-tengah dataran sempit tersebut. Dan ketika sampan itu datang semakin dekat, Tio Siau In melihat sebuah rumah kecil di antara rimbunnya pepohonan. Ternyata cahaya lampu yang dilihatnya itu keluar dari salah sebuah jendelanya yang terbuka.
"Kita telah sampai ke rumahnya, Nona. Marilah kita ke pinggir." Su Hiat Hong berkata lega, Tio Siau ln mendayung sampan itu ke pinggir. Diam-diam perasaannya merinding juga. Rumah di tempat yang sangat terasing itu kelihatan menyeramkan di malam hari.
"Siapakah tabib itu sebenarnya...? Mengapa ia memilih tempat yang sepi seperti ini?" tanyanya lirih kepada Su Hiat Hong. Petugas kerajaan itu menghela napas, panjang. Raut mukanya yang pucat itu tampak suram, sementara matanya berkaca-kaca mengawasi rumah kecil di tempat terasing itu.
"Dia sebenarnya seorang bekas prajurit kerajaan pula. Bahkan antara dia dan aku bersahabat erat sekali, meskipun tugas kami berbeda. Pertama kali kami bertemu, dia bertugas di bagian kesehatan dan perawatan prajurit yang terluka, sedangkan aku bertugas di bawah bendera pasukan berkuda. Karena luka-lukaku yang parah aku pernah dirawat oleh dia. Tapi aku juga pernah menyelamatkan dia ketika markas kami diserang musuh." Mata Su Hiat Hong menerawang jauh, teringat akan pengalamannya di masa lalu. Tapi mata itu segera berkaca-kaca ketika bayangan seorang sahabatnya yang lain, yaitu Lim Kok Liang, ikut berkelebat di depan matanya.
"Alangkah malangnya dia. Seorang perwira yang telah banyak berjasa kepada negara, tapi pada saat kematiannya tak seorangpun yang merawat jenazahnya." keluhnya dalam hati, menyesali kematian Lim Kok Liang.
"Lalu... Kenapa dia sekarang tinggal di tempat seperti ini, Paman?" Siau In yang merasa kasihan kepada Su Hiat Hong itu kini menyebutnya Paman. Su Hiat Hong seperti disentakkan dari lamunannya yang hanya sesaat itu.
"Aaaah... ya, dia... dia akhirnya dipindahkan ke Istana. Sementara aku juga dipindahkan ke Pasukan Rahasia. Karena kepandaiannya mengobati orang, sahabatku itu lalu diambil oleh mendiang Pangeran Liu yang kun ke Istana pribadinya. Dia diangkat sebagai perwira dan ditunjuk sebagai tabib pribadi dalam keluarga Pangeran Mahkota itu. Tapi..."
"Tapi... bagaimana, Paman?" kejar Tio Siau In.
"Yah... ternyata keberuntungannya itu tak berlangsung lama. Seperti yang mungkin telah kau dengar pula, Pangeran Liu yang kun itu mendadak hilang setelah upacara pemakaman Kaisar Liu selesai. Bahkan tidak cuma itu. Ternyata keluarga Pangeran Liu yang kun dan Istana pribadi beliau, beberapa hari kemudian juga ikut musnah pula dimakan api. Sahabatku yang sudah terlanjur mengasihi keluarga itu menjadi sedih dan kehilangan gairah hidup. Dia yang memang tidak mempunyai keluarga lagi lalu pergi menyepikan diri ke tempat sunyi ini. Hanya aku yang diberi tahu kepergiannya. Dan secara diam-diam aku pernah mengunjunginya di tempat ini. Tapi itu telah bertahun-tahun yang lalu. Entahlah, sekarang aku tak tahu bagaimana keadaannya..." Su Hiat Hong dengan nada sedih mengakhiri ceritanya.
Tio Siau In tidak bertanya lagi. Sambil mengayuh dayungnya gadis itu juga sedang terbuai oleh lamunannya. Entah mengapa cerita Su Hiat Hong itu tiba-tiba juga mengingatkan keadaannya sendiri. Gadis itu teringat kepada kakaknya, Tio Ciu In. Kakaknya itu tentu sedang kebingungan mencari dirinya.
"Aku tidak memiliki sanak saudara lagi selain Cici Cui ln. Saat ini dia tentu sangat sedih dan menangisi kepergianku. Aaaah... aku harus cepat-cepat kembali selesai mengantar orang-orang ini." katanya di dalam hati.
* * *
Seperti ada seutas benang yang menghubungkan dua pikiran mereka, ternyata pada saat yang sama di kota Hang-ciu Tio Ciu In juga sedang memikirkan Siau ln pula. Semalam Ciu In bersama-sama dengan Liu Wan telah berhasil memporak-porandakan upacara yang diadakan oleh para pendeta Pek-hok-bio. Namun Ciu In menjadi kecewa dan cemas karena gadis yang mereka bebaskan dari upacara korban itu ternyata bukan Siau In. Untunglah Liu Wan pandai menghiburnya. Pemuda itu mengajaknya ke kota untuk beristirahat dulu. Mereka menyewa kamar sendiri-sendiri di sebuah penginapan.
Dan Liu Wan yang kelelahan sehabis bertempur dengan musuh-musuhnya itu segera tertidur di kamarnya, sementara Ciu In sendiri tidak bisa memicingkan matanya. Gadis itu melamun di atas pembaringannya. Tengah malam tadi ketika di tepi pantai Siau In menyaksikan pertempuran antara rombongan petugas kerajaan dan orang-orang Hun, maka di Kuil Pek-hok-bio Ciu In justru sedang bertempur melawan para pendeta Pek-hok-bio pula dengan sengitnya. Seperti yang telah direncanakan, Liu Wan mengajak Tio Ciu ln ke Pek-hok-bio menjelang tengah malam. Karena sore harinya mereka telah didatangi anak buah Pek-hok-bio, maka Liu Wan tidak berani sembarangan memasuki sarang macan itu. Pemuda itu yakin bahwa kuil Pek-hok-bio tentu telah dijaga dengan ketatnya. Pagar, halaman, atap-atap bangunan, pepohonan, tentu tidak luput dari pengawasan mereka.
"Kita harus mencari jalan yang baik supaya mereka tidak tahu kalau kita telah menyusup ke dalam sarang mereka. Tapi... bagaimana caranya?" sebelum sampai di tempat tujuan Liu Wan menjadi bingung.
"Kita lewat melalui pagar belakang?" Ciu In mengusulkan.
"Wah... tidak mungkin. Segala tempat tentu telah dijaga. Kita tidak mungkin menerobosnya tanpa ketahuan."
"Mengapa tidak kita dobrak saja sekalian pintu halamannya?" Ciu In yang sangat mengkhawatirkan keselamatan adiknya itu menjadi tidak sabar.
"Wah, itu lebih konyol lagi. upacara korban yang akan mereka laksanakan tentu menjadi batal dan mereka tentu akan menyembunyikan gadis korbannya. Kita akan sulit mencarinya nanti."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Tio Ciu In menjadi gelisah dan hampir menangis. Liu Wan tersenyum. Dengan sabar dan penuh perhatian pemuda itu membesarkan hati Ciu In.
"Jangan cemas. Aku telah mendapatkan akal yang bagus." katanya halus. Tio Ciu In mengerling dengan bibir cemberut.
"Twako memang suka menggoda aku. Kalau memang sudah tahu jalannya, mengapa tidak dikatakan sejak tadi?" sergahnya dengan kesal.
"Eeee, jangan keburu marah dulu Nona Cantik! Aku tidak bermaksud menggoda. Aku hanya ingin mengetahui pendapat mu. Yah, siapa tahu...!" Tiba-tiba pandangan mata Liu Wan meredup sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebagai gadis yang telah menginjak dewasa, Ciu In tahu arti pandangan pemuda itu. Pandangan kagum seorang lelaki terhadap wanita.
"Jangan memandangku seperti itu, Twako. Ngeri aku melihatnya." Gadis itu berdesah lirih sambil menundukkan mukanya.
"Amboi...! Sungguh beruntung sekali suhengmu itu, bisa mendapatkan bidadari sedemikian cantiknya. Aku benar-benar iri kepadanya. Bertahun-tahun aku berkeliling ke seluruh pelosok negeri, naik gunung turun gunung, keluar masuk dusun dan kota, namun belum pernah juga bertemu bidadari. Tak tahunya bidadari itu sudah ada yang punya. Maaf, Ciu-moi... Maafkan aku."
"Ngaco! Siapa bilang aku sudah ada yang punya? Aku dengan suheng..." tiba-tiba Ciu In menutup mulutnya. Kulit mukanya yang putih mulus itu mendadak berubah menjadi merah padam.
"Kau... Kau memang suka menggoda aku!" akhirnya ia bersungut-sungut kesal sambil membuang mukanya.
"Ciu-moi..."
"Sudah! Aku tak mau bicara lagi denganmu! Twako jahat!" Selesai bicara Tio Ciu In berlari meninggalkan Liu Wan.
"Eeee... Ciu-moi! Ciu-moi! Tunggu...!" Liu Wan berseru memanggil. Tapi Ciu In tak ambil peduli lagi. Gadis cantik itu tetap berlari terus, sehingga Liu Wan menjadi khawatir juga akhirnya. Pemuda itu cepat mengejar.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tunggu Ciu-moi! Apakah kau tidak jadi menolong Adikmu?" pemuda itu berseru.
"Biar, aku akan menolongnya sendiri." Ciu In menjawab ketus, tanpa mengendorkan langkahnya.
"Bagaimana engkau akan menolong adikmu? Akan menerobos penjagaan mereka? Atau kau akan nekad mendobraknya dari pintu depan? Ingat, Ciu-moi! Jangan gegabah! Sekali kau gagal, kau takkan dapat menemukan adikmu lagi!" Liu Wan memperingatkan. Sejenak Ciu In masih tetap berlari. Namun sesaat kemudian gadis itu sekonyong-konyong berhenti. Sambil menutupi mukanya gadis itu tersedu-sedu. Tampaknya ucapan Liu Wan tadi amat mengena di hatinya. Dengan hati-hati Liu Wan mendekati. Disentuhnya pundak Ciu In dengan halus, tapi gadis itu cepat menghindarinya. Tapi Liu Wan tidak berputus asa. Sekali lagi diraihnya pundak Ciu In sambil tak lupa mulutnya menghibur. Dan kali ini gadis itu tidak mengelak lagi.
"Maafkanlah aku kalau aku kesalahan omong, Ciu-moi. Aku tak bermaksud menggoda atau mengganggumu. Aku hanya mengatakan apa yang ada, yang tadi kebetulan terlintas di dalam hatiku. Aku bukan seorang munafik. Bukankah aku sudah pernah mengatakan bahwa aku seorang yang sangat menyenangi keindahan? Dan aku memang tidak bohong atau berpura-pura ketika mengatakan kau sangat cantik bagai bidadari. Engkau memang benar-benar seperti bunga pek-lian (teratai putih) yang mekar segar di pagi hari. Indah, anggun dan mengandung perbawa yang memukau. Nah, Ciu-moi... tidak sadarkah kau akan karunia Thian yang diberikan kepadamu itu? Bukankah setiap hari kau juga melihatnya sendiri di dalam kaca?" dengan panjang lebar pemuda yang mahir menyusun sajak itu menghibur Ciu In.
Gadis mana yang tak suka disanjung dan dipuja di dunia ini? Akhirnya luluh juga hati Tio Ciu In. Bahkan diam-diam gadis itu merasa bangga juga hatinya.
"Aku tahu, Twako. Tapi kau tak perlu mengatakan semuanya itu kepadaku. Aku malu. Apalagi kau lalu menghubung-hubungkannya dengan suhengku. Aku sama sekali tak mempunyai hubungan apa-apa dengan Sin Lun suheng selain hubungan sebagai saudara seperguruan."
"Baiklah... baiklah, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya kepadamu. Aku berjanji takkan mengulanginya lagi. Nah, kau puas Nona Cantik?"
"Itu... Kau sudah mulai lagi!" Geram Ciu In dengan suara tinggi. Liu Wan terbelalak kaget seperti orang yang terlanjur makan sayur kepanasan.
"Ah, benar... benar. Mulutku ini memang keterlaluan!" serunya kemudian sambil menampari sendiri mulutnya yang usil itu. Suaranya plak-plok menggelikan.
"Sudah... sudah kau hentikan tanganmu itu! kau memang lelaki konyol dan menggemaskan!" akhirnya tak tahan juga Ciu In melihatnya.
"Sekarang lebih baik kau jelaskan saja rencanamu untuk memasuki Kuil Pek-hok-bio itu!" Liu Wan mematuhi perintah Tio Ciu In. Telapak tangannya yang semula menampari pipi dan mulutnya sendiri itu kini ganti mengelus-elusnya. Ternyata pipi itu telah berubah menjadi merah juga. Sambil tersenyum malu pemuda itu memandang Ciu In. Mereka berada di jalan setapak di mana keduanya mulai berjumpa kemarin. Bahkan tempat di mana mereka sekarang berdiri adalah di bawah pohon di mana Ciu In kemarin menangis.
"Hei, jangan bengong saja! Lekas katakan, bagaimana rencanamu?" Ciu In menghardik, sehingga Liu Wan tersentak kaget untuk yang kedua kalinya. Pemuda itu benar-benar sedang kesengsem melihat kecantikan Ciu In.
"Gila...!" pemuda itu mengumpat di dalam hati.
"Mengapa aku begini pusing melihat kecantikannya? Bukankah aku baru kenal kemarin siang? Bukan main! Gadis ini sungguh memiliki daya tarik yang luar biasa. Aku toh sebenarnya bukan anak dusun yang masih ingusan, yang terkagum-kagum melihat kecantikan gadis kota. Aku sudah terbiasa dikelilingi gadis-gadis cantik. Bahkan kalau mau aku bisa mengambil sebanyak aku suka. Tapi sekali ini benar-benar lain. sungguh luar biasa."
"Hei...? kau ini bagaimana, sih?" Sekali lagi Ciu In membentak dengan suara yang sangat mendongkol.
"Eh, anu... ya-ya, aku akan menyamar seperti... seperti bidadari! Lhoh!" Liu Wan yang masih kehilangan semangat itu menjadi gugup sehingga ucapannya jungkir-balik tidak keruan. Dan pemuda itu menjadi kaget sendiri setelah menyadarinya. Tio Ciu In tak bisa menahan senyumnya. Bahkan gadis molek itu akhirnya tak kuasa menahan ketawanya. Liu Wan memang benar-benar seperti pemuda dusun yang baru pertama kalinya melihat kecantikan gadis kota. Akhirnya sadar juga pemuda itu dari belenggu keindahan yang memukaunya.
"Maaf, Ciu-moi. Aku mempunyai rencana untuk menyusup ke dalam upacara keagamaan mereka dengan menyamar. Kita berdua berdandan sebagai salah seorang dari penganut aliran mereka."
"Apakah mereka tidak akan mengenal kita? Dalam upacara penting seperti ini tentu hanya anggota-anggota yang telah dikenal saja yang boleh hadir." Ciu In menanggapi. Liu Wan tersenyum dan pemuda itu memang ganteng sekali kalau tersenyum.
"Tentu saja, Ciu-moi. Kitapun harus memilih pula dalam menyamar," katanya dengan nada yakin.
"Bagaimana caranya?" Sekali lagi Liu Wan tersenyum.
"Maaf, Ciu-moi. Sebenarnya aku sudah mempersiapkan rencana itu jauh sebelumnya. Aku sudah menyelidiki siapa-siapa saja penduduk kota ini yang menjadi pengikut aliran Pek-hok-bio. Nah, untuk melaksanakan rencana kita ini aku telah menyuruh Lo Kang dan Lo Hai ke kota sore tadi. Sekarang kita tinggal menantikan khabar dari mereka. Marilah kita ke jalan raya menunggu kedatangan mereka!" Tio Ciu In merengut karena merasa dibohongi
"Huh, kau tadi mengatakan bahwa belum mempunyai rencana apa-apa. Ternyata. kau sudah mempersiapkannya jauh-jauh sebelumnya. Huh, mengapa tak kau katakan sejak tadi?" sungut gadis itu jengkel.
"Eeee... jangan marah dulu! Aku tidak bermaksud mempermainkanmu." Liu Wan buru-buru memberi keterangan.
"Aku hanya ingin mengetahui pendapatmu. Siapa tahu kau memiliki rencana yang lebih bagus daripada rencanaku? Kalau aku buru-buru mengatakan rencanaku, kau tentu tak mau mengatakan pendapatmu. kau tentu akan mengikut saja apa perkataanku. Benar tidak?" Tio Ciu In. mengerlingkan matanya dengan gemas. Pemuda di hadapannya itu memang pintar berbicara dan mengambil hati wanita.
"Baiklah... baiklah, Tuan Muda. kau memang baik. Baik sekali. Nah, kalau begitu mau tunggu apalagi? Ayoh, kita pergi...!" katanya gemas. Mereka lalu berjalan berendeng di jalan setapak yang cukup gelap itu. Sinar rembulan terhalang oleh rimbunnya dedaunan yang memayungi jalan tersebut, membuat bayangan-bayangan hitam di permukaan tanah. Namun demikian kedua jago silat itu tidak menjadi takut atau merasa kesulitan karenanya. Dari jauh terdengar lonceng dua belas kali. Mereka telah sampai di jalan raya yang menuju ke kuil Pek-hok-bio. Di tempat yang cukup terlindung mereka berhenti.
"Kita tunggu saja di tempat ini. Mudah-mudahan Lo Kang dan Lo Hai berhasil." Liu Wan berbisik di telinga Ciu In, tapi buru-buru menjauhkah diri lagi" ketika hidungnya tiba-tiba membaui bau harum rambut gadis itu.
"Kau suruh apa sebenarnya kedua pembantumu itu, Twako?" Ciu In yang tidak menyadari kalau dirinya baru saja membuat Liu Wan kembali kesengsem kepadanya itu berbisik perlahan pula di dekat telinga Liu Wan.
"Aku... aku suruh mereka mencegat kereta Cia-Wangwe yang tentu diundang pula dalam upacara korban ini. Cia-Wangwe adalah salah-seorang penganut Pek-hok-bio yang dihormati. Kalau Lo Kang dan Lo Hai nanti berhasil, kita berdua akan menyamar sebagai Cia-Wangwe suami-isteri. Wajahmu akan kuperjelek sedikit agar seperti wajah bini muda Cia-Wangwe." Liu Wan menerangkan dengan suara sedikit gemetar.
"Eh, mengapa justru diperjelek? Masakan seorang hartawan kaya-raya seperti Cia-Wangwe mencari isteri muda yang wajahnya jelek?" Ciu In bertanya bingung. Liu Wan tersenyum kecut.
"Yaaah, kata orang istri muda Cia-Wangwe itu memang cantik, karena dia adalah penari termashur di kota Hang-ciu ini. Tapi... Kalau dibandingkan dengan wajahmu, yaaa... Ketinggalan, jauh!" katanya kemudian dengan suara agak takut-takut. Hampir saja Tio Ciu In merasa hendak dipermainkan lagi. Tapi. kemudian, terpandang olehnya wajah Liu Wan yang bersungguh-sungguh, pipinya justru menjadi merah.
"Hei... Itu suara kereta!" tiba-tiba Liu Wan berseru perlahan. Dari jauh tampak sebuah kereta kuda merayap pelan-pelan menuju ke arah mereka. Sebuah kereta yang cukup bagus dan terawat baik, ditarik oleh dua ekor kuda besar-besar. Dua orang pengendara atau sais tampak duduk di bagian depan mengendalikan kuda-kuda itu. Dan meskipun dalam penyamaran, Liu Wan segera mengenal dua sais kereta itu sebagai Lo Kang dan Lo Hai.
"Ah... Mereka berhasil menculik Cia-Wangwe. Nah, Ciu-moi... Marilah kita songsong mereka. Kita berdandan di dalam kereta saja nanti." Selesai bicara Liu Wan Gwe segera bersiul untuk memberi tanda kepada kedua pembantunya bahwa dia berada di tempat itu. Dan ternyata kedua orang bisu itu benar-benar amat setia dan terlatih sekali. Tanpa menimbulkan kecurigaan kereta itu mereka hentikan di bawah pohon siong yang rindang. Sambil turun dari kereta dan seolah-olah memeriksa kendali kudanya, kedua orang bisu itu memberi kesempatan kepada Liu Wan dan Tio Ciu In untuk naik ke dalam kereta secara diam-diam. Setelah yakin majikan mereka telah berada di dalam kereta, Lo Kang dan Lo Hai lalu berpura-pura pula memeriksa roda-roda keretanya.
"Lo Kang... Lo Hai, berilah aku waktu barang sekejap! Aku dan Nona Tio akan berdandan dulu... sebagai Cia-Wangwe." Liu Wan berpesan kepada pembantunya.
"Ah... bagaimana... bagaimana aku harus berdandan? Aku belum pernah melihat wajah bini muda Cia-Wangwe." Ciu In bertanya dengan air muka kemerah-merahan. Ternyata Liu Wan menjadi kikuk juga. Pemuda yang sebenarnya sudah amat terbiasa berhubungan dengan wanita itu kini ternyata bisa menjadi salah tingkah pula menghadapi gadis ayu seperti Ciu In.
"Ciu-moi, aku... eh... Kalau boleh... anu... biarlah aku merias dan memoles sedikit wajahmu, agar mirip dengan bini muda Cia-Wangwe. Tentang bentuk badan dan pakaiannya, kau nanti tinggal memberi ganjal sedikit pada dada dan perut, kemudian menutupnya dengan pakaian mewah yang telah kusediakan. kau akan kelihatan agak gemuk dan pendek." dengan nada gemetar pemuda itu memberikan keterangan. Seketika kulit yang putih halus itu menjadi merah seperti udang direbus. Kalau mukanya dirias, hal itu berarti membiarkan jari-jari tangan pemuda itu memegang dan mengusap-usap wajahnya. Untuk sesaat lamanya Tio Ciu In tak bisa menjawab atau bersuara. Hatinya menjadi bimbang dan bingung luar biasa. Namun ketika kemudian terbayang wajah adiknya yang ia kasihi, hatinyapun lalu menjadi bulat. Biarlah dirinya berkorban sedikit demi keselamatan adiknya.
"Ba-baiklah..." katanya kemudian dengan suara seret hampir-hampir tak terdengar. Tampaknya Liu Wan tahu juga bahwa sebenarnya Tio Ciu In agak merasa keberatan dirias wajahnya.
Oleh karena itu dengan cepat, bahkan dengan kesan tergesa-gesa tangannya yang trampil itu merias wajah Cui In. Meskipun demikian ketika jari-jarinya menyentuh dagu Cui In yang mungil itu, keringat dingin tiba-tiba seperti membanjiri tubuhnya. Apalagi ketika mata yang bulat berpendar-pendar indah itu untuk sesaat menatap dirinya, kontan jari-jarinya menjadi gemetar sehingga alat riasnya nyaris jatuh dari tangannya. Ternyata kegugupan Liu Wan itu sedikit banyak menular juga kepada Ciu In. Ketika ujung-ujung jari Liu Wan yang penuh bedak itu menyentuh dan mengusap pipinya, tiba-tiba Ciu In merasa jantungnya berhenti berdetak. Kaki dan tangannya terasa dingin sekali. Apalagi ketika hembusan napas pemuda itu menerpa wajahnya, mendadak tubuhnya seperti gemetaran dan seakan mau melayang ke udara.
"Se-selesai... Ciu-moi, kau... Kau sekarang boleh mengenakan baju luar yang mewah ini. kau... Kau tak perlu berganti pakaian." Akhirnya Liu Wan dapat juga menyelesaikan tugasnya. Kemudian sementara Tio Ciu In menyelesaikan sendiri dandanannya, Liu Wan juga memolesi wajahnya agar sesuai dengan wajah Cia-Wangwe. Begitu mahirnya pemuda itu menyamar sehingga sebentar saja wajahnya telah berubah menjadi gemuk dan tua seperti halnya Cia-Wangwe.
"Nah, kita sekarang telah menjadi Cia-Wangwe suami-isteri." pemuda itu berkelakar. Lalu serunya kepada Lo Kang dan Lo Hai di luar.
"Lo Kang... Lo Hai, sekarang kita pergi ke Kuil Pek-hok-bio." Tio Ciu In berdebar-debar juga hatinya. Baru sekarang ini dia memperoleh pengalaman yang mendebarkan, namun juga mengasyikkan pula. Otomatis perasaannya menjadi tegang, takut kalau penyamarannya tidak berhasil dan diketahui oleh lawannya.
"Jangan takut! Tenang-tenang saja. Paling-paling kita berkelahi, bukan? Apakah kau takut berkelahi?" Liu Wan yang merasakan ketegangan Ciu In mencoba mengendorkannya. Dan ucapan Liu Wan itu memang mengenai sasarannya. Semangat dan keberanian Ciu In seperti terungkat kembali.
"Huh, mengapa mesti takut? Tadipun aku sudah mengajak Twako untuk menggebrak sarang mereka dari pintu depan!" kata gadis ayu itu panas, Liu Wan tertawa perlahan. Tapi suaranya segera terhenti ketika pintu jendela kereta itu diketuk dari luar.
Pendekar Penyebar Maut Eps 34 Memburu Iblis Eps 6 Memburu Iblis Eps 8